Disusun Oleh :
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu
Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Komunikasi
Informasi dan Edukasi dengan judul “Teknik Konseling Farmasi”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis
DAFTAR ISI
2.3 Intervensi yang mempengaruhi kepatuhan penggunaan obatError! Bookmark not defi
PENDAHULUAN
1.4 Tujuan
a. Tersedianya acuan atau panduan bagi apoteker dalam rangka pelayanan
konseling kepada pasien dan keluarganya.
b. Terselenggaranya pelayanan konseling yang tepat sesuai kebutuhan.
c. Meningkatkan kompetensi apoteker dalam pelayanan konseling di sarana
kesehatan
BAB II
PEMBAHASAN
Kegiatan konseling dapat diberikan atas inisiatif langsung dari apoteker mengingat
perlunya pemberian konseling karena pemakaian obat-obat dengan cara penggunaan
khusus, obat-obat yang membutuhkan terapi jangka panjang sehingga perlu
memastikan untuk kepatuhan pasien meminum obat. Konseling yang diberikan atas
inisiatif langsung dari apoteker disebut konseling aktif. Selain konseling aktif dapat
juga konseling terjadi jika pasien datang untuk berkonsultasi kepada apoteker untuk
mendapatkan penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan obat dan
pengobatan, bentuk konseling seperti ini disebut konseling pasif.
2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan
Menurut WHO, faktor penentu ketidakpatuhan ini dibagi menjadi lima dimensi:
sosial dan ekonomi (kondisi sosial ekonomi, biaya terapi), sistem kesehatan terkait,
terapi (durasi terapi, terapi berulang), kondisi penyakit (jenis penyakit, tingkat
keparahan, kronis/akut), dan pasien itu sendiri (persepsi terhadap pengobatannya,
motivasi, tingkat kemandirian, dukungan sosial) (WHO, 2003). Secara teori, faktor-
faktor yang mempengaruhi perilaku tidak patuh sangat kompleks dan belum
dipahami dengan baik. Berbagai penelitian dilakukan untuk mengukur tentang
tingkat kepatuhan. Kepatuhan berhubungan dengan faktor sosio demologis seperti
usia, jenis kelamin, ras, kecerdasan, dan pendidikan. Kepatuhan yang rendah
berkaitan dengan masalah perawatan yang mandiri, pasien dengan masalah kejiwaan
cenderung tidak patuh dan mereka yang cacat fisik cenderung memiliki kepatuhan
yang cukup. Pasien juga cenderung menghentikan perawatan bila diperlukan waktu
tunggu yang lama di klinik atau jika terdapat jeda waktu yang panjang di antara janji
temu. Pada akhirnya dapat disimpulkan, kepatuhan menurun seiring dengan
kompleksitas, biaya, dan harga obat yang meningkat (Mcdonald and Garg, 2016).
Salah satu penyebab kegagalan terapi pada pasien adalah ketidakpatuhan, hal ini
disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan pemahaman pasien tentang obat dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan penggunaan obat untuk terapinya.
Ketidakpatuhan adalah tantangan dalam semua penyakit, tidak tergantung pada jenis
obat dan apakah terapinya kronis atau akut. Ketidakpatuhan adalah konsep
multifaset, fokus mungkin tidak hanya pada penggunaan obat tapi juga pada waktu
dan tidak hanya pada penghentian terapi, tetapi juga pada ketekunan.
Ketidakpatuhan tidak hanya terkait dengan faktor perilaku individu, tetapi juga
terhadap penyakit itu sendiri, kompleksitas dan lama pengobatan, kemungkinan
reaksi obat yang merugikan, biaya pengobatan, dan faktor sosial (Costa et al., 2015).
Faktor utama yang mempengaruhi kepatuhan adalah frekuensi dosis, di mana
semakin jarang dosisnya semakin tinggi tingkat kepatuhan.
Berikut ini adalah intervensi yang paling sering dilakukan untuk meningkatkan
tingkat kepatuhan pengobatan yang dikelompokkan menjadi: intervensi perilaku
(behavior intervention), intervensi pendidikan (educational intervention), intervensi
pengelolaan diri (self management intervention), intervensi perawatan terpadu
(intergrated care intervention), intervensi risiko komunikasi (risk communication
intervention), dan paket pengingat harian (packaging and daily reminders) (Costa et
al., 2015).
Konseling termasuk dalam educational intervention,yang merupakan suatu kegiatan
antar klien dan konselor demi memberikan dukungan, dorongan, motivasi agar klien
mendapatkan keyakinan dan mampu dalam memecahkan masalah. Konseling
farmasi adalah bagian dari pelayanan kefarmasian yang memiliki tanggung jawab
dan etika, di mana sekarang ini apoteker harus berinteraksi dengan pasien untuk
memberikan informasi dan edukasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan obat
sebagaimana yang dijelaskan dalam konsep asuhan kefarmasian yang bertujuan
untuk memberikan peningkatan pengetahuan tentang obat dan pengobatan dengan
harapan agar pasien paham mengenai obat dan penyembuhan penyakitnya.
Konseling farmasi kepada pasien diharapkan merubah perilaku pasien guna
meningkatkan kepatuhan penggunaan obat yang berdampak pada keberhasilan
terapinya (Departemen Kesehatan RI, 2007).
Apoteker dapat berinisiatif untuk melakukan kegiatan konseling mengingat perlunya
konseling diberikan untuk obat-obatan dengan penggunaan khusus, terapi jangka
panjang untuk memastikan kepatuhan pasien meminum obat. Konseling merupakan
proses pemberian kesempatan bagi pasien untuk mengetahui tentang terapi obatnya
dan meningkatkan kesadaran penggunaan obat dengan tepat (Departemen Kesehatan
RI, 2007).
Pelaksanaan konseling yang efektif dilakukan di ruang atau tempat khusus yang
memenuhi kriteria kerahasiaan pribadi, memiliki meja dan kursi yang cukup,
penerangan baik, sirkulasi udara lancar, letak tidak terlalu jauh dari konter
pengambilan obat, dan jika jumlah pasien banyak disarankan ruangan konseling
lebih dari satu. Alat bantu konseling terdiri dari buku panduan konseling, daftar
periksa untuk mengingatkan apoteker poin-poin penting konseling, literatur
pendukung, brosur, alat peraga, dan alat komunikasi untuk tindak lanjut
(Departemen Kesehatan RI, 2007).
5. Menutup diskusi
Sebelum menutup diskusi sangat penting untuk Apoteker bertanya kepada
pasien apakah ada hal-hal yang masih ingin ditanyakan maupun yang tidak
dimengerti oleh pasien. Mengulang pernyataan dan mempertegasnya
merupakan hal yang sangat penting sebelum penutupkan sesi diskusi,
pesan yang diterima lebih dari satu kali dan diberi penekanan biasanya
akan diingat oleh pasien.
6. Follow-up diskusi
Fase ini agak sulit dilakukan sebab terkadang pasien mendapatkan
Apoteker yang berbeda pada sesi konseling selanjutnya. Oleh sebab itu
dokumentasi kegiatan konseling perlu dilakukan agar perkembangan
pasien dapat terus dipantau.
3.1. Kesimpulan
Semakin tingginya pengetahuan dan pengaruh globalisasi menyebabkan
kesadaran masyarakat terhadap kesehatan meningkat. Tuntutan masyarakat
terhadap mutu pelayanan kesehatan pun meningkat, termasuk di bidang
pelayanan kefarmasian.
Teknik komunikasi yang perlu dilakukan dan dikembangkan oleh tenaga
farmasi adalah komunikasi tulisan, komunikasi non verbal (empati), dan
komunikasi lisan, sehingga tenaga farmasi dapat mengkonversi pengetahuan
farmasi dan terapeutik menjadi konseling farmasi yang efektif.
Pelayanan konseling secara benar dan konsisten akan meningkatkan peran dan
citra tenaga farmasi di masyarakat luas dan dapat meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2006,
perpustakaan.farmalkes.kemkes.go.id. Pedoman Konseling Pelayanan
Kefarmasian di Sarana Kesehatan