Disusun oleh :
RINDAYANI
15120200017
Disusun oleh :
RINDAYANI
15120200017
Disetujui oleh :
Pembimbing,
Mengetahui,
Ketua Program Studi Profesi Apoteker Penanggung jawab PKPA
Bidang Rumah Sakit
(apt. Hendra Herman., S.Farm., M.Sc) (apt. Hendra Herman., S.Farm., M.Sc)
KATA PENGANTAR
RINDAYANI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumah Sakit merupakan suatu institusi pelayan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dan
menyediakan pelayanan perawatan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Pelayanan kesehatan secara paripurna merupakan pelayanan kesehatan yang
meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatuf (UU No.44, 2009).
Pelayanan kesehatan salah satunya yaitu pelayanan kefarmasian yang
merupakan suatu pelayanan yang dilakukan secara langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan tujuan
untuk mencapai hasil yang pasti dan untuk meningkatkan mutu kehidupan
pasien (Permenkes 72, 2016).
Dalam melakukan pelayanan kefarmasian yang berperan penting yaitu
salah satunya adalah seorang apoteker khususnya yang bekkerja di Rumah
Sakit dituntut untuk merealisasikan perluasan paradigma pelayanan
kefarmasian dari orientasi produk menjadi orientasi pasien. Untuk itu
kompetensi apoteker perlu diitngkatkan secara terus menerus agar perubahan
paradigma tersebut dapat diimplementasikan. Apoteker harus dapat
memenuhi hak pasien agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan
termasuk tuntutan hukum. Dengan demikian, para apoteker Indonesia dapat
berkompetisi dan menjadi tuan rumah di negara sendiri (Permenkes 72,
2016).
Sehingga, untuk memahami secara baik fungsi dan peranan apoteker
sebagai salah satu tenaga kesehatan di Rumah Sakit dalam hal pemberian
pelayanan kefarmasian, pendidikan profesi apoteker fakultas farmasi
universitas muslim indonesia menyelenggarakan praktik kerja profesi
apoteker (PKPA) khususnya bidang farmasi Rumah Sakit. Dengan
pelaksanaan PKPA tersebut, maka diharapkan mahasiswa mampu mengelola
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta memiliki
keterampilan dan kemampuan dalam penerapan kegiatan farmasi klinik di
Rumah Sakit.
B. Tujuan PKPA
1. Adapun tujuan umum PKPA bidang farmasi rumah sakit yaitu :
a. Meningkatkan pemahaman calon Apoteker tentang peran, funhsi,
posisi dan tanggung jawab Apoteker dalam praktik kefarmasian.
b. Membekali calon Apotker agar memiliki wawasan, pengetahuan,
keterampilan, dan pengalaman praktis untuk melakukan pekrjaan
kefarmasian.
c. Memmberi gambaran nyata tentang permasalahan pekerjaan
kefarmasian serta mempelajari strategi dan kegiatan-kegiatan yang
dapat dilakukan dalam rangka pengembangan praktek kefarmasian.
d. Mempersiapkan calon Apoteker dalam memasuki dunia kerja sebagai
tenaga farmasi yang profesional.
2. Adapun tujuan khusus pembelajaran PKPA bidang farmasi Rumah Sakit
yaitu setelah melakukan kegiatan PKPA bidang rumah sakit, diharapkan :
a. Peserta PKPA memahami peran dan fungsi rumah sakit sesuai
undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit.
b. Peserta PKPA mampu melakukan pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan media habis pakai meliputi :
1. Pemilihan
2. Perencanaan kebutuhan
3. Pengadaan
4. Penerimaan
5. Penyimpanan
6. Pendistribusian
7. Pemusnahan dan penarikan
8. Pengendalian, dan
9. Administrasi
c. Peserta PKPA mampu menerapkan kegiatan pelayanan farmasi klinik
meliputi :
1. Pengkajian dan pelayanan resep
2. Penelusuran riwayat penggunaan obat
3. Rekonsuliasi obat
4. Pelayanan informasi obat (PIO)
5. Konseling
6. Visite
7. Pemantauan terapi obat (PTO)
8. Evaluasi penggunaan obat (EPO)
9. Dispensing sediaan steril
10. Pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD)
d. Peserta PKPA memahami proses dan manajemen sterilisasi pada
central sterile supply departement (CSSD).
e. Peserta memahami proses pembuatan formularium R.S
BAB II
TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT
A. Aspek Legalitas
1. Etik Profesi
Dalam menjalankan tugas dan kewajiban serta mengamalkan
keahliannya, seorang apoteker harus senantiasa mengharapkan bimbingan
dan keridhaan Tuhan Yang Maha Esa dan dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya harus selalu berpegang teguh kepada sumpah atau janji
Apoteker. Dalam upaya meningkatkan pengetahuan, maka seorang apoteker
harus selalu aktif mengikuti perkembangan dibidang kesehatan pada
umumnya dan khususnya pada bidang farmasi. Aktivitas seorang apoteker
dalam menguikuti perkembangan dibidang kesehatan, diukur dari nilai SKP
yang diperoleh dari hasil ujian kompetensi (IAI, 2009).
Dalam menjalankan tugas seorang apoteker harus menjauhkan diri dari
usaha mencari keuntungan semata yang bertentangan dengan martabat dan
tradisi luhur jabatan farmasi. Sebagai seorang yang memiliki sikap
profesional seorang apoteker harus menghindari perbuatan yang merusak
ataupun merugikan orang lain dan dalam menjalankan tugasnya dapat
memperoleh imbalan dari pasien dan masyarakat atas jasa yang diberikan
namun, harus tetap memegang teguh kepada prinsip mendahulukan
kepentikan pasien (IAI, 2009).
Kepedulian terhadap pasien merupakan hal yang paling utama dilakukan
oleh seorang apoteker. Seorang apoteker harus mampu mendorong paseien
untu terlibat dalam pengambilan keputusan terkait pengobatan mereka dan
mampu mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjaga kesehatan
pasien khususnya bayi, anak-anak, serta orang yang dalam kondisi lemah.
Dalam mengupayakan hal tersebut maka, seorang apoteker harus yakin
bahwa obat yang diserahkan kepada pasien adalah obat yang terjamin mutu,
keamanan, khasiat dan cara penggunaan yang tepat. Seorang apoteker harus
menghormati keputusan profesi yang telah ditetapkan oleh dokter dan
bentuk penulisan resep dan sebagainya (IAI,2009).
Seorang apoteker harus menghargai dan memperlakukan teman
sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. Bila seorang
apoteker dihadapkan pada situasi yang problematik, baik secara moral atau
peraturan perundang undangan yang berlaku antar sejawat maka harus
dilakukan komunikassi dengan baik dan santun. Jika seorang apoteker
mendapatkan teman sejawatnya melanggar kode etik, maka sebaiknya
apoteker tersebut melakukan komunikasi yang santun untuk mengingatkan
kekliruan tersebut. Bila yang bersangkutan sulit untuk menerima maka dia
dapat menyampaikan kepada pengurus cabang dan atau MPEAD secara
berjenjang (IAI,2009).
Apabila seorang apoteker melakukan pelanggaran kode etik apoteker,
maka yang bersangkutan akan dikenakan sanksi organisasi. Sanksi dapat
berupa pembinaan, pencabutan sementara keanggotaan ataupun pencabutan
keanggotaan tetap. Kriteria pelanggaran kode etik telah diatur dalam
peraturan organisasi dan ditetapkan setelah melalui kajian yang mendalam
dari MPEAD (IAI, 2009).
2. Peraturan Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan yang mendasari suatu kegiatan
pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit yaitu Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 72 tahun 2016 tentang standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Sakit. Selain itu, ada juga undang-undang yang melandasi peraturan dan
ketentuan yang ada di Rumah Sakit, yaitu :
a. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2016 Tentang Tenaga Kesehatan
b. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2012 Tentang Pengadaan
Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3781)
c. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 Tenatang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
d. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang
Dan Jasa
e. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2014 Tentang pengadaan
Obat berdasarkan E-Catlog Eletronik (E-Catalogue)
f. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Peredaran,
Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan Narkotik, Psikotropik dan
Prekursor Farmasi.
B. Pengelolaan Rumah Sakit
1. Manajemen pendukung
a. Struktur organisasi
Rumah Sakit merupakan suatu institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna
yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat,
dimana tugas Rumah sakit Umum yaitu melaksanakan upaya kesehatan
secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya
penyembuhan dan pemulihan yang dilaksakan secara serasi dan terpadu
dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya
rujukan (UU RI No.4, 2009 dan Kemenkes RI No.983, 1992).
Untuk mencapai hal tersebut, RSU memiliki 7 (tujuh) fungsi yaitu
sebagai berikut (Kemenkes RI Nomor 983/MENKES/SK/XI/1992) :
1. Menyelenggarakan pelayanan medis
2. Menyelenggarakan pelayanan penunjang medis dan non medis
3. Menyelenggarakan pelayanan dan asuhan keperawatan
4. Menyelenggarakan pelayanan rujukan
5. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
6. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan, dan
7. Menyelenggarakan administrasi umum dan keuangan
Organisasi rumah sakit disesuaikan dengan besarnya kegiatan dan
beban kerja rumah sakit dan struktur organisasi rumah sakit harus
membagi habis seluruh tugas dan fungsi rumah sakit (PP RI Nomor 77,
2015). Adapun bagian unsur yang menjadi pembeda tiap struktur
organisasi rumah sakit yaitu meliputi (PP RI Nomor 77, 2015) :
a) Kepala rumah sakit atau direktur rumah sakit
b) Unsur pelayanan medis
c) Unsur keperawatan
d) Unsur penunjang medis
e) Unsur administrasi umum dan keuangan
f) Komite medis; dan
g) Satuan pemeriksaan internal
Berikut rincian penjelasan struktur organisasi rumah sakit (PP RI No.77,
2015) :
1. Kepala rumah sakit atau direktur rumah sakit
Kepala rumah sakit atau direktur rumah sakit dapat
menyelennggarakan fungsi:
a) Koordinasi pelaksanaan tugas dan fungsi unsur organisasi
b) Penetapan kebijakan penyelenggaraan rumah sakit sesuai dengan
kewenangannya
c) Penyelenggaraan tugas dan fungsi rumah sakit
d) Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian pelaksanaan tugas
dan fungsu unsur organisasi
e) Evaluasi, pencatatan dan pelaporan.
2. Unsur pelayanan medis
Unsur ini merupakan unsur organisasi di bidang pelayanan medis
yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada kepala rumah
sakit atau direktur rumah sakit. Unsur pelayanan medis dipimpin oleh
direktur, wakil direktur, kepala bidang, atau manajer. Unsur
pelayanan medis menyelenggarakan fungsi :
a) Penyusunan rencana pemberian pelayanan medis
b) Koordinasi dan pelaksanaan pelayanan medis
c) Pelaksanaan kendali mutu, kendali biaya, dan keselamatan pasien
di bidang pelayanan medis, dan
d) Pemantauan serta evaluasi pelayanan medis.
Unsur pelayanan medis ini meliputi pelayanan rawat jalan, rawat inap
dan gawat darurat
3. Unsur keperawatan
Unsur keperawatan merupakan unsur organisasi di bidang pelayanan
keperawatan yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada
kepala rymah sakit atau direktur rumah sakit. Adapun tugasnya yaitu:
a) Penyusunan rencana pemberian pelayanan keperawatan
b) Koordinasi dan pelaksanaan pelayanan keperawatan
c) Pelaksanaan kendali mutu, kendali biaya, dan keselamatan pasien
di bidang keperawatan; dan
d) Pemantauan serta evaluasi pelayanan keperawatan
4. Unsur penunjang medis
Unsur penunjang medis merupakan unsur organisasi dibidang
pelayanan penunjang medis yang berada dibawah dan bertanggung
jawab kepada kepala Rumah Sakit atau direktur Rumah Sakit. Unsur
penunjang medis menyelenggarakan fungsi :
a) Penyusunan rencana pemberian pelyanan penunjang medis
b) Koordinasi dan pelaksanaan pelayanan penunjang medis
c) Pelaksanaan kendali mutu, kendali biaya, dan keselamatan pasien
dibidang pelayanan penunjang medis
d) Pengelolaan rekam medis; dan
e) Pemantauan dan evaluasi pelayanan penunjang medis
5. Unsur administrasi umum dan keuangan
Unsur administrasi umum dan keuangan merupakan unsur organisasi
yang berada dibawah dan tanggungjawab kepada kepala rumah sakit
atau direktur rumah sakit. Bertugas dalam perencanaan anggaran,
perbendaharaan, dan mobilisasi dana, dan akuntansi. Unsur
administrasi umum dan keuangan menyelenggarakan fungsi
pengelolaan :
a) Ketatausahaan
b) Kerumahtanggaan
c) Pelayanan hukum dan kemitraan
d) Pemasaran
e) Kehumasan
f) Pencatatan pelaporan dan evaluasi
g) Penelitian dan pengembangan
h) Sumber daya manusia; dan
i) Pendidikan serta penelitian
6. Komedis Medis
Komite medis merupakan unsur organisasi yang mempunyai
tanggung jawab untuk menerapkan tata kelola klinis yang baik (good
clinical govermance). Komite medis bertugas meningkatkan
profesionalisme staf medis yang bekerja dirumah sakit dengan cara :
a) Melakukan kredensial bagi seluruh staf medis yang akan
melakukan pelayanan medis dirumah sakit.
b) Memelihara mutu profesi staf medis; dan
c) Menjaga disiplin, etika, dan perilaku profesi staf medis.
7. Satuan pemeriksaan internal
Satuan pemeriksaan internal merupakan unsur organisasi yang
bertugas melaksanakan pemeriksaan audit kinerja internal rumah
sakit. Berada dibawah dan tanggung jawab kepada kepala Rumah
Sakit atau direktur Rumah Sakit.
a) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan manajemen risiko di unit
kerja rumah sakit
b) Penilaian terhadap sistem pengendalian, pengelolaan, dan
pemantauan efektivitas dan efisiensi sistem dan prosedur dalam
bidang administrasi pelayanan, serta administrasi umum dan
keuangan.
c) Pelaksanaan tugas khusus dalam lingkup pengawasan intern yang
ditugaskan oleh kepala rumah sakit atau direktur rumah sakit;
d) Pemantauan pelaksanaan dan ketepatan pelaksanaan tindak lanjut
atas laporan hasil audit; dan
e) Pemberian konsultasi, advokasi, pembimbingan, dan
pendampingan dalam pelaksanaan kegiatan operasional rumah
sakit.
Klasifikasi Rumah Sakit
Rumah Sakit diklasifikasikan menjadi rumah sakit yang
didirikan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan swasta
(Permenkes No.3, 2020). Klasifikasi rumah sakit berdasarkan bentuk dan
jenis pelayanan (Permenkes No.3, 2020) :
1. Berdasarkan bentuk, rumah sakit dibedakan menjadi :
a) Rumah Sakit Statis
Rumah sakit yang didirikan disuatu lokasi dan bersifat permanen
untuk jangka waktu yang lama dalam menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan
kegawatdaruratan.
b) Rumah Sakit Bergerak
Merupakan rumah sakit yang siap guna dan bersifat sementara
dalam jangka waktu tertentu dan dapat dipindahkan dari satu
lokasi kelokasi lain. Dapat berbentuk bus, pesawat, kapal laut,
karavan, gerbong kereta api, atau kontainer.
c) Rumah sakit lapangan
Merupakan rumah sakit yang didirikan dilokasi tertentu dan
bersifat sementara selama kondisi darurat dan masa tanggap
darurat bencana, atau selama pelaksanaan kegiatan tertentu.
2. Berdasarkan jenis pelayanan, rumah sakit dibedakan menjadi
(Permenkes No.3, 2020) :
a) Rumah Sakit Umum
Merupakan rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan
pada semua bidang dan jenis penyakit. Rumah sakit umum
diklasifikasikan menjadi :
- Rumah sakit umum kelas A merupakan rumah sakit umum
yang memiliki jumlah tempat tidur minimal 250 buah
- Rumah sakit umum kelas B merupajan rumah sakit umum
yang memiliki jumlah tempat tidur minimal 200 buah
- Rumah sakit umum kelas C merupakan rumah sakit umum
yang memiliki jumlah tempat tidur minimal 100 buah
- Rumah sakit umum kelas D merupakan rumah sakit umum
yang memiliki jumlah tempat tidur minimal 50 buah
b) Rumah Sakit Khusus
Merupakan rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada
satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin
ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan
lainnya. Rumah sakit khusus diklasifikasikan menjadi :
- Rumah sakit khsus kelas A merupakan rumah sakit khusus
yang memiliki tempat tidur minimal 100 (seratus) buah
- Rumah sakit khsus kelas B merupakan rumah sakit khusus
yang memiliki tempat tidur minimal 75 (seratus) buah
- Rumah sakit khsus kelas C merupakan rumah sakit khusus
yang memiliki tempat tidur minimal 50 (seratus) buah
Klasifikasi rumah sakit berdasarkan tugas, fungsi, kemampuan
pelayanan kesehatan dan kapasitas sumber daya organisasi dalam
beberapa kelas (Permenkes No.1045, 20106) :
a) Rumah Sakit Umum
Rumah sakit umum kelas A
Rumah sakit umum B pemdidikan
Rumah sakit umum B Non-pendidikan
Rumah sakit umum kelas C
Rumah sakit umum kelas D
Berdasarkan fungsinya RSU kelas A dan RSU kelas B pendidikan
menyelenggarakan dan atau digunakan untuk pelayanan, pendidikan
dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi
kedokteran dan pendidikan kedokteran berkelanjutan.
b) Rumah Sakit Khusus
Rumah Sakit Khusus Kelas A
Rumah Sakit Khusus Kelas B
Rumah Sakit Khusus Kelas C
Berdasarkan fungsinya RSK kelas A menyelenggarakan dan atau
digunakan untuk pelayanan, pendidikan dan penelitian secara
terpadu dalam bidang pendidikan profesi kedokteran dan pendidikan
kedokteran berkelanjutan.
Klasifikasi Rumah Sakit berdasarkan susunan organisasi meliputi
(Permenkes No.1045, 2006) :
1) Untuk RS umum kelas A, susunan organisasinya yaitu :
a) RSU kelas A dipimpin oleh seorang kepala disebut direktur utama
b) Direktur utama membawahi paling banyak 4 (empat) direktorat
c) Masing-masing direktorat terdiri dari paling banyaj 3 (tiga)
bidang atau 3 (tiga) bagian
d) Masing-masing bidang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) seksi
e) Masing-masing bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) sub
bagian
2) Untuk RSU kelas B pendidikan susunan organisasinya terdiri dari :
a) RSU kelas B pendidikan dipimpin oleh seorang kepala disebut
direktur utama
b) Direktur utama membawahi paling banyak 3 (tiga) direktorat
c) Masing-masing direktorat terdiri dari paling banyak 3 (tiga)
bidang atau 3 (tiga) bagian.
d) Masing-masing bidang terdiri dari paling banyak 3 (tigas) seksi.
3) Untuk RSU kelas B Non-pendidikan susunan organisasinya terdiri
dari :
a) RSU kelas B non pendidikan dipimpin oleh seorang kepala
disebut direktur utama
b) Direktur membawahi paling banyak 2 (dua) direktorat
c) Masing-masing direktorat terdiri dari paling banyak 3 (tiga)
bidang atau 3 (tiga) bagian
d) Masing-masing bidang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) seksi
e) Masing-masing bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) sub
bagian.
4) Untuk RSU kelas C susunan organisasinya terdiri dari :
a) RSU kelas C dipimpin oleh seorang kepala disebut direktur
b) Direktur membawahi paling bnayk 2 (dua) bidang dan 1 (satu)
bagian
c) Masing-masing bidang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) seksi
d) Masing-masing bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) sub
bagian
5) Untuk RSU kelas D susunan organisasinya terdiri dari :
a) RSU kelas D dipimpin oleh seorang kepala disebut direktur
b) Direktur membawahi 2 (dua) seksi dan 3 (tiga) sub bagian.
6) Untuk RSK kelas A susunan organisasinya terdiri dari :
a) RSK kelas A dipimpin oelh seorang kepala disebut direktur utama
b) Direktur utama membawahi paling banyak 4 (empat) direktorat
c) Masing-masing direktorat terdiri dari paling banyak 3 (tiga)
bidang atau 3 (tiga) bagian
d) Masing-masing bidang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) seksi
e) Masing-masing bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) sub
bagian.
7) Untuk RSK kelas B susunan organisasinya terdiri dari :
a) RSK kelas B dipimpin oleh seorang kepala disebut direktur utama
b) Direktur utama membawahi paling banyak 2 (dua) direktorat
c) Masing-masing direktorat terdiri dari paling banyak 2 (dua)
bidang atau 2 (dua) bagian
d) Masing-masing bidang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) seksi
e) Masing-masing bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) sub
bagian.
8) Untuk RSK kelas C susunan organisasinya terdiri dari :
a) RSK kelas C dipimpin oleh seorang kepala disebut direktur
b) Direktur membawahi 2 (dua) seksi dan 3 (tiga) sub bagian
b. sumber daya manusia Pelayanan Kefarmasian
instalasi farmasi harus memiliki Apotekre dan tenaga teknis
kefarmasian yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang
lainnya agar tercapainya sasaran dan tujuan isntalasi farmasi. Uraian
tugas tertulis dari masing-masing satf instalasi farmasi harus ada dan
sebaiknya dilakukan peninjauan kembali paling sedikit setiap tiga tahun
sesuai kebijakan dan prosedur di instalasi farmasi (Permenkes 72, 2016).
1) Kualifikasi sumber daya manusia (SDM) berdasrkan pekerjaan yang
dilakukan yaitu sebagai berikut (Permenkes 72, 2016) :
a) Untuk pekerjaan kefarmasian terdiri dari :
a. Apoteker
b. Tenaga Teknis Kefarmasian
b) Untuk pekerjaan penunjang terdiri dari :
a. Operatir komputer/teknisi yang memahami kefarmasian
b. Tenaga administrasi
c. Pekarya/pembantu pelaksana
Agar tercapainya mutu pelayanan yang baik dan aman, makan
dalam penentuan kebutuhan tenaga kerja maka harus mempertimbangkan
kompetensi yang disesuaikan dengan jenis pelayanan, tugas, fungsi,
wewenang dan tanggung jawab (Permenkes 72, 2016).
2) Persyaratan SDM
a) Pelayanan kefarmasian harus dilakukan oleh seorang Apoteker dan
dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian.
b) Apoteker dan tenga teknis kefarmasian harus sesuai dengan
persyaratan administrasi yang berlaku seperti yang telah ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan
c) Instalasi farmasi rumah sakit harus dipakai oleh seorang apoteker
yang merupakan apoteker penanggung jawab selurug pelayanan
kefarmasian di Rumah Sakit dan diutamakan memiliki pengalaman
bekerja diinstalasi Farmasi rumah sakit minimal selama 3 (tiga)
bulan.
3) Beban kerja dan kebutuhan
a) Beban kerja
Terkait dengan beban kerja, terdapat faktor-faktor yang
berpengaruh pada kegiatan yang dilakukan, yaitu (Permenkes 72,
2016) :
(1) Terkait dengan kapasitas tempat tidur dan Bed Occupancy Rate
(BOR)
(2) Jumlah dan jenis kegiatan farmasi yang dilakukan antara lain
kegiatan manajemen, klinik dan produksi
(3) Banyaknya jumlah resep ataupun formulir permintaan obat
(floor stock) per harinya
(4) Jumlah sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai.
b) Penghitungan beban kerja
Perhitungan kebutuhan apoteker berdasarkan beban kerja
pada pelayanan kefarmasian dirawat inap idealnya dibutuhkan
tenanga apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 30 pasien dengan
kegiatan yang dilakukan meliputi pelayanan farmasi manajerial dan
pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas pengkajian resep,
penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat,
pemantauan terapi obat (PTO), pemberian informasi obat (PIO),
konseling, edukasi dan visite. Sedangkan untuk dirawat jalan
idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan rasio 1 Apoteker
untuk 50 pasien dnegan kegiatan meliputi pelayanan farmasi
manajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas
pengkajian terhadap resep, proses penyerahan sediaan farmasi,
pencatatan penggunaan obat (PPP) dan kegiatan konseling. Selain
kebutuhan Apoteker untuk pelayanan kefarmasian rawat inap dan
rawat jalan, dibutuhkan pula tenanga apoteker untuk pelayanan
farmasi yang lain seperti di unit logistik medik/distribusi, unit
produksi steril/aseptic dispensing, unit pelayanan informasi obat
dan lain0lain tergantung dari jenis aktivitas dan tingkat cakupan
pelayanan yang dilakukan oleh instalasi farmasi tersebut
(Permenkes 72, 2016).
Selain dar yang diatas, diperlukan juga masing-masing 1
(satu) orang apoteker untuk kegiatan pelayanan kefarmasian di
ruang tertentu, yaitu (Permenkes 72, 2016) :
1. Unit Gawat Darurat
2. intensive Care Unit (ICU) atau Intensive Cardiac Care Unit
(ICCU) atau Neonatus Intensive Care Unit (NICU) atau Pediatric
Intensive Care Unit (PICU)
c) Pengembangan staf dan program pendidikan
Setiap staf di Rumah sakit harus diberikan kesempatan
untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya.
Dimana peran Kepala Instalasi Farmasi dalam pengembangan staf
dan program pendidikan meliputi :
(1) Menyusun program orientasi staf baru, pendidikan dan
pelatihan berdasarkan kebutuhan pengembangan kompetensi
SDM
(2) Menentukan dan mengirim staf sesuai dengan keahlian dan
spesifikasi pekerjaan (tugas dan tanggung jawabnya) bertujuan
untuk meningkatkan kompetensi yang diperlukan
(3) Menentukan staf sebagai narasumber/pelatih/fasilitator sesuai
dengan kompetensinya
d) Penelitian dan pengembangan
Apoteker harus didorong untuk melakukan penelitian
mandiri atau berkontribusi dalam tim penelitian untuk
mengembangkan praktik pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit.
Dimana instalasi farmasi harus melakukan pengembangan
pelayanan kefarmasian sesuai dengan perkembangan kefarmasian
terkini seperti seorang apoteker ikut berperan dalam uji klinik obat
yang dilakukan di Rumah Sakit dengan mengelola obat-obat yang
diteliti sampai saat dipergunakan oleh subyek penelitian dan
mencatat reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD) yang tejadi
selama kegiatan penelitian tersebut (Permenkes 72, 2016).
2. Pengelolaan obat, perbekalan farmasi, dan barang lain.
a. Pemilihan (selection).
Pemilihan merupakan suatu kegiatan yang digunakan untuk
menetapkan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai sesuai dengan kebuuthan (Kemenkes RI, 2009). Pemilihan sediaan
farmasi, bahan medis habis pakai dan alat kesehatan dilakukan
berdasarkan (Permenkes 72, 2016) :
1. Formularium dan standar pengobatan atau pedoman diagnosa dan
terapi
2. Pola penyakit
3. Efektivitas dan keamanan
4. Pengobatan berbasis bukti
5. Mutu harga, dan
6. Ketersediaan dipasaran
b. Panitia/Komite Farmasi dan Terapi dan Formularium RS
Komita/tim farnasi dan terapi merupakan suatu unit kerja dalam
memberikan rekomendasi kepada pimpinan rumah sakit mengenai
kebijakan penggunaan obat (Permenkes 72, 2016). Tugas dari komite/tim
farmasi dan terapi meliputi, sebagai berikut (Permenkes 72, 2016) :
1. Mengembangkan kebijakan tentang penggunaan obat di rumah sakit.
2. Melakukan seleksi dan evaluasi obat yang akan masuk dalam
formularium rumah sakit
3. Mengembangkan standar terapi
4. Mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan obat
5. Melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan obat yang
rasional
6. Mengkoordinir penatalaksanaan reaksi obat yang tidak diinginkan
7. Mengkoordinir penatalaksanaan medication eror
8. Menyebarluaskna informasi terkait kebijakan penggunaan obat di
Rumah Sakit.
Adapun tujuan dari adanya Komite/tim farmasi dan terapi
yaitu sebagai berikut (permenkes 72, 2016) :
a. Menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat,
penggunaan obat serta mengevaluasinya
b. Menerbitkan standart
c. Melengkapi kebutuhan staf profesional dengn pengetahuan terbaru
yang berhubungan dengan obaat dan penggunaan obat sesuai
kebutuhan.
Formularium Rumah Sakit adalah suatu dokumen yang berisi
kumpulan produk obat yang dipilih PFT disertai dengan informasi
tambahan penting tentang penggunaan obat tersebut, serta kebijakan dan
prosedur berkaitan obat yang relevan untuk rumah sakit tersebut terus
menerus direvisi agar sealalu akomodatif. Formularium rumah skit
disusun oleh Tim Farmasi dn Terapi yang disepakati oleh staf medik
yang dimana formularin ini mengacu pada formularium nasional.
Formularium yang disusun ini nantinya akan dijadikan acuan untuk
smeua penulis resep atau instruksi pengobatan, penyediaan obat dan
pemberian obat di Rumah Sakit (Permenkes 72, 2016).
Dalam upaya meningkatkan kepatuhan terahadap penggunaan
formularium Rumah Sakit, amka rumah sakit memiliki kebijakan jika
diperlukan penambahan atau pengurangan obat dalam formularium.
Kebijakan tersebut dengan mempertimbangkan indikasi, penggunaan,
efektivitas resiko dan biaya. Jika terdapat obat yang ingin dimasukkan
kedalam formularium maka obat tersebut terlebih dahulu akan melalui
proses atau mekanisme untuk monitoring penggunaan obat serta bila
timbul efek samping dan kejadian yang tidak diinginkan (KTD).
Fromularium rumah sakit dikaji sekurang-kurangnya setahun sekali
berdasarkan informasi keamanan dan efektivitas (Permenkes 72, 2016).
Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam proses penyusunan
formularium rumah sakit yaitu sebagai berikut (Kemenkes RI, 2019) :
a. Membuat rekapitulasi atau pengajuan untuk usulan obat dari masing-
masing staf medik fungsional berdasarkan standar terapi atau standar
pelayanan medik.
b. Komite atau tim farmasi membuat rekapitulasi usulan obat dari
seorang pengusul dan dikelompokkan berdasrkan kelas terapi.
c. Membahas usulan yang masuk bersama dengan kelompok staf medik
pengusul, dan jika diperlukan maka dapat meminta masukan dari
pakar
d. Menetapkan obat yang masuk formularium untuk diajukan
pengesahan kepada direktur rumah sakit
e. Direktur rumah sakit mengesahkan pemberlakuan formularium
rumah sakit.
Dalam upaya mendorong penggunaan obat yang rasional
dalam menggunakan formularium maka dilakukan beberapa kebijakan
yaitu sebagai berikut (Kemenkes RI, 2019) :
1) Restriksi atau batasan
Merupakan pembatasan terkait indikasi, kualifikasi penulisan resep,
jumlah maksimal obat yang dapat diresepkan dan durasi penggunaan
obat yang diresepkan.
2) Subtitusi
Merupakan penggantian obat oleh instalasi farmasi yang sebelumnya
telah diberikan kewenangan. Kewenangan tersebut, yaitu :
a. Subtitusi generik, yang merupakan penggantian obat yang ada
didalam resep oleh instalasi farmasi dengan sediaan lain yang
terdapat didalam formularium yang memiliki izin aktif yang
sama. Penggantian dilakukan dengan persetujuan dari dokter
penulis resep dan atau pasien.
b. Subtitusi terapeutik, yang merupakan penggantian sediaan lain
yang zat aktifnya berbeda namun masih dalam kelas terapi yang
sama. Subtitusi ini dapat dilakukan oleh instalasi farmasi dengan
adanya persetujaun terlebih dahulu oleh dokter. Ketika dilakukan
penggantian maka petugas farmasi akan menuliskan pada lembar
resep atau dalam sistem informasi farmasi yang meliputi : nama
obat pengganti, tanggal dan jam komunikasi, dan nama dokter
yang memberi persetujuan.
Apabila obat yang dibutuhkan tidak terdapat dalam
formularium rumah sakit, maka untuk kasus tertentu dapat digunakan
obat lain secara terbats sesuai dnegan kebijakan yang telah dibuat oleh
rumah sakit, yaitu untuk penggunaan obat diluar formularium rumah
sakit hanya dimungkinkan jika telah mendapat persetujuan dari kepala
atau direktur rumah skait; membuat pengajuan permohonan penggunaan
obat diluar formularium rumah sakit dengan mengisi fromular
permintaan obat, dan untuk pemberian obat diluar formularium rumah
sakit maka diberikan dalam jumlah terbatas dan sesuai dengan kebutuhan
psaien (Kemenkes RI, 2019).
Formularium Rumah Sakit disusun berdasarkan kebuthan
terapi berupa usulan dari penulis resep (KSMF/Departemen Medik).
Usulan tersebut nantinya akan dibahas dalam rapat tim farmasi dan terapi
dengan mempertimbangkan khasiat, kemanan, mutu dan biaya. Kriteria
obat yang dapat masuk kedalam formularium rumah sakit yaitu
(Kemenkes RI, 2019) :
a. Obat tersebut memiliki nomor izin edar (NIE) dari Badan POM
b. Diutamakan obat generik
c. Memiliki rasio manfaat-resiko (beneffit-risk ratio) yang paling
menguntungkan pasien
d. Penggunaan yang mudah sehingga dapat meningkatkan kepatuhan
dan penerimaan obat oleh pasien
e. Memiliki rasio manfaat-biaya (beneffit-cost ratio) yang tinggi
berdasarkan biaya langsung dan tidak langsung; dan
f. Terbukti efektif secara ilmiah (evidance based medicine), aman dan
banyak dibutuhkan untuk pelayanan dengan harga yang terjangkau.
Susunan organisasi atau kepanitiaan farmasi dan terapi (PFT)
dengan kegiatan yang dilakukan bagi tiap rumah skait dapat bervariasi
sesuai dengan kondisi rumah sakit setempat. Kemudian panitia farmasi
dan terapi harus terdiri dari kurang atau sama dengan 3 orang dokter,
apoteker dan perawat. Tetapi untuk rumah sakit besar tenaga dokter
boleh lebih dari 3 orang dan semua staf medis. Kemudian ketia PFT
dipilih dari dokter yang ada dalam kepanitiaan dan mempunyai ahli
farmakologi klinik dan sekertarisnya biasanya adalah ketua instalasi
farmasi rumah sakit atau apoteker yang ditunjuk atau dipilih langsung
oleh dokter kepanitiaan. Rapat yang dilakukan oleh panitia farmasi dan
terapi sekurang-kurangnya diadakan 2 kali dalam sebulan, sedangkan
untuk rumah sakit besar dilakukan rapat sekali dalam sebulan dengan
mengundang pakar yang bisa memberikan massukan dan saran untuk
pengelolaan panitian farmasi dan terapi.
Ada beberapa peranan penting oleh komita farmasi dan terapi
(KFT) dalam mendukung jaminan kesehatan nasional (JKN) yaitu
diantaranya; pada saat pelaksanaan pelayanan kesehatan, penggunaan
obat harus disesuaikan dengan standar penobatan sesuai dengan
ketentuan yang berlakau di dalam formularium nasional atau FORNAS.
Dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui
peningkatan efektivitas dan efisiensi pengobatan sehingga dapat
mencapai kerasionalan dalam pengobatan. Dimana formularium nasional
ini berfungsi agarr pasien mendapatkan pengobatan yang teapat,
berkhasiat, aman dan memiliki mutu yang terjangkau. Kemudian
apoteker yang bekerja dirumah sakit harus merealisasikan paradigma
pelayanan kesehatan dari orientassi produk ke orientasi pasien. Dimana
salah satu siklus dari pelayanan kefarmasian dirumah sakit yaitu adanya
proses pemilihan yang menetapkan jenis sediaan farmasi, maka dari itu
dalam proses pemilihan tesebut dibuat komite farmasi dan terapi (KFT)
(Permenkes 72, 2016 dan juknis, 2019).
Proses penyusunan formularium rumah sakit yaitu
(Permenkes 72, 2016 dan Juknis, 2019) :
a. Apoteker harus membuat rekapitulasi usulan obat dari masing-masing
staf medis fungsional (SMF) yang berdasarkan standar terapi atau
standar pelayanan medis
b. Apoteker mengelompookan usulan obat berdasrkan kelas terapinya
c. Apoteker kemudian membahas usulan tersebut dalam rapat komite
atau tim farmasi dan terapi. Dimana apoteker bisa meminta masukan
dari pakar apabila diperlukan.
d. Apoteker mengembalikan rancangan dari hasil pembahasan komite
atau tim farmasi dan terapi ke masing-masing SMF agar mendapat
umpan balik atau respon
e. Apoteker kemudian membahas respon atau umpan balik yang
didapatkan dari masing-masing SMF
f. Apoteker menetapkan daftar obat yang masuk kedalam formularium
rumah sakit
g. Menyusun kebijakan dan pedoman untuk dilakukan implementasi
h. Memberikan edukassi terkait formularium rumah skait kepada staf
dan melakukan monitoring.
Lampiran formularium, terdiri dari dormulir pengajuan
usulan obat untuk masuk dalam formularium (Lampiran 2), formulir
pengajuan penghapusan obat dari formularium (Lampiran 3), formulir
permintaan khusus obat diluar formularium (Lampiran 4) dan formulir
monitoring efek samping obat (Lampiran 5) (Juknis, 2019)
c. Procurement
1) Perencanaan
Perencanana merupakan suatu proses untuk menentukan
jumlah dan periode pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
bahan medis habis pakai yang sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan
untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, jumlah waktu dan
efisien. Perencanaan ini dilakukan dengan menggunakan metode yang
dapat dipertanggung jawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang
telah ditentukan, yaitu : konsumsi, epidemiologi, kombinasi konsumsi
dan epidemiologi yang disesuaikan dengan anggaran yang tersedia
(Permenkes 72, 2016). Adapun pendekatan perencanaan kebutuhan
dapat dilakukan dengan metode yang sebagai berikut (Kemenkes RI,
2019) :
a. Metode konsumsi
Metode ini didasari oleh data konsumsi yang sering dijadikan
perkiraan yang tepat dalam perencanaan sediaan farmasi. Metode
konsumsi ini dilakukan berdasarkan dari konsumsi periode
sebelumnya dengan penyesuaian yang dibutuhkan. Rumus
perhitungan yang dapat digunakan sebagai berikut :
A = (B + C + D) – E
Keterangan :
A = rencana kebutuhan, B = stok kerja (Pemakaian rata-rata x 12
bulan), C = Buffer stock (stol pengaman), D = Lead Time Stock
atau lamanya waktu antara pemesanan obat sampai dengan obat
diterima (Lead time x pemakaian rata-rata), dan E = Sisa stok.
b. Metode morbiditas
Metode ini merupakan metode perhitungan kebutuhan yang
didasari oleh pola penyakit. Metode ini digunakan untuk
memperkirakan keperluan obat-obatan tertentu berdasarkan dari
jumlah obat, kejadian penyakit um, dan pola standar pengobatan
yang digunakaan untuk penyakit tersebut. Metode ini umumnya
digunakan untuk program yang dinaikkan sekalanya (Scaling Up).
c. Metode proxy consumption
Metode ini digunakan untuk perencanaan pengadaan dirumah sakit
baru yang tidak memiliki data konsumsi pada tahun sebelumnya.
Metode ini dapat digunakan dirumah sakit yang sudah berdiri lama
apabila metode konsumsi dan atau morbiditas tidak dapat
dipercaya.
Untuk mengevaluasi suatu perencanaan dapat dilakukan
dengan teknik sebagai berikut :
1. Analisa ABC, untuk evaluasi dari segi aspek ekonomi
2. Pertimbangan atau kriteria VEN, untuk evaluasi aspek medik atau
terapinya
3. Kombinasi ABC dan VEN
4. Revisi rencana kebutuhan obat
Analisa ABC merupakan analisa yang menunjukkan
pengelompokkan obat berdasarkan kebutuhan atau penyerapan dana
dapat dilihat pada berikut (Juknis, 2019) :
a) Kelompok A
Merupakan kelompok jenis obat memiliki nilai pengadaan yang
menunjukkan penyerapan obat dana sekitar 70% dari jumlah dana
obat keseluruhan
b) Kelompok B
Merupakan kelompok jenis obat memiliki nilai pengadaan yang
menunjukkan penyerapan dana sekitar 20%
c) Kelompok C
Merupakan kelompok jenis obat memiliki nilai pengadaan yang
menunjukkan penyerapan dana sekitar 10% dari jumlah dana.
Analisa VEN merupakan pengelompokkan obat berdasarkan
manfaat tiap obat terhadap kesehatan. Pengelompokkan ini dibagi
menjadi 3 kelompok, yaitu (Kemenkes RI, 2019) :
a) Kelompok V (Vital)
Merupakan kelompok obat yang digunakan sebagai penyelamat
jiwa (Life saving).
b) Kelompok E (Essensial)
Merupakan kelompok obat untuk pelayanan kesehatan pokok atau
penyakit kronis
c) Kelompok N (Non Essensial)
Merupakan obat penunjang yang bekerjan ringan dan bisa
dipergunakan untuk menimbulkan kenyamanan atau mengatasi
keluhan yang ringan.
Analisis kombinasi merupakan analisis yang menggabungkan
antara metode ABC dan VEN yang digunakan untuk perencanaan
perbekalan farmasi. Dimana sediaan yang termasuk katergori A dari
analisis ABC adalah benar-benar jenis perbekalan farmasi yang
menyerap dana terbesar lalu disusul B dan C. Naumun, prioritas
sediaan dibedakan berdasarkan VEN sehingga dalam perencanaan
akan memudahkan untuk menentukan barang atau sediaan farmasi
yang harus diprioritaskan berdasarkan harga dan kebutuhan rumah
sakit (Juknis, 2019).
A B C
V VA VB VC
E EA EB EC
N NA NB NC
5) Konseling
Konseling obat merupakan kegiatan pemberian nasehat atau
saran terkait terapi obat dari apoteker kepada pasien maupun keluarga
pasien. Konseling yang dilakukan oleh apoteker kepada pasien, baik
itu pasien rawat inap maupun rawat jalan berdasarkan inisiatif
apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien ataupun keluarga pasien
(Permenkes, 2016).
Tujuan dari pemberian konseling yaitu untuk meningkatkan
kepatuhan pasien, terutama untuk pasien dengan kondisi khusus atau
pun geriatri. Selain itu untuk meminimalkan resiko Reaksi Obat Tidak
Dikehendaki (ROTD) dan meningkatkan cost- effectiveness yang pada
akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan obat bagi pasien
(Kemenkes, 2019).
Berikut merupakan beberapa manfaat dari kegiatan
konseling, yaitu (Kemenkes, 2019):
5. N-Acetylcisteine 200 mg
Digunakan untuk pasien dengan sekresi mukus yang kental atau tidak
normal secara akut atau kronik pada penyakit bronkopulmonary. Obat
ini diminum tiap 24 jam atau 1 kali sehari. Mekanisme obat ini yaitu
dengan melakukan aktivitas mukolitik memalui gugus sulfhidril yang
nantinya akan membuka gugus sulfida dalam mukoprotein sehingga
akan menurunkan viskositas mukus (Lexicomp, 2015).
6. Amlodipin 5 mg tablet
Obat ini merupakan golongan CCB (Calcium Canal Bloker) yang
digunakan untuk pengobatan hipertensi, pengobatan simptom angina
stabil kronik, vasoplastik, angina, mencegah terjadinya angina dan
CAD. Obat ini diminum 1 kali sehari atau tiap 24 jam. Mekanisme obat
ini yaitu dengan mengambat kanal Kalsium intrasel sehingga akan
menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah (Lexicomp, 2015).
7. Lactulosa sirup
Digunakan untuk pengobatan sembelit kronis. Dosis untuk obat ini
yaitu 10 gram/15 mL atau 15-30 mL (10-20 gram) yang digunakan
secara oral. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan kadar air pada
feses dan meningkatkan gerak peristaltik usus (Lexicomp, 2015).
8. Paracetamol 500 mg
Obat ini merupakan obat antipitetik dan analgetik golongan NSAID
yang digunakan untuk pengobatan nyeri ringan hingga sedang dan
demam. Obat ini diminum 3 kali sehati atau tiap 8 jam setelah makan.
Mekanisme obat ini yaitu dengan menghambat pembentukan impuls
nyeri dan dapat menghambat sinteis prostaglandin pada sistem saraf
pusat (Lexicomp, 2015).
9. Domperidone 10 mg
Obat ini diindikasikan untuk dispepsia, kembung pada saat sesuadah
makan, dan dapat mengobati mual dan muntah. Obat ini digunakan 3
kali sehati atau tiap 8 jam. Mekanisme obat ini dengan menghambat
reseptor dopamin sehingga meningkatkan peristaltik esofagus, menekan
stingter esofagus bagian bawah, dan memfasilitasi pengosongan
lambung dan mengurangi waktu transit pada usus (Lexicomp, 2015).
10. Ringer laktat
Larutan ringer laktat merupakan larutan cairan kistaloid isotonik yang
digunakan sebagai larutan penyeimbang atau larutan buffer yang
digunakan untuk pengganti cairan tubuh. Obat ini digunakan secara IV
Parenteral dengan 28 tetes per menit (Singh, S. and Davis, D., 2019).
C. Deskripsi video simulasi kegiatan penerimaan, penyimpanan, pelayanan
resep
Kegiatan Penerimaan
Penerimaan merupakan suatu bagian kegiatan dari pengadaan yang
bertujuan untuk menjamin kesesuaian obat degan jenis, jumlah dan mutunya
berdasarkan dengan dokumen penyerta dan dilakukan oleh panitia penerima
barang yang salah satu anggotanya adalah tenaga farmasi. Semua dokumen
terkait penerimaan barang harus tersimpan dengan baik (Kemkes RI, 2019).
Pemeriksaan mutu dari obat dapat dilakukan secara organoleptis,
seperti melihat bentuk fisik dari sediaan, warna, bau, rasa (jika
diperlukankan), kejernihan dan homogenitas untuk sediaan cairan dan injeksi.
Khusus untuk pemeriksaan label dan kemasan perlu dilakukan pengecekan
terhadap tanggal kadaluarsa dan nomor batch oleh petugas yang menerima
barang tersebut (Kemkes RI, 2019).
Penerimaan barang sediaan farmasi dari PBF dilakukan oleh
apoteker, dengan menerima barang sesuai dengan faktur pemesanan,
kemudian mengecek mutu dari sediaan farmasi, dilanjutkan dengan
pengecekan jumlah pesanan, tanggal kadaluarsa dan nomor batch
Berikut merupakan Link video simulasi penerimaan
https://drive.google.com/file/d/1lVVxdcM6UIRkIN_xjBoFXYznpZvMRj
af/view?usp=sharing
Kegiatan Penyimpanan
Setelah barang dierima, maka selanjutnya dilakukan peyimpanan pada
instalasi farmasi selebeum barang tersebut didistribusikan. Penyimpanan
adalah merupakan suatu kegiatan yang dilakuakan untuk sediaan farmasi,
alkes dan bahan medis habis pakai dengan cara menempatkan dan
menyimpan barang yang diterima pada tempat yang aman dari pencurian
serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu dan stabilitas obat (Permenkes,
2016).
Tujuan dari penyimpanan sediaan farmasi yaitu untuk memelihara mutu
dari sediaan dan menghindari dari penggunaan yang tidak bertanggung jawab,
menghindari terjadinya kehilangan dan pecurian, serta memudahkan
pencarian dan pengawasan dari sediaan farmasi tersebut (Kemkes RI, 2019).
Aspek umum yang harus diperhatikan dalam kegiatan penyimpanan yaitu
(Kemkes RI, 2019):
a. Area penyimpanan obat pada gudang dan satelit farmasi tidak boleh
dimasuki selain oleh petugas farmasi yang berikan kewenangan.
b. Area peyimpanan obat pada ruang perawatan tidak boleh dimasuki oleh
petugas lain selain petugas farmasi yang diberi kewenangan.
c. Sediaan farmasi, bahan medis habis pakai dan alat kesehatan harus
dilindungi dari kejadian kehilangan dan pencurian di lingkungan rumah
sakit, maka dar itu perlu dilakukan pemasangan CCTV, penggunaan
kartu stok, dan akses terbatas untuk instalasi farmasi
d. Obat dan bahan kimia yang digunakan dalam menyiapkan obat diberikan
label yang jelas dan dapat di baca yang berisi nama, tanggal pertama
kemasan dibuka, tanggal kadaluarsa dan peringatan khusus
e. Obat yang dikeluarkan dari wadah aslinya seperti seidaan injeksi yang
telah di masukkan kedalam syringe haris diberikan label atau etiket yang
memuat nama pasien dan identitas lain seperti nomor rekam medik dan
atau tanggal lahir, tanggal di buka dan tanggal kadaluwarsa setelah
dibuka.
f. Obat dan bahan kimia yang didistribusikan dengan pengemasan ulang
maka harus diberikan etiket yang berisi nama, konsentrasi atau kekuatan,
tanggal pengemasan dan beyond use date (BUD).
g. Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat dan diberi penandaan
untuk menghindari kesalahan pengambilan jenis gas medis, dan untuk
tabung gas yang telah kosong maka disimpan secara terpisah dari tabung
gas medis yang masih memiliki isi atau yang belum di pakai. Penyimpan
gas medis di ruangan harus menggunakan tutup demi keselamatan.
Metode yang digunakan dalam penyimpanan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai yaitu disusun secara alfabetis
dengan metode penyusunan secara kelas terapi, bentuk sediaan, dan jenis
sediaan. Adapun prinsip yang dapat digunakan dalam penyimpanan
sediaan farmasi, alkes dan bahan medis habis pakai yaitu First Expired
First Out (FEFO) yaitu barang yang memiliki waktu expire date yang
lebih dekat maka akan disimpan pada bagian depan lemari penyimpanan
agar nantinya barang tersebut yang lebih awal digunakan. Prinsip yang
kedua yaitu First In First Out (FIFO) yaitu barang yang pertama masuk
maka barang tersebut yang pertama di keluarkan. Kedua prinsip
penyimpanan ini bertujuan agar barang yang memiliki expire yang
pendek atau mendekati expire lebih dahulu di keluarkan agar
meminimalkan barang yang tak digunakan karna telah mengalami
kadeluwarsa (Kemkes RI, 2019).
Penyimpanan obat LASA (Look Alike Sound Alike) atau NORUM
(nama pbat rupa ucapan mirip) dilakukan dengan meletakkan obat tidak
saling berdekatan dan diberi pelabelan khusus sehingga memudahkan
petugas dalam membedakan dan meningkatkan kewaspadaan bagia
petugas terhadap obat tersebut (Kemkes RI, 2019).
Contoh untuk obat LASA yaitu obat dengan kekuatan yang
berbeda namun dengan zat aktif yang sama. Maka untuk sediaan tersebut
disimpan tidak berdampingan dengan bentuk sediaan yang sama dan
sebaiknya diberikan perantara antar obat yang sama dan diberikan label
“LASA”. Berikut contohnya (Kemkes RI, 2019).
Obat LASA yang memiliki nama obat atau ejaan yang mirip maka
disarankan dalam penulisannya dilakukan dengan menggunakan Tall Man
Lettering (Kemkes RI, 2019). Sebagain contoh di bawah ini, sefEPIm dan
sefPIROm
Gambar 7. Contoh obat LASA dengan kandungan
zat aktif yang berbeda
Obat Hight Alert adalah obat yang harus diwaspadai karna akan
menyebabkan dampak serius pada keselamatan pasien jika terjadi kesalahan
pemberian dan penggunaan. Obat-obatan yang termasuk dlaam kategori High
alert yaitu elektrolit konsentrat sepeerti kalium klorida dengan konsentrasi 2
mEq/mL, kalium fosfatm, natrium klorida dengan konsentrasi lebih dari 0,9%
dan magnesium sulfat injeksi dengan konsentrasi 50% atau lebih. Maka obat-
obat tersebut diberikan penandaan “High Alert” dan disimpan terpisah. Untuk
obat sitostatika penandaan dapat diberikan tanda atau label standar
internasional dan tidak perlu label “high alert” lagi. Berikut contoh obat high
alert dan penandaan sitostatika (Kemkes RI, 2019).
Kondoy, E.A., Posumah, J.H. and Londa, V.Y., 2017. Peran Tenaga Medis Dalam
Pelaksanaan Program Universal Coverage Di Puskesmas Bahu Kota
Manado. JURNAL ADMINISTRASI PUBLIK, 3(046).
LAMPIRAN
2019).
Keluhan Utama :
Tanggal ( ), jam ( )
Keluhan
Riwayat Keluarga :
Riwayat Sosial :