Anda di halaman 1dari 12

BAB 11.

OBAT HERBAL TERSTANDAR DAN


FITOFARMAKA

Tujuan Pembelajaran :

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa mampu :


1. Menjelaskan definisi obat herbal terstandar
2. Menjelaskan definisi fitofarmaka
3. Menyebutkan peraturan – peraturan pemerintah di bidang
fitofarmaka
4. Menjelaskan penandaan fitofarmaka
5. Menjelaskan perbedaan fitofarmaka dengan obat tradisional
6. Menjelaskan pedoman uji fitofarmaka
7. Menjelaskan tahap –tahap pengembangan fitofarmaka
8. Menyebutkan contoh sediaan obat herbal terstandar dan
kandungannya
9. Menyebutkan contoh sediaan fitofarmaka dan kandungannya

a. Latar Belakang
Obat Tradisional (OT) merupakan salah satu warisan budaya bangsa Indonesia yang
telah digunakan selama berabad-abad dan hingga kini masih digunakan oleh
masyarakat di Indonesia. Dalam perjalanan sejarahnya, seiring dengan
berkembangnya ilmu dan teknologi serta adanya kebutuhan upaya kesehatan modern,
OT juga dikembangkan. Perkembangan tersebut meliputi aspek pembuktian khasiat,
keamanan, jaminan mutu, bentuk sediaan, cara pemberian, pengemasan dan
penampilan serta teknologi produksi. Untuk mendorong peningkatan pemanfaatan
OT Indonesia sekaligus menjamin pelestarian Jamu, Indonesia memprogramkan
pengembangan secara berjenjang ke dalam kelompok Jamu, Obat Herbal Terstandar
dan Fitofarmaka.

Jamu adalah OT Indonesia yang digunakan secara turun temurun berdasarkan


pengalaman.
Obat Herbal Terstandar adalah hasil pengembangan jamu atau hasil penelitian
sediaan baru yang khasiat dan keamanannya telah dibuktikan secara ilmiah melalui
uji pra klinik dan bahan bakunya telah distandarisasi.
Fitofarmaka adalah hasil pengembangan jamu atau obat herbal terstandar atau hasil
penelitian sediaan baru yang khasiat dan keamanannya telah dibuktikan secara ilmiah
melalui uji klinik.
Dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, disebutkan bahwa OT harus
memenuhi standar yang ditetapkan. Sesuai Penjelasan UU No 23 Tahun 1992,
standar yang dimaksud adalah Materia Medika Indonesia (MMI) atau standar lain
yang ditetapkan. Upaya pembuatan standar bahan OT sudah dimulai jauh
sebelum UU No 23 Tahun 1992 ditetapkan. Pada tahun 1977 Indonesia telah
menerbitkan MMI jilid I, II, III, IV dan V yang berisi monografi simplisia dan pada
tahun 1995 diterbitkan MMI VI.
99
Analisa obat tradisional

MMI belum ditetapkan sebagai standar wajib karena lebih merupakan spesifikasi
simplisia yang menjadi acuan dalam pemeliharaan dan pengawasan mutu.

Dalam perjalanan selanjutnya sekitar 3 dasawarsa terakhir, tenologi pembuatan OT


mengalami banyak perubahan sejalan dengan meningkatnya permintaan pembuktian
khasiat dan keamanan secara ilmiah. Penggunaan bahan OT bentuk serbuk mulai
diganti dengan ekstrak.
Untuk mengatisipasi peredaran dan penggunaan ekstrak tumbuhan obat yang tidak
memenuhi persyaratan, pada tahun 2000 Departemen Kesehatan telah menerbitkan
buku Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Pada tahun 2004 Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menindaklanjuti dengan menyusun dan
menerbitkan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (METOI) volume I dan
pada tahun 2006 diterbitkan METOI volume II.

Pada tanggal 28 Mei 2003 World Health Assembly (WHA) yang ke-56 telah
mengeluarkan resolusi mengenai pengobatan tradisional termasuk penggunan OT di
tingkat global. Resolusi WHA ini dilandasi oleh kenyataan bahwa akibat perubahan
lingkungan dan perilaku hidup manusia, cara pengobatan dan obat konvensional tidak
sepenuhnya dapat mengatasi masalah kesehatan yang terus berubah.
WHA ke-56 merekomendasikan 11 langkah kepada negara-negara anggota WHO,
diantaranya agar meningkatkan penelitian OT (butir ke-5) dan menjamin khasiat,
keamanan dan mutu OT atau herbal medicine dengan menetapkan standar bahan dan
ramuan OT yang dituangkan dalam bentuk monografi (butir ke-11).

Dengan berlakunya perdagangan bebas multi-lateral, OT dan bahan OT termasuk


komoditi perdagangan yang harus mengikuti ketentuan General Agreement on Trade
and Tariff (GATT) dan semua hasil perjanjian internasional terkait. Dampak dari
pemberlakuan perdagangan bebas multi-lateral adalah masuknya bahan dan produk
OT asing ke Indonesia dalam jenis dan jumlah yang terus meningkat dari tahun ke
tahun.

Untuk mencegah atau mengurangi dampak negatif dari perkembangan lingkungan


eksternal seperti perdagangan bebas multi-lateral da perkembangan faktor internal
terhadap kesehatan masyarakat dan industri nasional, Departemen Kesehatan
menerbitkan Kebijakan Obat Tradisional Nasional (Kotranas) tahun 2007. Kotranas
mempunyai tujuan :
1. Mendorong pemanfaatan sumber daya alam dan ramuan tradisional secara
berkelanjutan untuk digunakan sebagai obat tradisional dalam upaya
peningkatan pelayanan kesehatan.
2. Menjamin pengelolaan potensi alam Indonesia secara lintas sektor agar
mempunyai daya saing tinggi sebagai sumber ekonomi masyarakat dan
devisa negara yang berkelanjutan.
3. Tersedianya OT yang terjamin mutu dan keamanannya, teruji secara ilmiah
dan dimanfaatkan secara luas, baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam
pelayanan kesehatan formal.
4. Menjadikan OT sebagai komoditi unggul yang memberikan multi manfaat
yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat, memberikan peluang
kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, ditetapkan beberapa langkah kebijakan antara lain
peningkatan produksi, mutu dan daya saing komoditi tumbuhan obat Indonesia serta
penyusunan Farmakope Obat Tradisiona Indonesia.

[dokumen Ruth Elenora]


Analisa obat tradisional

b. Materi Inti
1. Perbedaan Obat Tradisional dengan Fitofarmaka.
Obat Tradisional Fitofarmaka
1. digunakan dalam upaya perawatan 1. digunakan dalam upaya pelayanan
sendiri, kesehatan formal,
2. khasiat berdasarkan pengalaman 2. khasiat berdasarkan penelitian ilmiah
(empiris, turun temurun), (uji farmakologi, uji toksisitas, uji
3. tujuan penggunaan: untuk promotif klinis),
(peningkatan kesehatan): sehat 3. tujuan penggunaan: untuk kuratif
lelaki, jamu habis bersalin; untuk (pengobatan penyakit): anti hipertensi,
preventif (pencegahan penyakit): anti diabetes,
temulawak untuk hepatoprotektor, 4. indikasi dan parameter pengujian
antioksidan, jelas,
4. indikasi dan parameter pengujian 5. bahan baku telah terstandarisasi.
tidak jelas,
5. bahan baku belum terstandarisasi.

2. Penandaan Obat Herbal Terstandar

a. Mencantumkan tulisan OBAT HERBAL TERSTANDAR dicetak dengan


warna hitam di atas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras
dengan tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR”
b. Logo (jari-jari daun dalam lingkaran) dicetak dengan warna hijau di atas
dasar putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan logo.
c. Logo

3. Penandaan Fitofarmaka

a. Mencantumkan tulisan FITOFARMAKA dengan warna hitam di atas dasar


warna putih atau warna lain yang menyolok kontras
b. Logo Jari-jari daun (yang kemudian membentuk bintang) terletak dalam
lingkaran dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri wadah
/pembungkus/brosur dicetak dengan warna hijau di atas dasar putih atau warna
lain yang menyolok kontras dengan logo.
c. Logo

[dokumen Ruth Elenora]


Analisa obat tradisional

4. Peraturan Menteri Kesehatan RI yang mengatur fitofarmaka yaitu :


a. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
760/MENKES/PER/IX/1992 tentang Fitofarmaka (ketentuan & kriteria
Fitofarmaka).
b. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
761/MENKES/SK/IX/1992 tentang Pedoman Fitofarmaka (pedoman uji
fitofarmaka).

5. Pedoman uji fitofarmaka (berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor : 761/MENKES/SK/IX/1992)
5.1 Fitofarmaka
a. Prioritas pemilihan :
i. Bahan bakunya relatif mudah diperoleh
ii. Didasarkan pada pola penyakit di Indonesia
iii. Perkiraan manfaatnya terhadap penyakit tertentu cukup besar
iv. Memiliki rasio resiko dan kegunaan yang menguntungkan penderita
v. Merupakan satu-satunya alternatif pengobatan

b. Ramuan :
Ramuan (komposisi) hendaknya terdiri dari 1 (satu) simplisia/sediaan
galenik. Bila hal tersebut tidak mungkin ramuan dapat terdiri dari beberapa
simplisia/sediaan galenik dengan syarat tidak melebihi 5 (lima)
simplisia/sediaan galenik. Simplisia tersebut masing-masing sekurang-
kurangnya telah diketahui khasiat dan keamanannya berdasar pengalaman.

c. Standar bahan baku :


Bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tertera dalam Farmakope
Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia atau Materia Medika Indonesia. Bila
pada ketiga buku persyaratan tersebut tidak tertera paparannya, boleh
menggunakan ketentuan dalam buku persyaratan mutu negara lain atau
pedoman lain. Penggunaan ketentuan atau persyaratan lain diluar ke tiga
buku di atas harus mendapat persetujuan pada waktu pendaftaran
fitofarmaka.

d. Zat kimia berkhasiat :


Penggunaan zat kimia berkhasiat (tunggal murni) dalam Fitofarmaka
dilarang.

e. Standar fitofarmaka :
Setiap fitofarmaka harus dapat dijamin kebenaran komposisi, keseragaman
komponen aktif dan keamanannya baik secara kualitatif maupun secara
kuantitatif. Pada analisis terhadap ramuan, sebagai baku pembanding
digunakan zat utama atau zat identitas lainnya.

[dokumen Ruth Elenora]


Analisa obat tradisional

f. Khasiat :
Pernyataan khasiat harus menggunakan istilah medik seperti diuretik,
spasmolitik, analgetik, antipiretik.

g. Dukungan penelitian :
Fitofarmaka harus didukung oleh hasil pengujian dengan protokol pengujian
yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Pengujian meliputi uji
toksisitas, uji efek farmakologik, uji klinik, uji kualitas dan pengujian lain
yang dipersyaratkan.

5.2 Rencana Kerangka Tahap – Tahap Pengembangan


Agar fitofarmaka dapat dipertanggungjawabkan keamanan dan khasiatnya dalam
pemakaiannya pada manusia, maka pengembangan obat tradisional tersebut
harus mencakup berbagai tahap pengujian dan pengembangan secara sistematik.

Tahap-tahap ini meliputi :


a. Pemilihan berdasarkan prioritas
b. Pengujian farmakologik
i. Penapisan aktivitas farmakologik diperlukan bila belum terdapat petunjuk
mengenai khasiat
ii. Bila telah ada petunjuk mengenai khasiat maka langsung dilakukan
pemastian khasiat.
iii. Pengujian dapat dilakukan secara in vivo maupun in vitro pada hewan
percobaan.

c. Pengujian toksisitas
i. Uji toksisitas akut
Pemberian dosis tunggal yg meningkat secara teratur pada beberapa
kelompok hewan dari jenis yang sama. Pengamatan kematian dalam waktu
24 jam digunakan untuk menghitung LD50 dan hewan tetap dipelihara
selama 14 hari. Uji toksisitas akut merupakan prasyarat formal keamanan
calon fitofarmaka.
Yang perlu dicari adalah :
1. Spektrum toksisitas akut
2. Cara kematian (mode of death).
3. Nilai LD50 yg dihitung dengan metoda statistik baku.

ii. Uji toksisitas sub akut


Dibuat berdasarkan uji toksisitas akut, memberi gambaran tentang
toksisitas calon fitofarmaka pada penggunaan berulang untuk jangka waktu
relatif lama.

iii. Uji toksisitas kronik


Diprioritaskan pada calon fitofarmaka yang penggunaannya
berulang/berlanjut dalam jangka waktu sangat lama (lebih dari 6 bulan).
Uji toksisitas kronik memberikan gambaran tentang toksisitas atau
keamanan calon fitofarmaka pada penggunaan dosis lazim secara berulang
selama hayat hewan. Lama pemberian calon fitofarmaka pada hewan coba
untuk uji toksisitas dianjurkan agar disesuaikan dengan lamanya pemakaian
obat pada manusia.

[dokumen Ruth Elenora]


Analisa obat tradisional

iv. Uji toksisitas spesifik


1. Toksisitas pada janin
2. Mutagenesitas
3. Toksisitas topikal
4. Toksisitas pada darah
5. Dan lain-lain
Uji toksisitas spesifik dilakukan tergantung pada kemungkinan terjadinya
efek-efek toksik tersebut sehubungan dengan pemakaiannya pada manusia.

d. Pengujian farmakodinamik
Dimaksudkan untuk lebih mengetahui secara lugas pengaruh farmakologik
pada berbagai sistem biologik.

e. Pengembangan sediaan (formulasi)


Dimaksudkan agar bentuk sediaan fitofarmaka yang akan dberikan pada
manusia nantinya memenuhi persyaratan-persyaratan kualitas maupun estetika.
Sediaan calon fitofarmaka yang diberikan harus : Tidak memberikan bau dan
rasa yang menyebabkan kegagalan pengujian dan mempunyai ketersediaan
hayati yang baik.

f. Penapisan fitokimia dan standarisasi sediaan


Untuk mengetahui kandungan aktifnya & melakukan standarisasi sediaan
berdasarkan atas kadar kandungan aktif tersebut..

g. Pengujian klinik
Uji klinik fitofarmaka adalah pengujian pada manusia, untuk mengetahui atau
memastikan adanya efek farmakologik, tolerabilitas, keaman dan manfaat
klinik untuk pencegahan penyakit, pengobatan penyakit atau pengobatan gejala
penyakit.

Persyaratan uji klinik fitofarmaka


1. Terhadap calon fitofarmaka dapat dilakukan pengujian klinik pada manusia
apabila sudah melalui penelitian toksisitas dan kegunaan pada hewan coba
yang sesuai dan dinyatakan memenuhi syarat, yang membenarkan
dilakukannya pengujian klinik pada manusia.
2. Alasan untuk melaksanakan uji klinik terhadap suatu fitofarmaka dapat
didasaran pada :
a. Adanya data pengujian farmakologik pada hewan coba yang
menunjukkan bahwa calon fitofarmaka tersebut mempunyai aktivitas
farmakologik yang sesuai dengan indikasi yang menjadi tujuan uji
klinik fitofarmaka tersebut.
b. Adanya pengalaman empirik dan/atau histori bahwa fitofarmaka
tersebut mempunyai manfaat klinik dalam pencegahan dan pengobatan
penyakit atau gejala penyakit.
3. Uji klinik fitofarmaka merupakan suatu kegiatan pengujian multi disiplin.
4. Uji klinik fitofarmaka harus memenuhi syarat-syarat ilmiah dan metodologi
suatu uji klinik untuk pengembangan dan evaluasi khasiat klinik suatu obat
baru.
5. Uji klinik fitofarmaka harus memenuhi prinsip-prinsip etika sejak
perencanaan sampai pelaksanaan dan penyelesaian uji klinik. Setiap

[dokumen Ruth Elenora]


Analisa obat tradisional

pengujian harus mendapatkan ijin kelaikan etik (ethical clearance) dar


Panitia Etika Penelitian Biomedik pada manusia.

Uji klinik terdiri dari tahapan sebagai berikut :


1. Tahap awal (uji klinik rancangan terbuka)
o Pemeriksaan anamnesis
o Pemeriksaan klinik
o Pemeriksaan laboratorium, mis : fungsi hati, ginjal, sistem
hematologik
o Pemeriksaan khusus mis : elektrokardiografi dll
o Kemungkinan adanya efek-efek yang tidak diinginkan

2. Tahap lanjut (uji klinik terkendali)


o Merupakan uji klinik dengan pembanding yaitu subyek menerima
perlakuan pengobatan dengan calon fitofarmaka, kontrol negatif dan
kontrol positif obat pembanding.

3. Tahap pemantauan : merupakan bagian dari sistem Monitoring Efek


samping Obat (MESO) Nasional untuk mementau efek samping yang
langka yang baru muncul setelah pemberian jangka panjang yang tidak
mungkin terkenali pada fase-fase uji klinik sebelum pemasaran.

Tabel. 3 Daftar produk yang termasuk FITOFARMAKA yang terdaftar di Badan POM
sampai dengan tanggal 14 Juli 2008

NO NAMA KANDUNGAN KHASIAT


PRODUK

1 Nodiar Attapulgit 300 mg Diare non-spesifik

Psidii Folium ekstrak 50 mg

Curcumae domesticae rhizoma ekstrak

2 Rheumaneer Curcumae domesticae rhizoma ekstrak Nyeri sendi ringan


95 mg sampai sedang

Zingiberis rhizoma ekstrak 85 mg

Curcumae rhizoma ekstrak 120 mg

Panduratae rhizoma ekstrak 75 mg

Retrofracti fructus ekstrak 125 mg

3 Stimuno Phyllanthi herba ekstrak 50 mg Immunomodulator


sbg terapi ajuvan
dlm pengobatan
tuberkulosa

[dokumen Ruth Elenora]


Analisa obat tradisional

4 Tensigard Apii herba ekstrak 92 mg Menurunkan


Agromed tekanan darah
Orthosiphonis folium ekstrak 28 mg sistolik maupun
diastolik pada
penderita
hipertensi ringan
hingga sedang
tanpa pengaruhi
kadar elektrolit
plasma, kadar lipid
plasma maupun
kadar gula darah

5 X-Gra Ganoderma lucidum 150 mg Disfungsi ereksi


dengan atau tanpa
Eurycomae radix 50 mg ejakulasi dini
Panacis ginseng radix 30 mg

Retrofracti fructus 2,5 mg

Royal jelly 5 mg

Berikut adalah daftar produk yang termasuk OBAT HERBAL TERSTANDAR yang
terdaftar di Badan POM sampai dengan tanggal 14 Juli 2008

NO NAMA KANDUNGAN KHASIAT


PRODUK

1 Diabmeneer Membantu
Pterocarpi folium ekstrak 100 mg
meringankan
Momordicae fructus ekstrak 50 gejala kencing
mg manis
Phaseoli fructus ekstrak 200 mg

Andrographidis folium ekstrak 150


mg

2 Diapet Psidii folium 144 mg Mengurangi


frekuensi buang
Curcumae domesticae rhizoma air besar,
120 mg memadatkan tinja
dan menyerap
Coixlacryma jobi semen 246 mg
racun pada
Terminilliac chebulac fructus 48 g penderita diare
serta bukan
Granati pericarpium 42 mg sebagai pengganti

[dokumen Ruth Elenora]


Analisa obat tradisional

oralit

3 Fitogaster Curcumae domesticae rhizoma Membantu


meredakan perut
Ekstrak 400 mg kembung

4 Fitolac Sauropi folium ekstrak 3,672 g Membantu


memperlancar ASI

5 Glucogard Morindae Folium ekstrak 19 mg Membantu


meringankan
Momordicae Fuctus ekstrak 306 gejala kencing
mg manis

6 Hi-Stimuno Kaemferiae rotunda Rhizoma Membantu


ekstrak 97,75 mg memelihara daya
tahan tubuh
Morindae Fructus ekstrak 99,75
mg

7 Irex Max Eurycomae Radix ekstrak 50 mg Membantu


memelihara
Retrofracti Fructus ekstrak 5 mg kesehatan tubuh
Pausinystalia Yohimbe Bark 125
mg

Panacis Radix ekstrak 50 mg

8 Kiranti Pegal Madu 4,5 g Membantu


Linu meredakan pegal
Kaemferiae Rhizomae 0,75 g linu, nyeri pada
persendian serta
Cinnamomi Cortex 0,45 g
menyegarkan
Paullinia cupana Semen 0,23 g badan

Myristicae Flos 0,15 g

Zingiberis Rhizoma 10 g

Curcumae domesticae Rhizoma 6


g

Tamarindi pulpa crudum 1,2 g

Gula merah 9 g Aqua ad 150 ml

9 Kiranti Sehat Curcumae domesticae Rhizoma Membantu


Datang Bulan 30 g melancarkan haid
serta meredakan

[dokumen Ruth Elenora]


Analisa obat tradisional

Tamarindi pulpa crudum 6 g rasa sakit dan


nyeri pada saat
Kaemferiae Rhizomae 3 g haid
Zingiberis Rhizoma 0,8 g

Cinnamomi Cortex 0,1 g

Gula merah 3 g Aqua ad 150 ml

10 Kuat Segar Ligustri japonici Fructus Herba Secara tradisional


ekstrak 81 mg digunakan untuk
(Chang Sheuw penderita kanker
Tian Ran Ling Pseudo ginseng Radix ekstrak
Yao) 12,87 mg

Atractylodes macrocephalae
Rhizoma ekstrak 6,5 mg

Ligustrinae Rhizoma ekstrak


24,63 mg

11 Lelap Membantu
Valeriana Radix ekstrak 153,6 mg
meringankan
Myristicae Semen ekstrak 113,6 gangguan sulit
mg tidur
Schizandrae Fructus ekstrak 63,2
mg

Eleuthroginseng Radix ekstrak


134,8 mg

Polygalae Radix ekstrak 134,8


mg

12 Psidii Psidii Folium ekstrak 499,8 mg Membantu


meningkatkan
jumlah sel darah
pada kondisi-
kondisi yang
memerlukannya

13 Rheumakur Curcumae domesticae Rhizoma Membantu


ekstrak meredakan encok
dan nyeri sendi.
75 mg Membantu
Curcumae xanthorrhizae meredakan
[dokumen Ruth Elenora]
Analisa obat tradisional

Rhizoma ekstrak 25 mg gangguan


pencernaan

14 Sehat Tubuh Atractylodes macrocephalae Secara tradisional


(Tian Ran Ling Rhizoma ekstrak 6,25 mg digunakan untuk
Yao) penderita kanker
Ganoderma lucidum 18,75 mg payudara & rahim.
Ophiopogonis Radix 57,5 mg

Panacis ginseng Radix 13,7 mg

Ligutici Rhizoma 18,75 mg

15 Songgolangit Tridax procumbens Herba 10 g Membantu


mengurangi rasa
nyeri dan bengkak
pada rematik

16 Stop Diar Plus Curcumae domesticae Rhizoma Mengurangi


144 mg frekuensi baung
air besar,
Psidii Folium 270 mg memadatkan tinja
Jasmini multiflori Folium 180 mg dan menyerap
racun pada
Brugmansiae Folium 6 mg penderita diare
serta bukan
sebagai pengganti
oralit

17 Virugon Drymaria cordata Herba ekstrak Membantu dalam


144 mg pengobatan
penyakit herpes
(dompo) pada kulit

c. Ringkasan
1. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan
keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik,
bahan baku dan produk jadinya telah di standardisasi
2. Pedoman uji fitofarmaka (berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor : 761/MENKES/SK/IX/1992) antara lain
tentang prioritas pemilihan, ramuan, standar bahan baku, zat kimia
berkhasiat, standar fitofarmaka, khasiat dan dukungan penelitian
3. Rencana Kerangka Tahap – Tahap Pengembangan meliputi : Pemilihan
berdasarkan prioritas, Pengujian farmakologi, Pengujian toksisitas,
Pengujian farmakodinamika, Pengembangan sediaan (formulasi),
Penapisan fitokimia dan standarisasi sediaan, dan pengujian klinik.

[dokumen Ruth Elenora]


Analisa obat tradisional

d. Pertanyaan
1. Apa definisi fitofarmaka ? Carilah peraturan terbaru tentang Fitofarmaka!
2. Sebutkan perbedan antara fitofarmaka dan obat tradisional ?
3. Sebutkan prioritas pemilihan obat tradisional dijadikan fitofarmaka ?
4. Sebutkan dan jelaskan tahap uji klinik dalam pembuatan fitofarmaka ?

e. Pustaka
1. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2005.
Peraturan perundang-undangan di bidang obat tradisional, obat herbal
terstandar dan fitofarmaka. Jakarta
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Farmakope Herbal
Indonesia. Edisi I. Jakarta.
3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
760/MENKES/PER/IX/1992 tentang Fitofarmaka (ketentuan & kriteria
Fitofarmaka).
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
761/MENKES/SK/IX/1992 tentang Pedoman Fitofarmaka (pedoman uji
fitofarmaka).

[dokumen Ruth Elenora]

Anda mungkin juga menyukai