FITOFARMAKA
Disusun Untuk Melengkapi Salah Satu Tugas Perkuliahan dalam Mata Kuliah
OLEH :
DI KOTA PADANGSIDIMPUAN
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memnberikan rahmat
dan karunianya. Tidak lupa juga penulis mengucapkan sholawat dan salam kepada roh
junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Penulis di sini akhirnya dapat merasa sangat
bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang berjudul “Fitofarmaka“.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
hingga terselesaikannya makalah ini. Penulis memahami jika makalah ini tentu jauh dari
kesempurnaan, maka kritik dan saran sangat dibutuhkan guna memperbaiki makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki kurang lebih 30.000 spesies tumbuhan dan 940 spesies di
ataranya termasuk tumbuhan berkhasiat (180 spesies telah dimanfaatkan oleh
industry jamu tradisional) merupakan potensi pasar obat herbal dan fitofarmaka.
Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh
nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu terbukti adanya naskah lama pada
daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali,lontar akpa bura (Sulawesi Selatan)
dokumen serat Primbon Jampi.
Dengan melihat jumlah tanaman di Indonesia yang berlimpah dan baru 180
tanaman yang digunakan sebagai bahan obat tradisional oleh industry maka peluang
bagi profesi kefarmasian untuk meningkatkan peran sediaan herbal dalam
pembangunan kesehatan masih terbuka lebar. Standarisasi bahan baku dan obat
jadi , pembuktian efek farmakologi dan informasi tingkat keamanan obat herbal
merupakan tantangan bagi farmasis agar obat herbal semakin dapat diterima oleh
masyarakat luas.
1
2
PEMBAHASAN
2.1 FITOFARMAKA
1. Definisi
3.Ramuan
Ramuan (komposisi) hendaknya terdiri dari 1 (satu) simplisia/ sediaan
galenik. Bila hal tersebut tidak mungkin, ramuan dapat terdiri dari beberapa
simplisia,/sediaan galenik dengan syarat tidak melebihi 5 (lima)
simplisia/sediaan galenik. Simplisia tersebut masing-masing sekurang-
kurangnya telah diketahui khasiat dan keamanannya berdasar pengalaman.
3. Standar Bahan Baku
4. Standar Fitofarmaka
Suatu senyawa yang baru ditemukan (hasil isolasi maupun sintesis) terlebih
dahulu diuji dengan serangkaian uji farmakologi hewan. Sebelum calon obat baru
ini dapat dicobakan pada manusia, dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk meneliti
sifat farmakodinamik, farmakokinetik dan farmasetika dan efek toksiknya.
1. Uji Farmakodinamika
2. Uji Farmakokinetik
3. Uji Frmasetika
1. Definisi
a. Dasar Pemikiran
1) Obat tradisional baik dalam bentuk simplisia tunggal maupun ramuan
sebagian besar penggunaan dan kegunaannya masih berdasarkan
pengalaman.
2) Data yang meliputi kegunaan, dosis dan efek samping sebagian besar
belum didasarkan pada landasan ilmiah, karena penggunan obat
tradisional baru didasarkan kepada kepercayaan terhadap Informasi
berdasarkan pengalaman.
3) Dalam rangka upaya pembangunan di bidang kesehatan, obat tradisional
perlu dikembangkan dan secara berangsur-angsur dimanfaatkan
berdasarkan atas landasan ilmiah, sehingga dapat digunakan dalam upaya
pelayanan kesehatan normal kepada masyarakat.
4) Dalam rangka pengembangan obat tradisional tersebut maka obat
tradisional perlu dikelompokkan kedalam 2 golongan yaitu:
a) Obat tradisional jamu.
b) Fitofarmaka.
Dalam kaitannya dengan pemanfaatannya di dalam kesehatan,
Fitofarmaka perlu mendapat prioritas.
5) Agar supaya Fitofarmaka dapat diterima dalam upaya pelayanan
kesehatan, perlu dibuktikan manfaat kliniknya melalui uji klinik
fitofarmaka pada manusia.
6
b. Tujuan
Tujuan pokok uji klinik fitofarmaka adalah:
1) Memastikan keamanan dan manfaat klinik fitofarmaka pada manusia
dalam pencegahan atau pengobatan penyakit maupun gejala penyakit.
2) Untuk mendapatkan fitofarmaka yang dapat dipertanggung jawabkan
keamanan dan manfaatnya.
c. Tahap Pelaksanaan
1) Merencanakan tahap-tahap pelaksanaan uji klinik Fitofarmaka termasuk
formulasi, uji farmakologik eksperimental dan uji kimia.
2) Melaksanakan uji klinik fitofarmaka.
3) Melakukan evaluasi hasil uji klinik fitofarmaka.
4) Menyebar luaskan informasi tentang hasil uji klinik litofarmaka kepada
masyarakat (peneliti diperbolehkan mempublikasikan pengujian yang
dilakukan dengan memperhatikan kode etik publikasi ilmiah).
5) Memantau penggunaan dan kemungkinan timbulnya efek samping
fitofarmaka.
d. Persyaratan Uji Klinik
Beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam uji klinik Fitofarmaka
1) Terhadap calon fitofarmaka dapat dilakukan pengujian klinik pada
manusia apabila sudah melalui penelitian toksisitas dan kegunaan pada
hewan coba yang sesuai dan dinyatakan memenuhi syarat, yang
membenarkan dilakukannya pengujian klinik pada manusia.
2) Alasan untuk melaksanakan uji klinis terhadap suatu fitofarmaka dapat
didasarkan pada :
a) Adanya data pengujian farmakologik pada hewan coba yang
menunjukan bahwa calon fitofarmaka tersebut mempunyai aktivitas
farmakologik yang sesuai dengan indikasi yang menjadi tujuan uji
klinik fitofarmaka tersebut.
b) Adanya pengalaman empirik dan / atau histori bahwa fitofarmaka
tersebut mempunyai manfaat klinik dalam pencegahan dan
pengobatan dan pengobatan penyakit atau gejala penyakit.
7
3) Uji Klinik Fitofarmaka merupakan suatu kegiatan pengujian
multidisiplin.
4) Uji klinik Fitofarmaka harus memenuhi syarat-syarat ilmiah dan
metodologi suatu uji klinik untuk pengembangan dan evaluasi khasiat
klinik suatu obat baru. Protokol uji klinik suatu calon fitofarmaka harus
selaras dengan Pedoman Fitofarmaka yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan Rl. Protokol uji klinik dengan rancangan dan metodologi yang
sesuai dikembangkan dulu oleh tim peneliti. Protokol uji klinik harus
dinilai dahulu oleh suatu Panitia llmiah yang independent untuk
mendapatkan persetujuan.
5) Uji Klinik Fitofarmaka harus memenuhi prinsip-prinsip etika sejak
perencanaan sampai pelaksanaan dan penyelesaian uji klinik. Setiap
pengujian harus mendapatkan ijin kelaikan etik (ethical clearance) dari
Panitia Etika Penelitian Biomedik pada manusia.
6) Uji Klinik Fitofarmaka hanya dapat dilakukan oleh tim peneliti yang
mempunyai keahlian, pengalaman, kewenangan dan tanggung jawab
dalam pengujian klinik dan evaluasi khasiat klinik obat.
7) Uji Klinik Fitofarmaka hanya dapat dilakukan oleh unit-unit pelayanan
dan penelitian yang memungkinkan untuk pelaksanaan suatu uji klinik,
baik dipandang dari segi kelengkapan sarana, keahlian personalia,
maupun tersedianya pasien yang mencukupi. Pengulian klinik dalam
unit-unit pelayanan kesehatan di luar Sentra Uji Fitofarmaka, misalnya di
Puskesmas atau Rumah Sakit, harus mendapatkan supervisi dan
monitoring dari Sentra Uji Fitofarmaka sejak perencanaan, pelaksanaan
sampai dengan penyelesaiannya.
8
2.4 CONTOH FITOFARMAKA
9
BAB III
PENUTUP
3
3.4 Kesimpulan
1. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan
dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dan uji klinis bahan baku serta
produk jadinya telah di standarisasi,
2. Alasan utama keengganan profesi kesehatan untuk meresepkan atau
menggunakan obat tradisional tradisional karena bukti ilmiah mengenai khasiat
dan keamanan obat tradisional pada manusia masih kurang. Obat tradisional
Indonesia merupakan warisan budaya bangsa sehingga perlu digali, diteliti dan
dikembangkan agar dapat digunakan lebih luas oleh masyarakat. Untuk itulah
dikembangkan Obat Tradisional menjadi fitofarmaka.
3. Fitofarmaka harus memenuhi beberapa criteria, diantaranya :
a. Aman dan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
b. Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik
c. Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam
produk jadi
d. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
4. Produk-produk fitofarmaka
a. Nodiar
b. X-gra
c. Stimuno
d. Tensigard Agromed
e. Rheumaneer
10
3.5 Saran
Kami harap dengan makalah ini dapat memberikan informasi mengenai
fitofarmaka sehingga pembaca dan penulis dapat memanfaatkan obat-obat
fitofarmaka untuk meningkatkan kualitas kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
BPOM Depkes RI. 2005. Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat
Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.