Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PERILAKU & ETIKA PROFESI

Dosen Pengampu:
Apt. Nurul Huda, M. Farn

Di Susun Oleh :
Paulina Juniatri Inda
20512051

PROGRAM STUDI D-III FARMASI


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SAINS DAN TEKNOLOGI JAYAPURA
2020-2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena Berkat dan tuntunan-Nya
saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu. Makalah ini saya susun
untuk memenuhi tugas kuliah saya dari Mata Kuliah Perilaku &Etika Farmasi, yang
diberikan oleh (Apt. Nurul Huda, M. Farm ) selaku dosen mata kuliah perilaku & Erika
profesi.

Saya menyadari makalah yang saya susun masih memiliki banyak kekurangan dan
keterbatasan dalam penyajian materinya. Maka daari itu saya sangat memerlukan sebuah
kritik dan saran dari semua pembaca makalah ini, demi kesempurnaan penyusunan makalah
saya berikutnya. Semoga makalah ini dapat berguna untuk semua kalangan terutama
mahasiswa Fikes.

Demikian makalah ini saya susun, saya Paulina Juniatri Inda, selaku penulis meminta maaf
jika ada kesalahan pada penulisan atau gelar dan jika ada kata-kata yang kurang berkenan.
Saya memohon maaf yang sebesar-besarnya.

Jayapura,19/Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

Cover
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................4
1.1. Latar Belakang.......................................................................................................................4
1.1.1. Bidang distribusi obat di PBF/ Gudang Farmasi............................................................4
1.1.2. Bidang pelayanan kefarmasian di apotek...........................................................................4
1.1.3. Bidang pelayanan kefarmasian di RS atau Klinik..........................................................5
1.2. Rumusan Masalah..................................................................................................................7
1.3. Tujuan penulisan....................................................................................................................7
BAB II...................................................................................................................................................8
PEMBAHASAN...................................................................................................................................8
A. Berikan 2 contoh dan penjelasannya pelanggaran dan penyimpangan Tenaga Teknis
Kefarmasian di pekerjaan kefarmasian..............................................................................................8
B. Berikan 2 contoh dan penjelasan terhadap pelanggaran dan penyimpangan Tenaga Teknis
Kefarmasian terhadap etika kefarmasian baik terhadap TTK maupun tenaga kesehatan yang lain. 16
BAB III................................................................................................................................................20
PENUTUP...........................................................................................................................................20
4.1. Kesimpulan..........................................................................................................................20
4.2. Saran....................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................22

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


1.1.1. Bidang distribusi obat di PBF/ Gudang Farmasi
Peran Apoteker saat ini sudah semakin meluas di dunia kefarmasian, salah
satunya di dunia distribusi obat yang dikenal dengan nama Pedagang Besar
Farmasi (PBF). Peran Apoteker di PBF yaitu sebagai penganggung jawab
bedasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang
Pedagang Besar Farmasi.
Dalam menyalurkan atau mendistribusikan obat, industri farmasi
menggunakan jasa distributor atau yang disebut Pedagang Besar Farmasi (PBF).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 34 tahun 2014
tentang Pedagang Besar Farmasi menyatakan bahwa PBF hanya menyalurkan
obat kepada PBF atau PBF cabang lainnya dan fasilitas pelayanan kefarmasian
meliputi apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik atau toko obat,
namun khusus untuk obat keras tidak diperbolehkan disalurkan melalui toko obat
dan pembeliannya harus dilakukan di apotek dengan menggunakan resep dokter.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 34 tahun 2014 mengenai
Pedagang Besar Farmasi menyatakan bahwa setiap PBF dan PBF cabang harus
memiliki Apoteker penanggung jawab yang bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan ketentuan pengadaan, 3 penyimpanan, dan penyaluran obat dan/atau
bahan obat dan Apoteker penanggung jawab harus memiliki izin sesuai ketentuan
peratutanperundang-undangan.

1.1.2. Bidang pelayanan kefarmasian di apotek.


Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu
mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara
sendirisendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atau masyarakat.

4
Selain itu juga sebagai salah satu tempat pengabdian dan praktek profesi apoteker
dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasiaan (Anonim, 2001).
Pelayanan Kefarmasian di Apotek disusun bertujuan sebagai pedoman praktek
apoteker dalam menjalankan profesi, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan
yang tidak profesional, dan melindungi profesi dalam menjalankan
praktik kefarmasian (Anonim, 2004).

1.1.3. Bidang pelayanan kefarmasian di RS atau Klinik.


Pelayanan farmasi Rumah Sakit (RS) merupakan salah satu kegiatan di RS
yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal tersebut diperjelas dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang standar
pelayanan Rumah Sakit, yang menyebutkan bahwa pelayanan Farmasi RS adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan RS yang
berorientasi pada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk
pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.
Pelayanan farmasi klinik adalah pelayanan langsung yang diberikan kepada pasien
dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya
efek samping karena obat. Pelayanan farmasi klinik meliputi:
a. Pengkajian pelayanan dan resep Pelayanan

5
Resep dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, pengkajian resep,
penyiapan perbekalan farmasi termasuk peracikan obat, pemeriksaan,
penyerahan disertai pemberian informasi.
b. Penelusuran riwayat penggunaan obat Penelusuran
Riwayat penggunaan obat adalah proses untuk mendapatkan informasi
mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang
digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data
rekam medik/pencatatan penggunaan obat pasien.
c. Pelayanan informasi obat (PIO)
PIO adalah kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat
yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang diberikan
kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan
pihak lain di luar rumah sakit. Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi
tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya.
d. Konseling Konseling
Obat adalah suatu proses diskusi antara apoteker dengan pasien/keluarga
pasien yang dilakukan secara sistematis untuk memberikan kesempatan
kepada pasien/keluarga pasien mengeksplorasikan diri dan membantu
meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran
e. Visite Visite
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan apoteker
secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi
klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau
terapi obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan terapi obat
yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien serta
profesional kesehatan lainnya. Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang
sudah keluar rumah sakit atas permintaan pasien yang biasa disebut dengan
pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care).
f. Pemantauan terapi obat (PTO)
PTO adalah suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi
obat yang aman, efektif, dan rasional bagi pasien.
g. Monitoring efek samping obat (MESO)
MESO merupakan kegiatan pemantauan setiap respons terhadap obat yang
tidak dikehendaki (ROTD) yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada

6
manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa, dan terapi. Efek samping obat
adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja
farmakologi.
h. Evaluasi penggunaan obat (EPO) EPO merupakan program evaluasi
penggunaan obat yang terstrukturi dan berkesinambungan secara kualitatif dan
kuantitatif. Farmasi Rumah Sakit dan Klinik
i. Dispensing sediaan khusus Dispensing sediaan khusus steril dilakukan di
instalasi farmasi rumah sakit dengan tekhnik aseptik untuk menjamin sterilitas
dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta
menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. Tujuan dilakukan
dispensing sediaan khusus adalah untuk menjamin sterilitas dan stabilitas
produk, melindungi petugas dari
paparan zat berbahaya, dan menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.

1.2. Rumusan Masalah


Dari makalah ini terdapat beberapa rumusan masalah yang dapat saya saya ambil adalah
sebagai beriku :
1.2.1. Apa saja contoh dan penjelasan dari pelanggaran dan penyimpangan tenaga
teknis kefarmasian di bidang distrubusi obat di PBF/Gudang Farmasi, Bidang
Pelayanan kefarmasian di Apotek dan Bidang pelayanan kefarmasian di Rs atau
Klinik.
1.2.2. Apa saja contoh dan penjelasaan terhadap pelanggaran dan penyimpangan
tenaga teknis kefarmasian terhadap etika kefarmasian baik terhadap sejawat
TTK maupun tenaga kesehatan yang lain.

1.3. Tujuan penulisan


1.3.1. Agar memenuhi tugas kuliah saya
1.3.2. Agar saya dan mahasiwa lainnya dapat mengetahui apa saja pelanggaran dan
penyimpangan yang terjadi di bidang distrubusi obat (PBF), di bidang
pelayanan kefarmasian di Apotek dan bidang pelayanan kefarmasian di Rs atau
klinik.

7
1.3.3. Agar saya dan mahasiswa lainnya dapat mengetahui pelanggaran dan
penyimpangan yang dilakukan oleh teknis kefarmasian terhadap etika
kefarmasian baik terhadap TTK maupun tenaga kesehatan yang lain.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Berikan 2 contoh dan penjelasannya pelanggaran dan penyimpangan Tenaga


Teknis Kefarmasian di pekerjaan kefarmasian.

2.1. Bidang distribusi obat di PBF / Gudang Farmasi


2.1.1. Kasus 1

Ribuan obat kadaluwarsa disita oleh penyidik Polres Metro Bekasi. Obat-obatan
itu didapat tersangka JU dari pemulung di TPST Bantargebang untuk didistribusikan
kembali ke toko obat di Pramuka, Jakarta Timur. Tempo/Adi Warsono. Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan sosialisasi tentang Peraturan Kepala
BPOM RI Nomor 25 Tahun 2017 tentang Tata Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB)
kepada 150 pedagang besar farmasi (PBF) di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis, 31 Mei
2018.Direktur Pengawasan Distribusi dan Pelayanan Obat Narkotika, Psikotropika,
Prekursor, dan Bahan Obat Hardaningsih mengatakan peraturan itu mewajibkan
pedagang obat memiliki sertifikasi CBOB. "Sebelumnya tidak diwajibkan, sifatnya
sukarela," ucap H Untuk mempermudah dan percepatan sertifikasi, BPOM telah
memberikan fasilitas sertifikasi CDOB elektronik. Hardaningsih mengatakan aplikasi
itu mulai dikembangkan akhir 2017. Mulai pertengahan Mei 2018, aplikasi telah dibuka
untuk semua PBF. "Targetnya, tahun 2018, semua PBF sudah harus mendaftar,
meregistrasi," ucap Hardaningsih.

Data terakhir BPOM menunjukkan, dari 2.232 PBF yang aktif di Indonesia, 729
sertifikat CBOB dikeluarkan kepada 410 PBF atau baru 18,37 persen dari total
keseluruhan. Sedangkan PBF yang masih dalam proses sertifikasi berjumlah 157.
Maraknya pelanggaran PBF pada tahun lalu, a.l terkait pengelolaan administrasi tidak

8
tertib, gudang tidak memenuhi persyaratan, menyalurkan obat secara panel atau
penanggung jawab tidak bekerja secara penuh, melakukan pengadaan obat dari jalur
tidak resmi, dan lainnya.

2.1.2. Kasus 2

Akibat pelanggaran perizinan pendistribusian serta pengelolaan obat-obatan


khusus narkotika, Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) di kota S menutup
Apotek P serta Pedagang Besar Farmasi (PBF). Kepala BPOM mengungkapkan,
pemilik sarana apotik (PSA)di tersebut menyalahi peran dalam pengadaan dan
pendistribusian obat khususnya narkotika.''Kewenangan itu ada pada apoteker atau
asisten apotekernya semua ada tata caranya. Bukan berarti PSA di P yang
merupakan dokter ahli anestesi berhak atas pengelolaan utamanya narkotika,''
Prosedur administrasi dan pengelolaan yang dilanggar ini akan dikenai
sanksi penutupan selama 1 bulan sampai si pemilik memperbaiki sistem pendistribusian
obat-obatanini. ''Kalau memang yang berwenang seperti apotekernya ikut terlibat,
sanksinya bisa dicabutizin praktiknya.” Selain Apotek P, BPOM juga terpaksa
menutup kantor Pedagang BesarFarmasi (PBF).

Beberapa pelanggaran yang dilakukan adalah mendistribusikan obat kepada


salesman tanpa tujuan jelas, pengadaan obat-obatan daftar G dalam jumlah besar yang
tidakbisa dipertanggung jawabkan,seperti supertetra dan CTM. Selain itu, tidak
ada tugas dan tanggung jawab yang jelas oleh apoteker dan asisten apotekernya.

2.2. Bidang pelayanan kefarmasian di Apotek


Pelayanan Kefarmasian yang diselenggarakan di Apotek haruslah mampu menjamin
ketersediaan obat yang aman, bermutu dan berkhasiat dan sesuai dengan amanat
Undang Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
2.2.1. Kasus 1
Berbagai kasus terjadi berkaitan dengan kesalahan administrasi pengobatan
yang tidak disengaja saat pemberian di apotik dan saat perawatan antara lain:
kasus bapak IU. Awalnya Tn IU merasakan mata kiri perih karena terkena

9
sabun kemudian membasuh mata dengan air namun tidak membaik, lalu pasien
membeli tetes mata insto, namun tidak memberikan efek pasien pun berinisiatif
untuk pergi ke apotek membeli obat mata yang termasuk obat keras dan harus
menggunakan resep dokter namun pasien tetap meminta obat tersebut hingga
akhirnya diberikan pasien pun tidak membaca aturan pakai yang seharusnya
hanya 3 tetes setiap 6 jam sehingga setelah menggunakan obat tersebut mata
pasien malah semakin perih, dan saat obat diteteskan terasa panas. Akhirnya
pasien pergi ke Puskesmas dan memberitahukan kepada dokter mengenai obat
yang digunakan hasilnya kornea mata pasien mengalami kerusakan..
2.2.2. Kasus 2

Diketahui Apotek KN beberapa bulan yang lalu kedapatan menjual obat-obatan


psikotropika secara bebas sehingga dilakukan penutupan paksa oleh dinas-dinas /
lembaga yang berwenang.Kasat Narkoba Polresta Kompol Dodo Hendro Kusumo
mengatakan pasien di Apotek KN,Yogyakarta yang diserahkan ke Satnarkoba Polresta
Yogyakarta kondisinya memprihatinkan.Itu dapat dilihat salama pemeriksaan terlihat
jelas para pasien masih ketergantungan psikotropika.

Berdasarkan pemilahannya,mereka adalah korban psikotropika yang harus


disembuhkan,penderita suatu penyakit yang disarankan dokter melalui resep untuk
mengonsumsi dua jenis psikotropika itu,misal karena insomnia dan depresi,dan juga
karena efek kecelakaan sehingga terkena sarafnya dan harus tergantung obat tersebut.

Dengan resep dokter,mereka datang ke apotek untuk menebusnya.Calmlet kerap


diberikan dokter sebagai obat penenang,sedangkan riklona untuk menambah stamina
fisik agar lebih giat.Mengingat adanya resep itu,maka tidak termasuk
penyalahgunaan.Dia mengacu pada UU No 5 tahun 1997 tentang psikotropika,bahwa
ketentuan pidana adalah penyalahgunaan.Sementara,para pasien itu hanya sebagai
orang yang mau menebus obat berdasarkan resep dokter ( Tribunjogja.com,Agustus
2012 ).

 Adapun dasar hukum pelanggran kasusnya yaitu:

Dalam Studi kasus yang kedua perbuatan yang dilakukan oleh


apotek merupakan pelanggaran karena bertentangan dengan peraturan perundangan
yang berlaku, yang dalam hal ini diatur dalam Undang-undang RI No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan Pasal 24, Undang-undang No. 51Tahun 2009,   Undang-undang RI

10
No. 51 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-undang No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika.
1. UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Pasal 24
1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi
ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan,
standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan,
dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan
  Peraturan Menteri.
2. UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang
pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat
dan saksama;
Pasal 1
1) Pecandu Narkotika
2) Ketergantungan Narkotika
3) Penyalah Gunaan
Pasal 14
1) Narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi,pedagang besar farmasi,
sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat
kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan
wajib disimpan secara khusus.
2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan,
dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran
Narkotika yang berada dalam penguasaannya.

11
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara
pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan Peraturan Menteri.
4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat 2 dikenai sanksi administratif oleh Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan berupa:

a. teguran;
b. peringatan;
c. denda administratif;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin.
Pasal 38
Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.
Pasal 43
1) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat
menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
2) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan
Narkotika melalui suntikan; atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
3) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.
3.  PP 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian
Menurut PP 51 tahun 2009 pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk menigkatkan mutu kehidupan pasien.

Bentuk pekerjaan kefarmasian yang wajib dilaksanakan oleh seorang Tenaga Teknis
Kefarmasian menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/MENKES/X/2002
adalah sebagai berikut:

1) Melayani resep dokter sesuai dengan tanggung jawab dan standart  profesinya.

12
2) Memberi informasi yang berkaitan dengan penggunaan/pemakaian obat.
3) menghormati hak pasien dan menjaga kerahasiaan idntitas serta data
kesehatan pasien.
4) Melakukan pengelolaan apotek.
5) Pelayanan informasi mengenai sediaan farmasi.

Menurut PP 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, Tenaga Tknis


Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apotker dalam menjalani pekerjaan
kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan
Tenaga Mnengah Farmasi/Asisten Apoteker.

Pelayanan Kefarmasian adalah bentuk pelayanan dan bentuk tanggung jawab langsung
profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk menigkatkan kualitas hidup pasien
(Menkes RI,2004)

4. UU RI No. 51 Tahun 1997 tentang Psikotropika

Pasal 2
(1) Ruang lingkup pengaturan di bidang psikotropika dalam undang-undang ini adalah
segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang mempunyai potensi
mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Pasal 3
Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah :
a. menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu
pengetahuan;
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
c. memberantas peredaran gelap psikotropika
Pasal 8
psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan.
Pasal 14
1) Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan
dokter.
2) Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepa-da apotek lainnya,
rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien.

13
3) Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai pengobatan, puskesmas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan kepada pengguna/pasien.
4) Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
5) Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
dalam hal :
a. menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
6) Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat
diperoleh darin apotek.
Pasal 36
1) Pengguna psikotropika hanya dapat memiliki, menyimpan, dan/ atau membawa
psikotropika untuk digunakan dalam rangka pengobatan dan/atau perawatan.
2) Pengguna psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai bukti
bahwa psikotropika yang dimiliki, disim-pan, dan/atau dibawa untuk digunakan,
diperoleh secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (4),
dan ayat (5).
Pasal 37
1) Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban untuk ikut
serta dalam pengobatan dan/atau pera-watan.
2) Pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada
fasilitas rehabilitasi.
Pasal 51
1) Dalam rangka pengawasan, Menteri berwenang mengambil tindakan administratif
terhadap pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga
penelitian dan/atau lembaga pendidikan, dan fasilitas rehabilitasi yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.
2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa :
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. denda administratif;

14
e. pencabutan izin praktik.
Pasal 60
1) Barangsiapa :
a. memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5; atau
b. memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak
memenuhi standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; atau
c. memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar
pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
2) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3) Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
4) Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (1),
Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah).
(5)   Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14
ayat (3), Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama (tiga) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Apabila yang
menerima penyerahan itu pengguna, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) bulan.
2.3. Bidang pelayanan kefarmasian di Rs atau klinik
2.3.1. Kasus 1
Manajemen Rumah Sakit Permata Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi, Jawa
Barat, mengakui menggunakan satu jenis vaksin yang diduga palsu pada kurun
Oktober 2015-Mei 2016. "Dari tujuh jenis yang diduga palsu oleh Kementerian
Kesehatan, kami hanya membeli satu jenis vaksin jenis Pediacel dari distributor
CV Azka Medical," kata Siti. Vaksin jenis Pediacel disuntikkan kepada pasien

15
untuk keperluan antisipasi penyakit DPT, HiB dan polio dalam rentang waktu
penggunaan Oktober 2015 hingga Juni 2016. RS Permata mengklaim jumlah
vaksin tersebut dalam rentang waktu Oktober 2015-Mei 2016 sebanyak 45 vial
atau kemasan botol kecil.
Manajemen rumah sakit itu kini masih melakukan pendataan jumlah pasien
penerima vaksin yang diduga palsu tersebut. "Estimasi jumlah pasien penguna
Pediacel yang kami hitung berada pada kisaran 45 orang. Namun kami
perkirakan jumlahnya tidak sampai segitu, karena satu pasien bisa pakai dua
sampai tiga vial," katanya. Dikatakan Rita, alasan pihaknya memilih distributor
tidak resmi itu dikarenakan dua kompetitor distributor lain yakni PT Anugrah
Prima Lestari (APL) dan PT Sagi Capri telah kehabisan stok. "Distributor CV
Azka Medical merupakan pilihan terakhir karena dua kompetitornya sedang
mengalami kekosongan stok Pediacel pada saat itu," katanya.
Alasan lain RS Permata memilih distributor CV Azka Medical juga dikarenakan
sulit membedakan vaksin asli dan palsu. Sebab harga tidak jauh berbeda yakni
Rp866 ribu per vial, sesuai dengan harga eceran tertinggi yang ditetapkan
pemerintah. Selain itu, kemasan yang digunakan pun mirip dengan distributor
lain dengan ciri memiliki batch register Ditjen POM, masa kadaluarsa, nomor
register dan keterangan principal.

B. Berikan 2 contoh dan penjelasan terhadap pelanggaran dan penyimpangan Tenaga


Teknis Kefarmasian terhadap etika kefarmasian baik terhadap TTK maupun tenaga
kesehatan yang lain.
3.1. Bidang distribusi obat di PBF/Gudang Farmasi
1) Klaim, saling mengklaim suatu produk melanggar etika.
2) Kebohongan publik menginfokan tentang khasiat suatu obat yang tidak benar
3.1.1. Kasus 1
Apotek panel melanggar UU.Untuk bersaing dengan apotek lain, sehingga apotek
X mencari PBF yang menjual harga murahwalaupun tidak legal dengan tujuan
agar bisa menjual kembali dengan harga murah dengandiskon, sehingga mampu
bersaing.
3.1.2. Kasus 2
Nempil obat antar apotek bagaimana aturan main yang baik?
Penyelesaian:
Pada prinsipnya yang penting (tolong menolong):

16
1) Bagi yang nempil:
a. minta tolong dengan sopan dan cara yang baik, jangan hanya menggunakan
kertassobekan untuk pemesanan.
b. Komunikasikan / telepon dulu, siapkan dokumen tertulis.
c. Kalimat terbaik: (1) SP; (2) Copi Resep; (3) Dengan kertas yang baik. 1 & 2
Untuknempil narkotik boleh tapi pake SP narkotik (baca UU Narkotika
No.35/2009)
2) Bagi yang ditempili:
a. Harga (pada umumnya HNA + PPN x index 1,3), namun untuk sejawat tidak
samadengan harga pada umumnya, atau bukan juga harga netto, ini egois. Tapi
indexmisalnya 1,1. Tidak menarik biaya tueslag dan embalanse.

3.1.3. Kasus 3:
Narkotik boleh didistribusikan dari apotek ke apotek, dari apotek ke RS.
Masa sesama sejawat tidak saling percaya untuk nempil obat, percuma kuliah
lama kata bu Bondan. Yang penting adaSP nya aja (kesepakatan di Yogya
pake SP khusus, tapi berdasarkan undang-undang yang penting ada
permintaan tertulis dari apoteker). UU Narkotik tahun 70an memang tidak
diperbolehkan, namun UU Narkotik sekarang boleh.UU Narkotika No.
35/2009:
Pasal 43
1) Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
a. apotek;
b. rumah sakit;
c. pusat kesehatan masyarakat;
d. balai pengobatan; dane. dokter.
2) Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:
a. rumah sakit;
b. pusat kesehatan masyarakat;
c. apotek lainnya;
d. balai pengobatan;
e. dokter; dan
f. Pasien

17
3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan
hanya dapatmenyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep
dokter.
4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui
suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan
Narkotika melalui suntikan;atauc. menjalankan tugas di daerah
terpencil yang tidak ada apotek.

5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan


oleh doktersebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di
apotek.

3.2. Bidang pelayanan kefarmasian di apotik

3.2.1. Kasus 1

Apoteker M menjadi penanggung jawab apotek di Kota W yang


sekaligus sebagai pemilik sarana apotek. Suatu saat ia mendapatkan tawaran
untuk menjadi penanggung jawab PBFPP dan ia menerima tawaran tersebut.
Tanpa melepas status sebagai APA, ia menjadi penanggung jawab PBF PP.
Untuk mencapai target yang telah ditetapkan perusahaan(PBF PP), apoteker M
melakukan kerjasama dengan apotek miliknya untuk mendistribusikan obat ke
klinik dan balai pengobatan atau rumah sakit-rumah sakit.Apotek akan
mendapatkan fee dari kerjasama ini sebesar 2% faktur penjualan. Semua
administrasi dapat ia kendalikan dan lengkap (surat pesanan, faktur
pengiriman, faktur pajak, tanda terima, surat pesanan klinik dan balai
pengobatan atau rumah sakit keapotek, pengiriman dari apotek ke sarana
tersebut dll.). Semua disiapkan dengan rapi sehingga setiap ada pemeriksaan
Badan POM tidak terlihat adanya penyimpangan secara administrasi.2.

3.2.2. Kasus 2

18
P, apoteker praktek di sebuah kota kecil, didekati oleh organisasi
penelitian agar ikutserta dalam uji klinik suatu obat AINS untuk osteoartritis.
Dia ditawari sejumlah uanguntuk setiap pasien yang dia ikut sertakan dalam
uji tersebut. Wakil organisasi tersebutmeyakinkan bahwa penelitian ini telah
mendapatkan semua ijin yang diperlukantermasuk dari Komite Etik
Kedokteran. Apoteker P belum pernah ikut serta dalam ujiklinik sebelumnya
dan merasa senang dengan kesempatan ini, terutama dengan uangyang
ditawarkan. Dia menerima tawaran tersebut tanpa lebih jauh lagi menanyakan
aspeketis dan ilmiah dari penelitian tersebut.

Dari setiap kasus tersebut mengandung refleksi etis. Kasus-kasus tersebut


menimbulkan pertanyaan mengenai pembuatan keputusan dan tindakan apoteker
bukan dari segi ilmiah ataupun teknis seperti bagaimana menangani resep atau
produksi obat ataupun bagaimana melakukan penelitian yang sesuai dengan ethical
clearence, namun pertanyaan yang muncul adalah mengenai nilai, hak-hak, dan
tanggung jawab. Apoteker akan menghadapi pertanyaan- pertanyaan ini sesering dia
menghadapi pertanyaan ilmiah maupun teknis.

3.3. Bidang pelayanan kefarmasian di Rs atau Klinik

3.3.1. Kasus 1

Seorang pasien mendapat resep obat paracetamol generik,


tetapi karena obat paracetamol merek dagang Y jumlahnya digudang masih
banyak dan kecenderungan medekati tahun ED, maka obat paracetamol
generik di dalam resep diganti dengan obat Y yang kandungannya sama.
Harga obat Y lebih mahal dibandingkan obat generik, tetapi dengan informasi
ke pasien bahwa efek obat Y lebih cepat maka pasien menerimanya.

3.3.2. Dasar Hukum yang digunakan Apoteker tersebut (Peraturan


Perundangan51/2009

Pasal 24

Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan


kefarmasian, Apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat
generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas
persetujuan dokter dan/atau pasienDiskusi :Berdasarkan pasal tersebut maka

19
apoteker tersebut tidak salah, tetapi menjadi salah karena landasan dasar yang
digunakan dalam mengganti obat bukan karena stok kosong tapi karena
jumlah obat Y berlebih digudang dan mendekati waktu ED serta ada
kemungkinan kerja sama antara apoteker dengan produsen obat tersebut.

BAB III

PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Dari makalah ini saya dapat mengambil kesimpulan bahwa, pada tenaga teknis
kefarmasian yang bergerak dibeberapa bidang memiliki penyimpangan dan
pelanggaran yang berbeda-beda dari satandar pelayanan dan undang-undang maupun
menurut kode etiknya.
1. Bidang distribusi obat PBF/ Gudang Farmasi
Dari beberapa kasus tentang dristribusi obat yang dilakukan oleh apoteker,
diajarkan untuk lebih teliti dan bertanggung jawab. Adapun tertulis di Undang-
Undang yaitu (Peran Apoteker di PBF yaitu sebagai penganggung jawab
bedasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang
Pedagang Besar Farmasi). Ada beberapa pelanggran yang atau penyimpangan
yang dilaukan oleh pelayanan kewarmasian di PBF,yng mengakibatkan PBF
tutup,dan tidak diizinkan untuk mendistribusi obat.

20
Adapun yang melanngar etika profesinya yaitu:
1) Klaim, saling mengklaim suatu produk melanggar etika.
2) Kebohongan publik menginfokan tentang khasiat suatu obat yang tidak benar.
Dari pelanggran etika, terdapat pendristribusian narkotik yang dilakukan dari
apotek ke apotek dan ke Rs.
UU Narkotik tahun 70an memang tidak diperbolehkan, namun UU Narkotik
sekarang boleh.UU Narkotika No. 35/2009.
2. Bidang pelayanan kefarmasian di Apotek
Pelayanan Kefarmasian yang diselenggarakan di Apotek haruslah mampu
menjamin ketersediaan obat yang aman, bermutu dan berkhasiat dan sesuai
dengan amanat Undang Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
Dari pelanggran di apotek tentang psikotrika (dalam Undang-undang RI No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 24, Undang-undang No. 51Tahun 2009,
Undang-undang RI No. 51 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-undang
No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.)

Dari setiap kasus tersebut mengandung refleksi etis. Kasus-kasus tersebut


menimbulkan pertanyaan mengenai pembuatan keputusan dan tindakan apoteker
bukan dari segi ilmiah ataupun teknis seperti bagaimana menangani resep atau
produksi obat ataupun bagaimana melakukan penelitian yang sesuai dengan
ethical clearence, namun pertanyaan yang muncul adalah mengenai nilai, hak-hak,
dan tanggung jawab. Apoteker akan menghadapi pertanyaan- pertanyaan ini
sesering dia menghadapi pertanyaan ilmiah maupun teknis.
3. Bidang pelayanan kefarmasian di Rs
Ada beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh kefrmasian di Rs, salah satunya
penggunaan vaksin palsu.
Adapun peraturan perundang-undang-Nya
Dasar Hukum yang digunakan Apoteker tersebut (Peraturan Perundangan51/2009)
Pasal 24
Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan
kefarmasian, Apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat generik
yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan
dokter dan/atau pasienDiskusi :Berdasarkan pasal tersebut maka apoteker tersebut
tidak salah, tetapi menjadi salah karena landasan dasar yang digunakan dalam

21
mengganti obat bukan karena stok kosong tapi karena jumlah obat Y berlebih
digudang dan mendekati waktu ED serta ada kemungkinan kerja sama antara
apoteker dengan produsen obat tersebut.

4.2. Saran
Untuk pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh beberapa bidang
diatas,sebaiknya lebih teliti lagi dalam berbagai pendistribusian,yang dilakukan di
apotek maupun Rs/klinik. Karena obat-obatan yang diproduksi dan akhirnya akan
didistribusi ke beberapa apotek/Rumah Sakit ,obat-obatan tersebut akan dikonsumsi
oleh banyak kalangan. Jadi agar tidak terjadi pelanggalan lagi, pelayanan kefarmasian
di beberapa bidang tersebut sebaiknya lebih teliti lagi.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.stfi.ac.id/penanggung-jawab-pedagang-besar-farmasi-pbf/.
http://repository.wima.ac.id/id/eprint/12259/2/BAB%201.pdf.
file:///C:/Users/ACER/Downloads/24665-50546-1-SM%20(1).pdf
http://httpleukimia.blogspot.com/2017/03/makalah-studi-kasus-tentang-pelanggaran.html.
http://eprints.ums.ac.id/12679/2/BAB_1.pdf.
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/08/FArmasi-RS-dan-
Klinik-Komprehensif.pdf.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160716191502-20-145160/rs-permata-bekasi-
akui-bagian-farmasi-lalai-terkait-vaksin.
https://pdfcoffee.com/contoh-kasus-pelanggaran-bella-resiana-widagda-pdf-free.html.

22

Anda mungkin juga menyukai