Anda di halaman 1dari 109

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan adalah aspek penting dalam kehidupan manusia. Untuk mencapai
derajat kesehatan perlu tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap
orang. Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia (UU
Kesehatan RI) No. 36 tahun 2009 pasal 1, ayat (1) tentang Kesehatan, kesehatan
adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Pembangunan kesehatan saat ini ditekankan pada peningkatan mutu pelayanan


kesehatan. Rumah sakit sebagai bagian dari sistem pelayanan kesehatan
masyarakat yang bertujuan mencapai derajat kesehatan yang optimal bagi setiap
warga negara seperti yang tercantum dalam Undang-Undang pokok kesehatan,
terus berupaya untuk meningkatkan mutu pelayanan.

Dalam Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 pasal 1


tentang Kesehatan, upaya kesehatan adalah setiap kegiatan atau serangkaian
kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan
pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan masyarakat dalam hal ini dapat
ditunjang dengan adanya BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan) yaitu
badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah untuk menyelenggarakan
program jaminan sosial yang tercantum dalam undang-undang republik Indonesia
nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan pada
pasal 1.

Konsep kesatuan upaya kesehatan ini menjadi pedoman dan pegangan bagi semua
fasilitas kesehatan di Indonesia termasuk rumah sakit. Rumah sakit yang

1
merupakan salah satu dari sarana kesehatan, merupakan rujukan pelayanan
kesehatan dengan fungsi utama menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat
penyembuhan dan pemulihan bagi pasien.

Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang
menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal tersebut diperjelas dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang
Standar Pelayanan Rumah Sakit, yang menyebutkan bahwa pelayanan farmasi
rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan
rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang
bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan
masyarakat.

Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan farmasi, mengharuskan


adanya perubahan pelayanan dari paradigma lama drug oriented ke paradigma
baru patient oriented dengan filosofi Pharmaceutical Care (pelayanan
kefarmasian). Praktek pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu
dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat
dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan.

Upaya pelayanan kesehatan melalui rumah sakit masih perlu peningkatan dan
penyempurnaan dalam mencapai sasaran pembangunan kesehatan.Salah satunya
adalah upaya meningkatkan peran farmasis di rumah sakit. Farmasis merupakan
bagian yang sangat penting dari keseluruhan pelayanan rumah sakit. Perubahan
orientasi pelayanan farmasi dari produk obat ke penderita, menuntut farmasis di
rumah sakit harus memiliki profesionalisme dan loyalitas tinggi di bidangnya
untuk semakin meningkatkan kualitas pengetahuan dan kemampuan secara terus-
menerus. Oleh karena itu, farmasis perlu dibekali dengan pengetahuan dan
kemampuan dibidang manajerial, teknis profesional (farmasi klinik, sistem
informasi) dan kemampuan berkomunikasi baik dengan tenaga kesehatan,
pemerintah ataupun masyarakat.

2
Saat ini kenyataannya sebagian besar rumah sakit di Indonesia belum melakukan
kegiatan pelayanan farmasi seperti yang diharapkan, mengingat beberapa kendala
antara lain kemampuan tenaga farmasi, terbatasnya pengetahuan manajemen
rumah sakit akan fungsi farmasi rumah sakit, kebijakan manajemen rumah sakit,
terbatasnya pengetahuan pihak-pihak terkait tentang pelayanan farmasi rumah
sakit. Akibat kondisi ini maka pelayanan farmasi rumah sakit masih bersifat
konvensional yang hanya berorientasi pada produk yaitu sebatas penyediaan dan
pendistribusian.

Mengingat Pelayanan Farmasi Rumah Sakit sebagaimana tercantum dalam UU


No.44 tahun 2009 harus sesuai dengan Standar Pelayanan kefarmasian dan
pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai di rumah sakit
harus dilakukan oleh Instalasi farmasi sistem satu pintu, sedangkan besaran harga
perbekalan farmasi pada instalasi farmasi rumah sakit harus wajar dan berpatokan
kepada harga patokan yang ditetapkan Pemerintah. Maka untuk membantu pihak
rumah sakit dalam mengimplementasikan Standar Pelayanan Rumah Sakit
tersebut perlu dibuat Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.

Berlakunya KepMenKes RI No. 1197/MenKes/SK/X/2004 dan SK Menkes


Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 yang menyatakan bahwa pelayanan farmasi
rumah sakit mengarah pada asuhan kefarmasian (farmasi klinik), merupakan
peluang dan tantangan untuk farmasis di Indonesia. Undang - Undang ini menjadi
peluang dan tantangan bagi farmasis untuk menunjukkan eksistensinya dibidang
profesi kefarmasian karena selama ini peran tenaga farmasis lebih banyak sebagai
tenaga manajemen. Untuk dapat melakukan pelayanan farmasi rumah sakit yang
baik dan semakin berkembangnya peran farmasi di rumah sakit, mahasiswa
Program Studi Profesi Apoteker perlu melakukan Praktek Kerja Profesi Apoteker
(PKPA) di rumah sakit. PKPA ini dilakukan di RSUD Gunung jati Cirebon yang
diikuti oleh mahasiswa Program Pendidikan Profesi dari Sekolah Tinggi Farmasi
Bandung yang dilakukan mulai tanggal 2 Juni sampai 30 Juni 2014.

3
1.2 Tujuan
Dalam pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker ada beberapa tujuan yang
menjadi landasan, diantaranya adalah:

1. Meningkatkan pemahaman mahasiswa apoteker tentang peran, fungsi,


posisi dan tanggung jawab apoteker dalam pelayanan kefarmasian di
rumah sakit.
2. Membekali calon apoteker agar memiliki wawasan, pengetahuan,
keterampilan, dan pengalaman praktis untuk melakukan pekerjaan
kefarmasian di Rumah Sakit.
3. Memberi kesempatan kepada calon apoteker untuk melihat dan
mempelajari strategi dan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam
rangka penembangan praktek farmasi komunitas di Rumah Sakit.
4. Mempersiapkan calon apoteker dalam memasuki dunia kerja sebagai
tenaga farmasi yang profesional.
5. Memberi gambaran nyata tentang permasalahan pekerjaan kefarmasian di
Rumah Sakit.

4
BAB 2
TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT

2.1 Rumah Sakit


2.1.1. Definisi Rumah Sakit
Berdasarkan undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang
dimaksud dengan rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

2.1.2 Visi, Misi dan Tujuan Rumah Sakit


2.1.2.1. Visi Rumah Sakit
Visi Rumah Sakit merupakan pernyataan untuk mengkomunikasikan sifat dan
keberadaan Rumah Sakit yang berkenan dengan maksud, lingkup usaha atau
kegiatan dan kepemimpinan kompetitif.

Visi Rumah Sakit adalah mengorganisasikan secara bersama semua praktisi


kesehatan, fasilitas diagnosis dan terapi, alat dan perlengkapan fasilitas fisik ke
dalam satu sistem terkoordinasi untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat.

2.1.2.2. Misi Rumah Sakit


Misi merupakan pernyataan singkat dan jelas tentang alasan keberadaan Rumah
Sakit, maksud atau fungsi yang diinginkan untuk memenuhi harapan dan
kepuasan konsumen.

Misi Rumah Sakit adalah melaksanakan fungsi sebagai institusi yang mampu
memberikan pelayanan kesehatan kepada penderita rawat inap, rawat jalan, unit
gawat darurat. “home care”, maupun dipusat kesehatan dan klinik kesehatan
masyarakat.

5
2.1.2.3. Tujuan
Tujuan Rumah Sakit adalah menyediakan dan memberikan pelayanan kesehatan
yang bermutu tinggi sesuai harapan dan tuntutan masyarakat.

2.1.3. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit


Pada umumnya tugas rumah sakit adalah menyediakan keperluan untuk
pemeliharaan dan pemulihan kesehatan. Berdasarkan undang – undang No.44
tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyebutkan bahwa rumah sakit mempunyai
tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Pelayanan
kesehatan perorangan adalah setiap kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan
oleh tenaga kesehatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah
dan menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan.

Sedangkan menurut undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit,


fungsi rumah sakit adalah :
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit.
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan
medis.
c. Penyelenggaaan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

6
2.1.4. Klasifikasi dan Akreditasi Rumah Sakit
2.1.4.1. Klasifikasi Rumah Sakit
Menurut Peraturan Menteri Kesehatatn Republik Indonesia Nomor
340/MENKES/PER/III/2010 Tentang Klasifikasi Rumah Sakit, rumah sakit dapat
diklasifikasikan berdasarkan kriteria sebagai berikut :
a. Berdasarkan Jenis Pelayanan
1. Rumah Sakit Umum
Rumah Sakit Umum adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan
kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Rumah Sakit harus
mempunyai kemampuan pelayanan sekurang-kurangnya pelayanan medik
umum, gawat darurat, pelayanan keperawatan, rawat jalan, rawat inap,
operasi/bedah, pelayanan medik spesialis dasar, penunjang medik, farmasi,
gizi, sterilisasi, rekam medik, pelayanan administrasi dan manajemen,
penyuluhan kesehatan masyarakat, pemulasaran jenazah, laundry , dan
ambulance, pemeliharaan sarana rumah sakit, serta pengolahan limbah.

2. Rumah Sakit Khusus


Rumah Sakit Khusus adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan
utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu, berdasarkan
disiplin ilmu, golongan umur, organ atau jenis penyakit.

Rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan berdasarkan jenis


pelayanan tertentu seperti Jenis Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak,
Jantung, Kanker, Orthopedi, Paru, Jiwa, Kusta, Mata, Ketergantungan Obat,
Stroke, Penyakit Infeksi, Bersalin, Gigi dan Mulut, Rehabilitasi Medik,
Telinga Hidung Tenggorokan, Bedah, Ginjal, Kulit dan Kelamin.

b. Berdasarkan Kepemilikan
1. Rumah Sakit Pemerintah
Rumah sakit pemerintah adalah rumah sakit yang dibiayai dan diawasi oleh
pemerintah dan diselenggarakan oleh Kementrian Kesehatan (KeMenKes),

7
Pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Rumah sakit ini
umumnya bersifat nonprofit.

2. Rumah Sakit Swasta


a. Rumah sakit yang dimiliki dan diselenggarakan oleh yayasan,
organisasi keagamaan atau badan hukum lain dan dapat juga
bekerjasama dengan institusi pendidikan. Rumah sakit ini
bertanggungjawab terhadap penyantun dana dan umumnya tidak
memungut pajak kepada pelanggan mereka. Rumah sakit ini dapat
bersifat profit dan nonprofit.Penetapan kelas umum Rumah Sakit
Swasta dilakukan oleh Direktur Jenderal Pelayanan Medik,
KeMenKes RI.
b. Rumah Sakit Umum Swasta Pratama, memberikan pelayanan medis
bersifat umum, setara dengan rumah sakit pemerintah kelas D.
c. Rumah Sakit Umum Swatsa Madya, memberikan pelayanan medis
bersifat umum dan spesialistik 4dasar lengkap, setara dengan rumah
sakit pemerintah kelas C.
d. Rumah Sakit Umum Swasta Utama, memberikan pelayanan medis
bersifat umum, spesialistik dan subspesialistik, setara dengan rumah
sakit pemerintah kelas D.

c. Berdasarkan Status Akreditasi


1. Rumah Sakit Kelas A
Rumah Sakit Umum Kelas A harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar,
5 (lima) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 12 (dua belas) Pelayanan
Medik Spesialis Lain dan 13 tiga belas) Pelayanan Medik Sub Spesialis dan
jumlah tempat tidur minimal 400 (empat ratus) buah.

8
2. Rumah Sakit Kelas B
Rumah Sakit Umum Kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar,
4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 8 (delapan) Pelayanan
Medik Spesialis Lainnya dan 2 (dua) Pelayanan Medik Subspesialis Dasar
dan jumlah tempat tidur minimal 200 (dua ratus) buah.

3. Rumah Sakit Kelas C


Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar
dan 4 (empat) dan Jumlah tempat tidur minimal 100 (seratus) buah.

4. Pelayanan Spesialis Penunjang Medik. Rumah Sakit Kelas D


Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) Pelayanan Medik Spesialis Dasar
dan jumlah tempat tidur minimal 50 (lima puluh) buah.

d. Berdasarkan Lama Perawatan


1. Rumah Sakit Untuk Perawatan Jangka Pendek
Rumah sakit perawatan jangka pendek adalah rumah sakit yang merawat
penderita selama rata-rata kurang dari 30 hari.

2. Rumah Sakit Untuk Perawatan Jangka Panjang


Rumah Sakit perawatan jangka panjang adalah rumah sakit yang merawat
penderita dalam waktu rata-rata 30 hari atau lebih.

e. Berdasarkan Afiliasi Dengan Lembaga Pendidikan


1. Rumah Sakit Pendidikan, yaitu rumah sakit yang dipergunakan sebagai
tempat pendidikan tenaga medis.
2. Rumah Sakit non pendidikan, yaitu rumah sakit yang tidak dipergunakan
untuk tempat pendidikan medis.

9
2.1.4.2. Akreditasi Rumah Sakit
Akreditasi rumah sakit adalah suatu pengakuan yang diberikan kepada rumah
sakit oleh pemerintah atau badan yang berwenang karena rumah sakit telah
memenuhi standar yang ditentukan.
a. Tujuan akreditasi rumah sakit antara lain :
1. Pengakuan dan penghargaan kepada rumah sakit
2. Jaminan kepada petugas rumah sakit
3. Jaminan kepuasan pelanggan
b. Manfaat akreditasi rumah sakit adalah :
1. Sebagai forum komunikasi dan konsultasi
2. Dengan mengetahui self evaluation rumah sakit mengetahui pelayanan
yang belum memenuhi standar
3. Sebagai sarana marketing dan negosiasi
4. Sebagai alat / bahan usulan anggaran
5. Meningkatkan citra rumah sakit
c. Keputusan akreditasi bagi rumah sakit ada 4 kemungkinan yaitu :
1. Tidak diakreditasi
Bila suatu rumah sakit dianggap belum mampu memenuhi standar yang
ditetapkan (skor kurang dari 65 %).

2. Akreditasi bersyarat
Bila rumah sakit telah dapat memenuhi kriteria minimal yang ditetapkan tetapi
belum cukup untuk memenuhi syarat akreditasi penuh (skor minimal 65 % dan
setiap bidang pelayanan tidak mempunyai nilai kurang 60%). Akreditasi ini
berlaku dalam satu tahun, dalam satu tahun tersebut harus mengajukan
akreditasi lagi untuk mendapatkan akreditasi penuh.

3. Akreditasi penuh
Bila rumah sakit telah memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh komisi
Akreditasi rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya (total skor minimal 75%
dan masing-masing bidang pelayanan skor tidak ada yang kurang dari 60 %).

10
Setelah masa tiga tahun rumah sakit dapat mengajukan akreditasi lagi yaitu tiga
bulan sebelum masa berlaku status akreditasi berakhir.

4. Akreditasi istimewa
Bila rumah sakit telah memenuhi standar secara istimewa selama tiga periode
berturut-turut akan mendapatkan status akreditasi untuk masa lima tahun.

2.1.5 Struktur Organisasi Rumah Sakit


Struktur organisasi rumah sakit tergantung dari besarnya rumah sakit, fasilitas
yang dimiliki, dan kebijakan direktur rumah sakit. Direktur rumah sakit mewakili
tingkat teratas dari manajemen rumah sakit. Direktur rumah sakit bertanggung
jawab terhadap segala kebijakan rumah sakit, mengatur segala kegiatan rumah
sakit, keuangan dan sumber daya manusia di rumah sakit tersebut.Secara periodik,
direktur rumah sakit melaporkan perkembanganrumah sakit dalam mencapai misi
dan tujuan rumah sakit.

Direktur rumah sakit dibantu oleh wakil direktur pelayanan medis dan
keperawatan, wakil direktur penunjang medis dan wakil direktur umum dan
keuangan sebagai level kedua dari management rumah sakit. Wakil direktur ini
bertanggung jawab terhadap kegiatan sehari-hari. Menteri Kesehatan telah
mengeluarkan peraturan tentang susunan organisasi dan tata kerja rumah sakit
yang merupakan pedoman untuk pembentukan struktur organisasi Rumah Sakit
sesuai dengan klasifikasi rumah sakit melalui Surat Keputusan Mentri Kesehatan
No.134/ menkes/ SK/IV/1978.

Unsur-unsur yang harus dimiliki rumah sakit adalah:


1. Direktur sebagai pimpinan rumah sakit
2. Wakil Direktur
3. Unsur-unsur pembantu
4. Unsur-unsur bantuan teknis dan medis yang merupakan jabatan stuktural.
5. Unsur-unsur pelaksana yang berupa Unit Pelaksana Fungsional (UPF)

11
6. Instalasi Pendukung UPF

2.1.6 Sumber Daya Manusia Kesehatan Rumah Sakit


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32 tahun 1996 mengenai Tenaga
Kesehatan, maka tenaga kesehatan di Rumah Sakit dibagi menjadi:
a. Tenaga medis meliputi: Dokter dan Dokter gigi
b. Tenaga keperawatan meliputi: perawat dan bidan
c. Tenaga kefarmasiaan meliputi: Apoteker, Analis Farmasi dan Asisten
Apoteker.
d. Tenaga kesehatan masyarakat meliputi: Mikrobiologi Kesehatan, Penyuluh
Kesehatan , Administrator kesehatan, Epidemiologi Kesehatan, Entomolog
Kesehatan dan Sanitarian.
e. Tenaga Gizi meliputi : Nitrisionis dan Dietisien.
f. Tenaga Keterapian Fisik meliputi : Fisioterapi, Okupasiterapis dan terapi
Wicara.
g. Tenaga Keteknisan Medis meliputi : Radiografer, Radioterapis, teknisi Gigi,
Teknisi Elektromedis, Analis Kesehatan, Refraksionis Optisien, Otorik
Prostetik, Teknisi Transfusi dan Perekam Medis.

2.1.7 Komite Farmasi dan Terapi


a. Definisi
Komite Farmasi dan Terapi (KFT) adalah kelompok penasehat bagi staf medik
yang secara organisasi bertindak sebagai garis komunikasi atau penghubung
antara staf medik dan instalasi farmasi rumah sakit.

Definisi lain dari Komite Farmasi dan Terapi (KFT) adalah suatu tim yang
beranggotakan para dokter dan Apoteker yang berfungsi dalam membantu
pimpinan Rumah Sakit untuk menentukan kebijaksanaan penggunaan obat dan
pengobatan.

12
b. Tugas Utama
Tugas utama dari Komite Farmasi dan Terapi adalah:
1) Pengembangan Kebijakan

Komite Farmasi dan Terapi memberikan rekomendasi / membantu


perumusan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan evaluasi, pemilihan,
penggunaan terapi obat dan kebijakan lain berkaitan dengan obat di Rumah
Sakit.

2) Pendidikan
Komite Farmasi dan Terapi merekomendasikan, memberi arahan dan
membantu dalam merumuskan rancangan program-program pendidikan
yang diperlukan oleh staf profesional, meliputi dokter, Perawat, Apoteker
dan praktisi kesehatan lainnya, terhadap pengetahuan mutakhir yang
berkaitan dengan obat dan penggunaannya.

c. Fungsi dan Ruang Lingkup


Fungsi dan ruang lingkup Komite Farmasi dan Terapi adalah sebagai berikut:

1) Memberikan nasehat bagi staf medik dan pimpinan Rumah Sakit berkaitan
dengan penggunaan obat termasuk obat yang sedang diteliti.
2) Mengembangkan formularium obat untuk digunakan di Rumah Sakit serta
melakukan revisi terhadap isinya. Pemilihan jenis obat dalam formularium
harus berdasarkan evaluasi yang obyektif terhadap kemanfaatan,
keamanan, dan harga serta harus meminimalkan penggandaan obat.

3) Mengadakan program dan prosedur yang membantu memastikan


keamanan dan keefektifan terapi obat.
4) Berpartisipasi dalam kegiatan jaminan mutu berkaitan dengan distribusi,
pemberian, dan penggunaan obat.
5) Mengevaluasi reaksi obat yang merugikan di Rumah Sakit

13
6) Memulai atau mengarahkan program evaluasi penggunaan obat dan
kegiatan penelitian berkaitan dengan obat serta mengkaji hasil-hasil dari
kegiatan tersebut.
7) Memberikan nasehat kepada Instalasi Farmasi Rumah Sakit dalam
penerapan distribusi obat dan prosedur pengendaliannya yang efektif.
8) Membuat rekomendasi berkaitan dengan obat yang disimpan di ruang
penderita di Rumah Sakit.

Komite Farmasi dan Terapi juga memiliki fungsi tambahan yaitu membantu
Instalasi Farmasi dalam mengembangkan dan mengkaji ulang kebijakan
peraturan yang berkaitan dengan penggunaan obat di Rumah Sakit,
mengevaluasi, menyetujui dan menolak obat-obatan yang akan dimasukkan ke
Formularium serta menetapkan kategori obat yang digunakan di Rumah Sakit,
kemudian mengembangkan dan menyebarkan bahan-bahan pendidikan dan
program-program yang berkaitan dengan obat.

d. Organisasi dan Pelaksanaan


Organisasi dan pelaksanaan Komite Farmasi dan Terapi adalah sebagai berikut:
1) Keanggotaan

Komite Farmasi dan Terapi harus terdiri dari paling sedikit tiga orang dokter
dan satu orang apoteker yang ditunjuk oleh pimpinan Rumah Sakit. Seorang
ketua harus ditunjuk dari dokter yang termasuk dalam susunan pengurus dan
apoteker biasanya ditunjuk sebagai sekretaris. Penyusunan keanggotaan
panitia farmasi dan terapi rumah sakit disesuaikan dengan kebutuhn serta
tenaga kerja yang tersedia di rumah sakit. Pada umumnya, keanggotaan
suatu Komite Farmasi dan Terapi terdiri dari ketua staf medik fungsional
farmakologi klinik atau dokter ahli lain yang ditunjuk sebagai ketua Komite
Farmasi dan Terapi, kepala instalasi rumah sakit atau wakilnya ditunjuk
sebagai sekretaris, ketua staf medik fungsional atau wakilnya ditunjuk
sebagai anggota, kepala bidang perawatan sebagai anggota.

14
2) Sub Komite Farmasi dan Terapi

Seringkali dalam suatu rumah sakit yang besar diadakan juga sub komite
yang tetap, yang membantu KFT dan beranggotakan orang-orang yang ahli
dalam topik-topik tertentu, contoh:sub komite obat anti kanker, sub komite
obat kardiovaskular, sub komite obat anti infeksi, sub komite obat untuk
sistem saraf pusat, sub komite obat untuk saluran pencernaan, sub komite
obat untuk kelenjar endokrin.

3) Pelaksanaan

Pelaksanaan kegiatan panitia farmasi dan terapi meliputi:

a) Komite Farmasi dan Terapi mengadakan pertemuan teratur, minimal


enam kali dalam setahun.
b) Komite Farmasi dan Terapi mengundang pakar untuk memberikan
pengetahuan, kemampuan dan pertimbangan khusus dari dalam
maupun luar Rumah Sakit.
c) Agenda dan bahan rapat (dokumen, informasi pendukung dan
notulen rapat sebelumnya) disiapkan oleh sekretaris dan dibagikan
kepada anggota dalam waktu yang cukup sebelum rapat.
d) Notulen dari tiap pertemuan didokumentasikan, disimpan minimal
selama tiga tahun.
e) Rekomendasi Komite Farmasi dan Terapi harus disajikan kepada
staf medik atau komite-komite lain yang berkaitan dengan
penggunaan obat.
f) Tindakan-tindakan Komite Farmasi dan Terapi harus secara rutin
dikomunikasikan kepada personil pelayanan kesehatan yang terlibat
dalam perawatan penderita.
g) Komite Farmasi dan Terapi diorganisasikan dan dioperasikan dengan
baik sehingga menjamin obyektivitas dan kredibilitas dari
rekomendasinya.

15
h) Komite Farmasi dan Terapi harus mengadakan suatu kebijakan yang
meniadakan atau memperkecil persaingan kepentingan yang
berkaitan dengan rekomendasinya.

2.1.8. Bagian Rekam Medik

Setiap Rumah Sakit wajib melakukan pencatatan dan pelaporan tentang semua
kegiatan penyelenggaraan Rumah Sakit yang dilakukan oleh bagian rekam medik
yang mana erat hubungannya dengan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit.
Pencatatan dan pelaporan mengenai suatu penyakit baik yang menular maupun
yang tidak menular, dan pasien penderita ketergantungan narkotika dan/atau
psikotropika dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Rumah Sakit wajib menyelenggarakan penyimpanan terhadap pencatatan dan


pelaporan dalam rekam medik yang dilakukan untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Pemusnahan atau penghapusan
terhadap berkas pencatatan dan pelaporan rekam medik dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.2. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)


2.2.1. Definisi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Instalasi Farmasi Rumah Sakit merupakan bagian integral dari pelayanan di
rumah sakit dan unit yang berwenang untuk mengelola obat di rumah sakit yang
dipimpin oleh tenaga profesional yang kompeten dan diakui sebagai farmasis
yang berkualitas.IFRS perlu mengadopsi strategi biaya, yang berusaha
meningkatkan efisiensi dan pengendalian biaya di seluruh rantai biaya kegiatan
IFRS, yaitu biaya kegiatan pemasokan, biaya kegiatan internal dan biaya kegiatan
distribusi.

16
Ketentuan IFRS menurut SK MENKES RI No. 983/MENKES/SK/II/1992 pasal
41 adalah:
a. Mengatur pelaksanaan pengadaan (pembelian, pembuatan obat dan
perbekalan farmasi) dan menjamin mutu sediaan perbekalan farmasi.
b. Menetapkan ketentuan pengeluaran atau permintaan obat-obatan dan
perbekalan farmasi di gudang farmasi sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan direktur, sebelum adanya suatu cara pengeluaran atau permintaan
yang ditetapkan Departemen Kesehatan.
c. Menyelenggarakan dan mengawasi seluruh kegiatan dalam bidang farmasi.
d. Bekerjasama dengan bagian atau unit lain mengenai pemakaian obat-obatan
dan perbekalan farmasi standar.
e. Bertanggung jawab atas kelancaran penyediaan obat-obatan dan perbekalan
farmasi rumah sakit.
f. Menyusun laporan pertanggungjawaban secara berkala.
g. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kerja yang erat hubungannya
dengan kegiatan di IFRS meliputi tenaga farmasi dan tenaga kesehatan
lainnya.
h. Turut serta dalam penelitian rumah sakit, meliputi medical and
pharmaceutical research terutama dalam pengembangan stabilitas dan
formulasi obat serta monitoring efek samping, khususnya dalam usaha
meningkatkan mutu dalam menjamin keamanan penderita tentang
penggunaan obat.
i. Pengembangan IFRS sebagai unit penunjang harus seirama dengan
pengembangan unit-unit lain di rumah sakit.
j. Berperan aktif dalam melaksanakan sistem rujukan, pelayanan rujukan,
pengembangan ilmu pengetahuan, keterampilan dan pengalaman praktis di
IFRS dengan kelas yang lebih tinggi dan lebih lengkap pada kelas di
bawahnya termasuk Puskesmas.

17
2.2.2. Struktur Organisasi dan Sumber Daya Manusia IFRS
Berdasakan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1197 /
MENKES / SK / X / 2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit,
Pelayanan diselenggarakan dan diatur demi berlangsungnya pelayanan farmasi
yang efisien dan bermutu, berdasarkan fasilitas yang ada dan standar pelayanan
keprofesian yang universal.

a. Struktur Organisasi

1) Adanya bagan organisasi yang menggambarkan uraian tugas, fungsi,


wewenang dan tanggung jawab serta hubungan koordinasi di dalam
maupun di luar pelayanan farmasi yang ditetapkan oleh pimpinan rumah
sakit.

2) Bagan organisasi dan pembagian tugas dapat direvisi kembali setiap tiga
tahun dan diubah bila terdapat hal :

a) Perubahan pola kepegawaian

b) Perubahan standar pelayanan farmasi

c) Perubahan peran rumah sakit

d) Penambahan atau pengurangan pelayanan

3) Kepala Instalasi Farmasi harus terlibat dalam perencanaan manajemen dan


penentuan anggaran serta penggunaan sumber daya.

4) Instalasi Farmasi harus menyelenggarakan rapat pertemuan untuk


membicarakan masalah-masalah dalam peningkatan pelayanan farmasi.
Hasil pertemuan tersebut disebar luaskan dan dicatat untuk disimpan.

5) Adanya Komite/Panitia Farmasi dan Terapi di rumah sakit dan apoteker


IFRS (Insatalasi Farmasi Rumah Sakit) menjadi sekretaris komite/panitia.

6) Adanya komunikasi yang tetap dengan dokter dan paramedis, serta selalu
berpartisipasi dalam rapat yang membahas masalah perawatan atau rapat

18
antar bagian atau konferensi dengan pihak lain yang mempunyai relevansi
dengan farmasi.

7) Hasil penilaian/pencatatan konduite terhadap staf didokumentasikan secara


rahasia dan hanya digunakan oleh atasan yang mempunyai wewenang
untuk itu.

8) Dokumentasi yang rapi dan rinci dari pelayanan farmasi dan dilakukan
evaluasi terhadap pelayanan farmasi setiap tiga tahun.

9) Kepala Instalasi Farmasi harus terlibat langsung dalam perumusan segala


keputusan yang berhubungan dengan pelayanan farmasi dan penggunaan
obat.

b. Sumber Daya Manusia (SDM)

Berdasakan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1197 /


MENKES / SK / X / 2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit,
Personalia Pelayanan Farmasi Rumah Sakit adalah sumber daya manusia yang
melakukan pekerjaan kefarmasian di rumah sakit yang termasuk dalam bagan
organisasi rumah sakit dengan persyaratan :
1) Terdaftar di Departeman Kesehatan

2) Terdaftar di Asosiasi Profesi

3) Mempunyai izin kerja.

4) Mempunyai SK penempatan

Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian dilaksanakan oleh tenaga farmasi


profesional yang berwewenang berdasarkan undang-undang, memenuhi
persyaratan baik dari segi aspek hukum, strata pendidikan, kualitas
maupun kuantitas dengan jaminan kepastian adanya peningkatan
pengetahuan, keterampilan dan sikap keprofesian terus menerus dalam
rangka menjaga mutu profesi dan kepuasan pelanggan.

19
Kualitas dan rasio kuantitas harus disesuaikan dengan beban kerja dan
keluasan cakupan pelayanan serta perkembangan dan visi rumah sakit.
1) Kompetensi Apoteker :

Sebagai Pimpinan :
a) Mempunyai kemampuan untuk memimpin

b) Mempunyai kemampuan dan kemauan mengelola dan


mengembangkan pelayanan farmasi

c) Mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri

d) Mempunyai kemampuan untuk bekerja sama dengan pihak lain

e) Mempunyai kemampuan untuk melihat masalah, menganalisa dan


memecahkan masalah

Sebagai Tenaga Fungsional

a) Mampu memberikan pelayanan kefarmasian

b) Mampu melakukan akuntabilitas praktek kefarmasian

c) Mampu mengelola manajemen praktis farmasi

d) Mampu berkomunikasi tentang kefarmasian

e) Mampu melaksanakan pendidikan, penelitian dan pengembangan

f) Dapat mengoperasionalkan computer

g) Mampu melaksanakan penelitian dan pengembangan bidang


farmasi klinik.

Setiap posisi yang tercantum dalam bagan organisasi harus dijabarkan


secara jelas fungsi ruang lingkup, wewenang, tanggung jawab,
hubungan koordinasi, fungsional, dan uraian tugas serta
persyaratan/kualifikasi sumber daya manusia untuk dapat menduduki
posisi.

20
2) Analisa Kebutuhan Tenaga Jenis Ketenagaan.

Untuk pekerjaan kefarmasian dibutuhkan tenaga :

a) Apoteker

b) Sarjana Farmasi

c) Asisten Apoteker (AMF, SMF)

Untuk pekerjaan administrasi dibutuhkan tenaga :

a) Operator Komputer /Teknisi yang memahami kefarmasian

b) Tenaga Administrasi

c) Pembantu Pelaksana

d) Beban Kerja

Dalam perhitungan beban kerja perlu diperhatikan faktor-faktor yang


berpengaruh pada kegiatan yang dilakukan, yaitu

a) Kapasitas tempat tidur dan BOR

b) Jumlah resep atau formulir per hari

c) Volume perbekalan farmasi

d) Idealnya 30 tempat tidur = 1 Apoteker (untuk pelayanan


kefarmasian)

3) Pendidikan

Untuk menghasilkan mutu pelayanan yang baik, dalam penentuan


kebutuhan tenaga harus dipertimbangkan :
a) Kualifikasi pendidikan disesuaikan dengan jenis pelayanan/tugas
fungsi

b) Penambahan pengetahuan disesuaikan dengan tanggung jawab

c) Peningkatan keterampilan disesuaikan dengan tugas

4) Waktu Pelayanan

21
a) Pelayanan 3 shift (24 jam)

b) Pelayanan 2 shift

c) Pelayanan 1 shift

Disesuaikan dengan sistem pendistribusian perbekalan farmasi di rumah


sakit.

2.2.3. Visi dan Misi Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Visi Instalasi Farmasi Rumah Sakit merupakan kekuatan yang memandu Farmasi
Rumah Sakit untuk mencapai status masa depan Farmasi Rumah Sakit. Salah satu
contoh Visi Rumah Sakit adalah terselenggaranya pelaksanaan dan pengelolaan
dalam pelayanan, pekerjaan kefarmasian di Rumah Sakit termasuk pelayanan
Farmasi Klinik.

Misi Farmasi Rumah Sakit adalah suatu pernyataan singkat dan jelas tentang
alasan keberadaan Farmasi Rumah Sakit, fungsi yang diinginkan untuk memenuhi
pengharapan dan kepuasan konsumen, misalnya misi pelayanan kefarmasian
Rumah Sakit adalah mengadakan obat dan terapi obat yang optimal bagi semua
penderita, menjamin mutu tertinggi dan pelayanan dengan biaya yang paling
efektif serta memberikan pendidikan dan pengetahuan baru dibidang kefarmasian
melalui penelitian bagi staf medik, mahasiswa, dan masyarakat.

2.2.4. Tugas, Fungsi dan Tujuan IFRS


a. Tugas IFRS
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.1197/Menkes/SK/X/2004,
maka tugas pokok Instalasi Farmasi adalah:
a. Tugas Pokok
1. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal
2. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi professional berdasarkan
prosedur kefarmasian dan etik profesi

22
3. Melaksanakan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
4. Memberi pelayanan bermutu melalui analisa, dan evaluasi
untukmeningkatkan mutu pelayanan farmasi
5. Melakukan pengawasan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku
6. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang farmasi
7. Mengadakan penelitian dan pengembangan di bidang farmasi
8. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan
formularium rumah sakit.
Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit seperti tercantum dalam SK MENKES RI.
No.134 / MENKES / SK / IV / 1978, adalah melaksanakan :
a. Peracikan, penyimpanan dan penyaluran obat-obatan, gas medik serta bahan
kimia.
b. Penyimpanan dan penyaluran alat kesehatan, alat perawatan.

b. Fungsi IFRS
1. Pengelolaan Perbekalan Farmasi
a) Memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit
b) Merencanakan kebutuhan perbekalan farmasi secara optimal
c) Mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan yang telah
dibuat sesuai ketentuan yang berlaku
d) Memproduksi perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan di rumah sakit
e) Menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan
yang berlaku
f) Menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan
kefarmasian
g) Mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan dirumah sakit

2. Pelayanan Kefarmasian dalam Penggunaan Obat dan Alat Kesehatan


a) Mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien

23
b) Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dan alat
kesehatan
c) Mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat dan alat
kesehatan
d) Memantau efektifitas dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan
e) Memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien/keluarga
f) Memberi konseling kepada pasien/keluarga
g) Melakukan pencampuran obat suntik
h) Melakukan penyiapan nutrisi parenteral
i) Melakukan penanganan obat kanker
j) Melakukan penentuan kadar obat dalam darah
k) Melakukan pencatatan setiap kegiatan
l) Melaporkan setiap kegiatan

c. Tujuan IFRS
Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus mempunyai sasaran jangka panjang yang
menjadi arah dari kegiatan sehari-hari yang dilakukan. Oleh karena itu, tujuan
kegiatan harian Instalasi Farmasi Rumah Sakit antara lain:
a. Memberi manfaat kepada penderita, rumah sakit, sejawat profesi kesehatan
dan kepada profesi farmasi oleh apoteker Rumah Sakit yang kompeten dan
memenuhi syarat.
b. Membantu dalam menyediakan perbekalan yang memadai oleh apoteker
Rumah Sakit yang memenuhi syarat.
c. Menjamin praktek professional yang bermutu tinggi melalui penetapan dan
pemeliharaan standar etika profesional, pendidikan dan pencapaian, dan
melalui peningkatan kesejahteraan ekonomi.
d. Meningkatkan penelitian dalam praktik farmasi rumah sakit dan dalam ilmu
farmasetik pada umumnya.
e. Memperluas dan memperkuat kemampuan apoteker rumah sakit untuk secara
efektif mengelola suatu pelayanan farmasi yang terorganisasi,
mengembangkan dan memberikan pelayanan klinik, melakukan dan

24
berpartisipasi dalam penelitian klinik dan farmasi dalam program edukasi
untuk praktisi kesehatan, penderita, mahasiswa dan masyarakat.
f. Meningkatkan pengetahuan dan pengertian praktik farmasi rumah sakit
kontemporer bagi masyarakat, pemerintah, industri farmasi dan profesional
kesehatan lainnya.
g. Membantu menyediakan sumber daya manusia (SDM) pendukung yang
bermutu untuk Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
h. Membantu dalam pengembangan dan kemajuan profesi kefarmasian.

2.2.5 Peraturan Perundangan yang Berkaitan dengan Rumah Sakit dan Instalasi
Farmasi Rumah Sakit
Peraturan perundangan yang menjadi landasan hukum dalam pengelolaan Rumah
Sakit dan Instalasi Farmasi Rumah Sakit, yaitu:
1. Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
2. Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
3. Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
4. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.
5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang perubahan atas peraturan Menteri
Kesehatan RI No.922/Menkes/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan
Tatacara Pemberian Izin Apotik.
6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1027/Menkes/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek.
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
889/Menkes/PER/IV/2011 Tentang Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja
Tenaga Kefarmasian.
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 340/Menkes/Per/III/2010 Tentang
Klasifikasi Rumah Sakit.
9. Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan
Kefarmasian.

25
10. Peraturan Pemerintah RI Nomor 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan
Sediaan Farmasi dan alat Kesehatan.
11. Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 Tahun 2010 Tentang Prekursor.
12. Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI Nomor 40
Tahun 2013 Tentang Pedoman Pengelolaan Prekursor Farmasi dan Obat
Mengandung Prekursor Farmasi.
13. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.328 / Menkes / SK / VIII / 2013
tentang Formularium Nasional.
14. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1197/ MENKES
/ SK / X / 2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit

2.2.6 Sistem Formularium Rumah Sakit


a. Definisi Sistem Formularium
Sistem Formularium adalah metode bagi staf medik, yang bekerja melalui PFT
dalam mengevaluasi, menilai dan memilih dari sejumlah obat dan bahan obat
yang tersedia yang dipertimbangkan paling berguna dalam pengobatan
penderita.

b. Keuntungan Sistem Formularium


Keuntungan dari pelaksanaan sistem formularium mencakup beberapa aspek,
yaitu :

1) Aspek terapi dari sistem formularium memberikan keuntungan yang besar


pada penderita dan dokter karena hanya sediaan obat yang tertera dalam
formularium dan tersedia di instalasi farmasi rumah sakit yang paling
efisien.
2) Aspek ekonomi, ada dua yaitu dengan adanya sistem formularium ini
dapat meniadakan penggandaan obat yang berarti mengurangi
penyimpanan ganda dan merupakan suatu kesempatan untuk memberikan
harga yang terjangkau bagi penderita.
3) Aspek pendidikan, berhubungan dengan staf residen, perawat, dan
mahasiswa kedokteran karena formularium yang baik berisi beberapa

26
petunjuk praktis dan informasi tambahan mengenai obat yang memiliki
nilai pendidikan.

c. Prinsip Petunjuk Penggunaan Formularium


Prinsip-prinsip yang dapat diterapkan dalam penggunaan sistem formularium
adalah sebagai berikut:
1) Staf medik membentuk Panitia Farmasi dan Terapi yang anggotanya
berasal dari berbagai disiplin ilmu untuk merumuskan tujuan, organisasi,
fungsi dan ruang lingkupnya.
2) Sistem formularium didukung oleh staf medik berdasarkan rekomendasi
Panitia Farmasi dan Terapi.
3) Staf medik mengadopsi kebijakan dan prosedur tertulis yang tercantum
pada sistem formularium seperti yang telah dikembangkan oleh Panitia
Farmasi dan Terapi.
4) Kebijakan-kebijakan dan prosedur harus memberikan petunjuk dalam
mengevaluasi atau menilai, memilih, mengadakan, menyimpan,
mendistribusikan, menggunakan secara aman dan hal-hal lain berkaitan
dengan obat dan harus diterbitkan dari formularium atau media lain yang
tersedia bagi staf medik.
5) Obat-obat dalam formularium ditulis dengan nama generik, walaupun
nama dagang masih sering digunakan. Dianjurkan dalam penulisan resep
dengan menggunakan nama generik.
6) Pembatasan jumlah obat atau bahan obat atau produk obat yang secara
rutin tersedia dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit akan menghasilkan
keuntungan finansial dan perawatan bagi penderita. Keuntungan
meningkat melalui penggunaan kesetaraan generik (obat-obat dengan zat
aktif yang sama tapi dikeluarkan oleh industri yang berbeda) dan
kesetaraan terapetik (obat-obat yang mengandung zat aktif yang berbeda
tapi memiliki kerja farmakologi dan terapi yang mirip).

27
7) Rumah Sakit harus menginformasikan kepada staf medik dan perawat
tentang keberadaan sistem formularium dan prosedur pelaksanaannya.
Salinan formularium harus tersedia dan dapat difungsikan setiap waktu.
8) Kebijakan harus dibuat untuk menilai dan menetapkan penggunaan obat-
obatan non formularium.
9) Apoteker Rumah Sakit harus bertanggung jawab untuk mengadakan
spesifikasi mutu, jumlah, sumber (pemasok) dari semua obat, bahan kimia,
bahan biologis dan obat yang digunakan untuk diagnosis dan pengobatan.

2.2.7 Jenis dan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit


Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit adalah pendekatan profesional yang
bertanggung jawab dalam menjamin penggunaan obat dan alat kesehatan sesuai
indikasi, efektif, aman dan terjangkau oleh pasien melalui penerapan pengetahuan,
keahlian, keterampilan dan perilaku Apoteker terhadap pasien dan profesi
kesehatan lainnya.
Tujuan:
a. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan pelayanan farmasi di rumah
sakit.
b. Memberikan pelayanan farmasi yang dapat menjamin efektifitas,
keamanan dan efisiensi penggunaan obat.
c. Meningkatkan kerjasama dengan pasien dan profesi kesehatan lain yang
terkait dalam pelayanan farmasi.
d. Melaksanakan kebijakan obat di rumah sakit dalam rangka meningkatkan
penggunaan obat secara rasional.

2.2.7.1 Pelayanan Farmasi Klinik


Pelayanan farmasi klinik adalah pelayanan langsung yang diberikan apoteker
kepada pasien dalam ran gka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan
risiko terjadi nya efek samping karena obat. Tujuan pelayanan farmasi klinis
adalah meningkatkan keuntungan terapi obat dan mengoreksi kekurangan yang
terdeteksi dalam proses penggunaan obat sehingga meningkatkan dan memastikan

28
kerasionalan, kemanfaatan, dan keamanan terapi obat. Pelayanan farmasi klinis
(Depkes RI, 2004), meliputi:

a. Pengkajian pelayanan dan resep


Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,
pengkajian resep, penyiapan perbekalan farmasi termasuk peracikan obat,
pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur
pelayanan resep, dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian
obat (medication error ).

b. Penelusuran riwayat penggunaan obat


Penelusuran riwayat penggunaan obat adalah proses untuk mendapatkan
informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang
digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data
rekam medik/pencatatan penggunaan obat pasien.

c. Pelayanan lnformasi obat (PIO)


PIO adalah kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat
yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang dilakukan
oleh apoteker kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta
pasien dan pihak lain di luar rumah sakit. Tujuan PIO antara lain:
1. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga
kesehatan di lingkungan rumah sakit dan pihak lain di luar rumah sakit.
2. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan
dengan obat/perbekalan farmasi, terutama bagi komite/sub komite
farmasi dan terapi.
3. Menunjang penggunaan obat yang rasional

Kegiatan yang dilakukan pada PIO meliputi:


1. Menjawab pertanyaan
2. Menerbitkan buletin, leaflet , poster, newsletter

29
3. Menyediakan informasi bagi komite/sub komite farmasi dan terapi
sehubungan dengan penyusunan formularium rumah sakit
4. Bersama dengan PKMRS melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien
rawat jalan dan rawat inap
5. Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian dan
tenaga kesehatan lainnya
6. Melakukan penelitian

d. Konseling
Konseling obat adalah suatu proses diskusi antara apoteker dengan pasien /
keluarga pasien yang dilakukan secara sistematis untuk memberikan
kesempatan kepada pasien / keluarga pasien mengeksplorasikan diri dan
membantu meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran sehingga
pasien / keluarga pasien memperoleh keyakinan akan kemampuannya dalam
penggunaan obat yang benar termasuk swamedikasi. Tujuan umum konseling
adalah meningkatkan keberhasilan terapi, memaksimalkan efek terapi,
meminimalkan resiko efek samping, meningkatkan cost effectiveness dan
menghormati pilihan pasien dalam menjalankan terapi. Tujuan khusus dari
konseling adalah:
1. Meningkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dan pasien.
2. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien.
3. Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obat.
4. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan obat
dengan penyakitnya.
5. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan.
6. Mencegah atau meminimalkan masalah terkait obat.
7. Meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam hal
terapi .
8. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan.

30
9. Membimbing dan membina pasien dalam penggunaan obat sehingga
dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan
pasien.

Kegiatan yang dilakukan dalam konseling meliputi:


1. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.
2. Mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang penggunaan obat
melalui three prime questions.
3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada
pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat.
4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan obat.
5. Melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek pemahaman pasien
6. Dokumentasi
Faktor yang perlu diperhatikan:
1. Kriteria pasien
a. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan
ginjal, ibu hamil dan menyusui)
b. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM,
epilepsi,dll).
c. Pasien yang menggunakan obat - obatan dengan instruksi khusus
(penggunaan kortikosteroid dengan tappering down/off ).
d. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit
(digoksin, fenitoin).
e. Pasien yang menggunakan banyak obat (polifarmasi).
f. Pasien yang memiliki riwayat kepatuhan rendah.
2. Sarana dan prasarana
a. Ruangan atau tempat konseling
b. Alat bantu konseling (kartu pasien/catatan
konseling).

31
e. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan
apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati
kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat,
memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan
terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien
serta profesional kesehatan lainnya. Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang
sudah keluar rumah sakit atas permintaan pasien yang biasa disebut dengan
pelayanan kefarmasian di rumah ( home pharmacy care ). Sebelum melakukan
kegiatan visite apoteker harus mempersiapka n diri dengan mengumpulkan
informasi mengenai kondisi pasien dan memeriksa terapi obat dari rekam medis
atau sumber lain.

f. Pemantauan terapi obat (PTO)


PTO adalah suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat
yang aman, efektif, dan rasional bagi pasien. Tujuan pemantauan terapi obat
adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan resiko ROTD.
Kegiatan yang dilakukan meliputi:
1. Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respon terapi,
ROTD.
2. Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat.
3. Pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat.

Tahapan pemantauan terapi obat yaitu:


1. Pengumpulan data pasien
2. Identifikasi masalah terkait obat
3. Rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat
4. Pemantauan
5. Tindak lanjut

32
g. Monitoring efek samping obat (MESO)
MESO merupakan kegiatan pemantauan setiap respons terhadap obat yang tidak
dikehendaki (ROTD) yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia
untuk tujuan profilaksis, diagnosa, dan terapi. Efek samping obat adalah reaksi
obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi.
Tujuan:
1. Menemukan efek samping obat (ESO) sedini mungkin terutama yang
berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang.
2. Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping obat yang sudah dikenal
dan yang baru saja ditemukan.
3. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi
angka kejadian dan hebatnya efek samping obat.
4. Meminimalkan resiko kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki.
5. Mencegah terulangnya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki.

h. Evaluasi penggunaan obat (EPO)


EPO merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan
berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif. Tujuan:
1. Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola
penggunaan.
2. Membandingkan pola penggunaan obat pada periode
waktu tertentu.
3. Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan
obat.
4. Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat.
Kegiatan praktek EPO adalah mengevaluasi penggunaan obat secara kualitatif.
Faktor - faktor yang perlu dipe rhatikan pada EPO meliputi indikator peresepan,
indikator pelayanan, dan indikator fasilitas.

i. Dispensing sediaan khusus

33
Dispensing sediaan khusus steril dilakukan di instalasi farmasi rumah sakit
dengan tekhnik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan
melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya
kesalahan pemberian obat. Tujuan dilakukan dispensing sediaan khusus adalah
untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk, melindungi petugas dari paparan
zat berbahaya, dan menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. Dispensing
sediaan khusus terdiri atas pencampuran obat suntik, penyiapan nutrisi parenteral
dan penanganan sediaan sitotoksik.

2.2.7.2 Pelayanan Farmasi Non Klinik


a. Pengembangan Staf dan Program Pendidikan
Setiap staf di rumah sakit harus mempunyai kesempatan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilannya.
1. Apoteker harus memberikan masukan kepada pimpinan dalam menyusun
program pengembangan staf.
2. Staf yang baru mengikuti program orientasi sehingga mengetahui tugas dan
tanggung jawab.
3. Adanya mekanisme untuk mengetahui kebutuhan pendidikan bagi staf.
4. Setiap staf diberikan kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan dan
program pendidikan berkelanjutan.
5. Staf harus secara aktif dibantu untuk mengikuti program yang diadakan oleh
organisasi profesi, perkumpulan dan institusi terkait.
6. Penyelenggaraan pendidikan dan penyuluhan meliputi :
a) Penggunaan obat dan penerapannya.
b) Pendidikan berkelanjutan bagi staf farmasi.
c) Praktikum farmasi bagi siswa farmasi dan pasca sarjana farmasi.

b. Evaluasi dan Pengendalian Mutu


Pelayanan farmasi harus mencerminkan kualitas pelayanan kefarmasian yang
bermutu tinggi, melalui cara pelayanan farmasi rumah sakit yang baik.

34
1. Pelayanan farmasi dilibatkan dalam program pengendalian mutu
pelayanan rumah sakit.
2. Mutu pelayanan farmasi harus dievaluasi secara periodik terhadap konsep,
kebutuhan, proses, dan hasil yang diharapkan demi menunjang
peningkatan mutu pelayanan.
3. Apoteker dilibatkan dalam merencanakan program pengendalian mutu.
4. Kegiatan pengendalian mutu mencakup hal-hal berikut :
a) Pemantauan: pengumpulan semua informasi yang penting yang
berhubungan dengan pelayanan farmasi.
b) Penilaian: penilaian secara berkala untuk menentukan masalah-
masalah pelayanan dan berupaya untuk memperbaiki.
c) Tindakan: bila masalah-masalah sudah dapat ditentukan maka
harus diambil tindakan untuk memperbaikinya dan didokumentasi.
d) Evaluasi: efektivitas tindakan harus dievaluasi agar dapat
diterapkan dalam program jangka panjang.
e) Umpan balik: hasil tindakan harus secara teratur diinformasikan
kepada staf.

2.2.8 Sistem Distribusi Obat di Rumah Sakit


Sistem Distribusi Obat di rumah sakit adalah tatanan jaringan sarana, personil,
prosedur dan jaminan mutu yang serasi, terpadu dan berorientasi pada pasien
dalam kegiatan penyampaian sediaan obat beserta informasinya.

Sistem distribusi obat disetiap rumah sakit untuk pasien rawat tinggal bervariasi
tergantung dari kebijakan rumah sakit, kondisi dan keberadaan fasilitas fisik,
personil dan tata ruang rumah sakit tersebut. Sistem distribusi obat mencakup
penghantaran sediaan obat yang telah di “Dispensing” Instalasi Farmasi Rumah
Sakit (IFRS) ke daerah tempat perawatan pasien dengan keamanan dan ketepatan
obat, ketepatan pasien, ketepatan jadwal, tanggal, waktu dan metode pemberian
dan ketepatan personil pemberi obat kepada pasien serta keutuhan mutu obat.

35
Ada 4 macam sistem distribusi obat untuk pasien rawat inap dirumah sakit yaitu:
a. Sistem Distribusi Obat Resep Individual Sentralisasi
Sistem distribusi obat resep individual sentralisasi adalah sistem
penyampaian obat kepada penderita rawat inap oleh Instalasi Farmasi
Rumah Sakit sesuai dengan yang ditulis pada resep, meliputi persiapan dan
pemberian etiket sesuai dengan nama penderita dan obat yang diberikan
sesuai dengan resep penderita yang bersangkutan.

Sistem Distribusi Obat resep individual sentralisasi memiliki beberapa


keuntungan dan keterbatasan yaitu;
1. Keuntungan sistem resep individual adalah semua resep secara
langsung dikaji terlebih dahulu oleh apoteker sebelum obat disiapkan,
untuk mencegah kesalahan pengobatan dan menentukan dosis yang
tepat. Selain itu memberikan kesempatan terjadinya interaksi
profesional yang dekat antara dokter, perawat, apoteker dan
memungkinkan pengendalian yang lebih mudah atas perbekalan serta
mempermudah penagihan biaya obat pasien.
2. Keterbatasan sistem distribusi obat resep individual antara lain
kemungkinan keterlambatan obat sampai ke pasien, jumlah kebutuhan
personel di IFRS meningkat dan kemungkinan terjadi kesalahan obat
karena kurangnya pemeriksaan pada saat persiapan konsumsi. Sistem
distribusi obat resep individual sentralisasi kurang sesuai untuk rumah
sakit yang besar dan yang memiliki ruang perawatan pasien menyebar
sehingga jarak antaraIFRS dengan beberapa daerah perawatan yang
sangat jauh.

Alur sistem distribusi obat resep individual adalah dokter menulis resep,
kemudian perawat kembali menuliskan resep tersebut kedalam profil
pemberian obat dan menyampaikan permintaan obat ke IFRS. IFRS
mengintrepestasikan resep dan meracik obat tersebut, Obat yang sudah
disiapkan diserahkan kepada perawat, IFRS mengendalikan pasokan obat ke

36
ruang perawatan, perawat menyimpan persediaan obat tersebut didalam
wadah obat pasien yang terdapat di ruang perawat dan memberikan kepada
pasien setiap kali waktu pemberian obat.

b. Sistem Distribusi Obat Persedian Lengkap di Ruangan (Total Floor


Stock)
Dalam sistem ini semua obat yang dibutuhkan pasien tersedia dalam ruang
penyimpanan obat diruang tersebut, kecuali obat yang jarang digunakan
atau obat yang sangat mahal. Sistem distribusi obat persedian lengkap
diruang adalah sistem penyampaian obat sesuai dengan yang ditulis pada
resep obat, yang disiapkan sendiri oleh perawat dari persediaan obat yang
ada diruang perawat untuk langsung diberikan kepada pasien di ruang itu.

Sistem Distribusi Obat Persedian Lengkap di Ruangan memiliki beberapa


keuntungan dan keterbatasan yaitu :
1. Keuntungan sistem persedian lengkap diruangan ini adalah obat
yang diperlukan cepat tersedia bagi pasien, mengurangi beban kerja
IFRS, pengurangan jumlah kebutuhan personel IFRS, dan
berkurangnya penyalinan kembali resep obat, serta peniadaan
pengembalian obat yang tidak terpakai ke IFRS.
2. Keterbatasan sistem persedian lengkap diruangan antara lain
meningkatnya kesalahan obat karena kurangnya pengawasan
langsung apoteker pada resep setiap penderita, meningkatnya
persediaan obat diruang perawatan, meningkatnya resiko
kehilangan obat dan meningkatnya bahaya karena kerusakan obat.
Pengendalian persediaan dan mutu, kurang diperhatikan oleh
perawat. Akibatnya penyimpanan tidak teratur, mutu obat cepat
turun, tanggal kadaluwarsa kurang diperhatikan. Dengan demikian
kerugian juga meningkat karena kerusakan obat dan terlalu banyak
waktu perawat yang terpakai untuk menangani obat pasien
sehingga perhatian pada perawatan pasien berkurang.

37
Alur Sistem Distribusi Obat Persediaan Lengkap di Ruang adalah dokter
menulis resep kemudian diberikan kepada perawat untuk
diinterprestasikan, kemudian perawat menyiapkan semua obat yang
diperlukan dari persediaan obat yang ada diruangan sesuai resep dokter
untuk diberikan kepada penderita, termasuk pencampuran sediaan
intravena.Persediaan obat di ruangan dikendalikan oleh IFRS.

c. Sistem Distribusi Obat Kombinasi Resep Individual dan Persediaan


Lengkap di Ruangan.
Sistem distribusi obat kombinasi resep individual dan persediaan lengkap di
ruangan adalah sistem penyampaian obat kepada penderita berdasarkan
permintaan dokter, sebagian obat disiapkan oleh IFRS dengan resep dokter
dan sebagian lagi disiapkan dari persedian obat yang terdapat
diruangan.Obat yang disediakan di ruangan adalahobat yang diperlukan oleh
banyak pasien, setiap hari diperlukan dan biasanya adalah obat yang
harganya relatif murah.

Sistem distribusi obat kombinasi pesediaan ruang dan resep individual


sistem kombinasi juga memiliki keuntungan dan keterbatasan yaitu:
1. Keuntungan sistem ini adalah pengakajian resep dilakukan oleh apoteker
di IFRS sehingga mengurangi resiko terjadinya kesalahan pengobatan,
obat yang diperlukan segera tersedia bagi pasien, terjadi interaksi yang
dekat antara apoteker, perawat dan dokter serta beban kerja IFRS dapat
berkurang.
2. Keterbatasan sistem kombinasi ini adalah terdapat kemungkinan
keterlambatan obat sampai ke pasien (obat resep individual dari IFRS)
kesalahan obat dapat terjadi (obat dari persediaan ruang) dan tempat yang
dibutuhkan cukup besar untuk menyimpan persediaan obat.

38
Alur sistem distribusi obat kombinasi persediaan di ruang dan resep
individual adalah dokter menulis resep untuk pasien dan resep tersebut di
interprestasikan oleh apoteker dan perawat.Pengendalian oleh apoteker
dilakukan untuk resep yang persediaan obatnya disiapkan di IFRS. Obat
kemudian diserahkan keruang perawatan penderita yang berada dibawah
kendali perawat untuk diberikan kepada penderita setiap kali waktu minum
obat.Pengendalian obat yang tersedia diruang perawat dilakukan oleh
perawat dan apoteker.Obat disiapkan dan diberikan kepada penderita oleh
perawat.

d. Sistem Unit dosis Tunggal (Single Unit Dose)


Sistem distribusi unit dosis adalah sistem penyampaian dan pengendalian
obat yang dikoordinasi oleh IFRS yang obatnya menggunakan wadah dalam
bentuk kemasan dosis unit tunggal yang siap pakai dalam jumlah persediaan
yang cukup untuk satu waktu tertentu. Sistem ini menitik beratkan pada
patient oriented.

Sistem distribusi unit dosis memiliki kelebihan dan keterbatasan yaitu:


1. Kelebihan sistem distribusi unit dosis adalah dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya kesalahan penggunaan obat karena pengecekan
medikasi di lakukan dua kali yakni obat yang yang telah diperiksa oleh
apoteker akan diperiksa kembali oleh perawat saat akan diberikan kepada
penderita, menghemat biaya pasien karena pasien hanya membayar obat
yang di konsumsinya saja, peniadaan duplikasi resep yang berlebihan,
perawat mempunyai waktu lebih banyak untuk merawat pasien,
pengurangan kerugian biaya obat yang tak terbayar pasien, mengurangi
kehilangan obat, menghemat ruangan diruang perawat, serta menurunkan
tingkat kehilangan profit.
2. Keterbatasan dari distribusi unit dosis ini salah satunya adalah
diperlukannya tenaga farmasi yang lebih banyak dan membutuhkan

39
modal awal yang besar terutama untuk pengemasan kembali dan rak
medikasi pada laci masing-masing pasien.
Alur sistem distribusi unit dosis dimulai dengan penulisan resep oleh
dokter untuk penderita, kemudian resep tersebut dibawa oleh perawat
kepada apoteker untuk diinterprestasikan.Apoteker memeriksa kebenaran
dan kerasionalan resep tersebut. Bila ada masalah, apoteker akan
menghubungi dokter penulis resep untuk membicarakan masalah tersebut
dan memberikan saran penggunaan obat lain sebagai alternatif. Apoteker
juga dapat memeriksa kembali ketepatan dosis obat yang diberikan dalam
resep. Jika resep telah dikaji dan sesuai maka resep tersebut akan
disiapkan di Instalasi Farmasi maupun depo farmasi dibawah
pengendalian apoteker. Obat disiapkan dalam bentuk unit dosis untuk
kebutuhan penggunaan 24 jam. Selanjutnya obat-obatan tersebut disusun
dalam kereta obat dan akan diperiksa oleh apoteker dan perawat, perawat
kemudian memberikan obat kepada penderita.

Keempat sistem distribusi tersebut dapat dioperasikan dengan tiga cara


yaitu sentralisasi, desentralisasi serta kombinasi keduanya.
a. Sistem Pelayanan terpusat (sentralisasi)
Sentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi yang
dipusatkan pada satu tempat Instalansi Farmasi.Pada sentralisasi
seluruh kebutuhan perbekalan farmasi setiap unit pemakai, baik
untuk kebutuhan individu maupun kebutuhan barang dasar ruangan,
disuplai langsung dari pusat pelayanan farmasi.
b. Sistem Pelayanan Terbagi (desentralisasi)
Desentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi yang
mempunyai cabang didekat unit perawatan penderita disuatu rumah
sakit tempat personel IFRS bekerja memberikan pelayanan klinik
dan non klinik.Cabang ini dikenal dengan istilah depo farmasi atau
satelit farmasi.
Keuntungan penerapan sistem desentralisasi antara lain:

40
1. Obat dapat tersedia untuk dikonsumsi pada penderita
2. Pengendalian obat dan akuntabilitas semakin baik.
3. Apoteker dapat berkomunikasi secara langsung dengan dokter
dan perawat.
4. Sistem distribusi obat berorientasi penderita sangat berpeluang
diterapkan untuk penyerahan obat kepada penderita melalui
perawat.
5. Apoteker dapat mengkaji kartu pengobatan penderita dan dapat
berkomunikasi dengan penderita secara efisien.
6. Informasi obat dari apoteker segera tersedia bagi dokter dan
perawat.
7. Waktu kerja perwat dalam distribusi dan penyiapan obat untuk
penderita berkurang karena tugas itu tidak lebih banyak
dilakukan personel IFRS desentralisasi.

Beberapa keterbatasan penerapan sistem desentralisasi antara lain:


1. Pengendalian inventarisasi obat dalam IFRS keseluruhan lebih
rumit karena lokasi IFRS cabang yang banyak untuk obat yang
sama, terutama obat yang jarang di tulis.
2. Komunikasi langsung dalam IFRS keseluruhan lebih sulit karena
anggota staf berpraktik dalam lokasi fisik yang banyak.
3. Mememerlukan lebih banyak peralatan, misalnya pustaka informasi
obat, Laminar air flow, lemari pendingin, rak obat dan alat untuk
meracik.
4. Jumlah dan keakutan penderita yang menyebabkan beban kerja
distribusi obat dapat melebihi kapasitas ruangan dan personel
dalam unit IFRS desentralisasi yang kecil.

c. Kombinasi Sentralisasi dan Desentralisasi


Biasanya hanya untuk dosis awal dan dosis dalam keadaan darurat yang
dilayani cabang IFRS (depo), dosis selanjutnya dilayani IFRS sentral.

41
Semua pekerjaan lain yang tersentralisasi seperti pengemasan dan
pencampuran sediaan intravena juga dimulai dari IFRS sentral.
Beberapa keuntungan sistem kombinasi antara lain:

1. Penderita menerima pelayanan IFRS 24 jam sehari dan penderita


membayar hanya obat yang dikonsumsi saja.
2. Semua dosis yang diperlukan pada unit perawat telah disiapkan IFRS,
sehingga perawat mempunyai waktu yang lebih banyak untuk
merawat pasien.
3. Mengurangi kesalahan, adanya sistem pemeriksaan ganda dengan
menginterprestasikan resep dokter oleh apoteker dan perawat
memeriksa obat yang disiapkan IFRS sebelum dikonsumsi pasien.
4. Pengurangan kerugian biaya obat yang tidak terbayarkan oleh pasien.
5. Penggunaan personel profesional dan non profesional yang lebih
efisien.
6. Menghemat ruangan di unit perawatan.
7. Meniadakan kehilangan dan pemborosan obat.
8. Apoteker dapat datang ke unit perawat ruang penderita, untuk
melakukan konsultasi obat membantu memberikan masukan kepada
tim, sebagai upaya yang diperlukan untuk perawatan penderita.
9. Pengurangan biaya total kegiatan yang berkaitan dengan obat.

2.2.9 Peranan Apoteker di Instalasi Farmasi Rumah Sakit


Peranan Apoteker di Instalasi Farmasi Rumah Sakit dapat dijabarkan mulai dari
peranannya sebagai penunjang penyempurnaan pelayanan terhadap penderita
sampai partisipasinya dalam pendidikan dan pelatihan sebagai berikut :

a. Peranan dalam Manajemen Farmasi Rumah Sakit


Peranan Apoteker farmasi rumah sakit adalah mengelola farmasi rumah sakit
secara terpadu dengan prosedur pengelolaan rumah sakit secara keseluruhan.
Namun demikian ia harus mengelola sendiri beberapa aspek tanggung jawab

42
administrasi dan managemen, Seperti: perencanaan dan kebijakan farmasi rumah
sakit secara terpadu, anggaran biaya, kontrol persediaan, pemeliharaan catatan dan
pembuatan laporan untuk pimpinan rumah sakit.

b. Peranan Dalam Pengadaan Perbekalan Farmasi


Perencanaan pengadaan kebutuhan perbekalan farmasi memerlukan kajian yang
cermat, tepat dan teliti berdasarkan pada stok yang ada serta dilakukan pengkajian
obat yang akan diadakan sesuai formularium.Apoteker harus mempunyai
kemampuan administrasi dan managerial dalam mengelolah data kebutuhan obat
yang kemudiandituangkan ke dalam rencana operasional yang digunakan dalam
anggaran serta berkonsultasi dengan Panitia Farmasi dan Terapi (PFT).

c. Peranan dalam Penyimpanan Obat


Pengaturan obat langsung dilakukan dan dikelola di bawah pengawasan dan
tanggung jawab Kepala IFRS.Hal ini perlu karena pentingnya pengaturan dan
pengendalian stok dan untuk mempersiapkan laporan dibuat pola sistem dan
prosedur kerja serta administrasi yang sesuai dan memenuhi syarat.

d. Peranan Dalam Distribusi Obat


Distribusi obat untuk pasien rawat jalan dan rawat inap dilaksanakan oleh IFRS.

e. Peranan Dalam Kontrol Kualitas Obat


Apoteker melakukan kontrol kualitas obat galenika, analitik, biologis,
mikrobiologis, fisika, dan kimia.

f. Peranan sebagai Pusat Informasi Obat


Apoteker rumah sakit mempunyai peranan yang esensial didalam memberikan
informasi mengenai obat dan bahan yang diperlukan oleh dokter, perawat,
paramedik, dan pasien, sebab dokter atau staf medik memerlukan informasi siap
pakai yaitu relevan, akurat, dan tepat pada tempat dan saat yang diperlukan untuk
mengambil keputusan agar pengobatan mencapai sasaran.

43
g. Peranan dalam Pendidikan
Apoteker farmasi rumah sakit ikut berperan dalam program pendidikan rumah
sakit, baik program pendidikan internal maupun eksternal.

h. Peranan dalam Komite Farmasi dan Terapi


Komite Farmasi dan Terapi adalah komite yang dibentuk oleh pimpinan rumah
sakit, merupakan penasehat bagi staf medik dan bahan penghubung antara staf
medik dan farmasi rumah sakit.Dalam Komite Farmasi dan Terapi, Apoteker
menduduki jabatan sebagai sekretaris.

2.3 Pusat Sterilisasi Perlengkapan Medik (PSPM-CSSD)


Pusat Sterilisasi Perlengkapan Medik atau sering dikenal dengan istilah CSSD
(Central Sterilized Supply Department) adalah departemen dalam rumah sakit
yang menyediakan bahan atau sediaan dan alat-alat steril secara profesional
kepada semua departemen terspesialisasi.Departemen ini khusus melayani ruang
perawatan, klinik.laboratorium khusus seperti Cardiac Catherization Laboratoy
(laboratorium katerisasi jantung) dan ruang operasi.
a. Tugas Central Sterilized Supply Department (CSSD)
Tugas utama dari Central Sterilized Supply Department (CSSD) adalah
menyediakan seluruh kebutuhan barang atau peralatan steril rumah sakit. Di
samping itu Central Sterilized Supply Department (CSSD) menerima pesanan
barang untuk disterilkan seperti alat-alat bedah dari instalasi bedah pusat serta
obat-obat steril dari sub bagian produksi.
b. Central Sterilized Supply Department (CSSD) dalam Organisasi Rumah
Sakit
Di beberapa rumah sakit, Central Sterilized Supply Department (CSSD) masuk
dalam divisi pembedahan sebagai bagian dari pelayanan keperawatan, sehingga
dalam bagian pembedahan terdapat Central Sterilized Supply Department
(CSSD), ruang operasi, ruang pemulihan dan unit pembedahan intensif.

44
Farmasi dan Central Sterilized Supply Department (CSSD) mempunyai
tanggung jawab bersama apabila farmasi:
1. Menyiapkan larutan dalam jumlah besar/banyak dan memindahkannya ke
Central Sterilized Supply Department (CSSD) untuk dikemas dalam botol
kemudian disterilisasi.
2. Menyiapkan dan mengemas larutan untuk disterilisasi oleh Central
Sterilized Supply Department (CSSD).

3. Menyiapkan larutan pekat yang akan diencerkan, dikemas dan


disterilisasi di Central Sterilized Supply Department (CSSD).

4. Menyiapkan campuran bahan-bahan kimia dalam keadaan kering yang


akan dilarutkan dengan volume tertentu air suling kemudian dikemas dan
disterilisasi oleh Central Sterilized Supply Department (CSSD).

2.4 Penanganan Limbah Rumah Sakit


Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah
sakit dalam bentuk padat, cair dan gas yang dapat mengandung mikroorganisme
patogen. Bersifat infeksius, bahan kimia beracun dan sebagian bersifat radioaktif.
a. Sumber limbah rumah sakit berasal dari:
1. Unit pelayanan medis (rawat inap, rawat jalan, unit gawat darurat, rawat
intensif, haemodialisa, kamar jenazah dan bedah sentral).
2. Unit Penunjang medis ( laboratorium, radiologi, farmasi, dapur gizi,
sterilisasi, anaestesi, kamar operasi).
3. Unit penunjang non medis ( logistik, laundry, rekamedis, sarana dan
prasarana fisik, farmasi, mekanikal dan elektrikal, kesekertariatan,
kesehatan lingkungan).
b. Jenis limbah rumah sakit
1. Limbah padat, yaitu semua limbah rumah sakit yang berbentuk padat
terdiri dari :

45
a) Limbah padat non medis ( limbah dapur, limbah perkantoran dan
limbah taman dan halaman.
b) Limbah padat medis ( limbah infeksius, limbah patologi dan anatomi,
benda tajam, limbah farmasi, sitotoksis, kimia, radioaktif dan limbah
yang mengandung logam berat.
2. Limbah cair, yaitu semua limbah cair termasuk (WC, laundry dan
dapur).
3. Limbah gas, yaitu semua limbah yang berbentuk gas termasuk hasil
pembakaran pada: incenerator, dapur, generator, anestesi dan obat
sitotoksik.
c. Jenis wadah limbah medis padat sesuai kategorinya, yaitu:
1. Radioaktif warna merah
2. Sangat infeksius (limbah infeksius, patologi dan anatomi), warna kuning.
3. Sitotoksis warna ungu
4. Limbah kimia dan farmasi warna coklat.
d. Penatalaksanaan limbah rumah sakit
1. Limbah padat; dibakar di incenerator untuk limbah infeksius, sedangkan
untuk limbah rumah tangga bisa dibuang langsung seperti biasa.
2. Limbah cair; menggunakan Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL)
Dengan cara dibuang seperti biasa hanya saja dibiarkan dahulu dengan air
mengalir untuk beberapa saat dengan tujuan pengenceran agar limbah yang
dibuang tidak meracuni air pembuangan yang nantinya ada kemungkinan
digunakan oleh masyarakat.
3. Limbah gas; dengan lemari asam, yaitu dengan cara dibuang ke udara bebas
menggunakan cerobong asap yang setinggi mungkin untuk tujuan apabila
gas tersebut sampai dibawah konsentrasinya sudah kecil sehingga
bahayanya bisa diminimalisir.

46
BAB 3
TINJAUAN KHUSUS

3.1. Rumah Sakit Umum Gunung Jati Cirebon

3.1.1 Sejarah Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati

Pada tahun 1919 dewan kota mengajukan rencana pembangunan rumah sakit.
Peletakan batu pertama dilaksanakan pada tanggal 19 Maret 1920 yang terletak di
jalan Kesambi. Pada tanggal 31 Agustus 1921 Rumah sakit selesai di bangun
sekaligus diresmikan oleh De Buregermeester Van Cheribon J. H. Johan.
Pembangunaan Rumah sakit ini Menghabiskan biaya sebesar f.544.000,- (lima
ratus empat puluh empat gulden) yang diperoleh dari Gemeente Van Cheribon
ditambah dana dari Pabrik Gula sewilayah Cirebon serta dana para Dermawan.

1 September 1921 adalah hari pertama kali rumah sakit beroperasi sebagai
Gemeemtelijk Ziekenhuis dengan nama “ORANJE Ziekenhuis” “ORANJE” pada
saat itu mempunyai kapasitas 133 tempat tidur yang terdiri Ruang Direktur,
Ruang Tata Usaha, Ruang Portir, Ruang Apotek, Ruang poliklinik, Ruang
Laboratorium, Ruang Kamar Bedah, Ruang Dapur, Ruang Cucian, Ruang
Generator Listrik, Ruang Kamar Mayat, Ruang Zuter-huis, Ruang Hooftzuster-
huis, Asrama putri, Ruang Rawat 133 tempat tidur yang terbagi menjadi 7 tempat
tidur kelas 1, 16 tempat tidur kelas 2, 24 tempat tidur kelas 3, 56 tempat tidur
kelas 4, 16 tempat tidur untuk penyakit setengah menular dan 16 tempat tidur
untuk penyakit menular, dibawah pimpinan Dr. E. GOTTLIEB, sebagai kepala
rumah sakit yang pertama.

47
Menjelang pendudukan Jepang ada perubahan baik bentuk fisik bangunan
maupun susunan ruangan, antara lain diadakannya kamar bersalin, kamar
rontgen/fisioterapi, asrama siswa kesehatan dan ruang administrasi.
Pada tanggal 15 Maret 1942 nama rumah sakit diubah dari rumah sakit
“ORANJE” menjadi rumah sakit “KESAMBI”. Sejak tahun 1952 kapasitas
tempat tidur bertambah menjadi 250 buah yang terbagi atas kelas I, II, III, IV dan
IVb.

Pada tanggal 8 November 1975 nama Rumah Sakit diubah menjadi RSU Gunung
Jati dengan SK DPRD No. 30/DPRD XI/75, selanjutnya pada tanggal 22 Februari
1979 rumah sakit ditingkatkan kelasnya menjadi kelas C dengan SK Menteri
Kesehatan RI No 41/Menkes/SK/II/79 dan pada tanggal 21 Januari 2987
ditingkatkan lagi menjadi rumah sakit kelas B, dengan SK Menteri Kesehatan RI
No 41/Menkes/SK/I/87, terakhir pada tanggal 30 Januari 1989 rumah sakit
ditetapkan menjadi RSUD Gunung Jati Kotamadya DT II Cirebon dengan SK
Departemen Dalam Negeri RI No 061/350/SJ. Sejak tanggal 1 April 1996 dengan
peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 15 tahun 1995 RSUD Gunung Jati Kota
Cirebon ditetapkan sebagai “Unit Swadana Daerah”.

Dalam upaya peningkatan pelayanan maka pada tahun 1997 dengan Surat
keputusan Menteri Kesehatan Nomor YM 02.03.3.5.5237 RSUD Gunung Jati
Kota Cirebon ditetapkan dengan status “Akreditasi Penuh”.

Pada tanggal 15 Februari 1998 berdasarkan rekomendasi dari Departemen


Kesehatan melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
153/Menkes/SK/II/1998 RSUD Gunung Jati Kota Cirebon ditetapkan menjadi
“Rumah Sakit Kelas B Pendidikan” yang peresmiannya dilakukan oleh Gubernur
Jawa Barat tanggal 21 April 1999.

Dengan terbitnya Undang-Undang No 1 tahun 2004 tentang Badan Layanan


Umum (BLU) dan dengan Keputusan Walikota Nomor 445/Kep

48
359-DPPKD/2009 pada tanggal 14 Desember 2009 RSUD Gunung Jati Kota
Cirebon resmi ditetapkan sebagai rumah sakit dengan pola Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD).
Dalam rangka menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian
Bayi (AKB), maka perlu diambil kebijakan yang dilaksanakan melalui
penyelenggaraan Program Pelayanan Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi di RSUD
Gunung Jati Kota Cirebon. Dibuatlah pedoman pelaksanaan pada tanggal 1
Desember 2010 berdasarkan Keputusan Direktur RSUD Gunung Jati Kota
Cirebon Nomor : 441.8/KEP.387.e – RSUD.GJ/2010 tentang Pemberlakuan
Program Pelayanan Rumah Sakit Sayang Ibu Dan Anak (RSSIB) di RSUD
Gunung Jati Kota Cirebon. Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi (RSSIB) adalah
rumah sakit pemerintah maupun swasta, umum maupun khusus yang telah
melaksanakan 10 Langkah Menuju Perlindungan Ibu dan Bayi Secara Terpadu
dan Paripurna.

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gunung Jati Cirebon terletak di Jl. Kesambi
No. 56 Kota Cirebon dan menempati areal tanah seluas 66.440 m² dengan luas
bangunan 22.037 m².

3.1.2 Visi, Misi dan Moto RSUD Gunung Jati Cirebon


a. Visi
Visi Rumah Sakit Umum Daerah ( RSUD ) Gunung Jati adalah ”Menjadikan
Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Kota Cirebon sebagai pusat pelayanan
dan pendidikan kesehatan berkualitas sewilayah Cirebon tahun 2015”.

b. Misi
Misi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gunung Jati adalah :
1. Meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.
2. Meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan
keterampilan sumber daya rumah sakit baik medis, paramedis maupun non
medis.

49
3. Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan
prasarana rumah sakit.
4. Meningkatkan fungsi rumah sakit sebagai sarana
pendidikan.

c. Moto
Moto pelayanan RSUD Gunung Jati yaitu Cepat, Ramah dan Ilmiah (Ceria).

3.1.3. Klasifikasi RSUD Gunung Jati Cirebon


Berdasarkan kepemilikan, RSUD Gunung Jati diklasifikasikan sebagai rumah
sakit pemerintah, karena rumah sakit ini dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah
Kota Cirebon. Berdasarkan tipe pelayanan diklasifikasikan sebagai Rumah Sakit
Umum karena menyelenggarakan pelayanan medis dasar, spesialis dan
subspesialis.

Berdasarkan tingkat pelayanan, pada tanggal 22 Februari 1979, status rumah sakit
ditingkatkan kelasnya menjadi rumah sakit kelas C sesuai Surat Keputusan
Menteri Kesehatan No. 41/Menkes/SK/II/79, lalu pada tanggal 21 Januari 1987
ditingkatkan lagi menjadi rumah sakit kelas B berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kesehatan No. 41/Menkes/SK/I/87. Pada tanggal 12 November 1998
berubah kembali menjadi RSUD Gunung Jati kelas B Pendidikan berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 445.03-1023 yang diresmikan oleh
Gubernur Jawa Barat pada tanggal 21 April 1999, sehingga rumah sakit dapat
digunakan sebagai sarana pendidikan dan pelatihan bagi mahasiswa kedokteran,
keperawatan, farmasi dan lainnya.

3.1.4. Struktur Organisasi RSUD Gunung Jati Cirebon


Berdasarkan Peraturan Walikota Cirebon Nomor 55 tahun 2008 Tentang
Organisasi dan Tata Kerja RSUD Gunung Jati Kota Cirebon, RSUD Gunung Jati
dalam pelaksanaan operasionalnya dipimpin oleh seorang Direktur yang
bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah. Direktur dibantu

50
oleh tiga Wakil Direktur, yaitu Wakil Direktur Pelayanan Medis dan
Keperawatan, Wakil Direktur Penunjang Medis dan Wakil Direktur Umum dan
Keuangan. Pembantu Wakil Direktur adalah para Kepala Bidang.
Selain itu terdapat Komite Profesi yang terdiri dari Komite Medis dan Komite
Keperawatan, yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur.

3.1.5. Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)


Pelayanan rumah sakit yang bermutu harus menjamin kepuasan rata-rata
masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan. Penyelenggaraan pengelolaan
pelayanan umum yang diberikan harus sejalan dengan kemampuan sosial ekonomi
masyarakat serta praktek bisnis yang sehat agar kelangsungan pelayanan dapat
terus ditingkatkan. Pendelegasian oleh lembaga/pemerintah daerah yang
berwenang sangat diperlukan dalam pengelolaan keuangan rumah sakit yang
mandiri seperti ciri-ciri yang melekat pada Badan Layanan Umum (BLU).

Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 23 Tahun 2005 tentang


Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, menyebutkan bahwa Badan
Layanan Umum (BLU) adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang atau
jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan
kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) memberikan fleksibilitas berupa
keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Rumah sakit yang
merupakan salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) adalah intansi
pemerintah daerah yang merupakan bagian dari pemerintah daerah yang
bertanggungjawab dalam bidang pelayanan kesehatan dapat ditunjuk sebagai
suatu Badan Layanan Usaha Daerah (BLUD).

51
Untuk mencapai sasaran pelayanan seperti disebutkan di atas, maka RSUD
Gunung Jati Cirebon telah ditetapkan sebagai Badan Layanan Umum Daerah
(BLUD) melalui Keputusan Walikota Cirebon No. 445/kep. 359-DPPKD/2009
tentang Penetapan Penyelenggaraan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum Daerah (PPK-BLUD) pada RSUD Gunung Jati Cirebon.

3.1.6. Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS)


Rumah sakit sebagai suatu organisasi dengan sumber daya manusia di dalamnya,
harus dikelola sedemikian rupa sehingga output yang dihasilkan sesuai dengan
input atau rencananya. Personil yang tersedia dan terlibat dalam suatu bidang
harus sesuai kualifikasi pekerjaannya. Hal ini penting agar proses organisasi
menjadi efektif dan efisien.

Dalam menghadapi tuntutan masyarakat yang menghendaki agar pelayanan rumah


sakit semakin baik, dibutuhkan suatu sarana yang memadai yang mampu
mengelola proses pelayanan secara integral dan cepat dari satu unit dengan unit
lainnya. Pelayanan farmasi rumah sakit yang merupakan salah satu kegiatan di
rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu, harus mampu
menggunakan sarana-sarana tersebut bagi pelayanan kefarmasian yang lebih baik.

Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) adalah sarana interkoneksi


komputerisasi antara satu unit dengan unit lainnya dalam manajemen pelayanan
kesehatan di Rumas Sakit Umum Daerah Gunung Jati Cirebon. Dalam pelayanan
kefarmasian rumah sakit, SIMRS ini mampu meningkatkan validitas dan
memperpendek waktu layanan, misalnya ketepatan pasien, pemberian harga resep
yang cepat dan terintegrasi dengan depo-depo farmasi lainnya.

3.1.7. Pelayanan RSUD Gunung Jati Cirebon


3.1.7.1 Pelayanan Medik

52
a. Jenis pelayanan medik berdasarkan jenis spesialisasinya yang diselenggarakan
oleh rumah sakit berupa pelayanan spesialistik dan subspesialistik terbatas. Jenis
pelayanan medik tersebut meliputi :

1) Jenis pelayanan spesialistik : penyakit dalam, kesehatan anak, bedah,


kebidanan dan penyakit kandungan, jantung, paru-paru, mata, telinga
hidung tenggorokan (THT), syaraf, kulit kelamin, jiwa, anestesi, gigi dan
mulut, rehabilitasi medik, laboratorium dan radiologi.
2) Jenis pelayanan subspesialistik : bedah urologi, bedah ortopedi, bedah
plastik dan rekonstruksi, bedah digestif, bedah syaraf, nefrologi dan
hemodialisa.

b. Jenis pelayanan medik berdasarkan dirawat tidaknya penderita, meliputi :


1) Pelayanan pasien Rawat Jalan
Poliklinik rawat jalan yang memberikan pelayanan bagi pasien yang tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit. Pelayanan di poliklinik rawat jalan
dilakukan oleh dokter umum dan dokter spesialis, yang meliputi poli bedah
umum, poli anak, bedah ortopedi, bedah syaraf, penyakit dalam, penyakit
jantung, paru-paru, kandungan, keluarga berencana, syaraf, jiwa, mata, kulit
kelamin, THT, rehabilitasi medik, PTRM (Program Terapi Ruatan Methadon)
dan HIV, gigi dan mulut.

2) Pelayanan Pasien Rawat Inap


Fasilitas pelayanan pasien rawat inap terbagi dalam kelas I, II, dan III, ruang
ICU (Intensive Care Unit), ICCU (Intensive Central Care Unit), ruang VIP
(Very Important Person), ruang Super VIP, ruang bedah atau operasi (OK-
CMU/Central Medical Unit), ruang anak, ruang perinatologi. Disamping itu,
terdapat pula pelayanan khusus kelas utama yaitu pelayanan kepada penderita
oleh dokter yang khusus dipilih oleh penderita sendiri, untuk memberikan
pelayanan secara pribadi (private patient), yang berupa pelayanan khusus kelas

53
utama rawat jalan, pelayanan khusus kelas utama rawat inap, apotek buka 24
jam, laboratorium, radiologi, bedah sehari dan hemodialisis.

3.1.7.2 Pelayanan Non Medik


Pelayanan dan Kinerja Instalasi Gizi, Instalasi Pemeliharaan Sarana Rumah
Sakit, Instalasi Kamar Jenazah.

Sesuai Keputusan Direktur Rumah Sakit Umum Gunung Jati Cirebon No. 440 /
Kep .323 h - RSUD GJ / 2010 tentang Penetapan Jenis Pelayanan yang ada
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gunung Jati Cirebon meliputi:
a. Pelayanan Dokter Spesialis terdiri dari :
1. Bedah :
a) Bedah Umum
b) Bedah Syaraf
c) Bedah Urologi
d) Bedah Ortopedi
e) Bedah Mulut
f) Sub Spesialis
g) Bedah anak
h) Bedah Tulang Belakang
2. Non bedah
a) Penyakit Dalam
b) Jantung dan Pembuluh Darah
c) Paru
d) Syaraf
e) Mata
f) THT
g) Jiwa dan Kulit Kelamin
3. Maternal dan Perinatal
a) Kandungan dan Kebidanan
b) Anak

54
4. Spesialis Gigi
a) Ortodenti dan Prostodenti
b) Konservasi Gigi
5. Penunjang
a) Radiologi
b) Patologi Klinik dan Patologi Anatomi
c) Anestesi
d) Kedokteran Kehakiman
e) Rehabilitasi Medis
f) PTRM dan HIV

b. Fasilitas Pelayanan
Kapasitas tempat tidur yang ada di RSUD Gunung Jati berjumlah 325 buah.
Fasilitas pelayanan di RSUD Gunung Jati Cirebon antara lain :
1. Rawat jalan atas dan bawah.
2. Rawat jalan khusus One Day Care (ODC)
3. Hemodialisa kapasitas 14 tempat tidur
4. Rawat inap yaitu pelayanan bagi pasien yang memerlukan perawatan
5. Rawat intensive ( ICU, ICCU dan NICU)
6. Gawat darurat 24 jam (dengan 2 kamar operasi)
7. Klinik seroja (program terapi rumatan metadon dan pelayanan terapi
ARV)
8. Bedah sentral ( 7 kamar operasi)
9. Penunjang medis (Rontgen, USG, CT Scan,EEG, EKG, Patologi Klinik,
Patologi Anatomi, Pelayanan Darah, Farmasi, Treadmil, Echo
Cargiography
10. Medical Check Up

3.2. Instalasi Farmasi RSUD Gunung Jati Cirebon


3.2.1. Profil Instalasi Farmasi RSUD Gunung Jati Cirebon

55
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) Gunung Jati berada di bawah Wakil
Direktur Penunjang Medis, dipimpin oleh seorang Apoteker yang bertanggung
jawab langsung kepada Direktur rumah sakit.
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Gunung Jati memiliki Depo-Depo sebagai loket
pelayanan kefarmasian.
1. Depo Farmasi Rawat Jalan.
Depo Farmasi Rawat Jalan adalah depo farmasi yang melayani kebutuhan obat,
alkes untuk semua pasien rawat jalan ( umum, BPJS, kontraktor ) dengan tujuan
memberikan pelayanan obat/alkes untuk pasien rawat jalan secara cepat, tepat
dan aman. Depo farmasi rawat jalan terbagi menjadi dua yaitu rawat jalan atas dan
rawat jalan bawah. Pembagian ini berdasarkan poliklinik yang ada di lantai dasar
dan lantai dua.
Pedoman pemberian obat mengacu pada :
a. Formularium Rumah Sakit
b. Formularium Nasional
Alur atau prosedur pengambilan resep berdasarkan Standar Prosedur Operasional
(SPO) RSUD Gunung Jati Kota Cirebon tahun 2010 adalah sebagai berikut:
a) Pasien umum di depo rawat jalan.
1) Dokter menerbitkan resep berupa permintaan obat/alkes ke depo farmasi
rawat jalan.
2) Resep di terima oleh petugas farmasi kemudian pasien di beri nomor urut,
resep di baca lalu dimasukan ke sistem komputer dan di informasikan
kepada pasien/keluarga pasien.
3) Setelah pasien setuju petugas farmasi melakukan pencetakan nota untuk
pasien yang lunas, pasien/keluarga pasien membawa nota rangkap 3 untuk
pembayaran di kasir rawat jalan.
4) Pasien yang melakukan pembayaran cash/lunas maka nota asli di simpan
di kasir dan tembusan kwitansi, tembusan nota 1 dan ke 2 di serahkan
kepada petugas farmasi dan keluarga pasien dikasih kwitansi aslinya.
5) Petugas farmasi melakukan pemberian etiket, peracikan dan pengemasan
sesuai dengan resep dokter.

56
6) Setelah dilakukan pengecekan ulang dan dinyatakan benar maka petugas
farmasi memanggil pasien sesuai nomor urut tersebut, kemudian petugas
farmasi menyerahkan obat/alkes kepada pasien/keluarga pasien disertai
informasi secukupnya.
7) Resep asli, tembusan kwitansi dari kasir, tembusan nota 1 dan 2, disimpan
di arsipkan di instalasi farmasi.

b) Pasien BPJS di depo rawat jalan.


1) Petugas farmasi di depo rawat jalan menerima resep obat/alkes dari dokter,
kemudian resep di baca dan dilakukan verifikasi oleh petugas
farmasi/petugas alkes.
2) Obat/alkes yang di luar formularium dibuat salinan resep atau dicarikan di
apotek lain.
3) Petugas farmasi melakukan pemberian etiket, peracikan dan pengemasan
sesuai resep dokter.
4) Setelah dilakukan pengecekan ulang dan dinyatakan benar maka petugas
farmasi memanggil pasien sesuai nomor urut tersebut, kemudian petugas
farmasi menyerahkan obat/alkes disertai informasi secukupnya.
5) Resep asli, print out komputer tembusan nota 1 dan 2, di simpan dan di
arsipkan di instalasi farmasi.

c) Kontraktor di depo rawat jalan.


1) Petugas farmasi di depo rawat jalan menerima resep kontraktor dari
dokter.
2) Pasien diberi nomor urut, di baca oleh petugas farmasi.
3) Petugas farmasi melakukan pemberian etiket, peracikan dan pengemasan
sesuai dengan resep dokter.
4) Setelah dilakukan pengecekan ulang dan dinyatakan benar maka petugas
farmasi memanggil pasien sesuai dengan nomor urut tersebut
kemudianopetugas farmasi menyerahkan obat/alkes beserta nota rangkap 3

57
yang harus ditanda tangani oleh pasien/keluarga pasien disertai informasi
secukupnya.
5) Nota asli dan salinan resep diserahkan ke bagian keuangan sedangkan
resep asli, tembusan nota 1 dan 2 disimpan sebagai arsip instalasi farmasi.

2. Depo Farmasi Rawat Inap.


Pelayanan farmasi di depo rawat inap adalah depo farmasi yang melayani
kebutuhan obat/alkes untuk semua pasien rawat inap ( umum, BPJS dan
Kontraktor ). Dengan tujuan memberikan pelayanan obat/alkes untuk pasien rawat
inap secara cepat, tepat, dan aman.
1. Pedoman pemberian obat mengacu pada :
a) Formularium Rumah Sakit
b) Formularium Nasional
2. Alur atau prosedur pengambilan resep berdasarkan Standar Prosedur
Operasional (SPO) RSUD Gunung Jati Kota Cirebon tahun 2010 adalah
sebagai berikut:
a) Resep pasien umum di depo rawat inap.
1) Dokter menerbitkan resep/menulis di KIO (Kartu Instruksi Obat)
berupa permintaan obat/alkes ke depo Farmasi rawat inap.
2) Resep/KIO diterima oleh petugas farmasi kemudian di baca di
masukan ke sistem komputer SIMRS dan di informasikan kepada
pasien .
3) Petugas farmasi mencetak notanya sesuai resep/KIO, kemudian
petugas farmasi menyiapkan obatnya sesuai yang ada pada
resep/KIO.
4) Petugas farmasi melakukan pemberan etiket, peracikan dan
pengemasan sesuai dengan resep/KIO dokter.
5) Pasien pulang yang akan melakukan pembayaran cash/lunas, maka
kwitansi asli dan tembusan dari kasir beserta nota tembusan nota 1
dan 2 diserahkan kepada petugas farmasi.

58
6) Setelah di lakukan pengecekan ulang dan dinyatakan betul maka
petugas farmasi menyerahkan obat/alkes dan kwitansi asli di
serahkan kembali ke pasien/keluara pasien di sertai informasi
secukupnya.
7) Resep asli / KIO untuk pasien yang sudah pulang nota tembusan
1,2 dan bukti kwitansi tembusan lunas dari kasir di simpan dan
diarsipkan di instalasi farmasi.

b) Kontraktor di depo rawat inap


1) Pelayanan pasien kontraktor rawat inap dilaksanakan untuk pemberian
obat/alkes berdasarkan resep dari dokter.
2) Resep di terima oleh petugas farmasi kemudian di baca di masukan ke
sistim komputer dan dilakukan pencetakan nota.
3) Petugas farmasi melakukan pemberian etket, peracikan dan pengemasan
sesuai dengan resep dokter.
4) Setelah dilakukan pengecekan ulang dan dinyatakan benar maka
pasien/keluarga pasien menandatangani nota kemudian petugas farmasi
menyerahkan obat/alkes kepada pasien dan di sertai informasi secukupnya.

3. Depo Farmasi Instalasi Gawat Darurat (IGD)


Pelayanan farmasi di instalasi gawat darurat adalah Depo farmasi yang melayani
kebutuhan obat, alat kesehatan untuk keperluan tindakan semua pasien ( Umum,
BPJS, Kontraktor ) yang dilakukan oleh dokter di instalasi gawat darurat dengan
tujuan memberikan pelanyanan obat/alat kesehatan cepat, tepat, dan aman.
1. Pedoman pemberian obat mengacu pada:
a) Formularium Rumah Sakit.
b) Daftar obat E – Katalog.
c) Daftar obat Formularium Nasional.

59
2. Alur atau prosedur pengambilan resep berdasarkan Standar Prosedur
Operasional (SPO) RSUD Gunung Jati Kota Cirebon tahun 2010 adalah
sebagai berikut:
a) Pasien Umum di depo IGD.
1) Dokter menerbitkan resep berupa permintaan obat alkes ke depo
farmasi di IGD untuk penanganan/tindakan medis pasien di IGD.
2) Resep diterima oleh petugas farmasi, kemudian dibaca dimasukan
ke sistem computer dan diinformasikan kepada / keluarga pasien.
3) Pada pasien yang melakukan pembayaran tunda/bon pasien /
keluarga pasien menandatangani pada lembar nota, kemudian nota
tembusan 2 ( kuning ) di bawa oleh pasien untuk diserahkan kepada
petugas di ruangan perawatan, nota asli diserahkan ke bagian
keuangan sedangkan tembusan 1 dan resep asli disimpan sebagai
arsip instalasi farmasi.

b) Pasien BPJS di depo IGD


1) Petugas/perawat IGD mengambil obat dan alkes yang dibutuhkan
untuk pasien, dan di catat oleh petugas depo farmasi IGD di buku
sementara pengeluaran obat dan alkes.
2) Setelah pasien ditangani, keluarga pasien/petugas IGD
menyerahkan KIO ( Kartu Interuksi Obat ), yang berisi resep dari
dokter IGD.
3) Petugas depo farmasi kemudian menginput obat dan alke ke
SIMRS dan diterbitkan nota setelah itu nota tembusan 2 dibawa
oleh pasien/keluarga pasien untuk diserahkan ke petugas di ruangan
perawatan, nota asli diserahkan ke bagian keuangan sedangkan
tembusan 1 di simpan sebagai arsip instalasi farmasi.
4) Petugas farmasi mencatat di kartu pengambilan KIO untuk pasien
BPJS yang masuk katagori paket.
5) Petugas farmasi melakukan pemberian etiket, pengemasan sesuai
dengan KIO.

60
6) Setelah dilakukan pengecekan ulang dan dinyatakan benar maka
petugas farmasi menyerahkan obat/alkes ke pasien/keluarga pasien
di sertai informasi secukupya.

Pelayanan Farmasi Di Kamar Operasi Instalasi Gawat Darurat.


Pelayanan farmasi di kamar oprasi gawat darurat adalah: Depo farmasi
yang melayani kebutuhan obat, alkes untuk keperluan tindakan semua
pasien operasi ( umum, BPJS, Kontraktor ) yang dilakukan oleh dokter
spesialis. Tujuannya untuk menunjang kebutuhan obat/alkes untuk
tindakan pasien oprasi secara cepat, tepat, sesuai dengan kebutuhan
sebelum/pada saat oprasi dengan prosedur sebagai berikut:
a) Petugas IGD mengajukan permohonan kebutuhan obat/alkes untuk
keperluan oprasi ke depo farmasi IGD dengan menuliskan dibuku
pengeluaran yang sudah disiapkan oleh petugas farmasi dan
menuliskan nama pasien lalu obat/alkes yang di ambilpun dicatat.
b) Keluarga pasien menyerahkan resep ke bagian depo farmasi.
c) Petugas farmasi akan memverifikasi resep tersebut mana obat/alkes
yang sudah diambil dan mana yang belum dengan mencocokan
dibuku pengeluaran.
d) Petugas farmasi memasukan data obat/alkes ke komputer dan
mencetak notanya untuk dibawa ke bank sebelah depo farmasi.

4. Pelayanan Farmasi Di Kamar Operasi Central Medical Unit (OK-CMU )


Pelayanan farmasi di kamar operasi Central Medical Unit adalah: depo farmasi
yang melayani kebutuhan obat/alkes untuk keperluan tindakan semua pasien
operasi ( Umum, BPJS, Kontraktor ) yang dilakukan oleh Dokter Spesialis.
Tujuannya menunjang kebutuhan obat/alkes untuk tindakan pasien operasi secara
cepat, tepat, sesuai dengan kebutuhan pada saat operasi dengan prosedur
berdasarkan Standar Prosedur Operasional (SPO) RSUD Gunung Jati Kota
Cirebon tahun 2010 adalah sebagai berikut:

61
1. Petugas OK-CMU mengajukan permohonan kebutuhan obat/alkes untuk
keperluan operasi ke depo farmasi kamar operasi CMU dengan
menggunakan buku bantu pengeluaran yang sudah disediakan petugas
farmasi di depo farmasi OK-CMU.
2. Petugas farmasi memasukan data obat/alkes ke komputer untuk diserahkan
ke petugas kamar operasi.
3. Petugas kamar operasi melaporkan pemakaian obat/alkes setelah operasi
kepada petugas farmasi. Apabila ada obat/alkes yang masih tersisa maka
petugas farmasi memasukan data ulang ke komputer untuk menerbitkan
nota retur, kemudian nota tembusan 2 ( kuning ) diserahkan kepada
petugas kamar operasi untuk diserahkan kepada petugas di ruangan
perawatan. Nota asli diserahkan ke bagian keuangan sedangkan tembusan
1 disimpan sebagai arsip instalasi farmasi.

5. Depo PTRM ( Program Terapi Rumatan Metadon )


1. Pelayanan obat antiretroviral
Alur pelayanan berdasarkan Standar Prosedur Operasional (SPO) RSUD
Gunung Jati Kota Cirebon tahun 2010 adalah sebagai berikut:
a) Petugas Farmasi di Klinik Seroja menerima resep dari dokter,
kemudian resep dibaca.
b) Obat disiapkan untuk pemakaian 1 (satu) bulan, diberi etiket dan
dikemas dalam kantong obat.
c) Obat ARV yang sudah dikeluarkan dicatat dalam buku pengeluaran
harian dan ditulis dalam kartu stok obat.
d) Setelah dilakukan pengecekan ulang dan dinyatakan benar maka
petugas Farmasi menyerahkan obat disertai informasi secukupnya.
e) Tiap kali ada mutasi (masuk atau keluar) obat ARV guna memenuhi
kebutuhan terapi ARV, petugas farmasi harus mencatat dalam kartu
stok, buku harian pengeluaran obat dan “Formulir Monitoring
Pemberian Obat ARV kepada pasien”. Data kartu stok obat

62
merupakan data input penyusunan evaluasi data dan penyusunan
laporan.

2. Pelayanan Dispensing Metadon Syrup.


Dispensing Metadon adalah: pemberian metadon sirup kepada pasien
berdasarkan permintaan dokter PTRM, tujuannya agar pasien mendapat
dosis/takaran metadon yang tepat sesuai dengan permintaan dokter dengan
prosedur berdasarkan Standar Prosedur Operasional (SPO) RSUD Gunung Jati
Kota Cirebon tahun 2010 adalah sebagai berikut:
a) Petugas farmasi menyiapkan metadon sirup yang sudah terpasang
dispenser dan menyiapkan syrup pemanis yang telah di encerkan.
b) Petugas farmasi menerima Formulir permintaan dari petugas PTRM
untuk di serahkan langsung kepada pasien/keluarga pasien.
c) Petugas farmasi membaca dan mencocokan jumlah dosis yang tertulis.
d) Petugas farmasi melakukan pengkonversian atau merubah dosis dari
mg ke ml dengan alat ukur dispenser sesuai dengan dosis yang di minta.
e) Amati kembali angka yang tertera di dispenser dengan dosis yang
diminta.
f) Tampung metadon sirup dari dispenser tersebut dengan gelas kemudian
di campur sirup pemanis secukupnya.
g) Berikan metadon sirup dengan hati-hati jangan sampai tumpah, awasi
saat pasien minum metadon sirup dan yakinkan bahwa pasien menelan
sirup tersebut dengan mengajak bicara pasien.
h) Pasien wajib menandatangani formulir permintaan dan formulir
penggunaan metadon harian.
i) Petugas farmasi mencatat jam berapa pada saat pasien meminum
metadon sirup tersebut.
j) Petugas farmasi mencatat semua pengeluaran metadon sirup pada
formulir rekapitulasi harian.

63
3. Pelayanan Dispensing Metadon Syrup yang
Dimuntahkan
Muntah merupakan efek yang sering terjadi pada terapi rumatan Metadon,
terutama pada pasien yang belum punya toleransi atau dalam kondisi fisik
kurang sehat akibatnya pasien bisa kehilangan dosis yang telah diminum.

Tujuaanya menjamin bahwa pemberian dosis metadon yang ke 2 kalinya tidak


menyebabkan over dosis/intoksinasi pada pasien dengan prosedur sebagai
berikut :
a) Petugas farmasi menerima formulir B ( formulir permintaan ) yang
sudah di beri keterangan ” pengganti muntah ” dari petugas PTRM
( perawat ) untuk di serahkan langsung kepada petugas farmasi.
b) Petugas farmasi membaca dan mencocokan jumlah dosis yang tertulis
pada formulir B .
c) Petugas farmasi melakuakan pengkonversian / merubah dosis dari mg
ke ml dengan alat ukur dispenser sesuai dengan dosis yang di minta
pada formulir B.
d) Amati kembali angka yang tertera di dispenser dengan dosis sesuai
yang diminta dalam formulir B.
e) Tampung metadon sirup dari dispenser tersebut dengan gelas
kemudian di campur sirup pemanis secukupnya.
f) Berikan metadon siruptersebut dengan hati-hati jangan sampai
tumpah, awasi saat-saat pasien minum metado sirup dan yakinkan
bahwa pasien menelan sirup tersebut dengan mengajak bicara pasien
g) Pasien wajib menandatangani B ( formulir permintaan ) dan formulir
penggunaan metadon harian
h) Petugas Farmasi mencatat jam berapa saat pasien minum metadon
sirup tresebut
i) Petugas farmasi mencatat semua pengeluaran metadon sirup pada
formulir rekapitulasi harian

64
6. Depo Farmasi Produksi
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati juga memproduksi
sendiri dengan jenis tertentu seperti: membuat sediaan salep klorampenicol 2%,
merubah bentuk sediaan (pengenceran), membuat aquadest steril dan pengemasan
kembali sediaan Farmasi steril atau non steril untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan di rumah sakit dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan di RS dalam membuat, merubah bentuk dan pengemasan
kembali sediaan farmasi. Adapun prosedurnya berdasarkan Standar Prosedur
Operasional (SPO) RSUD Gunung Jati Kota Cirebon tahun 2010 adalah sebagai
berikut:
1. Pembuatan Sediaan Farmasi
a) Tetapkan dan pastikan sediaan farmasi yang akan kita buat .
b) Jika pembuatan sediaan tersebut berupa resep standar atau formula
maka lakukan pencarian melalui Farmakope Indonesia ( FI ), buku
Formularium Nasional ( ForNas ).
c) Catat komposisi dari formula tersebut, hitung berapa berat / mimlliter
zat berhasiat yang harus di ambil untuk membuat sediaan farmasi
tersebut.
d) Lakukan proses penimbangan / pengukuran zat-zat tersebut sesuai
dengan hasil perhitugan.
e) Lakukan proses peracikan pencampuran sesuai dengan ilmu
kefarmasian.
f) Masukan sediaan farmasi tersebut dalam wadah yang sesuai dengan
ukuran berat/volume.
g) Buat labeling untuk sediaan farmasi tersebut.
h) Simpan pada tempat dan suhu yang sesuai dengan sifat fisika dan
kimianya.
2. Pengenceran Sediaan Farmasi
a) Tetapkan dan pastikan sediaan farmasi yang akan kita buat
pengenceran.

65
b) Lakukan proses penimbangan / pengukuran zat tersebut sesuai dengan
hasil perhitunan pengeceran / kadar.
c) Lakukan proses peracikan/pencampuran tersebut sesuai dengan ilmu
kefarmasian
d) Masukan sediaan farmasi tersebut dalam wadah yang sesuai dengan
ukuran berat /volumenya.
e) Buat labeling untuk sediaan farmasi tersebut.
f) Simpan pada tempat dan suhu yang sesuai dengan sifat fisika
kimianya.
3. Pengemasan Kembali Sediaan Farmasi
a) Tetapkan dan pastikan volume/berat sediaan farmasi yang akan kita
kemas lagi.
b) Ambil sediaan farmasi yang akan dilakukan proses pengemasan
kembali.
c) Lakukan proses penimbangan / pengukuran kembali dari sediaan
farmasi yang akan dilakukan proses pengemasan kembali.
d) Masukan sediaan farmasi tersebut dalam wadah yang sesuai dengan
ukuran berat/ volumenya.
e) Buat labeling untuk sediaan farmasi tersebut.
f) Simpan pada tempat dan suhu yang sesuai dengan sifat fisika dan
kimianya.

Pelayanan di depo farmasi produksi adalah: Pelayanan bahan medis habis


pakai ( BMHP ) di rawat inap, poliklinik serat unit perawatan lainnya untuk
keperluan tindakan perawatan maupun untuk tindakan hygienis .

Tujuannya Mengoptimalkan mutu pelanyanan farmasi melalui pemenuhan


kebutuhan BMHP secara cepat dan tepat untuk keperluan tindakan
perawatan di rawat inap maupun poliklinik dengan prosedur sebagai
berikut :

66
a. Petugas ruang rawat inap, poliklinik atau ruangan perawatan lainnya
mengajukan permohonan kebutuhan BMHP dengan menggunakan
formulir permintaan obat / alkes yang sudah ditandatangani oleh
Ruangan Kepala Instalasi, Seksi Bidang Yanmed / Penmed disertakan
dengan laporan sisa stok ruangan / poklinik.
b. Permohonan tersebut diverifikasi oleh koordinator depo produksi
c. Petugas depo farmasi menyiapkan BMHP dengan jumlah sesuai
permintaan dan jenis BMHP kemudian data tersebut di masukan ke
sistim komputer lalu dilakukan pencetakan nota kemudian petugas
ruangan menandatangani nota tersebut. Pada tiap akhir bulan, petugas
depo produksi melakukan stok opname untuk mengetahui persediaan
akhir serta melaporkan rincian disrtibusi BMHP kepada kepala
Instalasi Farmasi.
7. Depo Cakrabuanan
Depo cakrabuana meliputi pasien rawat inap ruangan cakrabuana I, II dan III atau
dengan dikatakan lain adalah ruangan VIP. Alur di depo cakrabuana meliputi :
Perawat atau pasien akan membawa resep / KIO ke depo farmasi kemudian resep
diterima oleh petugas depo farmasi cakrabuana dan dibuatkan notanya lalu obat
yang dicetak dalam nota disiapkan kemudian diserahkan biasanya ada perawat
yang mengambil langsung ke depo farmasi cakrabuana.

8. ODC (one day care)


One day care atau yang biasa disebut dengan ODC adalah depo rawat jalan khusus
yang meliputi pasien umum yang berobat ke dokter spesialis dengan melakukan
pembayaran langsung melalui bank disekitar lingkungan one day care, alurnya
ialah sebagai berikut :

Dokter akan mengeluarkan resep lalu pasien akan membawanya ke depo farmasi
ODC diterima oleh petugas farmasi kemudian diberitahukan harga obat bila
pasien setuju dicetakan notanya lalu ke kasir dan pembayarannya dibayarkan di

67
bank BJB yang ada disebalah depo ODC kemudian obat disiapkan oleh petugas
farmasi setelah jadi obat diserahkan ke pasien.

3.2.2 Visi dan Misi Instalasi Farmasi RSUD Gunung Jati Cirebon

Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) Gunung Jati memiliki visi dan misi sebagai
berikut:
Visi : Memberikan pelayanan farmasi yang prima dengan berazaskan kepada
pelayanan Pharmaceutical Care.
Misi :
a. Menyelenggarakan pengelolaan perbekalan farmasi secara optimal.
b. Melaksanakan pelayanan farmasi yang berorientasi kepada pasien dengan
motto “ Cepat, Ramah & Ilmiah ( Ceria ) “ .
c. Melaksanakan Pelayanan Farmasi Klinik.
d. Meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan SDM
Instalasi Farmasi melalui pendidikan berkelanjutan.

3.2.3 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi RSUD Gunung Jati Cirebon

Sumber Daya Manusia atau personil yang melakukan fekerjaan kefarmasian di


Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati terdiri dari 1 orang Apoteker sebagai
Kepala Instalasi Farmasi, 9 orang Apoteker Koordinator depo, 1 S2 Farmasi
Klinis, 26 orang Tenaga Teknik Kefarmasian, 10 orang tenaga administrasi dan 2
tenaga bantu.

Instalasi Farmasi Rumah Sakit Gunung Jati dipimpin oleh seorang Apoteker yang
bertanggung jawab langsung kepada Direktur rumah sakit. Dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya, pimpinan Instalasi Farmasi Rumah Sakit dibantu oleh asisten
apoteker. Selain itu Apoteker juga membawahi bagian administrasi atau tata
usaha, penanggung jawab distribusi dan penanggung jawab perbekalan.

Penanggung jawab distribusi bertanggung jawab terhadap:

68
1. Pelayanan farmasi rawat inap : depo farmasi OK-CMU (Central Medical
Unit ), depo farmasi rawat inap. Pelayanan farmasi rawat jalan: depo farmasi
UGD, OK-UGD, depo cakrabuana, depo ODC, depo farmasi PTRM dan
HIV/AIDS dan depo farmasi rawat jalan atas dan bawah.

3.2.4 Manajemen Persediaan Obat dan Perbekalan Farmasi di RSUD Gunung


Jati Cirebon

3.2.4.1 Sistem Perencanaan

Merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga perbekalan
farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran untuk menghindari
kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung
jawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain
Konsumsi, Epidemiologi, Kombinasi metode konsumsi dan epidemologi
disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.
a). Metode Perencanaan.
1). Metode Konsumsi
Didasarkan pada real konsumsi perbekalan konsumsi farmasi periode yang
lalu, dalam pelaksanaannya dipergunakan pada pasien umum, BPJS,
kontraktor, dengan berbagai penyesuaian dan koreksi: Rata-rata pemakaian
bulanan,Sisa Persediaan,Buffer stock 10 %.

2). Metode Morbiditas


Adalah perhitungan kebutuhan perbekalan farmasi berdasarkan pola penyakit
dan perkiraan kenaikan kunjungan.Dalam pelaksanaannya dipergunakan pada
penggunaan Depo Farmasi Poliklinik Terapi Metadon dan HIV, dan kebutuhan
obatnya dengan berbagai penyesuaian dan koreksi seperti Standar terapi, sisa
persediaan, dan buffer stock 3 bulan.

b). Sistem Perencanaan


1). Reguler

69
Setiap tiga bulan sekali dibuat rencana kebutuhan berdasarkan pemakaian
bulan sebelumnya,stock opname setiap akhir bulan dari pelayanan terkait
terutama dari depo gawat darurat, kamar operasi serta produksi, pelayanan
ruangan dan gudang, perkiraan pola penyakit dan pola perilaku masyarakat
yang akan datang serta berdasarkan permintaan dari dokter untuk obat dan alat
kesehatan tertentu yang bersifat urgen. Data tersebut kemudian direkapitulasi
oleh gudang dan diseleksi serta diverifikasi oleh Kepala Instalasi Farmasi
Rumah Sakit (IFRS) Gunung Jati.Usulan perencanaan disampaikan kepada
Wakil Direktur Penunjang Medik.Setelah itu lalu diverifikasi dan disampaikan
kepada bidang penyusunan anggaran dan perbendaharaan setelah ada
persetujuan dari Direktur.

2). Segera (Cito)


Apabila di suatu unit pelayanan terutama di depo gawat darurat, depo OK atau
bagian produksi mengalami kekosongan barang (life saving dan kebutuhan
dasar rumah sakit), maka segera diinformasikan ke penanggung jawab
perbekalan dan disampaikan kepada Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit,
dan oleh Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit segera dibuatkan surat
permohonannya kepada Wakil Direktur Pelayanan Medik.

c). Prosedur perencanaan perbekalan Farmasi adalah


1. Dalam menetapkan perencanaan perbekalan farmasi perlu kiranya
diperhitungkan sisa persediaan obat/alkes yang ada di instalasi Farmasi,
gudang, anggaran yang tersedia dan prioritas pelayanan.\
2. Lakukan usulan perencanaan perbekalan farmasi berdasarkan
pemilihan/seleksi yang sudah di tetapkan yang meliputi :
 Nama obat/alkes, satuan dan kekuatan sediaan.
 Jumlah satuan, harga neto, jumlah harga total, nama supplier
(PBF/PBAK) dan spesifikasi.

70
1. Bagian perbekalan farmasi membuat konsep usulan perencanaan
perbekalan farmasi untuk di sampaikan kepada kepala instalasi.
2. Kepala instalasi farmasi menyeleksi usulan tersebut untuk
menetapkannama obat/alkes, jenis dan jumlahnya berdasarkan skala
prioritas anggaran yang tersedia, formularium/standar terapi RS.
3. Setelah ditetapkan bagian perbekalan farmasi yang suratnya
ditujukankepada PPTK ( pejabat pelaksana teknis kegiatan ), dengan
satu berkas untuk arsip di instalasi farmasi.
4. Berkas permohonan barang dan jasa diserahkan kepada bagian PPTK
dengan menggunakan buku expedisi.
5. Arsip di instalasi farmasi di simpan oleh bagian TU-instalasi farmasi

3.2.4.2 Sistem Pengadaan

Pengadaan perbekalan farmasi dilakukan berdasarkan perencanaan yang telah


disusun sebelumnya atas kebijakan rumah sakit. Pengadaan perbekalan farmasi di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Gunung Jati Cirebon berasal dari pembelian pada
Pedagang Besar Farmasi (PBF) atau sarana distribusi lainnya yang sah dengan
sumber dana pembelian dari Anggaran Pembangunan dan Belanja daerah II
(APBD 11) maupun produksi sendiri di rumah sakit, dengan dasar hukum
Perwalkot no 49 / 2009.

Anggaran belanja obat dan alat kesehatan yang tersedia sangat terbatas, maka
anggaran tersebut hanya dapat digunakan untuk memenuhi sebagian kebutuhan
obat-obatan dan alat kesehatan life saving dan yang pemakaiannya fast moving
dari seluruh kebutuhan rumah sakit.

Di Rumah Sakit Daerah Gunung Jati sistem Pengadaannya menggunakan 3 sistem


yaitu:
a. Sistem melalui pembelian dari PBF

71
Sistem ini di gunakan di Rumah Sakit tergantung besar kecilnya dana rutin
APBD II yang ada.
b. Sistem Produksi
Alasan Rumah Sakit membuat atau memproduksi barang sendiri:
1) Tidak tersedianya barang yang diperlukan untuk pelayanan di Rumah
Sakit di distributor.
2) Harga menjadi lebih efisien
3) Ada dokter yang mengembangkan resep maka harus di buat sendiri
formulasinya

3.2.4.3 Sistem Penerimaan dan Penyimpanan

Bagian yang berperan dalam penyimpanan obat-obatan dan alat kesehatan adalah
gudang obat dan alat kesehatan. Fungsi dari gudang obat dan alat kesehatan
adalah:
a. Menerima obat-obatan dan alat kesehatan yang datang dari suplier.
b. Penyimpanan obat-obatan dan alat kesehatan yang telah diperiksa kecuali
obat narkotik dan psikotropik disimpan di IFRS.
c. Pendistribusian obat-obatan dan alat kesehatan kepada seluruh depo farmasi
dan ruang perawatan.

Obat-obatan dan alat kesehatan yang datang dari suplier diterima di bagian
gudang disertai denga faktur pembelian dan salinan pemesanan barang. Barang
yang datang kemudian diperiksa kesesuaiannya dengan faktur dan spesifikasi oleh
petugas pemeriksa. Jika sudah sesuai maka barang tersebut diserahkan kepada
bendahara gudang obat dan alat kesehatan. Namun jika tidak sesuai, barang
tersebut akan dikembalikan kepada suplier.
Penyimpanan obat maupun alat kesehatan dilakukan dengan:
a. Berdasarkan kepentingan pelayanan.
1) Kelompok A yaitu sediaan life saving dan kebutuhan dasar rumah sakit,
misalnya cairan infus, vaksin, serum, desinfektan dan lain-lain.

72
2) Kelompok B yaitu sediaan yang bersifat menunjang tindakan secara
langsung, misalnya injeksi analgetik, transquilizer dan lain-lain.
3) Kelompok C yaitu sediaan yang bersifat non-cito dalam kepentingannya,
misalnya injeksi antibiotika, vitamin dan lain-lain.

b. Obat-obat generik dan paten / bermerek disimpan secara bersamaan sesuai


alfabetis.

c. Stabilitas perbekalan farmasi.


Obat-obat yang tidak stabil oleh cahaya disimpan di tempat terlindung dari
cahaya. Sedangkan untuk obat- obat yang memerlukan penyimpanan di bawah
suhu kamar, disimpan dalam lemari pendingin.

d. Sistem FIFO (First In First Out), yaitu barang yang diterima lebih dahulu
disimpan dibagian depan.

e. Sistem FEFO (First Expired First Out),yaitu barang yang kada luwarsanya
dekat dikeluarkan lebih dahulu.

f. Obat Keras dan Narkotika,Psikotropika prosedur penyimpanannya adalah:


1) Petugas melakukan pengecekan perbekalan farmasi yang telah di ambil
dari gudang.
2) Petugas melakukan pemilihan terhadap perbekalan farmasi berdasarkan
bentuk sediaan, suhu penyimpanan dan exp date.
3) Petugas melakukan penyimpanan pada tempat yang khusus untuk obat
narkotik / psikotropik sedangkan untuk infus menggunakan pallet.
4) Petugas melakukan penyimpanan perbekalan farmasi sesuai dengan
alphabetis, FEFO dan FIFO.
5) Bila mana perbekalan farmasi dalam jumlah banyak sebagian di simpan
dalam ruang persediaan

73
g. Petugas melakukan proses penyimpanan untuk vaksin serum, injeksi atau obat
lain yang penyimpanannya pada suhu 5-15 derajat celcius harus di simpan
dilemari pendingin untuk penyimpanan suhu 15-25 derajat celcius disimpan pada
ruang ber AC sedangkan suhu 25-30 derajat celcius cukup disimpan pada suhu
kamar.

3.2.4.4 Sistem Distribusi

Dalam melakukan distribusi obat dan alat kesehatan rumah sakit umum daerah
gunung jati menerapkan 3 macam sistem distribusi. Adapun distribusi yang
dilaksanakan meliputi:
a. Floor stock
b. Individual Resep
c. Kombinasi.
Selain berfungsi untuk menerima dan menyimpan barang, gudang juga berfungsi
mendistribusikan obat dan alat kesehatan ke depo farmasi maupun ruangan atau
instalasi lain seperti laboratorium. Adapun prosedur permintaan obat-obat dan alat
kesehatan dari depo farmasi atau ruangan adalah sebagai berikut:
a. Petugas dari depo mencatat kebutuhan obat-obatan dan alat kesehatan di buku
pengambilan obat/alat kesehatan sementara, kemudian dicatat dalam
buku/formulir permintaan obat dan alat kesehatan resmi yang ditandatangani
oleh Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) dan Kepala Bidang
pelayanan medis.
b. Barang yang akan dikeluarkan oleh gudang ditulis di formulir perintah
penerimaan/pengeluaran barang yang disetujui oleh Kepala gudang.
c. Petugas gudang menyiapkan barang yang diminta dan diserahkan kepada
petugas depo.
d. Petugas gudang membuat bukti pengeluaran barang yang ditandatangani oleh
penerima, Direktur dan bendahara barang, kemudian formulir asli diserahkan
ke pihak penerima dan salinannya disimpan di gudang.

74
e. Selain itu petugas gudang melakukan pencatatan di buku pengeluaran dan
kartu stok.

3.3. Pelayanan Farmasi Klinis di RSUD Gunung Jati


Pelayanan farmasi klinis di RSUD Gunung Jati yang sudah di jalankan
diantaranya :
1. Pengkajian Resep
Kegiatan dalam pelayanan kefarmasian yang dimulai dari seleksi persyaratan
administrasi, persyaratan farmasi dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat
inap maupun rawat jalan.
Persyaratan administrasi meliputi:
1. Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.
2. Nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter.
3. Tanggal resep.
4. Ruangan atau unit asal resep.
Persyaratan farmasi meliputi:
1. Bentuk dan kekuatan sediaan.
2. Dosis dan Jumlah obat.
3. Stabilitas dan ketersediaan.
4. Aturan, cara dan tehnik penggunaan
Persyaratan klinis meliputi:
1. Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat.
2. Duplikasi pengobatan.
3. Alergi, interaksi dan efek samping obat.
4. Kontra indikasi.
5. Efek aditif

2. Dispensing
Merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap validasi, interpretasi,
menyiapkan atau meracik obat, memberikan label atau etiket, penyerahan obat
dengan pemberian informasi obat yang memadai disertai sistem dokumentasi.

75
Tujuan:
1. Mendapatkan dosis yang tepat dan aman.
2. Menyediakan nutrisi bagi penderita yang tidak dapat menerima makanan
secara oral.
3. Menyediakan obat kanker secara efektif, efisien dan bermutu.
4. Menurunkan total biaya obat.

3. Pelayanan Informasi Obat


Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberikan
informasi kepada petugas kesehatan lain dan pasien.
Tujuan :
1. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga
kesehatan dilingkungan rumah sakit.
2. Meningkatkan profesionalisme apoteker.
3. Menunjang terapi obat yang rasional.
Kegiatan:
1. Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara aktif dan
pasif.
2. Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan secara
langsung.
3. Membuat buletin, leaflet dan label obat.
4. Bersama dengan PKMRS (Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit)
melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap.
5. Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga farmasi dan tenaga
kesehatan lainnya.

4. Konseling
Merupakan suatu proses yang sistematik untuk mengidentifikasi dan penyelesaian
masalah pasien yang berkaitan dengan pengambilan dan penggunaan obat.

76
Tujuan konseling yaitu memberikan pemahaman yang benar mengenai obat
kepada pasien dan tenaga kesehatan mengenai nama obat, tujuan pengobatan,
jadwal pengobatan, cara menggunakan obat, lama penggunaan obat, efek samping
obat, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan obat dan penggunaan obat-obat
lain.
Kegiatan:
1. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.
2. Menanyakan hal-hal yang menyangkut obat yang dikatakan oleh dokter
kepada pasien dengan metode open-ended question (apa yang dikatakan
dokter mengenai obat?, bagaimana cara pemakaian obat?, apa efek yang
diharapkan dari obat tersebut?).
3. Memperagakan dan menjelaskan mengenai cara penggunaan obat.
4. Verifikasi akhirnya mengecek pemahaman pasien, mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan cara penggunaan
obat, untuk mengoptimalkan tujuan terapi.

5. Ronde atau Visite Pasien


Merupakan kegiatan kunjungan mandiri oleh farmasi klinis ke pasien rawat inap.
Tujuan:
1. Menggali data pasien.
2. Memberi informasi penggunaan obat.
3. Menilai progres keluhan pasien.
4. Bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain.
Kegiatan:
1. Apoteker harus memperkenalkan diri dan menerangkan tujuan dari
kunjungan tersebut kepada pasien.
2. Untuk pasien baru dirawat, apoteker harus menanyakan terapi obat
terdahulu dan memperkirakan masalah yang mungkin terjadi.
3. Apoteker memberikan pertanyaan kepada pasien atau keluarga pasien
pada formulir visite untuk memastikan keluhan pasien dirawat.

77
4. Melakukan pengkajian terhadap catatan perawat akan berguna untuk
pemberian obat.
5. Setelah kunjungan membuat catatan mengenai permasalahan dan penyelesaian
masalah dalam satu formulir visite digunakan oleh setiap apoteker yang
berkunjung ke ruang pasien.

3.4. Pusat Sterilisasi Perlengkapan Medik (CSSD) RSUD Gunung Jati


Cirebon

Central Steril Supply Departement (CSSD) adalah departemen dalam rumah sakit
yang menyediakan bahan atau sediaan dan alat-alat steril secara profesional
kepada semua departemen tersepesialis.
1. Monitoring dan Evaluasi
Perlu dilakukan monitoring dan evaluasi pada setiap proses/tahapan berlangsung.
a) Indikator Monitoring
Monitoring kualitas sterilisasi dilakukan sebagai salah satu upaya dalam
pengendalian mutu, serta untuk memberikan jaminan mutu bahwa parameter
yang ditentukan dalam proses sterilisasi sudah dipenuhi dengan baik sesuai
dengan tujuan CSSD. Oleh karena itu, diperlukan pemantauan selektif dan
berkala pada proses dan hasil sterilisasi dengan menggunakan indikator.
Monitoring proses sterilisasi dilakukan dengan:
1) Indikator mekanik atau fisika
Digunakan sebagai indikator mekanik adalah bagian dari instrumen
mesin sterilisasi seperti gauge, tabel dan indikator suhu maupun tekanan
uang menunjukkan bahwa alat sterilisasi bekerja dengan baik.
Monitoring ini dilakukan setiap proses sterilisasi.
2) Indikator kimia
Indikator ini memnandai terjadinya paparan sterilisasi pada objek yang
disterilisasi dengan adanya perubahan warna.Indikator ini berupa tape,
yang merupakan plester bergaris diagonal krem. Garis diagonal krem
akan berubah menjadi kehitaman pada saat proses sterilisasi selesai.
Monitoring ini dilakukan setiap proses sterilisasi.

78
3) Indikator biologi
Dilakukan dengan cara memasukkan indikator berupa ampul yang berisi
Bacillus stearothermophyllus (pada sterilisasi uap panas) atau Bacillus
subtilis (pada sterilisasi gas) ke autoclave selama proses sterilisasi
dengan kondisi sama dengan kemasan, kemudian diinkubasi selama 2x24
jam pada suhu 56C apabila selama proses sterilisasi spora terbunuh,
tidak terjadi perubahan warna, berarti proses sterilisasi berhasil.
Monitoring ini tidak dilakukan.

2. Tahapan CSSD Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati


Tahapan pelayanan sterilisasi yang dilaksanakan adalah sebagai berikut:
a. Penerimaan barang
Barang non steril deterima dari unit yang melakukan tindakan aseptis.
1) Pembilasan
Instrumen yang telah digunakan dibilas di unit yang melakukan
tindakan aseptis atau pembedahan.
2) Pembersihan
Semua barang recycle harus dibersihkan secara baik. Untuk linen dan
sarung tangan dicuci di ruang pencucian sentral, sedangkan untuk
instrumen dilakukan proses dekontaminasi dengan larutan desinfektan.
3) Pengeringan

b. Inspeksi dan pengemasan


Pada tahap ini dilakukan kontrol secara fisik untuk melihat apakah masih
terlihat kotor atau rusak, kemudian dilakukan pemisahan dan pengemasan
sesuai jenis, sifat, dan ukuran barang yang akan disterilkan.

c. Pemberian label
Setiap kemasan harus mempunyai label yang menjelaskan isi kemasan, dan
tanggal sterilisasi.

79
d. Sterilisasi
Metode sterilisasi yang digunakan adalah metode sterilisasi uap, panas
kering dan sterilisasi gas.
1). Sterilisasi dengan suhu tinggi
 Steam : menggunakan alat autoclaf, masih merupakan sterilisasi
yang efektif dan efesien. Sterilisasi yang bertekanan 1,5-2 atm pada
suhu 120°C selama ± 2 jam. Auticlav digunakan untuk
mensterilkan instrumen yang terbuat dari logam ( gunting oprasi,
pinset, dan linen). Bahan dan alat yang akan disterilkan terlebih
dahulu dibungkus dengan kain berlapis dua, dan dilekatkan
indikator tape yang dapat berubah warna menjadi garis-garis coklat
bila terkena panas.
 Metode sterilisasi panas kering: menggunakan alat oven
2). Sterilisasi dengan suhu rendah
 Metode sterilisasi gas: menggunakan tablet formaldehid. Untuk
mensterilisasi sarung tangan. Sterilisasi dilakukan selama 24 jam.
 Sterilisasi denga bahan kimia yaitu menggunakan klorin, direndam
selama 2x24 jam kemudian dicuci dengan air hingga bersih.
Sterilisasi ini digunakan untuk alat-alat operasi dan linen. Cara ini
digunakan jika alat dan bahan digunakan pada operasi kanker.
 Sterilisasi dengan plasma menggunakan alat STERRAD dilakukan
pada suhu 800 C atau dibawah 1000 C selama + 56 menit. Plasma
terdapat dalam kaset dan suatu kaset hanya bisa digunakan untuk
lima siklus sterilisasi saja. Pengoperasian alat ini dilakukan secara
komputerisasi dan dioperasikan oleh orang-orang yang terlatih.
Penataan alat yang disterilkan harus benar-benar rapih dan alat ini
juga dilengkapi dengan sensor. Alat yang tidak bersih akan
terdeteksi oleh sensor dan mesin tidak bisa beroperasi. Alat yang
tidak tahan dengan pemanasan suhu tinggi dapat disterilkan dengan
alat ini, seperti laparascopy, endotrakhea, chateter jantung.

80
e. Penyimpanan
Setelah proses sterilisasi selesai, alat yang sudah disterilkan disimpan di ruang
penyimpanan yang sesuai dengan persyaratan penyimpanan barang steril.
Syarat ruang penyimpanan antara lain:
1) Tidak menahan debu
2) Ruangan harus kering dengan suhu 18-250 C dan kelembaban 35-37%
3) Ventilasi: tekanan positif, dengan efisiensi particular 90-95% (0,5
mikrometer)
4) Pintu dan jendela berlapis dengan ruang transisi
5) Rak disusun secara FIFO (First In First Out)
6) Pembersihan dilakukan dengan pengepelan menggunakan desinfektan
(kreolin).

f. Distribusi
Pada proses distribusi, masing-masing unit mengambil langsung alat yang
sudah disterilkan dengan mencocokkan jumlah dan jenis barang.

3.5. Instalasi Sanitasi RSUD Gunung Jati Cirebon

1. Penanganan Limbah di Rumah Sakit


a) Cara Pengumpulan
Limbah padat dari masing-masing ruangan dipisahkan berdasarkan
sifatnya,yaitu infeksius dan non infeksius. Limbah padat infeksius
ditampung di kantong plastik berwarna kuning yang bertulisan hitam”
sampah medis infeksius” dan berlogo hazar dan limbah padat non
infeksius ditampung di kantong plastik berwarna hitamyang bertulisan “
sampah medis non infeksius” Kemudian sampah yang telah dipisahkan
dikumpulkan ditempat yang berbeda.
b) Cara Pengangkutan
Masing-masing jenis sampah padat diangkut pakai gerobak atau troli
bersih dan tertutup. Untuk limbah padat non medis dikumpulkan dalam
kontainer yang berbeda dengan sampah padat medis,minimal tiga kali

81
sehari petugas memakai pakaian khusus yang dilengkapi sarung tangan
dan masker sebagai pelindung . Gerobak atau troli yang sudah dipakai
dibersihkan lagi.
c) Cara Pembuangan
Untuk pembuangan sementara , digunakan pembuangan sampah non
medis sementara. Waktunya tidak boleh lebih dari satu hari yang
kemudian dilakukan Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota,untuk
dilakukan di pembuangan sampah terakhir.

Untuk pemusnahan sampah medis dengan menggunakan dengan cara


dibakar di incenerator pada suhu 1000 sampai 1200°C selama satu jam .
Abu yang dihasilkan dikumpulkan dan dibuang di kontainer dan sampah
non medis yang telah ditampung di kontainer dan bersama-sama di buang
ke tempat pembuangan akhir setiap hari.

2. Cara Pengelolaan Limbah Rumah Sakit


a) Limbah Padat Non Medis
Limbah padat non medis dibagi dua yaitu:
1) Limbah padat yang bisa di daur ulang dengan cara di pisahkan ditempat
khusus.
2) Limbah padat yang tidak bisa didaur ulang, limbah padat ini setelah
dikumpulkan langsung diangkut sama petugas ke bagian sanitasi lalu
dibakar dialat incinerator pada suhu 1000°C selama 1 jam lalu di buang
di TPA.
3) Limbah padat organik dapat di olah menjadi pupuk.

b) Limbah Padat Medis


Untuk pengolahan limbah padat medis Infeksius yang terdiri dari sisa
patologi anatomi,obat kadaluarsa dalam jumlah sedikit sedangkan dalam
jumlah besar dikembalikan ke PBF,limbah yang berkaitan dengan pasien

82
penyakit menular, limbah laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan
mikrobiologi, limbah yang berbentuk benda tajam dan bekas pecahan
ampul, flac, terlebih dahulu dipecahkan dulu dengan menggunakan alat syro
sampai hancur , kemudian masukan ke dalam kantong berwarna kuning
yang bertulisan”sampah medis infeksius”dan berlogo,terus lakukan
pembakaran dengan kapasitas 40 sampai 80 kilogram setiap hari
menggunakan alat Incinerator yang dilengkapi cerobong dengan ketinggian
melebihi bangunan yang ada pada suhu 1200°C selama 2 jam,lalu abunya
dimasukan kantong berwarna kuning dan berlogo dikumpulkan ke alat
kontainer selama enam bulan dan kemudian di ambil oleh petugas dari Pusat
Pengelolahan Limbah Industri ( PPLI) jakarta pusat. Untuk pengolahan
limbah kimia yang berbentuk padat misalnya botol bekas obat
anestesi,dihancurkan terlebih dahulu dan kemudian dipendam dengan
kedalaman 1 meter dan di beri kapur . Untuk limbah Radio aktif setiap 3
bulan sekali serahkan atau dikirimkan kepada Badan Tenaga Atom Nasional
(BATAN) Propinsi jawa barat.
c) Limbah Cair
Tahapan-tahapan pengelolaan limbah cair :
1) Pendahuluan
Untuk limbah cair khususnya dari gizi ditampung di bak penampungan
dan ditutup dengan rancangan tembaga kemudian didiamkan selama 3
bulan ,lemak di ambil dan mendapatkan ± 20 kilogram lalu dibakar
dengan menggunakan alat incinerator pada suhu 1000°C selama 1 jam.
2) Pengolahan Awal
Untuk limbah cair dari setiap unit OK, Laundry, kamar mayat ,ruang gizi
atau dapur, kamar mandi, ruang perawatan, ruang IGD,masing-masing di
tampung di bak penampungan awal no I yang di lengkapi dengan alat
penyaringan seperti sabut kasar sebagai filtrasi kemudian dialirkan ke
alat IPAL masuk ke Bak no II yang dilengkapi dengan filtrasi dan
dilakukan pengoprasian dilakukan sehari 2 kali pagi dan sore secara
manual, alirkan ke Bak no III yang dilengkapi dengan mesin

83
komunikator yang bertujuan untuk menhancurkan benda-benda yang
tidak tersaring.
3) Pengolahan utama
Dari Bak no III air limbah secara gravitasi akan di tampung pada Bak
pengumpul air di alirkan ke Bak sedimentasi air limbah di pisahkan
padatannya, padatan akan mengendap ke bawah sedangkan filtratnya
mengalir ke Bak BIOREACTOR untuk di proses secara biologi
( menghilangkan BOD air limbah ),sedangkan padatan diambil dan di
simpan di bak pengumpul lumpur, di dalam Bak BIOREACTOR air
limbah di proses lagi secara aerasi dengan efesiensi yang tinggi, BOD
dan COD air limbah akan turun 90-98%. Kemudian air limbah akan
mengalir menuju bak klorinasi dengan menggunakan kaporit sekitar satu
jam sehingga cukup untuk membunuh mikroorganisme yang tersisa.
4) Pengolahan Akhir
Air limbah yang sudah di olah lalu di alirkan ke Bak penampungan akhir
dan di beri indikator ikan mas yang sudah berumur 2 bulan dan
tumbuhan yang bertujuan untuk mengetahui bahwa air limbah yang
terdapat dalam bak tersebut sudah tidak tercemar apabila ikan dan
tumbuhan masih hidup,kemudian dibuang ke saluran umum.
5) Pengujian Sample
Pengujian sample limbah cair di Rumah Sakit Daerah Umum Gunung
Jati,setiap 3 bulan sekali sample di ambil dari sumur dlingkungan rumah
sakit itu sendiri dan sumur di lingkungan masyarakat sekitarnya yang
berjarak sekitar 50 meter dari rumah sakit umum daerah gunung jati ,
kemudian sample di kirim ke LABKESDA cirebon.

84
BAB 4
TUGAS KHUSUS
FARMASI KLINIS VISITE

4.1. Studi Kasus


4.1.1. Identifikasi Pasien
Nama Pasien : Ny. Amini
Umur : 43 Tahun
Berat badan : 60 kg
Alamat : Sutawinangun (Kedawung)
Riwayat : Diabetes mellitus & Jantung
Diagnosa : Diabetes type-2 dan dyspnea
No.Medrec : 824129
Poll / Ruang : VI (Anyelir)

85
Kamar :5
Status Pasien : BPJS
Dokter : dr. Dedy Nuralamsyah SpPD
4.1.2. Tanda – tanda Vital

4.1.3. Progres Keluhan Pasien

86
4.1.4. Hasil Laboratorium

4.1.5. Terapi dan Frekuensi

87
4.1.6. Assesment

88
BAB 5
PEMBAHASAN

5.1. Pembahasan
5.1.1 Farmasi non klinis
Dalam rangka mengupayakan peningkatan derajat kesehatan, yang terdiri dari
upaya pelayanan kesehatan perorangan dan upaya pelayanan kesehatan
masyarakat Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Kota Cirebon mempunyai
fasilitas antara lain :

Ruang perawatan berjumlah 325 tempat tidur, dalam hal ini idealnya harus
memiliki lebih dari 10 apoteker. Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati adalah
rumah sakit kelas B pendidikan dan mempunyai 16 kelompok pelayanan. Ruang
lingkup pelayanan kesehatannya meliputi pelayanan medis : penyakit dalam,
kebidanan, dan penyakit kandungan, anak, bedah umum, bedah syaraf, bedah
tulang (orthopedi), bedah anak, urologi, anastesi, jantung (kardiologi), syaraf,
THT, mata, paru, kulit dan kelamin, jiwa, rehab medik, gigi dan mulut, bedah
mulut, orthodonti, prostodonti, pelayanan panjang medis : instalasi radiologi

89
(rontgen, CT Scan dan USG), instalasi laboratorium (patologi klinik & patologi
anatomi), instalasi rehabilitasi medic, instalasi farmasi, instalasi gizi, stroke center
(treadmill test, EEG dan EMG) dan instalasi kamar jenazah (forensic / kedokteran
kehakiman) serta pelayanan khusus ODC (one day care) dan haemodialisa dan
pelayanan darah.

Upaya pelayanan kesehatan perorangan di rumah sakit di lakukan oleh tenaga


professional kesehatan, terdiri dari pelayanan kedokteran, pelayanan dan asuhan
keperawatan, pelayanan penunjang medis dan pelayanan rujukan yang mengacu
pada paradigma yaitu upaya pelayanan kesehatan perorangan di rumah sakit
dengan cara pandang bahwa upaya preventif dan promotif pada masyarakat
pengguna rumah sakit merupakan unsur senjata penting dalam menunjang
efektifitas pada anggota masyarakat pengguna rumah sakit yang menderita sakit.

Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati
Cirebon telah menggambarkan dengan jelas mengenai pembagian tugas . tugas
pokok instalasi farmasi adalah membantu wakil direktur pelayanan medis dan
keperawatan dalam memimpin Pengelolaan Perbekalan Sediaan Farmasi dan
pelaksanaan kegiatan pengelolaan urusan operasional pada instalasi farmasi
Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Kota Cirebon dan membawahi : Depo
Farmasi IGD, Depo Farmasi Rawat Jalan, Depo Farmasi Bedah Central, Depo
Farmasi Rawat Inap dan Depo Gas Medis. Fungsi dari instalasi farmasi :
penyusunan rencana operasional di instalasi farmasi, pengorganisasian sumber
daya dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pokok dan fungsi instalasi
farmasi, pelaksanaan pengendalian, pengawasan, evaluasi, program dan kegiatan
instalasi farmasi. Instalasi farmasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gunung
Jati Cirebon sudah mempunyai fasilitas bangunan, ruangan dan peralatan yang
memadai bagi pelayanan kefarmasian di rumah sakit yang baik yaitu lokasi yang
menyatu dengan sistem pelayanan rumah sakit, luas yang cukup, jumlah depo
pelayanan yang cukup serta tersedianya sarana dan peralatan yang menunjang
pelayanan.

90
Pelayanan farmasi oleh depo – depo yang ada sudah mempunyai alur pelayanan
yang jelas sehingga dapat memberikan kualitas pelayanan yang baik dan dapat
meminimalisir kesalahan yang mungkin terjadi.

Dalam hal perencanaan pengadaan barang, instalasi farmasi rumah sakit selalu
menggunakan skala perioritas sesuai anggaran yang tersedia berdasarkan
permintaan atau data – data obat dari seluruh depo farmasi. Jenis obat dan alat
kesehatan yang harus selalu tersedia adalah yang bersifat live saving seperti Anti
bisa ular (ABU), anti tetanus serum (ATS), atropin sulfat (ATS), dopamin,
aminophyllin yang dibutuhkan di depo IGD, OK – IGD dan OK CMU.
Salah satu kendala dalam perencanaan pengadaan barang adalah kurangnya
anggaran yang tersedia untuk memenuhi seluruh kebutuhan obat dan alat
kesehatan. Meskipun demikian, instalasi farmasi terus berusaha memberikan
pelayanan yang semakin baik kepada penderita.

Instalasi farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Cirebon juga membuat
produk sediaan tertentu yang dilakukan oleh bagian produksi.Jenis sediaan yang
di buat atau di kemas kembali biasanya obat atau larutan sederhana yang banyak
diresepkan oleh dokter atau untuk kebutuhan ruangan, yang jika dibeli dalam
bentuk jadi sediaan tersebut tidak tersedia di pasaran atau harganya lebih mahal.

Sistem penyimpanan barang yang dilakukan di gudang instalasi farmasi Rumah


Sakit Umum Daerah Gunung Jati dipisahkan menjadi 2 (dua), yaitu gudang obat
dan gudang alat kesehatan.Setiap gudang dikelola oleh seorang penanggung jawab
gudang di bawah kordinasi penanggung jawab perbekalan. Sistem penyimpanan
perbekalan farmasi memperhatikan kebutuhan pelayanan dengan system
penyimpanan yang digunakan yaitu FIFO (First In First Out) maupun FEFO (First
Expire First Out) dan untuk setiap kategori, barang disusun secara alfabetis.

91
Pendistribusian obat dan perbekalan kesehatan lainnya kepada tiap depo
berdasarkan permintaan masing – masing depo tergantung kebutuhan.Permintaan
barang oleh depo ke gudang dilakukan dengan mengisi permintaan tersebut ke
dalam Band 29, yang merupakan bukti pengeluaran barang dari gudang ke depo –
depo farmasi.

Sistem individual (individual prescription) dan sistem persediaan lengkap ruangan


(total floor stock system) merupakan sistem kombinasi yang digunakan oleh
Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Cirebon dalam rangka pelayanan
distribusi obat dan alat kesehatannya.Sistem individual dilakukan untuk resep –
resep pasien rawat jalan dan di depo Instalasi Gawat Darurat (IGD) baik yang
terus dirawat maupun tidak. Sistem distribusi persediaan di ruangan dilakukan
pada ruangan – ruangan tertentu seperti kamar bedah, dan IGD. Obat – obat yang
disediakan di ruangan – ruangan ini adalah obat – obatan penyelamat hidup (Live
Saving Drugs) dan barang medis habis pakai (BMHP).Penggunaan sistem ini
selain lebih memudahkan pelayanan, juga memungkinkan pula terjadinya
interaksi antara dokter, perawat dan apoteker. Dalam hal ini Rumah Sakit Gunung
Jati Cirebon belum menerapkan sistem distribusi unit dose, dikarenakan belum
adanya sarana dan prasarana yang memadai, sumber daya manusia yang cukup,
karena sistem distribusi unit dose ini memerlukan banyak persiapan dalam
melaksanakannya.

Central Sterilized Suplly Department (CSSD) adalah department dalam rumah


sakit yang menyediakan bahan atau sediaan dan alat – alat steril secara
professional kepada semua department terspesialisasi.Farmasi dan Central
Sterilized Suplly Department (CSSD) mempunyai tanggung jawab bersama
apabila farmasi membuat, menyiapkan dan mengemas sediaan – sediaan yang
harus disterilkan. Oleh karena pekerjaan sterilisasi ini membutuhkan personil
yang terlatih dan ahli dalam bidangnya, maka bagian Central Sterilized Suplly
Department (CSSD) di Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Cirebon

92
sebaiknya berada dibawah koordinasi instalasi farmasi karena memiliki apoteker
yang memiliki kualifikasi sterilisasi.

Pelaksanaan pelayanan Komunikasi, Informasi Dan Edukasi (KIE) obat oleh


apoteker di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Cirebon
diperuntukan bagi tenaga medis dan paramedis di lingkungan rumah sakit serta
untuk pasien pulang.Bagi tenaga medis, Komunikasi, Informasi Dan Edukasi
(KIE) dilaksanakan dalam pertemuan resmi antara apoteker dengan dokter dan
apoteker berperan sebagai informasi dan konsultan penggunaan perbekalan
farmasi yang ada di rumah sakit. Sedangkan Komunikasi, Informasi Dan Edukasi
(KIE) bagi tenaga non medic, juru rawat dan bidan serta pasien pulang dilakukan
dengan memberikan keterangan mengenai penggunaan obat yang rasional, cara
pemberian obat yang tepat, efek samping obat maupun interaksinya.

Pelayanan Farmasi klinik di instalasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)


Gunung Jati Cirebon yang meliputi pemantauan terapi Obat (PTO). Evaluasi
Penggunaan Obat (EPO). Penanganan bahan sitotoksik, pelayanan di unit
perawatan kritis, pemeliharaan formularium, pengendalian infeksi, pemantauan
dan pelaporan reaksi obat yang merugikan, konsultasi dengan dokter tentang
pemilihan regimen obat bagi penderita tertentu, pembuatan profil pengobatan
penderita. Pemantauan obat dalam darah, visite/rendo, edukasi penderita dan
konseling penderita, belum berjalan dengan baik karena kendala seperti
kurangnya Sumber Daya Manusia yang tersedia dan belum adanya kesadaran dan
kemauan dari manajemen dan kalangan medis lainnya untuk melibatkan tenaga
farmasi dalam seluruh sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Formularium tahun 2010 merupakan daftar obat baku yang dipakai oleh rumah
sakit yang dipilih secara rasional dan dilengkapi dengan penjelasan sehingga
merupakan informasi yang lengkap untuk pelayanan medik di rumah sakit. Sistem
formularium rumah sakit merupakan proses yang terus menerus dilakukan oleh
syaraf medik melalui Panitia farmasi dan Terapi (PFT) dalam mengevaluasi dan

93
memilih obat yang diperlukan di rumah sakit. Sistem formularium obat di rumah
sakit umum daerah Gunung jati Cirebon bertujuan untuk meningkatkan pelayanan
kesehatan, menjamin ketersediaan obat dan menjadi standar di rumah sakit
sehingga obat-obat yang beredar tidak terlalu banyak jenisnya, dan perlunya
dilakukan pemilihan obat berdasarkan kriteria tertentu, yaitu kualitas, harga, dan
efek samping obat. Sistem formularium ini belum berjalan dengan baik.

Kepala instalasi farmasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gunung Jati
Cirebon secara rutin melakukan evaluasi terhadap mutu layanan kefarmasian yang
diberikan, baik secara langsung maupun berdasarkan laporan dari para
koordinator di depo-depo farmasi. Evaluasi sangat dilakukan untuk
menghilangkan kinerja pelayanan yang substandar, terciptanya pelayanan farmasi
yang menjamin efektisitas obat dan keamanan pasien, meningkatkan efesiensi
pelayanan, meningkatkan mutu obat yang diproduksi di rumah sakit sesuai CPOB
(cara pembuatan obat yang baik), meningkatkan kepuasan pelanggan serta
menirukan keluhan atau unit kerja terkait.

5.1.2 Farmasi klinis


Dari studi kasus di atas ada beberapa hal yang bisa kita bahas diantaranya :
Dari data visite yang didapat dan sudah dipresentasikan pada saat PKPA di RSUD
Gunung Jati dianataranya :
1. Pasien atas nama ny. Amini datang kerumah sakit pada pukul 20.45 WIB
dengan keluhan seluruh badan terasa sakit, tangan kiri terasa sakit, pernah
jatuh 2 bulan yang lalu dan memiliki riwayat penyakit diabetes melitus dan
penyakit kadiovaskular.
2. Dilihat dari parameter TTV (tanda-tanda vital) meliputi tekanan darah, denyut
nadi, repirasi rate dan suhu ditambah dengan GCS sejak pasien masuk
kerumah sakit sampai pulang bisa saya katakan normal bila kita lihat data di
atas.
3. Sedangkan progres keluhan pasien yang meliputi badan sakit, tangan kiri
sakit, lemas dan sakit pada bagian perut (ulu hati) dari hari ke hari mengalami

94
progres yang cukup baik sehingga pada tanggal 1 juni 2014 pasien sudah
tidak mengalami keluhan pada saat mananyakan langsung ke pasien namun
pasien baru boleh diizinkan pulang pada tanggal 5 juni 2014.
4. Dari hasil laboratorium yang ada meliputi cek hematologi yang biasa
dilakukan meliputi WBC, HGB, HCT, dan PLT serta EKG untuk mengetahui
adanya abnormal atau tidak pada kardiovaskular. Dilihat dari data yang
didapat masih bisa dikatakan normal. Selain cek hematologi di atas masih ada
lagi yang di cek meliputi GDP, GD2JPP, GDS, ureum, kreatinin serta SGOT
dan SGPT. Namun yang saya akan lebih menekankan pada cek laboratorium
gula darah yang akan dibahas karena pasien mempunyai riwayat diabetes
melitus tipe 2 dan sudah diketahui sejak 5 tahun yang lalu. GDS atau gula
darah sewaktu kalau kita dilihat dari data laboratorium di atas mengalami
progres penurunan yang cukup baik dari pertama kali pasien datang pada
tanggal :
 29 mei 2014 adalah 559 mg/dl.
 31 mei 2014 adalah 480 mg/dl.
 1 juni 2014 adalah 376 mg/dl.
 3 juni 2014 adalah 248 mg/dl.
Sedangkan pada tanggal 2 juni 2014 bukan GDS yang di cek melainkan GDP
dan GD2JPP hasilnya ialah penurunan yang cukup baik GDP : 365 mg/dl dan
GD2JPP : 446 mg/dl.
5. Sedangkan terapinya sendiri yang didapatkan untuk hiperglikemik adalah
gliquidon, metformin dan insulin humalog. Mekanisme kerjanya adalah :
a) Gliquidon adalah termasuk golongan sulfonilurea dengan mekanisme kerja
seperti di gambar berikut ini :

95
Kita bisa melihat gambar berikut pengikatan gliquidon pada reseptor
sulfonilurea di kanalATP akan menyebabkan tertutupnya kanal K+. Dengan
penutupan kanal K+ akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran
yang akan memicu terbukanya kanal Ca +. Ca+ akan masuk dan meningkatkan
jumlahnya didalan sel beta yang akan memicu terjadinya pelepasan insulin .
(Basic & Clinical Pharmacology-Bertram Katzung. Edisi 12 Hal 745)

b) Metformin
Metformin termasuk golongan biguanida dengan mekanisme kerja yang
utama adalah untuk mengurangi produksi glukosa hati melalui pengaktifan
AMP mengaktivkan protein kinase (AMPK). Selain itu juga mungkin dengan
cara mengurangi penyerapan glukosa oleh saluran pencernaan
gastrointestinal. (Basic & Clinical Pharmacology-Bertram Katzung. Edisi 12
Hal 757)

c) Humalog insulin

96
Humalog adalah termasuk tipe insulin rapid yaitu memiliki onset yang cepat
anatara sekitar 15-30 menit, peaknya 1-2 jam setelah pemakaian dan
maksimal durasinya 5-6 jam. (Pharmacotherapy A Pathophiciologic
Approach edisi 7 Hal 1217)

6. Dari terapi di atas adanya terjadi interaksi farmakodinamik agonis


diantaranya pemberian baersamaan metformin dengan insulin humalog
karena ke dua obat ini saling mempekuat efek antihiperglikemik walaupun
metformin sendiri tidak mengakibatkan efek hipoglikemik.

7. Dari data laboratorium gula darah sewaktu mengalami progres penurunan


yang signifikan namun tidak untuk gula darah 2JPP masih tetap tinggi oleh
karena itu sebaiknya menggunakan kombinasi insulin golongan premixed
insulin seperti humalog mix atau novolog mix yang berdaya mengurangi
kadar glukosa dalam darah postprandial.

8. Penggunaan dosis insulin sebaiknya diturunkan dari 3 x 16 u/sc karena bila


kita dilihat dari berat badan yang hanya 60 kg dengan mengacu pada referensi
Texas Diabetes Council dosisnya dan goal FPG, 2h PP adalah :

Dosis /hari nya adalah 60 kg x 0,3 units = 18 units


Dosis /hari nya adalah 60 kg x 0,5 units = 30 units

97
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
1. Kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di RSUD Gunung Jati
Cirebon memberikan manfaat bagi mahasiswa dalam meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan mengenai aspek kefarmasian baik dari
segi manajerial maupun fungsional bagi seorang apoteker.
2. Kegiatan kefarmasian yang telah dilaksanakan di RSUD Gunung Jati
Cirebon meliputi PIO, konseling pengobatan, PKMRS dan visite.
3. Kegiatan visite dapat menggali potensi farmasi klinis bagi mahasiswa

98
PKPA dan mampu berkomunikasi dengan pasien maupun dari pihak
keluarga pasien.
4. PKPA yang dilaksanakan mampu memberikan pengetahuan dan
pengalaman praktis kepada mahasiswa tentang pelayanan kefarmasian
yang optimal melalui kerjasama dalam tim kesehatan dan berinteraksi
dengan pasien/ keluarga pasien.
5. Memberi pengetahuan kerja nyata di Rumah Sakit Gunung Jati Kota
Cirebon mengenai pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit.

6.2. Saran
1. Instalasi farmasi rumah sakit merupakan bagian yang sangat penting dari
mutu pelayanan rumah sakit, oleh karena itu mutu pelayanan kefarmasian
(ketepatan, kecepatan dan keramahan) harus terus ditingkatkan melalui
pendidikan dan pelatihan-pelatihan.
2. Memperbaharui formularium Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati
dan menjalankan fungsi panitia farmasi terapi.
3. Pada pelaksanaan konseling dan pelayanan informasi obat diharapkan
untuk kedepannya bukan hanya dilakukan untuk pasien pulang saja,
tetapi untuk semua pasien yang ada di rumah sakit, agar pemantauan
penggunaan obat yang rasional dapat lebih maksimal dan penggunaannya
tepat.
4. Untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian maka perlu ditingkatkan
hubungan kerjasama yang baik antara staf medik dokter atau tenaga
medik lainnya dengan apoteker dalam hal komunikasi dan masalah lain
yang berhubungan dengan kesehatan, baik penggunaan obat rasional atau
dalam pengendalian penggunaan obat untuk penderita.

99
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang No.44


tentang Kesehatan. Jakarta.

2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Peraturan Pemerintah


No. 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta.

3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Keputusan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia No. 1197 tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit. Jakarta.

100
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah
No. 23 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Jakarta.

5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1998. Peraturan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia, No. 159/B/MenKes/Per/II/1998, Tentang
Rumah Sakit. Jakarta.

6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1992. Peraturan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia, No 938/B/MenKes/SK/XI/1992 Tentang
Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum. Jakarta.

7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1998. Peraturan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia, No 164/B/MenKes/Per/II/1998 Tentang
Fungsi Rumah Sakit. Jakarta.

8. Bertram G. Katzung, MD, Phd. 2012. Basic and clinical pharmacology.


McGraw-Hill.

9. Pemerintah Kota Cirebon. 2009. Keputusan Walikota Cirebon No.


445/kep.359-DPPKD/2009 Tentang Penetapan Penyelenggaraan Pola
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) pada
Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Cirebon. Cirebon.

10. Texas Diabetes Council. 2010. insulin Algorithm for type 1 d iabetes
Mellitus in children and Adults. Texas Depertment of State Health Services.

101
102
LAMPIRAN-LAMPIRAN

103
Lampiran 1
Bagan Struktur Organisasi Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Cirebon

DIREKTUR
DEWAN PENGAWASAN DAN PERTIMBANGAN

KOMITE PROFESI

SATUAN PENGAWAS INTERN


.
KOMITE MEDIS KOMITE KEPERAWATAN

WAKIL DIREKTUR WAKIL DIREKTUR WAKIL DIREKTUR


PELAYANAN MEDIS DAN KEPERAWATAN PENUNJANG MEDIS UMUM & KEUANGAN

BIDANG BIDANG BIDANG BAGIAN


PELAYANAN BIDANG BAGIAN BAGIAN
PENUNJANG PENDIDIKAN & PERENCANAAN &
MEDIS KEPERAWATAN UMUM KEUANGAN
MEDIS PENGEMBANGAN REKAM MEDIS

SEKSI SUB BAG. PROG. &


SEKSI ASUHAN & SUB BAG, TATA SUB BAG.
SEKSI PELAYANAN PENUNJANG EVALUASI
PELAYANAN SEKSI USAHA ANGGARAN
MEDIS DIAGNOSTIK PELAPORAN
KEPERAWATAN PENDIDIKAN &
PELATIHAN
SEKSI SARANA & SEKSI SUB BAG.
SEKSI PENUNJANG NON SEKSI KEPEGAWAIAN SUB BAG. REKAM SUB BAG.
PRASARANA
KEFARMASIAN & DIAGNOSTIK PENGEMBANGAN MEDIS & HUKUM PERBENDAHARAAN
KEPERAWATAN
PERBEKALAN SEKSI MUTU & SUB BAG. R.
PELAYANAN KEFAR PEMASARAN
104 TANGGA & SUB BAG. SISTEM
MEDIS SUB BAG.
PERLENGKAPAN INF. MANAJEMEN
AKUTANSI &
INSTALASI & HUMAS
VERIFIKASI
Lampiran 2

Struktur Organisasi Instalasi Farmasi RSUD Gunung Jati


(Surat Keputusan Direktur No. 605/Kep.31-RSUD.GJ/2009, Tanggal 01 April 2009)

KELOMPOK JABATAN Wakil Direktur Penunjang Medis & Pendidikan


INSTALASI INSTALASI
FUNGSIONAL

Kepala Instalasi Farmasi Panitia Farmasi & Terapi


Panitia Lain-lain

Administrasi/Tata Usaha

Penanggung Jawab Perbekalan Penanggung Jawab Pelayanan Farmasi

Farmasi Klinis

Gudang Obat Gudang Alkes Depo Farmasi Depo Farmasi Depo Farmasi Depo Farmasi Depo Farmasi
Rawat Jalan Rawat Inap OK-CMU IGD/OK-IGD PTRM/HIV

105
Lampiran 3

Alur Perencanaan Perbekalan Farmasi dan Pengadaan Perbekalan Farmasi

Laporan perencanaan kebutuhan tiap unit pelayanan


(depo)

Bagian Perbekalan

Rekap, seleksi, pembuatan usulan obat-alkes

Kepala Instalasi Farmasi

Seleksi usulan berdasarkan skala prioritas kebutuhan obat-alkes

Wadir Bidang Penunjang Medis

KPA (Kepala Penguasa Anggaran)

Daftar Usulan Rencana Kebutuhan (DURK) yang disetujui oleh


KPA (Kepala Penguasa Anggaran)

SPK (Surat Perintah Kerja)

ULP (Unit Layanan Pengadaan)

Pemesanan melalui distributor yang dipilih

Penerimaan barang dan faktur

Tim pemeriksaan barang yang masuk ke gudang

Gudang Ditolak atau dikembalikan

-106-
-107-
-108-
Lampiran 6

Salinan Resep

-109-

Anda mungkin juga menyukai