Anda di halaman 1dari 43

● Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

● Salam sejahtera bagi kita semua,


● Om Swastiastu,
● Namo Buddhaya,
● Salam Kebajikan.

Selamat siang kepada Bapak/Ibu Pembicara dan Peserta,


Semoga senantiasa dalam keadaan sehat dan tetap semangat.
Dalam kesempatan yang baik ini, kami akan menyampaikan materi dengan judul
“Dukungan Badan POM Terhadap
Percepatan Pengembangan Fitofarmaka
Produksi Dalam Negeri”
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati sebanyak lebih dari 30.000 spesies
tanaman, yang menempatkan Indonesia diurutan ke-3 dari 5 negara dengan
megabiodiversitas terbesar di dunia yaitu Brazil, Colombia, Indonesia, China dan
Mexico. Hal ini didukung dengan kekayaan ramuan Jamu dari berbagai suku yang
tersebar di berbagai wilayah Indonesia, mulai Sabang sampai Merauke yang
merupakan kearifan lokal di seluruh wilayah Nusantara.
Salah satu komoditi khas Indonesia yang banyak digunakan adalah bahan rempah yang populer di
dunia kuliner Nusantara sebagai bumbu masakan. Di sisi lain, rempah-rempah tersebut juga berpotensi
dikembangkan untuk pengobatan, seperti lada hitam untuk mengatasi kembung, kayu manis untuk
diabetes, cengkeh untuk meringankan sakit gigi; serta jahe, kunyit, dan temulawak untuk membantu
memelihara daya tahan tubuh
● Berdasarkan Undang Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Obat
Tradisional adalah “Bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari
bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk
pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat”.

● Saat ini jumlah OHT dan Fitofarmaka terdaftar di Badan POM masih sangat
minim. Pengembangan obat bahan alam, khususnya OHT dan FF yang
memiliki evidence-based khasiat dan potensial menjadi OMAI, perlu terus
didukung. Untuk itu, Badan POM memberikan fleksibilitas dalam proses
pemberian Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) dan juga menyediakan
fasilitas konsultasi teknis dalam rangka mendukung pengembangan inovasi
Obat Bahan Alam

● Selama 3,5 tahun terakhir sejak tahun 2019 hingga Mei 2022, berikut
merupakan tren jumlah produk Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka yang
terdaftar di Badan POM. Jumlah ini masih dirasa terbatas sehingga perlu
dilakukan percepatan dan dukungan bersama dari seluruh pihak dalam
melakukan pengembangan Obat Tradisional menjadi OHT hingga Fitofarmaka
Kementerian Kesehatan telah meresmikan dan meluncurkan Formularium Fitofarmaka pada 31
Mei 2022 dalam mendukung penggunaan Fitofarmaka di Pelayanan Kesehatan Formal melalui
pemanfaatan DAK (Dana Alokasi Khusus) Fisik Bidang Kesehatan.

Penyusunan dan penerbitan Formularium Fitofarmaka ditujukan untuk:


1. Tersedianya informasi Fitofarmaka sebagai pilihan alternatif dalam membantu pencegahan,
pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan.
2. Mendapatkan Fitofarmaka terpilih yang tepat, aman, bermutu, berkhasiat, dan terjangkau.
3. Meningkatkan utilisasi atau tingkat pemanfaatan Fitofarmaka sebagai upaya meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat

Tim Penyusun ditetapkan oleh Menteri Kesehatan melalui Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 01.07/Menkes/4820/2021 tentang Komite Nasional Penyusunan
Formularium Fitofarmaka; dengan susunan terdiri dari:
Penasehat: Menteri Kesehatan dan Kepala Badan POM
4 Tim yang terdiri dari:
a. Tim Ahli (termasuk Badan POM)
b. Tim Evaluasi
c. Tim Pelaksana
d. Tim Reviu

Badan POM sebagai Lembaga yang menerbitkan izin edar untuk produk fitofarmaka terlibat dalam
penyusunannya dengan :
1. Menyediakan data yang dibutuhkan terkait produk Fitofarmaka yang telah terdaftar;
2. Konfirmasi data mutu maupun keamanan (uji praklinik/klinik) dari produk Fitofarmaka yang
telah terdaftar; serta
3. Memfasilitasi pendampingan uji klinik produk Fitofarmaka yang masih dalam tahap
pelaksanaan uji klinik.
Terdapat 7 kelas terapi fitofarmaka yang terdaftar, namun baru 5 yang masuk ke
dalam formularium

Dalam melakukan seleksi untuk produk fitofarmaka yang akan dicantumkan pada
Formularium, Komnas Fitofarmaka telah menetapkan kriteria penilaian pada proses
seleksi, yaitu sebagai berikut:
1. Memiliki izin edar dan klaim khasiat yang disetujui Badan POM sebagai
Fitofarmaka.
2. Memiliki khasiat dan keamanan berdasarkan bukti ilmiah sahih dan sesuai
perkembangan ilmu pengetahuan.
3. Digunakan untuk promotif, preventif, rehabilitatif, kuratif, dan paliatif
4. Jaminan keberlanjutan ketersediaan bahan baku di Indonesia.
5. Memiliki tingkat pembuktian (level of evidence)

Saat ini terdapat 5 kelas terapi dalam Formularium Fitofarmaka, yaitu


1. Sistem Kardiovaskuler
Apium graveolens herba ekstrak 92 mg dan Orthosiponis aristatus folium ekstrak 28
mg, dengan klaim khasiat : Menurunkan tekanan darah sistolik maupun diastolik pada
penderita hipertensi ringan hingga sedang tanpa mempengaruhi kadar elektrolit
plasma,kadar lipid plasma maupun kadar gula darah

2. Sistem Metabolik
Campuran fraksi : Lagerstroemia speciosa folium dan Cinnamomum burmannii cortex
100 mg, dengan klaim khasiat : Sebagai terapi kombinasi dengan obat antidiabetes
oral lainnya pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2

3. Sistem Pencernaan
Cinnamomi Burmannii Cortex (DLBS 2411) 250 mg, dengan klaim khasiat :
Meringankan gangguan pada lambung

4. Sistem Imun
Phyllantus niruri herba 25 mg dengan klaim khasiat : memperbaiki sistem imun

5. Nutrisi
Kombinasi Ophiocepholus striatus 5 g, Citrus sinensis Fructus 4,5 g dan Curcuma
domestica Rhizome 0,05 g, dengan klaim khasiat : Membantu meningkatkan kadar
albumin pada kondisi hipoalbuminemia
● Dalam rangka menunjang herbal untuk kemandirian kesehatan nasional,
regulasi dibidang obat tradisional disampaikan sebagai berikut:
1. PerBan No.10 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk Pada
Penyelenggaraan
Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Obat dan Makanan
2. PerBan No.27 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Publik di Lingkungan
Badan POM
3. PerkaBPOM No.1384 tentang Kriteria dan Tatalaksana Pendaftaran OT, OHT
dan FF
4. PerBan No.32 Tahun 2019 tentang Persyaratan Keamanan dan Mutu Obat
Tradisional
5. PerkaBPOM No.7 Tahun 2014 tentang Pedoman Uji Toksisitas Non Klinik Secara
In Vivo
6. PerBan No.18 Tahun 2021 tentang Pedoman Uji Farmakodinamik Praklinik Obat
Tradisional
7. PerkaBPOM No.21 Tahun 2015 tentang Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik
8. PerBan No.4 Tahun 2021 tentang Mekanisme Monitoring Efek Sampaing Obat
Tradisional dan Suplemen Kesehatan
Pada slide ini dapat dilihat rangkaian proses pengembangan obat bahan alam
dengan bukti ilmiah (OHT dan Fitofarmaka) secara umum. mulai dari tahap
pengembangan, penelitian, hingga produk mendapat izin edar dan diedarkan
secara komersial.

Pada tahap awal dimana masih dilakukan pengembangan, dilakukan tahapan


untuk mencari bahan aktif yang akan digunakan, perumusan formula dan
melakukan uji pada skala kecil. Pada tahap ini perlu didukung dengan Good
Agriculturale Practices (GAP), good agricultural and collection practices (GACP),
dan Good Laboratory Practices (GLP).

Setelah pengembangan dianggap potensial, dilakukan penelitian pada hewan uji


yaitu uji praklinik yang meliputi uji toksisitas (untuk pembuktian keamanan) dan uji
farmakodinamik (untuk pembuktian manfaat). Setelah uji praklinik dinyatakan aman
dan bermanfaat dilakukan uji pada manusia melalui serangkain uji klinik dari Uji
Klinik Fase I, Fase II, dan Fase III. Pada pelaksanaan uji klinik harus memenuhi
Good Clinical Practices (GCP). Permohonan registrasi dapat dilakukan setelah
data uji klinik fase III diperoleh. Setelah produk beredar, tetap harus dipantau
keamanan dan khasiatnya. Apabila dinyatakan tidak aman maka izin edar dapat
dibatalkan.

Badan POM sesuai dengan tugas dan fungsinya mengawal proses pengembangan
produk agar memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan khasiat sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan. Fungsi pengawalan dilakukan mulai dilakukan pada
saat akan memasuki tahapan uji praklinik hingga pemberian izin edar, melalui
fungsi persetujuan protokol uji pra klinik dan/atau uji klinik, evaluasi dan sertifikasi
CPOTB, hingga registrasi dan evaluasi OHT dan FF untuk mendapatkan izin edar.
● Mutu bahan baku dan produk jadi merupakan faktor yang mempengaruhi
keamanan dan khasiat suatu produk
● Proses standarisasi menjadi titik kritis dalam proses produksi, untuk dapat
menghasilkan mutu produk yang konsisten diperlukan pemenuhan
terhadap suatu standar atau persyaratan
● Untuk standardisasi bahan baku obat tradisional, parameter mutu dapat
mengacu pada kompendial/monografi bahan alam (Contoh: Materia Medika
Indonesia, Farmakope Herbal Indonesia)
● Sedangkan untuk standardisasi produk jadi: Badan POM telah
menerbitkan regulasi sebagai acuan persyaratan Keamanan dan Mutu
Obat tradisional yaitu PerBPOM No 32 Tahun 2019 tentang Persyaratan
Keamanan dan Mutu Obat Tradisional
● Untuk produk jadi obat tradisional baik berupa jamu, OHT dan
Fitofarmaka harus memenuhi beberapa parameter uji seperti
Organoleptik, kadar air, cemaran mikroba, aflatoksin total, cemaran
logam berat, keseragaman bobot, waktu hancur, volume terpindahkan,
kadar alcohol, pH. Hal ini tergantung jenis bentuk sediaan
● Untuk produk OHT dan FF, produsen wajib menentukan (identifikasi dan
Saat ini, ekstrak herbal dengan kadar senyawa aktif
yang terstandar di Indonesia masih sangat terbatas.
Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor
berikut, antara lain:
a. Kontinuitas terhadap ketersediaan bahan baku
herbal yang masih rendah. Beberapa bahan
baku herbal yang digunakan di Indonesia hanya
tumbuh subur dan dapat dipanen pada musim
tertentu. Selain itu, adanya perbedaan dalam
proses panen (galur asal-usul, tempat tumbuh,
usia panen, masa panen) dan pascapanen
(pengumpulan bahan baku, pembuatan menjadi
serbuk, pengeringan, lama penyimpanan, dan
sebagainya) diketahui dapat mempengaruhi
kandungan senyawa aktif yang ada pada bahan
baku tersebut. Akibatnya, standardisasi bahan
baku sejak masih dalam bentuk simplisia pun
sulit untuk dilakukan.

b. Masih terdapat banyak pelaku usaha maupun


peneliti yang belum dapat menentukan
zat/senyawa yang digunakan dalam
standardisasi bahan baku maupun produk jadi
sebagai parameter kualitas. Terkadang,
senyawa aktif belum dapat diidentifikasi atau
hanya diketahui sebagian dari tanaman yang
digunakan, dimana profil bahan baku yang
digunakan belum diketahui secara menyeluruh.
c. Seringkali, terdapat perbedaan dalam pemilihan
teknologi preparasi, baik dari segi metode
maupun pelarut ekstraksi antara di bahan baku
dengan produk jadi yang telah diformulasi;
sehingga terdapat perbedaan standar mutu pada
bahan baku dan produk jadi.

d. Masih terbatasnya pustaka maupun standar


referensi yang dapat diacu oleh pelaku usaha
dan pemasok bahan baku ekstrak herbal dalam
melakukan standardisasi ekstrak. Di Indonesia,
saat ini sudah terdapat pustaka yang dapat
menjadi acuan parameter mutu simplisia atau
ekstrak herbal, yaitu Materia Medika Indonesia
dan Farmakope Herbal Indonesia. Namun,
belum semua herbal yang digunakan di
Indonesia tercantum dalam monografi pustaka
tersebut.

e. Selain pustaka yang masih terbatas, senyawa


marker yang dapat digunakan dalam melakukan
standardisasi bahan baku ekstrak pun masih
sulit untuk didapatkan. Kalaupun ada, senyawa
marker yang didapatkan dari hasil isolasi bahan
tanaman ini sangat mahal harganya karena
perlu didatangkan dari luar negeri, sehingga
memberatkan pelaku usaha dalam melakukan
standardisasi bahan baku ekstrak.

f. Di sisi lain, pelaku usaha obat tradisional,


terutama produsen Jamu di Indonesia mayoritas
termasuk UMKM yang memiliki sarana
prasarana yang terbatas, baik dari segi
laboratorium, maupun kemampuan personil
dalam melakukan pengujian standardisasi bahan
baku ekstrak yang digunakan ; sehingga
membuat pelaku usaha terkendala dalam
menjamin mutu bahan baku ekstrak yang
digunakan secara mandiri. Terkait hal ini, Badan
POM memiliki program Orang Tua Angkat bagi
para UMKM Jamu, dimana pelaku usaha UMKM
dapat diberikan pendampingan oleh industri
besar di bidang obat tradisional, salah satunya
dalam aspek pengujian dan pemastian mutu
bahan baku hingga menjadi produk Jamu yang
aman, berkhasiat, dan bermutu tinggi.

Aspek-aspek tersebut membuat bahan baku sejak simplisia sudah mempunyai tantangan
tersendiri dalam melakukan standardisasi. Apabila semua parameter tersebut dapat
ditangani, maka sangat mungkin Indonesia memiliki simplisia yang sudah terstandar
Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016, dalam mewujudkan kemandirian
dan meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri
melalui percepatan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan, langkah-
langkah sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk mendukung
percepatan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan, dengan:
1. menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagai upaya
peningkatan pelayanan kesehatan dalam rangka Jaminan Kesehatan Nasional;
2. meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan di dalam negeri
dan ekspor;
3. mendorong penguasaan teknologi dan inovasi dalam bidang farmasi dan alat
kesehatan; dan
4. mempercepat kemandirian dan pengembangan produksi bahan baku obat,
obat, dan alat kesehatan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan
ekspor serta memulihkan dan meningkatkan kegiatan industri/utilisasi
kapasitas industri.

Adapun prioritas yang dikembangkan Badan POM untuk mendukung hal tersebut
antara lain:
1. Memfasilitasi pengembangan obat dalam rangka mendukung akses dan
ketersediaan obat untuk masyarakat sebagai upaya peningkatan pelayanan
kesehatan dalam rangka Jaminan Kesehatan Nasional;
2. Mendukung investasi pada sektor industri farmasi dan alat kesehatan melalui
fasilitasi dalam proses sertifikasi produksi dan penilaian atau evaluasi obat; dan
3. Mendorong pelaku usaha untuk meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi
dan standar dalam rangka menjamin keamanan, mutu dan khasiat serta
peningkatan daya saing industri farmasi
Prioritas tersebut sejalan dengan rencana aksi tindak lanjut untuk pengembangan
bahan baku obat, produk biologi dan Fitofarmaka

© Copyright PresentationGO.com – The free PowerPoint and Google Slides


template library
Pada tahun 2019 Badan POM telah menginisiasi percepatan pengembangan dan
pemanfaatan fitofarmaka bersama 14 kementerian/ lembaga yang terlibat dalam
konsorsium.

Selanjutnya, dibentuk Satgas Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan


Fitofarmaka melalui SK Menko Bidang PMK RI No. 22 tahun 2019 yang terbagi
dalam beberapa bidang yaitu:
1. Bidang Bahan Baku
2. Bidang Teknologi Manufaktur dan Standardisasi
3. Bidang Uji Pra Klinik dan Uji Klinik
4. Bidang Pengembangan Pelayanan Kesehatan Tradisional
5. Bidang Produksi dan Promosi Fitofarmaka

Untuk Bidang III dibawah koordinasi Badan POM dilakukan kegiatan sebagai
berikut:
Pendampingan penyusunan protokol uji dan pendampingan pelaksanaan uji klinik
Penyusunan pedoman penelitian obat herbal dalam upaya menghadapi Covid-19

Saat ini Satgas Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Fitofarmaka


melakukan pendampingan terhadap hilirisasi penelitian dengan target 22 riset
menuju izin edar produk, yaitu:
12 Uji Praklinik, di mana 2 di antaranya sedang berlangsung yaitu:
Uji toksisitas kronis daun salam, rimpang temulawak dan labu siam sebagai
antidislipidemia
Uji toksisitas kronis daun gambir sebagai antidislipidemia

● 10 Uji klinik di mana 5 di antaranya sedang berlangsung yaitu:


1. Ekstrak terstandar daun salam, rimpang temulawak, dan buah labu siam sebagai
adjuvan simvastatin pada subjek gangguan dislipidemia
2. Fraksi etil asetat ekstrak air daun gambir sebagai antidislipidemia
3. Kapsul ekstrak etanol 70% daun J. Gendarusa sebagai obat KB pria non
hormonal
4. Fraksi daun awar-awar sebagai Obat komplementer kemoterapi pada
pasien kanker payudara stadium IV
5. Ekstrak ciplukan untuk pasien Systemic Lupus Erythematosus
dengan gangguan ginjal, gangguan hematologi maupun
gangguan muskuloskeletal

● Dukungan Percepatan Hilirisasi Pengembangan dan Pemanfaatan


Fitofarmaka antara lain dalam bentuk yaitu :
1. Pemetaan Pengembangan Obat Herbal yang akan dan telah teruji secara Praklinik
dan Klinik.
2. Pembahasan antara peneliti, akademisi dan pelaku usaha terkait metode uji
toksisitas dan uji farmakodinamik obat herbal
3. Pendampingan dalam rangka pengajuan proposal pendanaan penelitian melalui
Kemenristek/BRIN (program pengembangan teknologi industri (PPTI) dan insentif
riset sistem inovasi (INSINAS)
4. Pendampingan kepada pelaku usaha dalam pelaksanaan uji praklinik dan uji klinik
5. Pendampingan kepada pelaku usaha dalam pemgembangan produk dan scale up

© Copyright PresentationGO.com – The free PowerPoint and Google Slides


template library
Dalam mendorong percepatan pengembangan atau riset bahan alam, selain
melakukan berbagai upaya pendampingan terhadap peneliti dan pelaku usaha juga
melakukan terobosan regulasi

Pendampingan terhadap peneliti atau pelaku usaha sebagai pemilik produk,


pendampingan dilakukan sejak penyusunan protokol uji dan pendampingan
pelaksanaan uji, juga dalam pengajuan proposal pendanaan penelitian melalui
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan
(LPDP).

Selama pelaksanaan uji klinik, Badan POM melakukan pendampingan pelaksanaan


uji klinik dan inspeksi Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) yang semuanya bertujuan
untuk:
• Pemantauan terhadap kepatuhan prinsip CUKB dalam pelaksanaan uji klinik
• Diperolehnya data klinik yang valid dan kredibel
• Perlindungan subjek peserta uji klinik
• Pengawasan produk yang belum Terdaftar
Selain itu pada aspek regulasi beberapa pedoman diterbitkan untuk memberikan
kemudahan dan panduan bagi peneliti
• Penyusunan/revisi pedoman/ regulasi terkait Uji Klinik dan Uji praklinik. Agility
dalam regulasi untuk percepatan dan kemudahan dalam melakukan penelitian
fitofarmaka atau OHT, dengan tetap scientific based dan risk based
Badan POM mendukung percepatan riset obat tradisional pada masa pandemi
COVID-19 melalui SK Kepala Badan POM tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Uji Klinik Obat Tradisional Selama Pandemi Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) yaitu Khusus saat pandemi COVID-19, untuk produk-produk Jamu yang
empiris dan sudah memiliki NIE, serta klaimnya sejalan dengan penanganan COVID-
19 maka uji pra klinik tidak perlu dilakukan selama ada bukti keamanan produk
tersebut. Dosis uji pada manusia, dapat menggunakan dosis pada penggunaan
empiris.

Untuk Uji Klinik, Fase I bisa dapat tidak dilakukan bila berasal dari jamu empiris
dan/atau profil keamanan dan manfaat pada hewan coba sudah sesuai, dan Uji di
fase II dan III dapat digabung (perlu pencermatan case by case)

Agility Regulasi untuk Percepatan Pengembangan Obat Bahan Alam di masa


Pandemi yaitu:
1. Produk uji klinik diutamakan menggunakan bahan baku yang berasal dari atau
tumbuh dan dibudidayakan di Indonesia
2. Selain bahan baku pada angka satu, bahan baku yang sudah digunakan ratusan
tahun oleh nenek moyang namun tidak dapat tumbuh di Indonesia dapat
digunakan sebagai bahan baku untuk produk uji klinik
3. Klaim sebagai adjuvant atau komplementer pada pengobatan COVID-19
4. Selain harus memenuhi ketentuan dalam Petunjuk Teknis Pelaksanaan Uji Klinik,
pelaksanaan uji klinik juga harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang uji klinik

• Beberapa pedoman yang ditujukan sebagai panduan bagi peneliti antara lain
1. Peraturan tentang persyaratan Keamanan dan Mutu Obat Tradisional yaitu
Peraturan Kepala Badan POM No. 32 tahun 2019
2. Peraturan Badan POM No.18 Tahun 2021 tentang Pedoman Uji
Farmakodinamik Praklinik Obat Tradisional
3. Pedoman uji toksisitas diterbitkan pada tahun 2022
4. Peraturan Kepala Badan POM No.21 Tahun 2015 tentang Tata Laksana
Persetujuan Uji Klinik yang saat ini sedang berproses untuk revisi disesuaikan
dengan kebutuhan saat ini.

Layanan Konsultasi dan Kajian juga diberikan baik bagi peneliti maupun pelaku
usaha, antara lain kajian dan standardisasi bahan baku yang didukung
dengan pengembangan aplikasi untuk memberikan kemudahan dalam
pemberian layanan kajian.

Selain itu, saat ini sedang berproses pengusulan tarif PNBP jasa evaluasi
permohonan persetujuan uji praklinik atau uji klinik dikenakan tarif PNBP
sebesar Rp 0,00 (nol rupiah) dalam hal uji praklinik atau uji klinik didanai
oleh pemerintah.
Badan POM selalu aktif dalam mendukung industri serta usaha Obat Tradisional
melalui upaya berikut:
1. Badan POM secara pro aktif memberikan Bimbingan Teknis, desk registrasi, dan desk
konsultasi CPOTB/ CPOTB Bertahap, Desk CAPA secara daring/zoom
2. Pemeriksaan sarana secara daring/zoom
3. Pengajuan sertifikasi CPOTB Bertahap tanpa ada pungutan biaya. Khusus untuk
UMKM yang mengajukan proses CPOTB secara menyeluruh (Full), UMKM
mendapatkan potongan biaya sebesar 70% PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak)
4. Simplifikasi regulasi dan percepatan pelayanan dengan tetap mengedepankan
pemenuhan standar, khasiat, keamanan dan mutu
5. Keringanan pembayaran biaya pendaftaran PNBP bagi UMKM OT
Penguatan Regulasi Pengawasan Pre dan Post Market Fitofarmaka yang masuk
dalam Formularium Fitofarmaka (yang digunakan melalui DAK dan Dana Kapitasi
BPJS) melalui:
1. Penyusunan regulasi pengembangan "me too" Fitofarmaka
2. Intensifikasi Sampling dan pengujian produk Fitofarmaka
3. Intensifikasi Monitoring Efek Samping Fitofarmaka
KONVENSI NASIONAL KEMANDIRIAN NASIONAL DALAM PENYEDIAAN
BAHAN BAKU OBAT BAHAN ALAM
1. Berbagai tantangan masih dihadapi sarana produksi obat tradisional, salah
satunya penyediaan bahan baku obat bahan alam. Untuk itu, BPOM
menginisiasi kegiatan Konvensi Nasional Kemandirian Penyediaan Bahan
Baku Obat Bahan Alam sebagai Upaya Peningkatan Mutu dan Daya Saing
Produk.
2. Konvensi Nasional bertujuan untuk mengetahui permasalahan dan strategi
untuk mewujudkan kemandirian nasional dalam penyediaan bahan baku untuk
pembuatan obat tradisional yang bermutu.
3. Kegiatan Konvensi Nasional Kemandirian Nasional Penyediaan Bahan Baku
Obat Bahan Alam ini diisi dengan penandatanganan komitmen Industri Ekstrak
Bahan Alam (IEBA) untuk dukungan kepada UMKM, Pelatihan Peningkatan
Pemahaman Supplier Bahan Baku Obat Bahan Alam, serta Virtual Expo
Ekstrak Obat Bahan Alam. Melalui kegiatan ini diharapkan menjadi satu
langkah bersama untuk mewujudkan kemandirian bahan baku obat bahan alam
di Indonesia.
Latar belakang….
Latar belakang….
● Virtual Expo guna menjembatani Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA) dengan
UMKM sebagai upaya memfasilitasi UMKM untuk memperoleh ekstrak bahan
alam yang memenuhi persyaratan dan pengadaannya tidak memberatkan.
Kegiatan expo juga dapat dimanfaatkan oleh IEBA untuk menunjukkan
eksistensinya sebagai penjuru dalam pengadaan Bahan Baku obat bahan
alam yang cukup jumlahnya, konsisten kualitasnya dan terjangkau harganya.
Kami mengapresiasi 17 IEBA yang menandatangani komitmen dukungan
untuk UKM obat bahan alam serta berpartisipasi pada Expo ini sebagai
langkah nyata turut membangun kemandirian Bahan Baku Obat Bahan Alam
Indonesia.
Dukungan Badan POM dalam Pengembangan Wellness Tourism:
1. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf)
mengembangkan wellness tourism berkelas dunia di tiga daerah yaitu Solo,
Yogyakarta dan Bali. Sejalan dengan upaya ini, terkait produk jamu/herbal
products BPOM juga mempersiapkan pencanangan Destinasi Wisata Jamu di
Yogyakarta. Pencanangan Destinasi Wisata Jamu atau Kosmetik Tematik juga
akan diperluas ke wilayah lain dengan menggerakan ekonomi kreatif
masyarakat dengan dukungan lintas sektor baik dari Pemerintah maupun
Swasta.
2. BPOM akan hadir dan terus melakukan terobosan strategis untuk mengawal
keamanan dan mutu wellness products, untuk dapat berkualitas, berdaya saing,
berbasis kearifan lokal guna mendukung pemulihan ekonomi dan
pembangunan wellness tourism yang berkelanjutan.
Penggalian Informasi empiris bahan alam diseluruh Indonesia diawali dengan
Sarasehan Jamu Nusantara yang dilaksanakan di Jogjakarta pada tanggal 2
Desember 2021. Sarasehan tersebut ditindaklanjuti dengan diterbitkan Surat
Edaran Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan
Kosmetik Nomor: HK.02.02.4.45.05.22.06 Tahun 2022 tentang Intensifikasi
Pelaksanaan Kegiatan Pembinaan dan Pengawasan oleh Unit Pelaksanan Teknis
di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan Dalam Rangka
Menindaklanjuti Hasil Sarasehan Jamu Nusantara. Surat Edaran ini
menginstruksikan kepada Unit Pelaksana Teknis Badan POM (Balai Besar
POM/Balai POM/Loka POM) untuk melakukan penggalian potensi
keanekaragaman hayati dan bukti empirisnya, serta melakukan bimbingan teknis
kepada UMKM Obat Tradisional, agar produk jamu mempunyai daya saing dalam
skala nasional melalui pemenuhan persyaratan keamanan, khasiat dan mutu.

Hingga Agustus 2022, telah dilaksanakan kegiatan sarasehan dalam rangka


Penggalian Informasi Empiris Bahan Alam di 3 daerah, antara lain: Medan,
Makassar, dan Kendari. Selanjutnya, penggalian informasi ini akan dilaksanakan
setiap UPT Badan POM sampai Desember 2022. Hasil penggalian informasi empiris di
seluruh Indonesia kemudian akan dilakukan pengkajian oleh Direktorat
Standardisasi OT, SK dan Kos, Informasi /Ramuan empiris yang lulus dalam kajian
akan dimasukkan ke dalam database Dit. Registrasi OT, SK dan Kos dan
selanjutnya dapat dimanfaatkan masyarakat/pelaku usaha sebagai data dukung
saat mengajukan proses registrasi Izin Edar BPOM.
Kegiatan ini merupakan bentuk komitmen BPOM dalam mendukung Go Health
Local dan Bangga Buatan Indonesia.
● Masyarakat umum dapat mengakses produk Obat Tradisional yang telah
terdaftar di Badan POM melalui link: https://cekbpom.pom.go.id/; ATAU
melalui aplikasi BPOM Mobile yang dapat diunduh melalui AppStore /
PlayStore

● BPOM Mobile merupakan aplikasi untuk memudahkan masyarakat


mendapatkan berita terbaru dari BPOM, mengecek suatu produk dengan
memindai kode QR atau Barcode, serta mengirimkan pengaduan terhadap
suatu produk.
● Monitoring efek samping OT dan SK dilakukan dengan menghimpun laporan
efek samping OT dan SK dari berbagai sumber (pelaku usaha, tenaga
kesehatan dan masyarakat), yang kemudian dikelola menjadi data laporan
efek samping OT dan SK. Laporan efek samping tersebut kemudian akan
dilakukan pembahasan dan evaluasi untuk dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam pembuatan kebijakan pengawasan produk OT dan SK

● Badan POM telah memiliki sistem pelaporan efek samping OT dan SK secara
elektronik melalui aplikasi e-Reporting Efek Samping OT dan SK berbasis web.
Namun demikian, seiring dengan perkembangan teknologi, perlu dilakukan
pengembangan aplikasi mengikuti teknologi terbaru guna memperluas
jangkauan pengguna serta meningkatkan kemudahan dalam pelaporan efek
samping OT dan SK melalui pembuatan aplikasi e-Monitoring Efek Samping
Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan (e-MESOT) berbasis Android yang
memiliki keunggulan dalam hal kepraktisan, fleksibilitas fitur aplikasi serta
popularitas di masyarakat Indonesia. Keunggulan-keunggulan tersebut dapat
dimanfaatkan untuk mempercepat akses pelaporan dan tindak lanjut efek
samping OT dan SK dalam rangka memperkuat perlindungan masyarakat.
Untuk mencari Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan yang mengandung bahan
kimia obat / bahan yang dapat membahayakan Kesehatan, masyarakat dapat
mengakses dengan mengunduh aplikasi e-Public Warning Obat Tradisional (PW
OTSK); atau mengaksesnya melalui e-publicwarningotsk.pom.go.id.

Aplikasi e-Public Warning Obat Tradisional (PW OTSK) menampilkan data


produk obat tradisional dan suplemen kesehatan yang telah ditarik dari
peredaran karena mengandung bahan kimia obat.

Anda mungkin juga menyukai