Disusun Oleh :
NIM : 21209092
Kelas : 21A2
Prodi : S1 Farmasi
i
DAFTAR ISI
MAKALAH .................................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii
BAB I............................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................ 2
1.3 Tujuan .................................................................................................................. 3
BAB II............................................................................................................................ 4
PEMBAHASAN............................................................................................................. 4
2.1 Sejarah Pharmaceutical Care ............................................................................... 4
2.2 Lingkup Praktek Asuhan Kefarmasian ............................................................... 4
2.3 Definisi Konsep dan Karakteristik Pharmaceutical Care ..................................... 4
2.4 Pharmaceutical Care sebagai Filosofi dan Paradigma Baru Good Pharmacy
Practice (GPP)............................................................................................................ 5
2.5 Hubungan Pharmaceutical Care dengan Good Pharmacy Practice (GPP) ........... 6
2.6 Pentingnya Pharmaceutical Care dalam Pelayanan Kefarmasian di Patient Care
Process ....................................................................................................................... 6
2.7 Pelayanan Care di Komunitas berdasarkan PP No. 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian.............................................................................................. 7
2.8 Skema dan Mekanisme Pharmaceutical Care Plan ............................................... 8
2.9 Evolusi Tanggung Jawab Farmasis Klinis di Pelayanan Kesehatan ..................... 9
2.10 Penerapan Pharmaceutical Care di Rumah Sakit ..............................................10
2.11 Pengertian Drug Therapy Problems (DTP)........................................................11
2.12 Tanggung Jawab Apoteker dalam DTP .............................................................11
2.13 7 Kategori DTP dan Penyebabnya ....................................................................11
2.14 Aktual dan Potensial DTP..................................................................................12
2.15 Identifikasi DTP.................................................................................................12
2.16 Pengertian Drug Related Needs .........................................................................13
2.17 Mengubah Drug Related Needs ke dalam DTP ..................................................13
ii
2.18 Pentingnya Dokumentasi untuk Membuat Catatan Pengobatan Pasien (PMRs)
sebagai Tanggung Jawab Apoteker...........................................................................14
2.19 Cara Pendokumentasian Sistem SOAP Method.................................................15
2.20 Evaluasi dan Penerapan Pharmaceutical Care dalam Pelayanan Kefarmasian
pada Kasus pasien dibawah ini..................................................................................16
BAB III .........................................................................................................................22
PENUTUP.....................................................................................................................22
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................22
3.2 Saran ...................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................23
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
seorang apoteker bahwa apoteker sekarang dapat memberikan konstribusi yang vital
terhadap perawatan pasien.
Dari hal tersebut dapat kita pahami bahwa pekerjaan kefarmasian pada
zamannya akan selalu berkembang mengikuti tuntutan masyarakat. Sehingga
terbentuk lah paradigma baru yaitu paradigma Asuhan Kefarmasian atau dikenal
dengan Pharmaceutical Care yang merupakan tanggung jawab seorang apoteker
yang harus dipertimbangkan untuk penerapannya pada Pekerjaan Kefarmasian.
2
1.3 Tujuan
Untuk memahami materi tentang Pharmaceutical Care berkaitan dengan
sejarahnya, ruang lingkup praktek asuhan kefarmasian, konsep dan karakteristik
Pharmaceutical Care, Pharmaceutical Care sebagai filosofi dan paradigma baru GPP,
hubungan Pharmaceutical Care dengan Good Pharmacy Practice (GPP), pentingnya
Pharmaceutical Care dalam Pelayanan Kefarmasian di Patient Care Process
Pelayanan Care di komunitas berdasarkan PP no. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian, skema dan mekanisme Pharmaceutical Care Plan, dan evolusi
tanggung jawab farmasis klinis di pelayanan kesehatan, penerapan pharmaceutical
care di rumah sakit.
Selain itu, tujuan pembuatan rangkuman materi ini juga guna memahami
pengertian Drug Therapy Problems/DTP, tanggung jawab apoteker dalam DTP,
aktual dan potensial DTP, Identifikasi DTP, pengertian Drug Related Needs,
mengubah Drug Related Needs ke dalam DTP, pentingnya dokumentasi untuk
membuat catatan pengobatan pasien (PMRs) sebagai tanggung jawab apoteker, serta
cara pendokumentasian sistem SOAP Method.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
5. Pendidikan pasien: Memberikan edukasi kepada pasien tentang obat yang
mereka gunakan, termasuk dosis, efek samping yang mungkin terjadi, dan
pentingnya kepatuhan terhadap terapi obat.
6. Pemantauan pasien: Melakukan pemantauan terhadap respons pasien terhadap
terapi obat, termasuk pemantauan efek samping, dan memberikan intervensi
jika diperlukan.
7. Pengelolaan masalah terapi obat: Mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah
terkait terapi obat, seperti interaksi obat, efek samping, atau kepatuhan yang
rendah.
8. Pengembangan hubungan jangka panjang: Membangun hubungan yang
berkelanjutan dengan pasien untuk memastikan perawatan yang berkelanjutan
dan terkoordinasi.
Konsep Pharmaceutical Care bertujuan untuk meningkatkan hasil klinis pasien,
meminimalkan risiko terapi obat, dan meningkatkan kualitas hidup pasien
secara keseluruhan melalui peran aktif farmasis dalam perawatan kesehatan.
2.4 Pharmaceutical Care sebagai Filosofi dan Paradigma Baru Good Pharmacy
Practice (GPP)
Dalam filosofi praktik asuhan kefarmasian, apoteker bertanggung jawab
langsung pada pasien yang dilayani. Apoteker saat ini menyadari bahwa praktik
apotek telah berkembang selama bertahun-tahun sehingga tidak hanya mencakup
peyiapan, peracikan, dan penyerahan obat kepada pasien, tetapi juga interaksi
dengan pasien dan penyedia layanan kesehatan lain diseluruh penyediaan asuhan
kefarmasian. (Rantucci, 2010:10).
Pada saat ini paradigma pelayanan kefarmasian telah meluas dari pelayanan
yang berorientasi pada obat (drug oriented) menjadi pelayanan yang berorientasi
pada pasien (patient oriented). Konsekuensi dari suatu perubahan orientasi
pelayanan kefarmasian ini, menuntut seorang apoteker untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi
langsung dengan pasien. sehingga pelayanan kefarmasian tidak hanya melayani
penjualan obat saja tetapi juga terlibat untuk meningkatkan kualitas hidup dari
pasien ( Depkes RI,2014). Pelayanan Kefarmasian merupakan suatu pelayanan
kefarmasian secara langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan
dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.
5
2.5 Hubungan Pharmaceutical Care dengan Good Pharmacy Practice (GPP)
Pharmaceutical Care dan Good Pharmacy Practice (GPP) memiliki hubungan
erat karena keduanya saling melengkapi dalam memastikan praktik farmasi yang
berkualitas dan terapeutik. Berikut adalah hubungan antara keduanya :
a. Prinsip-prinsip yang Serupa: Baik Pharmaceutical Care maupun GPP memiliki
prinsip-prinsip yang serupa dalam praktik farmasi yang berkualitas. Keduanya
menekankan pentingnya keamanan pasien, etika profesi, penggunaan bukti
ilmiah, kolaborasi dengan tim kesehatan, dan orientasi pada pasien.
b. Penerapan dalam Praktik: GPP memberikan kerangka kerja umum untuk
praktik farmasi yang baik, sementara Pharmaceutical Care menambahkan
dimensi terapeutik yang lebih spesifik, menekankan peran farmasis dalam
memberikan perawatan langsung kepada pasien dan memastikan penggunaan
obat yang optimal.
c. Pengembangan Peran Farmasis: GPP membantu mengatur standar dan
pedoman praktik farmasi yang mencakup aspek hukum, etika, dan
profesionalisme, sementara Pharmaceutical Care memperluas peran farmasis
dari sekadar penyedia obat menjadi penyedia perawatan langsung kepada
pasien.
d. Orientasi Pasien: Keduanya menekankan pentingnya orientasi pada pasien
dalam praktik farmasi, namun Pharmaceutical Care menambahkan fokus yang
lebih kuat pada pemahaman kebutuhan dan preferensi pasien dalam
pengelolaan terapi obat.
Dengan demikian, Pharmaceutical Care dapat dianggap sebagai evolusi atau
pendekatan yang lebih spesifik dalam praktik farmasi yang terkait erat dengan
konsep GPP, sambil menambahkan dimensi terapeutik dan pasien-berpusat yang
lebih dalam.
6
penggunaan obat yang efektif, aman, dan sesuai.
c. Pencegahan dan Pengelolaan Masalah Terkait Obat : Melalui edukasi pasien
tentang penggunaan obat yang benar dan pemantauan terapi yang teratur,
Pharmaceutical Care membantu mencegah dan mengelola masalah terkait obat
seperti efek samping dan interaksi obat.
d. Kolaborasi Tim Perawatan : Dalam patient care process, kolaborasi antara
farmasis dengan anggota tim perawatan kesehatan lainnya seperti dokter,
perawat, dan ahli gizi sangat penting. Pharmaceutical Care memfasilitasi
komunikasi dan kerja sama antarprofesional untuk merancang rencana
perawatan yang komprehensif bagi pasien.
e. Pemantauan dan Evaluasi : Dengan memantau respons pasien terhadap
pengobatan dan mengevaluasi hasil perawatan, Pharmaceutical Care membantu
menentukan efektivitas terapi dan mengidentifikasi perubahan yang diperlukan
dalam rencana perawatan.
f. Peningkatan Kualitas Hidup Pasien : Melalui pendekatan yang holistik dan
pemberian dukungan kepada pasien, Pharmaceutical Care bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dengan memastikan penggunaan obat yang
tepat dan mengoptimalkan manajemen kondisi kesehatan.
Dengan demikian, Pharmaceutical Care memainkan peran kunci dalam semua
tahapan patient care process, mulai dari evaluasi awal hingga pemantauan dan
evaluasi lanjutan, dengan tujuan utama meningkatkan hasil kesehatan pasien secara
keseluruhan.
7
2.8 Skema dan Mekanisme Pharmaceutical Care Plan
Pharmaceutical Care Plan adalah suatu rencana yang disusun oleh seorang
apoteker untuk memberikan pelayanan farmasi yang optimal kepada pasien. Berikut
adalah skema umum dan mekanisme yang terlibat dalam penyusunan
Pharmaceutical Care Plan :
Perencanaan
Intervensi
1. Evaluasi Pasien
Apoteker melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pasien, termasuk riwayat
medis, riwayat penggunaan obat, kondisi kesehatan, dan kebutuhan pasien.
2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan evaluasi, apoteker mengidentifikasi masalah terkait obat (drug
therapy problems) yang mempengaruhi kesehatan pasien, seperti kebutuhan
dosis yang tidak efektif, interaksi obat, atau efek samping yang tidak diinginkan.
3. Perumusan Tujuan Terapi
Apoteker menetapkan tujuan terapi yang jelas dan terukur berdasarkan masalah
yang diidentifikasi, misalnya, mencapai kontrol tekanan darah yang optimal atau
mengurangi gejala penyakit tertentu.
4. Perencanaan Intervensi
Apoteker merencanakan intervensi yang tepat untuk menangani masalah terapi
obat yang diidentifikasi, seperti penyesuaian dosis, penggantian obat, konseling
pasien, atau monitoring efek samping.
5. Implementasi Rencana
8
Apoteker menerapkan rencana intervensi yang telah dirancang dengan
memastikan komunikasi yang efektif dengan pasien, kolaborasi dengan tim
perawatan kesehatan lainnya, dan pengaturan proses administrasi obat yang
tepat.
6. Evaluasi dan Monitoring
Apoteker secara teratur mengevaluasi dan memantau respons pasien terhadap
intervensi yang dilakukan, mengukur kemajuan terhadap tujuan terapi, serta
mengidentifikasi perubahan yang mungkin diperlukan dalam rencana
perawatan.
7. Revisi Rencana
Berdasarkan hasil evaluasi dan monitoring, apoteker merevisi rencana
perawatan jika diperlukan, mengubah tujuan terapi, menyesuaikan intervensi,
atau memperbarui rencana monitoring sesuai dengan kebutuhan pasien.
9
praktik farmasi klinis.
5. Pengembangan Kebijakan Obat
Farmasis klinis juga terlibat dalam pengembangan kebijakan obat di
lembaga kesehatan, termasuk prosedur penggunaan obat yang aman dan
efektif.
Evolusi ini mencerminkan dorongan untuk meningkatkan peran farmasis
dalam menyediakan perawatan kesehatan yang holistik dan berfokus pada pasien,
serta untuk memaksimalkan manfaat dari penggunaan obat dalam praktik klinis
10
mencegah masalah terkait obat, dan memaksimalkan manfaat dari penggunaan obat.
11
obat menjadi tidak efektif.
d. Dosis terlalu tinggi
Permasalahan terjadi jika pasien mendapat masalah medis karena penggunaan
obat yang berlebihan.
e. Dosis terlalu rendah
Permasalahan terjadi jika pasien mendapat masalah medis dan menerima obat
yang sesuai, namun dosis yang diberikan terlalu rendah.
f. Reaksi obat yang merugikan (ADR)
Permasalahan terjadi jika pasien memiliki masalah medis yang merupakan
hasil dari reaksi obat yang merugikan.
g. Ketidakpatuhan
Ketidakpatuhan dapat menjadi indikator kurangnya akses ke obat yang
diresepkan karena tidak terjangkau dan tidak tersedia, kegagalan untuk
memahami instruksi dan kesulitan dalam administrasi.
12
fungsi organ.
c. Interaksi obat : Kombinasi obat dapat menyebabkan interaksi yang tidak
diinginkan, baik meningkatkan atau mengurangi efektivitas obat. Identifikasi
interaksi obat dapat dilakukan dengan menggunakan sumber informasi yang
tepat, seperti database interaksi obat.
d. Efek samping : Pasien mengalami efek samping yang tidak diinginkan dari obat
yang digunakan. Ini dapat teridentifikasi melalui pemantauan pasien dan
penilaian gejala yang dialami.
e. Kepatuhan yang rendah : Pasien tidak mengikuti rencana pengobatan yang telah
ditetapkan, seperti melewatkan dosis atau menghentikan penggunaan obat
tanpa sepengetahuan penyedia layanan kesehatan. Identifikasi dapat dilakukan
melalui wawancara dengan pasien atau pemantauan penggunaan obat.
f. Kontraindikasi : Penggunaan obat yang dikontraindikasikan untuk pasien
tertentu karena kondisi kesehatan atau alergi. Ini bisa terdeteksi dengan
menyelidiki riwayat medis pasien dan alergi obat yang diketahui.
g. Monitorisasi yang diperlukan : Beberapa obat memerlukan pemantauan khusus
untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya. Identifikasi ini dapat
dilakukan dengan memeriksa panduan penggunaan obat atau informasi dari
otoritas kesehatan terkait.
13
Tinjau obat-obatan yang sedang digunakan oleh pasien, termasuk dosis,
frekuensi, kepatuhan, dan efek samping yang mungkin dialami.
c. Identifikasi Potensi Masalah Terapi Obat
Berdasarkan informasi yang diperoleh, identifikasi potensi masalah terapi
obat yang mungkin terjadi, seperti kebutuhan akan penyesuaian dosis,
interaksi obat, efek samping yang tidak diinginkan, atau kepatuhan yang
rendah.
d. Mengubah Kebutuhan Menjadi Masalah Terapi Obat
Ubah kebutuhan terkait obat menjadi masalah terapi obat yang spesifik
dan terukur. Misalnya, jika kebutuhan terkait obat adalah dosis yang tidak
efektif, masalah terapi obatnya bisa menjadi "dosis obat tidak mencapai
efek terapeutik yang diinginkan."
e. Rencanakan Intervensi
Setelah mengidentifikasi masalah terapi obat, rencanakan intervensi yang
sesuai, seperti penyesuaian dosis, penggantian obat, monitoring efek
samping, atau edukasi pasien tentang pentingnya kepatuhan.
f. Tinjau dan Revisi
Lakukan tinjauan berkala terhadap masalah terapi obat yang diidentifikasi
dan intervensi yang direncanakan untuk memastikan efektivitasnya dan
melakukan revisi jika diperlukan.
Dengan melakukan langkah-langkah ini, kebutuhan terkait obat dapat diubah
menjadi masalah terapi obat yang dapat ditangani secara efektif oleh tim perawatan
kesehatan.
2.18 Pentingnya Dokumentasi untuk Membuat Catatan Pengobatan Pasien
(PMRs) sebagai Tanggung Jawab Apoteker
Berdasarkan Permenkes No. 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek, apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan
terjadinya kesalahan pengobatan (medication error), mengidentifikasi, mencegah,
dan mengatasi masalah terkait obat (drug related problems), masalah
farmakoekonomi, dan farmasi sosial. Untuk menghindari hal tersebut, apoteker
harus mampu menjalankan tugasnya sesuai standar pelayanan, mampu
berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya, monitoring penggunaan obat,
melakukan evaluasi, serta mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya.
Patient Medication Record (PMR) adalah catatan penggunaan obat dari
pelayanan kefarmasian yang diberikan apoteker. Tujuan dari pembuatan PMR
adalah pencatatan sejarah penyakit dan pengobatan pasien, untuk membantu
Apoteker dalam mengidentifikasi efek samping yang potensial. Dokumentasi PMR
merupakan salah satu poin dalam aktivitas utama Cara Pelayanan Kefarmasian yang
14
Baik (CPFB) (Mashuda, A., 2011). Dalam pelayanan resep farmasi klinik di apotek
setelah obat disiapkan, perlu dilakukan berbagai prosedur. Salah satu prosedur yang
perlu dilakukan yaitu apoteker membuat catatan pengobatan pasien (Depkes RI,
2016). Apabila apotek tidak melaksanakan dokumentasi Patient Medication Record
(PMR), maka semakin besar kemungkinan terjadinya efek samping obat karena
tidak terdokumentasinya alergi pasien terhadap obat tertentu serta waktu untuk
mencapai tujuan terapi akan semakin lama (Mashuda, A., 2011).
15
2.20 Evaluasi dan Penerapan Pharmaceutical Care dalam Pelayanan
Kefarmasian pada Kasus pasien dibawah ini
Indikasi penyakit
a. Azotemia : peningkatan kadar nitrogen urea darah (BUN) dan kadar
kreatinin serum atau suatu kondisi yang terjadi ketika kadar produk limbah
dalam darah terlalu tinggi
b. Uremia : kondisi yang ditandai dengan kadar urea dalam darah sangat tinggi
sehingga berubah menjadi racun bagi tubuh. pada urine terdapat darah
16
c. Anemia : kondisi dimana tubuh seseorang mengalami penurunan atau
jumlah sel darah merah yang ada di dalam tubuh berada di bawah batas
normal.
d. DM (diabetes melitus) : gangguan metabolisme kronis dengan multi
etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat
insufisiensi fungsi insulin.
e. Hipertensi : keadaan dimana tekanan darah sistolik pada tubuh seseorang
lebih dari atau sama dengan 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik
lebih dari atau sama dengan 90 mmHg.
f. Retinopati : salah satu bentuk komplikasi diabetes melitus, di mana kadar
gula yang tinggi pada akhirnya mengakibatkan kerusakan pada pembuluh
darah retina mata, terutama di jaringan-jaringan yang sensitif terhadap
cahaya.
g. (Hipertrofi ventrikel kiri)) : suatu kondisi di mana peningkatan massa
ventrikel kiri terjadi akibat peningkatan ketebalan dinding, peningkatan
pembesaran rongga ventrikel kiri, atau keduanya.
2. Objective
Jenis Tanggal pemeriksaan
pemeriksa Hasil
28/3 5/4 13/4 16/4 20/4 21/4
an
BUN (10- Tidak
130,2 79,3 45,6 45,9 71,7 51,1
24 mg/dL) normal
Tanggal
Kreatinin
28/3 hasil
(0,5-1,5 6,03 3,69 2,59 2,57 3,0 2,57
tidak
mg%)
normal
3. Assessment
Pasien memiliki riwayat penyakit DM, Hipertensi, Retinopati, dan LHV
(Hipertrofi ventrikel kiri). Penggunaan obat Metformin digunakan untuk terapi
diabetes pasien. Obat Lisinopril, Spinorolactone, dan Furosemid digunakan
untuk terapi hipertensi serta LVH. Penggunaan Neurodex digunakan untuk
vitamin dan penggunaan obat Paracetamol disini untuk analgesik dan
digunakan ketika nyeri berlangsung saja.
Berdasarkan data hasil pemeriksaan laboratorium pasien, kadar Bun
17
(ureum) pasien sangatlah tinggi, melebihi batas normal BUN pria dewasa.
Kondisi ketika kadar ureum dalam darah terlalu tinggi (> 50 mg/dL) disebut
uremia. Hal ini mengindentifikasikan bahwa pasien menderita uremia. Kadar
ureum yang tinggi ini dapat menyebabkan cepat lelah, pusing, mual, muntah,
dan kram kaki. Kadar ureum tinggi bisa menandakan bahwa ginjal Anda tidak
berfungsi dengan baik. Idealnya, ginjal berfungsi menyaring dan membuang
ureum dari darah melalui urine. Jika menumpuk di darah, ureum dapat
menimbulkan beragam keluhan dan gangguan kesehatan. Kadar Kretinin pasien
juga menunjukan hasil yang tidak normal. Normalnya, kreatinin dalam darah
akan disaring oleh ginjal, lalu dibuang keluar melalui urine. Ketika ginjal
bermasalah atau fungsinya terganggu, kreatinin tidak dapat disaring dengan
baik. Hal ini dapat menyebabkan kadar kreatinin dalam darah meningkat dan
dan menyebabkan fungsi ginjal terganggu. Peningkatan kadar kreatini dalam
darah pasien terjadi karena pasien memiliki riwayat penyakit Hipertensi dan
Diabetes.
Pemakaian obat hipertensi golongan diuretik seperti Spinorolactone dan
Furosemid diketahui dapat meningkatkan kadar gula darah. Namun,
penggunaannya tidak dilarang mutlak pada pasien Diabetes asalkan ada
indikasi medis yang tepat. Pemakaian obat diabetes golongan biguanide yaitu
metformin diindikasikan untuk memperbaiki kontrol gula darah dalam tuuh
pasien.
4. Plan
Terapi Hipertensi
a. Lisinopril
• Golongan : ACE Inhibitor
• Indikasi : pasien dengan hipertensi esensial, nefropati diabetik,
gagal jantung, dan pasca infark miokard akut.
• Dosis : Hipertensi ( Dosis Awal : 1 kali sehari 1 tablet; Dosis
penunjang lazim : 20 mg sehari; Maksimal : 80 mg sehari).
• Mekanisme Kerja : menghambat produksi angiotensin, yaitu
senyawa yang menyempitkan pembuluh darah.
b. Spinorolacton
• Golongan : Diuretik
• Indikasi : Mengobati hipertensi, gagal jantung, hipokalemia,
sirosis, pembengkakan (edema), atau hiperaldosteronisme
• Dosis : Mengobati hipertensi (darah tinggi), Dewasa: 25–100 mg
18
per hari, dibagi menjadi 1–2 kali sehari. Dosis dapat disesuaikan
setelah 2 minggu
• Mekanisme kerja : menghambat penyerapan garam (natrium) dan
air berlebih ke dalam tubuh serta menjaga agar kadar kalium darah
tidak terlalu rendah. Dengan begitu, pengeluaran air lewat urine
bisa ditingkatkan dan tekanan darah dapat diturunkan.
c. Furosemid
• Golongan : Loop Diuretik
• Indikasi : untuk tata laksana overload cairan dan edema yang
disebabkan karena gagal jantung, sirosis hati, dan penyakit ginjal,
termasuk sindrom nefrotik. Furosemide juga diindikasikan untuk
pengobatan hipertensi.
• Dosis : 20 mg (1 ampul) 1-2 x sehari
• Mekanisme kerja : meningkatkan produksi urin sehingga air dan
garam berlebih dalam tbuh adapat dikeluarkan.
Terapi Diabetes Melitus
a. Metformin
• Golongan : biguanide
• Indikasi : metformin utamanya adalah sebagai terapi adjuvan dari
diet dan olahraga untuk memperbaiki kontrol gula darah pada pasien
dengan diabetes mellitus tipe 2.
• Dosis : Dosis awal 500–850 mg, 1–3 kali sehari, dapat ditingkatkan
secara bertahap. Dosis maksimal 2.550–3.000 mg per hari, dibagi
dalam 3 kali minum.
• Mekanisme kerja : meningkatkan aktivitas hormon insulin,
mengurangi pembentukan gula darah di dalam hati, dan
menurunkan penyerapan gula di dalam usus. Cara kerja ini akan
membantu menurunkan kadar gula di dalam darah.
Terapi Vitamin
a. Neurodex
• Golongan : Obat bebas, suplemen vitamin
• Indikasi : untuk pengobatan kekurangan vitamin B1, B6 dan B 12
seperti pada polineuritis
• Dosis : 1 tablet sehari, atau menurut petunjuk dokter
• Mekanisme kerja : mengurangi prostaglandin, sehingga membantu
pengenceran darah dan mencegah pembekuan.
19
Terapi Analgesik
a. Paracetamol
• Golongan : obat bebas, analgesik-antipiretik
• Indikasi : untuk meredakan nyeri ringan hingga sedang seperti sakit
kepala, sakit gigi, nyeri otot, serta menurunkan demam.
• Dosis : Dewasa : 500 mg- 1000 mg, setiap 4-6 jam pada usia dewasa.
Dosis maksimal sebesar 4000 mg/hari.
• Mekanisme kerja : paracetamol bekerja pada pusat pengatur suhu di
hipotalamus untuk menurunkan suhu tubuh (antipiretik) serta
menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat mengurangi
nyeri ringan sampai sedang (analgesik).
5. Interaksi Obat
a. Pantau Secara Dekat
• Spinorolacton + Furosemid
Spinorolacton meningkat dan Furosemid menurunkan kalium serum.
Efek interaksi tidak jelas, hati-hati. Ubah terapi atau pantau secara
dekat.
• Lisinopril + Spinorolacton
Lisinopril dan Spinorolacton berdasarkan mekanisme kerja : sinergi
farmakodinamik. Gunakan perhatian atau monitor. Resiko
Hiperkalemia.
• Lisinopril + Furosemid
Lisinopril dan Furosemid berdasarkan mekanisme kerja : sinergi
farmakodinamik. Gunakan perhatian atau monitor. Resiko Hipotensi
akut, Insufisiensi Ginjal.
• Lisinopril + Metformin
Lisinopril meningkatkan toksisitas Metformin melalui mekanisme
interaksi interaksi yang tidak ditentukan. Gunakan perhatian atau
monitoring. Meningkatkan Resiko Hipoglikemia dan Asidosis Laktat.
b. Minor
• Furosemid + Tiamin
Furosemid menurunkan kadar Tiamin dengan meningkatkan
pembersihan Ginjal. Kecil atau signifikan tidak diketahui.
• Furosemid + Metformin
Furosemid meningkatkan kadar Metformin melalui mekanisme
interaksi yang tidak diketahui. Minor atau signifikansi tidak diketahui.
20
Pasien harus diobservasi secara berkala ketat untuk mengetahui
hilangnya kendali glukosa darah. Ketika obat dihentikan dari pasien
yang menerima Metformin, pasien harus diobservasi secara ketat
untuk mengetahui adanya Hipogikemia.
• Metformin + Sianokobalamin
Metformin menurunkan kadar sianocobalamin dengan mekanisme
interaksi yang tidak ditentukan. Minor atau signifikansi tidak
diketahui. Mungkin diperlukan beberapa tahun terapi Metformin untuk
mengembangkan defisiensi vitamin B12.
• Metformin + Furosemid
Metformin menurunkan kadar furosemid melalui mekanisme interaksi
yang tidak ditentukan. Minor atau signifikansi tidak diketahui.
6. Saran
a. Penggunaan obat yang diberikan sudah tepat indikasi. Penggunaan obat
Lisinopril, Spinorolacton, dan Furosemid untuk indikasi HT (hipertensi).
Penggunaan obat Metformin untuk indikasi DM (Diabetes Melitus).
Penggunaan obat Paracetamol PRN untuk indikasi analgesik. Dan
penggunaan Neurodex untuk suplemen vitamin.
b. Lisinopril 1 x sehari 80 mg dikonsumsi pada malam hari dan Spinorolacton
1 x sehari 25 mg dikonsumsi pada pagi hari. Penggunaan obat Lisinopril
dengan Spinorolacton diberikan jeda waktu penggunaan obat, karena resiko
hiperkalemia.
c. Furosemid dikonsumsi pada siang hari. Penggunaan obat Lisinopril dengan
Furosemid diberikan jeda waktu penggunaan obat, karena resiko hipotensi
dan infusiensi ginjal. Penggunaan Spinorolacton dengan Furosemid secara
bersamaan juga dapat meningkatkan dan menurunkan kalium serum
menimbulkan efek interaksi tidak jelas.
d. Metformin dapat dikonsumsi 2 x sehari 500 mg pagi dan siang hari.
Penggunaan obat Lisinopril bersamaan dengan dengan Metformin dapat
meningkatkan toksisitas Metformin dan risiko Hipoglikemia dan Asidosis
Laktat.
e. Neurodex (suplemen vitamin) 1 x sehari dikonsumsi pagi hari.
f. Paracetamol 500 mg dapat dikonsumsi prn (bila perlu) saat mengalami
nyeri untuk indikasi analgesik.
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Asuhan kefarmasian (Pharmaceutical Care) adalah pelayanan kefarmasian
yang berorientasi kepada pasien. Meliputi semua aktifitas apoteker yang
diperlukan untuk menyelesaikan masalah terapi pasien terkait dengan obat.
Praktek kefarmasian ini memerlukan interaksi langsung apoteker dengan pasien,
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
3.2 Saran
Pada umumnya apoteker sekarang masih kurang peduli dalam memberikan
penyuluhan atau pemahaman terhadap pasien mengenai obat, tata cara penggunaan
dan indikasi obat. Dalam prakteknya, apoteker hanya melayani resep obat
kemudian menyerahkannya kepada pasien, padahal tujuan utama tugas apoteker
bukan hanya itu. Apoteker wajib memberikan pemahaman atau penyuluhan
mengenai obat yang telah apoteker berikan kepada pasiennya. Karena itulah
Apoteker harus memiliki rasa peduli dan harus lebih baik lagi kedepannya dalam
proses pelayanan kepada pasiennya.
22
DAFTAR PUSTAKA
23