Anda di halaman 1dari 117

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

BIDANG FARMASI RUMAH SAKIT


ANGKATAN IX
Tanggal 25 januari 2021 sampai 21 februari 2021

Disusun oleh :

RINDAYANI
15120200017

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI UMI
MAKASSAR
2021
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
BIDANG FARMASI RUMAH SAKIT
ANGKATAN IX
Tanggal 25 januari 2021 sampai 21 februari 2021

Disusun oleh :

RINDAYANI
15120200017

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI UMI
MAKASSAR
2021
LEMBAR PENGESAHAN
PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
BIDANG FARMASI RUMAH SAKIT
ANGKATAN IX
Tanggal 25 januari 2021 sampai 21 februari 2021

Disetujui oleh :
Pembimbing,

(apt. Andi Maulana K., S.Farm., M.Clin.Pharm.)

Mengetahui,
Ketua Program Studi Profesi Apoteker Penanggung jawab PKPA
Bidang Rumah Sakit

(apt. Hendra Herman., S.Farm., M.Sc) (apt. Hendra Herman., S.Farm., M.Sc)
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Alhamdulillahi rabbil alamin, puji syukur kharidat Allah subhanahu wa
ta’ala atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Rumah Sakit. Laporan
PKPA ini disusun sebagai salah satu syarat penyelesaian Program Studi Profesi
Apoteker pada Fakultas Farmasi Universitas Muslim Indonesia. Laporan ini
dibuat berdasarkan hasil pembelajaran dan informasi yang diperoleh selama
kegiatan PKPA berlangsung.
Penyusunan laporan ini tidak lepas dari adanya bimbingan dan saran dari
segala pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Bapak Apt. Rachmat Kosman, M.Kes. selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Muslim Indonesai.
2. Bapak Apt. Hendra Herman, S.Farm., M.Sc. selaku Ketua Program Studi
Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Muslim Indonesia.
3. Bapak Apt. Hendra Herman, S.Farm., M.Sc. selaku Penanggung Jawab PKPA
Bidang Rumah Sakit Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Muslim Indonesia
4. Bapak Apt. Andi Maulana K, S.Farm., M.Clin.Pharm. selaku pembimbing
PKPA Rumah Sakit Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Muslim Indonesia.
5. Untuk orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan moril dan
materil saehingga pelaksanaan PKPA ini dapat berjalan dengan lancar.
6. Rekan-rekan mahasiswa Prakter Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Rumah Sakit
Fakultas Farmasi Unversitas Muslim Indonesia.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam terealisasikannya
laporan ini. Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan ini msih jauh dari
kesempurnaan, sehingga saran dan kritik yang bersifat membangun sangat
diharapkan. Semoga laporan ini bermanfaat bagi penulis dan semua pihak
khususnya dalam pengembangan ilmu kefarmasian.

Wabillahi taufik Walhidayah Wa Ridha’Walinayah


Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, Januari 2021

RINDAYANI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumah Sakit merupakan suatu institusi pelayan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dan
menyediakan pelayanan perawatan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Pelayanan kesehatan secara paripurna merupakan pelayanan kesehatan yang
meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatuf (UU No.44, 2009).
Pelayanan kesehatan salah satunya yaitu pelayanan kefarmasian yang
merupakan suatu pelayanan yang dilakukan secara langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan tujuan
untuk mencapai hasil yang pasti dan untuk meningkatkan mutu kehidupan
pasien (Permenkes 72, 2016).
Dalam melakukan pelayanan kefarmasian yang berperan penting yaitu
salah satunya adalah seorang apoteker khususnya yang bekkerja di Rumah
Sakit dituntut untuk merealisasikan perluasan paradigma pelayanan
kefarmasian dari orientasi produk menjadi orientasi pasien. Untuk itu
kompetensi apoteker perlu diitngkatkan secara terus menerus agar perubahan
paradigma tersebut dapat diimplementasikan. Apoteker harus dapat
memenuhi hak pasien agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan
termasuk tuntutan hukum. Dengan demikian, para apoteker Indonesia dapat
berkompetisi dan menjadi tuan rumah di negara sendiri (Permenkes 72,
2016).
Sehingga, untuk memahami secara baik fungsi dan peranan apoteker
sebagai salah satu tenaga kesehatan di Rumah Sakit dalam hal pemberian
pelayanan kefarmasian, pendidikan profesi apoteker fakultas farmasi
universitas muslim indonesia menyelenggarakan praktik kerja profesi
apoteker (PKPA) khususnya bidang farmasi Rumah Sakit. Dengan
pelaksanaan PKPA tersebut, maka diharapkan mahasiswa mampu mengelola
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta memiliki
keterampilan dan kemampuan dalam penerapan kegiatan farmasi klinik di
Rumah Sakit.
B. Tujuan PKPA
1. Adapun tujuan umum PKPA bidang farmasi rumah sakit yaitu :
a. Meningkatkan pemahaman calon Apoteker tentang peran, funhsi,
posisi dan tanggung jawab Apoteker dalam praktik kefarmasian.
b. Membekali calon Apotker agar memiliki wawasan, pengetahuan,
keterampilan, dan pengalaman praktis untuk melakukan pekrjaan
kefarmasian.
c. Memmberi gambaran nyata tentang permasalahan pekerjaan
kefarmasian serta mempelajari strategi dan kegiatan-kegiatan yang
dapat dilakukan dalam rangka pengembangan praktek kefarmasian.
d. Mempersiapkan calon Apoteker dalam memasuki dunia kerja sebagai
tenaga farmasi yang profesional.
2. Adapun tujuan khusus pembelajaran PKPA bidang farmasi Rumah Sakit
yaitu setelah melakukan kegiatan PKPA bidang rumah sakit, diharapkan :
a. Peserta PKPA memahami peran dan fungsi rumah sakit sesuai
undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit.
b. Peserta PKPA mampu melakukan pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan media habis pakai meliputi :
1. Pemilihan
2. Perencanaan kebutuhan
3. Pengadaan
4. Penerimaan
5. Penyimpanan
6. Pendistribusian
7. Pemusnahan dan penarikan
8. Pengendalian, dan
9. Administrasi
c. Peserta PKPA mampu menerapkan kegiatan pelayanan farmasi klinik
meliputi :
1. Pengkajian dan pelayanan resep
2. Penelusuran riwayat penggunaan obat
3. Rekonsuliasi obat
4. Pelayanan informasi obat (PIO)
5. Konseling
6. Visite
7. Pemantauan terapi obat (PTO)
8. Evaluasi penggunaan obat (EPO)
9. Dispensing sediaan steril
10. Pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD)
d. Peserta PKPA memahami proses dan manajemen sterilisasi pada
central sterile supply departement (CSSD).
e. Peserta memahami proses pembuatan formularium R.S
BAB II
TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT
A. Aspek Legalitas
1. Etik Profesi
Dalam menjalankan tugas dan kewajiban serta mengamalkan
keahliannya, seorang apoteker harus senantiasa mengharapkan bimbingan
dan keridhaan Tuhan Yang Maha Esa dan dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya harus selalu berpegang teguh kepada sumpah atau janji
Apoteker. Dalam upaya meningkatkan pengetahuan, maka seorang apoteker
harus selalu aktif mengikuti perkembangan dibidang kesehatan pada
umumnya dan khususnya pada bidang farmasi. Aktivitas seorang apoteker
dalam menguikuti perkembangan dibidang kesehatan, diukur dari nilai SKP
yang diperoleh dari hasil ujian kompetensi (IAI, 2009).
Dalam menjalankan tugas seorang apoteker harus menjauhkan diri dari
usaha mencari keuntungan semata yang bertentangan dengan martabat dan
tradisi luhur jabatan farmasi. Sebagai seorang yang memiliki sikap
profesional seorang apoteker harus menghindari perbuatan yang merusak
ataupun merugikan orang lain dan dalam menjalankan tugasnya dapat
memperoleh imbalan dari pasien dan masyarakat atas jasa yang diberikan
namun, harus tetap memegang teguh kepada prinsip mendahulukan
kepentikan pasien (IAI, 2009).
Kepedulian terhadap pasien merupakan hal yang paling utama dilakukan
oleh seorang apoteker. Seorang apoteker harus mampu mendorong paseien
untu terlibat dalam pengambilan keputusan terkait pengobatan mereka dan
mampu mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjaga kesehatan
pasien khususnya bayi, anak-anak, serta orang yang dalam kondisi lemah.
Dalam mengupayakan hal tersebut maka, seorang apoteker harus yakin
bahwa obat yang diserahkan kepada pasien adalah obat yang terjamin mutu,
keamanan, khasiat dan cara penggunaan yang tepat. Seorang apoteker harus
menghormati keputusan profesi yang telah ditetapkan oleh dokter dan
bentuk penulisan resep dan sebagainya (IAI,2009).
Seorang apoteker harus menghargai dan memperlakukan teman
sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. Bila seorang
apoteker dihadapkan pada situasi yang problematik, baik secara moral atau
peraturan perundang undangan yang berlaku antar sejawat maka harus
dilakukan komunikassi dengan baik dan santun. Jika seorang apoteker
mendapatkan teman sejawatnya melanggar kode etik, maka sebaiknya
apoteker tersebut melakukan komunikasi yang santun untuk mengingatkan
kekliruan tersebut. Bila yang bersangkutan sulit untuk menerima maka dia
dapat menyampaikan kepada pengurus cabang dan atau MPEAD secara
berjenjang (IAI,2009).
Apabila seorang apoteker melakukan pelanggaran kode etik apoteker,
maka yang bersangkutan akan dikenakan sanksi organisasi. Sanksi dapat
berupa pembinaan, pencabutan sementara keanggotaan ataupun pencabutan
keanggotaan tetap. Kriteria pelanggaran kode etik telah diatur dalam
peraturan organisasi dan ditetapkan setelah melalui kajian yang mendalam
dari MPEAD (IAI, 2009).
2. Peraturan Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan yang mendasari suatu kegiatan
pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit yaitu Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 72 tahun 2016 tentang standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Sakit. Selain itu, ada juga undang-undang yang melandasi peraturan dan
ketentuan yang ada di Rumah Sakit, yaitu :
a. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2016 Tentang Tenaga Kesehatan
b. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2012 Tentang Pengadaan
Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3781)
c. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 Tenatang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
d. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang
Dan Jasa
e. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2014 Tentang pengadaan
Obat berdasarkan E-Catlog Eletronik (E-Catalogue)
f. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Peredaran,
Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan Narkotik, Psikotropik dan
Prekursor Farmasi.
B. Pengelolaan Rumah Sakit
1. Manajemen pendukung
a. Struktur organisasi
Rumah Sakit merupakan suatu institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna
yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat,
dimana tugas Rumah sakit Umum yaitu melaksanakan upaya kesehatan
secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya
penyembuhan dan pemulihan yang dilaksakan secara serasi dan terpadu
dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya
rujukan (UU RI No.4, 2009 dan Kemenkes RI No.983, 1992).
Untuk mencapai hal tersebut, RSU memiliki 7 (tujuh) fungsi yaitu
sebagai berikut (Kemenkes RI Nomor 983/MENKES/SK/XI/1992) :
1. Menyelenggarakan pelayanan medis
2. Menyelenggarakan pelayanan penunjang medis dan non medis
3. Menyelenggarakan pelayanan dan asuhan keperawatan
4. Menyelenggarakan pelayanan rujukan
5. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
6. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan, dan
7. Menyelenggarakan administrasi umum dan keuangan
Organisasi rumah sakit disesuaikan dengan besarnya kegiatan dan
beban kerja rumah sakit dan struktur organisasi rumah sakit harus
membagi habis seluruh tugas dan fungsi rumah sakit (PP RI Nomor 77,
2015). Adapun bagian unsur yang menjadi pembeda tiap struktur
organisasi rumah sakit yaitu meliputi (PP RI Nomor 77, 2015) :
a) Kepala rumah sakit atau direktur rumah sakit
b) Unsur pelayanan medis
c) Unsur keperawatan
d) Unsur penunjang medis
e) Unsur administrasi umum dan keuangan
f) Komite medis; dan
g) Satuan pemeriksaan internal
Berikut rincian penjelasan struktur organisasi rumah sakit (PP RI No.77,
2015) :
1. Kepala rumah sakit atau direktur rumah sakit
Kepala rumah sakit atau direktur rumah sakit dapat
menyelennggarakan fungsi:
a) Koordinasi pelaksanaan tugas dan fungsi unsur organisasi
b) Penetapan kebijakan penyelenggaraan rumah sakit sesuai dengan
kewenangannya
c) Penyelenggaraan tugas dan fungsi rumah sakit
d) Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian pelaksanaan tugas
dan fungsu unsur organisasi
e) Evaluasi, pencatatan dan pelaporan.
2. Unsur pelayanan medis
Unsur ini merupakan unsur organisasi di bidang pelayanan medis
yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada kepala rumah
sakit atau direktur rumah sakit. Unsur pelayanan medis dipimpin oleh
direktur, wakil direktur, kepala bidang, atau manajer. Unsur
pelayanan medis menyelenggarakan fungsi :
a) Penyusunan rencana pemberian pelayanan medis
b) Koordinasi dan pelaksanaan pelayanan medis
c) Pelaksanaan kendali mutu, kendali biaya, dan keselamatan pasien
di bidang pelayanan medis, dan
d) Pemantauan serta evaluasi pelayanan medis.
Unsur pelayanan medis ini meliputi pelayanan rawat jalan, rawat inap
dan gawat darurat
3. Unsur keperawatan
Unsur keperawatan merupakan unsur organisasi di bidang pelayanan
keperawatan yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada
kepala rymah sakit atau direktur rumah sakit. Adapun tugasnya yaitu:
a) Penyusunan rencana pemberian pelayanan keperawatan
b) Koordinasi dan pelaksanaan pelayanan keperawatan
c) Pelaksanaan kendali mutu, kendali biaya, dan keselamatan pasien
di bidang keperawatan; dan
d) Pemantauan serta evaluasi pelayanan keperawatan
4. Unsur penunjang medis
Unsur penunjang medis merupakan unsur organisasi dibidang
pelayanan penunjang medis yang berada dibawah dan bertanggung
jawab kepada kepala Rumah Sakit atau direktur Rumah Sakit. Unsur
penunjang medis menyelenggarakan fungsi :
a) Penyusunan rencana pemberian pelyanan penunjang medis
b) Koordinasi dan pelaksanaan pelayanan penunjang medis
c) Pelaksanaan kendali mutu, kendali biaya, dan keselamatan pasien
dibidang pelayanan penunjang medis
d) Pengelolaan rekam medis; dan
e) Pemantauan dan evaluasi pelayanan penunjang medis
5. Unsur administrasi umum dan keuangan
Unsur administrasi umum dan keuangan merupakan unsur organisasi
yang berada dibawah dan tanggungjawab kepada kepala rumah sakit
atau direktur rumah sakit. Bertugas dalam perencanaan anggaran,
perbendaharaan, dan mobilisasi dana, dan akuntansi. Unsur
administrasi umum dan keuangan menyelenggarakan fungsi
pengelolaan :
a) Ketatausahaan
b) Kerumahtanggaan
c) Pelayanan hukum dan kemitraan
d) Pemasaran
e) Kehumasan
f) Pencatatan pelaporan dan evaluasi
g) Penelitian dan pengembangan
h) Sumber daya manusia; dan
i) Pendidikan serta penelitian
6. Komedis Medis
Komite medis merupakan unsur organisasi yang mempunyai
tanggung jawab untuk menerapkan tata kelola klinis yang baik (good
clinical govermance). Komite medis bertugas meningkatkan
profesionalisme staf medis yang bekerja dirumah sakit dengan cara :
a) Melakukan kredensial bagi seluruh staf medis yang akan
melakukan pelayanan medis dirumah sakit.
b) Memelihara mutu profesi staf medis; dan
c) Menjaga disiplin, etika, dan perilaku profesi staf medis.
7. Satuan pemeriksaan internal
Satuan pemeriksaan internal merupakan unsur organisasi yang
bertugas melaksanakan pemeriksaan audit kinerja internal rumah
sakit. Berada dibawah dan tanggung jawab kepada kepala Rumah
Sakit atau direktur Rumah Sakit.
a) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan manajemen risiko di unit
kerja rumah sakit
b) Penilaian terhadap sistem pengendalian, pengelolaan, dan
pemantauan efektivitas dan efisiensi sistem dan prosedur dalam
bidang administrasi pelayanan, serta administrasi umum dan
keuangan.
c) Pelaksanaan tugas khusus dalam lingkup pengawasan intern yang
ditugaskan oleh kepala rumah sakit atau direktur rumah sakit;
d) Pemantauan pelaksanaan dan ketepatan pelaksanaan tindak lanjut
atas laporan hasil audit; dan
e) Pemberian konsultasi, advokasi, pembimbingan, dan
pendampingan dalam pelaksanaan kegiatan operasional rumah
sakit.
Klasifikasi Rumah Sakit
Rumah Sakit diklasifikasikan menjadi rumah sakit yang
didirikan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan swasta
(Permenkes No.3, 2020). Klasifikasi rumah sakit berdasarkan bentuk dan
jenis pelayanan (Permenkes No.3, 2020) :
1. Berdasarkan bentuk, rumah sakit dibedakan menjadi :
a) Rumah Sakit Statis
Rumah sakit yang didirikan disuatu lokasi dan bersifat permanen
untuk jangka waktu yang lama dalam menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan
kegawatdaruratan.
b) Rumah Sakit Bergerak
Merupakan rumah sakit yang siap guna dan bersifat sementara
dalam jangka waktu tertentu dan dapat dipindahkan dari satu
lokasi kelokasi lain. Dapat berbentuk bus, pesawat, kapal laut,
karavan, gerbong kereta api, atau kontainer.
c) Rumah sakit lapangan
Merupakan rumah sakit yang didirikan dilokasi tertentu dan
bersifat sementara selama kondisi darurat dan masa tanggap
darurat bencana, atau selama pelaksanaan kegiatan tertentu.
2. Berdasarkan jenis pelayanan, rumah sakit dibedakan menjadi
(Permenkes No.3, 2020) :
a) Rumah Sakit Umum
Merupakan rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan
pada semua bidang dan jenis penyakit. Rumah sakit umum
diklasifikasikan menjadi :
- Rumah sakit umum kelas A merupakan rumah sakit umum
yang memiliki jumlah tempat tidur minimal 250 buah
- Rumah sakit umum kelas B merupajan rumah sakit umum
yang memiliki jumlah tempat tidur minimal 200 buah
- Rumah sakit umum kelas C merupakan rumah sakit umum
yang memiliki jumlah tempat tidur minimal 100 buah
- Rumah sakit umum kelas D merupakan rumah sakit umum
yang memiliki jumlah tempat tidur minimal 50 buah
b) Rumah Sakit Khusus
Merupakan rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada
satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin
ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan
lainnya. Rumah sakit khusus diklasifikasikan menjadi :
- Rumah sakit khsus kelas A merupakan rumah sakit khusus
yang memiliki tempat tidur minimal 100 (seratus) buah
- Rumah sakit khsus kelas B merupakan rumah sakit khusus
yang memiliki tempat tidur minimal 75 (seratus) buah
- Rumah sakit khsus kelas C merupakan rumah sakit khusus
yang memiliki tempat tidur minimal 50 (seratus) buah
Klasifikasi rumah sakit berdasarkan tugas, fungsi, kemampuan
pelayanan kesehatan dan kapasitas sumber daya organisasi dalam
beberapa kelas (Permenkes No.1045, 20106) :
a) Rumah Sakit Umum
 Rumah sakit umum kelas A
 Rumah sakit umum B pemdidikan
 Rumah sakit umum B Non-pendidikan
 Rumah sakit umum kelas C
 Rumah sakit umum kelas D
Berdasarkan fungsinya RSU kelas A dan RSU kelas B pendidikan
menyelenggarakan dan atau digunakan untuk pelayanan, pendidikan
dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi
kedokteran dan pendidikan kedokteran berkelanjutan.
b) Rumah Sakit Khusus
 Rumah Sakit Khusus Kelas A
 Rumah Sakit Khusus Kelas B
 Rumah Sakit Khusus Kelas C
Berdasarkan fungsinya RSK kelas A menyelenggarakan dan atau
digunakan untuk pelayanan, pendidikan dan penelitian secara
terpadu dalam bidang pendidikan profesi kedokteran dan pendidikan
kedokteran berkelanjutan.
Klasifikasi Rumah Sakit berdasarkan susunan organisasi meliputi
(Permenkes No.1045, 2006) :
1) Untuk RS umum kelas A, susunan organisasinya yaitu :
a) RSU kelas A dipimpin oleh seorang kepala disebut direktur utama
b) Direktur utama membawahi paling banyak 4 (empat) direktorat
c) Masing-masing direktorat terdiri dari paling banyaj 3 (tiga)
bidang atau 3 (tiga) bagian
d) Masing-masing bidang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) seksi
e) Masing-masing bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) sub
bagian
2) Untuk RSU kelas B pendidikan susunan organisasinya terdiri dari :
a) RSU kelas B pendidikan dipimpin oleh seorang kepala disebut
direktur utama
b) Direktur utama membawahi paling banyak 3 (tiga) direktorat
c) Masing-masing direktorat terdiri dari paling banyak 3 (tiga)
bidang atau 3 (tiga) bagian.
d) Masing-masing bidang terdiri dari paling banyak 3 (tigas) seksi.
3) Untuk RSU kelas B Non-pendidikan susunan organisasinya terdiri
dari :
a) RSU kelas B non pendidikan dipimpin oleh seorang kepala
disebut direktur utama
b) Direktur membawahi paling banyak 2 (dua) direktorat
c) Masing-masing direktorat terdiri dari paling banyak 3 (tiga)
bidang atau 3 (tiga) bagian
d) Masing-masing bidang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) seksi
e) Masing-masing bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) sub
bagian.
4) Untuk RSU kelas C susunan organisasinya terdiri dari :
a) RSU kelas C dipimpin oleh seorang kepala disebut direktur
b) Direktur membawahi paling bnayk 2 (dua) bidang dan 1 (satu)
bagian
c) Masing-masing bidang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) seksi
d) Masing-masing bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) sub
bagian
5) Untuk RSU kelas D susunan organisasinya terdiri dari :
a) RSU kelas D dipimpin oleh seorang kepala disebut direktur
b) Direktur membawahi 2 (dua) seksi dan 3 (tiga) sub bagian.
6) Untuk RSK kelas A susunan organisasinya terdiri dari :
a) RSK kelas A dipimpin oelh seorang kepala disebut direktur utama
b) Direktur utama membawahi paling banyak 4 (empat) direktorat
c) Masing-masing direktorat terdiri dari paling banyak 3 (tiga)
bidang atau 3 (tiga) bagian
d) Masing-masing bidang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) seksi
e) Masing-masing bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) sub
bagian.
7) Untuk RSK kelas B susunan organisasinya terdiri dari :
a) RSK kelas B dipimpin oleh seorang kepala disebut direktur utama
b) Direktur utama membawahi paling banyak 2 (dua) direktorat
c) Masing-masing direktorat terdiri dari paling banyak 2 (dua)
bidang atau 2 (dua) bagian
d) Masing-masing bidang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) seksi
e) Masing-masing bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) sub
bagian.
8) Untuk RSK kelas C susunan organisasinya terdiri dari :
a) RSK kelas C dipimpin oleh seorang kepala disebut direktur
b) Direktur membawahi 2 (dua) seksi dan 3 (tiga) sub bagian
b. sumber daya manusia Pelayanan Kefarmasian
instalasi farmasi harus memiliki Apotekre dan tenaga teknis
kefarmasian yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang
lainnya agar tercapainya sasaran dan tujuan isntalasi farmasi. Uraian
tugas tertulis dari masing-masing satf instalasi farmasi harus ada dan
sebaiknya dilakukan peninjauan kembali paling sedikit setiap tiga tahun
sesuai kebijakan dan prosedur di instalasi farmasi (Permenkes 72, 2016).
1) Kualifikasi sumber daya manusia (SDM) berdasrkan pekerjaan yang
dilakukan yaitu sebagai berikut (Permenkes 72, 2016) :
a) Untuk pekerjaan kefarmasian terdiri dari :
a. Apoteker
b. Tenaga Teknis Kefarmasian
b) Untuk pekerjaan penunjang terdiri dari :
a. Operatir komputer/teknisi yang memahami kefarmasian
b. Tenaga administrasi
c. Pekarya/pembantu pelaksana
Agar tercapainya mutu pelayanan yang baik dan aman, makan
dalam penentuan kebutuhan tenaga kerja maka harus mempertimbangkan
kompetensi yang disesuaikan dengan jenis pelayanan, tugas, fungsi,
wewenang dan tanggung jawab (Permenkes 72, 2016).
2) Persyaratan SDM
a) Pelayanan kefarmasian harus dilakukan oleh seorang Apoteker dan
dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian.
b) Apoteker dan tenga teknis kefarmasian harus sesuai dengan
persyaratan administrasi yang berlaku seperti yang telah ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan
c) Instalasi farmasi rumah sakit harus dipakai oleh seorang apoteker
yang merupakan apoteker penanggung jawab selurug pelayanan
kefarmasian di Rumah Sakit dan diutamakan memiliki pengalaman
bekerja diinstalasi Farmasi rumah sakit minimal selama 3 (tiga)
bulan.
3) Beban kerja dan kebutuhan
a) Beban kerja
Terkait dengan beban kerja, terdapat faktor-faktor yang
berpengaruh pada kegiatan yang dilakukan, yaitu (Permenkes 72,
2016) :
(1) Terkait dengan kapasitas tempat tidur dan Bed Occupancy Rate
(BOR)
(2) Jumlah dan jenis kegiatan farmasi yang dilakukan antara lain
kegiatan manajemen, klinik dan produksi
(3) Banyaknya jumlah resep ataupun formulir permintaan obat
(floor stock) per harinya
(4) Jumlah sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai.
b) Penghitungan beban kerja
Perhitungan kebutuhan apoteker berdasarkan beban kerja
pada pelayanan kefarmasian dirawat inap idealnya dibutuhkan
tenanga apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 30 pasien dengan
kegiatan yang dilakukan meliputi pelayanan farmasi manajerial dan
pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas pengkajian resep,
penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat,
pemantauan terapi obat (PTO), pemberian informasi obat (PIO),
konseling, edukasi dan visite. Sedangkan untuk dirawat jalan
idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan rasio 1 Apoteker
untuk 50 pasien dnegan kegiatan meliputi pelayanan farmasi
manajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas
pengkajian terhadap resep, proses penyerahan sediaan farmasi,
pencatatan penggunaan obat (PPP) dan kegiatan konseling. Selain
kebutuhan Apoteker untuk pelayanan kefarmasian rawat inap dan
rawat jalan, dibutuhkan pula tenanga apoteker untuk pelayanan
farmasi yang lain seperti di unit logistik medik/distribusi, unit
produksi steril/aseptic dispensing, unit pelayanan informasi obat
dan lain0lain tergantung dari jenis aktivitas dan tingkat cakupan
pelayanan yang dilakukan oleh instalasi farmasi tersebut
(Permenkes 72, 2016).
Selain dar yang diatas, diperlukan juga masing-masing 1
(satu) orang apoteker untuk kegiatan pelayanan kefarmasian di
ruang tertentu, yaitu (Permenkes 72, 2016) :
1. Unit Gawat Darurat
2. intensive Care Unit (ICU) atau Intensive Cardiac Care Unit
(ICCU) atau Neonatus Intensive Care Unit (NICU) atau Pediatric
Intensive Care Unit (PICU)
c) Pengembangan staf dan program pendidikan
Setiap staf di Rumah sakit harus diberikan kesempatan
untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya.
Dimana peran Kepala Instalasi Farmasi dalam pengembangan staf
dan program pendidikan meliputi :
(1) Menyusun program orientasi staf baru, pendidikan dan
pelatihan berdasarkan kebutuhan pengembangan kompetensi
SDM
(2) Menentukan dan mengirim staf sesuai dengan keahlian dan
spesifikasi pekerjaan (tugas dan tanggung jawabnya) bertujuan
untuk meningkatkan kompetensi yang diperlukan
(3) Menentukan staf sebagai narasumber/pelatih/fasilitator sesuai
dengan kompetensinya
d) Penelitian dan pengembangan
Apoteker harus didorong untuk melakukan penelitian
mandiri atau berkontribusi dalam tim penelitian untuk
mengembangkan praktik pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit.
Dimana instalasi farmasi harus melakukan pengembangan
pelayanan kefarmasian sesuai dengan perkembangan kefarmasian
terkini seperti seorang apoteker ikut berperan dalam uji klinik obat
yang dilakukan di Rumah Sakit dengan mengelola obat-obat yang
diteliti sampai saat dipergunakan oleh subyek penelitian dan
mencatat reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD) yang tejadi
selama kegiatan penelitian tersebut (Permenkes 72, 2016).
2. Pengelolaan obat, perbekalan farmasi, dan barang lain.
a. Pemilihan (selection).
Pemilihan merupakan suatu kegiatan yang digunakan untuk
menetapkan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai sesuai dengan kebuuthan (Kemenkes RI, 2009). Pemilihan sediaan
farmasi, bahan medis habis pakai dan alat kesehatan dilakukan
berdasarkan (Permenkes 72, 2016) :
1. Formularium dan standar pengobatan atau pedoman diagnosa dan
terapi
2. Pola penyakit
3. Efektivitas dan keamanan
4. Pengobatan berbasis bukti
5. Mutu harga, dan
6. Ketersediaan dipasaran
b. Panitia/Komite Farmasi dan Terapi dan Formularium RS
Komita/tim farnasi dan terapi merupakan suatu unit kerja dalam
memberikan rekomendasi kepada pimpinan rumah sakit mengenai
kebijakan penggunaan obat (Permenkes 72, 2016). Tugas dari komite/tim
farmasi dan terapi meliputi, sebagai berikut (Permenkes 72, 2016) :
1. Mengembangkan kebijakan tentang penggunaan obat di rumah sakit.
2. Melakukan seleksi dan evaluasi obat yang akan masuk dalam
formularium rumah sakit
3. Mengembangkan standar terapi
4. Mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan obat
5. Melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan obat yang
rasional
6. Mengkoordinir penatalaksanaan reaksi obat yang tidak diinginkan
7. Mengkoordinir penatalaksanaan medication eror
8. Menyebarluaskna informasi terkait kebijakan penggunaan obat di
Rumah Sakit.
Adapun tujuan dari adanya Komite/tim farmasi dan terapi
yaitu sebagai berikut (permenkes 72, 2016) :
a. Menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat,
penggunaan obat serta mengevaluasinya
b. Menerbitkan standart
c. Melengkapi kebutuhan staf profesional dengn pengetahuan terbaru
yang berhubungan dengan obaat dan penggunaan obat sesuai
kebutuhan.
Formularium Rumah Sakit adalah suatu dokumen yang berisi
kumpulan produk obat yang dipilih PFT disertai dengan informasi
tambahan penting tentang penggunaan obat tersebut, serta kebijakan dan
prosedur berkaitan obat yang relevan untuk rumah sakit tersebut terus
menerus direvisi agar sealalu akomodatif. Formularium rumah skit
disusun oleh Tim Farmasi dn Terapi yang disepakati oleh staf medik
yang dimana formularin ini mengacu pada formularium nasional.
Formularium yang disusun ini nantinya akan dijadikan acuan untuk
smeua penulis resep atau instruksi pengobatan, penyediaan obat dan
pemberian obat di Rumah Sakit (Permenkes 72, 2016).
Dalam upaya meningkatkan kepatuhan terahadap penggunaan
formularium Rumah Sakit, amka rumah sakit memiliki kebijakan jika
diperlukan penambahan atau pengurangan obat dalam formularium.
Kebijakan tersebut dengan mempertimbangkan indikasi, penggunaan,
efektivitas resiko dan biaya. Jika terdapat obat yang ingin dimasukkan
kedalam formularium maka obat tersebut terlebih dahulu akan melalui
proses atau mekanisme untuk monitoring penggunaan obat serta bila
timbul efek samping dan kejadian yang tidak diinginkan (KTD).
Fromularium rumah sakit dikaji sekurang-kurangnya setahun sekali
berdasarkan informasi keamanan dan efektivitas (Permenkes 72, 2016).
Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam proses penyusunan
formularium rumah sakit yaitu sebagai berikut (Kemenkes RI, 2019) :
a. Membuat rekapitulasi atau pengajuan untuk usulan obat dari masing-
masing staf medik fungsional berdasarkan standar terapi atau standar
pelayanan medik.
b. Komite atau tim farmasi membuat rekapitulasi usulan obat dari
seorang pengusul dan dikelompokkan berdasrkan kelas terapi.
c. Membahas usulan yang masuk bersama dengan kelompok staf medik
pengusul, dan jika diperlukan maka dapat meminta masukan dari
pakar
d. Menetapkan obat yang masuk formularium untuk diajukan
pengesahan kepada direktur rumah sakit
e. Direktur rumah sakit mengesahkan pemberlakuan formularium
rumah sakit.
Dalam upaya mendorong penggunaan obat yang rasional
dalam menggunakan formularium maka dilakukan beberapa kebijakan
yaitu sebagai berikut (Kemenkes RI, 2019) :
1) Restriksi atau batasan
Merupakan pembatasan terkait indikasi, kualifikasi penulisan resep,
jumlah maksimal obat yang dapat diresepkan dan durasi penggunaan
obat yang diresepkan.
2) Subtitusi
Merupakan penggantian obat oleh instalasi farmasi yang sebelumnya
telah diberikan kewenangan. Kewenangan tersebut, yaitu :
a. Subtitusi generik, yang merupakan penggantian obat yang ada
didalam resep oleh instalasi farmasi dengan sediaan lain yang
terdapat didalam formularium yang memiliki izin aktif yang
sama. Penggantian dilakukan dengan persetujuan dari dokter
penulis resep dan atau pasien.
b. Subtitusi terapeutik, yang merupakan penggantian sediaan lain
yang zat aktifnya berbeda namun masih dalam kelas terapi yang
sama. Subtitusi ini dapat dilakukan oleh instalasi farmasi dengan
adanya persetujaun terlebih dahulu oleh dokter. Ketika dilakukan
penggantian maka petugas farmasi akan menuliskan pada lembar
resep atau dalam sistem informasi farmasi yang meliputi : nama
obat pengganti, tanggal dan jam komunikasi, dan nama dokter
yang memberi persetujuan.
Apabila obat yang dibutuhkan tidak terdapat dalam
formularium rumah sakit, maka untuk kasus tertentu dapat digunakan
obat lain secara terbats sesuai dnegan kebijakan yang telah dibuat oleh
rumah sakit, yaitu untuk penggunaan obat diluar formularium rumah
sakit hanya dimungkinkan jika telah mendapat persetujuan dari kepala
atau direktur rumah skait; membuat pengajuan permohonan penggunaan
obat diluar formularium rumah sakit dengan mengisi fromular
permintaan obat, dan untuk pemberian obat diluar formularium rumah
sakit maka diberikan dalam jumlah terbatas dan sesuai dengan kebutuhan
psaien (Kemenkes RI, 2019).
Formularium Rumah Sakit disusun berdasarkan kebuthan
terapi berupa usulan dari penulis resep (KSMF/Departemen Medik).
Usulan tersebut nantinya akan dibahas dalam rapat tim farmasi dan terapi
dengan mempertimbangkan khasiat, kemanan, mutu dan biaya. Kriteria
obat yang dapat masuk kedalam formularium rumah sakit yaitu
(Kemenkes RI, 2019) :
a. Obat tersebut memiliki nomor izin edar (NIE) dari Badan POM
b. Diutamakan obat generik
c. Memiliki rasio manfaat-resiko (beneffit-risk ratio) yang paling
menguntungkan pasien
d. Penggunaan yang mudah sehingga dapat meningkatkan kepatuhan
dan penerimaan obat oleh pasien
e. Memiliki rasio manfaat-biaya (beneffit-cost ratio) yang tinggi
berdasarkan biaya langsung dan tidak langsung; dan
f. Terbukti efektif secara ilmiah (evidance based medicine), aman dan
banyak dibutuhkan untuk pelayanan dengan harga yang terjangkau.
Susunan organisasi atau kepanitiaan farmasi dan terapi (PFT)
dengan kegiatan yang dilakukan bagi tiap rumah skait dapat bervariasi
sesuai dengan kondisi rumah sakit setempat. Kemudian panitia farmasi
dan terapi harus terdiri dari kurang atau sama dengan 3 orang dokter,
apoteker dan perawat. Tetapi untuk rumah sakit besar tenaga dokter
boleh lebih dari 3 orang dan semua staf medis. Kemudian ketia PFT
dipilih dari dokter yang ada dalam kepanitiaan dan mempunyai ahli
farmakologi klinik dan sekertarisnya biasanya adalah ketua instalasi
farmasi rumah sakit atau apoteker yang ditunjuk atau dipilih langsung
oleh dokter kepanitiaan. Rapat yang dilakukan oleh panitia farmasi dan
terapi sekurang-kurangnya diadakan 2 kali dalam sebulan, sedangkan
untuk rumah sakit besar dilakukan rapat sekali dalam sebulan dengan
mengundang pakar yang bisa memberikan massukan dan saran untuk
pengelolaan panitian farmasi dan terapi.
Ada beberapa peranan penting oleh komita farmasi dan terapi
(KFT) dalam mendukung jaminan kesehatan nasional (JKN) yaitu
diantaranya; pada saat pelaksanaan pelayanan kesehatan, penggunaan
obat harus disesuaikan dengan standar penobatan sesuai dengan
ketentuan yang berlakau di dalam formularium nasional atau FORNAS.
Dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui
peningkatan efektivitas dan efisiensi pengobatan sehingga dapat
mencapai kerasionalan dalam pengobatan. Dimana formularium nasional
ini berfungsi agarr pasien mendapatkan pengobatan yang teapat,
berkhasiat, aman dan memiliki mutu yang terjangkau. Kemudian
apoteker yang bekerja dirumah sakit harus merealisasikan paradigma
pelayanan kesehatan dari orientassi produk ke orientasi pasien. Dimana
salah satu siklus dari pelayanan kefarmasian dirumah sakit yaitu adanya
proses pemilihan yang menetapkan jenis sediaan farmasi, maka dari itu
dalam proses pemilihan tesebut dibuat komite farmasi dan terapi (KFT)
(Permenkes 72, 2016 dan juknis, 2019).
Proses penyusunan formularium rumah sakit yaitu
(Permenkes 72, 2016 dan Juknis, 2019) :
a. Apoteker harus membuat rekapitulasi usulan obat dari masing-masing
staf medis fungsional (SMF) yang berdasarkan standar terapi atau
standar pelayanan medis
b. Apoteker mengelompookan usulan obat berdasrkan kelas terapinya
c. Apoteker kemudian membahas usulan tersebut dalam rapat komite
atau tim farmasi dan terapi. Dimana apoteker bisa meminta masukan
dari pakar apabila diperlukan.
d. Apoteker mengembalikan rancangan dari hasil pembahasan komite
atau tim farmasi dan terapi ke masing-masing SMF agar mendapat
umpan balik atau respon
e. Apoteker kemudian membahas respon atau umpan balik yang
didapatkan dari masing-masing SMF
f. Apoteker menetapkan daftar obat yang masuk kedalam formularium
rumah sakit
g. Menyusun kebijakan dan pedoman untuk dilakukan implementasi
h. Memberikan edukassi terkait formularium rumah skait kepada staf
dan melakukan monitoring.
Lampiran formularium, terdiri dari dormulir pengajuan
usulan obat untuk masuk dalam formularium (Lampiran 2), formulir
pengajuan penghapusan obat dari formularium (Lampiran 3), formulir
permintaan khusus obat diluar formularium (Lampiran 4) dan formulir
monitoring efek samping obat (Lampiran 5) (Juknis, 2019)
c. Procurement
1) Perencanaan
Perencanana merupakan suatu proses untuk menentukan
jumlah dan periode pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
bahan medis habis pakai yang sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan
untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, jumlah waktu dan
efisien. Perencanaan ini dilakukan dengan menggunakan metode yang
dapat dipertanggung jawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang
telah ditentukan, yaitu : konsumsi, epidemiologi, kombinasi konsumsi
dan epidemiologi yang disesuaikan dengan anggaran yang tersedia
(Permenkes 72, 2016). Adapun pendekatan perencanaan kebutuhan
dapat dilakukan dengan metode yang sebagai berikut (Kemenkes RI,
2019) :
a. Metode konsumsi
Metode ini didasari oleh data konsumsi yang sering dijadikan
perkiraan yang tepat dalam perencanaan sediaan farmasi. Metode
konsumsi ini dilakukan berdasarkan dari konsumsi periode
sebelumnya dengan penyesuaian yang dibutuhkan. Rumus
perhitungan yang dapat digunakan sebagai berikut :
A = (B + C + D) – E
Keterangan :
A = rencana kebutuhan, B = stok kerja (Pemakaian rata-rata x 12
bulan), C = Buffer stock (stol pengaman), D = Lead Time Stock
atau lamanya waktu antara pemesanan obat sampai dengan obat
diterima (Lead time x pemakaian rata-rata), dan E = Sisa stok.
b. Metode morbiditas
Metode ini merupakan metode perhitungan kebutuhan yang
didasari oleh pola penyakit. Metode ini digunakan untuk
memperkirakan keperluan obat-obatan tertentu berdasarkan dari
jumlah obat, kejadian penyakit um, dan pola standar pengobatan
yang digunakaan untuk penyakit tersebut. Metode ini umumnya
digunakan untuk program yang dinaikkan sekalanya (Scaling Up).
c. Metode proxy consumption
Metode ini digunakan untuk perencanaan pengadaan dirumah sakit
baru yang tidak memiliki data konsumsi pada tahun sebelumnya.
Metode ini dapat digunakan dirumah sakit yang sudah berdiri lama
apabila metode konsumsi dan atau morbiditas tidak dapat
dipercaya.
Untuk mengevaluasi suatu perencanaan dapat dilakukan
dengan teknik sebagai berikut :
1. Analisa ABC, untuk evaluasi dari segi aspek ekonomi
2. Pertimbangan atau kriteria VEN, untuk evaluasi aspek medik atau
terapinya
3. Kombinasi ABC dan VEN
4. Revisi rencana kebutuhan obat
Analisa ABC merupakan analisa yang menunjukkan
pengelompokkan obat berdasarkan kebutuhan atau penyerapan dana
dapat dilihat pada berikut (Juknis, 2019) :
a) Kelompok A
Merupakan kelompok jenis obat memiliki nilai pengadaan yang
menunjukkan penyerapan obat dana sekitar 70% dari jumlah dana
obat keseluruhan
b) Kelompok B
Merupakan kelompok jenis obat memiliki nilai pengadaan yang
menunjukkan penyerapan dana sekitar 20%
c) Kelompok C
Merupakan kelompok jenis obat memiliki nilai pengadaan yang
menunjukkan penyerapan dana sekitar 10% dari jumlah dana.
Analisa VEN merupakan pengelompokkan obat berdasarkan
manfaat tiap obat terhadap kesehatan. Pengelompokkan ini dibagi
menjadi 3 kelompok, yaitu (Kemenkes RI, 2019) :
a) Kelompok V (Vital)
Merupakan kelompok obat yang digunakan sebagai penyelamat
jiwa (Life saving).
b) Kelompok E (Essensial)
Merupakan kelompok obat untuk pelayanan kesehatan pokok atau
penyakit kronis
c) Kelompok N (Non Essensial)
Merupakan obat penunjang yang bekerjan ringan dan bisa
dipergunakan untuk menimbulkan kenyamanan atau mengatasi
keluhan yang ringan.
Analisis kombinasi merupakan analisis yang menggabungkan
antara metode ABC dan VEN yang digunakan untuk perencanaan
perbekalan farmasi. Dimana sediaan yang termasuk katergori A dari
analisis ABC adalah benar-benar jenis perbekalan farmasi yang
menyerap dana terbesar lalu disusul B dan C. Naumun, prioritas
sediaan dibedakan berdasarkan VEN sehingga dalam perencanaan
akan memudahkan untuk menentukan barang atau sediaan farmasi
yang harus diprioritaskan berdasarkan harga dan kebutuhan rumah
sakit (Juknis, 2019).

A B C

V VA VB VC

E EA EB EC

N NA NB NC

Tabel 1. Tabel analisis kombinasi ABC-VEN


2) Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan
perencanaan kebutuhan yang telah dibuat. Pengadaan yang efektif jika
terjaminnya ketersediaan, jumlah dan waktu yang tepat dengan harga
yang terjangkau dan sesuai dengan standar mutu (Kemenkes RI,
2019). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan sediaan
farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai antara lain
(Permenkes 72, 2016) :
a) Bahan baku obat harus disertai sertifikat analisa
b) Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet
(MSDS)
c) Sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai harus
mempunyai nomor izin edar
d) Expired date minimal 2 (dua) tahun kecuali untuk sediaan farmasi,
alat kesehatan dan bahan medis habis pakai tertentu (vaksin,
reagensia dan lain-lain).
Salah satu upaya rumah sakit dalam pencegahan kekosongan
stok obat maka dapat dilakukan beberapa upaya dalam pengadaan
yaitu melalui :
1. Pembelian
Pengadaan dapat dilakukan melalui pembelian dimana pembelian
itu sendiri dapat dilakukan dengan 4 metode, yaitu :
 Tender terbuka : berlaku untuk semua distributor yang
terdaftar dengan kriteria yang telah ditentukan dan dalam hal
penentuan harga, metode ini lebih menguntungkan
 Tender terbatas : cara ini sering disebut dengan lelang tertutup.
Hanya dilakukan pad distributor tertentu yang sudah terdaftar
dan memiliki riwayat yang baik
 Pembelian dengan tawar menawar, dilakukan bila item tidak
penting, tidak banyak dan biasanya dilakukan pendekatan
langsung untuk item tertentu
 Pembelian langsung, pembelian yang dilakukan dalam jumlah
kecil, perlu segera tersedia, harga tertentu dan relatif agak
mahal.
2. Produksi
Produksi sediaan farmasi merupakan suatu kegiatan pengadaan
yang mencakup kegiatan membuat, merubah bentuk, dan
pengemasan kembali sediaan farmasi steril dan atau non steril
untuk kebutuhan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, dapat
melalui hibah/sumbangan/dropping, kegiatan pengadaan ini
merupakan pengadaan sediaan farmasi dan BMHP dari
sumbangan yang mengikuti kaidah umum pengelolaan sediaan
farmasi dan BMHP reguler (Kemenkes RI, 2019).
d. Distribution inventory
1) Penerimaan
Penerimaan dan pemeriksaan merupakan salah satu bagian
dari kegiatan pengadaan agar obat yang diterima sesuai dengan jenis,
jumlah dan mutunya berdasarkan dokumen yang menyertainya
dilakukan oleh panitia penerimaan yang salah satu anggotanya adalah
tenaga farmasi. Pemeriksaan muutu obat dilakukan secara
organoleptik, khusus pemeriksaan label dan kemasan perlu dilakukan
pengecekan terhadap tanggal kedaluwarsa, dan nomor batch terhadap
obat yang diterima (Kemenkes RI, 2019).
Adapun hal-hal lain yang perlu dipehatikaan dalam
melakukan penerimaan yaitu (Kemenkes, 2019) :
a) Harus mempunyai material safety data sheet (MSDS), untuk bahan
berbahaya
b) Khusus untuk alat kesehatan harus mempunyai certificate of origin
c) Sertifikat analisa produk
Khusus vaksin dan enzim harus diperiksa cool box dan catatan
pemantauan suhu dalam perjalanan
2) Penyimpanan
Setelah barang diterima di instalasi farmasi, maka
selanjutnya perlu dilakukan penyimpanan sebelum dilakukan
pendistribusian. Penyimpnanan harus dapat menjamin kualitas dan
kemanan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
sesuai dengan persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian
yang dimaksud meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan,
sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis
sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
Komponen yang harus diperhatikan antara lain (Kemenkes RI,
2019) :
a) Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan
obat diberi labek yang secara jelas terbaca memuat nama, tanggal
pertama kemasan dibuka, tanggal kadaluwarsa dan peringatan
khusus.
b) Elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan diunit perawatan
kecuali untuk kebutuhan klinis yang penting.
c) Elektorlit konsentrasi tinggu yang disimpan pada unit perawatan
pasien dilengkapi dengan pengaman, harus diberi label yang jelas
dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted) untuk
mencegah penatalaksanaan yang kurang hati-hati
d) Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
yang dibawa oleh pasien harus disimpan secaraa khusus dan
dapat diidnetifikasi.
e) Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk
penyimpnan barang lainnya yang dapat menyebabkan
kontaminasi.
Metode penyimpanan dilakukan yaitu berdasarkan kelas
terapi, bentuk sediaan, dan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan dan
bahan medis habis pakai serta disusun secara alfabetis dengan
menerapkan prinsip First Expires First Out (FIFO) dan First In First
Out (FEFO) disertai sistem informasi manajemen. Penyimpanan
sediaan farnasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang
penampilan dan penamaan yang mirip (LASA atau Look Alike
Sound Alike) tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi
penandaan khusus untuk mencegah terjadinya kesalahan
pengambilan obat (Permenkes 72, 2016).
Rumah sakit harus menyediakan lokasi penyimpnan obat
emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan
harus mudah di akses dan terhindar dari penyalahgunaan dan
pencurian. Pengelolaan obat emergensi harus menjamin :
a) Jumlah dan jenis obaat sesuai dengan daftar obat emergensi yang
telah ditetapkan
b) Tidak boleh bercampur dengan persediaan obat untuk kebutuhan
lain
c) Bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti
d) Dicek secara berkala apakah ada yang kadaluwarsa.
e) Dilarang untuk dipinjam untuk kebutuhan lain
3) Pendistribusian
Pendistribusian merupakan suatu rangkaian kegiatan
untuk menyalurkan/menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habi spakai dari tempat penyimpnan sampai kepada unit
pelayanan/pasien dengan tetapi menjamin mutu, stabilitas, jenis,
jumlah dan ketepatan waktu, dengan tujuan menjamin ketersediaan
sediaan farmasi dan BMHP di unit-unit pelayanan secara tepat waktu,
tepat jenis dan jumlah. Rumah sakit harus menentukan sistem
distribusi yang dpat menjamin terletaksananya pengawasan dan
pengendalian sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai di unit pelayanan (Permenkes 72, 2016 dan Kemenkes, 2019.
Distribusi sediaan farmasi dan BMHP dapat dilakukan
dengan salah satu/kombinasi sistem dibawah ini (Kemenkes RI,
2019) :
a) Sistem distribusi sentralisasi yaitu distribusi yang dilakukan oleh
instalasi farmasi secara terpusat ke semua unit rawat inap di rumah
sakit secara keseluruhan.
b) Sistem distribusi desentralisasi yaitu distribusi dilakukan oleh
beberapa depo/satelit yang merupakan cabang pelayanan di rumah
sakit.
Beberapa metode penyiapan sediaan farmasi dan BMHP
untuk pasien, yaitu (Kemenkes RI, 2019) :
a. Persediaan di ruang rawat (floor stock)
Penyiapan obat berdasarkan sistem persediaan diruang
rawat (floor stock) adalah penyiapan obat yang dilakukan oleh
perawat berdasarkan resep/instruksi pengobatan yang ditulis oleh
dokter sediaan farmasi dan BMHP disimpan diruang rawat dengan
penanggungjawab perawat (Kemenkes RI, 2019). Keuntungan
persediaan lengkap diruang ini yaitu (Dirjen RI, 2010) :
1) Pelayanan lebih cepat
2) Menghindari pengembalian perbekalan farmasi yang tidak
terapakai ke IFRS
3) Mengurangi penyalinan order perbekalan farmasi.
Sedangkan kelemahan dari metode ini yaitu (Dirjen RI,
2010) :
1) Kesalahan perbekalan farmasi sangat meningkat karena order
perbekalan farmasi tidak dikaji oleh apoteker
2) Persediaan perbekalan farmasi diunit pelayanan meningkat,
dengan fasilitas ruangan yang sangat terbatas. Pengendalian
persediaan dan mutu, kurang diperhatikan oleh perawat
3) Kemungkinan hilangnya perbekalan farmasi tinggi
4) Penambahan modal investasi, untuk menyediakan fasilitas
penyimpanan perbekalan farmasi yang sesuia disetiap ruangan
perawatan pasien.
5) Diperlukan waktu tambahan lagi bagi perawat untuk menangani
perbekalan farmasi
6) Meningkatnya kerugian dan bahaya karena kerusakan
perbekalan farmasi.
b. Resep perorangan (Individu)
Penyiapan sediaan farmasi dan BMHP berdasarkan sistem
resep perorangan (Individu) adalah penyiapan sediaan farmasi dan
BMHP sesuai resep/instruksi pengobatan yang ditulis oleh dokter
baik secara manual maupun elektronik untuk tiap pasien dalam
satu periode pengobatan, contohnya dokter menuliskan resep
untuk 7 hari, maka instalasi farmasi menyiapkan obat yang
dikemas untuk kebutuhan 7 hari. Metode penyiapan secara resep
perorangan digunakan untuk pasien rawat jalan. Keuntungan dari
metode ini yaitu (Dirjen RI, 2010) :
1) Semua resep/order dikaji langsung oleh apoteker, yang
kemudian memberikan keterangan atau informasi kepada
pasien secara langsung
2) Memberikan kesempatan interaksi profesional antara apoteker,
dokter, perawat dan pasien
3) Memungkinkan pengendalian yang lebih dekat
4) Mempermudah penagihan biayaa perbekalan farmasi bagi
pasien.
Adapun kelemahan dari metode ini yaitu (Dirjen RI, 2010) :
1) Memerlukan waktu yang lebih lama
2) Pasien membayar obat yang kemungkinan tidak digunakan
c. Dosis Unit (Unit Dose Dispensing = UDD)
Penyiapan sediaan farmasi dan BMHP secara unit dose
adalah penyiapan sediaan farmasi dan BMHP yang dikemas dalam
datu kantong/wadah untuk satu kali penggunaan obat (dosis),
sehingga siap untuk diberikan ke pasien (ready to administer),
yang dapat disimpan dilemari obat pasien diruang rawat untuk
persediaan tidak lebih dari 24 jam (Kemenkes RI, 2010). Metode
ini memiliki keuntungan yaitu diantaranya (Dirjen RI, 2010) :
1) Pasien hanya membayar perbekalan farmasi yang
dikonsumsinya saja.
2) Semua dosis yang diperlukan pada unit perawatan telah
disiapkan oleh IFRS
3) Mengurangi kesalahan pemberian perbekalan farmasi
4) Memnghindari duplikasi order perbekalan farmasi yang
berlebihan
5) Meningkatkan pemberdayaan petugas profesional dan non
profesional yang lebih efisien
6) Mengurangi risiko kehilangan dan pemborosan perbekalan
farmasi
7) Memperluas cakupan dan pengendalian IFRS dirumah sakit
secara keseluruhan sejak dari dokter menulis resep/order
sampai pasien menerima dosis unit
8) Sistem komunikasi pengorderan dan distribusi perbekalan
farmasi bertambah baik
9) Apoteker dapat datang ke unit perawatan/ruang pasien, untuk
melakukan konsultasi perbekalan farmasi, membantu
memberikan masukan kepada tim, sebagai upaya yang
diperlukan untuk perawatan pasien yang lebih baik.
10) Peningkatan dan pengendalian serta pemantauan penggunaan
perbekalan farmasi menyeluruh
11) Memberikan peluang yang lebih besar untuk prosedur
komputerisasi.
Sedangkan kekurangan dengan sistem distribusi dosisi unit
ini yaitu (Dirjen RI, 2010 ) :
1) Meningkatnya kebutuhan tenanga farmasi
2) Meningkatnya biaya operasional
4) pemusnahan dan penarikan
Pemusnahan obat adalah suatu tindakan perusakan dan
pelenyapan terhadap obat, kemasan, dan atau label yang tidak
memenuhi standar dan atau persyaratan keamanan, khasiat, mutu, dan
label sehingga tidak dapat digunkaan lagi sedangkan penarikan obat
adalah proses penarikan obat yang telah diedarkan yang tidak
memenuhi standar dan atau persyaratan kemanan, khasiat, mutu dan
label (BPOM 14, 2019).
Rumah sakit harus memiliki sistem penanganan obat yang
rusak (tidak memenuhi persayaratan mutu) atau telah
kedaluwarsa/tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam
pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan/dicabut iizn
edarnya untuk dilakukan pemusnahan atau pengembalian ke
distributor sesuai ketentuan yang berlaku. Pemusnahan narkotika,
psikotropika dan prekursor farmasi dilakukan sesuai peraturan
perundang-undangan untuk kelompok khusus obat ini. Tujuan
pemusnahan adalah untuk menjamin sediaan farmasi dan BMHP yang
sudah tidak memenuhi syarat dikelola sesuai dnegan standar yang
berlaku. Adanya penghapusan akan mengurangi beban penyimpnan
maupun mengurangi risiko terjadinya penggunaan obat yang sub
standar (Kemenkes RI, 2019).
Pemusnahan dapat dilakukana untuk sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai (BMHP) apabila (Permenkes
72, 2016) :
(a) Produk tidak memenuhi persyaratan mutu;
(b) Telah kadaluwarsa;
(c) Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan;
(d) Keseahatan atau kepentingan ilmu pengetahuan dan atau
(e) Dicabut izin edarnya
Adapun tahapan pemusnahan meliputi (permenkes 72, 2016) :
(a) Menyiapkan daftar sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan
medis habis pakai yang akan dimusnahkan
(b) Menyiapkan berita acara pemusnahan
(c) Mengkoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan
kepada pihak terkait
(d) Menyiapkan tempat pemusnahan
(e) Melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis adn bentuk
sediaan serta peraturan yang berlaku
5) Pengendalian
Pengendalian persediaan merupakan suatu kegiatan untuk
memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan agar tidak terjadi
kelebihan dan kekurangan/kekosongan obat di rumah sakit memiliki
beberapa tujuan terhadap pengendalian persediaan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai untuk (Permenkes 72,
2016 dan Kemenkes RI, 2019) :
(a) Penggunaan obat sesuai dengan formularium rumah sakit
(b) Penggunaan obat sesuai dengan diagnosis dan terapi; dan
(c) Memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi
kelebihan maupun kekurangan/kekosongan, kerusakan,
kadaluwarsa, dan kehilangan serta pengembalian pesanan sediaan
farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai.
Adapun cara untuk mengendalikan persediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai adalah (Permenkes 73, 2016) :
(a) Melakukan evaluasi persediaan yang jarang idgunakan (slow
moving)
(b) Melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalam waktu
tiga bulan berturut-turut (death stock)
(c) Stok opname yang dilakukan secara periodik dan berkala
6) Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk
memonitor transaksi sediaan farmasi dan BMHP yang keluar dan
masuk dilingkungan IFRS, yang akan memudahkan petugas untuk
melakukan penelusuran jika terjadi adanya mutu obat yang substandar
dan harus ditarik dari peredaran. Pencatatan dapat dilakukan dalam
bentuk digital maupun manual. Kartu yang umum digunakan untuk
melakukan pencatatan yaitu kartu stok dan kartu stok induk
(Kemenkes RI, 2019). Adapun fungsi dari kartu stok meliputi
(Kemenkes RI, 2019) :
a) Kartu stok digunakan untuk mencatat mutasi sediaan farmasi dan
BMHP (penerimaan, pengeluaran, hilang, rusak atau
kedaluwarsa).
b) Tiap lembar kartu stok hanya diperuntukkan mencatat data mutasi
1 (satu) jenis sediaan farmasi dan BMHP yang berasal dari 1 (satu)
sumber anggaran
c) Data pada kartu stok digunakan untuk menyusun laporan,
perencanaan, pengadaan, distribusi dan sebagai pembanding
terhadap keadaan fisik sediaan farmasi dan BMHP dalam tempat
penyimpanannya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan terkait dengan kartu stok
(Kemenkes RI, 2019) :
(a) Kartu stok diletakkan bersamaan/berdekatan dengan sediaan
farmasi dan BMHP bersangkutan
(b) Pencatatn dilakukan secara rutin dari hari ke hari
(c) Setiap terjadi mutasi sediaan farmasi dan BMHP (penerimaan,
pengeluaran, hilang, rusak/kedaluwarsa) langsung dicatat didalam
kartu stok
(d) Penerimaan dan pengeluaran dijumlahkan pad setiap akhir bulan.
Pelaporan dibuat secara periodik yang dilakukan oleh
Instalasi Farmasi dalam periode waktu tertentu (bulanan, triwulan,
semester atau pertahun), pencatatan ini dilakukan untuk (Permenkes
73, 2016) :
a) Persyaratan kementrian kesehatan atau BPOM
b) Dasar akreditasi rumah sakit
c) Dasar audit rumah sakit; dan
d) Dokumentasi farmasi
e. Aspek Kegiatan Farmasi Klinik
1) Pengkajian dan pelayanan resep
Pengkajian dan pelayanan resep merupakan salah satu
kegiatan dalam penyiapan obat yang terdiri dari pengkajian resep,
penyerahan dan pemberian informasi, pemeriksaan ketersediaan
produk, penerimaaan, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai (Kemenkes RI, 2019). Pengkajian resep ini
juga dilakukan untuk menganalisa adanya masalah terkait obat, dan
jika ditemukan masalah terkait obat, maka obat tersebut nantinya akan
dikonsultasikan kembali pada dokter penulis resep. Pengkajian resep
ini dilakukan sesuai dengan persyaratan administrasi, farmasetik dan
klinis resep, baik itu resep untuk rawat jalan maupun rawat inap
(Permenkes 72, 2016).
Masalah yang dihindari dalam pengkajian resep yaitu biasa
disebut dengan medication error. Medication error merupakan
kesalahan dalam pengambilan keputusan dan dalam penulisan resep.
Kesalahan dalam pemilihan obat yang tidak tepat untuk pasien yang
biasanya terjadi karena adanya alergi, interaksi obat atau kondisi
fisiologis pasien. Kesalahan dalam peresepan dalam hal penulisan
resep meliputi resep yang tidak dapat dibaca, penulisam singkatan
yang ambigu dan tidak terdapat informasi seperti dosis, rute
pemberian dan frekuensi pemberian obat (Amalia, D. T dan Sukohar,
A, 2014).
Pengkajian dan pelayanan resep dilakukan oleh apoteker dan
tenaga teknis kefarmasian. Apoteker dapat melakukan pengkajian
resep yang meliputi (Kemenkes RI, 2019) :
a. Ketepatan identitas pasien, obat, dosis, frekuensi, aturan pakai dan
waktu pemberian
b. Pengecekan adanya duplikasi obat yang mungkin dapat terjadi
c. Potensi alergi dan sensitivitas
d. Interaksi antar obat dan obat lain
e. Variasi karakteristik penguunaan dari rumah sakit
f. Berat badan dan kondisi fisiologik dari pasien, dan
g. Kontra indikasi
Selain apoteker, tenaga teknis kefarmasian juga dapat
berperan dalam pengkajian resep. Namun tenga teknis kefarmasian
diberi kewenangan terbatas hanya dalam aspek administratif fan
framasetik (Kemenkes RI, 2019).
Adapun dokumen regulasi yang diperlukan dalam pengkajian
resep yaitu (Kemenkes RI, 2019) :
(a) Lembar resep atau modul peresepan dalam sistem informasi.
Lembar ini memuat kelengkapan resep sesuai dengan bagian-
bagian resep (Lampiran 6).
(b) Daftar tilik atau ceklis pengkajian resep. Pada lembar ceklis ini
biasanya ada beberapa rumah sakit yang menyatukannya dengan
lembar resep atau ada juga yang tersedia dalam sistem informasi
farmasi (Lampiran 7).
(c) Timbangan
(d) Kalkulator
(e) Alat tulis
(f) Sumber informasi obat
(g) Komputer
(h) Mortar dan stamper
Apoteker harus melakukan pengkajian resep seusai
persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan
klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan (Permenkes
72, 2016).
Skirining administrasi merupakan merupakan skrining awal
pada saat resep dilayani, skrining administrasi pelu dilakukan karena
mencakup seluruh informasi didalam resep yang berkaitan dengan
kejelasan tulisan obat, keabsahan resep, dan kejelasan informasi
didalam resep. Kajian secara sdministratif merupakan aspek yang
sangat penting dalam peresepan karena dapat membantu mengurangi
medication error (Permenkes 72, 2016).
Pengkajian farmaseutik merupakan pemeriksaan yang
dilakukan terkait obat yang diresepkan oleh dokter kepada pasien.
Skirining farmaseutik meliputi : nama obat, bentuk sediaan, kekuatan
sediaan, dosis dan jumlah obat, stabilitas, aturan dan cara pakai serta
kompatibilitas obat (Permenkes 72, 2016).
Adapun pengkajian dari aspek klinis yaitu terkait dengan
ketepatan indikasi, obat, dosis, dan waktu atau jam penggunaan obat,
duplikasi pengobatan, alergi dan reaksi obat yang tidak dikehendaki
(ROTD), kontraindikai, dan interaksi obat. Pengkajian juga dilakukan
untuk aspek regulasi rumah sakit seperti pengkajian antibiotik yaitu
apakah penggunaannya telah sesuai dengan kebijakan restriksi rumah
sakit (Kemenkes RI, 2019).
Setiap dilakukann pengkajian maka dilakukan pula
pencatatan pengkajian pada daftar tilik, dengan memberi centang pada
kolom “YA” jika hasil pengkajian sesuai dan “TIDAK” jika hasil
pengkajian tidak sesuai. Selain itu informasikan terlebih dahulu pada
pasien terkait harga resep baik itu pada pasien non jaminan ataupun
pasien umum. Laporan kesalahan penggunaan obat tahap persepan
dibuat berdasarkan catatan pengkajian resep yang tidak sesuai.
Laporan ini dibuat setiap bulannya (Kemenkes RI, 2019).
Setelah resep dikaji dan telah sesuai berdasarkan persyaratan
maka selanjutnya dilakukan penyiapan obat berdasarkan resep yang
sudah dikaji sebelumnya. Penyiapan obat dilakukan seperti berikut
(Kemenkes RI, 2019) :
a) Menghitung jumalh kebutuhan obat berdasarkan resep yang ada
b) Mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
melihat kesesuaian nama obat dan juga memperhatikan tanggal
kedaluwarsa dan keadaan fisik obat. Dalam penyiapan obat
sebaiknya dilakukan Double Check untuk kebenaran identitas
obat ataupun obat yang nantinya akan diracik, terutama jika obat
tersebut termasuk dalam obat high alert atau LASA.
c) Obat yang diserahkan nantinya harus diberikan etiket yang
berisikan identitas obat dan pasien yang akan menerima obat. Pada
etiket obat memuat informasi : nama lengkap pasien, nomor rekam
medis dan/atau tanggal lahir, nama obat, aturan pakai, instruksi
khusus, tanggal kedaluwasa obat dan tanggal penyiapan obat.
Untuk etiket di kantong obat dengan sistem dosis unit berisikan
informasi seperti : nama lengkap pasien, nomor rekam medis
dan/atau tanggal lahir, instruksi khusus, dan tanggal penyiapan
obat.
d) Sebelum obat diberikan kepada pasien atau perawat maka harus
dilakukan telaah obat berdasarkan resep yang ada. Adapun aspek
yang terdapat dalam telaah obat yaitu tepat obat, tepat pasien, tepat
rute, tepat dosis, dan tepat waktu pemberian.
e) Pada saat obat diberikan pada pasien khususnya pada pasien rawat
jalan maka harus disertai dengan pemberian informasi terkait obat
yang diberikan.
Evaluasi
Pada pengkajian dan pelayanan resep juga dilakukan
evaluasi, dimana evaluasi ini dilakukan secara berkala setidaknya
setiap 3 bulan. Evaluasi yang dilakukan meliputi jumlah penyampaian
konformasi dan rekomendasi kepada penulis resep terkait adanya
kesalahan penulisan pada resep, kesalahan penyiapan obat, kepatuhan
penulisan resep berdasarkan formularium nasional, kepatuhan
pelayanan yang sebaiknya sesaui dengan formularium nasional dan
kecepatan pelayanan resep. Evaluasi ini dilakukan sebagai bahan
kajian terkait sistem manajemen dan menggunaan obat tahunan
(Kemkes RI, 2019).
2) Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan suatu
kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai
seluruh obat ataupun sediaan farmasi lain baik itu yang telah
diresepkan dokter sebelumnya maupun non resep yang pernah ataupun
sedang digunakan oleh pasien. Kegiatan ini dilakukan oleh apoteker
dengan cara mewawancai secara langsung pasien, keluarga pasien,
dan nantinya akan dikonfirmasi oleh sumber data lain baik itu daftar
obat yang ada pada rekam medis, data pengambilan obat, ataupun obat
yang dibawa oleh pasien. Tujuan dilakukannya penelusuran riwayat
penggunaan obat yaitu (Kemkes RI, 2019):
a. Untuk mendeteksi terjadinya diskrepansi (perbedaan) sehingga
dapat mencegah duplikasi terhadap obat yang diberikan ataupun
mencegah terjadinya perbedaan dosis yang diberikan atau dosis
yang tidak diberikan
b. Mendeteksi riwayat alergi obat pada pasien
c. Mencegah terjadinya interaksi obat baik itu dengan obat lainnya
atau obat dengan makanan, herbal, atau supplement
d. Mengidentifikasi ketidakpatuhan pasien terhadap regimen obat
yang diberikan
e. Mengidentifikasi adanya medication error seperti penyimpanan
obat yang tidak benar atau salah minum jenis obat
Tahap penelusuran riwayat penggunaan obat ini dapat
dilakukan dengan memahami ilmu pengetahuan mengenai SPO
penelusuran riwayat penggunaan bat, memahami riwat obat yang ada
pada rekam medis pasien, mempelajari obat yang digunakan pasien
saat ini dan obat yang dibawa pasien jika ada. Selain itu dokumen
yang dapat digunakan dalam penelusuran riwayat penggunaan obat
yaitu rekam medis, salinan resep jika pasien memiliki, resep pasien,
formulir/lembar catatan farmasi klinik, dan formulir rekonsiliasi obat
(Kemkes RI, 2019).
Teknis pelaksanaan penelusuran riwayat penggunaan obat
sebagai berikut (Permenkes, 2016):
1) Wawancara yang dilakukan diawali dengan memberi senyum,
salam dan sapa kepada pasien atau keluarga pasien
2) Melakukan penggalian informasi tentang pasien
 Jika pasien merupakan pasien rawat jalan maka perlu diketahui
apakah kunjungan sekarang oleh pasien adalah waktu kontrol
setelah rawat inap atau sedang periksa lebih dari satu dokter atau
melanjutkan resep obat yang baru diambil sebagian sebelumnya
(Kemkes RI, 2019).
 Jika pasien merupakan pasien rawap inap maka perlu diketahui
apakah pasien merupakan pasien rujukan dari pelayanan
kesehatan lain atau pasien kronis dari ruma yang mengalami
home care atau pindahan ruang inap lain atau pasca operasi
(Kemkes RI, 2019).
3) Melakukan penggalian informasi terkait obat dengan cara mencari
tahu obat yang sedang diminum ataupun yang telah digunakan
sebelumnya meliputi nama obat, kekuatan, cara pakai, frekuensi
penggunaan, dan tujuan penggunaannya. Selain itu diperlukan pula
informasi mengenai efek yang dirasakan oleh pasien ketika telah
mengkonsumsi obat tersebut dan apa tindakan yagng dilakukan.
Identifikasi terhadap terapi lain juga dapat dilakukan, misalnya
menanyakan apakah telah mengkonsumsi suplemen dan
pengobatan alternatif dengan menanyakan kebiasaan minum jamu
atau herbal atau food suplement.
4) Melakukan analisis dengan cara membandingkan riwayat
penggunaan obat dengan data rekam medik atau pencatatan
penggunaan obat untuk mengetahui perbedaan informasi
penggunaan obat pasien. Melakukan verifikasi riwayat
penggunakan obat yang diberikan oleh tenaga kesehatan lainnya
dan memberikan informasi tambahan jika ada. Mengidentifikasi
kemungkinan terjadinya interaksi obat dan memeriksa adanya
kebutuhan pasien terhadap obat dan alat bantu kepatuhan
penggunaan obat bagi pasien yang kurang patuh.
5) Melakukan penilaian. Penilaian ini merupakan penilaian terhadap
kepatuhan pasien dalam menggunakan obat, menilai rasionalisiasi
obat yang diresepkan, pemahanan pasien terhadap obat yang
digunakan, bukti penyalahgunaan obat, dan teknik penggunaan
obat oleh pasien
6) Melakukan pencatatan dengan cara mendokumentasikan obat yang
digunakan oleh pasien sendiri tampa sepengetahuan dokter, dan
mendokumentasiakan adanya alergi dan rekasi obat yang tidak
diinginkan jika terjadi.
7) Melakukan dokumentasi. Dokumentasi dilakukan dengan cara
mengisi formulir rekonsiliasi obat atau lembat catatan farmasi
klinik.
3) Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan intuksi
pengobatan dengan obat yang telah didapatkan pasien. Kegiantan
rekonsiliasi ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan Obat
seperti obat tidak diberikan, kemungkinan terjadinya duplikasi,
kesalahan dosis ataupun kemungkinan terjadinya interaksi Obat.
Kesalahan Obat ini sangat rentan terjadi pada pemindahan pasien dari
satu Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain, antar ruang perawatan, serta
pada pasien yang keluar dari Rumah Sakit ke layanan kesehatan
primer dan sebaliknya. Kegiatan rekonsiliasi obat ini dapat dilakukan
oleh apoteker dan dokter (Permenkes, 2016).
Tujuan rekonsiliasi obat yaitu untuk memastikan informasi
yang akurat mengenai obat yang digunakan pasien, mengidentifikasi
ketidaksesuaian akibat adanya intruksi dokter yang tidak
terdokumentasi, tidak terbacanya intruksi dokter, menjamin
penggunaan obat yang efektif, dan mencegah kesalahan penggunaan
obat baik itu dalam segi duplikasi, salah dosis, maupun adanya
interksi yang mungkin akan terjadi (Kemkes RI, 2019).
Jenis-jenis rekonsiliasi terdiri dari 3 macam, yaitu :
1) Saat admisi. Rekonsiliasi ini dilakukan dengan cara
membandingkan penggunaan obat sebelum admisi. Pada
rekonsiliasi ini akan memuat obat maupun food suplement yang
digunkana sebulan terakhir dan masih dipakai saat masuk rumah
sakit. Rekonsiliasi dapat dilakukan dengan mengkonfirmasi akurasi
dari riwayat penggunaan obat dengan cara memverifikasi sumber
data, baik itu rekam medis sebelumnya, catatan pengambilan obat
pada apotek, dan obt yang dibawa oleh pasien. Formulir
rekonsiliasi dapat dilihat pada (Lampiran 8).
2) Rekonsiliasi obat saat transfer. Rekonsiliasi ini dilakukan pada saat
pasien mengalami transfer atau perpindahan antar ruang rawat
dengan cara membandingkan terapi pengobatan pada formulir
intruksi pengobatan di ruang sebelumhya dengan resep atau
pengobatan di ruang rawat saat ini dan daftar obat yang digunakan
pasien sebelum admisi. Formulir rekonsiliasi dapat dilihat pada
(Lampiran 9).
3) Rekonsiliasi obat saat pasien akan dipulangkan (discharge).
Rekonsiliasi ini membandingkan daftar obat yang digunakan
sebelum admisi dengan obat yang digunakan 24 jam terakhir dan
resep obat pulang. Jika terjadi ketidakcocokan, maka apoteker akan
menghubungi dokter penulis resep obat pulang dan hasil klarifikasi
akan dicatat di formulir rekonsilasi obat saat discharge (Lampiran
10).
Berikut merupakan petunjuk teknis pengisian formulir
rekonsiliasi :
a) Rekonsiliasi diisi pada lembar formulir rekonsiliasi obat dengan
mengisi dalam kolom yang tertera.
b) Rekonsiliasi obat diisi oleh dokter atau apoteker yang menerima
pasien paling lambat 1x24 jam setelah pasien dinyatakan dirawat
inap
c) Mengisi kolom ceklis yang ada pada tabel rekonsiliasi mengenai
penggunaan obat yang digunakan pasien
d) Mengimput nama obat disetai bentuk sediaan obat
e) Mengimput dosis dan diikuti dengan satuan berat dan unit sesuai
dengan daftar singkatan
f) Kolom frekuensi diisi dengan berapa kali dan jumlah obat yang
diberikan dalam 24 jam
g) Kolom cara pemberian diisi sesuai dengan cara penggunaan obat
pasien
h) Waktu pemberian terakhir diisi dengan tanggal obat terkahir
diberikan
i) kolom perubahan aturan pakai diisi bila terjadi perubahan aturan
pakai obat saat admisi
4) Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan informasi obat (PIO) merupakan kegiatan
penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang akurat,
tidak bias, terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh dokter
kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta
pasien dan pihakclain di luar rumah sakit (Permenkes, 2016).
Tujuan dari pelayanan informasi obat yang dilakukan oleh
apoteker yaitu (Permenkes, 2016):
a. Menyediakan informasi mengenai obat untuk pasien, dokter, tenaga
kesehatan lainnya yang berada pada lingkungan rumah sakit dan
pihak lain di luar rumah sakit.
b. Memberikan informasi mengenai kebijakan yang berhubungan
dengan obat atau sediaan farmasi, terutama bagi komite farmasi
dan terapi.
c. Mendukung berkembangnya penggunaan obat yang rasional.
d. Membuat kajian mengenai obat secara rutin untuk digunakan
sebagai acuan penyusunan formularium rumah sakit
e. Mendorong penggunaan obat yang aman dan dengan
meminimalkan terjadinya efe yang merugikan pada pasien
Selain tujuan adajuga beberapa manfaat dari pelayanan
informasi obat, yaitu (Kemenkes, 2019):
1) Promosi atau peningkatan kesehatan (promotif), yaitu termasuk
kegiatan penyuluhan dan CBIA
2) Pencegahan penyakit (preventif) yaitu penyuluhan HIV, TB,
imunisasi, penyuluhan mengenai bahaya merokok dan bahaya
narkotika
3) Penyembuhan penyakit (kuratif) yaitu termasuk kegiatan
pemberian informasi, edukasi pada saat rawat inap
4) Pemulihan kesehatan (rehabilitasi) yaitu rumuta metadon, program
berhenti merokok.
Persiapan yang dapat dilakukan untuk melakukan pelayanan
informasi yaitu dengan cara informal maupun formal. Secara informal
yaitu apoteker memberikan informasi mengenai penggunaan obat
ketika sedang melakukan kegiatan farmasi klinik, sebagai contoh
ketika melakukan pemantauan terapi obat di ruan rawat maka apoteker
dapat menjawab pertanyaan dari perawat mengenai waktu pemberian
obat yang tepat. Sedangkan secara formal yaitu instalasi farmasi
menyediakan sumber daya khusus yang baik dan terlatih maupun
ketersediaan sarana dan prasarananya (Kemenkes, 2019).
Selain itu persiapan yang dapat dilakukan untuk menunjang
pelayanan pemberian informasi obat yaitu suber ada pustaka. Pustaka
yang dapat digunakan terbagi menjadi 3, yaitu (Kemenkes, 2019):
a. Pustaka primer, yaitu artikel asli yang di publikasi penulis atau
peneliti dan informasi yang ada di dalamnya berupa hasil penelitian
yang dipublikasi di dalam jurnal. Contoh pustaka primer yaitu
laporan hasil penelitian, laporan kasus, studi evaluasi, dan laporan
deskriptif
b. Pustaka sekunder, yaitu artikel ulasan, abstrak (International
Pharmaceutical Abstracts), meta analisis, indeks (indeks medicus),
dan kombinasi abstrak lengkap.
c. Pustaka tersier, yaitu pustaka yang menyediakan informasi yang
terdokumentasi dalam format ringkas, dapat berupa buku, seperti
contoh Martindale, British National Formulary (BNF), dan pustaka
ilmu kesehatan lainnya.
Tahap pelaksanaan pemberian informasi obat (PIO) yaitu
sebagai berikut (Kemenkes, 2019):
1) Apoteker instalasi farmasi dapat menerima pertanyaan melalui
telepon, tatap muka ataupun pesan
2) Mengidentifikasi penanya, seperti menanyakan nama, status
(dokter, apoteker, atau tenga kesehatan lain), asal unit kerja
penanya
3) Mengidentifikasi apakah pertanyaan dapat diterima atau ditolak
dan di rujuk ke unit kerja terkait pertanyaan jika pertanyaan tidak
relevan
4) Menanyakan secara rinci terkait data penunjang atau informasi
terkait pertanyaan
5) Menetapkan tingkat urgensi pertanyaan
6) Melakukan penelusuran secara sistematis berdasarkan sumber yang
ada, dimulai dari sumber tersier, sekunder dan jika memungkinkan
maka dapat menggunakan dan perlu pustaka primer
7) Melakukan penilaian terkait jawaban yang didapatkan dari minimal
3 literatur yang berbeda
8) Memformulasikan jawaban yang didapatkan
9) Menyampaikan jawaban kepada sang penanya secara verbal
maupun dalam bentuk tulisan
10) Melakuakn follow-up dengan menanyakan ketepatan jawaban
11) Mendokumentasikan kegiatan yang dilaksanakan dengan catatan
waktu yang diperlukan untuk mendapatkan jawaban. Lembar
Pelayan Informasi Obat dapat dilihat pada (Lampiran 11).
Setelah melakukan kegiatan PIO maka akan dilakukan
evaluasi. Evaluasi ini dilakukan setiap akhir bulan dengan
merekapitulasi jumlah pertanyaan, penanya, ruangan, dan tujuan
permintaan informasi (Kemenkes, 2019).

5) Konseling
Konseling obat merupakan kegiatan pemberian nasehat atau
saran terkait terapi obat dari apoteker kepada pasien maupun keluarga
pasien. Konseling yang dilakukan oleh apoteker kepada pasien, baik
itu pasien rawat inap maupun rawat jalan berdasarkan inisiatif
apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien ataupun keluarga pasien
(Permenkes, 2016).
Tujuan dari pemberian konseling yaitu untuk meningkatkan
kepatuhan pasien, terutama untuk pasien dengan kondisi khusus atau
pun geriatri. Selain itu untuk meminimalkan resiko Reaksi Obat Tidak
Dikehendaki (ROTD) dan meningkatkan cost- effectiveness yang pada
akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan obat bagi pasien
(Kemenkes, 2019).
Berikut merupakan beberapa manfaat dari kegiatan
konseling, yaitu (Kemenkes, 2019):

1) Meningkatkan hubungan kepercayaan antar apoteker dan pasien


2) Menunjukka perhatian dan kepedulian terhadap pasien
3) Meningkatkan empati pasien
4) Membantu mengatur dan meyesuaikan penggunaan obat dengan
penyakitnya
5) Meningkatkan kepatuhan pasien terkait waktu penggunaan obat
6) Memininalkan terjadinya masalah terkait obat
7) Mengerti permasalah dalam pengambilan keputusan
8) Membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan obat
sehingga dapat tercapainya tujuan pengobatan dan meningkatkan
mutu pengobatan pasien
Adapun persiapan yang dapat dilakukan untuk melakukan
konseling yaitu dengan menyiapkan sarana dan prasarana seperti
ruangan atau tempat konseling dan alat bantu konseling seperti kartu
pasien atau catatan konseling. Selain itu persiapan lainnya, yaitu :
melakukan seleksi pasien berdasarkan prioritas yang telah ditetapkan,
menyiapkan formulir informasi obat pulang (pada konseling obat
pasien pulang), menyiapkan obat yang nantinya akan dijelaskan untuk
pasien, dan menyiapkan informasi lengkap dan referensi kefarmasian
seperti handbook, ebook atau internet (Kemenkes, 2019).
Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling
yaitu sebagai berikut :
a) Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal,
ibu hamil dan menyusui).
b) Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM,
epilepsi, dan lain-lain).
c) Pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus
(penggunaan kortiksteroid dengan tappering down/off).
d) Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit
(digoksin, phenytoin).
e) Pasien yang menggunakan banyak obat (polifarmasi).
f) Pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah.
6) Visite
Visite merupakan suatu kegiatan kunjungan kepada pasien
rawat inap yang dilakukan oleh apoteker secara mandiri atau bersama
dengan tim tenaga kesehatan lainnya untuk mengamati atau memantau
keadaan klinis pasien secara langsung. Kegiatan ini dilakukan untuk
memantau terapi obat dan meminimalkan reaksi obat yang tidak
diinginkan, meningkatkan efektivitas terapi obat, dan menyajikan
informasi obat kepada dokter, tenaga kesehatan lainnya dan pasien
(Permenkes RI, 2016).
Tujuan dari kegiatan visite ini, yaitu : meningkatkan
pemahaman mengenai riwayat pengobatan pasien, perkembangan
kondisi klinik, dan rencana terapi secara komprehensif; daat
memberikan informasi mengenai farmakologi, farmakokinetika,
bentuk sediaan obat, rejimen dosis, dan aspek lain terkait terapi obat
pada pasien; memberikan rekomdasi terlebih dahulu sebelum
keputusan klinik ditetapkan dalam pemilihan terapi; dan dapat
memberikan rekomendasi penyelesaian masalah terkait penggunaan
obat akibat keputusan klinik yang telah ditetapkan sebelumnya
(Kemkes RI, 2019).
Dalam melakukan visite, maka adapun hal yang harus
disiapkan sebelumnya yaitu dengan membekai diri sendir dengan
berbagai ilmu pengetahuan seperti, patofisiologi, terminologi medis,
farmakokinetika, farmakologi, farmakoterapi, farmakoekonomi, serta
pengobatan yang berbasis bukti. Selain itu apoteker juga harus
dibekali kemampuan untuk dapat menginterpretasikan data klinik dan
data penunjang diagnostik lain, serta memiliki kemampuan
berkomunikasi secara efektif dengan pasien dan tenaga kesehatan
lainnya(Kemkes RI, 2019)..
Fasilitas penunjang yang dibutuhkan untuk melakukan visite
dengan baik, yaitu sebagai berikut (Kemkes RI, 2019) :
a) Formulir Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT)
dimana CPPT berisikan SOAP pasien yang nantinya diisi oleh
Apoteker dan tenaga kesehatan lainnya yang dilakukan setiaphati
selama masa perawatan pasien.
b) Formulir pemantauan terapi obat. Formulir ini juga diisi setiap hari
oleh apoteker seiring dilakukannya SOAP
c) Referensi penunjang yang berupa cetakan atau elektronik, misalnya
: Formularium Rumah Sakit, Pedoman Penggunaan Antibiotik,
Pedoman Praktik Klinis, British National Formulary (BNF), Drug
Information Handbook (DIH), American Hospital Formulary
Services (AHFS) : Drug Information, Pedoman Terapi, dan lain-
lain.
Visite dapat dilakukan secara mandiri maupun bersama
dengan tenaga medis dan kesehatan lainnya. Visite mandiri memiliki
kelebihan, yaitu waktu pelaksanaan yang lebih fleksibel, dapat
memberikan edukasi, monitoring respen pasien terhadap pengobatan
dan dapat dijadikan persiapan untuk pelaksanaan visite tim. Namun
selain itu kekurangan dari visite mandiri yaitu rekomendasi yang telah
kita buat tidak dapat direalisasikan sebelum kita bertemu dengan
penulis resep dan kemampuan mengenai patofisiologi penyakit pasien
yang terbatas (Kemkes RI, 2019).
Visite tim memiliki kelebihan, yaitu dapat memperoleh
informasi terkini yang komprehensif, dapat digunakan sebagai fasilitas
pembelajaran, dan dapat langsung berkomunikasi kepada penulis
resep mengenai masalah terkait obat. Namun kekurangan dari visite
tim yaitu waktu pada saat visite terbatas sehingga diskusi dan
penyampaian informasinya kurang lengkap (Kemkes RI, 2019).
Adapun hal-hal yang dapat dipertimbangkan untuk
melakukan kegiatan visite yaitu (Kemkes RI, 2019):
1. Apoteker sebaiknya melakukan persiapan dengan melakukan
seleksi pasien berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Walaupun
idealnya seluruh paisen harus dilakukan visite, namun karna jumlah
Apoteker yang terbatas maka visite diprioritaskan diberikan untuk
pasien seperti :
a) Pasien baru masuk dan masih dalam 24 jam pertama
b) Pasien dalam perawatan intensif
c) Pasien yang menerima obat lebih dari 5 macam
d) Pasien yang mengalami penurunan fungsi organ, terutama hati
dan ginjal
e) Pasien dengan hasl pemeriksaan laboratorium yang mencapai
nilai kritis
f) Pasien yang mendapatkan terapi obat dengan indeks terapi
sempit yang berpotensi mengalami reaksi obat yang tidak
diinginkan, seperti karbamazepin, teofilin, atau pun sitostatika.

2. Melakukan analisis berdasarkan SOAP.


 Dimana data S (Subjective) merupakan data terkait pasien yang
didapatkan dengan cara wawancara bersama pasien atau dengan
keluarga pasien, catatan penggunaan obat yang telah di
konsumsi sebelumnya, riwayat sosial, keluhan utama, riwayat
penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan riwayat alergi
atau ROTD.
 Data O (Objeective) merupakan pengumpulan data berupa hasil
pemeriksaan fisik, laboratorium, diagnosa dokter dan catatan
pengobatan pada ruang perawatan
 Data A (Assesment) terdiri dari masalah terkait obat (DRP).
Asesmen dilakukan dengan mengurutkan DRP menggunakan
angka dan mempertimbangkan DRP yang terpenting atau
mengancam nyawa yang dituliskan terlebih dahulu.
 Data P (Plan) terdiri dari solusi DRP yang terjadi dan
monitoring yang perlu dilakukan berdasarkan DRP, yaitu terkait
efektivitas dan potensi efek samping yang mungkin akan terjadi.
7) Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan terapi obat merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan untuk memastikan bahwa terapi obat yang diberikan kepada
pasien aman, efektif dan rasional. PTO ini dilakukan oleh apoteker
sendiri dengan tujuan untuk meningkatkan efektivitas terapi dan
meminimalkan resiko Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD),
meminimalkan biaya pengobatan pasien dan menghormati pilihan
pasien (Kemkes RI, 2019).
Pemantauan terapi obat dapat dilakukan dengan persiapan
sebagai berikut (Kemkes RI, 2019):
1) Melakuakan seleksi pasien yang bertujuan untuk menentukan
prioritas pasien yang harus dipantau karna adanya keterbatasan
jumlah Apoteker. Seleksi ini dapat dilakukan dengan kriteria
berdasarkan kondisi pasien, obat yang digunakan, dan adanya
kompleksitas regimen.
2) Mempelajari status patofisiologi dan status pengobatna pasien
berdasarkan rekam medik yang ada
3) Profil pengobatan yang diperoleh dari catatan obat pada rekam
medik, catatan farmasi ataupun dari pasien/keluarga pasien
4) Menyiapkan referensi mengenai patofisiologi, farmakoterapi dan
obat yang terpercaya
5) Menyiapkan kalkulator untuk menghitung dosis obat dan keperluan
lain.
Pemantauan terapi obat yang dilakuakn harus
dikomunikasian dengan dokter, perawat dengan menggunkan metodek
komunikasi SOAP (Subjective Objective Assessment Plan) sebagai
dokumen tertulis dan dapat pula dilakukan dengan metode SBAR
(Situation Background Assesment Recommendation) jika dilakukan
komunikasi secara verbal. Penulisan SOAP harus menyatakan
kesinambungan antara data subjektif dan objektif yang ada. Data yang
ditulis sebaiknya mencerminkan hal-hal yang akan dianalisis dalam
asesmen. Asesmen hanya berisikan Drug Related Problem (DRP)
yang ditemukan dari analisis. Plan ditulis dalam bentuk jawaban atau
solusi terkait DRP yang dituliskan pada asesmen dan ditulis secara
berurutan. Penulisan SOAP harus dicantumkan tanggal dan waktu
penulisan serta diakhiri dengan paraf apotekrr disertai gelar (Kemkes
RI, 2019).
Pemyampaian SBAR secara lisan diawalai dengan menyebut
identitas pelapor, selanjutnya menyampaikan situasi lalu background
pasien secara berurutan. Hasil asesmen yang didapatkan oleh
Apoteker harus segera disampaikandan di akhiri dengan pemberian
plan atau rekomendasi terkai masalah yang didapatkan. Pencatatan
SBAR harus dilakukan dengan menyertakan waktu pemyampaian
rekomendasi secra lisan serta paraf persetuuan klinisi terkait. Jika
dokter tidak menyetujui saran terkait asesmen yang didapatkan, maka
Apoteker kana mencatat hal tersebut dan menulikan bahwa dokter
tidak menyetujui. Pencatatan dilakukan dengan menyertakan hari dan
waktu penyampaian (Kemkes RI, 2019).
Evaluasi yang dapat dilakukan untuk kegiatan ini yaitu
dengan melihat jumlah masalah terkait obat yang diidentifikasi dan
jumlah DPT yang diselesaikan (Kemkes RI, 2019).
8) Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan
pemantauan setiap respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang
terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek Samping Obat adalah reaksi
Obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi
(Permenkes No. 72 Tahun 2016). Adapun tujuan MESO yaitu
(Kemenkes RI, 2019):
a) menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama
yang berat, tidak dikenal dan frekuensinya jarang
b) menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan
yang baru saja ditemukan;
c) mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/
mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya ESO
d) meminimalkan risiko kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki;
dan
e) mencegah terulangnya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki
Pelaksanaan MESO yaitu (Kemenkes RI, 2019):
a) Mendeteksi adanya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki
(ROTD) / Efek Samping Obat (ESO) secara pasif dengan
menerima laporan dari dokter dan perawat atau keluhan pasien
sehubungan dengan ketidaknyamanan setelah minum obat dan
menanyakan berapa lama setelah minum obat, adakah obat lain
yang digunakan, adakah makanan yang tidak biasa dikonsumsi
secara aktif melakukan asesmen dalam PTO baik rawat inap
maupun rawat jalan.
b) melakukan pencatatan atau penggalian data terkait ROTD secara
aktif melakukan pencatatan atau penggalian data terkait ROTD,
riwayat obat hingga satu bulan sebelum kejadian ROTD dengan
cara interview pasien maupun penelusuran rekam medik
c) Studi literatur tersier Melakukan pencocokan ROTD dengan obat
menggunakan literatur tersier (DIH, Meyler, Drug Induce
Disease)
d) Mencocokkan onset ROTD dengan data farmakokinetik obat
yang dicurigai
e) Melakukan pencarian laporan/case report dari obat yang dicurigai
memicu ROTD
f) Menganalisis kausalitas dengan menggunakan algoritma Naranjo
dalam formulir MESO
g) Merumuskan rekomendasi kepada klinisi terkait ROTD tersebut
h) Membuat laporan kepada klinisi dan Tim MESO (bagian
KFT/TFT) dengan mencantumkan obat yang memicu ROTD
skala kausalitasnya dan rekomendasi pengatasan ROTD tersebut.
(i) Membuat laporan ke BPOM secara manual maupun elektronik
melalui link BPOM
9) Evaluasi Penggunaan Obat
Evaluasi penggunaan obat (EPO) merupakan suatu kegiatan
yang dilakukan secara berkesinambungan dan sistematis dalam
menilai kerasionalan suatu terapi obat menggunakan evaluasi data
penggunaan obat yang mengacu pada standar yang telah di tentukan
(Kemkes RI, 2019).
Tujuan dari evaluasi penggunaan obat ini, yaitu : untuk
mendapatkan gambaran keadaan mengenai pola penggunaan obat,
membandingkan pola penggunaan obat pada priode waktu tertentu,
mendorong penggunaan obat yang rasional, meningkatkan kualitas
dari pelayanan kesehatan, dan menurunkan pembiayaan yang tidak
diperlukan (Permenkes, 2016).
Manfaat dari evaluasi peggunaan obat adalah untuk
mengevaluasi penggunaan obat dari segi pola peresepan, kerasionalan
dalam hal penggunaan dan aspek ekonomi. Evaluasi ini dilakukan
oleh tim yang ditunjuk oleh Komite Farmasi dan Terapi (KTF/TFT)
(Kemkes RI, 2019).
Tahap dalam melakukan evaluasi penggunaan obat, yaitu
sebagai berikut (Kemkes RI, 2019)
1) Menentukan ruang lingkup dan kriteria standar yang ingin di
evaluasi, apakah ingin mengevaluasi pada aspek ekonomi,
karakteristik pasien, penggunaan obat, dosis, pertimbangan rute
pemberian, dan lain-lain.
2) Mendapatkan persetujuan dari piminan dimana pimpinan biasanya
telah menunjuk supervisi masing-masing
3) Pengumpulan data. Data tersebut termasuk data klinik, alat
kesehatan yang digunakan, obat yang digunakan, dan lain-lain.
4) Evaluasi data
5) Melakukan tindakan koreksi atau perbaikan jika ada penggunaan
obat yang tidak sesuai
6) Melakukan evaluasi kembali
7) Merevisi kriteria atau standar jika di perlukan
Faktor – faktor yang perlu di perhatikan dalam evaluasi
penggunaan obat, yaitu (Permenkes, 2016):
a. Indikator peresepan,
b. Indikator pelayanan, dan
c. Indikator fasilitas
10) Dispensing Sediaan Steril
Dispensing sediaan steril merupakan suatu kegiatan
penyiapan sediaan farmasi steril yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan individu pasien dengan cara melakukan pelarutan,
pengenceran, dan pencampuran produk steril dengan teknik aseptis
untuk menjaga sterilitas sediaan hingga diberikan kepada pasien
(Kemkes RI, 2019).
Dispensing sediaan steril dilakukan karna untuk
meminimalkan kemungkinan terjadinya ineksi pada pasien dan
menjamin sterilitas dari sediaan steril. Dispensing sediaan steril harus
dilakukan oleh instalasi farmasi rumah sakit dengan manfaat dan
tujuan sebagai berikut (Kemkes RI, 2019):\
1) Menjamin sterilitas suatu sediaan
2) Meminimalkan kesalah pengobatan
3) Menjamin kompatibilitas dan stabilitas sediaan
4) Menghindari pemaparan zat berbahaya
5) Menghindari pencemaran lingkungan
6) Meringankan beban kerja perawat
7) Penghematan biaya penggunaan obat
Jenis sediaan steril berdasarkan tingkat kontaminasi, yaitu :
a) Low risk level CSPs
Merupakan pencampuran sediaan steril baik itu ampul, vial, botol,
ataupun bag ke sediaan steril lainnya. Pencampuran ini melibtkan
melibatkan maksimal 3 sediaan.
b) Medium risk level CSPs
Merupakan pencampuran sediaan steril baik itu ampul, vial, botol,
ataupun bag ke sediaan steril lainnya. Pencampuran ini melibtkan
melibatkan lebih dari 3 sediaan steril baik itu volume besar ataupun
volume kecil.
c) High risk level CSPs
Merupakan pencampuran sediaan steril baik itu ampul, vial, botol,
ataupun bag dengan sediaan non steril dan pada tahap akhir
dilakukan proses sterilisasi akhir.

d) Immediate use category


Sediaan steril yang digunakan untuk keperluan emergency dan
segera digunakan dan untuk BUD sediaan ini yaitu maksimal 1
jam. Sediaan yang dapat dimasukkan pada kategori ini yaitu
sediaan yang memiliki low risk level CSPs.

Dispensing sediaan steril dilakukan pada ruang kerja


tertentu dengan klasifikasi jumlah partikulat udarah di dalam ruangan
tersebut. Klasifikasi tersebut tertera di bawah ini, dan untuk sediaan
steril maka menggunakan klasifikasi ISO kelas 5 (USP 797).

Gambar 1. Klasifikasi ISO kelas 5 USP 797


Persyaratan ruang kerja dan penyimpanan sediaan steril yaitu
sebagai berikut :
 Jumlah partikel berukuran 0,5 mikron tidak lebih dari 250.000
partikel
 Jumlah jasad renik tidak lebih dari 100 per meter kubik udara
 Suhu ruangan 18-22oC dan dengan kelembapan 35-50%
 Dilengkapi High efficiency particulate air (HEPA) filter
Sebelum melakukan proses pencampuran sediaan steril, maka
perlu dilakukan beberapa langkah berikut, yaitu (Depkes RI, 2009):
a. Memeriksa keleingkapan dokumen atau formulir permintaan obat
dengan prinsip 5 benar, yaitu benar pasien, obat, dosis, rute, dan
waktu pemberian
b. Memeriksa kondisi obat-obatan yang diterima, seperti nama obat,
jumlah, nomor batch, tanggal kadaluarsa serta melengkapi form
permintaan
c. Melakukan konfirmasi ulang kepada pengguna jika ada yang tidak
jelas atau tidak lengkap
d. Menghitung kesesuaian dosis, melakukan pemilihan pelarut yang
sesuai, dan menghitung jumlah pelarut yang digunakan.
e. Membuat label obat (gambar 3)
f. Membuat label pengirim obat (gambar 4)
g. Melengkapi dokumen pencampuran
h. Memasukkan alat kesehatan, label dan obat-obatan yang akan
dilakukan pencampuran kedalam ruangan steril melalui pass box

Gambar 2. Label obat


Gambar 3. Label pengirim obat

Dalam mengerjakan sediaan steril maka perlu digunakan


pelindung diri untuk meminimalkan terjadinya kontaminasi pada
sediaan steril. Adapun tata cara penggunaan sarung tangan yang benar
sebagai berikut.

Gambar 4. Cara membuka sarung tangan

1) Sebelum menggunakan sarung tangan, cuci tangan terlebih dahulu


lalu siapkan sarung tangan steril yang sesuai dengan ukuran tangan
2) Buka kemasan sarung tangan dengan metode peeling dan buka
kemasan kedua tampa menyentuh sarung tangan steril
3) Pastikan posisi sarung tangan sesuai dengan posisi tangan
pengguna
4) Penggunaan sarung tangan dimulai pada tangan yang dominan
dengan posisi tangan menghadap ke atas dengan metode skin to
skin
5) Selanjutnya dengan bantuan tangan yang telah memakai sarung
tangan maka masukkan tangan yang satunya dalam sarung tangan
dengan metode glove to glove lalu rapikan kedua sarung tangan.
Adapun teknik dalam membuka ampul yaitu :
1) Pertama-tama dilakukan desinfeksi pada tangan dan mengikuti
prosedur penggunaan sarung tangan untuk memakai sarung tangan
2) Memakai pelindung diri dan dikerjakan pada LAF atau ruang
khusus dispensing steril yang telah di sterilkan terlebih dahulu
3) Pengerjaan ampul dilakukan dengan cara meyiapkan alkohol swab,
ampul, dan kassa steril
4) Bersihkan bagian leher ampul dengan alkohol swab
5) Pastikan tidak ada gelembung pada bagian leher ampul dan atas
ampul. Jika ada maka ketuk hingga cairan turun
6) Buka kassa steril dan balutkan pada leher ampul lalu patahkan
ampul dengan tangan dengan cara menarik kepala ampul mendekati
tubuh.
11) Pemantauan Kadar Obat Dalam Darah (PKOD)
Pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD) merupakan
suatu kegiatan interpretasi hasil pemeriksaan kadar obat dalam darah
untuk melihat hal potensial untuk obat yang memiliki indeks terapi
sempit berdasarkan usulan dokter kepada apoteker ataupun sebaliknya
(Kemkes RI, 2019).
Tujuan dari pemantauan kadar obat dalam darah yaitu
(Kemkes RI, 2019):
1) Memastikan kadar obat di dalam darah dalam kisaran terapeutik
yang direkomendasikan untuk memantau efektivitas dan toksisitas
obat.
2) Sebagai rekomendari dalam menentukan dosis terapi obat yang
optimal berdarkan kondisi klinis pasien.
3) Mengelola regimen obat untuk mencapai hasil terapi yang optimal.
Pelaksanaan PKOD dilakukan sebagai berikut :
a. Melakukan seleksi terhadap pasien. PKOD diberikan kepada pasien
dengan pemberian obat dengan indeks terapi sempit dengan kondisi
seperti : pasien menunjukkan tanda-tanda efek samping, overdosis,
dan toksisitas; efek obat belum optimal pada pasien yang diberikan
dosis maksimal; dan jika diperlukan modifikasi obat atau dosis.
b. PKOD diprioritaskan pada pasien dengan terapi obat seperti :
digoksin, fenitoin, teofilin, valproat, gentamisin, amikasin,
amfoterisin B, dan vankomisin.
c. Apoteker menetapkan waktu sampling, dimana apoteker sebaiknya
melakukan sampling saat kadar obat terendah yakni sesaat sebelum
dosis berikut diberikan.
d. Mengintrerpretasikan kadar obat yang dihasilkan dikaitkan dengan
dosis dan efek klinis obat pada pasien
e. Apoteker memberikan rekomendasi kepada dokter terkait dosis,
kontinuitas terapi, dan efek samping obat.
f. Apoteker memberikan kominukasi informasi dan edokasi kepada
pasien terkait hasil pemeriksaan kadar PKOD
g. Apoteker mendokumentasikan kegiatan PKOD pada CPPT.
BAB III
KEGIATAN PRAKTEK KERJA DAN PEMBAHASAN
Kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) berlangsung mulai
Tanggal 25 januari 2021 sampai 21 februari 2021. Kegiatan yang dilaksanakan
selama PKPA farmasi bidang Rumah Sakit yang mengacu pada Permenkes 72
Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian diRumah Sakit dan Petunjuk
Teknis Pelayanan Kefarmasian diRumah Sakit yang meliputi pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta pelayanan farmasi
klinis
A. Hasil latihan perhitungan perencanaan
Tabel. Perhitungan Perencanaan Kebutuhan
B. Hasil penyelesaian kasus
- Penyelesaian kasus (menggunakan form lampiran 1 ini)
FORMULIR PEMANTAUAN TERAPI OBAT
Tabel. Data pasien
Rumah Sakit Ruang Rawat
Nama Pasien : Tn AR
Usia : 62 Tahun (Geriatri)
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Berat Badan : 60 kg
Tinggi Badan : 173 cm
Tabel. Keluhan Utama
Keluhan Tanggal (dd/mm)
17/1 18/1 19/1
Batuk   
Nyeri Pada Scrotum  
Tidak BAB   
Nyeri Menelan 
Sesak Napas  
Nyeri Perut 
Nyeri Pada Post Sedot 
Cairan Pleura
Nafsu Makan Berkurang 
Perut terasa kembung 
- Riwayat Penyakit Sekarang : Demam
- Riwayat Penyakit Dahulu : Hipertensi sejak 5 tahun lalu
- Riwayat Penyakit Keluarga : (Tidak Ada)
- Riwayat Sosial : Tidak Merokok
- Riwayat Penggunaan Obat : Dexametazone tablet untuk menambah
nafsu makan dan Amlodipin 5 mg

Tabel. Hasil pemeriksaan fisik (TTV)


Pemeriksaan Nilai Tanggal Tanggal Tanggal
Normal 17/10 18/10 19/10
Tekanan Darah (mmHg) 120/80 130/90 120/80 130/80

Nadi (kali / menit) - - 80 80

Suhu Badan (oC) - 37 36,8 36

Respirasi (kali / menit) - - 20 22

Tabel. Hasil pemeriksaan laboratorium


Laboratorium Nilai Normal Tanggal 12/10
Rutin/Tgl
HGB 12,0-18,0 12
WBC 4000-9000 17000
PLT 120-380 173
RDW 14,5-16,5 9,0
PDW 12,0-18,0 19,2
GR# 1,7-0,8 12,7
CREATININ 0,5-1,2 1,4
- Hasil Pemeriksaan Diagnostik : (Tidak Ada)
- Hasil Pemeriksaan Mikrobiologi : (Tidak Ada)
- Diagnosis Dokter : Febris, Faringitis
Tabel. Penggunaan obat saat ini
Nama Obat Bentuk Indikasi Dosis dan Rute Tgl. Tgl. Tgl.
Sediaan Frekuensi Pemberian 17/10 18/10 19/10
Ceftriaxone Vial Arthritis 2 g / 24 Intrevena √ √ √
Injeksi jam
Metamizol Ampul Nyeri dan 1 ampul/ 8 Intravena √ - -
Demam jam
Dulcolax Suppositoria Pencahar - Melalui √ - -
Suppo rektum
(dubur)
N- Tablet Mukolitik, 200 mg / Oral √ √ √
acetylcisteine Antidotum 8 jam
200 mg PCT
Amlodipin 5 Tablet Antihipertensi 5 mg / 24 Oral √ √ √
mg jam
Lactulosa Syrup Konstipasi 10 CC / Oral √ √ √
Syrup kronik 24 jam
Paracetamol Tablet Analgetik – 500 mg / Oral - √ √
500 mg Antipiretik 8 jam
Domperidon Tablet Mual, Muntah 10 mg / 8 Oral - √ -
e jam
Omeprazole Vial Tukak 20 mg / Intravena √ √ √
Injeksi Lambung 24 jam
Ringer Botol Menambah 28 TPM Intravena √ √ √
Laktat Elektrolit Fluid Drip
Tabel. Pemantauan S.O.A.P
SOAP
ANALISIS SOAP TERKAIT PASIEN
TGL 17/1
SUBJEKTIF (S) OBJEKTIV(O) ASSESMENT(A) PLAN(P)
 Nama px :TN. AR  Bb/Tb: 60 kg/ 173 1. Metamizol dapat 1. Menyarankan
 No. RM : 14XXX cm menyebabkan gagal dokter untuk
 Tgl lahir. Umur :  Diagnosis : Febris, ginjal (adanya melakukan
17/08/1958 (62thn) Faringitis ROTD) adjustment dosis
2. Amlodipin dapat pada penggunaan
 RPM : Demam  TTV : - menimbulkan edema metamizol atau
 RPD : Hipertensi sejak 5  Nadi : - (ROTD) menyarankan untuk
thn yang lalu  Suhu : 37 3. ada penggunaan obat menngganti
 Riwayat social : tidak  Rr: - yang mempunyai analgesic nsaid
merokok  Data lab : indikasi sama menjadi
 Keluhan : Batuk, nyeri - Hgb : 12 (Duplikasi antara paracetamol infus
pada scrotum, tidak - Wbc : 17000 lactulsa dan dulcolax 1g /100ml/ 24 jam
BAB, nyeri saat menelan, - Plt : 173 supp) 2. Menyarankan
sesaknafas, nyeri perut, - Rdw : 9.0 dokter untuk
nyeri pada dada post - Pdw : 19.2 mengganti
sedoy cairan pleura, - Gr : 12.7 amlodipine menjadi
nafsu makan berkurang, - Cr : 1.4 captopril 25mg/12
perut terasakembung.  Pengobatan saat jam PO
 Riwayat penggunaan ini : 3. Menyarankan
obat : Rute parenteral dokter untuk
 Dexametasone tab untuk - Cefriaxone Inj. menghentikan
nafsu makan dan 2g/24 jam/ IV penggunaan
amlodipine 5 mg - Metamizol 1 ampl/ lactulosa dan
 Obat rekonsiliasi : Tab. 8jam IV menggunakan
Kombinasi Guafenesin (Dilarutkan dalam dulcolax sup
+Fenilpropalamin+CTM, Nacl Piggy bag) 4. Meyarankan dokter
Asmef tab, simvas 10mg, - Omeprazole 20mg/ untuk memberikan
allopurinolm cimetidine, 24 jam terapi O2 pada
antacid tab, sanmag Rute lain : pasien
suspense, dan amlodipine - Dulcolax suppo 5. Menayarankan
5 mg 1x/24 jam untuk melakukan
Rute oral monitoring kadar
- N-Acetylcistein Cr, Wbc dan
200 mg/8 jam Tekanan darah
- Amlodipin 5 pasien serta nyeri
mg/24 jam dan udemnya.
- Lacutulosa
10cc/24 jam
Rute IV Fluid Drops
RL 28 tpm
ANALISIS SOAP TERKAIT PASIEN
TGL 18/1
SUBJEKTIF (S) OBJEKTIV(O) ASSESMENT(A) PLAN(P)
 Nama px :TN. AR Bb/Tb: 60 kg/ 173 cm 1. Ada obat tanpa 1. Dihentikan
 No. RM : 14XXX Diagnosis : Febris, indikasi yaitu penggunaan
 Tgl lahir. Umur : Faringiti penggunaan domperidone karena
17/08/1958 (62thn) TTV : - domperidone, tidak sesuai dengan
 RPM : Demam Nadi : - 2. Amlodipin dapat keluhan pasien
 RPD : Hipertensi sejak 5 Suhu : 37 menyebabkan edema 2. Direkomendasi
thn yang lalu Rr: - (ROTD) kan untukmengganti
 Riwayat social : tidak Data lab : 3. Omeprazole pengobatan
merokok Hgb : 12 dapat menyebabkan amlodipine 5 mg/ 24
 Keluhan : Batuk, nyeri Wbc : 17000 nyeri perut 2%-5% jam/ PO dengan
pada scrotum, tidak Plt : 173 yang dapat candesartan 16 mg 2
BAB, nyeri saat menelan, Rdw : 9.0 memperburuk keluhan x sehari
sesaknafas, nyeri perut, Pdw : 19.2 pasien 3. Disarankan
nyeri pada dada post Gr : 12.7 4. Pemberian untuk penghentian
sedoy cairan pleura, Cr : 1.4 ceftriakson injeksi yang omeprazole karena
nafsu makan berkurang, Pengobatan saat ini : kurang tepat tidak sesuai dengan
perut terasa kembung. - N-Acetylcistein 5. Terdapat keluhan pasien dan
 Riwayat penggunaan 200 mg/8 jam interaksi obat efek samping
obat : - Amlodipin 5 ceftriakson inj. Dengan omeprazole
Dexametasone tab untuk mg/24 jam, RL. menyebabkan nyeri
nafsu makan dan - Lacutulosa 6. Pemberian perut pada pasien.
amlodipine 5 mg 10cc/24 jam, laktosa memiliki dosis 4. Jangan
 Obat rekonsiliasi : Tab. - paracetamol 500 yang kurang tepat.  menggunakan RL
Kombinasi Guafenesin mg/8 jam/PO, bersamaan dengan
+Fenilpropalamin+CTM, - Domperidone 10 ceftriakson
Asmef tab, simvas 10mg, mg/8jam/PO 5. Disarankan
allopurinolm cimetidine, - Cefriaxone Inj. mengganti
antacid tab, sanmag 2g/24 jam/ IV, ceftriakson dengan
suspense, dan amlodipine - Omeprazole amoksisilin 500 mg
5 mg 20mg/ 24 jam tiap 8 jam selama 10
- RL infus hari (IDSA).
6. Disarankan
penggunaan laktosa
dengan dosis 10-20
gram/24 jam (15-30
mg/24 jam) (DIH).
Minitoring:
- Disarankan untuk
melakukan
monitoring tekanan
darah secara rutin,
melakukan
pemeriksaan darah
secara lengkap,
- melakukan
pemeriksaan kultur
bakteri pengebab
faringitis,
- melakukan edukasi
kepada pasien untuk
menjaga pola hidup
dan rajin berolahraga
serta makan makanan
berserat untuk
melancarkan BAB.

ANALISIS SOAP TERKAIT PASIEN


TGL 19/1
SUBJEKTIF (S) OBJEKTIV(O) ASSESMENT(A) PLAN(P)
 Nama pasien : Tn. AR BB/TB : 60kg/173 1. Adanya penggunaan 1. Direkomendasi
 No. MR: 14xxxxx cm obat yang kurang tepat, kan untuk
 Tgl lahir/umur : 17 Diagnosis: Febris, yaitu obat ceftriaxone menghentikan
Agustus 1957/62 tahun Faringitis dengan indikasi untuk penggunaan
 RPM : Demam Tanda-tanda vital mengatasi infeksi ceftriaxone
 RPD: Hipertensi yang - TD 130/80 saluran pernafasan 2. Disarankan
diketahui sejak 5 tahun - Nadi 80 x/menit bawah sedangkan penggantian
yang lalu - Suhu badan 36oC faringitis merupakan ceftriaxone menjadi
 Riwayat sosia : Tidak -Respirasi 22 x/menit infeksi saluran nafas amoksisilin 500 mg
merokok Hasil Pemeriksaan atas (DIH) tiap 8 jam selama 10
 Keluhan : Batuk, nyeri Laboratorium 2. Adanya interaksi antara hari, dan amoksisilin
pada scrotum, tidak HGB : 12 ceftriaxone injeksi merupakan terapi lini
BAB, nyeri menelan, WBC : 17000 dengan ringer lactat pertama pada pasien
sesak nafas, nafsu PLT : 173 injeksi kerena ringer faringitis
makan berkurang RDW : 9,0 lactat dapat (IDSA,2012, dan
 Riwayat Penggunaan PDW : 19,2 meningkatkan efek Edward et al, 2020,
Obat GR # : 12,7 merugikan atau toksik AHFS, 2011)
• Dexametason Kreatinin : 1,4 dari Ceftriaxone. 3. Direkomendasi
tablet untuk Terapi obat : Ceftriaxone berikatan kan dosis lactulosa
menambah nafsu - ceftriaxone inj. 2 dengan kalsium dalam sirup untuk konstipasi
makan g/24 jam/IV Ringer Lactat yang diubah menjadi 15-30
• amlodipine 5 mg - N.Acetylcisteine membentuk endapan mL/hari dan
 Obat Rekonsiliasi : 200 mg/8 jam/PO yang tidak larut (DIH) ditingkatkan menjadi
Tablet Kombinasi - Amlodipine 5 3. Adanya penggunaan 60 mL / hari dalam 1-
Guafenesin mg/24 jam/PO obat yang underdose 2 dosis terbagi jika
+Fenilpropanolamin + - Lactulosa sirup 10 yaitu Lactulosa syrup perlu (DIH, 2009)
CTM, Asam cc/24 jam/PO dengan dosis 10cc/24 4. Disarankan
mefenamat tablet, - Parasetamol 500 jam PO, sedangkan untuk menghentikan
Simvastatin 10 mg, mg tab /8 jam/PO dosis 15-30cc/24 jam omeprazole karena
Allopurinol, - Omeprazole Inj 20 PO (DIH) tidak memiliki
Cimetidine, Antasida mg/24 jam 4. Adanya efek samping keluhan terkait tukak
tablet, Sanmag - RL 28 TPM amlodipin 15% lambung dan efek
suspense, Amlodipin 5 menyebabkan edema samping dari
mg paru, dyspenia (1-2%) omeprazole dapat
5. Adanya efek samping menyebabkan nyeri
omeprazole yaitu nyeri perut pasien (DIH)
perut (2%-5%) (DIH) 5. Disarankan
yang dapat untuk melakukan cek
memperburuk keluhan darah lengkap
pasien. kembali dan
6. Ada obat tapi tidak ada memonitoring
indikasi yaitu obat tekanan darah.
omeprazole 6. Disarankan
memonitoring nilai
kreatinin, efektivitas
obat, dan efek
samping obat
(amlodipin : edema
paru)
7. Disarankan
untuk memberikan
edukasi kepada
pasien untuk
menghentikan
penggunaan
dexametason karena
dapat memperparah
hipertensi pada
pasien (DIH)
8. Disarankan
untuk terapi
nonfarmakologi:
• memperbanyak
minumair mineral
• mengkonsumsi
makanan berserat
• menghindari
makanan
berminyak
• menghindari
makanan tinggi
natrium

- Pembahasan kasus dan karakteistik obat yang digunakan


1. Ceftriaxone Injeksi
Diindikasikan untuk pengobatan infeksi pernafasan bawah, otitis
media bakteri akut, infeksi kulit dan struktur kulit, infeksi tulang dan
sendi, infeksi saluran kemih, radang pinggul, gonore yang belum
sembuh, septisemia, meningitis, dan pencegahan pada operasi. Dosis
ceftriaxone injeksi yaitu 1 gram/50 mL dan 2 gram/50 mL yang
diberikan secara intravena tiap 24 jam dalam sediaan vial. Mekanisme
kerja dari obat ini yaitu dengan menghambat sintesis dinding sel
dengan mengikat 1 atau lebih protein pengikat penisilin. Obat ini juga
memberikan efek antimikroba dengan mengganggu sintesis
peptidoglikan dari bakter sehingga bakteri akan menjadi lisis
(Lexicomp, 2015 & Medscape.com).
2. Metamizole
Obat ini diindikasikan meruapakan obat golongan non-opioid yang
diindikasiakan untuk mengurangi rasa nyeri dan demam. Obat ini
diberikan secara parenteral tiap 8 jam dengan metode piggy bag dan
dilarutkan dengan larutan NaCl. Mekaisme obat ini yaitu dengan
mengahmbat COX-2 (PubMed.com)
3. Dulcolax Suppo
Obat ini diindikasikan sebagai obat pencahar untuk mengatasi sembelit.
Dulcolax suppo mengandung Bisacodyl 10 mg yang digunakan pada
rektum untuk pengobatan secara lokal. Mekanisme kerja dari obat ini
yaitu dengan meningkatkan gerakan peristaltik dan meningkatkan
akumulasi cairan usu dan lasasi dengan mengubah sekret air dan
elektrolit (Medscape.com).
4. Omeprazole injeksi
Obat ini merupakan golongan pompa proton inhibitor (PPI) yang
diindikasikan untuk pengobatan ulkus peptikum, refluks esophagitis
erisif, gastrik ulser dan duodenal ulser. Obat ini mengandung
omeprazole 20 mg vial yang dapat digunakan 1 kali sehari atau tiap 24
jam. Obat ini bekerja dengan cara mberikatan dengan ino H+ atau K+
pompa proton yang ada di dalam sel paretal lambung sehingga
menurunkan sekresi asam basal di dalam lambung (Medscape.com).

5. N-Acetylcisteine 200 mg
Digunakan untuk pasien dengan sekresi mukus yang kental atau tidak
normal secara akut atau kronik pada penyakit bronkopulmonary. Obat
ini diminum tiap 24 jam atau 1 kali sehari. Mekanisme obat ini yaitu
dengan melakukan aktivitas mukolitik memalui gugus sulfhidril yang
nantinya akan membuka gugus sulfida dalam mukoprotein sehingga
akan menurunkan viskositas mukus (Lexicomp, 2015).
6. Amlodipin 5 mg tablet
Obat ini merupakan golongan CCB (Calcium Canal Bloker) yang
digunakan untuk pengobatan hipertensi, pengobatan simptom angina
stabil kronik, vasoplastik, angina, mencegah terjadinya angina dan
CAD. Obat ini diminum 1 kali sehari atau tiap 24 jam. Mekanisme obat
ini yaitu dengan mengambat kanal Kalsium intrasel sehingga akan
menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah (Lexicomp, 2015).
7. Lactulosa sirup
Digunakan untuk pengobatan sembelit kronis. Dosis untuk obat ini
yaitu 10 gram/15 mL atau 15-30 mL (10-20 gram) yang digunakan
secara oral. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan kadar air pada
feses dan meningkatkan gerak peristaltik usus (Lexicomp, 2015).
8. Paracetamol 500 mg
Obat ini merupakan obat antipitetik dan analgetik golongan NSAID
yang digunakan untuk pengobatan nyeri ringan hingga sedang dan
demam. Obat ini diminum 3 kali sehati atau tiap 8 jam setelah makan.
Mekanisme obat ini yaitu dengan menghambat pembentukan impuls
nyeri dan dapat menghambat sinteis prostaglandin pada sistem saraf
pusat (Lexicomp, 2015).
9. Domperidone 10 mg
Obat ini diindikasikan untuk dispepsia, kembung pada saat sesuadah
makan, dan dapat mengobati mual dan muntah. Obat ini digunakan 3
kali sehati atau tiap 8 jam. Mekanisme obat ini dengan menghambat
reseptor dopamin sehingga meningkatkan peristaltik esofagus, menekan
stingter esofagus bagian bawah, dan memfasilitasi pengosongan
lambung dan mengurangi waktu transit pada usus (Lexicomp, 2015).
10. Ringer laktat
Larutan ringer laktat merupakan larutan cairan kistaloid isotonik yang
digunakan sebagai larutan penyeimbang atau larutan buffer yang
digunakan untuk pengganti cairan tubuh. Obat ini digunakan secara IV
Parenteral dengan 28 tetes per menit (Singh, S. and Davis, D., 2019).
C. Deskripsi video simulasi kegiatan penerimaan, penyimpanan, pelayanan
resep
Kegiatan Penerimaan
Penerimaan merupakan suatu bagian kegiatan dari pengadaan yang
bertujuan untuk menjamin kesesuaian obat degan jenis, jumlah dan mutunya
berdasarkan dengan dokumen penyerta dan dilakukan oleh panitia penerima
barang yang salah satu anggotanya adalah tenaga farmasi. Semua dokumen
terkait penerimaan barang harus tersimpan dengan baik (Kemkes RI, 2019).
Pemeriksaan mutu dari obat dapat dilakukan secara organoleptis,
seperti melihat bentuk fisik dari sediaan, warna, bau, rasa (jika
diperlukankan), kejernihan dan homogenitas untuk sediaan cairan dan injeksi.
Khusus untuk pemeriksaan label dan kemasan perlu dilakukan pengecekan
terhadap tanggal kadaluarsa dan nomor batch oleh petugas yang menerima
barang tersebut (Kemkes RI, 2019).
Penerimaan barang sediaan farmasi dari PBF dilakukan oleh
apoteker, dengan menerima barang sesuai dengan faktur pemesanan,
kemudian mengecek mutu dari sediaan farmasi, dilanjutkan dengan
pengecekan jumlah pesanan, tanggal kadaluarsa dan nomor batch
Berikut merupakan Link video simulasi penerimaan
https://drive.google.com/file/d/1lVVxdcM6UIRkIN_xjBoFXYznpZvMRj
af/view?usp=sharing

Kegiatan Penyimpanan
Setelah barang dierima, maka selanjutnya dilakukan peyimpanan pada
instalasi farmasi selebeum barang tersebut didistribusikan. Penyimpanan
adalah merupakan suatu kegiatan yang dilakuakan untuk sediaan farmasi,
alkes dan bahan medis habis pakai dengan cara menempatkan dan
menyimpan barang yang diterima pada tempat yang aman dari pencurian
serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu dan stabilitas obat (Permenkes,
2016).
Tujuan dari penyimpanan sediaan farmasi yaitu untuk memelihara mutu
dari sediaan dan menghindari dari penggunaan yang tidak bertanggung jawab,
menghindari terjadinya kehilangan dan pecurian, serta memudahkan
pencarian dan pengawasan dari sediaan farmasi tersebut (Kemkes RI, 2019).
Aspek umum yang harus diperhatikan dalam kegiatan penyimpanan yaitu
(Kemkes RI, 2019):
a. Area penyimpanan obat pada gudang dan satelit farmasi tidak boleh
dimasuki selain oleh petugas farmasi yang berikan kewenangan.
b. Area peyimpanan obat pada ruang perawatan tidak boleh dimasuki oleh
petugas lain selain petugas farmasi yang diberi kewenangan.
c. Sediaan farmasi, bahan medis habis pakai dan alat kesehatan harus
dilindungi dari kejadian kehilangan dan pencurian di lingkungan rumah
sakit, maka dar itu perlu dilakukan pemasangan CCTV, penggunaan
kartu stok, dan akses terbatas untuk instalasi farmasi
d. Obat dan bahan kimia yang digunakan dalam menyiapkan obat diberikan
label yang jelas dan dapat di baca yang berisi nama, tanggal pertama
kemasan dibuka, tanggal kadaluarsa dan peringatan khusus
e. Obat yang dikeluarkan dari wadah aslinya seperti seidaan injeksi yang
telah di masukkan kedalam syringe haris diberikan label atau etiket yang
memuat nama pasien dan identitas lain seperti nomor rekam medik dan
atau tanggal lahir, tanggal di buka dan tanggal kadaluwarsa setelah
dibuka.
f. Obat dan bahan kimia yang didistribusikan dengan pengemasan ulang
maka harus diberikan etiket yang berisi nama, konsentrasi atau kekuatan,
tanggal pengemasan dan beyond use date (BUD).
g. Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat dan diberi penandaan
untuk menghindari kesalahan pengambilan jenis gas medis, dan untuk
tabung gas yang telah kosong maka disimpan secara terpisah dari tabung
gas medis yang masih memiliki isi atau yang belum di pakai. Penyimpan
gas medis di ruangan harus menggunakan tutup demi keselamatan.
Metode yang digunakan dalam penyimpanan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai yaitu disusun secara alfabetis
dengan metode penyusunan secara kelas terapi, bentuk sediaan, dan jenis
sediaan. Adapun prinsip yang dapat digunakan dalam penyimpanan
sediaan farmasi, alkes dan bahan medis habis pakai yaitu First Expired
First Out (FEFO) yaitu barang yang memiliki waktu expire date yang
lebih dekat maka akan disimpan pada bagian depan lemari penyimpanan
agar nantinya barang tersebut yang lebih awal digunakan. Prinsip yang
kedua yaitu First In First Out (FIFO) yaitu barang yang pertama masuk
maka barang tersebut yang pertama di keluarkan. Kedua prinsip
penyimpanan ini bertujuan agar barang yang memiliki expire yang
pendek atau mendekati expire lebih dahulu di keluarkan agar
meminimalkan barang yang tak digunakan karna telah mengalami
kadeluwarsa (Kemkes RI, 2019).
Penyimpanan obat LASA (Look Alike Sound Alike) atau NORUM
(nama pbat rupa ucapan mirip) dilakukan dengan meletakkan obat tidak
saling berdekatan dan diberi pelabelan khusus sehingga memudahkan
petugas dalam membedakan dan meningkatkan kewaspadaan bagia
petugas terhadap obat tersebut (Kemkes RI, 2019).
Contoh untuk obat LASA yaitu obat dengan kekuatan yang
berbeda namun dengan zat aktif yang sama. Maka untuk sediaan tersebut
disimpan tidak berdampingan dengan bentuk sediaan yang sama dan
sebaiknya diberikan perantara antar obat yang sama dan diberikan label
“LASA”. Berikut contohnya (Kemkes RI, 2019).

Gambar 5. Contoh obat LASA disimpan tidak berdekatan

Gambar 6. Contoh label LASA

Obat LASA yang memiliki nama obat atau ejaan yang mirip maka
disarankan dalam penulisannya dilakukan dengan menggunakan Tall Man
Lettering (Kemkes RI, 2019). Sebagain contoh di bawah ini, sefEPIm dan
sefPIROm
Gambar 7. Contoh obat LASA dengan kandungan
zat aktif yang berbeda

Obat narkotika dan psikotropika disimpan dalam lemari yang terpisah,


sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Obat
narkotika dan psikotropika disimpan pada lemari dengan dua pintu dan dua
kunci yang berbeda. Kunci lemari narkotika dan psikotropika dipegang oleh
apoteker dan penangguang jawab apoteker atau orang yang telah diberikan
wewenang. Kunci lemari tidak boleh dibiarkan menggantung pada lemari dan
setiap pergantian shift maka harus dilakukan pemeriksaan stok dan serah
terima yang didokumentasikan (Kemkes RI, 2019).

Gambar 8. Contoh lemari narkotik dan psikotropik


Bahan berbahaya dan beracun (B3) disimpan pada lemari khusus dengan
penandaan yang menunjukkan sifat dari bahan tersebut. Pengelolaan B3
mengacu pada peraturan pemerintah (Kemkes RI, 2019).

Gambar 9. Contoh lemari penyimpanan B3

Obat Hight Alert adalah obat yang harus diwaspadai karna akan
menyebabkan dampak serius pada keselamatan pasien jika terjadi kesalahan
pemberian dan penggunaan. Obat-obatan yang termasuk dlaam kategori High
alert yaitu elektrolit konsentrat sepeerti kalium klorida dengan konsentrasi 2
mEq/mL, kalium fosfatm, natrium klorida dengan konsentrasi lebih dari 0,9%
dan magnesium sulfat injeksi dengan konsentrasi 50% atau lebih. Maka obat-
obat tersebut diberikan penandaan “High Alert” dan disimpan terpisah. Untuk
obat sitostatika penandaan dapat diberikan tanda atau label standar
internasional dan tidak perlu label “high alert” lagi. Berikut contoh obat high
alert dan penandaan sitostatika (Kemkes RI, 2019).

Gambar 10. Contoh obat high alert


Gambar 11. Contoh penandaan sitostatika

Penyimpanan obat dan alat keselamatan untuk keadaan darurat


(emergency) harus mempertimbangkan aspek kecepatan dalam
mengambilnya jika terjadi kegawatdaruratan dan aspek keamanan dalam
penyimpanannya. Obat dan alat kesehatan emergensi hanya digunakan dalam
keadaan darurat dan perlu dilakukan pula monitoring berkala untuk jenis
alkes dan obat ini. Dilakukan pula pemantauan penggantian obat emergensi
yang kadaluwarsa dan rusak secara tepat waktu. Obat dan alat kesehatan ini
dapat disimpan pada trolly khusus emergency atau pun tas emergency
(Kemkes RI, 2019). Berikut contoh penyimpanan obat dan alat kesehatan
emergensi.

Gambar 12. Contoh penyimpanan obat emergency pada trolly &


tas emergency yang menggnakan pengaman disposible
Penyimpanan obat berdasarkan stabilitas bahan aktif dapat digunakan
lemari pendingin. Lemari pendingin dapat menyimpan obat khusus seperti
vaksin yang tidak tahan dengan suhu ruang. Pada lemari pendingin dilengkapi
termometer yang digunakan untuk mengukur suhu lemari pendingin dan
dikalibrasi setiap tahunnya. Pencatatan juga perluka dalam penyimpaan obat
pada lemari pendingin baik itu pencatatan sediaan maupun suhu dari lemari
pendingin (Kemkes RI, 2019).

Gambar 13. Lemari pendingin dengan termometer

Berikut merupakan Link video simulasi Penyimpanan


https://drive.google.com/file/d/1HUAQNrAfl1ccCZUePFMx0-
oFdnT57zZr/view?usp=sharing

Kegiantan Pelayanan Resep

Pengkajian dan pelayanan resep merupakahan salah satu kegiatan dalam


penyiapan obat yang terdiri dari pengkajian resep, penyerahan dan pemberian
informasi, pemeriksaan ketersediaan produk, penerimaan, penyiapan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai (Kemkes RI, 2019).
Pengkajian resep ini juga dilakukan untuk menganalisa adanya masalah
terkait obat, dan jika ditemuka masalah terkait obat, maka obat tersebut
nantinya akan dikonsultasikan kembali pada dokter penulis resep. Pengkajian
resep ini dilakukan sesuai dengan persyaratan administrasi, farmaseutik dan
klinis resep, baik itu untuk resep rawat jalan maupun resep rawat inap
(Permenkes RI, 2016).
Pengkajian dan pelayanan resep dilakukan oleh apoteker dan tenaga
teknis kefarmasian. Apoteker dalam mengkaji resep dapat melakukan
pengkajian yang meliputi (Kemkes RI, 2019):
- Ketepatan identitas pasien, obat, dosis, frekuwensi, aturan pakai, dan
waktu pemberian,
- Pengecekan adanya duplikasi obat yang mungkin dapat terjadi,
- Potensi alergi dan sensitivitas,
- Interaksi antar obat dan obat lain,
- Variasi karakteristik penggunaan dari rumah sakit,
- Berat badan dan kondisi fisiologik dari pasien, dan
- Kontra indikasi
Skrining administrasi merupakan skrining awal pada saat resep dilayani,
skrining administrasi perlu dilakukan karna mencakup seluruh informasi di
dalam resep yang berkaitan dengan kejelasan tulisan obat, keabsahan resep,
dan kejelasan informasi di dalam resep. Kajian secara administratif
merupakan aspek yang sangat penting dalam peresepan karna dapat
membantu mengurangi medication error (Permenkes RI, 2016).
Pengkajian farmaseutik merupakan pemeriksaan yang dilakukan terkait
obat yang diresepkan oleh dokter kepada pasien. Srining farseutik meliputi :
nama obat, bentuk sediaan, kekuatan sediaan, dosis dan jumlah obat,
stabilitas, aturan dan cara pakai dan kompatibilitas (Permenkes RI, 2016).

Adapun pengkajian pada aspek klinis yaitu terkait dengan ketepatan


indikasi, obat, dosis dan waktu atau jam penggunaan obat, duplikasi
pengobatan, alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD),
kontraindikasi, dan interaksi obat (Kemkes RI, 2019).
Setiap dilakukan pengkajian maka dilakukan pengcatatan pengkajian
pada daftar tilik, dengan memberi centang pada kolom ‘Ya” jika hasil
pengkajian sesuai dan “Tidak” jika hasil pengkajian tidak sesuai. Selain itu
informasikan terlebih dahulu pada pasien terkait harga resep baik itu pada
pasien non jaminan atau pasien umum. Laporan kesalahan penggunaan obat
tahap peresepan dibuat berdasarkan catatan pengkajian resep yang tidak
sesuai. Laporan ini dibuat setiap bulannya (Kemkes RI, 2019).
Setelah resep dikaji dan telah sesuai berdasarkan persyaratan maka
selanjutnya dilakukan penyiapan obat berdasarkan resep yang sudah di kaji
sebelumnya. Penyiapan obat dilakukan seperti berikut (Kemkes RI, 2019):
- Menghitung jumlah kebutuhan obat berdasarkan resep yang ada
- Mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan melihat
kesesuaian nama obat dan juga memperhatikan tanggal kadaluwarsa dan
keadaan fisik obat. Dalam penyiapan obat sebaiknya dilakukan Double
check untuk kebenaran identitas obat atau pun obat yang nantinya akan di
racik, terutama jika oba tersebut termasuk dalam obat high alert/LASA.
- Obat yang diserahkan nantinya harus diberikan etiket yang berisikan
identitas obat dan pasien yang akan menerima obat. Pada etiket obat
memuat informasi : nama lengkap pasien, nomor rekam medis dan/atau
tanggal lahir, nama obat, aturan pakai, instruksi khusus, tanggal
kedaluwasa obat dan tanggal penyiapan obat. Untuk etiket di kantong obat
dengan sistem dosis unit berisikan informasi seperti : nama lengkap
pasien, nomor rekam medis dan/atau tanggal lahir, instruksi khusus, dan
tanggal penyiapan obat.
- Sebelum obat diberikan kepada pasien atau perawat maka harus dilakukan
telaah obat berdasarkan resep yang ada. Adapun aspek yang terdapat
dalam telaah obat yaitu tepat obat, tepat pasien, tepat rute, tepat dosis, dan
tepat waktu pemberian.
- Pada saat obat diberikan pada pasien khususnya pada pasien rawat jalan
maka harus disertai dengan pemberian informasi terkait obat yang
diberikan.
Pengkajian berdasarkan video yakni pasien menebus resep di
instalasi farmasi di rumah sakit, kmudian apoteker menerima dan
melakukan pengkajian resep, selanjutnya dilakukan pengambilan obat,
setelah selesai dilakukan pengecekan ulang rterkait obat yang di ambil
apakah sesuai dengan resep atau tidak, setelah itu diberikan kepada pasien
yang bersangkutan dengan disertai pemberian informasi obat.
Berikut merupakan Link video simulasi Pelayanan resep :
https://drive.google.com/file/d/1AnDG_CCb1LBORu-
sP7NrFvSBPOzysxyg/view?usp=sharing
D. Deskripsi video simulasi konseling pasien rawat inap
Konseling obat merupakan kegiatan pemberian nasehat atau saran terkait
terapi obat dari apoteker kepada pasien maupun keluarga pasien. Konseling
yang dilakukan oleh apoteker kepada pasien, baik itu pasien rawat inap
maupun rawat jalan berdasarkan inisiatif apoteker, rujukan dokter, keinginan
pasien ataupun keluarga pasien (Permenkes, 2016).
Tujuan dari pemberian konseling yaitu untuk meningkatkan kepatuhan
pasien, terutama untuk pasien dengan kondisi khusus atau pun geriatri. Selain
itu untuk meminimalkan resiko Reaksi Obat Tidak Dikehendaki (ROTD) dan
meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan
penggunaan obat bagi pasien (Kemenkes, 2019).
Seorang wanita lansia merupakan pasien rawat inap, pasien tersebut
sudah dirawat selama 2 hari akibat penyakit yang di derita yakni Hipertensi
dan Maag, kmudian apoteker rumah sakit memulai kunjungan kepada pasien
rawat inpa untuk memantau perkembangan pasien.
Kegiatan konseling diawali dengan membuka komunikasi antara
apoteker dan pasien, memberi senyum sapa dan memperkenalkan diri.
Kemudian apoteker meminta waktu untuk melakukan konseling. Setelah itu
Apoteker menanyakan identitas pasien selanjutnya menanyakan tentang
diagnosa dokter ketika masuk ke rumah sakit, kemudian melihat obat apa
yang pasien konsumsi yang telah diberikan oleh dokter, serta menggali
informasi lebih lanjut dan memberikan kesempatan kepada pasien untuk
mengeksplorasi masalah penggunaan obat, setelah itu menanyakan pasien
apakah ada keluhan, dan terdapat keluhan yakni pembengkakan pada kaki
yang terjadi akibat mengkonsumsi salah satu obatnya yaitu amlodipin,
kemudian apotekeroun memberikan penjelasan terkait keluhan dan
pengobatan untuk pasien.
Adapun tahap-tahap dalam melakukan konseling bagi pasien rawat inap,
yaitu (Kemenkes, 2019):
1) Konseling dilakukan bagi pasien yang membutuhkan selama rawat inap
ataupun pasien rawat inap yang akan melanjutkan pengobatan di rumah
2) Melakukan pertemuan dengan pasien ataupun keluarga pasien
3) Memastikan identitas pasien dengan cara menanyakan dengan pertanyaan
terbuka minimal 2 identitas, yaitu nama lengkap dan tanggal lahir
4) Memulai komunikasi dengan mendengarkan uraian atau masalah dari
pasien terkait terapi obat
5) Mengidentifikasi dan membantu penyelesaian masalah terkait terapi obat
6) Mengisi formulir edukasi pasien dan keluarga pasien terintegrasi sebagai
bukti melakukan konseling pasien rawat inap (Lampiran 14).
7) Dapat pula diberkan tambahan edukasi ataupun alat bantu untuk pasien
yang memiliki masalah ketidakpatuhan dalam meminum obat dengan
memberi Tabel catatan penggunaan obat (lampiran 13).
Berikut merupakan Link video simulasi Konseling pasien rawat inap :
https://drive.google.com/file/d/1IKFtqYtu6Fa4JlOU5M0gfIffwZzmrsbV/vie
w?usp=sharing
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan R.I, 2009, Pedoman Pemantauan Terapi Obat, Jakarta:


Depkes RI

Dipiro.JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New


York

Kondoy, E.A., Posumah, J.H. and Londa, V.Y., 2017. Peran Tenaga Medis Dalam
Pelaksanaan Program Universal Coverage Di Puskesmas Bahu Kota
Manado. JURNAL ADMINISTRASI PUBLIK, 3(046).

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2019, Petunjuk Teknis Standar


Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit.

Ikatan Apoter Indonesia, 2016, Standar Kompetrensi Apoteker Indonesia.

Menteri Kesehatan RI, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah. Sakit, Jakarta.

Menteri Kesehatan RI, 2019, Petunjuk Teknisi Kefarmasian di Rumah Sakit,


Jakarta.
Peraturan Badan Pengawas Obat dan makanan Nomor 4 Tahun 2018 tentang
Pengawasan Pengelolaan Obat. Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Jakarta.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2015 Tentang Pedoman


Organisasi Rumah Sakit.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009, Tentang Kesehatan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah


Sakit.

Singh, S. and Davis, D., 2019. Ringer's Lactate.

Lexicomp, 2015, Drug Information Handbook: A Clinically Relevant Resource


for All Healthcare Professionals. 24 edition. Lexi Comp

LAMPIRAN

Lampiran 1. Struktur IFRS

Struktur organisasi di rumah sakit secara umum


Struktur organisasi di rumah sakit Swasta

Lampiran 2. Formulir Pengajuan Obat untuk Masuk Formularium


Gambar 6.Formulir Pengajuan Obat untuk Masuk ke Formularium (Kemenkes,
2019).

Lampiran 3. Formulir Pengajuan Penghapusan Obat Formularium


Gambar 7. Formulir Pengajuan Penghapusan Obat Formularium (Kemenkes,
2019).

Lampiran 4. Formulir Permintaan Khusus obat di luar Formularium


Gambar 8 .Formulir Permintaan Obat khusus di luar Formularium (Kemenkes,

2019).

Lampiran 5. Laporan Monitoring Efek Samping Obat (MESO)


Lampiran 6. Formulir resep
Lampiran 7. Formulir lembar pengkajian resep
Lampiran 8. Formulir Rekonsiliasi Obat Saat Admisi
Lampiran 9. Formulir Rekonsiliasi Obat Saat Transfer
Lampiran 10. Formulir Rekonsiliasi Obat Saat Discharge
Lampiran 11. Formulir Pelayan Informasi Obat
Lampiran 12. formulir Monitoring Efek Samping Obat
Lampiran 13. Lembar Catatan Penggunaan Obat
Lampiran 14. Formulir Konseling Obat Pasien
Lampiran 15. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat

No. Penelusuran riwayat penggunaan obat Uraian (dokumentasi)


Jenis pasien (rawatinap/rawatjalan)
1.
Resep baru atau berulang
2. obat yang sedang diminum
3. obat yang bila perlu digunakan
4. Nama obat
5. Kekuatan obat
6. Cara menggunakan
7. Frekuensi menggunakan dalam sehari
8. Untuk keluhan apa
Menanyakan adakah keluhan setelah
9.
minum obat
10. Tindakan apa yang dilakukan
Melakukan identifikasi terapil ain,
misalnya suplemen dan pengobatan
alternatif yang mungkin digunakan oleh
11.
pasien dengan menanyakan kebiasaan
minum jamu atau herbal atau food
supplement
Membandingkan riwayat penggunaan obat
dengan data rekam medik/pencatatan
12.
penggunaan obat untuk mengetahui
perbedaan informasi penggunaan obat
13. Alergi
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
14.
(ROTD);
Mengidentifikasi potensi terjadinya
interaksi obat;
Melakukan penilaian terhadap kepatuhan
pasien dalam menggunakan obat dengan
15.
menayakan kapan tidak minum obat dan
alasannya
Melakukan penilaian rasionalitas obat yang
16.
diresepkan;
Melakukan penilaian terhadap teknik
17. penggunaan obat dengan meminta pasien
memperagakan teknik penggunaanya
Melakukan penilaian terhadap pemahaman
18.
pasien terhadap obat yang digunakan;
REKONSILIASI OBAT SAAT TRANSFER
Tindak Lanjut Oleh Dokter Perubahan Aturan
Obat Yang Sedang Digunakan
Penerima Pakai
Cara
No. Nama Obat Dosis Frekuensi
Pemberian
o Lanjut aturan pakai sama
o Lanjut aturan pakai berubah
o Stop
o Lanjut aturan pakai sama
o Lanjut aturan pakai berubah
o Stop
o Lanjut aturan pakai sama
o Lanjut aturan pakai berubah
o Stop

o Lanjut aturan pakai sama


o Lanjut aturan pakai berubah
o Stop

o Lanjut aturan pakai sama


o Lanjut aturan pakai berubah
o Stop

o Lanjut aturan pakai sama


o Lanjut aturan pakai berubah
o Stop
Lampiran 16. Rekonsiliasi
Rekonsiliasi obat saat Obat saat Transfer
transfer

Gambar 14. Rekonsiliasi Obat Transfer


Rekonsilasi obat sebelum admisi
□ ya, dengan rincian sebagai berikut □ Tidak menggunakan obat sebelum admisi
Lampiran 17. Rekonsiliasi Obat saat Admisi
Cara Tindak Lanjut Oleh Dokter Perubahan Aturan
No. Nama Obat Dosis Frekuensi
Pemberian Penerima Pakai
o Lanjut aturan pakai sama
o Lanjut aturan pakai berubah
o Stop
o Lanjut aturan pakai sama
o Lanjut aturan pakai berubah
o Stop
o Lanjut aturan pakai sama
o Lanjut aturan pakai berubah
o Stop

o Lanjut aturan pakai sama


o Lanjut aturan pakai berubah
o Stop

o Lanjut aturan pakai sama


o Lanjut aturan pakai berubah
o Stop

o Lanjut aturan pakai sama


o Lanjut aturan pakai berubah
o Stop

Rekonsiliasi obat saat admisi

Tanggal / Jam : Membandingkan antara :

Apoteker yang melakukan rekonsiliasi obat: - Daftarpenggunaanobatsebelumadmisi dengan


Resep/Instruksi Pengobatan saat admisi
Gambar 15. Rekonsiliasi Obat Admisi

REKONSILIASI OBAT SAAT DISCHARGE

Cara Perubahan Aturan


No. Nama Obat Dosis Frekuensi Tindak Lanjut Oleh Dokter Penerima
Pemberian Pakai

o Lanjut aturan pakai sama


o Lanjut aturan pakai berubah
o Stop
o Obat baru
o Lanjut aturan pakai sama
o Lanjut aturan pakai berubah
o Stop
o Obat baru
o Lanjut aturan pakai sama
o Lanjut aturan pakai berubah
o Stop
o Obat baru
o Lanjut aturan pakai sama
o Lanjut aturan pakai berubah
o Stop
o Obat baru
o Lanjut aturan pakai sama
o Lanjut aturan pakai berubah
o Stop
o Onbat baru
o Lanjut aturan pakai sama
o Lanjut aturan pakai berubah
o Stop
o Obat baru
Lampiran 18. Rekonsiliasi Obat saat Discharge

Rekonsiliasi obat saat discharge


Membandingkan antara :
Tanggal / Jam :
- Daftarpenggunaanobatsebelumadmisi
Apoteker yang melakukan rekonsiliasi obat: - Daftarpenggunaanobat24 jam terakhir
- Resep obat pulang

Gambar 16. Rekonsiliasi Obat Discharge


LAMPIRAN
FORMULIR PEMANTAUAN TERAPI OBAT
Nama Rumah Sakit : Ruang Rawat :
Nama Pasien :
Usia :
Jenis Kelamin :
Berat Badan (Kg)
Tinggi Badan :

Keluhan Utama :
Tanggal ( ), jam ( )
Keluhan

Riwayat Penyakit Sekarang :

Riwayat Penyakit Terdahulu :

Riwayat Keluarga :

Riwayat Sosial :

Riwayat Penggunaan obat :

Hasil pemeriksaan fisik


Pemeriksaan Tanggal Tanggal Tanggal Tanggal Tanggal Tanggal
Hasil pemeriksaan laboratorium

Anda mungkin juga menyukai