Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

RANGKUMAN MATERI PHARMACEUTICAL CARE

Mata Kuliah : Pharmaceutical Care

Dosen Pengampu : apt. Anna Fitriawati, S.Farm., M.Farm

Disusun Oleh :

Nama : Septiana Dewi

NIM : 21209092

Kelas : 21A2
Prodi : S1 Farmasi

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS DUTA BANGSA SURAKARTA


2024

i
DAFTAR ISI

MAKALAH .................................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii
BAB I............................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................ 2
1.3 Tujuan .................................................................................................................. 3
BAB II............................................................................................................................ 4
PEMBAHASAN............................................................................................................. 4
2.1 Sejarah Pharmaceutical Care ............................................................................... 4
2.2 Lingkup Praktek Asuhan Kefarmasian ............................................................... 4
2.3 Definisi Konsep dan Karakteristik Pharmaceutical Care ..................................... 4
2.4 Pharmaceutical Care sebagai Filosofi dan Paradigma Baru Good Pharmacy
Practice (GPP)............................................................................................................ 5
2.5 Hubungan Pharmaceutical Care dengan Good Pharmacy Practice (GPP) ........... 6
2.6 Pentingnya Pharmaceutical Care dalam Pelayanan Kefarmasian di Patient Care
Process ....................................................................................................................... 6
2.7 Pelayanan Care di Komunitas berdasarkan PP No. 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian.............................................................................................. 7
2.8 Skema dan Mekanisme Pharmaceutical Care Plan ............................................... 8
2.9 Evolusi Tanggung Jawab Farmasis Klinis di Pelayanan Kesehatan ..................... 9
2.10 Penerapan Pharmaceutical Care di Rumah Sakit ..............................................10
2.11 Pengertian Drug Therapy Problems (DTP)........................................................11
2.12 Tanggung Jawab Apoteker dalam DTP .............................................................11
2.13 7 Kategori DTP dan Penyebabnya ....................................................................11
2.14 Aktual dan Potensial DTP..................................................................................12
2.15 Identifikasi DTP.................................................................................................12
2.16 Pengertian Drug Related Needs .........................................................................13
2.17 Mengubah Drug Related Needs ke dalam DTP ..................................................13

ii
2.18 Pentingnya Dokumentasi untuk Membuat Catatan Pengobatan Pasien (PMRs)
sebagai Tanggung Jawab Apoteker...........................................................................14
2.19 Cara Pendokumentasian Sistem SOAP Method.................................................15
2.20 Evaluasi dan Penerapan Pharmaceutical Care dalam Pelayanan Kefarmasian
pada Kasus pasien dibawah ini..................................................................................16
BAB III .........................................................................................................................22
PENUTUP.....................................................................................................................22
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................22
3.2 Saran ...................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Apotek merupakan tempat dimana masyarakat umum bisa memperoleh dan
diberikan saran atau nasihat tentang penggunaan obat-obatan yang mereka gunakan.
Sebelum adanya National Health Service, Apoteker sering menggunakan alternative
dan efisiensi biaya dalam perawatan medis. Berkembangnya jumlah dan jenis obat-
obatan yang ada, semakin mempengaruhi bertambahnya jenis obat-obatan yang
dapat diresepkan dokter kepada pasien. Hampir semua apotek dengan kondisi seperti
ini memberikan beban dan tekanan pekerjaan kepada Apoteker hanya dalam hal
penyerahan obat, sehingga menyembunyikan peran dan fungsi Apoteker kepada
masyarakat umum.
Apoteker adalah tenaga profesi yang memiliki dasar pendidikan serta
keterampilan di bidang farmasi dan diberi wewenang serta tanggung jawab untuk
melaksanakan pekerjaan farmasi. Namun seiring berjalannya waktu peran
apoteker telah berubah dari peracik dan penyedia obat menjadi manajer terapi obat
yang mencakup tanggung jawab untuk menjamin bahwa dimanapun obat diproduksi,
disediakan/diperoleh, digunakan, disimpan, didistribusikan, dibagikan dan diberikan
sehingga obat tersebut berkonstribusi terhadap kesehatan pasien dan mengurangi
efek samping yang mungkin muncul.
Sebuah kefarmasian yang baik dimulai dengan diperhatikannya penyerahan
sebuah resep dengan cepat sehingga waktu yang diberikan oleh Apoteker untuk
berdiskusi dengan pasien berkurang. Banyak penelitian menunjukan bahwa, karena
kurangnya pengetahuan dan infomasi, sehingga banyak masyarakat menerima dan
menggunakan obat dan alat kesehatan dengan tidak tepat. Hal ini dapat menyebabkan
hilangnya khasiat dan efisien dalam penggunaan obat-obatan dan alat kesehatan
setiap tahunnya. Apoteker merupakan tenaga profesional kesehatan terakhir yang
dijumpai oleh pasien, sebelum dimulainya terapi pengobatan. Ada baiknya segala
sesuatu didokumentasikan sehingga informasi pasien dalam pengobatan digunakan
secara tepat. Oleh karena itu, sangat penting bagi seorang Apoteker secara aktif
untuk memastikan bahwa pasien memberikan informasi yang sesuai.
Ruang lingkup praktek kefarmasian saat ini termasuk pelayanan-berorientasi
pasien dengan segala fungsi kognitif konseling, menyediakan informasi obat dan
memantau terapi obat, sebagaimana halnya aspek teknis pelayanan kefarmasian
yang termasuk manajemen pengadaan obat. Hal ini merupakan peranan tambahan

1
seorang apoteker bahwa apoteker sekarang dapat memberikan konstribusi yang vital
terhadap perawatan pasien.
Dari hal tersebut dapat kita pahami bahwa pekerjaan kefarmasian pada
zamannya akan selalu berkembang mengikuti tuntutan masyarakat. Sehingga
terbentuk lah paradigma baru yaitu paradigma Asuhan Kefarmasian atau dikenal
dengan Pharmaceutical Care yang merupakan tanggung jawab seorang apoteker
yang harus dipertimbangkan untuk penerapannya pada Pekerjaan Kefarmasian.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah Pharmaceutical Care ?
2. Apa saja lingkup praktek asuhan kefarmasian ?
3. Apa definisi konsep dan karakteristik Pharmaceutical Care ?
4. Bagaimana Pharmaceutical Care sebagai filosofi dan paradigma baru GPP ?
5. Apa hubungan Pharmaceutical Care dengan Good Pharmacy Practice (GPP) ?
6. Apa pentingnya Pharmaceutical Care dalam Pelayanan Kefarmasian di Patient
Care Process ?
7. Pelayanan Care di komunitas berdasarkan PP no. 51 tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian ?
8. Bagaimana skema dan mekanisme Pharmaceutical Care Plan ?
9. Apa evolusi tanggung jawab farmasis klinis di pelayanan kesehatan ?
10. Bagaimana penerapan pharmaceutical care di rumah sakit ?
11. Apa pengertian Drug Therapy Problems/DTP ?
12. Apa saja tanggung jawab apoteker dalam DTP ?
13. Apa saja 7 kategori DTP dan penyebabnya ?
14. Apa itu aktual dan potensial DTP ?
15. Bagaiamana Identifikasi DTP ?
16. Apa pengertian Drug Related Needs ?
17. Bagaiamana mengubah Drug Related Needs ke dalam DTP ?
18. Apa pentingnya dokumentasi untuk membuat catatan pengobatan pasien
(PMRs) sebagai tanggung jawab apoteker ?
19. Bagaiaman cara pendokumentasian sistem SOAP Method ?
20. Bagaiamana contoh evaluasi dan penerpaan Pharmaceutical care pada pelayanan
kasus gagal ginjal?

2
1.3 Tujuan
Untuk memahami materi tentang Pharmaceutical Care berkaitan dengan
sejarahnya, ruang lingkup praktek asuhan kefarmasian, konsep dan karakteristik
Pharmaceutical Care, Pharmaceutical Care sebagai filosofi dan paradigma baru GPP,
hubungan Pharmaceutical Care dengan Good Pharmacy Practice (GPP), pentingnya
Pharmaceutical Care dalam Pelayanan Kefarmasian di Patient Care Process
Pelayanan Care di komunitas berdasarkan PP no. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian, skema dan mekanisme Pharmaceutical Care Plan, dan evolusi
tanggung jawab farmasis klinis di pelayanan kesehatan, penerapan pharmaceutical
care di rumah sakit.
Selain itu, tujuan pembuatan rangkuman materi ini juga guna memahami
pengertian Drug Therapy Problems/DTP, tanggung jawab apoteker dalam DTP,
aktual dan potensial DTP, Identifikasi DTP, pengertian Drug Related Needs,
mengubah Drug Related Needs ke dalam DTP, pentingnya dokumentasi untuk
membuat catatan pengobatan pasien (PMRs) sebagai tanggung jawab apoteker, serta
cara pendokumentasian sistem SOAP Method.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Pharmaceutical Care


Konsep adanya pharmaceutical care dengan latar belakang adanya ledakan
obat antara tahun1960-1990. Pada tahun 1961 ada 656 jenis obat dan pada tahun
1999 ada 8000 jenis obat. Pada tahun 1971 sekitar 140.000 kematian dan 1 juta
dirawat dengan 20% perawatan disebabkan karena kecelakaan obat dan 45-65%
pasien memakai obat tidak sesuai anjuran.
Pada tahun 1990, muncul istilah pharmaceutical care karena adanya
perubahan terkait pelayanan kefarmasian (Helper dan Strans, 1990). Istilah ini jika
diartikan kedalam Bahasa Indonesia menjadi asuhan kefarmasian yaitu suatu
pelayanan yang berpusat pada pasien dan berorientasi terhadap keberhasilan terapi
pasien. Dengan demikian adanya istilah ini memposisikan seorang apoteker ikut
serta bertanggungjawab terhadap pengobatan pasien bersama profesi kesehatan lain.

2.2 Lingkup Praktek Asuhan Kefarmasian


Ruang lingkup praktek kefarmasian saat ini termasuk pelayanan-berorientasi
pasien dengan segala fungsi kognitif konseling, menyediakan informasi obat daan
memantau terapi obat, sebagaimana halnya aspek teknis pelayanan kefarmasian
yang termasuk manajemen pengadaan obat.

2.3 Definisi Konsep dan Karakteristik Pharmaceutical Care


Konsep Pharmaceutical Care adalah pendekatan praktik farmasi yang
berpusat pada pasien, dimana farmasis berperan sebagai penyedia perawatan
langsung kepada pasien untuk memastikan penggunaan obat yang optimal.
Beberapa karakteristik utama dari konsep Pharmaceutical Care meliputi:
1. Orientasi pasien: Fokus utama pada kebutuhan dan kepentingan pasien,
termasuk pemahaman akan kondisi medis, preferensi, dan kepatuhan terhadap
terapi obat.
2. Berbasis bukti: Pengambilan keputusan berdasarkan bukti ilmiah terkini,
termasuk hasil penelitian klinis dan pedoman praktik klinis yang relevan.
3. Kolaborasi tim: Kerja sama yang erat dengan anggota tim kesehatan lainnya,
termasuk dokter, perawat, dan ahli kesehatan lainnya, untuk memastikan
perawatan yang terkoordinasi dan holistik.
4. Evaluasi terapi obat: Peninjauan dan evaluasi terapi obat secara berkala untuk
memastikan kecocokan dengan kebutuhan pasien, efektivitas, dan keamanan.

4
5. Pendidikan pasien: Memberikan edukasi kepada pasien tentang obat yang
mereka gunakan, termasuk dosis, efek samping yang mungkin terjadi, dan
pentingnya kepatuhan terhadap terapi obat.
6. Pemantauan pasien: Melakukan pemantauan terhadap respons pasien terhadap
terapi obat, termasuk pemantauan efek samping, dan memberikan intervensi
jika diperlukan.
7. Pengelolaan masalah terapi obat: Mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah
terkait terapi obat, seperti interaksi obat, efek samping, atau kepatuhan yang
rendah.
8. Pengembangan hubungan jangka panjang: Membangun hubungan yang
berkelanjutan dengan pasien untuk memastikan perawatan yang berkelanjutan
dan terkoordinasi.
Konsep Pharmaceutical Care bertujuan untuk meningkatkan hasil klinis pasien,
meminimalkan risiko terapi obat, dan meningkatkan kualitas hidup pasien
secara keseluruhan melalui peran aktif farmasis dalam perawatan kesehatan.

2.4 Pharmaceutical Care sebagai Filosofi dan Paradigma Baru Good Pharmacy
Practice (GPP)
Dalam filosofi praktik asuhan kefarmasian, apoteker bertanggung jawab
langsung pada pasien yang dilayani. Apoteker saat ini menyadari bahwa praktik
apotek telah berkembang selama bertahun-tahun sehingga tidak hanya mencakup
peyiapan, peracikan, dan penyerahan obat kepada pasien, tetapi juga interaksi
dengan pasien dan penyedia layanan kesehatan lain diseluruh penyediaan asuhan
kefarmasian. (Rantucci, 2010:10).
Pada saat ini paradigma pelayanan kefarmasian telah meluas dari pelayanan
yang berorientasi pada obat (drug oriented) menjadi pelayanan yang berorientasi
pada pasien (patient oriented). Konsekuensi dari suatu perubahan orientasi
pelayanan kefarmasian ini, menuntut seorang apoteker untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi
langsung dengan pasien. sehingga pelayanan kefarmasian tidak hanya melayani
penjualan obat saja tetapi juga terlibat untuk meningkatkan kualitas hidup dari
pasien ( Depkes RI,2014). Pelayanan Kefarmasian merupakan suatu pelayanan
kefarmasian secara langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan
dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.

5
2.5 Hubungan Pharmaceutical Care dengan Good Pharmacy Practice (GPP)
Pharmaceutical Care dan Good Pharmacy Practice (GPP) memiliki hubungan
erat karena keduanya saling melengkapi dalam memastikan praktik farmasi yang
berkualitas dan terapeutik. Berikut adalah hubungan antara keduanya :
a. Prinsip-prinsip yang Serupa: Baik Pharmaceutical Care maupun GPP memiliki
prinsip-prinsip yang serupa dalam praktik farmasi yang berkualitas. Keduanya
menekankan pentingnya keamanan pasien, etika profesi, penggunaan bukti
ilmiah, kolaborasi dengan tim kesehatan, dan orientasi pada pasien.
b. Penerapan dalam Praktik: GPP memberikan kerangka kerja umum untuk
praktik farmasi yang baik, sementara Pharmaceutical Care menambahkan
dimensi terapeutik yang lebih spesifik, menekankan peran farmasis dalam
memberikan perawatan langsung kepada pasien dan memastikan penggunaan
obat yang optimal.
c. Pengembangan Peran Farmasis: GPP membantu mengatur standar dan
pedoman praktik farmasi yang mencakup aspek hukum, etika, dan
profesionalisme, sementara Pharmaceutical Care memperluas peran farmasis
dari sekadar penyedia obat menjadi penyedia perawatan langsung kepada
pasien.
d. Orientasi Pasien: Keduanya menekankan pentingnya orientasi pada pasien
dalam praktik farmasi, namun Pharmaceutical Care menambahkan fokus yang
lebih kuat pada pemahaman kebutuhan dan preferensi pasien dalam
pengelolaan terapi obat.
Dengan demikian, Pharmaceutical Care dapat dianggap sebagai evolusi atau
pendekatan yang lebih spesifik dalam praktik farmasi yang terkait erat dengan
konsep GPP, sambil menambahkan dimensi terapeutik dan pasien-berpusat yang
lebih dalam.

2.6 Pentingnya Pharmaceutical Care dalam Pelayanan Kefarmasian di Patient


Care Process
Pharmaceutical Care memiliki peran yang sangat penting dalam pelayanan
kefarmasian dalam patient care process. Berikut adalah beberapa alasan mengapa
Pharmaceutical Care sangat penting dalam proses perawatan pasien:
a. Fokus pada Pasien : Pharmaceutical Care menempatkan pasien sebagai pusat
perhatian, memastikan bahwa pengobatan yang diberikan sesuai dengan
kebutuhan, preferensi, dan karakteristik individu pasien.
b. Optimalisasi Penggunaan Obat : Dengan memantau dan mengevaluasi respons
pasien terhadap pengobatan, Pharmaceutical Care membantu memastikan

6
penggunaan obat yang efektif, aman, dan sesuai.
c. Pencegahan dan Pengelolaan Masalah Terkait Obat : Melalui edukasi pasien
tentang penggunaan obat yang benar dan pemantauan terapi yang teratur,
Pharmaceutical Care membantu mencegah dan mengelola masalah terkait obat
seperti efek samping dan interaksi obat.
d. Kolaborasi Tim Perawatan : Dalam patient care process, kolaborasi antara
farmasis dengan anggota tim perawatan kesehatan lainnya seperti dokter,
perawat, dan ahli gizi sangat penting. Pharmaceutical Care memfasilitasi
komunikasi dan kerja sama antarprofesional untuk merancang rencana
perawatan yang komprehensif bagi pasien.
e. Pemantauan dan Evaluasi : Dengan memantau respons pasien terhadap
pengobatan dan mengevaluasi hasil perawatan, Pharmaceutical Care membantu
menentukan efektivitas terapi dan mengidentifikasi perubahan yang diperlukan
dalam rencana perawatan.
f. Peningkatan Kualitas Hidup Pasien : Melalui pendekatan yang holistik dan
pemberian dukungan kepada pasien, Pharmaceutical Care bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dengan memastikan penggunaan obat yang
tepat dan mengoptimalkan manajemen kondisi kesehatan.
Dengan demikian, Pharmaceutical Care memainkan peran kunci dalam semua
tahapan patient care process, mulai dari evaluasi awal hingga pemantauan dan
evaluasi lanjutan, dengan tujuan utama meningkatkan hasil kesehatan pasien secara
keseluruhan.

2.7 Pelayanan Care di Komunitas berdasarkan PP No. 51 Tahun 2009 tentang


Pekerjaan Kefarmasian
Sesuai PP No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, diatur bahwa
praktek pelayanan kefarmasian oleh apoteker dapat dilaksakan pada fasilitas
pelayanan kefarmasian, yaitu :
1. Apotik
2. Instalasi farmasi rumah sakit
3. Puskesmas
4. Toko obat
5. Klinik
6. Praktek bersama
Bentuk praktek apoteker ini adalah bentuk asuhan kefarmasian (pharmaceutical
care).

7
2.8 Skema dan Mekanisme Pharmaceutical Care Plan
Pharmaceutical Care Plan adalah suatu rencana yang disusun oleh seorang
apoteker untuk memberikan pelayanan farmasi yang optimal kepada pasien. Berikut
adalah skema umum dan mekanisme yang terlibat dalam penyusunan
Pharmaceutical Care Plan :

Pha rma ceutical


Ca re Pl a n

Revi si Rencana Eva l uasi Pa sien

Eva l uasi dan i dentifikiasi


Moni toring Ma s alah

Impl ementasi Perumusan


Renca na Tujua n Terapi

Perencanaan
Intervensi

1. Evaluasi Pasien
Apoteker melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pasien, termasuk riwayat
medis, riwayat penggunaan obat, kondisi kesehatan, dan kebutuhan pasien.
2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan evaluasi, apoteker mengidentifikasi masalah terkait obat (drug
therapy problems) yang mempengaruhi kesehatan pasien, seperti kebutuhan
dosis yang tidak efektif, interaksi obat, atau efek samping yang tidak diinginkan.
3. Perumusan Tujuan Terapi
Apoteker menetapkan tujuan terapi yang jelas dan terukur berdasarkan masalah
yang diidentifikasi, misalnya, mencapai kontrol tekanan darah yang optimal atau
mengurangi gejala penyakit tertentu.
4. Perencanaan Intervensi
Apoteker merencanakan intervensi yang tepat untuk menangani masalah terapi
obat yang diidentifikasi, seperti penyesuaian dosis, penggantian obat, konseling
pasien, atau monitoring efek samping.
5. Implementasi Rencana

8
Apoteker menerapkan rencana intervensi yang telah dirancang dengan
memastikan komunikasi yang efektif dengan pasien, kolaborasi dengan tim
perawatan kesehatan lainnya, dan pengaturan proses administrasi obat yang
tepat.
6. Evaluasi dan Monitoring
Apoteker secara teratur mengevaluasi dan memantau respons pasien terhadap
intervensi yang dilakukan, mengukur kemajuan terhadap tujuan terapi, serta
mengidentifikasi perubahan yang mungkin diperlukan dalam rencana
perawatan.
7. Revisi Rencana
Berdasarkan hasil evaluasi dan monitoring, apoteker merevisi rencana
perawatan jika diperlukan, mengubah tujuan terapi, menyesuaikan intervensi,
atau memperbarui rencana monitoring sesuai dengan kebutuhan pasien.

Melalui langkah-langkah ini, apoteker dapat menyusun Pharmaceutical Care


Plan yang terintegrasi dan efektif untuk memastikan penggunaan obat yang optimal
dan hasil kesehatan yang terbaik bagi pasien

2.9 Evolusi Tanggung Jawab Farmasis Klinis di Pelayanan Kesehatan


Evolusi tanggung jawab farmasi klinis dalam pelayanan kesehatan telah
mengalami beberapa perubahan signifikan. Awalnya, peran farmasi klinis terutama
terfokus pada pelayanan obat di apotek, seperti dispensing dan pengawasan kualitas
obat. Namun, seiring waktu, peran ini berkembang menjadi lebih luas dan meliputi:
1. Pelayanan Pasien
Farmasis klinis sekarang lebih terlibat dalam memberikan layanan
langsung kepada pasien, seperti konseling obat, manajemen penyakit, dan
pemantauan terapi obat.
2. Konsultasi Interprofesional
Mereka berkolaborasi dengan profesional kesehatan lain, termasuk
dokter, perawat, dan ahli gizi, untuk menyusun rencana perawatan yang
holistik dan terkoordinasi.
3. Manajemen Terapi Obat
Tanggung jawab farmasis klinis meliputi evaluasi, pemantauan, dan
penyesuaian terapi obat untuk memastikan keamanan, efektivitas, dan
kepatuhan pasien.
4. Penelitian Klinis
Mereka terlibat dalam penelitian klinis untuk mengembangkan bukti-
bukti baru tentang keamanan dan efektivitas obat, serta memperbaiki

9
praktik farmasi klinis.
5. Pengembangan Kebijakan Obat
Farmasis klinis juga terlibat dalam pengembangan kebijakan obat di
lembaga kesehatan, termasuk prosedur penggunaan obat yang aman dan
efektif.
Evolusi ini mencerminkan dorongan untuk meningkatkan peran farmasis
dalam menyediakan perawatan kesehatan yang holistik dan berfokus pada pasien,
serta untuk memaksimalkan manfaat dari penggunaan obat dalam praktik klinis

2.10 Penerapan Pharmaceutical Care di Rumah Sakit


Penerapan pharmaceutical care di rumah sakit melibatkan langkah-langkah
konkret seperti:
a. Evaluasi Pasien
Farmasis klinis melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebutuhan obat
pasien, termasuk riwayat pengobatan, alergi obat, dan kondisi kesehatan
saat ini.
b. Perencanaan Terapi
Berdasarkan evaluasi, farmasis klinis merencanakan terapi obat yang
paling sesuai dengan kebutuhan pasien, mempertimbangkan efektivitas,
keamanan, dan biaya.
c. Pemantauan dan Pengelolaan Terapi
Farmasis klinis terlibat dalam pemantauan terapi obat pasien selama
perawatan di rumah sakit, termasuk memantau efek samping, interaksi
obat, dan respons pasien terhadap terapi.
d. Edukasi Pasien
Memberikan edukasi kepada pasien tentang obat yang mereka terima,
termasuk dosis, cara penggunaan, dan pentingnya kepatuhan terhadap
terapi.
e. Konsultasi Tim Kesehatan
Berkolaborasi dengan dokter dan profesional kesehatan lain dalam tim
perawatan pasien untuk memastikan koordinasi yang baik dalam
pengelolaan terapi obat.
f. Rekam Medis Elektronik (RME)
Mencatat semua intervensi farmasis klinis dan perkembangan terapi obat
dalam sistem rekam medis elektronik untuk memastikan kontinuitas
perawatan pasien.
Penerapan ini bertujuan untuk meningkatkan hasil terapi obat pasien,

10
mencegah masalah terkait obat, dan memaksimalkan manfaat dari penggunaan obat.

2.11 Pengertian Drug Therapy Problems (DTP)


Pharmaceutical Care Network Europe mendefinisikan Drug Therapy
Problems (DTRs) adalah kejadian suatu kondisi terkait terapi obat yang secara nyata
atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan (Pharmaceutical
Care Network Europe, 2006).
Sedangkan menurut Cipolle et al, 1998 Drug Drug Therapy Problems
(DTRs) merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dan pengalaman pasien
akibat atau diduga akibat akibat terapi obat sehingga kenyataan/potensial
mengganggu keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki.

2.12 Tanggung Jawab Apoteker dalam DTP


Pharmaceutical care adalah pelayanan kefarmasian dimana seorang apoteker
memiliki tanggung jawab secara langsung dalam pelayanan ini untuk meningkatkan
kualitas kehidupan pasien (Departemen Kesehatan RI, 2004).
Tanggung jawab yang dimaksudkan adalah untuk menjamin tercapainya
efek yang optimal dari terapi obat pada pasien (Cipolle, Strand dan Morley, 2004).
Agar dapat melaksanakan tanggung jawab tersebut seorang farmasis harus mampu
mengidentifikasi, mengatasi dan mencegah segala permasalahan yang terkait
dengan terapi obat atau Drug Therapy Problems (DTPs) (Cipolle, Strand dan
Morley, 2004)

2.13 7 Kategori DTP dan Penyebabnya


Klasifikasi DRPs Cipolle/Morley/Strand telah banyak digunakan. Menurut
sistem ini, DTPs diklasifikasikan ke dalam tujuh kategori berdasarkan sifat
perbedaan yang menyebabkan terjadinya:
a. Terapi obat yang tidak perlu
Permasalahan terjadi jika pasien mendapat obat-obatan yang tidak sesuai
dengan indikasinya, sehingga tidak perlu diberikan.
b. Kebutuhan terapi obat tambahan
Kebutuhan terapi obat tambahan dapat terjadi pada saat diagnosis tanpa
indikasi.
c. Terapi obat tidak efektif
Permasalahan terajadi jika pasien mendapat obat yang sesuai dengan
indikasinya, namun perilaku individu pasien yang tidak mematuhi ketepatan
dalam meminum obat maupu ketepatan dalam waktu minum obat, sehingga

11
obat menjadi tidak efektif.
d. Dosis terlalu tinggi
Permasalahan terjadi jika pasien mendapat masalah medis karena penggunaan
obat yang berlebihan.
e. Dosis terlalu rendah
Permasalahan terjadi jika pasien mendapat masalah medis dan menerima obat
yang sesuai, namun dosis yang diberikan terlalu rendah.
f. Reaksi obat yang merugikan (ADR)
Permasalahan terjadi jika pasien memiliki masalah medis yang merupakan
hasil dari reaksi obat yang merugikan.
g. Ketidakpatuhan
Ketidakpatuhan dapat menjadi indikator kurangnya akses ke obat yang
diresepkan karena tidak terjangkau dan tidak tersedia, kegagalan untuk
memahami instruksi dan kesulitan dalam administrasi.

2.14 Aktual dan Potensial DTP


Drug Therapy Problems adalah sebuah kejadian atau problem yang
melibatkan terapi obat penderita yang mempengaruhi pencapaian outcome. DTPs
terdiri dari DTP aktual dan DTP potensial.
a. DTP Aktual adalah problem yangsedang terjadi berkaitan dengan terapi obat
yang sedang diberikan pada penderita.
b. DTP potensial adalah problem yang diperkirakan akan terjadi yangberkaitan
dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh penderita.
(Seto et al,2004).

2.15 Identifikasi DTP


Drug Therapy Problems (DTPs) adalah masalah yang muncul dalam
penggunaan obat yang dapat mempengaruhi efektivitas, keamanan, atau
kenyamanan pasien. Identifikasi DTPs merupakan langkah penting dalam praktik
farmasi klinis untuk memastikan penggunaan obat yang optimal.
Berikut adalah beberapa contoh DTPs dan cara identifikasinya:
a. Indikasi yang tidak sesuai : Obat diresepkan untuk kondisi yang tidak sesuai
atau tidak efektif. Cara identifikasinya adalah dengan membandingkan
diagnosis pasien dengan obat yang diresepkan.
b. Dosis yang tidak sesuai : Dosis obat terlalu tinggi atau terlalu rendah untuk
kondisi pasien. Ini bisa dideteksi dengan memeriksa dosis yang diresepkan dan
membandingkannya dengan karakteristik pasien seperti berat badan, usia, dan

12
fungsi organ.
c. Interaksi obat : Kombinasi obat dapat menyebabkan interaksi yang tidak
diinginkan, baik meningkatkan atau mengurangi efektivitas obat. Identifikasi
interaksi obat dapat dilakukan dengan menggunakan sumber informasi yang
tepat, seperti database interaksi obat.
d. Efek samping : Pasien mengalami efek samping yang tidak diinginkan dari obat
yang digunakan. Ini dapat teridentifikasi melalui pemantauan pasien dan
penilaian gejala yang dialami.
e. Kepatuhan yang rendah : Pasien tidak mengikuti rencana pengobatan yang telah
ditetapkan, seperti melewatkan dosis atau menghentikan penggunaan obat
tanpa sepengetahuan penyedia layanan kesehatan. Identifikasi dapat dilakukan
melalui wawancara dengan pasien atau pemantauan penggunaan obat.
f. Kontraindikasi : Penggunaan obat yang dikontraindikasikan untuk pasien
tertentu karena kondisi kesehatan atau alergi. Ini bisa terdeteksi dengan
menyelidiki riwayat medis pasien dan alergi obat yang diketahui.
g. Monitorisasi yang diperlukan : Beberapa obat memerlukan pemantauan khusus
untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya. Identifikasi ini dapat
dilakukan dengan memeriksa panduan penggunaan obat atau informasi dari
otoritas kesehatan terkait.

2.16 Pengertian Drug Related Needs


Drug Related Needs (DRN) merupakan hal pencapaian luaran dari terapi obat
yang didapatkan oleh pasien yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien, maka terdapat kebutuhan-kebutuhan terkait obat atau yang dikenal dengan
istilah. DRN ada 4, yaitu: indikasi obat yang sesuai, efektivitas obat, keamanan,
serta kepatuhan (Cipolle, Strand, & Morley, 2012).

2.17 Mengubah Drug Related Needs ke dalam DTP


Untuk mengubah kebutuhan terkait obat (drug related needs) menjadi masalah
terapi obat (drug therapy problems), langkah-langkahnya dapat dilakukan sebagai
berikut :
a. Identifikasi Kebutuhan Terkait Obat
Tinjau informasi pasien, termasuk riwayat medis, diagnosis, dan
penggunaan obat saat ini untuk menentukan kebutuhan terkait obat apa
yang perlu dipertimbangkan.
b. Evaluasi Obat yang Digunakan:

13
Tinjau obat-obatan yang sedang digunakan oleh pasien, termasuk dosis,
frekuensi, kepatuhan, dan efek samping yang mungkin dialami.
c. Identifikasi Potensi Masalah Terapi Obat
Berdasarkan informasi yang diperoleh, identifikasi potensi masalah terapi
obat yang mungkin terjadi, seperti kebutuhan akan penyesuaian dosis,
interaksi obat, efek samping yang tidak diinginkan, atau kepatuhan yang
rendah.
d. Mengubah Kebutuhan Menjadi Masalah Terapi Obat
Ubah kebutuhan terkait obat menjadi masalah terapi obat yang spesifik
dan terukur. Misalnya, jika kebutuhan terkait obat adalah dosis yang tidak
efektif, masalah terapi obatnya bisa menjadi "dosis obat tidak mencapai
efek terapeutik yang diinginkan."
e. Rencanakan Intervensi
Setelah mengidentifikasi masalah terapi obat, rencanakan intervensi yang
sesuai, seperti penyesuaian dosis, penggantian obat, monitoring efek
samping, atau edukasi pasien tentang pentingnya kepatuhan.
f. Tinjau dan Revisi
Lakukan tinjauan berkala terhadap masalah terapi obat yang diidentifikasi
dan intervensi yang direncanakan untuk memastikan efektivitasnya dan
melakukan revisi jika diperlukan.
Dengan melakukan langkah-langkah ini, kebutuhan terkait obat dapat diubah
menjadi masalah terapi obat yang dapat ditangani secara efektif oleh tim perawatan
kesehatan.
2.18 Pentingnya Dokumentasi untuk Membuat Catatan Pengobatan Pasien
(PMRs) sebagai Tanggung Jawab Apoteker
Berdasarkan Permenkes No. 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek, apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan
terjadinya kesalahan pengobatan (medication error), mengidentifikasi, mencegah,
dan mengatasi masalah terkait obat (drug related problems), masalah
farmakoekonomi, dan farmasi sosial. Untuk menghindari hal tersebut, apoteker
harus mampu menjalankan tugasnya sesuai standar pelayanan, mampu
berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya, monitoring penggunaan obat,
melakukan evaluasi, serta mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya.
Patient Medication Record (PMR) adalah catatan penggunaan obat dari
pelayanan kefarmasian yang diberikan apoteker. Tujuan dari pembuatan PMR
adalah pencatatan sejarah penyakit dan pengobatan pasien, untuk membantu
Apoteker dalam mengidentifikasi efek samping yang potensial. Dokumentasi PMR
merupakan salah satu poin dalam aktivitas utama Cara Pelayanan Kefarmasian yang

14
Baik (CPFB) (Mashuda, A., 2011). Dalam pelayanan resep farmasi klinik di apotek
setelah obat disiapkan, perlu dilakukan berbagai prosedur. Salah satu prosedur yang
perlu dilakukan yaitu apoteker membuat catatan pengobatan pasien (Depkes RI,
2016). Apabila apotek tidak melaksanakan dokumentasi Patient Medication Record
(PMR), maka semakin besar kemungkinan terjadinya efek samping obat karena
tidak terdokumentasinya alergi pasien terhadap obat tertentu serta waktu untuk
mencapai tujuan terapi akan semakin lama (Mashuda, A., 2011).

2.19 Cara Pendokumentasian Sistem SOAP Method


Sistem dokumentasi SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Plan)
digunakan dalam praktik farmasi untuk mendokumentasikan informasi pasien dan
proses pengambilan keputusan klinis. Berikut adalah cara pendokumentasian sistem
SOAP dalam praktik farmasi :
a. Subjective (Subjektif) :
Catat informasi subjektif yang diberikan oleh pasien atau caregiver,
termasuk keluhan, riwayat penyakit, gejala yang dirasakan, dan
pertanyaan-pertanyaan terkait obat.
b. Objective (Objektif) :
Catat temuan objektif berdasarkan pengamatan langsung atau data yang
terukur, seperti hasil pemeriksaan fisik atau laboratorium, riwayat
penggunaan obat, dan reaksi obat yang diamati.
c. Assessment (Penilaian) :
Tinjau dan analisis informasi subjektif dan objektif untuk membuat
penilaian atau diagnosis tentang masalah kesehatan yang ada.
Identifikasi masalah terapi obat (drug therapy problems) dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya, seperti interaksi obat, kepatuhan pasien, atau
masalah dosis.
d. Plan (Rencana) :
Tentukan rencana tindakan yang spesifik untuk menangani masalah
kesehatan yang telah diidentifikasi.
Jelaskan tindakan yang akan diambil, seperti penyesuaian dosis obat,
perubahan terapi obat, atau konseling pasien.
Tetapkan tujuan terapi yang jelas dan ukurannya, serta jadwal pemantauan
untuk mengevaluasi progres pasien.
Pendokumentasian menggunakan metode SOAP membantu apoteker
menyusun informasi secara terstruktur, memfasilitasi komunikasi dengan anggota
tim kesehatan lainnya, dan meningkatkan kualitas perawatan pasien.

15
2.20 Evaluasi dan Penerapan Pharmaceutical Care dalam Pelayanan
Kefarmasian pada Kasus pasien dibawah ini

Evaluasi kasus dengan metode SOAP :


1. Subjective
Nama pasien : Tn Re
Usia pasien : 73 Tahun
Keluhan : KU lemah, sering mual, muntah min 5x
sehari, 4 hari tidak mau makan
Riwayat penyakit terdahulu : DM, Hipertensi, Retinopati, dan LHV
(Hipertrofi ventrikel kiri)
Hasil diagnosa penyakit : Azotemia, Uremia, Anemia

Indikasi penyakit
a. Azotemia : peningkatan kadar nitrogen urea darah (BUN) dan kadar
kreatinin serum atau suatu kondisi yang terjadi ketika kadar produk limbah
dalam darah terlalu tinggi
b. Uremia : kondisi yang ditandai dengan kadar urea dalam darah sangat tinggi
sehingga berubah menjadi racun bagi tubuh. pada urine terdapat darah

16
c. Anemia : kondisi dimana tubuh seseorang mengalami penurunan atau
jumlah sel darah merah yang ada di dalam tubuh berada di bawah batas
normal.
d. DM (diabetes melitus) : gangguan metabolisme kronis dengan multi
etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat
insufisiensi fungsi insulin.
e. Hipertensi : keadaan dimana tekanan darah sistolik pada tubuh seseorang
lebih dari atau sama dengan 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik
lebih dari atau sama dengan 90 mmHg.
f. Retinopati : salah satu bentuk komplikasi diabetes melitus, di mana kadar
gula yang tinggi pada akhirnya mengakibatkan kerusakan pada pembuluh
darah retina mata, terutama di jaringan-jaringan yang sensitif terhadap
cahaya.
g. (Hipertrofi ventrikel kiri)) : suatu kondisi di mana peningkatan massa
ventrikel kiri terjadi akibat peningkatan ketebalan dinding, peningkatan
pembesaran rongga ventrikel kiri, atau keduanya.

2. Objective
Jenis Tanggal pemeriksaan
pemeriksa Hasil
28/3 5/4 13/4 16/4 20/4 21/4
an
BUN (10- Tidak
130,2 79,3 45,6 45,9 71,7 51,1
24 mg/dL) normal
Tanggal
Kreatinin
28/3 hasil
(0,5-1,5 6,03 3,69 2,59 2,57 3,0 2,57
tidak
mg%)
normal

3. Assessment
Pasien memiliki riwayat penyakit DM, Hipertensi, Retinopati, dan LHV
(Hipertrofi ventrikel kiri). Penggunaan obat Metformin digunakan untuk terapi
diabetes pasien. Obat Lisinopril, Spinorolactone, dan Furosemid digunakan
untuk terapi hipertensi serta LVH. Penggunaan Neurodex digunakan untuk
vitamin dan penggunaan obat Paracetamol disini untuk analgesik dan
digunakan ketika nyeri berlangsung saja.
Berdasarkan data hasil pemeriksaan laboratorium pasien, kadar Bun

17
(ureum) pasien sangatlah tinggi, melebihi batas normal BUN pria dewasa.
Kondisi ketika kadar ureum dalam darah terlalu tinggi (> 50 mg/dL) disebut
uremia. Hal ini mengindentifikasikan bahwa pasien menderita uremia. Kadar
ureum yang tinggi ini dapat menyebabkan cepat lelah, pusing, mual, muntah,
dan kram kaki. Kadar ureum tinggi bisa menandakan bahwa ginjal Anda tidak
berfungsi dengan baik. Idealnya, ginjal berfungsi menyaring dan membuang
ureum dari darah melalui urine. Jika menumpuk di darah, ureum dapat
menimbulkan beragam keluhan dan gangguan kesehatan. Kadar Kretinin pasien
juga menunjukan hasil yang tidak normal. Normalnya, kreatinin dalam darah
akan disaring oleh ginjal, lalu dibuang keluar melalui urine. Ketika ginjal
bermasalah atau fungsinya terganggu, kreatinin tidak dapat disaring dengan
baik. Hal ini dapat menyebabkan kadar kreatinin dalam darah meningkat dan
dan menyebabkan fungsi ginjal terganggu. Peningkatan kadar kreatini dalam
darah pasien terjadi karena pasien memiliki riwayat penyakit Hipertensi dan
Diabetes.
Pemakaian obat hipertensi golongan diuretik seperti Spinorolactone dan
Furosemid diketahui dapat meningkatkan kadar gula darah. Namun,
penggunaannya tidak dilarang mutlak pada pasien Diabetes asalkan ada
indikasi medis yang tepat. Pemakaian obat diabetes golongan biguanide yaitu
metformin diindikasikan untuk memperbaiki kontrol gula darah dalam tuuh
pasien.

4. Plan
 Terapi Hipertensi
a. Lisinopril
• Golongan : ACE Inhibitor
• Indikasi : pasien dengan hipertensi esensial, nefropati diabetik,
gagal jantung, dan pasca infark miokard akut.
• Dosis : Hipertensi ( Dosis Awal : 1 kali sehari 1 tablet; Dosis
penunjang lazim : 20 mg sehari; Maksimal : 80 mg sehari).
• Mekanisme Kerja : menghambat produksi angiotensin, yaitu
senyawa yang menyempitkan pembuluh darah.
b. Spinorolacton
• Golongan : Diuretik
• Indikasi : Mengobati hipertensi, gagal jantung, hipokalemia,
sirosis, pembengkakan (edema), atau hiperaldosteronisme
• Dosis : Mengobati hipertensi (darah tinggi), Dewasa: 25–100 mg

18
per hari, dibagi menjadi 1–2 kali sehari. Dosis dapat disesuaikan
setelah 2 minggu
• Mekanisme kerja : menghambat penyerapan garam (natrium) dan
air berlebih ke dalam tubuh serta menjaga agar kadar kalium darah
tidak terlalu rendah. Dengan begitu, pengeluaran air lewat urine
bisa ditingkatkan dan tekanan darah dapat diturunkan.
c. Furosemid
• Golongan : Loop Diuretik
• Indikasi : untuk tata laksana overload cairan dan edema yang
disebabkan karena gagal jantung, sirosis hati, dan penyakit ginjal,
termasuk sindrom nefrotik. Furosemide juga diindikasikan untuk
pengobatan hipertensi.
• Dosis : 20 mg (1 ampul) 1-2 x sehari
• Mekanisme kerja : meningkatkan produksi urin sehingga air dan
garam berlebih dalam tbuh adapat dikeluarkan.
 Terapi Diabetes Melitus
a. Metformin
• Golongan : biguanide
• Indikasi : metformin utamanya adalah sebagai terapi adjuvan dari
diet dan olahraga untuk memperbaiki kontrol gula darah pada pasien
dengan diabetes mellitus tipe 2.
• Dosis : Dosis awal 500–850 mg, 1–3 kali sehari, dapat ditingkatkan
secara bertahap. Dosis maksimal 2.550–3.000 mg per hari, dibagi
dalam 3 kali minum.
• Mekanisme kerja : meningkatkan aktivitas hormon insulin,
mengurangi pembentukan gula darah di dalam hati, dan
menurunkan penyerapan gula di dalam usus. Cara kerja ini akan
membantu menurunkan kadar gula di dalam darah.
 Terapi Vitamin
a. Neurodex
• Golongan : Obat bebas, suplemen vitamin
• Indikasi : untuk pengobatan kekurangan vitamin B1, B6 dan B 12
seperti pada polineuritis
• Dosis : 1 tablet sehari, atau menurut petunjuk dokter
• Mekanisme kerja : mengurangi prostaglandin, sehingga membantu
pengenceran darah dan mencegah pembekuan.

19
 Terapi Analgesik
a. Paracetamol
• Golongan : obat bebas, analgesik-antipiretik
• Indikasi : untuk meredakan nyeri ringan hingga sedang seperti sakit
kepala, sakit gigi, nyeri otot, serta menurunkan demam.
• Dosis : Dewasa : 500 mg- 1000 mg, setiap 4-6 jam pada usia dewasa.
Dosis maksimal sebesar 4000 mg/hari.
• Mekanisme kerja : paracetamol bekerja pada pusat pengatur suhu di
hipotalamus untuk menurunkan suhu tubuh (antipiretik) serta
menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat mengurangi
nyeri ringan sampai sedang (analgesik).

5. Interaksi Obat
a. Pantau Secara Dekat
• Spinorolacton + Furosemid
Spinorolacton meningkat dan Furosemid menurunkan kalium serum.
Efek interaksi tidak jelas, hati-hati. Ubah terapi atau pantau secara
dekat.
• Lisinopril + Spinorolacton
Lisinopril dan Spinorolacton berdasarkan mekanisme kerja : sinergi
farmakodinamik. Gunakan perhatian atau monitor. Resiko
Hiperkalemia.
• Lisinopril + Furosemid
Lisinopril dan Furosemid berdasarkan mekanisme kerja : sinergi
farmakodinamik. Gunakan perhatian atau monitor. Resiko Hipotensi
akut, Insufisiensi Ginjal.
• Lisinopril + Metformin
Lisinopril meningkatkan toksisitas Metformin melalui mekanisme
interaksi interaksi yang tidak ditentukan. Gunakan perhatian atau
monitoring. Meningkatkan Resiko Hipoglikemia dan Asidosis Laktat.
b. Minor
• Furosemid + Tiamin
Furosemid menurunkan kadar Tiamin dengan meningkatkan
pembersihan Ginjal. Kecil atau signifikan tidak diketahui.
• Furosemid + Metformin
Furosemid meningkatkan kadar Metformin melalui mekanisme
interaksi yang tidak diketahui. Minor atau signifikansi tidak diketahui.

20
Pasien harus diobservasi secara berkala ketat untuk mengetahui
hilangnya kendali glukosa darah. Ketika obat dihentikan dari pasien
yang menerima Metformin, pasien harus diobservasi secara ketat
untuk mengetahui adanya Hipogikemia.
• Metformin + Sianokobalamin
Metformin menurunkan kadar sianocobalamin dengan mekanisme
interaksi yang tidak ditentukan. Minor atau signifikansi tidak
diketahui. Mungkin diperlukan beberapa tahun terapi Metformin untuk
mengembangkan defisiensi vitamin B12.
• Metformin + Furosemid
Metformin menurunkan kadar furosemid melalui mekanisme interaksi
yang tidak ditentukan. Minor atau signifikansi tidak diketahui.

6. Saran
a. Penggunaan obat yang diberikan sudah tepat indikasi. Penggunaan obat
Lisinopril, Spinorolacton, dan Furosemid untuk indikasi HT (hipertensi).
Penggunaan obat Metformin untuk indikasi DM (Diabetes Melitus).
Penggunaan obat Paracetamol PRN untuk indikasi analgesik. Dan
penggunaan Neurodex untuk suplemen vitamin.
b. Lisinopril 1 x sehari 80 mg dikonsumsi pada malam hari dan Spinorolacton
1 x sehari 25 mg dikonsumsi pada pagi hari. Penggunaan obat Lisinopril
dengan Spinorolacton diberikan jeda waktu penggunaan obat, karena resiko
hiperkalemia.
c. Furosemid dikonsumsi pada siang hari. Penggunaan obat Lisinopril dengan
Furosemid diberikan jeda waktu penggunaan obat, karena resiko hipotensi
dan infusiensi ginjal. Penggunaan Spinorolacton dengan Furosemid secara
bersamaan juga dapat meningkatkan dan menurunkan kalium serum
menimbulkan efek interaksi tidak jelas.
d. Metformin dapat dikonsumsi 2 x sehari 500 mg pagi dan siang hari.
Penggunaan obat Lisinopril bersamaan dengan dengan Metformin dapat
meningkatkan toksisitas Metformin dan risiko Hipoglikemia dan Asidosis
Laktat.
e. Neurodex (suplemen vitamin) 1 x sehari dikonsumsi pagi hari.
f. Paracetamol 500 mg dapat dikonsumsi prn (bila perlu) saat mengalami
nyeri untuk indikasi analgesik.

21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Asuhan kefarmasian (Pharmaceutical Care) adalah pelayanan kefarmasian
yang berorientasi kepada pasien. Meliputi semua aktifitas apoteker yang
diperlukan untuk menyelesaikan masalah terapi pasien terkait dengan obat.
Praktek kefarmasian ini memerlukan interaksi langsung apoteker dengan pasien,
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

Peran apoteker dalam asuhan kefarmasian di awal proses terapi adalah


menilai kebutuhan pasien. Di tengah proses terapi, memeriksa kembali semua
informasi dan memilih solusi terbaik untuk DRPs (Drug Related Problem) pasien.
Permasalahan terkait obat (Drug Related Problems/DRPs) adalah peristiwa atau
keadaan yang melibatkan terapi obat yang nyata dan potensial. Berbagai jenis
klasifikasi DRPs menjelaskan mengenai permasalahan tentang obat. Peran farmasi
klinis sebagai asuhan kefarmasian yang mana berorientasi pada pasien sangat
penting dalam mengidentifikasi permasalahan obat. Di akhir proses terapi, menilai
hasil intervensi sehingga didapatkan hasil optimal dan kualitas hidup meningkat
serta hasilnya memuaskan (keberhasilan terapi).

3.2 Saran
Pada umumnya apoteker sekarang masih kurang peduli dalam memberikan
penyuluhan atau pemahaman terhadap pasien mengenai obat, tata cara penggunaan
dan indikasi obat. Dalam prakteknya, apoteker hanya melayani resep obat
kemudian menyerahkannya kepada pasien, padahal tujuan utama tugas apoteker
bukan hanya itu. Apoteker wajib memberikan pemahaman atau penyuluhan
mengenai obat yang telah apoteker berikan kepada pasiennya. Karena itulah
Apoteker harus memiliki rasa peduli dan harus lebih baik lagi kedepannya dalam
proses pelayanan kepada pasiennya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ayele, Y., & Tesfaye, Z. T. (2021). Drug-related problems in Ethiopian public


healthcare settings: Systematic review and meta-analysis. SAGE Open
Medicine, 9, 205031212110097.
Amstrong dkk, 2005, The contribution of community pharmacy to improving the
public’s helath, Report 3 : An overview of evidence-base from 1990-2002 and
recommendations for action.
Anonim. 1990. The Role of the Pharmacist in Health Care System.
Cipolle dkk, 1998, Pharmaceutical Care Practice : The Clinician’s Guide, 2nd Edition.
Hepler and Stranf, 1990, Opportunities and Responsibilities in Pharmaceutical Care.
Herman, M. J., & Sari, I. D. (2012). Analysis of Drug Related Problems in Five
Hospital Conducted in 2010. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, 10(2), 163–
169.
Stockley, I.H. (2008). Stockley’s Drug Interaction. Edisi kedelapan. Great Britain:
Pharmaceutical Press. Halaman 194,295.
Sudjaswadi, 2001, Farmasi, Farmasis, dan Farmasi Sosial (Pharmacy, Pharmacist, and
Social Pharmacy)
World Health Organitation, 2006, Developing pharmacy practice A focus on patient
care HANDBOOK-2006 EDITION. World Health Organitation.

23

Anda mungkin juga menyukai