Anda di halaman 1dari 125

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)

FARMASI RUMAH SAKIT DI RSUB MALANG


(4 Januari 2021- 8 Maret 2021)

Disusun Oleh:
Kevin Rexy Raharjaa, S.Farm 200070600111002
Ade Yulianingsih, S.Farm 200070600111010
Machrozi Alfian, S.Farm 200070600111013
Indira Hatmanti Puspitasari, S.Farm 200070600111024
Carissa Dwi Puspita 200070600111025
Sofy Indah Pratiwi, S.Farm 200070600111027

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


JURUSAN FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
(PKPA) FARMASI RUMAH SAKIT DI RSUB MALANG
Periode 4 Januari 2021- 8 Maret 2021

Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Apoteker pada Program Studi Profesi Apoteker Jurusan Farmasi Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang

Disetujui oleh:

Pembimbing Prodi Profesi Apoteker Preseptor RSUB Malang


PSPA Jurusan Farmasi FKUB

Dra. Diana Lyrawati, S.Farm., Apt Jeffri Arisandi, S.Farm., Apt


M.Kes., Ph.D
NIP. 196811011993032004 SIPA 446.APT/086.2/35.73.302/2017

Mengetahui,

Ketua Program Studi Profesi Apoteker


Jurusan Farmasi FKUB

Ayuk Lawuningtyas, M.Farm., Apt.


NIK. 2012058806102001

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Upaya kesehatan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatan yang bertujuan untuk mewujudukan derajat
kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009, kesehatan adalah keadaan
sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan
setiap orang untuk produktif secara soaial dan ekonomis. Dalam upaya
memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat maka perlu adanya fasilitas
kesehatan yang memadai bagi masyarakat.
Salah satu jenis fasilitas pelayanan kesehatan adalah rumah sakit
yang merupakan sarana kesehatan dan rujukan pelayanan kesehatan dengan fungsi
utama menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyembuhkan dan
memulihkan keadaan pasien. Adapun tugas dari rumah sakit yaitu memberikan
perlindungan terhadap keselamatan dan melaksanakan suatu upaya kesehatan
secara berdaya guna dan berhasil dengan mengutamakan atau mementingkan
upaya penyembuhan dan pemulihan. Menurut UU No. 44 tahun 2009, rumah sakit
adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat. Rumah sakit bukan sebagai penyelenggara kegiatan pelayanan
kesehatan akan tetapi berfungsi sebagai tempat pendidikan tenaga kesehatan dan
penelitian. Pelayanan kesehatan di rumah sakit harus memperhatikan aspek
kepuasan bagi para pemakai jasa pelayanan, dan juga memperhatikan aspek
pendukung lain seperti quality, safety, efficacy, dan cost effective.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan dibutuhkan sumber daya,
diantaranya tenaga kesehatan yang terdiri dari tenaga medis, keperawatan,
kefarmasian, kesehatan masyrakat, gizi, keterapian fisik, dan keteknisan medis
yang saling bekerja sama untuk meningkatkan kualitas hidup dari setiap pasien.
Berdasarkan Undang-Undang No. 36 tahun 2014 tenaga kesehatan adalah setiap

2
orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan
dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan, untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu pelayanan langsung
tenanga kesehatan yang bertanggung jawab kepada pasien yang berhubungan
dengan sediaan farmasi untuk meningkatkan mutu kehiduapn pasien. Apoteker
merupakan tenaga kesehatan yang memiliki peran penting dalam melakukan
pelayanan kefarmasian di rumah sakit dengan standar pelayanan kefarmasian yang
telah ditentukan. Peran rumah sakit dalam mewujudkan tujuan tidak lepas dari
mutu pelayan dan tenaga kesehatan yang dimiliki. Peningkatan mutu pelayanan
kefarmasian di Rumah Sakit yang berorientasi kepada keselamatan pasien (patient
safety) sehingga diperlukan suatu standar yang dapat digunakan sebagai acuan
dalam pelayanan kefarmasian, Berdasarkan Permenkes No. 72 tahun 2016 terkait
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, dopergunakan sebagai pedoman
bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian.
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab
kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai
hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
harus didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian. Tenaga Teknis
Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan
kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi,
dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker. Apoteker adalah sarjana farmasi
yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan
sehingga apoteker memiliki peran dalam melakukan praktik kefarmasian melalui
pelayanan kefarmasian yang dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian.
Apoteker merupakan tenaga professional yang memiliki
kemampuan dan pengetahuan yang memadai tentang farmasi rumah sakit agar
mampu mengelola bidang kefarmasian di rumah sakit baik aspek fungsional
maupun manajerial dan beriorientasi pada pasien. Apoteker dengan
kompetensinya mampu memberikan pemahaman kepada pasien tentang penyakit

3
dan pengobatan dengan tujuan meningkatkan kepatuhan pasien dan melakukan
monitoring efek samping atau efek lain yang tidak diharapkan serta memastikan
hasil terapi sesuai dengan tujuan terapi yang diinginkan, maka apoteker harus
melakukan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar yang berlaku sehingga
menghindari terjadinya kesalahan (medication error) yang dapat berdampak pada
pasien. Apoteker memiliki tanggung jawab dan menjamin sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang diberikan pada pasien sesuai kebutuhan yang aman, efektif, sesuai
dan acceptable. Profesi apoteker memiliki komitmen bahwa apoteker mempunyai
ketetapan hati untuk senantiasa berusaha menjalankan tugas dengan sebaik-
baiknya sesuai martabat dan tradisi luhur profesi kefarmasian.
Semakin tingginya tuntutan tersebut, sehingga mahasiswa Program
Pendidikan Profesi Apoteker perlu melakukan Praktik Kerja Profesi Apoteker
(PKPA) di Rumah Sakit. Praktik Kerja Profesi Apoteker ini dilakukan di RS
Universitas Brawijaya Malang pada tanggal 11 Januari – 15 Maret 2021. Dengan
dilaksanakannya praktik kerja profesi apoteker ini diharapkan dapat memberikan
pemahaman dan mampu melaksanakan tanggung jawab apoteker di rumah sakit,
baik dalam hal pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai maupun dalam pelayanan farmasi klinik.

1.2. Tujuan
Tujuan dilaksanakannya Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di
rumah sakit bagi mahasiswa program profesi apoteker adalah untuk membekali
mahasiswa dengan pengetahuan dan kemampuan di bidang pelayanan
kefarmasain di rumah sakit. Pada akhir kegiatan PKPA di RS Universitas
Brawijaya Malang, para calon apoteker diharapkan dapat :
1. Memahami peran, fungsi, posisi, dan tanggung jawab apoteker dalam
pelayanan kefarmasian di rumah sakit sesuai dengan Permenkes RI
No. 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Sakit.
2. Memahami mengenai praktik kefarmasian di rumah sakit baik dari segi
pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai maupun dari

4
segi pelayanan farmasi klnik sesuai dengan Permenkes RI No. 72
tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
3. Memiliki wawasan, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman
praktis untuk melakukan praktik kefarmasian di rumah sakit.
4. Memahami dan menerapkan konsep pharmaceutical care dalam
praktik pelayanan kefarmasian khususnya di rumah sakit.
5. Mempersiapkan diri dalam memasuki dunia kerja sebagai tenaga
farmasi yang professional.

1.3. Manfaat
Berdasarkan tujuan dari praktik kerja profesi apoteker, diharapkan
mahasiswa mendapatkan manfaat sebagai berikut :
1. Mengetahui, memahami tugas dan tanggung jawab apoteker dalam
menjalankan pelayanan kefarmasian di rumah sakit.
2. Memperoleh wawasan pengetahuan dan pengalaman lebih dalam melakukan
kegiatan dan pelayanan kefarmasian secara langsung terutama di rumah sakit.
3. Mampu mengembangkan dan mengaplikasikan ilmu yang didapat saat
pendidikan formal dan menerapkannya pada praktik kerja nyata di rumah
sakit.
4. Mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan pasien, keluarga pasien, rekan
profesi sejawat dan rekan profesi kesehatan lain dalam penerapan pelayanan
kefarmasian dan pharmaceutical care.
5. Meningkatkan rasa percaya diri untuk menjadi apoteker yang professional.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.
2.
2.1. Rumah Sakit
2.1.1. Pengertian Rumah Sakit (PDF08E00346)
Rumah sakit didefinisikan sebagai suatu organisasi yang kompleks dan pada
masa operasinya, menggunakan gabungan dari alat ilmiah khusus dan rumit, dan
difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam
menangani masalah medis modern. Bekerja sama dalam suatu lingkungan untuk
pemulihan dan pemeliharaan Kesehatan yang baik (Siregar, 2004). Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, dalam Peraturan Presiden nomor 77 tahun 2015
tentang pedoman Organisasi Rumah Sakit, mendefinisikan Rumah Sakit Umum
sebagai Rumah Sait yang memberikan pelayanan Kesehatan bersifat dasar,
spesialistik, dan sub-spesialistik.
2.1.2. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit (digital)
Tugas dan Fungsi Rumah sakit tercakup dalam Undang-undang
Republik Indonesia nomor 44 tahun 2009, diantaranya :
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan
sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui
pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai
kebutuhan medis.
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia
dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan
kesehatan.
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan
teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan

6
kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang
kesehatan.

2.1.3. Klasifikasi Rumah Sakit (digital)


Rumah sakit dapat diklasifikasikan menurut jenis pelayanan dan
pengelolaanya. Berdasarkan jenis pelayanan yang disediakan, rumah sakit
diklasifikasikan menjadi rumah sakit umum dan rumah sakit khusus,
dimana rumah sakit umum merupakan rumah sakit yang memberikan
pelayanan Kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit, sedangkan,
rumah sakit kusus merupakan rumah sakit yang memberikan pelayanan
pada satu bidang atau satu jenispenyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu,
organ, dan jenis jenis penyakit.
Klasifikasi rumah sakit berdasarkan pengelolaanya terbagi menjadi
dua, yakni rumah sakit publik dan rumah sakit privat. Rumah sakit publik
dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang
bersifat nirlaba. Rumah sakit publik yang dikelola Pemerintah dan
Pemerintah Daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan
Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Rumah sakit publik yang
dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak dapat dialihkan menjadi
rumah sakit privat. Rumah sakit privat adalah rumah sakit yang dikelola
oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan
Terbatas atau Persero.
Klasifikasi rumah sakit selanjutnya adalah rumah sakit Pendidikan,
setelah memenuhi persyaratan dan standar rumah sakit pendidikan yang
ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan Menteri yang
membidangi urusan pendidikan. Rumah sakit pendidikan merupakan
rumah sakit yang menyelenggarakan pendidikan dan penelitian secara
terpadu dalam bidang pendidikan profesi kedokteran, pendidikan

7
kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009)

2.1.3.1. Klasifikasi Rumah Sakit Umum


Rumah sakit umum diklasifikasikan menjadi 4 kelas (Peraturan
Menteri Kesehatan RI nomor 3 tahun 2020), antara lain:
a. Rumah sakit umum kelas A
Rumah sakit umum kelas A harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 pelayanan medik
spesialis dasar, 5 pelayanan spesialis penunjang medik, 12
pelayanan medik spesialis lain, dan 13 pelayanan medik sub
spesialis.
b. Rumah sakit umum kelas B
Rumah sakit umum kelas B harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 pelayanan medik
spesialis dasar, 4 pelayanan spesialis penunjang medik, 8 pelayanan
medik spesialis lainnya, dan 2 pelayanan medik subspesialis.
c. Rumah sakit umum kelas C
Rumah sakit umum kelas C harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 Pelayanan Medik
Spesialis Dasar dan 4 Pelayanan Spesialis Penunjang Medik
d. Rumah sakit umum kelas D
Rumah sakit umum kelas D harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 pelayanan medik
spesialis dasar.
2.1.3.2. Klasifikasi Rumah Sakit Khusus
Jenis rumah sakit khusus antara lain Rumah Sakit Khusus Ibu dan
Anak, Jantung, Kanker, Orthopedi, Paru, Jiwa, Kusta, Mata,
Ketergantungan Obat, Stroke, Penyakit Infeksi, Bersalin, Gigi dan

8
Mulut, Rehabilitasi Medik, Telinga Hidung Tenggorokan, Bedah,
Ginjal, Kulit dan Kelamin. Klasifikasi dari unsur pelayanan meliputi
Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat Darurat sesuai
kekhususannya, Pelayanan Medik Spesialis Dasar sesuai kekhususan,
Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan Medik Spesialis
Lain, Pelayanan Keperawatan, Pelayanan Penunjang Klinik,
Pelayanan Penunjang Non Klinik (Peraturan Menteri Kesehatan RI
nomor 3 tahun 2020).
2.2. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
2.2.1. Pengertian Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016
tentang Standar Pelayananan Kefarmasian di Rumah Sakit Instalasi
Farmasi adalah unit pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh
kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah sakit. Pengorganisasian Instalasi
Farmasi Rumah Sakit harus mencakup penyelenggaraan pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, pelayanan
farmasi klinik dan manajemen mutu, dan bersifat dinamis dapat direvisi
sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga mutu (Menkes RI, 2016).
2.2.2. Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit (24616)
Instalasi Farmasi Rumah Sakit memiliki beberapa fungsi, fungsi-
fungsi tersebut antara lain (Menkes, 2016) :
a. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai
i. Memilih Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai sesuai kebutuhan pelayanan Rumah Sakit;
ii. Merencanakan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai secara efektif, efisien dan
optimal;
iii. Mengadakan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai berpedoman pada perencanaan yang telah
dibuat sesuai ketentuan yang berlaku;

9
iv. Memproduksi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit;
v. Menerima Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang
berlaku;
vi. Menyimpan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan
kefarmasian;
vii. Mendistribusikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai ke unit-unit pelayanan di Rumah Sakit;
viii. Melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu;
ix. Melaksanakan pelayanan Obat “unit dose”/dosis sehari;
x. Melaksanakan komputerisasi pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (apabila sudah
memngkinkan);
xi. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang
terkait dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai;
xii. Melakukan pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang sudah tidak
dapat digunakan;
xiii. Mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai;
xiv. Melakukan administrasi pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
b. Pelayanan farmasi klinik
i. Mengkaji dan melaksanakan pelayanan Resep atau permintaan
Obat;
ii. Melaksanakan penelusuran riwayat penggunaan Obat;
iii. Melaksanakan rekonsiliasi Obat;

10
iv. Memberikan informasi dan edukasi penggunaan Obat baik
berdasarkan Resep maupun Obat non Resep kepada
pasien/keluarga pasien;
v. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang
terkait dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai;
vi. Melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga
kesehatan lain;
vii. Memberikan konseling pada pasien dan/atau keluarganya;
viii. Melaksanakan Pemantauan Terapi Obat (PTO)
a) Pemantauan efek terapi Obat;
b) Pemantauan efek samping Obat;
c) Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
ix. Melaksanakan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
x. Melaksanakan dispensing sediaan steril
a) Melakukan pencampuran Obat suntik
b) Menyiapkan nutrisi parenteral
c) Melaksanakan penanganan sediaan sitotoksik
d) Melaksanakan pengemasan ulang sediaan steril yang tidak
stabil.
xi. Melaksanakan Pelayanan Informasi Obat (PIO) kepada tenaga
kesehatan lain, pasien/keluarga, masyarakat dan institusi di
luar Rumah Sakit;
xii. Melaksanakan Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS)

2.3. Panitia Farmasi dan Terapi (24047)


2.3.1. Pengertian Panitia Farmasi dan Terapi
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan nomor
1197/MENKES/SK/X/2004 panitia farmasi dan terapi adalah organisasi
yang mewakili hubungan komunikasi antara para staf medis dengan staf
farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili staf medik

11
fungsional yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari Farmasi
Rumah sakit serta tenaga kesehatan lainnya.
2.3.2. Organisasi dan Kegiatan
Susunan kepanitiaan PFT serta kegiatan yang dilakukan bagi tiap
rumah sakit dapat bervariasi sesuai dengan kondisi rumah sakit setempat.
Struktur organisasi PFT adalah sebagai berikut:
a. Panitia Farmasi dan Terapi harus sekurang-kurangnya terdiri dari 3
(tiga) dokter, apoteker, dan perawat. Untuk rumah sakit besar, tenaga
dokter bisa lebih dari tiga orang yang mewakili semua staf medis
fungsional yang ada.
b. Ketua PFT dipilih dari dokter yang ada di dalam kepanitiaan dan jika
rumah sakit tersebut mempunyai ahli farmakologi klinik, maka
sebagai ketua adalah ahli farmakologi. Sekretarisnya adalah apoteker
dari Instalasi Farmasi atau Apoteker yang ditunjuk.
c. PFT harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 2 (dua) bulan
sekali dan untuk rumah sakit besar rapatnya diadakan sebulan sekali.
Rapat PFT dapat mengundang pakar-pakar dari dalam maupun dari
luar rumah sakit yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan
PFT.
d. Segala sesuatu yang berhubungan dengan rapat PFT diatur oleh
sekretaris, termasuk persiapan dari hasil-hasil rapat.
e. Membina hubungan kerja dengan panitia di dalam rumah sakit yang
sasarannya berhubungan dengan penggunaan obat.

2.3.3. Fungsi dan Ruang Lingkup


Menurut Keputusan Menteri Kesehatan nomor
1197/MENKES/SK/X/2004 tentang standar pelayanan farmasi rumah
sakit, fungsi dan ruang lingkup panitia farmasi dan terapi adalah sebagai
berikut:
a. Mengembangkan formularium di Rumah Sakit dan merevisi pemilihan
obat untuk dimasukkan dalam formularium harus didasarkan pada

12
evaluasi secara subjektif terhadap efek terapi, keamanan serta harga
obat dan juga harus meminimalkan duplikasi dalam tipe obat,
kelompok dan produk obat yang sama.
b. Panitia Farmasi dan Terapi harus mengevaluasi untuk menyetujui atau
menolak produk obat baru atau dosis obat yang diusulkan oleh anggota
staf medis.
c. Menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di Rumah sakit yang
termasuk dalam kategori khusus.
d. Membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap
kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai penggunaan
obat di rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal maupun
nasional.
e. Melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit dengan
mengkaji medical record dibandingkan dengan standar diagnosis dan
terapi. Tinjauan ini dimaksudkan untuk meningkatkan secara terus-
menerus pengggunaan obat secara rasional.
f. Mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat.
g. Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada
staf medis dan perawat.
2.3.4. Kewajiban Panitia Farmasi dan Terapi
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan nomor
1197/MENKES/SK/X/2004 tentang standar pelayanan farmasi rumah
sakit, kewajiban panitia farmasi dan terapi adalah sebagai berikut:
a. Memberikan rekomendasi pada Pimpinan Rumah Sakit untuk
mencapai budaya pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional.
b. Mengkoordinir pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, formularium
rumah sakit, pedoman penggunaan antibiotika, dan lain-lain.
c. Melaksanakan pendidikan dalam bidang pengelolaan dan penggunaan
obat terhadap pihak-pihak yang terkait.
d. Melaksanakan pengkajian pengelolaan dan penggunaan obat serta
memberikan umpan balik atas hasil pengkajian tersebut.

13
2.4. Pengelolaan Perbekalan Farmasi
2.4.1. Seleksi/ Pemilihan (24047)
Untuk memenuhi kebutuhan perbekalan rumah sakit, harus dilakukan
pemilihan terhadap seluruh obat-obatan yang akan digunakan. Keputusan
ini berdasarkan misi rumah sakit, kebutuhan pasien, dan jenis layanan
yang disediakan. Pemilihan obat-obatan merupakan proses yang
mempertimbangkan kebutuhan pasien dan keselamatan sebagaimana nilai-
nilai ekonomis (JCI, 2011). Departemen Kesehatan RI mendefinisikan
proses pemilihan sebagai proses kegiatan sejak dari meninjau masalah
kesehatan yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk
dan dosis, menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat
esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar obat
(Depkes RI, 2004).
2.4.2. Perencanaan
Perencanaan merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis,
jumlah,dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan
anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan
metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan
yang telah ditentukan antara lain konsumtif (pemakaian), epidemiologi
(penyebaran), kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi disesuaikan
dengan anggaran yang tersedia (Depkes RI, 2004).
Pedoman perencanaan berdasarkan:
a. Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) atau formularium,
standar terapi rumah sakit dan ketentuan setempat yang berlaku.
b. Data catatan medik
c. Anggaran yang tersedia
d. Penetapan prioritas
e. Siklus penyakit
f. Sisa stok
g. Data pemakaian periode lalu
h. Perencanaan pengembangan

14
2.4.3. Pengadaan
Merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah
direncanakan dan disetujui melalui:
a. Pembelian dapat dilakukan melalui tender ataupun pembelian
langsung.
b. Produksi/pembuatan sediaan farmasi.
c. Sumbangan/hibah.
Pengadaan bertujuan untuk mendapatkan jenis dan jumlah sesuai
dengan kebutuhan dan anggaran serta menghindari kekosongan obat
(Depkes RI, 2004).
2.4.4. Penerimaan
Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah
diadakan sesuai dengan aturan kefarmasian, melalui pembelian langsung,
tender dan sumbangan.
Pedoman dalam penerimaan perbekalan farmasi:
a. Pabrik harus mempunyai Sertifikat Analisa.
b. Barang harus bersumber dari distributor utama.
c. Harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS).
d. Khusus untuk alat kesehatan/kedokteran harus mempunyai
certificate of origin.
e. Expire date minimal 2 tahun (Depkes RI, 2004).
2.4.5. Penyimpanan
Berdasarkan JCI (Joint Commision International) yang perlu
diperhatikan dalam penyimpanan obat yaitu:
a. Obat-obatan disimpan dalam kondisi yang sesuai bagi stabilitas
produk.
b. Zat-zat yang dikendalikan dicatat secara akurat sesuai dengan u
ndang-undang dan peraturan yang berlaku.
c. Obat-obatan dan bahan-bahan kimia yang digunakan untuk
menyiapkan obat-obatan diberi label secara akurat dengan isi,
tanggal kadaluarsa, dan peringatan.

15
d. Semua area penyimpanan obat-obatan diinspeksi secara berkala
sesuai dengan kebijakan rumah sakit untuk memastikan bahwa
obat-obatan tersimpan secara tepat.
e. Kebijakan rumah sakit menetapkan bagaimana obat-obatan yang
dibawa masuk oleh pasien diidentifikasi dan disimpan.
Penyimpanan perbekalan farmasi merupakan kegiatan pengaturan
sediaan farmasi di dalam ruang penyimpanan dengan tujuan untuk:
 Menjamin mutu tetap baik, yaitu kondisi penyimpanan disesuaikan
dengan sifat obat, misalnya dalam hal suhu dan kelembaban.
 Memudahkan dalam pencarian, misalnya disusun berdasarkan abjad.
 Memudahkan pengawasan persediaan/stok dan barang kadaluarsa, yaitu
disusun berdasarkan First In First Out (FIFO) dan First Expired First
Out (FEFO)
 Menjamin pelayanan yang cepat dan tepat.
2.4.6. Pendistribusian
Merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah
sakit untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap
dan rawat jalan serta untuk menunjang pelayanan medis. Sistem distribusi
dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh pasien dengan
mempertimbangkan :
a. Efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada
b. Metode sentralisasi atau desentralisasi
c. Sistem floor stock, resep individu, dispensing dosis unit atau
kombinasi
Distribusi Perbekalan Farmasi rumah sakit dilakukan untuk melayani:
1) Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Inap
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk
memenuhi kebutuhan pasien rawat inap di rumah sakit, yang
diselenggarakan secara sentralisasi dan atau desentralisasi dengan
sistem persediaan lengkap di ruangan, sistem resep perorangan,
sistem unit dosis dan sistem kombinasi oleh Satelit Farmasi.

16
2) Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Jalan
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk
memenuhi kebutuhan pasien rawat jalan di rumah sakit, yang
diselenggarakan secara sentralisasi dan atau desentralisasi dengan
sistem resep perorangan oleh Apotik Rumah Sakit.

3) Pendistribusian Perbekalan Farmasi di luar Jam Kerja


Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk
memenuhi kebutuhan pasien di luar jam kerja yang
diselenggarakan oleh:
 Apotik rumah sakit/satelit farmasi yang dibuka 24 jam.
 Ruang rawat yang menyediakan perbekalan farmasi
emergensi
Sistem pelayanan distribusi antara lain :
i. Sistem persediaan lengkap di ruangan.
 Pendistribusian perbekalan farmasi untuk persediaan di ruang
rawat merupakan tanggung jawab perawat ruangan.
 Setiap ruang rawat harus mempunyai penanggung jawab obat.
 Perbekalan yang disimpan tidak dalam jumlah besar dan dapat
dikontrol secara berkala oleh petugas farmasi.
ii. Sistem resep perorangan
iii. Pendistribusian perbekalan farmasi resep perorangan/pasien rawat
jalan dan rawat inap melalui Instalasi Farmasi.
iv. Sistem unit dosis
Pendistribusian obat-obatan melalui resep perorangan yang disiapkan,
diberikan/digunakan dan dibayar dalam unit dosis tunggal atau ganda, yang
berisi obat dalam jumlah yang telah ditetapkan atau jumlah yang cukup
untuk penggunaan satu kali dosis.
Kegiatan pelayanan distribusi diselenggarakan pada:

17
i. Apotik rumah sakit dengan sistem resep perorangan
ii. Satelit farmasi dengan sistem dosis unit
iii. Ruang perawat dengan sistem persediaan di ruangan (Depkes RI,
2004).
2.4.7. Pemusnahan
Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan
dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai bila:
a. produk tidak memenuhi persyaratan mutu;
b. telah kadaluwarsa;
c. tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan
kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan; dan
d. dicabut izin edarnya.
2.5. Pelayanan Farmasi Klinis
2.5.1. Pengertian
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 74 tahun 2016
tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit bahwa Pelayanan
farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker
kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat, untuk tujuan
keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality
of life) terjamin.
2.5.2. Jenis Pelayanan Farmasi Klinis
Pelayanan Farmasi Klinis yang dilakukan meliputi :
a. Pengkajian dan pelayanan resep
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,
pengkajian Resep, penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai termasuk peracikan Obat, pemeriksaan,
penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur

18
pelayanan Resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan
pemberian Obat (medication error). Kegiatan ini untuk menganalisa
adanya masalah terkait Obat, bila ditemukan masalah terkait Obat
harus dikonsultasikan kepada dokter penulis Resep.Apoteker harus
melakukan pengkajian Resep sesuai persyaratan administrasi,
persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat
inap maupun rawat jalan.

Persyaratan administrasi meliputi:


 Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan dan pasien.
 Nama, nomor izin, alamat dan paraf Dokter.
 Tanggal resep.
 Ruangan/unit asal resep.
Persyaratan farmasetik meliputi:
 nama Obat, bentuk dan kekuatan sediaan;
 dosis dan Jumlah Obat;
 stabilitas; dan
 aturan dan cara penggunaan.
Persyaratan klinis meliputi:
 Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat,
 Duplikasi pengobatan.
 Alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)
 Kontraindikasi, dan
 Interaksi obat.
b. Penelusuran riwayat penggunaan Obat
Penelusuran riwayat penggunaan Obat merupakan proses untuk
mendapatkan informasi mengenai seluruh Obat/Sediaan Farmasi lain
yang pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat
diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan
penggunaan Obat pasien.

19
Kegiatan:
 penelusuran riwayat penggunaan Obat kepada
pasien/keluarganya; dan
 melakukan penilaian terhadap pengaturan penggunaan Obat
pasien.Informasi yang harus didapatkan:
 nama Obat (termasuk Obat non Resep), dosis, bentuk sediaan,
frekuensi penggunaan, indikasi dan lama penggunaan Obat;
 reaksi Obat yang tidak dikehendaki termasuk riwayat alergi; dan
 kepatuhan terhadap regimen penggunaan Obat (jumlah Obat yang
tersisa).
c. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan instruksi
pengobatan dengan Obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi
dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan Obat (medication
error) seperti Obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau
interaksi Obat. Kesalahan Obat (medication error) rentan terjadi pada
pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain, antar
ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari Rumah Sakit ke
layanan kesehatan primer dan sebaliknya.
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan
dan pemberian informasi, rekomendasi Obat yang independen, akurat,
tidak bias, terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker
kepada dokter, Apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta
pasien dan pihak lain di luar Rumah Sakit.
PIO bertujuan untuk:
 menyediakan informasi mengenai Obat kepada pasien dan tenaga
kesehatan di lingkungan Rumah Sakit dan pihak lain di luar
Rumah Sakit;

20
 menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang
berhubungan dengan Obat/Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai, terutama bagi Tim Farmasi dan Terapi;
 Menunjang penggunaan Obat yang rasional
e. Konseling
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran
terkait terapi Obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau
keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap
di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif Apoteker,
rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian
konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien dan/atau
keluarga terhadap Apoteker. Pemberian konseling Obat bertujuan
untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko reaksi Obat
yang tidak dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness
yang pada akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan Obat bagi
pasien (patient safety).
f. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan
untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji
masalah terkait Obat, memantau terapi Obat dan Reaksi Obat yang
Tidak Dikehendaki, meningkatkan terapi Obat yang rasional, dan
menyajikan informasi Obat kepada dokter, pasien serta profesional
kesehatan lainnya. Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang
sudah keluar Rumah Sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai
dengan program Rumah Sakit yang biasa disebut dengan Pelayanan
Kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care). Sebelum melakukan
kegiatan visite Apoteker harus mempersiapkan diri dengan
mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien dan memeriksa
terapi Obat dari rekam medik atau sumber lain.
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

21
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang
mencakup kegiatanuntuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif
dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas
terapi danmeminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
(ROTD).
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan
pemantauan setiap respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang
terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek Samping Obat adalah reaksi
Obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi.
Tujuan MESO adalah :
 Menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin
terutama yang berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang;
 Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal
dan yang baru saja ditemukan,
 Mengenal semua faktor yang mungkin dapat
menimbulkan/mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya
ESO;
 Meminimalkan risiko kejadian reaksi Obat yang tidak
dikehendaki
 Mencegah terulangnya kejadian reaksi Obat yang tidak
dikehendaki.
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi
penggunaan Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara
kualitatif dan kuantitatif.
Tujuan EPO yaitu:
 Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan
Obat;

22
 Membandingkan pola penggunaan Obat pada periode waktu
tertentu;
 Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan Obat; dan
 Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan Obat.
j. Dispensing sediaan steril
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan
stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya
serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian Obat.

Dispensing sediaan steril bertujuan:


 Menjamin agar pasien menerima Obat sesuai dengan dosis
yang dibutuhkan;
 Menjamin sterilitas dan stabilitas produk;
 Melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan
 Menghindari terjadinya kesalahan pemberian Obat.
k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan
interpretasi hasil pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari
dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan
dari Apoteker kepada dokter.Tujuan PKOD adalah mengetahui Kadar
Obat dalam Darah dan memberikan rekomendasi kepada dokter yang
merawat.
2.6. Pusat Sterilisasi Perlengkapan Medik
2.6.1. Definisi
Pusat Sterilisasi perlengkapan medik, dalam bahasa inggris Central
Sterile Supply Department (CSSD) merupakan unit pelayanan yang
strategis dalam upaya pencegahan infeksi dengan fungsi utama
mempersiapkan alat-alat bersih dan steril untuk keperluan perawatan
pasien di rumah sakit. CSSD berperan penting dalam upaya pencegahan

23
infeksi yang efektif dalam rangka melindungi pasien dari penyakit
menular dengan proses pembersihan, desinfeksi, dan sterilisasi yang benar
(Yustiana dan Mudayana, 2017).
2.6.2. Tugas CSSD
CSSD memiliki berbagai peran penting di rumah sakit, antara lain
Depkes RI, 2009):
a. Menyiapkan peralatan medis untuk perawatan pasien.
b. Melakukan proses sterilisasi alat/ bahan
c. Mendistribusikan alat-alat yang dibutuhkan oleh ruangan
perawatan, kamar operasi maupun ruangan lainnya.
d. Memilih peralatan dan bahan yang aman dan efektif serta
bermutu.
e. Mendokumentasikan setiap aktivitas pembersihan, desinfeksi,
maupun sterilisasi sebagai bagian dari program upaya
pengendalian mutu.
f. Melakukan penelitian terhadap hasil sterilisasi dalam rangka
pencegahan dan pengendalian infeksi bersama dengan panitia
pengendalian infeksi nosokomial
g. Memberikan penyuluhan tentang hal-hal yang berkaitan dengan
sterilisasi.
h. Mengevaluasi sterilisasi.
2.6.3. Aktivitas Fungsional Pusat Sterilisasi
Dalam kegiatan sehari-hari, aktivitas fungsional dari CSSD secara
umum dapat digambarkan sebagai berikut (Depkes RI, 2009) :
1) Pembilasan : Pembilasan alat-alat yang sudah tidak digunakan
tidak dilakukan di ruang perawatan.
2) Pembersihan : semua peralatan pakai ulang harus dibersihkan
secara baik sebelum proses desinfeksi dan sterilisasi.
3) Pengeringan : dilakukan sampai kering.

24
4) Inspeksi dan pengemasan : setiap alat bongkar pasang ahrus
diperiksa kelengkapannya, sementara untuk bahan linen harus
diperhatikan densitas maksimumnya.
5) Memberi label : setiap kemasan harus mempunyai lebel yang
menjelaskan isi dari kemasan, cara sterilisasi, tanggal sterilisasi,
dan kedaluarsa proses sterilisasi.
6) Pembuatan : membuat dan mempersiapkan kapas serta kasa
balut, yang kemudian disterilkan.
7) Sterilisasi : sebaiknya diberikan tanggung jawab kepada staf
yang terlatih.
8) Penyimpanan : harus diatur secara baik dengan memperhatikan
kondisi penyimpanan yang baik.
9) Distribusi : dapat dilakukan berbagai sistem distribusi sesuai
dengan rumah sakit masing-masing.
Untuk melakukan aktivitas-aktivitas tersebut dengan lancar dan baik,
diperlukan kontrol dan pemeliharaan yang teratur terhadap mesin/ alat
sterilisasi.
2.6.4. Struktur Organisasi
Instalasi pusat sterilisasi dikepalai oleh Kepala Instalasi (Jabatan
Fungsional) yang bertanggung jawab langsung terhadap Wakil Direktur
Penunjang Medik. Pemangku jabatan bukan jabatan struktural. Diperlukan
pembagian pekerjaan dalam jabatan fungsional. Untuk dapat memberikan
pelayanan sterilisasi yang baik dan memenuhi kebutuhan barang steril
rumah sakit, Kepala Instalasi Pusat Sterilisasi membawahi :
 Penanggung jawab administrasi
 Sub Instalasi Dekontaminasi, Sterilisasi, dan Produksi
 Sub Instalasi Pengawasan Mutu, Pemeliharaan Sarana dan Peralatan,
K3, dan diklat
 Sub Instalasi Distribusi

25
Gambar 2.1 Struktur Organisasi CSSD (Depkes RI, 2009)

2.6.5. Lokasi Instalasi Pusat Sterilisasi


Menurut Departemen Kesehatan RI dalam Buku Pedoman Instalasi
Pusat Sterilisasi, lokasi instalasi pusat sterilisasi sebaiknya berdekatan dengan
ruangan pengguna alat/ bahan steril terbesar di rumah sakit, yang kemudian
berdampak pada efisiensi kerja dan meningkatkan efektivitas dalam
mengendalikan infeksi serta meminimumkan resiko terjadinya kontaminasi silang
serta mengurangi lalu lintas transportasi alat steril.

26
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Profil Rumah Sakit Universitas Brawijaya


Rumah Sakit Universitas Brawijaya atau yang biasa disebut dengan RSUB
adalah rumah sakit milik Universitas Brawijaya yang resmi beroperasi pada
tanggal 21 Desember 2016. Rumah Sakit Universitas Brawijaya memiliki
landasan filosofi yaitu menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan,
pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dengan tujuan selain
sebagai pusat pelayanan kesehatan yang praktisional juga merupakan fasilitas
aplikasi pendidikan laboratorium penelitian bagi peserta didik profesi Fakultas
Kedokteran Ilmu Kesehatan Lanjutan Universitas Brawijaya juga merupakan
wujud kepedulian dan pengabdian dalam bidang kesehatan di lingkungan
masyarakat.
Nilai-nilai utama Rumah Sakit Universitas Brawijaya adalah Bertekad
menerapkan sistem kerja terpadu untuk memberikan layanan yang terbaik, guna
mewujudkan kepuasan pengguna jasa layanan Rumah Sakit Universitas Brawijaya
dalam rangka pelayanan prima.
Visi Rumah Sakit Universitas Brawijaya adalah Menjadi Rumah Sakit
yang memiliki kualitas prima dalam pelayanan, pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat di bidang kesehatan yang bertaraf internasional.
Misi Rumah Sakit Universitas Brawijaya menyelenggarakan pelayanan kesehatan
yang paripurna, bermutu, dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat yang
berorientasi pada keselamatan pasien dan kepuasan pelanggan, melaksanakan
Pelayanan, pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dibidang
kesehatan dalam rangka membangun sumber daya manusia melalui pemenuhan
dan pembinaan dokter, dokter spesialis, tenaga kesehatan, dan tenaga ahli lainnya
yang relevan yang memiliki karakter yang profesional, visioner, inovatif, dan
berakhlak mulia dengan melalui kerjasama dengan berbagai lembaga lain,
menyelenggarakan penelitian kesehatan yang inovatif dalam rangka penapisan
dan pengembangan teknologi dibidang kesehatan yang visioner demi

27
kemaslahatan masyarakat, menyelenggarakan pengabdian terutama di bidang
kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan, menyelenggarakan kegiatan
pengelolaan RSUB secara professional, efektif, dan efisien yang berguna untuk
pengembangan pelayanan, pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Motto Rumah Sakit Universitas Brawijaya adalah RSUB: Risk
management, Safety, Unlimited Quality, Be the Best. SIAP: Sigap, Inovatif,
Aman, Profesional.Budaya Kerja Rumah Sakit Universitas Brawijaya adalah It’s
nice to be important but more important to be nice.

3.2 Instalasi farmasi RS Universitas Brawijaya


Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) merupakan suatu
departemen/bagian/unit atau fasilitas di rumah sakit, tempat penyelenggaraan
semua kegiatan pekerjaan kefarmasian yang ditujukan untuk keperluan rumah
sakit itu sendiri. Instalasi farmasi rumah sakit adalah salah satu bagian penunjang
medis di rumah sakit yang berfungsi sebagai penyedia perbekalan farmasi.
Instalasi farmasi rumah sakit mempunyai kegiatan utama, yaitu memenuhi dan
mencukupi kebutuhan persediaan obat terutama obat-obatan dan perbekalan
kesehatan mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, penyiapan,
peracikan, pelayanan langsung kepada penderita sampai dengan pengendalian
semua perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan dalam rumah sakit.

Instalasi Farmasi Rumah Sakit Universitas Brawijaya dikepalai oleh


seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi
persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kompeten secara
profesional, dan tempat atau fasilitas penyelenggara yang bertanggung jawab atas
seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian yang
terdiri atas pelayanan paripurna, mencakup perencanaan, pengadaan, produksi,
penyimpanan perbekalan kesehatan/sediaan farmasi, dispensing obat berdasarkan
resep bagi penderita rawat inap dan rawat jalan, pengendalian mutu dan
pengendalian distribusi, serta penggunaan seluruh perbekalan kesehatan di rumah

28
sakit, pelayanan farmasi klinik umum dan spesialis, mencakup pelayanan
langsung pada penderita dan pelayanan klinik yang merupakan program rumah
sakit secara keseluruhan.
Pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi
Farmasi Rumah Sakit (IFRS) dengan menerapkan sistem satu pintu sebagaimana
dijelaskan dalam Permenkes No. 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit. Pelayanan Kefarmasian yang ada pada Rumah Sakit
Universitas Brawijaya telah menerapkan sistem satu pintu sebagaimana telah
dicantumkan pada Permenkes No. 72 tahun 2016 tersebut, meliputi:

1. Kegiatan pelayanan kefarmasian baik pengelolaan sediaan farmasi, alat


kesehatan dan BMHP, termasuk pembuatan formularium, pengadaan, dan
pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP dilaksanakan
melalui Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS).

2. Apabila, sesuai dengan peraturan yang berlaku, terdapat proses


pengelolaan (misal: pengadaan) yang dilaksanakan oleh unit kerja lain,
penetapan kebijakan tetap dilakukan berkoordinasi dengan IFRS.

Apabila terjadi kehabisan obat karena terlambatnya pengiriman,


kurangnya stok nasional atau sebab lain yang tidak diantisipasi sebelumnya, maka
apoteker menginformasikan kepada staf medis tentang kekosongan obat tersebut
dan saran substitusinya atau mengadakan dari pihak luar yang telah diikat dengan
perjanjian kerjasama. Perencanaan dilaksanakan melibatkan internal instalasi
farmasi rumah sakit dan unit kerja yang ada di rumah sakit.

Tahapan dalam proses perencanaan kebutuhan obat di rumah sakit


meliputi:

a. Persiapan Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum menyusun rencana


kebutuhan obat:

29
1) Perlu dipastikan kembali program dan komoditas apa yang akan disusun
perencanaannya.

2) Perlu ditetapkan stakeholder yang terlibat dalam proses perencanaan,


diantaranya adalah pemegang kebijakan dan pemasok/vendor.

3) Daftar obat harus sesuai Formularium Nasional dan Formularium Rumah


Sakit. Formularium rumah sakit yang telah diperbaharui secara teratur
harus menjadi dasar untuk perencanaan, karena daftar tersebut
mencerminkan obat yang diperlukan untuk pola morbiditas terkini.

4) Perencanaan perlu memerhatikan waktu yang dibutuhkan, mengestimasi


periode pengadaan, mengestimasi safety stock dan memperhitungkan lead
time.

5) Juga perlu diperhatikan ketersediaan anggaran dan rencana pengembangan


jika ada.

b. Pengumpulan data data yang dibutuhkan antara lain data penggunaan obat
pasien periode sebelumnya (data konsumsi), sisa stok, data morbiditas dan
usulan kebutuhan obat dari unit pelayanan.

c. Analisa terhadap usulan kebutuhan meliputi:

1) Spesifikasi item obat Jika spesifikasi item obat yang diusulkan berbeda
dengan data penggunaan sebelumnya, dilakukan konfirmasi ke pengusul.

2) Kuantitas kebutuhan Jika kuantitas obat yang diusulkan jauh berbeda


dengan penggunaan periode sebelumnya, harus dilakukan konfirmasi ke
pengusul. D

d. Menyusun dan menghitung rencana kebutuhan obat menggunakan metode


yang sesuai.

30
e. Melakukan evaluasi rencana kebutuhan menggunakan analisis yang sesuai.

f. Revisi rencana kebutuhan obat (jika diperlukan).

g. IFRS menyampaikan draft usulan kebutuhan obat ke manajemen rumah sakit


untuk mendapatkan persetujuan.

Metode perhitungan perencanaan kebutuhan dapat dilakukan melalui 4


metode, yaitu Metode Konsumsi, Metode Morbiditas, Metode Kombinasi
Konsumsi dan Morbiditas serta metode proxy consumption.

a. Metode Konsumsi Metode konsumsi didasarkan pada data konsumsi sediaan


farmasi. Metode ini sering dijadikan perkiraan yang paling tepat dalam
perencanaan sediaan farmasi. Rumah Sakit yang sudah mapan biasanya
menggunakan metode konsumsi. Metode konsumsi menggunakan data dari
konsumsi periode sebelumnya dengan penyesuaian yang dibutuhkan.
Perhitungan dengan metode konsumsi didasarkan atas analisa data konsumsi
sediaan farmasi periode sebelumnya ditambah stok penyangga (buffer stock),
stok waktu tunggu (lead time) dan memperhatikan sisa stok. Buffer stock
dapat mempertimbangkan kemungkinan perubahan pola penyakit dan
kenaikan jumlah kunjungan (misal: adanya Kejadian Luar Biasa). Jumlah
buffer stock bervariasi antara 10% sampai 20% dari kebutuhan atau
tergantung kebijakan Rumah Sakit. Sedangkan stok lead time adalah stok
obat yang dibutuhkan selama waktu tunggu sejak Obat dipesan sampai Obat
diterima. Untuk menghitung jumlah obat yang dibutuhkan berdasarkan
metode konsumsi, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1) Pengumpulan dan pengolahan data

2) Analisis data untuk informasi dan evaluasi

3) Perhitungan perkiraan kebutuhan obat

31
4) Penyesuaian jumlah kebutuhan Sediaan Farmasi dengan alokasi dana Data
yang perlu dipersiapkan untuk perhitungan metode konsumsi adalah: a)
Daftar nama obat b) Stok awal c) Penerimaan d) Pengeluaran e) Sisa stok
f) Daftar obat hilang, rusak, kedaluwarsa g) Kekosongan obat h)
Pemakaian rata-rata obat satu periode i) Waktu tunggu sejak obat dipesan
sampai diterima (lead time) j) Stok pengaman (buffer stock) k) Pola
kunjungan

Rumus :

A = (A+B+C+D) - E

Keterangan:

A = Rencana Kebutuhan
B = Stok Kerja (Pemakaian rata-rata x 12 bulan)
C = Buffer stock D = Lead Time Stock (Lead time x pemakaian rata-rata)
E = Sisa stok

Keterangan :

- Stok Kerja adalah kebutuhan obat untuk pelayanan kefarmasian selama


satu periode.

- Buffer stock adalah stok pengaman

- Lead time stock adalah lamanya waktu antara pemesanan obat sampai
dengan obat diterima

32
- Lead stock adalah jumlah obat yang dibutuhkan selama waktu tunggu
(lead time)

b. Metode Morbiditas adalah perhitungan kebutuhan obat berdasarkan pola


penyakit. Metode morbiditas memperkirakan keperluan obat–obat tertentu
berdasarkan dari jumlah obat, dan kejadian penyakit umum, dan
mempertimbangkan pola standar pengobatan untuk penyakit tertentu. Metode
ini umumnya dilakukan pada program yang dinaikkan skalanya (scaling up).
Metode ini merupakan metode yang paling rumit dan memakan waktu yang
lama. Hal ini disebabkan karena sulitnya pengumpulan data morbiditas yang
valid terhadap rangkaian penyakit tertentu. Tetapi metode ini tetap merupakan
metode terbaik untuk perencanaan pengadaan atau untuk perkiraan anggaran
untuk sistem suplai fasyankes khusus, atau untuk program baru yang belum
ada riwayat penggunaan obat sebelumnya. Faktor yang perlu diperhatikan
adalah perkembangan pola penyakit dan lead time. Langkah-langkah dalam
perhitungan kebutuhan dengan metode morbiditas:

1. Mengumpulkan data yang diperlukan

Data yang perlu dipersiapkan untuk perhitungan metode morbiditas


adalah:

a) Perkiraan jumlah populasi Komposisi demografi dari populasi yang


akan diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin untuk umur antara: - 0
s.d. 4 tahun - 4 s.d. 14 tahun - 15 s.d. 44 tahun - >45 tahun - Atau
ditetapkan berdasarkan kelompok dewasa (>12 tahun) dan anak (1 – 12
tahun)

b) Pola morbiditas penyakit - Jenis penyakit pertahun untuk seluruh


populasi pada kelompok umur yang ada. - Frekuensi kejadian masing-

33
masing penyakit pertahun untuk seluruh populasi pada kelompok umur
yang ada.

c) Standar pengobatan Obat yang masuk dalam rencana kebutuhan harus


disesuaikan dengan standar pengobatan di rumah sakit.

2. Menghitung kebutuhan jumlah obat, dengan cara jumlah kasus dikali


jumlah obat sesuai pedoman pengobatan dasar. Jumlah kebutuhan obat
yang akan datang dihitung dengan mempertimbangkan faktor antara lain
pola penyakit, lead time dan buffer stock.

c. Metode Proxy Consumption dapat digunakan untuk perencanaan pengadaan di


Rumah Sakit baru yang tidak memiliki data konsumsi di tahun sebelumnya.
Selain itu, metode ini juga dapat digunakan di Rumah Sakit yang sudah berdiri
lama apabila data metode konsumsi dan/atau metode morbiditas tidak dapat
dipercaya. Sebagai contoh terdapat ketidaklengkapan data konsumsi diantara
bulan Januari hingga Desember. Metode proxy consumption adalah metode
perhitungan kebutuhan obat menggunakan data kejadian penyakit, konsumsi
obat, permintaan, atau penggunaan, dan/atau pengeluaran obat dari Rumah
Sakit yang telah memiliki sistem pengelolaan obat dan mengekstrapolasikan
konsumsi atau tingkat kebutuhan berdasarkan cakupan populasi atau tingkat
layanan yang diberikan. Metode ini dapat digunakan untuk menghasilkan
gambaran ketika digunakan pada fasilitas tertentu dengan fasilitas lain yang
memiliki kemiripan profil masyarakat dan jenis pelayanan. Metode ini juga
bermanfaat untuk gambaran pengecekan silang dengan metode yang lain.

d. Evaluasi Perencanaan dilakukan meliputi:

1) Kesesuaian perencanaan dengan kebutuhan. Dilakukan penilaian


kesesuaian antara RKO ( Rencana Kebutuhan Obat) dengan realisasi.

34
2) Masalah dalam ketersediaan yang terkait dengan perencanaan. Dilakukan
dengan cek silang data dari fasyankes dengan data di pemasok.
Cara/teknik evaluasi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Analisa ABC, untuk evaluasi aspek ekonomi

b. Pertimbangan/kriteria VEN, untuk evaluasi aspek medik/terapi

c. Kombinasi ABC dan VEN

d. Revisi rencana kebutuhan obat

Analisis ABC merupakan suatu penamaan yang menunjukkan


peringkat/rangking dimana urutan dimulai dengan yang terbaik/terbanyak. Di
RSUB sendiri telah menerapkan metode ini untuk melakukan evaluasi dalam
pererncanaan produk. Analisis ABC mengelompokkan item obat berdasarkan
kebutuhan dananya, yaitu:

a. Kelompok A: Adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana


pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 70% dari jumlah
dana obat keseluruhan.

b. Kelompok B: Adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana


pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 20%.

c. Kelompok C: Adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana


pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 10% dari jumlah
dana obat keseluruhan.

Langkah-langkah menentukan Kelompok A, B dan C:

a. Hitung jumlah dana yang dibutuhkan untuk masing-masing obat dengan


cara mengalikan jumlah obat dengan harga obat.

35
b. Tentukan peringkat mulai dari yang terbesar dananya sampai yang
terkecil.

c. Hitung persentasenya terhadap total dana yang dibutuhkan.

d. Hitung akumulasi persennya.

e. Obat kelompok A termasuk dalam akumulasi 70%

f. Obat kelompok B termasuk dalam akumulasi >70% s/d 90% (menyerap


dana ± 20%) g) Obat kelompok C termasuk dalam akumulasi > 90% s/d
100% (menyerap dana ± 10%).

Analisis VEN Salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi penggunaan


dana obat yang terbatas dengan mengelompokkan obat berdasarkan manfaat tiap
jenis obat terhadap kesehatan. Semua jenis obat yang tercantum dalam daftar obat
dikelompokkan kedalam tiga kelompok berikut:

a) Kelompok V (Vital): Adalah kelompok obat yang mampu menyelamatkan


jiwa (life saving). Contoh: obat syok anafilaksis

b) Kelompok E (Esensial): Adalah kelompok obat yang bekerja pada sumber


penyebab penyakit dan paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan. Contoh
: (a) Obat untuk pelayanan kesehatan pokok (contoh: antidiabetes, analgesik,
antikonvulsi) (b) Obat untuk mengatasi penyakit penyebab kematian terbesar.

c) Kelompok N (Non Esensial): Merupakan obat penunjang yaitu obat yang


kerjanya ringan dan biasa dipergunakan untuk menimbulkan kenyamanan
atau untuk mengatasi keluhan ringan. Contoh: suplemen.

Penggolongan obat sistem VEN dapat digunakan untuk:

36
1) Penyesuaian rencana kebutuhan obat dengan alokasi dana yang tersedia. Obat
yang perlu ditambah atau dikurangi dapat didasarkan atas pengelompokan
obat menurut VEN.

2) Penyusunan rencana kebutuhan obat yang masuk kelompok V agar selalu


tersedia.

Untuk menyusun daftar VEN perlu ditentukan lebih dahulu kriteria


penentuan VEN yang sebaiknya disusun oleh suatu tim. Dalam menentukan
kriteria perlu dipertimbangkan kondisi dan kebutuhan masing-masing wilayah.
Kriteria yang disusun dapat mencakup berbagai aspek antara lain aspek klinis,
konsumsi, target kondisi dan biaya. Analisis Kombinasi Jenis obat yang termasuk
kategori A dari analisis ABC adalah benar-benar jenis obat yang diperlukan untuk
penanggulangan penyakit terbanyak. Dengan kata lain, statusnya harus E dan
sebagian V dari VEN. Sebaliknya, jenis obat dengan status N harusnya masuk
kategori C. Digunakan untuk menetapkan prioritas untuk pengadaan obat dimana
anggaran yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan.

Metode gabungan ini digunakan untuk melakukan pengurangan obat.


Mekanismenya adalah : 1) Obat yang masuk kategori NA menjadi prioritas
pertama untuk dikurangi atau dihilangkan dari rencana kebutuhan, bila dana masih
kurang, maka obat kategori NB menjadi prioritas selanjutnya dan obat yang
masuk kategori NC menjadi prioritas berikutnya. Jika setelah dilakukan dengan
pendekatan ini dana yang tersedia masih juga kurang lakukan langkah selanjutnya.

37
2) Pendekatannya sama dengan pada saat pengurangan obat pada kriteria NA, NB,
NC dimulai dengan pengurangan obat kategori EA, EB dan EC.

Bila langkah-langkah dalam analisis ABC maupun VEN terlalu sulit


dilakukan atau diperlukan tindakan cepat untuk mengevaluasi daftar perencanaan,
sebagai langkah awal dapat dilakukan suatu evaluasi cepat (rapid evaluation),
misalnya dengan melakukan revisi daftar perencanaan obat. Namun sebelumnya,
perlu dikembangkan dahulu kriterianya, obat atau nama dagang apa yang dapat
dikeluarkan dari daftar. Manfaatnya tidak hanya dari aspek ekonomi dan medik,
tetapi juga dapat berdampak positif pada beban penanganan stok.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah


Sakit untuk mencegah/mengatasi kekurangan atau kekosongan obat.

a. Melakukan substitusi obat dengan obat lain yang memiliki zat aktif yang
sama.

b. Melakukan substitusi obat dalam satu kelas terapi dengan persetujuan dokter
penanggung jawab pasien.

c. Membeli obat dari Apotek/ Rumah Sakit lain yang mempunyai perjanjian
kerjasama.

d. Apabila obat yang dibutuhkan sesuai indikasi medis di rumah sakit tidak
tercantum dalam Formularium Nasional dan harganya tidak terdapat dalam e-
katalog obat, maka dapat digunakan obat lain berdasarkan persetujuan ketua
Komite Farmasi dan Terapi/KFT dengan persetujuan komite medik atau
Direktur rumah sakit.

e. Mekanisme pengadaan obat di luar Formularium Nasional dan e-katalog obat


dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah).

38
f. Obat yang tidak tercantum dalam Formularium Nasional atau e-katalog obat
dimasukkan dalam Formularium Rumah Sakit.

Beberapa hal yang dilakukan di IFRSUB terkait pengendalian persediaan obat dan
lakes adalah sebagai berikut:

1) Diberi penandaan khusus dan disimpan sesuai FEFO

2) Untuk sediaan yang sudah ED disimpan ditempat terpisah dan diberi


keterangan “sudah kedaluwarsa”

3) Dikembalikan ke distributor atau dimusnahkan sesuai ketentuan

4) Waktu kedaluwarsa: saat sediaan tidak dapat digunakan lagi sampai akhir
bulan tersebut. Contoh: ED 01-2016 berarti sediaan tersebut dapat digunakan
sampai dengan 31 Januari 2016 Instalasi farmasi Rumah Sakit (IFRS) harus
membuat prosedur terdokumentasi untuk mendeteksi kerusakan dan
kedaluwarsa sediaan farmasi dan BMHP serta penanganannya. IFRS harus
diberi tahu setiap ada produk sediaan farmasi dan BMHP yang rusak, yang
ditemukan oleh perawat dan staf medik.

Pencatatan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memonitor


keluar dan masuknya (mutasi) obat di IFRS. Pencatatan dapat dilakukan dalam
bentuk digital atau manual. Pencatatan dalam bentuk manual biasa menggunakan
kartu stok.

Fungsi kartu stok obat:

1) Mencatat jumlah penerimaan dan pengeluaran obat termasuk kondisi fisik,


nomor batch dan tanggal kedaluwarsa obat

2) Satu kartu stok hanya digunakan untuk mencatat mutasi satu jenis obat dari
satu sumber anggaran

39
3) Data pada kartu stok digunakan untuk menyusun laporan dan rencana
kebutuhan obat periode berikutnya

Hal yang harus diperhatikan:

a. Kartu stok obat harus diletakkan berdekatan dengan obat yang


bersangkutan. Pencatatan harus dilakukan setiap kali ada mutasi
(keluar/masuk obat atau jika ada obat hilang, rusak dan kedaluwarsa)

b. Penerimaan dan pengeluaran dijumlahkan setiap akhir periode.

c. Pengeluaran satu jenis obat dari anggaran yang berbeda dijumlahkan dan
dianggap sebagai jumlah kebutuhan obat tersebut dalam satu periode.

d. Penanganan ketika terjadi kehilangan, kerusakan, obat yang ditarik oleh


pemerintah dan kedaluwarsa.

e. Pemusnahan dan penarikan obat yang tidak dapat digunakan harus


dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

f. Penarikan obat yang tidak memenuhi standar/ketentuan peraturan


perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar berdasarkan perintah
penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau berdasarkan inisiasi
sukarela oleh pemilik izin edar (voluntary recall) dengan tetap memberikan
laporan kepada Kepala BPOM.

Selain itu, dalam rangka pengendalian perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1) Formulir pemberian obat Formulir pemberian obat adalah formulir yang


digunakan perawat untuk pemberian obat. Pada formulir ini perawat mencatat
pemberian obat. Pada saat melakukan rekonsiliasi obat, apoteker
membandingkan formulir ini dengan sumber data lain, misalnya daftar riwayat
penggunaan obat pasien, resep/instruksi pengobatan.

40
2) Pengembalian obat yang tidak digunakan Hanya sediaan farmasi dan BMHP
dalam kemasan tersegel yang dapat dikembalikan ke Instalasi Farmasi Rumah
Sakit. Sediaan farmasi dan BMHP yang dikembalikan pasien rawat jalan tidak
boleh digunakan kembali. Rumah sakit harus membuat prosedur tentang
pengembalian sediaan farmasi dan BMHP.

3) Pengendalian obat dalam ruang bedah dan ruang pemulihan. Sistem


pengendalian obat rumah sakit harus sampai ke bagian bedah, apoteker harus
memastikan bahwa semua obat yang digunakan dalam bagian ini tepat order,
disimpan, disiapkan dan dipertanggung jawabkan.

Kegiatan administrasi terdiri dari Pencatatan, Pelaporan, Administrasi


Keuangan, dan Administrasi Penghapusan. Pencatatan Pencatatan merupakan
suatu kegiatan yang bertujuan untuk memonitor transaksi sediaan farmasi dan
BMHP yang keluar dan masuk di lingkungan IFRS. Adanya pencatatan akan
memudahkan petugas untuk melakukan penelusuran bila terjadi adanya mutu obat
yang substandar dan harus ditarik dari peredaran. Pencatatan dapat dilakukan
dengan menggunakan bentuk digital maupun manual. Kartu yang umum
digunakan untuk melakukan pencatatan adalah Kartu Stok dan kartu Stok Induk.

Petunjuk pengisian Kartu Stok di RSUB:

1) Petugas penyimpanan dan penyaluran mencatat semua penerimaan dan


pengeluaran sediaan farmasi dan BMHP di kartu stok sesuai Dokumen Bukti
Mutasi Barang (DBMB) atau dokumen lain yang sejenis.

2) Kartu stok memuat nama sediaan farmasi, satuan, asal (sumber) dan
diletakkan bersama sediaan farmasi pada lokasi penyimpanan

3) Bagian judul pada kartu stok diisi dengan: a) Naa sediaan farmasi b) Kemasan
c) Isi kemasan d) Nama sumber dana atau dari mana asalnya sediaan farmasi
4) Kolom-kolom pada kartu stok diisi sebagai berikut : a) Tanggal penerimaan
atau pengeluaran b) Nomor dokumen penerimaan atau pengeluaran c) Sumber

41
asal sediaan farmasi atau kepada siapa sediaan farmasi dikirim d) No.
Batch/No. Lot. e) Tanggal kedaluwarsa f) Jumlah penerimaan g) Jumlah
pengeluaran h) Sisa stok.

Kartu Stok Induk (dalam sistem)

Kartu Stok Induk digunakan untuk mencatat mutasi sediaan farmasi


(penerimaan, pengeluaran, hilang, rusak atau kedaluwarsa). Kartu stok induk ini
terpusat pada 1 sistem yang dimiliki oleh penanggung jawab gudang (Kepala
Instalasi Farmasi RSUB). Tiap lembar kartu stok induk hanya diperuntukkan
mencatat data mutasi 1 (satu) jenis sediaan farmasi yang berasal dari semua
sumber anggaran 3) Tiap baris data hanya diperuntukkan mencatat 1 (satu)
kejadian mutasi sediaan farmasi 4)

Data pada kartu stok induk digunakan sebagai : a) Alat kendali bagi
Kepala IFRS terhadap keadaan fisik sediaan farmasi dalam tempat penyimpanan.
b) Alat bantu untuk penyusunan laporan, perencanaan pengadaan dan distribusi
serta pengendalian persediaan Hal-hal yang harus diperhatikan:

1) Kartu stok induk diletakkan di ruang masing-masing penanggung jawab

2) Pencatatan dilakukan secara rutin dari hari ke hari

3) Setiap terjadi mutasi sediaan farmasi (penerimaan, pengeluaran, hilang,


rusak/kedaluwarsa) langsung dicatat didalam kartu stok

4) Penerimaan dan pengeluaran dijumlahkan pada setiap akhir bulan.

Hal-hal yang harus diperhatikan:

1. Petugas pencatatan dan evaluasi mencatat segala penerimaan dan


pengeluaran sediaan farmasi di Kartu Stok Induk.

42
2. Fungsi Kartu Stok Induk yaitu sebagai pencerminan sediaan farmasi
yang ada di Gudang, alat bantu bagi petugas untuk pengeluaran
sediaan farmasi dan BMHP, alat bantu dalam menentukan kebutuhan.

3. Bagian judul pada kartu induk persediaan sediaan farmasi diisi


dengan : a) Nama sediaan farmasi tersebut b) Satuan sediaan farmasi c)
Sumber/asal sediaan farmasi d) Jumlah persediaan minimum yang
harus ada dalam persediaan, dihitung sebesar waktu tunggu e) Jumlah
persediaan maksimum yang harus ada dalam persediaan = sebesar stok
kerja + waktu tunggu + stok pengaman.

4. Kolom-kolom pada Kartu Stok Induk persediaan sediaan farmasi diisi


dengan: a) Tanggal diterima atau dikeluarkan sediaan farmasi b)
Nomor tanda bukti mis nomor faktur dan lain-lain c) Dari siapa
diterima sediaan farmasi atau kepada siapa dikirim. d) Jumlah sediaan
farmasi yang diterima berdasar sumber anggaran e) Jumlah sediaan
farmasi yang dikeluarkan f) Sisa stok sediaan farmasi dalam
persediaan g) Keterangan yang dianggap perlu, misal tanggal dan
tahun kedaluwarsa, nomor batch dan lain-lain.

3.3 Panitia Farmasi dan Terapi


Pada Rumah Sakit UB terdapat tenaga Kesehatan yang terdiri atas Dokter
sebagai ketua, Apoteker sebagai Serketaris, Bidan, Ahli Gizi, dan Perawat. Panitia
Farmasi dan Terapi mengadakan rapat sedikitnya 2 bulan sekali.
3.3.1 Fungsi dan Ruang Lingkup
a. Mengembangkan formularium di Rumah Sakit dan merevisinya.
Pemilihan obat untuk dimasukan dalam formularium harus didasarkan
pada evaluasi secara subjektif terhadap efek terapi, keamanan serta harga
obat dan juga harus meminimalkan duplikasi dalam tipe obat, kelompok
dan produk obat yang sama.

43
b. Panitia Farmasi dan Terapi harus mengevaluasi untuk menyetujui atau
menolak produk obat baru atau dosis obat yang diusulkan oleh anggota
staf medis.
c. Menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di rumah sakit dan yang
termasuk dalam kategori khusus.
d. Membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap
kebijakan-kebijakan dan peraturanperaturan mengenai penggunaan obat di
rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional.
e. Melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit dengan
mengkaji medical record dibandingkan dengan standar diagnosa dan
terapi. Tinjauan ini dimaksudkan untuk meningkatkan secara terus
menerus penggunaan obat secara rasional.
f. Mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat.
g. Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada staf
medis dan perawat.
3.3.2 Kewajiban Panitia Farmasi dan Terapi
a. Memberikan rekomendasi pada Pimpinan rumah sakit untuk mencapai
budaya pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional
b. Mengkoordinir pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, formularium
rumah sakit, pedoman penggunaan antibiotika dan lain-lain
c. Melaksanakan pendidikan dalam bidang pengelolaan dan penggunaan obat
terhadap pihak-pihak yang terkait
d. Melaksanakan pengkajian pengelolaan dan penggunaan obat dan
memberikan umpan balik atas hasil pengkajian tersebut
3.3.2 Peran Apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi
Peran apoteker dalam panitia ini sangat strategis dan penting karena semua
kebijakan dan peraturan dalam mengelola dan menggunakan obat di seluruh unit
di rumah sakit ditentukan dalam panitia ini. Agar dapat mengemban tugasnya
secara baik dan benar, para apoteker harus secara mendasar dan mendalam
dibekali dengan ilmu-ilmu farmakologi, farmakologi klinik, farmako epidemologi,
dan farmako ekonomi disamping ilmu-ilmu lain yang sangat dibutuhkan untuk

44
memperlancar hubungan profesionalnya dengan para petugas kesehatan lain di
rumah sakit.
3.3.3 Tugas Apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi
a. Menjadi salah seorang anggota panitia (Wakil Ketua/Sekretaris)
b. Menetapkan jadwal pertemuan
c. Mengajukan acara yang akan dibahas dalam pertemuan
d. Menyiapkan dan memberikan semua informasi yang dibutuhkan untuk
pembahasan dalam pertemuan
e. Mencatat semua hasil keputusan dalam pertemuan dan melaporkan pada
pimpinan rumah sakit
f. Menyebarluaskan keputusan yang sudah disetujui oleh pimpinan kepada
seluruh pihak yang terkait
g. Melaksanakan keputusan-keputusan yang sudah disepakati dalam
pertemuan
h. Menunjang pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, pedoman
penggunaan antibiotika dan pedoman penggunaan obat dalam kelas terapi
lain
i. Membuat formularium rumah sakit berdasarkan hasil kesepakatan Panitia
Farmasi dan Terapi
j. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan
k. Melaksanakan pengkajian dan penggunaan obat
l. Melaksanakan umpan balik hasil pengkajian pengelolaan dan penggunaan
obat pada pihak terkait
3.3.4 Formularium Rumah Sakit
Formularium adalah himpunan obat yang diterima/disetujui oleh Panitia
Farmasi dan Terapi untuk digunakan di rumah sakit dan dapat direvisi pada setiap
batas waktu yang ditentukan. Komposisi Formularium : - Halaman judul - Daftar
nama anggota Panitia Farmasi dan Terapi - Daftar Isi - Informasi mengenai
kebijakan dan prosedur di bidang obat - Produk obat yang diterima untuk
digunakan Lampiran Sistem yang dipakai adalah suatu sistem dimana prosesnya
tetap berjalan terus, dalam arti kata bahwa sementara Formularium itu digunakan

45
oleh staf medis, di lain pihak Panitia Farmasi dan Terapi mengadakan evaluasi
dan menentukan pilihan terhadap produk obat yang ada di pasaran, dengan lebih
mempertimbangkan kesejahteraan pasien.
3.3.5 Pedoman Penggunaan Formularium
Pedoman penggunaan yang digunakan akan memberikan petunjuk kepada
dokter, apoteker perawat serta petugas administrasi di rumah sakit dalam
menerapkan sistem formularium. Meliputi :
a. Membuat kesepakatan antara staf medis dari berbagai disiplin ilmu dengan
Panitia Farmasi dan Terapi dalam menentukan kerangka mengenai tujuan,
organisasi, fungsi dan ruang lingkup. Staf medis harus mendukung Sistem
Formularium yang diusulkan oleh Panitia Farmasi dan Terapi.
b. Staf medis harus dapat menyesuaikan sistem yang berlaku dengan kebutuhan
tiap-tiap institusi.
c. Staf medis harus menerima kebijakan-kebijakan dan prosedur yang ditulis oleh
Panitia Farmasi dan Terapi untuk menguasai sistem Formularium yang
dikembangkan oleh Panitia Farmasi dan terapi.
d. Nama obat yang tercantum dalam Formularium adalah nama generik.
e. Membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia di Instalasi
Farmasi.
f. Membuat prosedur yang mengatur pendistribusian obat generik yang efek
terapinya sama

3.4 Gudang Farmasi


Gudang farmasi merupakan tempat yang digunakan untuk menyimpan
sediaan farmasi, alat kesehatan dan juga Bahan Medis Habis Pakai (BMHP).
Gudang farmasi memiliki tugas dalam pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan juga BMHP yang meliputi pemilihan, perencanaan kebutuhan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian,
pemusnahan dan penarikan, dan administrasi.
Pemilihan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP di Rumah Sakit
Universitas Brawijaya berdasarkan pada Formularium Nasional, Formularium

46
Rumah Sakit, dan Formularium Kerjasama seperti pada asuransi. Apabila sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang diusulkan tidak ada di
formularium, maka dapat dilakukan usulan kepada Tim Farmasi dan Terapi.
Perencanaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP di Rumah Sakit
Universitas Brawijaya dilakukan dengan melihat penggunaan rata-rata obat
perbulan atau metode konsumsi. Evaluasi perencanaan yang digunakan adalah
analisis ABC dimana sediaan farmasi, alat kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai di kelompokkan dalam kelompok A yang menyerap dana sekitar 70%,
kelompok B yang menyerap dana sekitar 20%, dan kelompok C yang menyerap
dana 10% dari total dana keseluruhan.
Pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP di Rumah Sakit
Universitas Brawijaya dilakukan dengan cara pembelian yaitu membeli sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai kepada Pedagang Besar
Farmasi yang terpercaya dan memiliki izin dengan memberikan Surat Pesanan
terlebih dahulu.
Penerimaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP di Rumah Sakit
Universitas Brawijaya dilakukan di gudang farmasi. Pada saat penerimaan perlu
melihat kecocokan antara faktur, Surat Pesanan dan juga barang yang datang.
Barang yang datang dilakukan pengecekan dengan melihat nama, bentuk sediaan,
kekuatan, no batch, tanggal kadaluarsa, bentuk fisik, jumlah barang yang datang,
dan juga harga barang. Apabila terdapat perbedaan no batch, tanggal kadaluarsa,
ataupun jumlah barang maka perlu konfirmasi terhadap pengirim sehingga dapat
disesuaikan.
Penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP di gudang
farmasi Rumah Sakit Universitas Brawijaya dilakukan berdasarkan alfabetis.
Sediaan farmasi yang memerlukan penyimpanan khusus seperti insulin, injeksi
methyl ergometrin, oxytocin, dan lain sebagainya disimpan dalam lemari
pendingin dengan suhu yang sesuai. Penyimpanan obat narkotik, dan psikotropik
disimpan dalam lemari terkunci dan terpisah dari obat lain. Obat-obat yang
termasuk dalam kategori high alert diberikan label pada masing-masing box obat.
Alat kesehatan dan BMHP disimpan dalam ruangan yang terpisah. Penyimpanan

47
sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP sudah sesuai Peraturan Menteri
Kesehatan.
Distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP di gudang farmasi
Rumah Sakit Universitas Brawijaya dilakukan dengan sistem distribusi
sentralisasi yaitu distribusi dilakukan oleh Instalasi Farmasi secara terpusat
kesemua unit rawat inap dirumah sakit secara keseluruhan dimana kebutuhan unit
pelayanan didistribusikan berdasarkan form permintaan dari masing-masing unit.
Metode penyiapan (dispensing) sediaan farmasi dan BMHP untuk pasien rawat
inap dilakukan dengan sistem ODD (Once Daily Dispensing) yaitu penyiapan
dilakukan untuk kebutuhan pasien dalam 24 jam dan diserahkan kepada perawat
penanggung jawab pada unit rawat inap.
Pemusnahan yang dilakukan oleh gudang farmasi Rumah Sakit
Universitas Brawijaya dilakukan pada sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP
yang tidak memenuhi syarat, kadaluarsa, dan dicabut izin edar bila PBF tidak
bersedia menerima pengembalian. Sebelum dilakukan pemusnahan, obat-obat
tersebut dicatat terkait nama obat/ BMHP/ Alkes, jumlah, tanggal kadaluarsa, no
batch yang kemudian dipisahkan dalam ruang karantina agar tidak tercampur
dengan obat yang lainnya.
Penarikan dilakukan bila ada sediaan farmasi, alat kesehatan, atau BMHP
telah dicabut izin edarnya oleh menteri. Pencabutan dilakukan berdasarkan
perintah atau sukarela dari pemilik izin edar(Kemenkes, 2019).
Pengendalian gudang farmasi Rumah Sakit Universitas Brawijaya
dilakukan untuk mengendalikan ketersediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, atau
BMHP tidak sampai kurang atau berlebih, selain itu dilakukan pengendalian
penggunaan untuk mengetahui jumlah penggunaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, atau BMHP sehingga dapat dilakukan perencanaan pengadaan.
Pengendalian juga dilakukan pada sediaan farmasi, alat kesehatan, atau BMHP
saat mengalami kerusakan, kehilangan, atau kadaluwarsa. Sediaan farmasi, alat
kesehatan, atau BMHP yang akan kadaluwarsa sebisa mungkin dikembalikan ke
PBF atau dimusnahkan sesuai prosedur yang ada.

48
Administrasi meliputi pencatatan, pelaporan, administrasi keuangan, dan
administrasi penghapusan (Kemenkes, 2019). Kegiatan pencatatan dilakukan
untuk mengetehui jumlah sediaan farmasi, alat kesehatan, atau BMHP yang keluar
dan masuk. pencatatan dilakukan pada kartu stok. Pada gudang farmasi Rumah
Sakit Universitas Brawijaya, kartu stok sudah berupa aplikasi, sehingga saat
penginputan faktur maka otomatis akan menambahkan jumlah sediaan farmasi
atau BMHP pada kartu stok yang ada diaplikasi. Saat ada transaksi mutasi atau
pengeluaran sediaan farmasi atau BMHP ke IFRS maka akan otomatis
mengurangi stok yang ada di aplikasi. Kegiatan pelaporan dilakukan pada obat
narkotik dan psikotropik yang dilaporkan kepada dinas kesehatan. Administrasi
keuangan dilakukan untuk mengetahui anggaran dan dana yang dibutukan untuk
pengadaan sediaan farmasi dan BMHP. Administrasi penghapusan merupakan
kegiatan penyelesaian pada sediaan farmasi atau BMHP yang kadaluwarsa, rusak
atau mutu tidak terstandar dengan prosedur yang berlaku (Kemenkes, 2019).

3.5 Pelayanan Farmasi Rawat Inap

Pelayanan farmasi rawat inap yang dilaksanakan di RSUB meliputi


pelayanan ODD (One Dose Dispensing) yang dilakukan oleh apoteker
penanggung jawab rawat inap, Pelayanan ODD merupakan pemberian obat
kepada pasien rawat inap dalam 1 hari (24 jam). Pemberian tersebut didasarkan
dengan kebutuhan obat pasien dalam satu hari. Pemberian obat tersebut dicatat
dalam laporan yang merupakan catatan laporan obat pasien yang akan diisi oleh
tenaga kefarmasian pada saat restock obat dan perawat yang akan memberikan
obat ke pasien secara langsung. Perawat akan memberikan obat kepada pasien
sesuai dengan jumlah dan jam minum obat. Pada metode dispensing ini ada form
yang digunakan untuk mengecek jumlah sediaan farmasi dan BMHP yang
diberikan oleh instalasi farmasi yaitu Lembar Kontrol Obat Pasien Rawat Inap.
Pada form ini memuat identitas pasien, nama obat, dosis, rute, frekuensi
pemberian obat, sisa, jumlah obat diterima, dan tanggal pemberian obat. Sisa obat
dihitung setiap hari, apabila jumlah obat kurang maka jumlah obat ditambah dan
ditulis total obat yang ada di unit rawat inap pada kolom jumlah obat yang

49
diterima. Selain form Lembar Kontrol Obat Pasien Rawat Inap, terdapat form
Catatan Pemberian Obat yang digunakan lembar informasi untuk semua tenaga
medis terkait pemberian obat. Pada form Catatan Pemberian Obat memuat
informasi tentang identitas pasien, nama obat, dosis, dan rute pemberian, dokter
penanggung jawab, frekuensi pemberian, kolom F (Farmasi), kolom C (checker),
kolom G (Giver), kolom ROTD, kolom catatan, dan kolom jam pemberian obat.
Petugas farmasi selalu mengecek pemberian obat apakah obat tersedia untuk tiap
jam pemberian, bila obat tersedia maka pada jam pemberian obat petugas farmasi
memberikan paraf pada kolom tersebut. Kolom C (Checker) digunakan untuk
mengetahui siapa yang menerima obat tersebut dari farmasi. Kolom G (Giver)
digunakan untuk mengetahui siapa yang memberikan obat tersebut kepada pasien.
Kolom ROTD digunakan untuk mengetahui apakah ada reaksi yang tidak
diinginkan yang muncul dari pemberian obat tersebut. Bila tidak ada ROTD maka
diisi tidak ada. Kolom catatan digunakan untuk mengetahui apakah ada catatan
terkait perubahan pemberian obat seperti kenaikan dosis, penurunan dosis atau
perubahan frekuensi pemberian sehingga para tenaga medis mengetahui apabila
ada perubahan terkait pemberian obat. Setiap hari petugas farmasi perlu mengecek
data obat yang ada pada Lembar Kontrol Obat Pasien dan juga pada Catatan
Pemberian Obat.Di RSUB belum melaksakan UDD dikarenakan keterbatasan
tenaga medis (farmasi maupun perawat) sehingga belum memungkinkan untuk
diadakannya UDD.

3.6 Pelayanan Farmasi Rawat Jalan


Pelayanan farmasi rawat jalan yang dilaksanakan di RSUB meliputi
pelayanan farmasi rawat jalan yaitu mengerjakan resep untuk pasien yang telah
menerima perawatan medis. Pasien di apotek rawat jalan dilayani oleh apoteker
dan beberapa asisten apoteker yang terlatih, yang akan memberikan petunjuk
penggunaan yang tepat dari obat obat yang diterima pasien, termasuk
kemungkinan efek samping dan tindakan pencegahan. Pelayanan resep pasien
rawat jalan di RSUB melayani pasien umum, BPJS dan asuransi lain. Dalam
pelayanan resep rawat jalan, resep biasanya diinput dari poli melalui e-resep yang

50
kemudian akan di screening oleh apoteker sebelum obat disiapkan. Alur
pelayanan obat pasien untuk pasien rawat jalan umum yaitu pasien datang ke poli
setelah itu pasien akan menerima resep berupa e-resep yang diterima oleh depo
farmasi, pasien akan membayar sejumlah tagihan obat melalui kasir setelah itu
pasien akan dating ke depo farmasi untuk melakukan pengambilan obat.
Sementara untuk alur pelayanan resep pasien BPJS, inputer resep dari depo
farmasi akan membuat nota 23 dan nota 7 yang nantinya akan diklaimkan kepada
puhak BPJS esuai dengan tarifnya sehingga pasien tidak perlu membayar tarif
apapun.

3.7 Pelayanan Farmasi OK


Pelayanan farmasi di kamar operasi (OK) adalah pelayanan terhadap resep
obat dan alkes habis pakai yang digunakan untuk pasien operasi di Instalasi Bedah
Sentral RSUB yang bersifat selektif dan terencana. Operasi terencana yang
dilayani ini adalah operasi yang telah mendapatkan rujukan dari poli-poli atau
ruangan. Adapun rangkaian prosedur pelayanan farmasi di kamar operasi adalah
sebagai berikut :
a. Sebelum tindakan operasi, petugas OK (dokter bedah dan anestesi) membuat
permintaan kebutuhan operasi masing-masing OK ke petugas farmasi.
b. Petugas farmasi menyiapkan sesuai permintaan untuk setiap OK.
c. Petugas farmasi menyerahkan obat dan alkes yang telah disiapkan ke petugas
OK.
d. Petugas OK mengecek obat dan alkes yang telah disiapkan.
e. Jika tidak sesuai atau kurang, maka petugas OK mengkonfirmasi kepada
petugas farmasi terkait obat dan alkes yang kurang.
f. Jika sudah sesuai, maka dilakukan tindakan operasi oleh petugas OK.
g. Setelah operasi selesai, petugas anestesi atau bedah akan mengisi form daftar
obat dan alkes yang digunakan pasien pada lembar pemakaian dan diserahkan
pada farmasi dan mengembalikan sisa obat dan alkes yang tidak digunakan.

51
h. Petugas farmasi akan mengecek kesesuaian pemakaian pada lembar
pemakaian dengan membandingkan antara permintaan dan sisa barang yang
tidak digunakan
i. Lembar pemakaian kemudian diserahkan ke Loket Pembayaran untuk di cek
data status pasien (KN atau umum) dan menghitung total biaya pemakaian
sediaan farmasi.

3.8 Pelayanan Farmasi IGD

Menurut Permenkes No. 72 tahun 2016 Rumah sakit merupakan intitusi


pelayanan kesehatan yang menyelanggarakan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat
darurat. Setiap rumah sakit wajib menyediakan pelayanan gawat darurat. Gawat
merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa namun tidak memerlukan
penanganan yang segera. Darurat merupakan suatu kondisi yang memerlukan
penanganan segera namun tidak selalu mengancam jiwa. Gawat Darurat adalah
kondisi yang mengancam jiwa dan memerlukan penanganan yang segera guna
menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan lebih lanjut.

Menurut KepMenKes RI Nomor 856/Menkes/SK/IX/2009 tentang Standar


Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit, bahwa Pelayanan di Instalasi Gawat
Darurat Rumah Sakit harus dapat memberikan pelayanan 24 jam dalam sehari dan
tujuh hari dalam seminggu. Pelayanan farmasi Instalasi Gawat Darurat merupakan
suatu depo farmasi yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kefarmasian
untuk memenuhi kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai (BMHP) di IGD dalam waktu 24 jam dan tujuh hari dalam seminggu.

Pelayanan sediaan farmasi, alkes dan bahan medis habis pakai di UPF IGD
berlaku sistem standing order, sistem standing order adalah obat diambil terlebih
dahulu oleh dokter atau perawat yang bersangkutan kemudian dilakukan
pencatatan di sebuah buku. Pencatatan tersebut meliputi nama pasien, nama
dokter serta jumlah dan jenis perbekalan farmasi yang digunakan. Selanjutnya jika
tindakan perawatan terhadap pasien tersebut telah selesai dilakukan, maka dokter

52
yang bersangkutan akan menuliskan resep sesuai dengan obat atau alkes yang
telah digunakan. Sistem standing order ini digunakan di Pelayanan Farmasi IGD
karena pasien dalam kondisi gawat darurat sehingga membutuhkan pelayanan
yang cepat dan tepat. Sistem distribusi obat di Pelayanan Farmasi IGD yaitu
individual prescribing, namun karena di IGD diperlukan penanganan yang cepat
sehingga pengambilan obat dilakukan standing order atau permintaan dokter
dahulu, lalu resepnya menyusul.

3.9 Instalasi Pusat Pelayanan Sterilisasi (CSSD)


Rumah sakit merupakan penyedia layanan kesehatan yang berupaya
mencegah risiko terjadinya infeksi, baik untuk pasien maupun petugas rumah
sakit. Indikator keberhasilan dari pencegahan infeksi adalah rendahnya insiden
infeksi nosokomial, sehingga diperlukan pengendalian infeksi, salah satunya
adalah dengan adanya pusat sterilisisasi atau central sterilization supply
department (CSSD).
Central Sterilization Supply Department (CSSD) atau Instalasi Pusat
Pelayanan Sterilisasi merupakan satu unit/departemen dari rumah sakit yang
menyelenggarakan proses pencucian, pengemasan, sterilisasi terhadap semua alat
atau bahan yang dibutuhkan dalam kondisi steril. Instalasi CSSD ini merupakan
pusat pelayanan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan alat/bahan steril bagi
unit-unit yang membutuhkan sehingga dapat mencegah dan mengurangi infeksi
yang berasal dari rumah sakit itu sendiri.
Pusat sterilisasi adalah menjamin sterilitas alat perlengkapan medik
sebelum dipakai dalam melakukan tindakan medik. Tugas utama pusat sterilisasi
di rumah sakit adalah menyediakan peralatan medis untuk perawatan pasien,
melakukan proses sterilisasi alat/bahan, mendistribusikan alat-alat yang
dibutuhkan oleh ruang perawatan, kamar operasi, dan ruang lain yang
membutuhkan.
Alur kerja yang dilakukan di CSSD adalah sebagai berikut :
1. Penerimaan alat dari pengguna (user) menggunakan kontainer tertutup
plastik.

53
2. Diserahkan CSSD melalui bagian penerimaan alat kotor.
3. Pengecekan dan pencatatan
4. Perendaman dan pembilasan alat-alat yang telah digunakan.
Merendam dalam air pada suhu 20 C-43 C selama 15-20 menit, bilas dengan
air keran yang mengalir untuk menghilangkan partikel-partikel kotoran.
5. Pencucian dan dekontaminasi
Membersihkan benda-benda yang mungkin terkontaminasi oleh mikroba yang
berbahaya bagi tubuh.
6. Pengeringan
7. Inspeksi dan Pengemasan untuk proses sterilisasi
Pengemasan yang dimaksud adalah termasuk semua material yang tersedia
untuk membungkus, mengemas dan menampug alat-alat yang dipakai ulang
sebelum proses sterilisasi, penyimpanan dan pemakaian. Tujuan pengemasan
adalah sebagai perlindungan terhadap alat dan bahan terhadap segala
penyebab yang merusak kondisi steril.
8. Labeling
Setiap kemasan harus mempunyai label yang menjelaskan isi dari kemasan,
cara sterilisasi, tanggal sterilisasi dan kadaluarsa proses sterilisasi.
9. Proses sterilisasi
Unit sterilisasi melakukan sterilisasi barang dan instumen yang telah dikemas
menggunakan metode yang tepat agar mencapai sterilisasi yang optimal.
Metode sterilisasi yang biasanya digunakan yaitu sterilisasi panas kering,
sterilisasi etilen oksida, dan sterilisasi uap. Sebaiknya proses sterilisasi ini
diberikan tanggung jawab kepada staf terlatih. Untuk sterilisasi menggunakan
etilen oksida sebaiknya digunakan ruang tersendiri dan dilengkapi exhaust
10. Gudang simpan steril, unit penyimpanan melakukan penyimpanan barang
steril dan melakukan penjaminan kualitas barang dan instrumen steril. Harus
diatur secara baik dengan memperhatikan kondisi penyimpanan yang baik.
11. Distribusi

54
3.10 Pelayanan Farmasi Klinis

Pelayanan farmasi klinis meliputi pengkajian dan pelayanan resep,


penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat,
konseling, visite, pemantauan terapi obat (PTO), Monitoring Efek Samping Obat
(MESO), Evaluasi Penggunaan Obat (EPO), Dispensing sediaan steril,
Pemantauan Kadar Obat dalam darah (PKOD), Pelayanan kefarmasian dirumah
(Home Care) (Kemenkes, 2019). Pelayanan farmasi klinis di Rumah Sakit
Universitas Brawijaya dilakukan mandiri oleh apoteker.
Pengkajian dan pelayanan resep dilakukan di Instalasi farmasi dengan
sistem sentralisasi. Pengkajian resep meliputi aspek administratif, farmasetik, dan
klinis.Pada aspek administratif pada lembar bagian belakang resep terdapat ceklist
untuk mnegetahui kelengkapan aspek administratif. Pada aspek farmasetik
meliputi nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan, dosis, jumlah, aturan dan cara
penggunaan. Pada aspek klinis meliputi ketepatan indikasi, dosis, waktu
penggunaan obat. Bila resep sudah memenuhi ketiga aspek tersebut, maka
dilakukan pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,
penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
termasuk peracikan Obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi.
Pada setiap tahap alur pelayanan Resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya
kesalahan pemberian Obat (medication error).
Penelurusuran riwayat penggunaan obat merupakan merupakan proses
untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh Obat/Sediaan Farmasi lain yang
pernah dan sedang digunakan, hal ini dapat diperoleh dari wawancara atau data
rekam medik/pencatatan penggunaan Obat pasien. Penelusuran riwayat
penggunaan obat di Rumah Sakit Universitas Brawijaya ini dengan
membandingkan riwayat penggunaan Obat dengan data rekam medik/pencatatan
penggunaan Obat untuk mengetahui perbedaan informasi penggunaan Obat
kemudian melakukan verifikasi riwayat penggunaan Obat kepada pasien.
Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan
dengan Obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah

55
terjadinya kesalahan Obat (medication error) seperti Obat tidak diberikan,
duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi Obat. Kesalahan Obat (medication error)
rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit ke Rumah Sakit
lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari Rumah Sakit ke
layanan kesehatan primer dan sebaliknya. Rekonsiliasi yang dilakukan di Rumah
Sakit Universitas Brawijaya dilakukan oleh apoteker saat akan visite pasien baru.
Apoteker akan mengecek obat apa yang dibawa pasien atau obat yang diberikan
pada saat pasien di IGD dengan melihat pada Catatan Perkembangan Pasien
Terintegrasi (CPPT) yang ada pada rekam medik. Obat-obat tersebut ditulis pada
lembar Rekonsiliasi obat yang ada pada rekam medik. Lembar rekonsiliasi obat
terdiri dari identitas pasien; riwayat alergi; kolom nama obat; kolom dosis obat;
kolom frekuensi pemberian; kolom waktu obat diberikan dan waktu obat
dihentikan; kolom tindak lanjut yang berisi obat dilanjutkan, obat ditunda atau
obat dihentikan; kolom catatan; dan tanda tangan apoteker. Lembar rekonsiliasi
obat ini bermanfaat untuk menghindari kesalahan penggunaan obat. Rekonsiliasi
juga dilakukan saat pasien akan pulang (KRS), dimana obat dari resep dokter
ditulis pada sebuah lembar yang diberikan pasien kepada instalasi farmasi.
Pelayanan informasi obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias,
terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh apoteker. Pelayanan informasi obat
di Rumah Sakit Universitas Brawijaya dilakukan ketika ada tenaga medis, pihak
manajemen RS atau pasien menanyakan informasi dari suatu obat. Tenaga medis
seperti dokter akan bertanya melalui telepon atau datang langsung ke instalasi
farmasi untuk menanyakan terkait informasi suatu obat. Kemudian apoteker akan
mencari informasi tersebut melalui literatur dan menyampaikan jawaban kepada
penanya.
Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait
terapi obat dari apoteker kepada pasien dan/atau keluarganya. Pemberian
konseling Obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan
risiko reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost-
effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan Obat bagi

56
pasien (patient safety). Konseling yang dilaksanakan di Rumah Sakit Universitas
Brawijaya dilakukan oleh apoteker saat visite pasien rawat inap, konseling
pemberian obat di rawat jalan, konseling pada pasien dengan obat khusus dan
konseling pada pasien pulang. Informasi yang wajib disampaikan saat konseling
terkait dengan nama obat, dosis, indikasi obat, waktu minum obat, hasil terapi
yang diharapkan, cara penyimpanan, serta efek samping yang potensial muncul,
dan hal lain yang perlu diperhatikan saat menggunakan obat.
Visite Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk
mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait
Obat, memantau terapi Obat dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki,
meningkatkan terapi Obat yang rasional, dan menyajikan informasi Obat kepada
dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya. Visite yang dilaksanakan di
Rumah Sakit Universitas Brawijaya dilakukan secara mandiri oleh apoteker pada
saat pagi hari. Apoteker akan menggali informasi terkait riwayat penyakit dan
riwayat pemakaian obat, alergi, keluhan pasien, mengamati kondisi klinis pasien,
mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat dan Reaksi yang Tidak di
Inginkan. Visite bermanfaat untuk meningkatkan komunikasi antar tenaga medis,
pasien mendapatkan obat sesuai indikasi dan rejimen, dan pasien mendapatkan
terapi obat yang efektif dengan risiko minimal. Hasil dari visite ini akan ditulis
oleh apoteker pada lembar Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT)
yang ada pada rekam medis. Apoteker akan menulis SOAP farmasi, dimana
Subjektif (S) berisi tentang keluhan-keluhan pasien yang tidak dapat diukur,
Objektif (O) berisi tentang kondisi klinis pasien seperti kondisi umum pasien,
sadar/tidak sadar, tekanan darah pasien, dll. kemudian Assesment (A) berisi
tentang alergi, efek samping obat, dan interaksi obat yang dialami pasien, serta
Plan (P) yang berisi tentang rencana pengobatan pasien dan saran untuk tenaga
medis. Selain itu saat visite, apoteker juga mengedukasi tentang obat yang
diberikan pada pasien tersebut sehingga pasien memahami fungsi dari pemberian
obat-obat tersebut.

57
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi
pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan
risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD). Pemantauan terapi obat di
Rumah Sakit Universitas Brawijaya diprioritaskan pada pasien dengan kondisi
khusus dan pada pasien yang menggunakan obat dengan risiko tinggi. Apoteker
akan melakukan wawancara kepada pasien atau keluarga pasien dan melihat
CPPT, bila ditemukan masalah terkait terapi obat maka dilakukan penyusunan
rencana asuhan dan menuliskan SOAP farmasi pada lembar CPPT.
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan
setiap respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim
yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi.
MESO dilaksanakan secara pasif bila ada laporan dari tenaga medis seperti dokter
atau perawat terkait pengunaaan obat, atau dilakukan secara aktif dengan
melakukan assesment dalam PTO baik di rawat jalan maupun rawat inap.
Pelaksanaanya adalah mendekteksi adanya ROTD atau MESO, kemudian
melakukan pencatatan dan penggalian data terkait ROTD, melakukan studi
literatur tersier, mencocokkan onset ROTD dengan data farmakokinetik obat yang
dicurigai, melakukan case report obat yang dicurigai, menganalisis kausalitas
dengan algoritma naranjo, merumuskan rekomendasi kepada klinisi terkait ROTD
tersebut, membuat laporan kepada klinisi dan tim MESO, dan membuat laporan
ke BPOM secara manual maupun elektronik.
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan proses sistematis dan
berkesinambungan dalam menilai kerasionalan terapi obat melalui evaluasi data
penggunaan obat pada suatu sistem pelayanan dengan mengacu pada kriteria dan
standar yang telah ditetapkan (ASHP). Manfaat dari EPO adalah perbaikan pola
penggunaan obat secara berkelanjutan berdasarkan bukti. Evaluasi penggunaan
obat dilaksanakan oleh tim yang ditunjuk oleh KFT/TFT.
Dispensing Sediaan Steril penyiapan sediaan farmasi steril untuk
memenuhi kebutuhan individu pasien dengan cara melakukan pelarutan,
pengenceran dan pencampuran produk steril dengan teknik aseptic untuk menjaga

58
sterilitas sediaan sampai diberikan kepada pasien. Dispensing sediaan steril di
Rumah Sakit Universitas Brawijaya yang dilakukan adalah pencampuran obat
suntik non sitostatika seperti rekonstitusi sediaan intravena dalam bentuk serbuk
dengan pelarut yang sesuai, pengenceran sediaan intravena, pencampuran sediaan
intravena kedalam cairan infus. Kegiatan ini dilakukan oleh perawat yang ada di
rawat inap atau unit yang lain.
Kegiatan pelayanan farmasi klinis lainnya seperti Pemantauan Kadar Obat
dalam darah (PKOD) dan Home Care belum dilakukan di Rumah Sakit
Universitas Brawijaya.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Setelah dilaksanakan Praktik Kerja Profesi Apoteker di RSUB Malang
periode 4 Januari – 8 Maret, maka:
1. Mahasiswa memperoleh wawasan, pengetahuan, keterampilan, dan
pengalaman untuk melakukan praktek kefarmasian di rumah sakit.
2. Mahasiswa dapat memahami peranan, tugas dan tanggung jawab apoteker
di rumah sakit sesuai dengan standar pelayanan farmasi di rumah sakit.
3. Mahasiwa dapat mengembangkan kemampuan dalam praktek kefarmasian
di Rumah Sakit dan dan memperoleh pengalaman berkomunikasi kepada

59
pasien, keluarga serta rekan tenaga kesehatan lain agar tercapai tujuan
terapi.
4. Mahasiswa memperoleh gambaran tentang kait-kait permasalahan dalam
praktik kefarmasian di Rumah Sakit

4.2 Saran
Diharapkan agar seluruh kegiatan dapat terjadwal dengan baik dan
berjalan dengan lancar sesuai jadwal yang telah direncanakan sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2009. Pedoman Instalasi Pusat Sterilisasi (CSSD) di Rumah


Sakit.Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Yustiana, A. dan Mudayana, A. A. 2017. Evaluasi Manajemen Central Sterile
Supply Department (CSSD) dalam meminimalisir terjadinya healthcare
associated infection (HAIs) di RSUD dr. Darsono Pacitan. Jurnal Kesehatan
10(2): 1-8

60
\

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)


FARMASI RUMAH SAKIT DI RSUB MALANG
(4 Januari 2021- 8 Maret 2021)

Laporan Farmasi Klinis : Kasus Heart Failure dan SLE

61
Disusun Oleh:
Sofy Indah Pratiwi,S.Farm 200070600111027

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


JURUSAN FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2021

62
BAB I
GAGAL JANTUNG
1. DEFINISI

a. Gagal Jantung

Merupakan sindrom klinis yang diakibatkan oleh ketidakmampuan


ventrikel jantung secara struktural atau fungsional untuk mengisi atau
mengeluarkan darah (Alldredge, 2013).
b. Pneumonia
Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang
disebabkan oleh adanya invasi mikroorganisme. Pneumonia paling sering
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia (pneumococcus). Infeksi pneumonia
dapat diperoleh dari komunitas (CAP) atau dari lingkungan rumah sakit (HAP).
serta dapat juga ditransmisikan melalui udara / inhalasi (Cilloniz dkk, 2016)
c. SLE
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun
kronis yang dapat menyebabkan kerusakan pada organ, jaringan dan sel . Lupus
dapat menyerang musculoskeletal, ginjal, paru-paru, kulit , hematologic bahkan
jantung (Maidhof, 2012).

2. PATOFISIOLOGI GAGAL JANTUNG


Berbagai faktor bisa berperan menimbulkan gagal jantung. Faktor-faktor
ini lalu merangsang timbulnya mekanisme kompensasi yang jika berlebih dapat
menimbulkan gejala-gejala gagal jantung Beban pengisian (preload) dan beban
tekanan (afterload) pada ventrikel yang mengalami dilatasi atau hipertrofi
memungkinkan adanya peningkatan daya kontraksi jantung yang lebih kuat,
sehingga curah jantung meningkat. Pembebanan jantung yang lebih besar
meningkatkan simpatis, sehingga kadar katekolamin dalam darah meningkat dan
terjadi takikardi dengan tujuan meningkatkan curah jantung. Pembebanan jantung
yang berlebihan dapat mengakibatkan curah jantung menurun, maka akan terjadi
redistribusi cairan dan elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan
vasokontriksi perifer dengan tujuan untuk memperbesar aliran balik vena (venous
return) ke dalam ventrikel sehingga meningkatkan tekanan akhir diastolic dan
menaikkan kembali curah jantung (Rang, 2003)

63
Dilatasi, hipertrofi, takikardi, dan redistribusi cairan badan merupakan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi
kebutuhan sirkulasi. Bila sirkulasi darah dalam badan belum juga terpenuhi, maka
terjadilah keadaan gagal jantung (Rang, 2003)
Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya
gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri
menurun akibatnya tekanan akhir diastole dalam ventrikel kiri dan volume akhir
diastole dalam ventrikel kiri meningkat. Keadaan ini merupakan beban atrium kiri
dalam kerjanya untuk mengisi ventrikel kiri pada waktu diastolic, sehingga dapat
meningkatkan tekanan rata-rata dalam atrium kiri. Tekanan dalam atrium kiri
yang meninggi ini menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dari vena-vena
pulmonal. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka bendungan akan terjadi juga
dalam paruparu sehingga dapat menyebabkan edema paru. Keadaan ini juga
menjadi beban bagi ventrikel kanan dimana jika beban ventrikel kanan itu terus
bertambah, maka akan meransang ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi
dengan mengalami hipertropi dan dilatasi sampai batas kemempuannya, dan bila
beban tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi gagal jantung kanan, sehingga
pada akhirnya terjadi akhirnya terjadi gagal jantung kiri-kanan (Rang, 2003)
3. ETIOLOGI

Menurut beberapa penelitian penyakit jantung disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
 usia,
 jenis kelamin,
 konsumsi garam berlebihan,
 keturunan,
 hiperaktivitas system syaraf simpatis,
 stress,
 obesitas,
 olahraga tidak teratur,
 merokok,
 konsumsi alcohol dan kopi berlebihan,
 hipertensi,
 ischaemic heart disease,
 konsumsi alkohol,
 Hypothyroidsm,

64
 penyakit jantung kongenital (defek septum, atrial septal defek, ventrical
septal defek),
 Kardiomiopati (dilatasi, hipertropik, restriktif)
(Panggabean, 2010).

4. MANIFESTASI KLINIS
Gejala khas gagal jantung yaitu sesak nafas saat istrahat atau aktifitas,
kelelahan, edema tungkai, selain itu juga terjadi takikardia, takipnu, ronki paru,
efusi pleura, peningkatan tekanan vena jugularis, edema perifer, hepatomegaly.
kardiomegali, suara jantung ke tiga, murmur jantung, dan abnormalitas dalam
gambaran ekokardiografi (PERKI, 2015)
5. KLASIFIKASI
Tabel 3. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural jantung atau
berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional NYHA.

(PERKI, 2015)
6. MANAJEMEN TERAPI
5.1 Terapi Non Farmakologi
a) Manajemen Perawatan Mandiri
Manajemen perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-
tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang
dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung
. Hal yang harus dihindari antara lain seperti merokok, konsumsi alkohol,
konsumsi kopi dan juga garam secara berlebihan (PERKI, 2015).
b) Ketaatan pasien berobat

65
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup
pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi Pemantauan berat badan mandiri Pasien
harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat badan >
2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertmbangan dokter
(PERKI, 2015).
c) Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan
gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien
dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis
(PERKI, 2015).
d) Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala
dan meningkatkan kualitas hidup (PERKI, 2015).
e) Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil.
Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit
atau di rumah (PERKI, 2015).
5.2 Terapi Farmakologi
5.2 Terapi Farmakologi
a. ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACEI)
ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % kecuali pada pasien kontraindikasi ACEI. ACEI dapat
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan
hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A). ACEI kadang-kadang
menyebabkan perburukanfungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk
dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya diberikan pada pasien
dengan fungsi ginjal adekuat . (PERKI, 2015).

66
Gambar 1. Dosis Obat ACEI yang umumnya dipakai pada gagal jantung
b. Beta Bloker
Beta bloker diberikan pada pasien dengan gejala ringan sampai berat
( kelas II – IV NYHA) dimana Beta bloker dapat memperbaiki fungsi ventrikel,
mempebaiki kualitas hidup, mengurangi peawatan rumah sakit akibat perburukan
gagal jantung dan meningkatkan kualitas hidup (PERKI, 2015).

Gambar 1. Dosis Obat ACEI yang umumnya dipakai pada gagal jantung
c. ARB
ARB direkomendasikan sebagai alternative pada pasien yang intoleran
terhadap ACEI. (PERKI, 2015).

d. HYDRALAZINE DAN ISOSORBIDE DINITRATE (H-ISDN)


Hidralazin dan ISDN dapat diberikan jika ada intoleran ACE dan ARB
atau jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat
β dan ARB atau antagonis aldosterone. Kontraindikasi lupus , gagal ginjal dn
hipoteensi simptomatik. ISDN merupakan vasodilator yang dapat bekerja pada
system vena sementara hidralazin pada system arteri. Vasodilator dapat
menurunkan afterload jantung dan tegangan dinding ventrikel, yang merupakan
determinan utama kebutuhan oksigen moikard, menurunkan konsumsi oksigen
miokard dan meningkatkan curah jantung (PERKI, 2015).
e. DIURETIK

67
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau
gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari pemberian
diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis
yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk
menghindari dehidrasi. Diuterik yang sering digunakan golongan diuterik loop
dan thiazide. Diuretik Loop (bumetamid, furosemid) meningkatkan
ekskresi natrium dan cairan ginjal dengan tempat kerja pada ansa henle asenden,
namun efeknya bila diberikan secara oral dapat menghilangkan pada gagal
jantung berat karena absorbsi usus.
Diuretik ini menyebabkan hiperurisemia. Diuretik Thiazide (bendroflumetiazid,
klorotiazid, hidroklorotiazid, mefrusid, metolazon) bekerja dengan menghambat
reabsorbsi garam di tubulus distal dan membantu reabsorbsi kalsium. Diuretik ini
kurang efektif dibandingkan dengan diuretic loop dan sangat tidak efektif bila laju
filtrasi glomerulus turun dibawah 30%. Penggunaan kombinasi diuretic loop
dengan diuretic thiazude bersifat sinergis. Tiazide
memiliki efek vasodilatasi langsung pada arterior perifer (PERKI, 2015).

f. Antikoagolan adalah zat-zat yang dapat mencegah pembekuan darah dengan


jalan menghambat pembentukan fibrin. Antagonis vitamin K ini digunakan pada
keadaan dimana terdapat kecenderungan darah untuk memebeku yang meningkat,
misalnya pada trombosis. Pada trobosis koroner (infark), sebagian obat jantung
menjadi mati karena penyaluran darah kebagian ini terhalang oleh tromus disalah
satu cabangnya (PERKI, 2015).
g. Digoksin

68
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk
memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat
beta) lebih diutamakan (PERKI, 2015)

a. Algoritma terpai HF

b. Algoritma terapi SLE


(PDPI, 2003)

69
c) Terapi CAP

70
71
DOKUMEN FARMASI PASIEN
No. Rekam Medis: 013xyy Keluhan Utama: nyeri dada kiri sejak kulbih 5 hari, memberat 3 hari Alergi: -
Tgl. MRS: 29/10 terakhir. Nyeri seperti cekot-cekot. Sesak kurang lebih 3 hari Merokok/Alkohol: -
Tgl. KRS: 1/11 terakhir. Tidur menggunkaan bantal tinggi. Kaki bengkak sejak 5 Obat Tradisional: -
Initial Pasien: Ny.S hari Kopi: -
Umur/BB/Tinggi: 39 tahun/ 57 kg Diagnosis: Heart Failure stg C III, SLE, Pneumonia CAP, Dispepsia OTC: -
Alamat: Malang Riwayat Penyakit: Jantung, SLE
Asuransi Kesehatan: BPJS Riwayat Obat: ISDN, CPG, Atorvastatin, miniaspi
Kepatuhan: -

73
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN

Inisial Pasien:
Tanggal Problem / Kejadian / Tindakan Klinisi
28/10 Pasien dibawa ke IGD dengan keluhan nyeri dada kiri sejak kurang lebih 5
hari, memberat 3 hari terakhir. Nyeri seperti cekot-cekot. Sesak kurang lebih
3 hari terakhir. Tidur menggunakan bantal tinggi. Kaki bengkak sejak 5 hari.
29/10 Pasien masih merasa lemas, tidak kuat berjalan, seluruh tubuh nyeri, dada
kiri nyeri, sesak, kaki bengkak, pasien mengeluh mual. Kemudian dari
hasil pemeriksaan pasien terkonfirmasi hypokalemia dan terdapat
dispepsia
30/10 Pasien merasa sudah membaik, tidak ada keluhan nyeri dada, tidak ada
sesak dan tidak ada edema. SaO2 sudah normal tanpa O2 NC, hipokalemia
terkoreksi,
31/10 Kondisi umum pasien baik, pasien mendapatkan terapi tambahan cefiksim 2
x 100 mg, Azatioprin 2 x 50 mg dan switch metil 2 x 8 mg po,Pemberian
sukralfat menghabiskan obat yang ada. pneumonia & lupus resolved
1/11 Kondisi umum pasien baik, lanjut intervensi, switch furosemide oral 40
mg 1x1. Pasien KRS.

74
DATA PEMERIKSAAN KLINIK PASIEN

No. Data Klinik Rujukan


28/10 29/10 30/10 31/10 1/11
Normal
1. Tekanan Darah (<140/90 110/63 110/70 110/60 110/70 110/60
mmHg)
(JNC 8)
2. SpO2 95 – 100% 98% 99% 99% 99% 99%
3. Nadi 80-100 x/min 104 144 134 124 122
4. RR 18-20x/menit 24 20x 20x 20x 20x
5. Suhu 36-37°C 36,6 36,2 36,5 36 36,5
6. Wz/Rh -/- -/- -/- -/- -/- -/-

7. Sesak + + + + - -
8. GCS 456 456 456 456 456 456
Komentar
- TD rendah pada pasien ini mengindikaskan kerja jantung yang terganggu
(kishi, 2012)
- Nadi tinggi : denyut nadi adalah irama detak jantung yang dapat dipalpitasi
dipermukaan kulit pada tmpat” tertentu pada tubuh pada HF trjadi penurunan
curah jantung yang akan mengaktifkan system saraf simpatis. Rangsangan ini
akan membuat jantung dan pembuluh darah berespin mengeluarkan epinefrin
dan norepinefri dimana peingkatan hormone tersebut akan menginduksi
vasokontriksi dan peningkatan frekuensi denyut jantung. norepinefrin juga
menstimulasi reseptor Beta 1 shgga mningkatkan detak jantung dan
kontraktilitas (kishi, 2012)
- RR : RR tinggi mengindikasikan pasien mengalami sesak karena kurangnya
asupan oksigen yang dibutuhkan sehingga terjadi kompensasi dengan cara
meningkatkan (RR). (kishi, 2012)
Keterangan:
+: pasien mengalami kondisi tersebut
-: pasien tidak mengalami kondisi tersebut

75
DATA PEMERIKSAAN LABORATORIUM PASIEN
Hasil pemeriksaan mikrobiologi sputum aspirasi: Klebsiella pneumonia (sensitif
amikacin dan meropenem)
Hasil pemeriksaan radiologi: Infiltrasi reticular paru bilateral
No. Data Lab Normal 28/10 30/10
1. Hb 13-17 g/Dl 8,5 gram/dL 9,6
2. Trombosit 142.000 - 424000 164.000 239000
3. Na 135 – 145 mmol/L - 140,9
4. Kalium 3,5 – 5,5 mmol/L 3,24 4,29
5. Cl 97-106 mmol/L - 108,7
6. Rapid eclia Non reaktif Non reaktif -
7. Platelet 150.000-450.000/ 198.000 226.000
mm3
8. GDS < 200 mg/dL 169 172
9. CRP < 0,3 mg/dl O,85 mg/dl -
10. Troponin I Negatif jika < 1,0, 1,40 -
positif jika > 1,0
11. Procalcitonin < 0,5 0,06 0,15
12. Coombs test 0 +2 -
URIN LENGKAP
13. Kekeruhan Jernih Jernih -
14. pH 5,5 -8.0 7.0 -
15. Berat Jenis 1.010 – 1.020 1.010 -
16. Glukosa Negatif Negatif -
17. Bilirubin Negatif Negatif -
18. Keton Negatif Negatif -
19. Protein Negatif Negatif -
20. Urobilinogen 3,2 – 16 µmol/L 3,2 -
21. Blood Negatif Negatif -
22. Leukosit Negatif Negatif -

76
SUBJEKTIF
No. Kondisi pasien 28/10 29/10 30/10 31/10 1/10

1 Kondisi Umum IGD lemah lemah Baik Baik


Lemah.

2. Sesak IGD ++ ++ + - -

3. Batuk IGD ++ ++ - - -

4. Edema IGD + + - - -

Komentar:
a. nyeri dada kiri sejak kurang lebih 5 hari, memberat 3 hari terakhir. Nyeri seperti
cekot-cekot.
= Gejala utama pada pasien HF yaitu nyeri dada. Nyeri dada disebabkan karena
menurunnya curah jantung sehingga suplai oksigen ke miokardium mengalami
penurunan yang berakibat pada perubahan metabolism miokardium dan dapat
menyebabkan kematian sel jantung apabila tidak diatasi (Muttaqin, 2009)
b. Sesak kurang lebih 3 hari terakhir. Tidur menggunakan bantal tinggi.

= Sesak nafas pada penderita gagal jantung disebabkan oleh kongesti paru atau
penumpukan cairan pada rongga intersisial dan alveoli paru. Kongesti paru disebabkan
karena disfungsi ventrikel yang menyebabkan curah jantung menurun dan tekanan
vena paru meningkat. Hal ini pada akhirnya menyebabkan ekstravasasi cairan kedalam
ruang intersisial dan alveoli paru. Kemudian kgagalan fungsi paru-paru pada penderita
gagal jantung akibat edema pada / penumpukan cairan akan berdampak pada
penurunan saturasi oksigen. (Kupper,N.,et.al, 2016).
c. Batuk

77
= batuk merupakan manifestasi yang sering terjadi pada gagal jantung hal ini
dikarenakan adanya sejumlah cairan yang banyak terperangkap dalam saluran
pernafasan dan mengiritasi mukosa paru (Kupper,N.,et.al, 2016).
d. Kaki bengkak sejak 5 hari Sesak

= Edema perifer pada kasus heart failure dapat disebabkan karena adanya aktivasi dari
mekanisme hormone yang mengakibatkan reabsorbsi sodium dan air oleh ginjal dan
ekspansi cairan ekstraseluler. Selain itu juga terjadi peningkatan tekanan vena
kapiler dan tekanan plasma onkotik yang menyebabkan cairan merembes keluar sel
dan terjadilah edema (Kupper,N.,et.al, 2016).
Objektif
a. Hb : rendah.

Nilai Hb rendah hal ini menunjukkan adanya kondisi anemia pada pasien.
Anemia pada kasus ini kemungkinan disebabkan oleh adanya inflamasi. Selain
inflamasi pada keadaan pneumonia dan SLE, inflamasi pada gagal jantung
juga memegang peranan penting dalam mekanisme terjadinya anemia. Sitokin
proinflamasi seperti TNF alfa, interleukin 1 dan interleukin 6 meningkat pada
gagal jantung. dan menyebabkan gangguan pada berbagai aspek eritropoiesis
seperti mengurangi sekresi eritropoietin serta menurunkan aktifitas ertropoietin
pada prekursor eritrosit dalam sumsum  tulang. Sitokin proinflamasi juga
meningkatkan kadar hepcidin, suatu peptida yang  dihasilkan oleh hepatosit.
Hepcidin menyebabkan gangguan absorbsi besi di duodenum, meningkatkan
ambilan besi ke dalam  makrofag serta menghambat pelepasan besi dari
makrofag. Hal ini menyebabkan besi  terperangkap dalam makrofag sehingga
mengurangi bioavailabilitas cadangan besi untuk sintesis hemoglobin
(Hendrata & Reginald, 2010). Selain akibat dari gagal jantung, anemia juga
dapat disebabkan karena SLE. Anemia adalah satu manifestasi hematologi
dari SLE yang terjadi karena supresi eritropoiesis oleh adanya inflamasi
kronis (Harrison, 2012).
b. Kalium rendah
Nilai kalium yang rendah disebut juga dengan hypokalemia. Hipokalemia
dapat terjadi karena beberapa hal diantaranya malnutrisi, penggunaan obat

78
diuretic,steroid, dll. hipokalemi harus segera diatasi pada pasien dengan iskemi
jantung, gagal jantung, atau hipertrofi ventrikel kiri dikarenakan hipokalemia
ringan – sedang akan meningkatkan keadaan aritmia jantung (singer dkk, 2005)
c. Cl tinggi
Hiperkloremia adalah gangguan yang terjadi karena kadar klorida serum
meningkat lebih besar dari 100 mEq/L atau 100 mmol/L. terjadi jika
pemasukan melebihi pengeluaran pada gangguan mekanisme homeostasis dari
klorida. Hiperkloremia sangat sering ditemukan di pasien sakit dengan
pemberian cairan yang kaya akan klorida. (singer dkk, 2005)
d. CRP tinggi
C Reactive Protein merupakan protein fase akut yang dibentuk di hati (oleh sel
hepatosit) akibat adanya proses peradangan atau infeksi. Setelah terjadi
peradangan, pembentukan CRP akan meningkat dalam 4 sampai 6 jam,
jumlahnya bahkan berlipat dua dalam 8 jam setelah peradangan. Konsentrasi
puncak akan tercapai dalam 36 jam sampai 50 jam setelah inflamasi. Kadar
CRP akan terus meningkat seiring dengan proses inflamasi yang akan
mengakibatkan kerusakan jaringan. Apabila terjadi penyembuhan akan terjadi
penurunan kadar CRP secara cepat oleh karena CRP memiliki masa paruh 4
sampai 7 jam (Carlan, 2008) . Nilai CRP bertujuan untuk mengetahui adanya
infeksi atau inflamasi. Pada kasus ini nilai CRP yang tinggi menunjukkan
adanya inlamasi/infeksi di dalam tubuh pasien dimana dalam hal ini pasien
mengalami infeksi bakteri pneumonia. Parameter CRP juga sering dijumpai
pada pasien SLE dimana peningkatan CRP pada SLE biasanya lebih ringan
dibandingkan dengan penyakit infeksi.

e. Troponin I positif
Troponin merupakan protein yang terdapat pada sel otot jantung. Pemeriksaan
troponin sering kali dilakukan untuk mendiagnosis serangan jantung atau
kondisi lain yang dapat menyebabkan kerusakan jantung. Semakin banyak
kerusakan pada jantung, maka jumlah troponin dalam darah akan semakin
meningkat. Troponin I merupakan biomarker yang spesifik untuk otot jantung

79
dengan sensitifitas tinggi dimana jumlahnya akan meningkat pada keadaan
miokardial nekrosis.(anton dkk, 2018)
f. Coombs test positif 2
Coombs test adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui antibody
yang menyerang sel darah merah dimana antibody ini berhubungan dengan
destruksi eritrosit (autoimun hemolitik anemia). Nilai combs test yang positif
merupakan salah satu manifestasi dari penyakit SLE. (Maidhof, 2012). Hasil
positif menunjukkan adanya antibody yang menyerang sel darah merah
sehingga dapat menyebabkan anemia pada pasien (.Hoffman, 2014).
g. Hasil pemeriksaan mikrobiologi sputum aspirasi: Klebsiella pneumonia
(sensitif amikacin dan meropenem)
Indikasi adanya pneumonia pada pasien

h. Hasil pemeriksaan radiologi: Infiltrasi reticular paru bilateral.


Infiltat pada hasil rontgen paru merupakan gambar bercak titik-titik dengan
batas tegas. Adanya infiltrate paru menujukkan adanya infeksi yang aktif di
paru-paru . dalam kasus ini infeksi yang terjadi yaitu infeksi pneumonia yang
diperkuat dengan adanya hasil pemeriksaan mikrobiologi sputum aspirasi.

80
ASSESMENT

Problem Terapi Tgl Analisis Dosis Monitoring Ket


Medik
HF O2 nasal Diberikan kepada Sudah
pasien karena pasien 2-4 lpm sesuai, Jika
menglami sesak yang NC saturasi
SaO2, RR
diperkuat dengan oksigen
tingginya nilai RR sudah
pasien. tercukupi
maka dapat
dihentikan
pemberian
oksigen
nasal

IVFD RL 11-15 Perfusi cairan karena LL Kadar Na, K, Cl, Sudah


maret keadaan pasien (Life line) TD, RR, nadi sesuai
Komposisi
lemah, sebagai diberikan
-kalsium ES : ruam, gatal-
penyeimbang cairan kepada
klorida gatal, sakit kepala,
tubuh pasien. pasien
0,02 gram Infeksi di daerah
karena
injeksi, Trombosis
kondisi
-kalium
vena.
pasien
klorida
lemah
0,03 gram

-sodium
klorida 0,6
gram

-sodium
laktat 0,31

81
gram

air

IVDN NS Menyeimbangkan LL Edema, kadar Pemberian


cairan elektrolit, elektrolit, TD sudah
resusitasi cairan dan sesuai
karena kondisi umum indikasi
lemah sehingga dapat
menggantikan cairan
tubuh kondisi pasien
menjadi normal

Furosemid 29-1 Sebagai terapi edema Dosis awal Tekanan darah dan Pemberian
e iv yang berhubungan 20 – 40 mg kadar kalium dalam sudah tepat
3 x 20 mg dengan gagal jantung Dosis darah. indikasi
kongestif. harian : 40 ES nya adalah dan tepat
Diuretik loop bekerja - 240 mg hipokalemi dan dosis.
dengan cara hipotensi
menghambat
kotranspor Na+/
2Cl- /K+ pada
segmen tebal asenden
ansa Henle, yang
bertanggung jawab
pada reabsorpsi
sepertiga natrium
yang terfiltrasi.
Diuretik loop
menurunkan
reabsorpsi natrium
dan klorida dan

82
meningkatkan
diuresis. Peningkatan
diuresis mengurangi
tekanan pengisian
ventrikel kiri, tekanan
kapiler paru dan
edema intra-alveolar,
sehingga mengurangi
gejala.
Aspilet po Untuk mencegah 81-325 mg
1 x 80 mg agregasi platelet yang PO qDay Efek samping : rasa Pemberian
dapat menyebabkan (Medscape. tidak nyaman pada sudah tepat
pembuntuan arteri com) lambung dan indikasi
koroner. sekitar ulu hati. dan sesuai
Aspilet mempunyai mual dan muntah. dengan
kandungan Asam Pada pemakaian kondisi
Asetilsalisilat yang jangka panjang dan pasien.
bekerja pada tubuh dosis besar dapat
dengan cara menyebabkan
menghambat aktivitas terjadinya tukak
enzim siklo- lambung (Awtry &
oksigenase melalui joseph, 2000).
proses asetilasi yang
bersifat ireversibel
(tidak dapat kembali
seperti semula).
Dengan kerja
penghambatan
tersebut asam
asetilsalisilat dapat
mencegah proses
pembentukan

83
tromboksan A2
sehingga terjadi
pecegahan terhadap
penimbunan platelet
dan pencegahan
terhadap proses
pembekuan darah)
(Awtry & joseph,
2000)
Atorvastat 11-15 Atorvastatin 10-80 mg ESO : Pemberian
in po maret golongan statin yg PO qDay Arthralgia sudah tepat
menurunkan LDL Medscape. adalah nyeri indikasi
dan TG com sendi tanpa dan sesuai
meningkatkan HDL. pembengkakan, dengan
Pada pasien HF nasofaringitis, kondisi
diindikasikan untuk diare, mual, pasien.
menstabilkan plak. muntah, muscle
Atorvastatin pain
diketahui juga dapat
meningkatkan fungsi
jantung, mempunyai
efek cardio-protective
“pleiotropic” yang
beraksi sebagai agen
antiinflamasi, anti-
fibrotic dan anti-
oxidative.
Elmadbouh dkk.
2015)
Captopril Diberikan kepda Heart ES : kulit Pemberian
po pasien HF karena failure kemerahan, sudah tepat
kaptopril mempunyai Initial: hipotensi, batuk, indikasi

84
aksi sebagai 6.25-12.5 takikardi dan sesuai
antiremodellig, mg bid or dengan
karena menghambat tid. Dosis kondisi
raas aldosterone. target 50 – pasien.
Aldosterone punya 100 mg 3 x
efek fibrosis 1
Perki,
Angiotensin
2020)
converting enzyme
(ACE) inhibitors

ACE inhibitor juga


punya efek
vasodilator dengan
cara dengan
menghambat
konversi angiotensin
I menjadi angiotensin
II (vasokontriktor
endogen) dan
menghambat
metabolisme
bradykinin sehingga
aksi tersebut
menurunkan preload
and afterload jantung.

ACE inhibitors juga


bersifat renoprotektif
ISDN po Diberikan kepada SL ES: hipotensi / Sudahb
pasien untuk kondisi (treatment): orthostatic sesuai
nyeri dada. 2.5-5 mg hypotension, namun
golongan nitrat yang Medscape. palpitations, perlu

85
digunakan secara com tachyarrhythmia adanya
farmakologis sebagai Monitoring
Central nervous
vasodilator (pelebar tekanan
system (CNS): sakit
pembuluh darah), darah
kepala, lemas,
khususnya pada karena
mual, muntah.
kondisi angina terdapat
pektoris, juga pada interaksi
CHF (congestive dengan
heart failure), yakni kaptopril
kondisi ketika Medscape.
jantung tidak mampu com
memompa cukup
darah untuk
memenuhi kebutuhan
tubuh. Isdn sebagai
vasodilator juga akan
mnurunkan
pengunaan atp,
pdahal atp
menggunakan o2.
Jadi isdn mnurunkan
penggunaan oksigen
KSR po Diberikan kepada 1 or 2 tab ESO : mual, KSR
3 x 1 tab pasien sebagai terapi 2-3 times muntah, nyeri dada, dihentikan
(kalium hipokalemia , daily flatulence, nyeri pada tgl 30
klorida) diketahui dari data (mims.com perut karena
kalium pasien ) hipokalemi
dibawah normal. sudah
Hypokalemia terkoreksi.
terkoreksi pada
tanggal 30
Concor po Sebagai 1.25 mg ESO Insomnia, Sudah tepat

86
antiremodelling PO qDay; mual, muntah, diare diberikan
jantung. Menurunkan dapat (Medscape.com) kepada
kebutuhan oksigen ditingkatka pasien
pasien sehingga dapat n perlahan dengan HF
mengurangi nyeri di dan tidak
dada akibat boleh lebih
peningkatan dari 10
kebutuhan oksigen mg/day
yang tidak dapat Medscape.
terpenuhi dan com
mengarah pada
anaerob sehingga
terbentuk banyak
asam laktat dan
menyebabkan nyeri
dada
Spironolac Diberikan kepada Dosisi 25 ES : sakit kepala, Sudah tepat
ton po pasien untuk mg 1x/hari mual, muntah diberikan
mengatasi edema Dosis Monitoring kondisi kepada
kaki. Golongan target 25- edema, monitoring pasien
antagonis aldosterone 50 mg/hari kadar kalium, TD untuk
dan Merupakan (Perki, Monitoring adanya mengatasi
diuretic hemat kalium 2020) interaksi: edema dan
yang dikombinasikan Dengan potassium menjaga
dg furosemide karena klorid keseimban
keduanya mempunyai meningkatkan gan kalium
efek sinergis mampu kadar kalium serum
menjaga kadar Kategori perlu
kalium tetap normal dimonitoring
Bisoprolol dpt
mningkatkan serum
kalium

87
Aspirin : dpt
mnurunkan
efektivitas spirono
perlu monitoring
efikasi yaitu edema
(Medscape.com)
Kcl iv drip ditujukan untuk Dosis KCl Monitoring kadar Sudah tepat
25 meq 20 pengobatan iv adalah kalium, perubahan diberikan.
tpm 1 hipokalemi karena 10 - 20 EKG ( gelombang K+-Cl
siklus pada tgl 28 kadar mEq/jam U dan gelombang harus
kalium pasien rendah. dalam T) selalu
lauratn diberikan
NaCl dalam
isotonis larutan
maksimal garam,
60 bukan
mEq/jam dekstrosa,
untuk karena
mencegah peningkata
hiperkalem n insulin
i (Nathania, yang
2019) diinduksi
dekstrosa
dapat
memperbur
uk
hipokalemi
a
Calc Suplemen kalsium 500 mg 1 x Gangguan Sudah tepat
Kalsium 1 gastrointestinal diberikan
laktat 500 ringan; bradikardia, untuk
mg aritmia mencegah

88
(pionas.com) hipokalsem
i krna
pasien
menggunak
an diuretic
dimana
homeostasi
s kalisum
ditakutkan
akan
terganggu
Ramipril European Society of Dosis awal Hipotensi, batuk, penggunaa
Cardiology (ESC) 2,5 2x 1 hyperkalemia, kulit nnya perlu
Guidelines for HF hari, dosis kemerahan dipantau
merekomendasikan target 5 mg karena
ACE inhibitors harus 2 x / hari pasien
segera diberikan (PERKI, sudah
segera diagnose HF 2020) mendapat
ditegakkan. ramipril kaptopril,
merupakan ACEi sementara
yang efektif dan TD pasien
bersifat long-acting. termasuk
Selain sebagai rendah
vasodilator, ace sehingga
inhibitor juga dapat penggunaa
menurunkan n 2 ACEi
remodeling jantung perlu
melalui pencehagan dipertimba
pembentukan ngkan
angiotensin II. Ace efikaasinya
inhibitor mengurangi kembali.
tahanan perifer

89
sehingga mengurangi
afterload jantung.
(Katzung, 2012).

Proble Terapi Tgl Analisis Dosis Monitoring Keterangan


m
Medik
Dispeps Ranitidin Diberikan kepada Perlu di
ia 2 x 50 mg pasien sebagai terapi berikan
50 mg (2 mL)
dyspepsia. Ranitidin karena pasien
IM atau bolus IV
bekerja dengan cara tirah baring
intermiten atau
inhibitor kompetitif biasanya
infus setiap 6-8 ESO muntah
terhadap reseptor gangguang
jam; tidak mual sakit
histamine H2 dalam GI (stress
melebihi 400 mg kepala
sel parietal lambung ulcer)
/ hari
sehingga produksi
Medscape.com)
asam lambung
menurun.
(Drugbank.com)
Primperan Obat ini diberikan 10 mg 1 – 3 x Monitoring Sudah tepat
(metoklopr kepada pasien untuk sehari max 30 kondisi umum diberikan
amid) terapi dispepsia. mg/hari. Durasi pasien : mual kepada
3 x 10 mg pada tanggal 29 terapi max 5 hari dan muntah. pasien
pasien mengeluh (mims.com) Monitoring eso sebagai teapi
mual Obat ini yaitu akatishia dispepsia dan
diberikan hingga (ga bisa diam profilaksis
pasien KRS karena terus”an mual dan
menurut drug gerak), muntah
bank.com obat ini bradiardia,
juga sebagai diare.
profilaksis mual dan
muntah karena

90
pasien mengalami
dispepsia Obat ini
bekerja sebagai
antiemetic dengn
menghambat
reseptor dopamine
D2 dan serotonin 5-
HT3 di zona pemicu
kemoreseptor yang
terletak di otak.
Sukralfat Sebagai antireflux Sudah tepat
po agent dan pelindung 1 gram 4x sehri ESO diberikan
mukosa lambung hingga 4-8 Konstipasi, kepada
minggu max 8 diare, mulut pasien
gram perhari kering, dengan
insomnia kondisi
dispepsia

Problem Terapi Tgl Analisis Dosis Monitoring Ket.


Medik

SLE Pulse Diberikan kepada 0,5-1 gram IV ESO Sudah tepat


metilpredn Pasien untuk Diberikan Osteoporosis, diberikan
isolon iv kondisi SLE yang selama 3 hari ulkus kepada pasie
1 x 500 sudah tekonfirmasi berturut-turut peptikum, untuk
mg sejak pasien MRS Retensi cairan, kondisi SLE
didukung oleh data hipertensi,
coombs test positif insomnia,
dan pasien juga perubahan
mempunyai riwayat nafsu makan
penyakit tersebut. dan
Menurut meningkatnya
(Perhimpunan berat badan,

91
Reumatologi moon face,
Indonesia, 2011) DM.
Kortikosteroid (KS) Monitoring
digunakan sebagai GDA, ttv
pengobatan utama
pada pasien dengan
SLE. Pulse terapi
KS digunakan untuk
penyakit SLE yang
mengancam nyawa,
induksi atau pada
kekambuhan.
Metilpred Diberikan kepada Dosis sedang Sudah tepat
nisolon po pasien untuk >7.5 mg, tetapi < diberikan
2 X 8 mg mengtasi SLE, 30 mg prednison Osteoporosis, kepada
diberikan pada atau setara ulkus pasien
pasien tanggal 31 perhari peptikum,
setelah pulse Retensi cairan,
metilprednisolon hipertensi,
dihentikan. karena insomnia,
berpotensial perubahan
mempunyai efek nafsu makan
samping, maka dosis dan
KS mulai dikurangi meningkatnya
segera setelah berat badan,
penyakitnya moon face
terkontrol. DM.
(Perhimpunan GDA, ttv
Reumatologi
Indonesia, 2011)
Azatioprin Sebagai sparing 50-150 mg Monitoring: Sudah tepat
po agent kotikosteroid. per hari Darah tepi diberikan

92
Diberikan bersama lengkap 1-2
dengan minggu, AST
metilprednisolon po setiap tahun
untuk memudahkan Monitoring
menurunkan efek samping
dosis KS dan obat reaksi
berfungsi juga hipersensitivita
mengontrol penyakit s (malaise,
dasarnya serta pusing, mual,
mengurangi efek demam, nyeri
samping. otot, nyeri
(Perhimpunan sendi,
Reumatologi gangguan
Indonesia, 2011) fungsi hati,
ikterus,
aritmia,
hipotensi,
nefritis
intertisial);
supresi
sumsum tulang
yang
bergantung
dosis; rambut
rontok, mual

93
Problem Terapi Tgl Analisis Dosis Monitoring Ket.
Medik
Pneumo Cefoperazo Sebagai terapi Sudah tepat
nia n empiris pneumonia diberikan
sulbactam dimana sefalosporin kepada
inj 2 x 1 Gen 3 bekerja dengan pasien
gram mengganggu sintesis dengan
ESO:
dinding sel, dan kondisi
Def vit K,
mengganggu gradien pneumonia.
neutropenia,
osmotik yang Terapi
trombositopen
diperlukan untuk diberikan
i, resiko
mempertahankan min 5 hari dn
1 gram iv resitensi, sakit
integritas struktural dapat diganti
kepala, mual
mikroba sehingga dengan
muntah.
menyebabkan antibiotic
dinding sel lisis sensitive
Monitoring
yang telah
darah
diketahui
lengkap,
saat uji
fungsi hepar,
mikrobiologi
ginjal, status
sputum
hematologis
aspirasi:
(protrombin
Klebsiella
time)
pneumonia
(sensitif
amikacin dan
meropenem)

Cefixime Merupakan golongan 2 x 100 mg po Diare, nyeri Penggantian


po 2 x 100 sefalosporin Gen 3 selama 5 hari abdomen, antibiotic
mg yang digunakan kandidiasis, alangkah
sebagai terapi empiris dispepsia lebih baiknya

94
pneumonia. jika sesuai
Sefoperazon di stop dengan
tgl 31 krna udah antibiotic
resolved digantic sensitive dari
dengan antibiotic po hasil uji
mikroba agar
pengobatann
ya lebih tepat
dan
menghindari
adanya
resistensi.

PLAN

1. Monitoring efikasi

2. Monitoring efek samping obat

3. Untuk kondisi anemia pada pasien dapat diberikan Transfuse PRC 1 bag / hari
jk hb sudah diatas 9 g/dl atau Erythropoiesis-stimulating agents (ESAs)
dengan dosis 50-100 IU/kg 3x dalam 1 minggu

4. Edukasi Non farmakologi setelah pasien KRS antara lain

- Menjaga sanitasi yang baik

- Mengatur pola makan yang sehat, menghindari makanan berlemak,


minuman alcohol

- Pola hidup sehat dengan berolahraga min 3x seminggu (jalan santai)

- Menghindari stress

- Hindari paparan sinar matahari langsung

95
5. Edukasi pemakaian obat pulang

a. Metil pprednisolon 0,5 mg sebagai antiinflamasi (pengobatan lupus)


diminum 2 kali sehari setelah makan

b. Calc 500 mg sebagai suplemen kalsium diminum 3 x sehari setelah makan

c. Miniaspi 80 mg sebagai pengencer darah diminum 1 x sehari 80 mg


setelah makan

d. Cefixim 200 mg sebagai antibiotic diminum 2 x sehari (dihabiskan)

e. Spironolakton untuk mengurangi bengkak diminum 1 x sehari pagi hari

f. Imuran (azatioprin) 50 mg sebagai terapi lupus diminum 2 x sehari

g. Ramipril 5 mg menjaga tensi agar tetap stabil dan salah satu terapi pasien
sakit jantung diminum 1 x sehari

h. Concor 2,5 mg menjaga tensi agar tetap stabil dan salah satu terapi pasien
sakit jantung diminum 1 x sehari

i. Furosemid untuk mengurangi bengkak diminum 1 x sehari pagi hari

j. Atorvastatin 20 mg sebagai penstabil plak kolesterol diminum 1 kali sehari


malam hari

DAFTAR PUSTAKA

96
Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A.,Kradjan,
W.A., 2013, Koda-Kimble & Young’s Applied Therapeutics The Clinical Use
of Drugs, 10th ed., Lippincott Williams & Wilkins, Pennsylvania, United
States of America.
Anton, Riska., Sheila Febriana., Asvin Nurlita., Uleng Bahrun. 2018. The diagnostic
value of troponin I testing to coronary angiography with a point of care testing
instrumentin patients with cute myocardial infarction. Indonesian journal of
clinical pathology and medical laboratory. 25 (1) : 1 -128.

Carlan P. CRp vs ESR Assessing & measuring the inflammatory response. Diunduh
dari http://www.bpac. org.nz pada tanggal 25 November 2008.

Cilloniz, Catia., Ignacio Martin-Loeches., Carolina Garcia-Vidal., Alicia san Jose.,


Antoni Torres. 2016. Microbial Etiology of Pneumonia :Epidemiology,
Diagnosis and resistance Patterns. International Journal of Molecular
Sciences. 17 : 1 – 18

DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education
Companies, Inggris.
Elmadbouh, Ibrahim., magda Mansour. Mohamed nabeh. Walaa faried., ahmed
abdelsabour., adel ommar. 2015. Atorvastatin improves cardiac function and
remodeling in chronic non-ischemic heart failure: A clinical and pre-linical
study. The Egyptian heart journal. 67: 289-298.
Eric H. Awtry and Joseph Loscalzo. Aspirin. Cardiovascular Drugs. American
Heart Association. 101:1206-1218.)
Felker GM, Mentz RJ. Diuretics and ultrafiltration in acute decompensated heart
failure. JACC. 2012;59(24):2145-53

Harrison, T. R. dkk. 2012. 18th Edition Harrison’s Principle of Internal Medicine.


New York: McGraw-Hill.
Hendrata, Cecillia., Reginald L. Lefrandt. 2010. Anemia pada gagal jantung. Junal
Biomedik. Vol 2 (3) : 133-139
Hoffman, R., Benz., E, J, Jr., Silberstein, L, E., Heslop, H., Weitz, J., Anastasi, J.
2014. Hematology : Diagnosis and Treatment. US :Elsevier.
https://reference.medscape.com/drug/zantac-ranitidine-342003
https:// reference. medscape.com/drug/carafate-sucralfate-342006#4
https://go.drugbank.com/drugs/DB00863
https://reference.medscape.com/drug/dilatrate-sr-isordil-isosorbide-dinitrate-342276#3
https://www.mims.com/indonesia/drug/info/ksr?type=full
Kishi, t. 2012. HF as an autonomic nervous system dysfungction. Journal of
cardiology. 59. 117-122.

97
Kupper, N., Denollet,J., Widdershoven, J., Kop,J.W. 2015. Cardiovascular
Reactivityto Mental stress and Motality in Patients with Heart Failure. Heart
Failure. 3 (5).

Maidhof W, Hilas O. 2012. Lupus : An overview of diseas and management options.


P&T. Vol.37 (4).
Metlay,Joshua P.., Grant W. Waterer., Ann C. Long, Antonio Anzueto., Jan Brozek.,
Kristina Crothers., Laura A. Cooley., Nathan C. Dean, Michael J. Fine, Scott
A. Flanders., Marie R. Griffin, Mark L. Metersky, Daniel M. Musher, Marcos
I. Restrepo, and Cynthia G. Whitney. 2019. AMERICAN THORACIC
SOCIETY DOCUMENTS Diagnosis and Treatment of Adults with
Community-acquired Pneumonia An Official Clinical Practice Guideline of
the American Thoracic Society and Infectious Diseases Society of America on
behalf of the American Thoracic Society and Infectious Diseases Society of
America
Muttaqin, A. 2009. Asuhan keperawatan gangguan system kardio. Jakarta : salemba
medika.
Nathania, Maggie. 2019. Hipokalemia Diagnosis dan tatalaksana. CDK journal. Vol 46
(2) : 103 – 108.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011
Panggabean MM. 2010. gagal Jantung. In : Sudoyono AW, Setiyohdi B, Alwi I,
Simadibrata M SS, ed. Buku Ajar Ilmu Pnyakit Dalam 5th ed. Jakarta : Pusat
penerbitan ilmu penyakit dalam.
Pdpi 2003. Pneumonia Komuniti Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia
Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular Indonesia. 2020
PERKI. 2015. PEDOMAN TATALAKSANA GAGAL JANTUNG
Rang, HP. 2003. Pharmacology. Edinburgh: Churchill Livingstone. p. 127. ISBN 0-
443-07145-4.
Singer GG, Brenner BM. Fluid and electrolyte disturbances. In: Braunwald E, Fauci
AS, Kasper DL, et al, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 16th
ed. Mc Graw Hill. New York,2005:252- 62 Vol 200, Iss 7, pp e45–e6

98
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)
FARMASI RUMAH SAKIT DI RSUB MALANG
(4 Januari 2021- 8 Maret 2021)

Laporan Farmasi Klinis : Kasus COVID-19

Disusun Oleh:
Sofy Indah Pratiwi,S.Farm 200070600111027

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


JURUSAN FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2021

99
BAB I
COVID-19
1. DEFINISI

Penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) adalah infeksi saluran pernapasan


yang disebabkan oleh coronavirus yang baru muncul yang pertama dikenali
muncul di Wuhan, Tiongkok, pada bulan Desember 2019. Pengurutan genetika
virus ini mengindikasikan bahwa virus ini berjenis betacoronavirus yang terkait
erat dengan virus SARS (Team NCPERE, 2020)

Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan menjadi tanpa gejala, ringan,


sedang, berat dan kritis.

1. Tanpa gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan
gejala.
2. Ringan
Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia.
Gejala yang muncul seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas
pendek, mialgia. Gejala tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan,
kongesti hidung, sakit kepala, diare, mual dan muntah, hilang pembau
(anosmia) atau hilang perasa (ageusia) yang muncul sebelum onset gejala
pernapasan juga sering dilaporkan. Pasien usia tua dan
immunocompromised gejala atipikal seperti fatigue, penurunan kesadaran,
mobilitas menurun, diare, hilang nafsu makan, delirium, dan tidak ada
demam.
3. Sedang/Moderat
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia
(demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat
termasuk SpO2 > 93% dengan udara ruangan ATAU Anak-anak : pasien
dengan tanda klinis pneumonia tidak berat (batuk atau sulit bernapas +
napas cepat dan/atau tarikan dinding dada) dan tidak ada tanda pneumonia
berat). Kriteria napas cepat : usia 5 tahun, ≥30x/menit.

100
4. Berat /Pneumonia Berat
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia
(demam, batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu dari: frekuensi napas >
30 x/menit, distres pernapasan berat, atau SpO2 < 93% pada udara
ruangan.
5. Kritis
Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan
syok sepsis.
(Burhan dkk, 2020)

2. PATOFISIOLOGI COVID-19
Virus Covid-19 dapat melewati membran mukosa, terutama mukosa nasal
dan laring, kemudian memasuki paru-paru melalui traktus respiratorius.
Selanjutnya, virus akan menyerang organ target yang mengekspresikan
Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2), seperti paru-paru, jantung, sistem
renal dan traktus gastrointestinal (Gennaro dkk., 2020). Protein S pada SARS-
CoV-2 memfasilitasi masuknya virus corona ke dalam sel target. Masuknya virus
bergantung pada kemampuan virus untuk berikatan dengan ACE2, yaitu reseptor
membran ekstraselular yang diekspresikan pada sel epitel, dan bergantung pada
priming protein S ke protease selular, yaitu TMPRSS2 (Handayani dkk., 2020;
Kumar dkk., 2020; Lingeswaran dkk., 2020). Protein S pada SARS-CoV-2 dan
SARS-CoV memiliki struktur tiga dimensi yang hampir identik pada domain
receptor-binding. Protein S pada SARS-CoV memiliki afinitas ikatan yang kuat
dengan ACE2 pada manusia. Pada analisis lebih lanjut, ditemukan bahwa SARS-
CoV-2 memiliki pengenalan yang lebih baik terhadap ACE2 pada manusia
dibandingkan dengan SARS-CoV. (Zhang dkk., 2020).
Periode inkubasi untuk COVID- 19 antara 3-14 hari. Ditandai dengan
kadar leukosit dan limfosit yang masih normal atau sedikit menurun, serta pasien
belum merasakan gejala. Selanjutnya, virus mulai menyebar melalui aliran darah,
terutama menuju ke organ yang mengekspresikan ACE2 dan pasien mulai
merasakan gejala ringan. Empat sampai tujuh hari dari gejala awal, kondisi pasien

101
mulai memburuk dengan ditandai oleh timbulnya sesak, menurunnya limfosit, dan
perburukan lesi di paru. Jika fase ini tidak teratasi, dapat terjadi Acute Respiratory
Distress Syndrome(ARSD), sepsis, dan komplikasi lain. Sistem imun innate dapat
mendeteksi RNA virus melalui RIG-Ilike receptors, NOD-like receptors, dan Toll-
like receptors. Hal ini selanjutnya akan menstimulasi produksi interferon (IFN),
serta memicu munculnya efektor anti viral seperti sel CD8+, sel Natural Killer
(NK), dan makrofag. Infeksi dari betacoronavirus lain, yaitu SARS-CoV dan
MERS-CoV, dicirikan dengan replikasi virus yang cepat dan produksi IFN yang
terlambat, terutama oleh sel dendritik, makrofag, dan sel epitel respirasi yang
selanjutnya diikuti oleh peningkatan kadar sitokin
proinflamasi seiring dengan progres penyakit (Lingeswaran dkk., 2020).
Dalam kaitannya dengan Covid-19, ditemukan adanya penundaan sekresi
sitokin dan kemokin oleh sel imun innate dikarenakan blokade oleh protein non-
struktural virus. Selanjutnya, hal ini menyebabkan terjadinya lonjakan sitokin
proinflamasi dan kemokin (IL-6, TNF- α, IL-8, MCP-1, IL-1 β, CCL2, CCL5, dan
interferon) melalui aktivasi makrofag dan limfosit. Pelepasan
sitokin ini memicu aktivasi sel imun adaptif seperti sel T, neutrofil, dan sel
NK, bersamaan dengan terus terproduksinya sitokin proinflamasi. Lonjakan
sitokin proinflamasi yang cepat ini memicu terjadinya infiltrasi inflamasi oleh
jaringan paru yang menyebabkan kerusakan paru pada bagian epitel dan endotel.
Kerusakan ini dapat berakibat pada terjadinya ARDS dan kegagalan multi organ
yang dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat (Lingeswaran dkk.,
2020).

3. MANIFESTASI KLINIS
Pada pasien infeksi virus tanpa komplikasi dapat menunjukkan gejala non
spesifik seperti demam, kelelahan, batuk (dengan atau tanpa dahak), anoreksia,
tidak enak bada, nyeri otot, sakit tenggorokan, sesak napas, hidung tersumbat dan
sakit kepala (WHO, 2020). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Huang
dkk. (2020), gejala klinis yang paling sering terjadi pada pasien Covid-19 yaitu
demam (98%), batuk (76%), dan myalgia atau kelemahan (44%). Gejala lain yang

102
terdapat pada pasien, namun tidak begitu sering ditemukan
yaitu produksi sputum (28%), sakit kepala 8%, batuk darah 5%, dan diare
3%. Sebanyak 55% dari pasien yang diteliti mengalami dispnea.
4. MANAJEMEN TERAPI
a. Terapi Non Farmakologi
 Isolasi dan Pemantauan
 Isolasi mandiri di rumah selama 14 hari
 Selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan saat berinteraksi
dengan anggota keluarga
 Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer sesering
mungkin, Jaga jarak dengan keluarga (physical distancing)
 Upayakan kamar tidur sendiri / terpisah, Menerapkan etika batuk
(Diajarkan oleh tenaga medis)
 Alat makan-minum segera dicuci dengan air/sabun, Berjemur matahari
minimal sekitar 10-15 menit setiap harinya
 Pakaian yg telah dipakai sebaiknya dimasukkan dalam kantong plastik /
wadah tertutup yang terpisah dengan pakaian kotor keluarga yang lainnya
sebelum dicuci dan segera dimasukkan mesin cuci
 Ukur dan catat suhu tubuh tiap jam 7 pagi, jam 12 siang dan jam 19
malam.
 Perhatikan ventilasi, cahaya dan udara
 Membuka jendela kamar secara berkala
 Jangan sentuh daerah wajah kalau tidak yakin tangan bersih
 Mengkonsumsi makanan yang bergizi agar bisa meningkatkan imunitas
tubuh.
(Burhan dkk, 2020)
b. Terapi Farmakologi
- Pasien dengan penyakit ringan tidak memerlukan intervensi rumah sakit,
tetapi isolasi diperlukan untuk mencegah penularan virus lebih luas, sesuai

103
strategi dan sumber daya nasional. Jika terdapat gejala seperti demam maka
pengobatan dilakukan untuk mengatasi gejalanya saja
- Terapi oksigen
1. Terapi oksigen: pasien yang parah harus diberi inhalasi oksigen melalui
kateter nasal atau masker, dimulai dengan 5 mL/menit. Harus selalu
dipantau apakah gangguan fungsi pernafasan dan/atau hipoksemia telah
teratasi. Targetnya adalah SpO2 ≥90% pada anak dan dewasa, dan SpO2 =
92–95% pada wanita hamil.
2. Oksigen nasal aliran tinggi (HFNO). Disebut juga sebagai terapi ventilasi
mekanik non-invasif, terapi oksigen ini diberikan jika gangguan
pernapasan atau hipoksemia tidak berkurang dengan terapi oksigen
standar. Jika kondisi tidak membaik, atau bahkan memburuk, dalam waktu
singkat (1–2 jam), perlu dilakukan intubasi endotrakeal atau ventilasi
mekanik invasif.
3. Ventilasi mekanik invasif. Pada tahap terapi oksigen ini digunakan strategi
ventilasi pelindung paru, yaitu menggunakan volume tidal yang rendah (4-
8 mL/kg BB) dan tekanan inspirasi rendah (tekanan platform 12 jam per
hari, dan bila hasilnya masih buruk segera pertimbangkan ECMO
(extracorporeal membrane oxygenation). (Burhan dkk, 2020)

Untuk terapi farmakologis, pasien COVID-19 secara umum mendapat terapi


antivirus, walau sampai akhir April 2020, belum satu pun obat antivirus secara
resmi direkomendasikan. Namun demikian, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
(PDPI) dan beberapa asosiasi dokter lainnya, seperti Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhim- punan Dokter Anestesiologi dan
Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI), telah menyusun Panduan sebagai berikut:
a. Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1
jam diberikan secara drips Intravena (IV) selama perawatan
b. Vitamin B1 1 ampul/24 jam/intravena

104
c. Klorokuin fosfat, 500 mg/12 jam/oral (hari ke 1-3) dilanjutkan 250 mg/12
jam/oral (hari ke 4-10) atau Hidroksiklorokuin dosis 400 mg /24 jam/oral
(untuk 5 hari), setiap 3 hari kontrol EKG
d. Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau
sebagai alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada infeksi
bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari).
e. Antivirus :
- Oseltamivir 75 mg/12 jam oral selama 5-7 hari Atau
- Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 x 400/100mg selama
10 hari Atau
- Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12
jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5) Atau
- Remdesivir 200 mg IV drip/3jam dilanjutkan 1x100 mg IV drip/3
jam selama 9 – 13 hari
f. Antikoagulan LMWH/UFH
g. Deksametason dengan dosis 6 mg/ 24 jam selama 10 hari atau
kortikosteroid lain yang setara seperti hidrokortison pada kasus berat yang
mendapat terapi oksigen atau kasus berat dengan ventilator.
(Burhan dkk, 2020)

(Burhan dkk, 2020)

105
 Terapi Covid untuk gejala ringan:
1. Vitamin C dengan pilihan:
a. Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari)
b.Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)
c.Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet /24 jam (selama 30
hari),
d. Dianjurkan vitamin yang komposisi mengandung vitamin C, B, E, zink
2. Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral (untuk 5 hari) ATAU
hidroksiklorokuin (sediaan yg ada 200 mg) 400 mg/24 jam/oral (untuk 5
hari)
3. Azitromisin 500 mg/24 jam/oral (untuk 5 hari) dengan alternatif
levofloxacin 750 mg/24 jam (5 hari)
4. Pengobatan simtomatis seperti parasetamol bila demam
5. Bila diperlukan dapat diberikan antivirus: oseltamivir 75 mg/12 jam/oral
ATAU favipiravir (Avigan) 600 mg/12 jam/oral (untuk 5 hari)
 Untuk gejala sedang
1. Vitamin C 200-400 mg/8 jam dalam 100 mL NaCl 0,9% habis dalam 1
jam diberikan secara drips intravena (i.v.) selama perawatan
2. Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral (untuk 5-7 hari) ATAU
hidroksiklorokuin (sediaan yg ada 200 mg) hari pertama 400 mg/12
jam/oral, selanjutnya 400 mg/24 jam/oral (untuk 5-7 hari)
3. Azitromisin 500 mg/24 jam per i.v. atau per oral (untuk 5-7 hari) dengan
aternatif levofloxacin 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari)
4. Pengobatan simtomatis (parasetamol dan lain-lain).
5. Antivirus: oseltamivir 75 mg/12 jam oral ATAU
6. Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1.600 mg/12 jam/oral
hari ke-1 dan selanjutnya 2x600 mg (hari ke 2-5)
 Untuk gejala berat:

106
1. Klorokuin fosfat, 500 mg/12 jam/oral (hari ke 1-3) dilanjutkan 250
mg/12 jam/ oral (hari ke 4-10) ATAU hidroksiklorokuin dosis 400
mg/24 jam/oral (untuk 5 hari), setiap 3 hari kontrol EKG
2. Azitromisin 500 mg/24 jam (untuk 5 hari) atau levofloxacin 750 mg/24
jam/ intravena (5 hari)
3. Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh karena ko-infeksi
bakteri, pemilihan antibiotik disesuaikan dengan kondisi klinis, fokus
infeksi dan faktor risiko yang ada pada pasien. Pemeriksaan kultur
darah harus dikerjakan dan pemeriksaan kultur sputum (dengan kehati-
hatian khusus) patut dipertimbangkan.
4. Antivirus: oseltamivir 75 mg/12 jam oral ATAU favipiravir (Avigan
sediaan 200 mg) loading dose 1.600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan
selanjutnya 2x600 mg (hari ke 2-5)
5. Vitamin C 200-400 mg/8 jam dalam 100 mL NaCl 0,9% habis dalam 1
jam diberikan secara drips intravena (i.v.) selama perawatan
6. Vitamin B1 1 ampul/24 jam/intravena
7. Hydroxycortison 100 mg/24 jam/intravena (3 hari pertama) 8.
Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
(Burhan dkk, 2020)

 KRITERIA SELESAI ISOLASI, SEMBUH, DAN PEMULANGAN


 Kriteria Selesai Isolasi:
a. Kriteria pasien konfirmasi yang dinyatakan selesai isolasi, sebagai
berikut: Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik) Pasien
konfirmasi asimptomatik tidak dilakukan pemeriksaan follow up
RT-PCR. Dinyatakan selesai isolasi apabila sudah menjalani isolasi
mandiri selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis
konfirmasi.
b. Kasus konfirmasi dengan gejala ringan dan gejala sedang Pasien
konfirmasi dengan gejala ringan dan gejala sedang tidak dilakukan
pemeriksaan follow up RT-PCR. Dinyatakan selesai isolasi harus

107
dihitung 10 hari sejak tanggal onset dengan ditambah minimal 3
hari setelah tidak lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan
pernapasan.
c. Kasus konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang dirawat di rumah
sakit Kasus konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang dirawat di
rumah sakit dinyatakan selesai isolasi apabila telah mendapatkan
hasil pemeriksaan follow up RT-PCR 1 kali negatif ditambah
minimal 3 hari tidak lagi menunjukkan gejala demam dan
gangguan pernapasan. Dalam hal pemeriksaan follow up RT-PCR
tidak dapat dilakukan, maka pasien kasus konfirmasi dengan gejala
berat/kritis yang dirawat di rumah sakit yang sudah menjalani
isolasi selama 10 hari sejak onset dengan ditambah minimal 3 hari
tidak lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan,
dinyatakan selesai isolasi, dan dapat dialihrawat non isolasi atau
dipulangkan. Sebagai contoh:  Jika seorang pasien memiliki
gejala selama 2 hari, maka pasien dapat keluar dari ruang isolasi
setelah 10 hari + 3 hari = 13 hari dari tanggal pertama kali muncul
gejala atau onset gejala  Jika seorang pasien dengan gejala selama
14 hari, maka pasien dapat keluar dari ruang isolasi setelah 14 hari
+ 3 hari = 17 hari setelah tanggal pertama kali onset gejala Jika
seorang pasien dengan gejala selama 30 hari, maka pasien dapat
keluar ruang isolasi setelah 30 hari + 3 hari = 33 hari setelah
tanggal pertama kali onset gejala
 Kriteria Sembuh
Pasien konfirmasi tanpa gejala, gejala ringan, gejala sedang, dan gejala
berat/kritis dinyatakan sembuh apabila telah memenuhi kriteria selesai
isolasi dan dikeluarkan surat pernyataan selesai pemantauan, berdasarkan
penilaian dokter di fasyankes tempat dilakukan pemantauan atau oleh
DPJP. Pasien konfirmasi dengan gejala berat/kritis dimungkinkan
memiliki hasil pemeriksaan follow up RT-PCR persisten positif, karena
pemeriksaan RT-PCR masih dapat mendeteksi bagian tubuh virus

108
COVID-19 walaupun virus sudah tidak aktif lagi (tidak menularkan lagi).
Terhadap pasien tersebut, maka penentuan sembuh berdasarkan hasil
assessmen yang dilakukan oleh DPJP.
 Kriteria pemulangan
Pasien dapat dipulangkan dari perawatan di rumah sakit, bila memenuhi
kriteria selesai isolasi dan memenuhi kriteria klinis sebagai berikut:
a. Hasil kajian klinis menyeluruh termasuk diantaranya gambaran radiologis
menunjukkan perbaikan, pemeriksaan darah menunjukan perbaikan, yang
dilakukan oleh DPJP menyatakan pasien diperbolehkan untuk pulang.
b. Tidak ada tindakan/perawatan yang dibutuhkan oleh pasien, baik terkait
sakit COVID-19 ataupun masalah kesehatan lain yang dialami pasien.
DPJP perlu mempertimbangkan waktu kunjungan kembali pasien dalam
rangka masa pemulihan. Khusus pasien konfirmasi dengan gejala
berat/kritis yang sudah dipulangkan tetap melakukan isolasi mandiri
minimal 7 hari dalam rangka pemulihan dan kewaspadaan terhadap
munculnya gejala COVID-19, dan secara konsisten menerapkan protokol
kesehatan. (Burhan, 2020)

109
DOKUMEN FARMASI PASIEN
No. Rekam Medis: 0007xyy Keluhan Utama: demam, batuk kering sejak kemarin, pasien Alergi: -
Tgl. MRS: 14-1-21 terdiagnosis Covid-19 dan sedang dalam isolasi mandiri. 1 minggu Merokok/Alkohol: -
Tgl. KRS: 17-1-21 terakhir pasien mengeluh sesak sebanyak 4 kali. Badan terasa lemas Obat Tradisional: -
Initial Pasien: Ny.AA Diagnosis: ISPA ec Covid-19 Kopi: -
Umur/BB/Tinggi: 26 tahun/ 57 kg Riwayat Penyakit: asma OTC: -
Alamat: Malang Riwayat Obat: Teosal,, zegavit 1x1, vit e 1 x 800 mg, curcuma3x1,
Asuransi Kesehatan: BPJS redoxon 1x1
Kepatuhan: -

111
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN

Inisial Pasien:
Tanggal Problem / Kejadian / Tindakan Klinisi
14/1 Pasien dibawa ke IGD dengan keluhan demam, batuk kering sejak kemarin,
pasien terdiagnosis Covid-19 dan sedang dalam isolasi mandiri. 1 minggu
terakhir pasien mengeluh sesak sebanyak 4 kali. Badan terasa lemas. KU
baik
15/1 Pasien masih merasa lemas dan pusing dan sesak sudah berkurang, KU
baik namun pasien merasakan mual dan nafsu makan turun dan masih
batuk kering. Pada hari ini pasien melakukan swab 1. Dosis avigan hari
kedua menjadi 2 x 600 mg
16/1 Pasien masih merasa mual dan batuk namun sudah berkurang. Pasien juga
mengeluhkan sakit kepala. Terapi pada pasien ditambahkan dengan pct 3 x
500 mg dan dosis ondansentron naik 3 x 8 mg.
17/1 Sesak dan mual dan sakit kepala sudah resolved, KU baik, pasien KRS

112
DATA PEMERIKSAAN KLINIK PASIEN

No. Data Klinik Rujukan


14/1 15/1 16/1 17/1
Normal
1. Tekanan Darah (<140/90 110/70 99/64 110/73 107/70
mmHg)
2. SpO2 95 – 100% 96% 97% 98% 98%
3. Nadi 80-100 x/min 100 85 81 86
4. RR 18-20x/menit 24x 21x 20x 20x
5. Suhu 36-37°C 37 36,6 36,2 36
7. Sesak + + + + -
8. GCS 456 456 456 456 456
Komentar
- RR : RR tinggi mengindikasikan pasien mengalami sesak karena kurangnya
asupan oksigen yang dibutuhkan sehingga terjadi kompensasi dengan cara
meningkatkan (RR). (kishi, 2012)
- Pasien sesak : Sesak merupakan salah satu manifestasi klinis pasien Covid-19
dimana virus tersebut menginfeksi saluran pernafasan sehingga menyebabkan
sesak.
Keterangan:
+: pasien mengalami kondisi tersebut
-: pasien tidak mengalami kondisi tersebut

113
DATA PEMERIKSAAN LABORATORIUM PASIEN
Hasil pemeriksaan mikrobiologi sputum aspirasi: Klebsiella pneumonia (sensitif
amikacin dan meropenem)
Hasil pemeriksaan radiologi: Infiltrasi reticular paru bilateral
No. Data Lab Normal 14/1
1. Hb 13,2 – 17,3 g/Dl 13,2
2. Eritrosit 4,4 – 5,9 4,54
3. HCT 40 - 52 40
4. MCV 80 – 100 86,6
5. MCH 26 – 34 29,1
6. MCHC 32 – 36 33,6
7. HIV Non reaktif
Non reaktif
determine
8. Na 136 – 145 mmol/L 141,8
9. Kalium 3,5 – 5,0 mmol/L 3,98
10. Cl 98-106 mmol/L 103,8
11. CRP < 0,3 mg/dl 0,18 mg/dl
12. Procalcitonin < 0,5 0,07
13. pH 7,45 – 7,5 7.47
14. pCO2 35 – 45 29,5
15. pO2 80 – 100 203,6
16. Bikarbonat 21 – 28 21
17. Saturasi O2 < 96 99,3

114
SUBJEKTIF
No. Kondisi pasien 14/1 15/1 16/1 17/1

1 Kondisi Umum IGD lemah lemah Baik


Lemah.

2. Sesak IGD ++ ++ + -

3. Batuk IGD ++ ++ - -

4. Mual - + + -

5. Sakit kepala - - + -

Komentar:
- Pasien sesak : Sesak merupakan salah satu manifestasi klinis pasien Covid-19
dimana virus tersebut menginfeksi saluran pernafasan sehingga menyebabkan
sesak.
- Batuk : Adanya virus yang menyerang paru-paru dan saluran pernafasan
diterjemahkan menjadi allergen dan tubuh berusaha untuk mengeluarkan
allergen benda asing tersebut melalui mekanisme batuk.
- Mual : Mual pada pasien disebabkan oleh stress peptic ulcer yang terjadi akibat
pasien masuk rumah sakit
Objektif
pCO2 rendah : Penurunan nilai PaCO2 dapat terjadi pada hipoksia, pada
pasien ini penurunan pCO2 terjadi akiba pasien mengalami sesak.

115
ASSESMENT

Terapi Tgl Analisis Dosis Monitoring Ket


O2 nasal 14- Diberikan kepada Sudah
17/1 pasien karena pasien 2-4 lpm sesuai, Jika
menglami sesak yang NC saturasi
SaO2, RR
diperkuat dengan oksigen
tingginya nilai RR sudah
pasien. tercukupi
maka dapat
dihentikan
pemberian
oksigen
nasal

IVFD NS: 14- Perfusi cairan karena 1:1 Kadar Na, K, Cl, Sudah
RL 17/1 keadaan pasien TD, RR, nadi sesuai
lemah, sebagai diberikan
Komposisi ES : ruam, gatal-
penyeimbang cairan kepada
-kalsium gatal, sakit kepala,
tubuh pasien. pasien
klorida Infeksi di daerah
karena
0,02 gram injeksi, Trombosis
kondisi
vena.
pasien
-kalium
lemah
klorida
0,03 gram

-sodium
klorida 0,6
gram

-sodium
laktat 0,31

116
gram

Air

IVDN NS Menyeimbangkan LL Edema, kadar Pemberian


cairan elektrolit, elektrolit, TD sudah
resusitasi cairan dan sesuai
karena kondisi umum indikasi
lemah sehingga dapat
menggantikan cairan
tubuh kondisi pasien
menjadi normal
Ranitidin 14- Diberikan kepada 50 mg (2 ESO muntah mual Perlu di
e 2 x 50 17/1 pasien sebagai terapi mL) IM sakit kepala berikan
mg dyspepsia. Ranitidin atau bolus karena
bekerja dengan cara IV pasien tirah
inhibitor kompetitif intermiten baring
terhadap reseptor atau infus biasanya
histamine H2 dalam setiap 6-8 gangguang
sel parietal lambung jam; tidak GI (stress
sehingga produksi melebihi ulcer)
asam lambung 400 mg /
menurun. hari
(Drugbank.com) Medscape.
com)
Inj. 14/17/ Diberikan sebagai Azitromisi Monitoring kondisi Perlu
Infimicyn 1 pilihan terapi pada n 500 umum pasien diberikan
1 x 500 pasien covid-19 mg/24 Monitoring ESO : sebagai
mg dalam derajat ringan hingga jam/oral anoreksia, terapi
500 cc RL sedang. Obat (untuk 5 dyspepsia, pilihan
selama 4 golongan antibiotik hari) flatulens, penatalaksa
jam makrolida ini bekerja (Burhan, konstipasi, naan

117
dengan cara 2020) pankreatitis, pusing, Covid-19
menghentikan sakit kepala,
pertumbuhan bakteri. mengantuk, agitasi,
Obat ini tidak dapat ansietas,
digunakan untuk hiperaktivitas,
mengatasi infeksi asthenia,
virus. paraesthesia,
konvulsi,
neutropenia ringan,
trombositopenia.
Inj. 14- Diberikan kepada Dosis
Ondansent 17/1 pasien sebagai terapi terapi ESO : nyeri kepala, Ondansentr
ron 3 x 4 simptomatis untuk profilaksis konstipasi, on
mg mual dan muntah yaitu 4 mg hipoksia, diare diberikan
yang dirasakan iv/im setiap sejak
pasien. 8 jam. tanggal 14
saat pasien
MRS hal
ini sesuai
dengan
tujuan
sebagai
terapi
profilaksis
mual
muntah
pada
masien
MRS
Inj. Vit C 14- Vitamin C diberikan Vitamin C Monitoring kondisi Sudah tepat
2 x 500 17/1 sebagai terapi 200 – 400 umum pasien, diberikan
mg supportive pasien mg/8 jam monitoring efek kepada

118
covid. Vitamin C dalam 100 samping pemberian pasien
meningkatkan sistem cc NaCl vit C seperti ruam Covid
imun dan fungsinya 0,9% habis atau kemerahan sebagai
sebagai antioksidan. dalam 1 diarea injeksi. terapi
Vitamin C juga jam adjuvant
mampu menginduksi diberikan untuk
produksi antibodi secara meningkatk
pada manusia. drips an system
Intravena imun.
(IV)
selama
perawatan
Avigan po 14- Favipavir merupakan Favipiravir Monitoring efek Sudah tepat
2 x 1600 17/1 salah satu pilihan (Avigan samping obat diberikan
mg terapi antivirus pada sediaan kepada
Muntah
pasien covid. 200 mg) pasien.
Favipiravir atau t705 loading
Berat badan
atau 6-fluoro-3- dose 1600
menurun
hydroxy-2- mg/12
pyrazinecarboxamide jam/oral Penurunan
merupakan obat hari ke-1 kemampuan
turunan dari dan pergerakan tubuh
pyrazinecarboxamide selanjutnya
. Favipiravir bekerja 2 x 600 mg
melawan virus RNA (hari ke 2-
dengan menghambat 5)
enzim polimerasi, (Burhan
sehingga virus tidak dkk, 2020)
dapat berkembang
biak.

Inj. Resfar 14- Resfar (asetilseistein) 3-5 mL Monitoring kondisi Kurang

119
2 x 6 ml 17/1 merupakan obat larutan umum pasien, tepat
batuk yang bekerja 20% atau monitoring diberikan
sebagai mukolitik 6-10 mL frekuensi batuk, kepada
atau pengencer dari 10% monitoring efek pasien .
dahak, sehingga (Medscape. samping obatberupa resfar
dahak bisa lebih com) bronospasme, merupakan
mudah dikeluarkan bronkokonstriksi, obat
melalui batuk. demam, mual. mukolitik
(Medscape.com) yang
digunakan
untuk
penderita
batuk
berdahak
sementara
keluhan
yang
dirasakan
pasien saat
ini yaitu
batuk
kering.
Obat ini
tidak
disarankan
untuk
pasien
dengan
kondisi
sesak dan
akut asma
(Medscape.

120
com)
Salbutamo 14- Digunakan sebagai Oral: 4 mg Monitoring SaO2 Sudah tepat
po 3 x 2 17/1 terapi asma dan sesak (lansia dan pasieng, monitoring diberikan
mg nafas yang dirasakan pasien kondisi sesak, pada
pasien akibat infeksi yang monitoring ESO kondisi
virus Covid-19. sensitif berupa : Tremor pasien
Salbutamol dosis awal otot terutama pada yang
bekerja dengan cara 2 mg) 3-4 tangan, palpitasi, mengalami
melemaskan otot-otot kali sehari, dan kram otot. sesak
di sekitar saluran dosis nafas.
pernapasan yang tunggal, Salbutamol
menyempit, sehingga maksimal 8 membantu
udara dapat mengalir mg. anak di melebarkan
lebih lancar ke dalam bawah 2 saluran
paru-paru tahun 200 nafas.
mcg/kg bb
4 kali
sehari, 2- 6
tahun 1-2
mg 3-4 kali
sehari, 6-12
tahun 2 mg
Drip 14- Digunakan sebagai 500 mg 1 x Sudah tepat
Neurobion dapat
Neurobion 17/1 suplementasi pada sehari diberikan
menimbulkan efek
1 x 500 pasien kepada
samping
mg pasien.
berupa diare, sakit
perut, sering
berkemih, atau
kerusakan saraf.

Selain itu,
neurobion suntik

121
bisa menyebabkan
bengkak, nyeri,
atau kemerahan di
area suntikan

Paracetam 16- Paracetamol  325-650 Monitoring suhu Sudah tepat


ol po 17/1 diberikan karena mg po tubuh pasien, diberikan
3 x 500 pasien mengalami setiap 4 monitoring efek untuk
mg demam. Obat ini jam jika samping obat kondisi
bekerja dengan cara perlu seperti urtikaria, demam
mengurangi produksi alergi, kemerahan, pasien.
zat penyebab mual muntah
peradangan, yaitu
prostaglandin.
Dengan penurunan
kadar prostaglandin
di dalam tubuh, tanda
peradangan seperti
demam dan nyeri
akan berkurang
Omeprazo 17/1 Omeprazole 20 mg qday Efek samping obat : Sudah tepat
l po 1 x 20 merupakan obat po diare, mual muntah diberikan
mg golongan PPI yang nyeri abdomen kepada
bekerja dengan cara pasien
menghambat sekresi untuk
asam lambung mencegah
melalui hambatan terjadinya
system enzim stress ulcer
adenosine trifosfatase
hidrogen-kalium
(pompa proton) dari

122
sel parietal lambung.
Omeprazole
diberikan pada pasien
untuk menurunkan
asam lambung

123
PLAN

6. Monitoring efikasi

7. Monitoring efek samping obat

8. Edukasi Non farmakologi setelah pasien KRS antara lain

9. Edukasi pemakaian obat pulang

- Salbutamol 1 mg merupakan obat untuk meredakan sesak diminum 3 x sehari setelah makan
- Paracetamol 500 mg sebagai obat untuk meredakan demam dan sakit kepala diminum 3 x sehari setelah makan
- Omeprazol 20 mg sebagai obat yang berfungsi untuk menurunnkan asam lambung diminum 2 sehari
- Ondansentrol 4 mg sebagai obat mual muntah diminum 3 sehari sebelum makan
- Multivitamin sebagai obat untuk meningkatkan system imun tubuh dikonsumsi 2 x sehari setelah makan

124
DAFTAR PUSTAKA

Burhan, Erlina., Agus Dwi Susanto., Sally A Nasution., Eka Ginanjar., Ceva
Wicaksono Pitoyo., Adityo Susilo., Isman Firdaus., Anwar Santoso.,
Dafsah Arifa Juzar., Syafri Kamsul Arif., Navy G.H Lolong Wulung.,
Triya Damayant.i, Wiwien Heru Wiyono., Prasenohad., Afiatin., Edy
Rizal Wahyudi., Tri Juli Edi Tarigan., Rudy Hidayat., Faisal Muchtar.,
Tim COVID-19 IDAI. 2020. PEDOMAN TATA LAKSANA COVID-19.
Flora, S., Balansky, R., & La Maestra. (2020). Rationale for The Use of N-
Acetylcysteine in Both Prevention aand Adjuvant Therapy of COVID-19.
Wiley Public Health Emergency Collection, DOI: 10.1096/fj.202001807.

Furuta, et al. (2013). Favipiravir (T-705), a novel viral RNA Polymerase Inhibitor.
Antiviral Research.
Gennaro, F. Di, Pizzol, D., Marotta, C., Antunes, M., Racalbuto, V., Veronese, N.,
& Smith, L. (2020). Coronavirus Diseases ( COVID-19) Current Status
and Future Perspectives : A Narrative Review. International Journal of
Environmental Research and Public HealthEnvironmental Research and
Public Health, 17(2690), 1–11.
Gorkom G, Wolterink RG, Elssen C, Wieten L, Germeraad WT, Bos G. Influence
of Vitamin C on Lymphocytes:An Overview. Antioxidants. 2018;7:41
Handayani, D., Hadi, D. R., Isbaniah, F., Burhan, E., & Agustin, H. (2020).
Penyakit Virus Corona 2019. Jurnal Respirologi Indonesia, 40(2), 119–
129.

https://reference.medscape.com/drug/n-acetylcysteine-mucomyst-acetylcysteine-
343425#4

https://reference.medscape.com/drug/zofran-zuplenz-ondansetron-342052

Huang, C., Wang, Y., Li, X., Ren, L., Zhao, J., Hu, Y., Gu, X. (2020).
Clinical Features of Patients Infected with 2019 Novel Coronavirus in
Wuhan , China. Lancet, 395, 497–506.

125
Kumar, C. V. S., Mukherjee, S., Harne, P. S., Subedi, A., Ganapathy, M.
K., Patthipati, V. S., & Sapkota, B. (2020). Novelty in the Gut : A
Systematic Review Analysis of the Gastrointestinal Manifestations of
COVID-19. BMJ Open Gastroenterology, 7(e000417), 1–9.

Lingeswaran, M., Goyal, T., Ghosh, R., & Suri, S. (2020). Inflammation ,
Immunity and Immunogenetics in COVID-19 : A Narrative Review.
Indian Journal of Clinical Biochemistry, 35(3), 260–273.

Team NCPERE. Vital surveillances: the epidemiological characteristics of an


outbreak of 2019 novel coronavirus diseases (COVID-19) – China. China
CDC Weekly. 2020;2(8):113-22

WHO (2020). Novel Coronavirus (2019-nCoV): Situation report, 22 (Report).


World Health Organization. hdl:10665/330991.
Zhang, H., Penninger, J. M., Li, Y., Zhong, N., & Slutsky, A. S. (2020).
Angiotensin – Converting Enzyme 2 ( ACE2 ) as a SARS - CoV - 2
Receptor : Molecular Mechanisms and Potential Therapeutic Target.
Intensive Care Medicine, 46(4), 586-589.

126

Anda mungkin juga menyukai