Anda di halaman 1dari 14

DAFTAR ISI

Daftar Isi..............................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................1
1.3 Tujuan............................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Fitofarmaka......................................................................................................
2.2 Tujuan Fitofarmaka.......................................................................................................
2.3 Logo Fitofarmaka..........................................................................................................
2.4 Arti Logo Fitofarmaka...................................................................................................

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan....................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia memiliki lebih kurang 30.000 spesies tumbuhan dan 940 spesies di
ataranya termasuk tumbuhan berkhasiat (180 spesies telah dimanfaatkan oleh industry
jamu tradisional) merupakan potensi pasar obat herbal dan fitofarmaka. Penggunaan
bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek moyang kita
sejak berabad-abad yang lalu terbukti adanya naskah lama pada daun lontar Husodo
(Jawa), Usada (Bali,lontar akpa bura (Sulawesi Selatan) dokumen serat Primbon Jampi.
Dengan melihat jumlah tanaman di Indonesia yang berlimpah dan baru 180
tanaman yang digunakan sebagai bahan obat tradisional oleh industry maka peluang bagi
profesi kefarmasian untuk meningkatkan peran sediaan herbal dalam pembangunan
kesehatan masih terbuka lebar. Standarisasi bahan baku dan obat jadi , pembuktian efek
farmakologi dan informasi tingkat keamanan obat herbal merupakan tantangan bagi
farmasis agar obat herbal semakin dapat diterima oleh masyarakat luas.
Dengan kekayaan tersebut Indonesia berpeluang besar untuk menjadi salah satu
negara terbesar dalam industri obat tradisional dan kosmetika alami berbahan baku
tumbuh-tumbuhan yang peluang pasarnya pun cukup besar. Sebagai salah satu alternatif
pengembangan biofarmaka, fitofarmaka atau lebih dikenal dengan tanaman obat, sangat
berpotensi dalam pengembangan industri obat tradisional dan kosmetika Indonesia.
Selama ini, industri tersebut berkembang dengan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan yang
diperoleh dari hutan alam dan sangat sedikit yang telah dibudidayakan petani. Bila
adapun, teknik budidaya dan pengolahan bahan baku belum menerapkan persyaratan
bahan baku yang diinginkan industri , yaitu bebas bahan kimia dan tidak terkontaminasi
jamur ataupun kotoran lainnya. Dalam memacu pengembangan agribisnis berbasis
fitofarmaka di tingkat petani, sangatlah penting peningkatan kemampuan petani dalam hal
budidaya tanaman obat. Disamping hal budidaya, segi pasca panen dan pemasaran juga
perlu ditingkatkan dalam upaya memacu pengembangan industri obat tradisional dan
kosmetika Indonesia. Obat bahan alam yang semula banyak dimanfaatkan oleh negara-
negara di Asia, Amerika Selatan dan Afrika, sekarang meluas sampai ke negara-negara
maju di Australia dan Amerika Utara. Awalnya obat bahan alami digunakan sebagai
tradisi turun-temurun. Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan berkembangnya

1
teknologi, baik produksi maupun informasi, uji praklinik dan klinik dilakukan untuk
memperoleh keyakinan khasiat obat bahan alam.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Fitofarmaka?
2. Apa tujuan Fitofarmaka?
3. Bagaimana logo Fitofarmaka?
4. Apa arti logo Fitofarmaka?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi Fitofarmaka
2. Mengetahui tujuan Fitofarmaka
3. Mengetahui bentuk Fitofarmaka
4. Mengetahui logo Fitofarmaka

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Fitofarmaka


Fitofarmaka dapat diartikan sebagai sediaan obat bahan alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dan uji klinis
bahan baku serta produk jadinya telah di standarisir (BPOM. RI., 2004 ). Fitofarmaka
adalah sediaan bahan obat alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara
ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah
distandarisasi.(BPOM tahun 2015)

Fitofarmaka merupakan jenis obat tradisional yang dapat disejajarkan dengan obat
modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar dan khasiatnya telah
dibuktikan melalui uji klinis. Dengan uji klinik akan lebih meyakinkan para profesi medis
untuk menggunakan obat herbal di sarana pelayanan kesehatan. Masyarakat juga bisa
didorong untuk menggunakan obat herbal karena manfaatnya jelas dengan pembuktian
secara ilimiah.

Fitofarmaka menempati level paling atas dari segi kualitas dan keamanan. Hal ini
disebabkan oleh karena fitofarmaka telah melalui proses penelitian yang sangat panjang
serta uji klinis yang detail, pada manusia sehingga fitofarmaka termasuk dalam jenis
golongan obat herbal yang telah memiliki kesetaraan dengan obat, karena telah memiliki
clinical evidence dan siap di resepkan oleh dokter.

Obat Herbal dapat dikatakan sebagai fitofarmaka apabila obat herbal tersebut telah
memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Aman

2. Klaim khasiat secara ilmiah, melalui uji pra-klinik dan klinik

3. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku

4. Telah dilakukan standardisasi bahanbakuyang digunakan dalam produk jadi

Hal yang perlu diperhatikan adalah setelah lolos uji fitofarmaka, produsen dapat
mengklaim produknya sebagai obat. Namun demikian, klaim tidak boleh menyimpang

3
dari materi uji klinis sebelumnya. Misalnya, ketika uji klinis hanya sebagai antikanker,
produsen dilarang mengklaim produknya sebagai antikanker dan antidiabetes.

Indonesia pada saat ini telah memproduksi dan beredar di masyarakat sebanyak 5
buah fitofarmaka, seperti Nodiar (PT Kimia Farma), Stimuno (PT. Dexa Medica),
Rheumaneer PT. Nyonya Meneer), Tensigard dan X-Gra (PT Phapros).

1. Prioritas Pemilihan
a. Bahan bakunya relatif mudah diperoleh.
b. Didasarkan pada pola penyakit di Indonesia.
c. Perkiraan manfaatnya terhadap penyakit tertentu cukup besar.
d. Memiliki rasio resiko dan kegunaan yang menguntungkan penderita.
e. Merupakan satu-satunya alternatif pengobatan.
2. Ramuan

Ramuan (komposisi) hendaknya terdiri dari 1 (satu) simplisia/ sediaan galenik.


Bila hal tersebut tidak mungkin, ramuan dapat terdiri dari beberapa simplisia,/sediaan
galenik dengan syarat tidak melebihi 5 (lima) simplisia/sediaan galenik. Simplisia
tersebut masing-masing sekurang-kurangnya telah diketahui khasiat dan keamanannya
berdasar pengalaman.

3. Standar Bahan Baku

Bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tertera dalam Farmakope


Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia atau Materia Medika Indonesia Bila pada
ketiga buku persyaratan tersebut tidak tertera paparannya, boleh menggunakan
ketentuan dalam buku persyaratan mutu negara lain atau pedoman lain.

Penggunaan ketentuan atau persyaratan lain diluar Farmakope Indonesia, Ekstra


Farmakope Indonesia dan Material Indonesia harus mendapat persetuiuan pada waktu
pendaftaran fitofarmaka. untuk menjamin keseragaman khasiat dan keamanan
fitofarmaka harus diusahakan pengadaan bahan baku yang terjamin keseragaman
komponen aktifnya. Untuk keperluan tersebut, bahan baku sebelum digunakan harus
dilakukan pengujian melalui analisis kualitatif dan kuantitatif.

4
Secara bertahap industri harus meningkatkan persyaratan tentang rentang kadar
alkaloid total, kadar minyak atsiri dan lain sebagainya.

4. Standar Fitofarmaka

Setiap fitofarmaka.harus dapat dijamin kebenaran komposisi, keseragaman


komponen aktif dan keamanannya baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Pada analisis terhadap ramuan, sebagai baku pembanding digunakan zat utama atau
zat identitas lainnya. Secara bertahap industri harus mempertajam perhatian terhadap
galur fitokimia simplisia yang digunakan.

5. Khasiat
Pernyataan khasiat harus menggunakan istilah medik, seperti diuretik,
spasmolitik, analgetik, antipiretik.

2.2 Tujuan Fitofarmaka

a. Tujuan

Tujuan pokok uji klinik fitofarmaka adalah:

1) Memastikan keamanan dan manfaat klinik fitofarmaka pada manusia dalam


pencegahan atau pengobatan penyakit maupun gejala penyakit.
2) Untuk mendapatkan fitofarmaka yang dapat dipertanggung jawabkan
keamanan dan manfaatnya.
b. Tahap Pelaksanaan
1) Merencanakan tahap-tahap pelaksanaan uji klinik Fitofarmaka termasuk
formulasi, uji farmakologik eksperimental dan uji kimia.
2) Melaksanakan uji klinik fitofarmaka.
3) Melakukan evaluasi hasil uji klinik fitofarmaka.
4) Menyebar luaskan informasi tentang hasil uji klinik litofarmaka kepada
masyarakat (peneliti diperbolehkan mempublikasikan pengujian yang
dilakukan dengan memperhatikan kode etik publikasi ilmiah).
5) Memantau penggunaan dan kemungkinan timbulnya efek samping
fitofarmaka.

Tahapan pengembangan obat tradisional menjadi fi tofarmaka adalah sebagai berikut.

5
a. Tahap seleksi dilakukan sebelum memulai penelitian untuk memilih jenis obat
tradisional/obat herbal yang akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat tradisional/obat
herbal yang diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan adalah diharapkan berkhasiat
untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam angka kejadiannya (berdasarkan
pola penyakit), ber- dasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu serta
merupakan alternatif jarang untuk pe- nyakit tertentu seperti AIDS dan kanker.
b. Tahap uji preklinis merupakan persyaratan uji untuk calon obat. Hasil dari uji ini
diperoleh informasi tentang efek farmakologi, farmakokinetik, farmakodinamik untuk
memprediksi efek pada manusia, toksisitas untuk melihat keamanannya, kemudian
pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi
secara in vitro dan pengujian pada hewan secara in vivo.
Uji preklinis dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradi- sional yang akan
dikembangkan menjadi fitofar- maka. Bentuk sediaan dan cara pemberian pada hewan
coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada manusia. Menurut pedoman
pelaksanaan uji klinis obat tradisional Direktorat Jenderal POM Dpartemen Kesehatan
RI hewan coba yang digunakan untuk sementara satu spesies tikus atau mencit, se-
dangkan WHO menganjurkan pada dua spesies.
c. Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas
khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsi- nogenisitas. Uji
toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan DL50 (Dosis Letal50) yaitu dosis yang
mematikan 50% hewan coba, menilai berbagai ge jala toksik, spektrum efek toksik pada
organ, dan ca- ra kematian. Uji DL50 perlu dilakukan untuk semua jenis obat yang akan
diberikan pada manusia. Untuk pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji tok-
sisitas akut.
Pada uji toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan, sedangkan
pada uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih. Uji toksisitas
sub-kronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat tradisional pada
pemberian jangka lama. Lama pem-berian sediaan obat pada uji toksisitas ditentukan
berdasarkan lama pemberian obat pada manusia.
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek
farmakodinamik dan mene lusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat
tradisional tersebut. Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba.

Cara pemberian obat tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan
6
dengan cara pemberiannya pada manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada
hewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan efek pada manusia.
Tahap uji klinis obat tradisional dilakukan pada manusia untuk dapat menjadi
fitofarmaka dengan di- buktikan khasiat dan keamanannya.
Uji klinis pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisi- onal/obat
herbal tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinis. Pada uji klinis obat
tradisional prinsip etika uji klinis harus dipenuhi. Standardisasi sediaan merupakan hal
yang penting untuk dapat menimbulkan efek yang terulangkan.

Uji klinis dibagi empat fase yaitu:


 Fase I, obat tradisional diujikan pada sukarelawan sehat, pada fase ini ditentukan
keamanan suatu obat dan tolerabilitas obat tradisional.
 Fase II awal, dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding.
Fase II akhir, dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding. Pada
fase II diamati efikasi pada penyakit yang diobati dan diharapkan dari obat adalah
mempunyai efek potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pada fase
ini mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk persediaan obat.
 Fase III, uji klinis definitif, melibatkan kelompok besar pasien, di sini obat baru
dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah
diketahui. Fase IV, pasca pemasaran, untuk mengamati efek samping yang jarang
atau lambat timbulnya.
Obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat dan tidak
menunjukkan efek samping yang merugikan, setelah mengalami uji preklinis dapat
langsung dilakukan uji klinis dengan pembanding. Obat tradisional yang belum diguna-
kan secara luas harus melalui uji klinis pendahuluan (fase I dan II) guna mengetahui
tolerabilitas pasien terhadap obat tradisional tersebut Direktorat Pengawasan Obat
Tradisional telah membuat standardisasi dengan memuat persaratan baku mutu
simplisia yang banyak dipakai oleh perusahaan obat tradisional.
Pemeliharaan mutu harus diupayakan dari hulu ke hilir mulai dari budidaya,
pemanenan dan pengolahan pasca panen, pembuatan bahan baku, sampai ke pembuatan
sediaan dan sediaannya. BPOM RI telah mensyaratkan bahwa pe- nandaan bahan alam
yang terdiri dari jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Jamu harus meme nuhi
kriteria yaitu aman sesuai persyaratan ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan

7
data em piris dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Obat herbal terstandar
harus memenuhi kriteria yaitu aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim
khasiat dibuktikan secara ilmiah /preklinis, dan dilakukan standardisasi bahan baku
yang digu- nakan dalam produk jadi.
Fitofarmaka harus memenuhi kriteria yaitu aman sesuai dengan persyaratan
yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara uji klinis, dilakukan standardisasi
bahan baku yang digunakan dalam produk jadi, dan memenuhi persyaratan mutu
dengan menggunakan mesin-mesin berteknologi tinggi. Fitorfarmaka sangat diharapkan
oleh peneliti bahan alam karena dapat disejajarkan dengan obat mo dern/kimia.
Diperlukan pembuktian khasiat dan keamanan bahan alam berpotensi fitofarmaka pada
ma- nusia melalui uji klinik perlu agar diterima dan digunakan pada pelayanan
kesehatan formal. Sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiat secara ilmiah dengan uji pre-klinis dan uji klinis, bahan baku dan produk
jadinya harus di- standardisasi farmasitikal. Minat untuk melakukan penelitian dan
pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka cukup baik namun seringkali
terbentur acuan standardisasi farmasitikal dan masalah dana penelitian yang sulit
didapat.
Pengembangan obat berpotensi fitofarmaka melibatkan multidisiplin bidang ilmu
farmakognosi, etnobotani, etnofarmakologi, argoindustri, argonomi, fitokimia,
farmakologi dan toksikologi, teknologi farmasi, dan kedokteran termasuk kedokteran
gigi. Penelitian-penelitian bahan alam menuju farmasitikal telah banyak dilakukan
tetapi hasil yang diperoleh seringkali tidak m ngikuti acuan standardisasi farmasitikal.

8
2.3 Logo Fitofarmaka

Adapun obat fitofarmaka yang saat ini beredar di masyarakat yang


berbentuk kemasan memiliki logo jari-jari daun yang membentuk bintang
dalam lingkaran seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut ini :

Logo Fitofarmaka

Logo fitofarmaka berupa jari-jari daun (yang kemuadian membentuk bintang) terletak
didalam lingkaran dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari
wadah/pembungkus/brosur. Logo (jari-jari daun dalam lingkaran) dicetak dengan warna hijau
di atas dasar putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo. Tulisan
“FITOFARMAKA” harus jelas dan mudah dibaca, dicetak dengan warna hitam di atas dasar
warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan tulisan “FITOFARMAKA”.

Dalam pelabelan suatu produk, dilakukan penerapan 2D Barcode yang diatur pada


Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penerapan 2D
Barcode dalam Pengawasan Obat dan Makanan(2).

2D Barcode menggunakan metode

 Otentifikasi

 Identikasi

2D Barcode dengan metode Identifikasi berlaku untuk:

 Obat yang termasuk dalam golongan obat bebas dan obat bebas terbatas;

9
 Obat Tradisional;

 Suplemen Kesehatan;

 Kosmetika; dan

 Pangan Olahan.

2D Barcode dengan metode Identifikasi yang tercantum dalam Izin Edar secara elektronik
berupa QR Code diterbitkan oleh Badan POM. 2D Barcode harus memuat informasi
meliputi: nomor Izin Edar dan masa berlaku Izin Edar.

Pelaku usaha wajib mencantumkan 2D barcode pada kemasan primer, kecuali :

o Volume di bawah 5 (lima) mililiter;

o Kemasan Primer blister;

o Kemasan Primer strip;

o Kemasan ampul;

o kemasan tube yang memiliki berat bersih di bawah 5 (lima) gram;

o Stick pack;

o Suppositoria; dan/atau

o Memiliki luas permukaan label kurang dari atau sama dengan 10 cm 2  (sepuluh centimeter
persegi).

Selain pencantuman 2D barcode, hal lain yang harus diperhatikan pada label adalah
terkait dengan pencantuman informasi asal bahan tertentu, kandungan alkohol, serta  batas
kedaluwarsa yang diatur pada Peraturan Kepala Badan POM RI No.HK.03.1.23.06.10.5166
tentang Pencantuman Informasi Asal Bahan Tertentu, Kandungan Alkohol, dan Batas
Kedaluwarsa pada Penandaan/Label Obat, Obat Tradisional, Suplemen Makanan dan Pangan.
Pada peraturan ini diatur terkait dengan :

o Jenis Bahan tertentu

10
o Cara Pencantuman Label untuk Produk yang mengandung bahan tertentu

o Pencantuman label untuk produk yang mengandung alkohol

o Pencantuman label untuk batas kedaluwarsa

Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk
jadinyatelah di standarisasi. Pada dasarnya sediaan fitofarmaka mirip dengan
sediaan jamu-jamuan karena juga berasal dari bahan-bahan alami, meskipun demikian jenis
sediaan obat ini masih belum begitu populer di kalangan masyarakat, dibandingkan jamu-
jamuan dan herba terstandar. Khasiat dan penggunaan fitofarmaka dapat lebih dipercaya
dan efektif daripada sediaan jamu-jamuan biasa, karena telah memiliki dasar ilmiah yang
jelas, Dengan kata lain fitofarmaka menurut ilmu pengobatan merupakan sediaan jamu-
jamuan yang telah tersentuh oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Fitofarmaka telah
melewati beberapa proses yang panjang yang setara dengan obat-obatan modern yang beredar
dimasyarakat diantaranya Fitofarmaka telah melewati standarisasi mutu, baik dalam proses
penanaman tanaman obat, panen, pembuatan simplisis, ekstra hingga pengemasan
produk, sehingga dapat digunakan sesuai dengan dosis yang efektif dan tepat. Selain itu
sediaan fitofarmaka juga telah melewati beragam pengujian yaitu uji preklinis seperti uji
toksisitas, uji efektivitas, dengan menggunakan hewan percobaan dan pengujian klinis yang
dilakukan terhadap manusia.

2.4 Arti logo fitofarmaka

Adapun arti dari logo fitofarmaka sebagai berikut.

a. Bentuk lingkaran melambangkan sebuah proses, juga sebuah tanda untuk


menyatakan aman.

b. Warna hijau dan kuning merupakan perwujudan kekayaan sumberdaya alam


indonesia (keanekaragaman hayati)

c. Sterilisasi jari-jari (yang kemudian membentuk bintang) melambangkan


serangkaian proses yang cukup kompleks dalam pembuatan fitofarmaka (uji
laboratorium, uji toksisitas, uji pra klinis, uji klinis)

11
BAB III

KESIMPULAN

1. Fitofarmaka merupakan jenis obat tradisional yang dapat disejajarkan dengan obat
modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar dan khasiatnya telah
dibuktikan melalui uji klinis.

2. Logo fitofarmaka berupa jari-jari daun (yang kemuadian membentuk bintang)


terletak didalam lingkaran dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari
wadah/pembungkus/brosur.

12
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, A. 2010. Tumbuhan Obat Indonesia Buku 2. Jakarta: Salemba Medika.

Alwi, H., 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009, Farmakope Herbal Indonesia,


Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Haryanto, S. 2010. Ensiklopedia Tanaman Obat Indonesia. Yogyakarta: Palmall.

Julianti T.B. 2010., Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol dan Infus Daun Singkong
(Manihot utilissima Pohl.) terhadap Kadar Asam Urat Kelinci (Oryctolagus
cuniculus). Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.

Katzung B. G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Ed. 8. Terjemahan oleh Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Salemba Medika.
Jakarta. Hal 487 – 490

13

Anda mungkin juga menyukai