Disusun Oleh:
PADANGSIDIMPUAN
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memnberikan
rahmat dan karunianya. Penulis di sini akhirnya dapat merasa sangat bersyukur karena telah
menyelesaikan makalah yang berjudul “Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2009 Tentang
Pekerjaan Kefarmasian“
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga
terselesaikannya makalah ini.Dan penulis memahami jika makalah ini tentu jauh dari
kesempurnaan maka kritik dan saran sangat dibutuhkan guna memperbaiki makalah Ini .
Semoga makalah ini bermanfaat bagi Pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4
1.3 Tujuan...............................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................6
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................41
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial
yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Kesehatan merupakan salah satu faktor terpenting untuk meningkatkan taraf kehidupan
menjadi sejahtera. Untuk mencapai hal tersebut perlu adanya pembangunan kesehatan dengan
tujuan tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap masyarakat. Dalam
mewujudkan pembangunan kesehatan dibutuhkan sebuah upaya kesehatan beserta sarana
kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan dan tempat yang digunakan untuk menyelenggarakannya disebutsaranakesehatan.
Selain itu sarana kesehatan juga dapat dipergunakan untuk kepentingan pendidikan, pelatihan
dan penelitian serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang kesehatan.
Pada saat ini paradigma pelayanan kefarmasian telah bergeser dari pelayanan obat
(drug oriented) menjadi pelayanan pasien (patient oriented) dengan mengacu kepada
Pharmaceutical Care. Kegiatanpelayanan yang tadinya hanya berfokus pada pengelolaan obat
sebagai komoditi berubah menjadi pelayanan yang komprehensif dengan tujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Maka Apoteker harus meningkatkan pengetahuan,
keterampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien.
Bentuk interaksi tersebut antar lain adalah melaksanakan pemberian informasi, monitoring
penggunaan obat dan mengetahui tujuan akhir terapi sesuai harapan dan terdokumentasi
dengan baik.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan pekerjaan kefarmasian dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No.51 Tahun 2009 ?
2. Bagaimana pengaturan standar pelayanan kefarmasian dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No.73 Tahun 2016?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengaturan pekerjaan kefarmasian dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No.51 Tahun 2009 ?
2. Untuk mengetahui pengaturan standar pelayanan kefarmasian dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.73 Tahun 2016?
PEMBAHASAN
Pasal 1
Bagian Kesatu-Umum
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi dapat berupa industri farmasi obat, industri bahan
baku obat, industri obat tradisional, dan pabrik kosmetika.
Pasal 9
Industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang Apoteker sebagai penanggung
jawab masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi, dan pengawasan
mutu setiap produksi Sediaan Farmasi.
Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-
kurangnya 1 (satu) orang Apoteker sebagai penanggung jawab.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 10
Pasal 11
Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan proses produksi dan pengawasan mutu
Sediaan Farmasi pada Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi wajib dicatat oleh Tenaga
Kefarmasian sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Pasal 13
Pasal 14
Setiap Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi berupa obat harus
memiliki seorang Apoteker sebagai penanggung jawab.
Apoteker sebagai penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian dalam
Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 18
Pasal 19
Pasal 21
Dalam hal di daerah terpencil yang tidak ada apotek, dokter atau dokter gigi yang
telah memiliki Surat Tanda Registrasi mempunyai wewenang meracik dan
menyerahkan obat kepada pasien yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 harus menetapkan Standar Prosedur Operasional.
Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui secara
terus menerus sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
farmasi dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 24
Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari
pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan.
Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerja sama dengan pemilik
modal maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh
Apoteker yang bersangkutan.
Ketentuan mengenai kepemilikan Apotek sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
Pasal 28
Pasal 29
Pasal 30
Pasal 33
Tenaga Teknis kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari
Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah
Farmasi/Asisten Apoteker.
Pasal 34
Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi berupa industri farmasi obat, industri bahan
baku obat, industri obat tradisional, pabrik kosmetika dan pabrik lain yang
memerlukan Tenaga Kefarmasian untuk menjalankan tugas dan fungsi produksi
dan pengawasan mutu;
Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi dan alat kesehatan melalui
Pedagang Besar Farmasi, penyalur alat kesehatan, instalasi Sediaan Farmasi dan
alat kesehatan milik Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah
daerah kabupaten/kota; dan/atau
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian melalui praktik di Apotek, instalasi farmasi
rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 35
STRA berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5
(lima) tahun apabila memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1).
Pasal 42
STRA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a diberikan kepada:
Apoteker warga negara Indonesia lulusan luar negeri yang telah melakukan
adaptasi pendidikan Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) di
Indonesia dan memiliki sertifikat kompetensi profesi;
Apoteker warga negara asing lulusan program pendidikan Apoteker di Indonesia
yang telah memiliki sertifikat kompetensi profesi dan telah memiliki izin tinggal
tetap untuk bekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan dan keimigrasian; atau
Apoteker warga negara asing lulusan program pendidikan Apoteker di luar negeri
dengan ketentuan:
Telah melakukan adaptasi pendidikan Apoteker di Indonesia;
Telah memiliki sertifikat kompetensi profesi; dan
Telah memenuhi persyaratan untuk bekerja sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dan keimigrasian.
Pasal 44
STRA Khusus sebagaimana dimaksud pada Pasal 42 ayat (2) huruf b dapat diberikan
kepada Apoteker warga negara asing lulusan luar negeri dengan syarat:
Pasal 47
STRTTK berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5
(lima) tahun apabila memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1).
Pasal 49
Habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang oleh yang bersangkutan atau tidak
memenuhi persyaratan untuk diperpanjang;
Dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan;
Permohonan yang bersangkutan;
Yang bersangkutan meninggal dunia; atau
Dicabut oleh menteri atau pejabat kesehatan yang berwenang.
Pasal 50
Apoteker yang telah memiliki STRA, atau STRA Khusus, serta Tenaga Teknis
Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK harus melakukan Pekerjaan
Kefarmasian sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki.
Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK mempunyai
wewenang untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian dibawah bimbingan dan
pengawasan Apoteker yang telah memiliki STRA sesuai dengan pendidikan dan
keterampilan yang dimilikinya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang Tenaga Teknis Kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 51
Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a hanya dapat
melaksanakan praktik di 1 (satu) Apotik, atau puskesmas atau instalasi farmasi
rumah sakit.
Apoteker pendamping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b
hanya dapat melaksanakan praktik paling banyak di 3 (tiga) Apotek, atau
puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit.
Pasal 55
Untuk mendapat surat izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Tenaga
Kefarmasian harus memiliki:
BAB IV DISIPLIN TENAGA KEFARMASIAN
Pasal 56
Pasal 57
Pelaksanaan penegakan disiplin Tenaga Kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(1) Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Apotek, harus dilakukan evaluasi
mutu Pelayananan Kefarmasian.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi mutu Pelayananan Kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 9
(1) Pengawasan selain dilaksanakan oleh Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi dan
kepala dinas kesehatan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat
(1), khusus terkait dengan pengawasan sediaan farmasi dalam pengelolaan sediaan
farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dilakukan juga oleh
Kepala BPOM sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala BPOM dapat
melakukan pemantauan, pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap
pengelolaan sediaan farmasi di instansi pemerintah dan masyarakat di bidang
pengawasan sediaan farmasi.
Pasal 11
(1) Pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan pengawasan yang
dilakukan oleh Kepala BPOM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
dilaporkan secara berkala kepada Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling sedikit 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) tahun.
Pasal 12
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenai sanksi
administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Peringatan tertulis;
b. Penghentian sementara kegiatan; dan/atau
c. Pencabutan izin.
Pasal 13
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35
Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 1162) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 35 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1169), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 14
1. Peran Apoteker sesuai dengan Permenkes No. 73 Tahun 2016 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek adalah sebagai pemberi layanan, pengambil
keputusan, komunikator, pemimpin, pengelola, pembelajar seumur hidup dan peneliti.
2. Tujuan Pengaturan Permenkes 73 tahun 2016 tentang pelayanan Kefarmasian di Apotek
1. Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian.
2. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian
3. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam
rangka keselamatan pasien (pasien safety).
DAFTAR PUSTAKA