Daftar Isi..............................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................1
1.3 Tujuan............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Fitofarmaka......................................................................................................
2.2 Tujuan Fitofarmaka.......................................................................................................
2.3 Logo Fitofarmaka..........................................................................................................
2.4 Arti Logo Fitofarmaka...................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1
teknologi, baik produksi maupun informasi, uji praklinik dan klinik dilakukan untuk
memperoleh keyakinan khasiat obat bahan alam.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi Fitofarmaka
2. Mengetahui tujuan Fitofarmaka
3. Mengetahui bentuk Fitofarmaka
4. Mengetahui logo Fitofarmaka
2
BAB II
PEMBAHASAN
Fitofarmaka merupakan jenis obat tradisional yang dapat disejajarkan dengan obat
modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar dan khasiatnya telah
dibuktikan melalui uji klinis. Dengan uji klinik akan lebih meyakinkan para profesi medis
untuk menggunakan obat herbal di sarana pelayanan kesehatan. Masyarakat juga bisa
didorong untuk menggunakan obat herbal karena manfaatnya jelas dengan pembuktian
secara ilimiah.
Fitofarmaka menempati level paling atas dari segi kualitas dan keamanan. Hal ini
disebabkan oleh karena fitofarmaka telah melalui proses penelitian yang sangat panjang
serta uji klinis yang detail, pada manusia sehingga fitofarmaka termasuk dalam jenis
golongan obat herbal yang telah memiliki kesetaraan dengan obat, karena telah memiliki
clinical evidence dan siap di resepkan oleh dokter.
Obat Herbal dapat dikatakan sebagai fitofarmaka apabila obat herbal tersebut telah
memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Aman
Hal yang perlu diperhatikan adalah setelah lolos uji fitofarmaka, produsen dapat
mengklaim produknya sebagai obat. Namun demikian, klaim tidak boleh menyimpang
3
dari materi uji klinis sebelumnya. Misalnya, ketika uji klinis hanya sebagai antikanker,
produsen dilarang mengklaim produknya sebagai antikanker dan antidiabetes.
Indonesia pada saat ini telah memproduksi dan beredar di masyarakat sebanyak 5
buah fitofarmaka, seperti Nodiar (PT Kimia Farma), Stimuno (PT. Dexa Medica),
Rheumaneer PT. Nyonya Meneer), Tensigard dan X-Gra (PT Phapros).
1. Prioritas Pemilihan
a. Bahan bakunya relatif mudah diperoleh.
b. Didasarkan pada pola penyakit di Indonesia.
c. Perkiraan manfaatnya terhadap penyakit tertentu cukup besar.
d. Memiliki rasio resiko dan kegunaan yang menguntungkan penderita.
e. Merupakan satu-satunya alternatif pengobatan.
2. Ramuan
4
Secara bertahap industri harus meningkatkan persyaratan tentang rentang kadar
alkaloid total, kadar minyak atsiri dan lain sebagainya.
4. Standar Fitofarmaka
5. Khasiat
Pernyataan khasiat harus menggunakan istilah medik, seperti diuretik,
spasmolitik, analgetik, antipiretik.
a. Tujuan
5
a. Tahap seleksi dilakukan sebelum memulai penelitian untuk memilih jenis obat
tradisional/obat herbal yang akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat tradisional/obat
herbal yang diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan adalah diharapkan berkhasiat
untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam angka kejadiannya (berdasarkan
pola penyakit), ber- dasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu serta
merupakan alternatif jarang untuk pe- nyakit tertentu seperti AIDS dan kanker.
b. Tahap uji preklinis merupakan persyaratan uji untuk calon obat. Hasil dari uji ini
diperoleh informasi tentang efek farmakologi, farmakokinetik, farmakodinamik untuk
memprediksi efek pada manusia, toksisitas untuk melihat keamanannya, kemudian
pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi
secara in vitro dan pengujian pada hewan secara in vivo.
Uji preklinis dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradi- sional yang akan
dikembangkan menjadi fitofar- maka. Bentuk sediaan dan cara pemberian pada hewan
coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada manusia. Menurut pedoman
pelaksanaan uji klinis obat tradisional Direktorat Jenderal POM Dpartemen Kesehatan
RI hewan coba yang digunakan untuk sementara satu spesies tikus atau mencit, se-
dangkan WHO menganjurkan pada dua spesies.
c. Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas
khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsi- nogenisitas. Uji
toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan DL50 (Dosis Letal50) yaitu dosis yang
mematikan 50% hewan coba, menilai berbagai ge jala toksik, spektrum efek toksik pada
organ, dan ca- ra kematian. Uji DL50 perlu dilakukan untuk semua jenis obat yang akan
diberikan pada manusia. Untuk pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji tok-
sisitas akut.
Pada uji toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan, sedangkan
pada uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih. Uji toksisitas
sub-kronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat tradisional pada
pemberian jangka lama. Lama pem-berian sediaan obat pada uji toksisitas ditentukan
berdasarkan lama pemberian obat pada manusia.
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek
farmakodinamik dan mene lusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat
tradisional tersebut. Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba.
Cara pemberian obat tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan
6
dengan cara pemberiannya pada manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada
hewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan efek pada manusia.
Tahap uji klinis obat tradisional dilakukan pada manusia untuk dapat menjadi
fitofarmaka dengan di- buktikan khasiat dan keamanannya.
Uji klinis pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisi- onal/obat
herbal tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinis. Pada uji klinis obat
tradisional prinsip etika uji klinis harus dipenuhi. Standardisasi sediaan merupakan hal
yang penting untuk dapat menimbulkan efek yang terulangkan.
7
data em piris dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Obat herbal terstandar
harus memenuhi kriteria yaitu aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim
khasiat dibuktikan secara ilmiah /preklinis, dan dilakukan standardisasi bahan baku
yang digu- nakan dalam produk jadi.
Fitofarmaka harus memenuhi kriteria yaitu aman sesuai dengan persyaratan
yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara uji klinis, dilakukan standardisasi
bahan baku yang digunakan dalam produk jadi, dan memenuhi persyaratan mutu
dengan menggunakan mesin-mesin berteknologi tinggi. Fitorfarmaka sangat diharapkan
oleh peneliti bahan alam karena dapat disejajarkan dengan obat mo dern/kimia.
Diperlukan pembuktian khasiat dan keamanan bahan alam berpotensi fitofarmaka pada
ma- nusia melalui uji klinik perlu agar diterima dan digunakan pada pelayanan
kesehatan formal. Sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiat secara ilmiah dengan uji pre-klinis dan uji klinis, bahan baku dan produk
jadinya harus di- standardisasi farmasitikal. Minat untuk melakukan penelitian dan
pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka cukup baik namun seringkali
terbentur acuan standardisasi farmasitikal dan masalah dana penelitian yang sulit
didapat.
Pengembangan obat berpotensi fitofarmaka melibatkan multidisiplin bidang ilmu
farmakognosi, etnobotani, etnofarmakologi, argoindustri, argonomi, fitokimia,
farmakologi dan toksikologi, teknologi farmasi, dan kedokteran termasuk kedokteran
gigi. Penelitian-penelitian bahan alam menuju farmasitikal telah banyak dilakukan
tetapi hasil yang diperoleh seringkali tidak m ngikuti acuan standardisasi farmasitikal.
8
2.3 Logo Fitofarmaka
Logo Fitofarmaka
Logo fitofarmaka berupa jari-jari daun (yang kemuadian membentuk bintang) terletak
didalam lingkaran dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari
wadah/pembungkus/brosur. Logo (jari-jari daun dalam lingkaran) dicetak dengan warna hijau
di atas dasar putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo. Tulisan
“FITOFARMAKA” harus jelas dan mudah dibaca, dicetak dengan warna hitam di atas dasar
warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan tulisan “FITOFARMAKA”.
2D Barcode menggunakan metode
Otentifikasi
Identikasi
Obat yang termasuk dalam golongan obat bebas dan obat bebas terbatas;
9
Obat Tradisional;
Suplemen Kesehatan;
Kosmetika; dan
Pangan Olahan.
2D Barcode dengan metode Identifikasi yang tercantum dalam Izin Edar secara elektronik
berupa QR Code diterbitkan oleh Badan POM. 2D Barcode harus memuat informasi
meliputi: nomor Izin Edar dan masa berlaku Izin Edar.
o Kemasan ampul;
o Stick pack;
o Suppositoria; dan/atau
o Memiliki luas permukaan label kurang dari atau sama dengan 10 cm 2 (sepuluh centimeter
persegi).
Selain pencantuman 2D barcode, hal lain yang harus diperhatikan pada label adalah
terkait dengan pencantuman informasi asal bahan tertentu, kandungan alkohol, serta batas
kedaluwarsa yang diatur pada Peraturan Kepala Badan POM RI No.HK.03.1.23.06.10.5166
tentang Pencantuman Informasi Asal Bahan Tertentu, Kandungan Alkohol, dan Batas
Kedaluwarsa pada Penandaan/Label Obat, Obat Tradisional, Suplemen Makanan dan Pangan.
Pada peraturan ini diatur terkait dengan :
10
o Cara Pencantuman Label untuk Produk yang mengandung bahan tertentu
Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk
jadinyatelah di standarisasi. Pada dasarnya sediaan fitofarmaka mirip dengan
sediaan jamu-jamuan karena juga berasal dari bahan-bahan alami, meskipun demikian jenis
sediaan obat ini masih belum begitu populer di kalangan masyarakat, dibandingkan jamu-
jamuan dan herba terstandar. Khasiat dan penggunaan fitofarmaka dapat lebih dipercaya
dan efektif daripada sediaan jamu-jamuan biasa, karena telah memiliki dasar ilmiah yang
jelas, Dengan kata lain fitofarmaka menurut ilmu pengobatan merupakan sediaan jamu-
jamuan yang telah tersentuh oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Fitofarmaka telah
melewati beberapa proses yang panjang yang setara dengan obat-obatan modern yang beredar
dimasyarakat diantaranya Fitofarmaka telah melewati standarisasi mutu, baik dalam proses
penanaman tanaman obat, panen, pembuatan simplisis, ekstra hingga pengemasan
produk, sehingga dapat digunakan sesuai dengan dosis yang efektif dan tepat. Selain itu
sediaan fitofarmaka juga telah melewati beragam pengujian yaitu uji preklinis seperti uji
toksisitas, uji efektivitas, dengan menggunakan hewan percobaan dan pengujian klinis yang
dilakukan terhadap manusia.
11
BAB III
KESIMPULAN
1. Fitofarmaka merupakan jenis obat tradisional yang dapat disejajarkan dengan obat
modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar dan khasiatnya telah
dibuktikan melalui uji klinis.
12
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, H., 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Julianti T.B. 2010., Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol dan Infus Daun Singkong
(Manihot utilissima Pohl.) terhadap Kadar Asam Urat Kelinci (Oryctolagus
cuniculus). Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
Katzung B. G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Ed. 8. Terjemahan oleh Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Salemba Medika.
Jakarta. Hal 487 – 490
13