Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

FARMAKOGNOSI
“Materi Fitofarmaka”

Disusun oleh : - Andi Kayla Sofiyaramadhani

- Andita Yulia Anggraini

- Afriy Ani

- Karina

SMK NEGERI 1 TOLITOLI


TAHUN PELAJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Kami
mengucapkan terima kasih kepada guru Farmakognosi di SMK Negeri 1 Tolitoli
selaku guru pembimbing dalam tugas ini karena telah membantu kelancaran
dalam pembuatan karya tulis ini. Kepada orang tua yang telah membantu dan
memberi pengertian dalam melaksanakan tugas ini dan kepada teman-teman yang
telah memberikan dukungan dan semangat.

Dalam rangka memenuhi Tugas Farmakognosi maka karya tulis ini dibuat
dengan judul “Materi Fitofarmaka”. Tugas yang diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis.

Kami menyadari bahwa, masih banyak kesalahan dan kekurangan di


dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini di masa yang akan
datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.

(Tolitoli,Maret 2022)

                                                                                          
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………............................................. iii

BAB I...................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang....................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..............................................................................................1
1.3. Tujuan................................................................................................................2
BAB II..................................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................3
2.1. FITOFARMAKA....................................................................................................3
2.2. UJI PRAKLINIK FITOFARMAKA.............................................................................5
2.3. UJI KLINIK FITOFARMAKA...................................................................................5
2.4. RENCANA KERANGKA TAHAP-TAHAP PENGEMBANGAN....................................8
2.5. CONTOH FITOFARMAKA...................................................................................10
REGULASI.....................................................................................................................11
FITOFARMAKA..............................................................................................................11
BAB III...............................................................................................................................20
PENUTUP..........................................................................................................................20
3.1. Kesimpulan.......................................................................................................20
3.2. Saran................................................................................................................20
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia memiliki lebih kurang 30.000 spesies tumbuhan dan 940


spesies di ataranya termasuk tumbuhan berkhasiat (180 spesies telah
dimanfaatkan oleh industri jamu tradisional) merupakan potensi pasar obat
herbal dan fitofarmaka. Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di
Indonesia telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang
lalu terbukti adanya naskah lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Usada
(Bali,lontar akpa bura (Sulawesi Selatan) dokumen serat Primbon Jampi.
Dengan melihat jumlah tanaman di Indonesia yang berlimpah dan baru
180 tanaman yang digunakan sebagai bahan obat tradisional oleh industry
maka peluang bagi profesi kefarmasian untuk meningkatkan peran sediaan
herbal dalam pembangunan kesehatan masih terbuka lebar. Standarisasi bahan
baku dan obat jadi , pembuktian efek farmakologi dan informasi tingkat
keamanan obat herbal merupakan tantangan bagi farmasis agar obat herbal
semakin dapat diterima oleh masyarakat luas.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan fitofarmaka?


2. Apa dasar pengembangan fitofarmaka?
3. Bagaimana proses standarisasi fitofarmaka?
4. Apa saja jenis uji fitofarmaka?
5. Apa saja bentuk sediaan fitofarmaka?
6. Apa saja obat tradisional yang dikembangkan menjadi fitofarmaka?
7. Apa saja produk fitofarmaka?
1.3. Tujuan

1. Mengetahui pengertian dari fitofarmaka.


2. Mengetahui dasar pengembangan fitofarmaka.
3. Mengetahui proses standarisasi fitofarmaka.
4. Mengetahui jenis uji fitofarmaka.
5. Mengetahui bentuk sediaan fitofarmaka.
6. Mengetahui macam obat tradisional yang dikembangkan menjadi
fitofarmaka.
7. Mengetahui produk fitofarmaka.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. FITOFARMAKA

1. Definisi

Fitofarmaka adalah sediaan bahan obat alam yang telah dibuktikan


keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik,
bahan baku dan produk jadinya telah distandarisasi.(BPOM tahun 2015)
Dengan uji klinik akan lebih meyakinkan para profesi medis untuk
menggunakan obat herbal di sarana pelayanan kesehatan. Masyarakat juga
bisa didorong untuk menggunakan obat herbal karena manfaatnya jelas
dengan pembuktian secara ilimiah.
2. Prioritas Pemilihan
a. Bahan bakunya relatif mudah diperoleh.
b. Didasarkan pada pola penyakit di Indonesia.
c. Perkiraan manfaatnya terhadap penyakit tertentu cukup besar.
d. Memiliki rasio resiko dan kegunaan yang menguntungkan penderita.
e. Merupakan satu-satunya alternatif pengobatan.
3. Ramuan

Ramuan (komposisi) hendaknya terdiri dari 1 (satu) simplisia/ sediaan


galenik. Bila hal tersebut tidak mungkin, ramuan dapat terdiri dari
beberapa simplisia,/sediaan galenik dengan syarat tidak melebihi 5 (lima)
simplisia/sediaan galenik. Simplisia tersebut masing-masing sekurang-
kurangnya telah diketahui khasiat dan keamanannya berdasar pengalaman.

4. Standar Bahan Baku

Bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tertera dalam


Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia atau Materia Medika
Indonesia Bila pada ketiga buku persyaratan tersebut tidak tertera
paparannya, boleh menggunakan ketentuan dalam buku persyaratan mutu
negara lain atau pedoman lain.
Penggunaan ketentuan atau persyaratan lain diluar Farmakope
Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia dan Material Indonesia harus
mendapat persetuiuan pada waktu pendaftaran fitofarmaka. untuk
menjamin keseragaman khasiat dan keamanan fitofarmaka harus
diusahakan pengadaan bahan baku yang terjamin keseragaman komponen
aktifnya. Untuk keperluan tersebut, bahan baku sebelum digunakan harus
dilakukan pengujian melalui analisis kualitatif dan kuantitatif.
Secara bertahap industri harus meningkatkan persyaratan tentang
rentang kadar alkaloid total, kadar minyak atsiri dan lain sebagainya.

5. Standar Fitofarmaka

Setiap fitofarmaka.harus dapat dijamin kebenaran komposisi,


keseragaman komponen aktif dan keamanannya baik secara kualitatif
maupun secara kuantitatif. Pada analisis terhadap ramuan, sebagai baku
pembanding digunakan zat utama atau zat identitas lainnya. Secara
bertahap industri harus mempertajam perhatian terhadap galur fitokimia
simplisia yang digunakan.
6. Khasiat
Pernyataan khasiat harus menggunakan istilah medik, seperti diuretik,
spasmolitik, analgetik, antipiretik.
2.2. UJI PRAKLINIK FITOFARMAKA

Suatu senyawa yang baru ditemukan (hasil isolasi maupun sintesis)


terlebih dahulu diuji dengan serangkaian uji farmakologi hewan. Sebelum
calon obat baru ini dapat dicobakan pada manusia, dibutuhkan waktu
beberapa tahun untuk meneliti sifat farmakodinamik, farmakokinetik dan
farmasetika dan efek toksiknya.

Serangkaian uji praklinik :

1. Uji Farmakodinamika

Untuk mengetahui apakah obat menimbulkan efek farmakologi seperti


yang diharapkan atau tidak, titik tangkap, dan mekanisme kerjanya.
Dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro.

2. Uji Farmakokinetik

Untuk mengetahui ADME ( Absorbsi, Distribusi, Metabolisme, dan


Eliminasi), serta untuk merancang dosis aturan pakai.

3. Uji Frmasetika

Memperoleh datan farmasetiknya, tentang formulasi, standarisasi,


stabilitas, bentuk sediaan yang paling sesuai dan cara penggunaan.

2.3. UJI KLINIK FITOFARMAKA

1. Definisi

Uji klinik Fitofarmaka adalah pengujian pada manusia, untuk


mengetahui atau memastikan adanya efek farmakologi tolerabilitas,
keamanan dan manfaat klinik untuk pencegahan penyakit, pengobatan
penyakit atau pengobatan segala penyakit.
a. Dasar Pemikiran
1) Obat tradisional baik dalam bentuk simplisia tunggal maupun
ramuan sebagian besar penggunaan dan kegunaannya masih
berdasarkan pengalaman.
2) Data yang meliputi kegunaan, dosis dan efek samping sebagian
besar belum didasarkan pada landasan ilmiah, karena penggunan
obat tradisional baru didasarkan kepada kepercayaan terhadap
Informasi berdasarkan pengalaman.
3) Dalam rangka upaya pembangunan di bidang kesehatan, obat
tradisional perlu dikembangkan dan secara berangsur-angsur
dimanfaatkan berdasarkan atas landasan ilmiah, sehingga dapat
digunakan dalam upaya pelayanan kesehatan normal kepada
masyarakat.
4) Dalam rangka pengembangan obat tradisional tersebut maka obat
tradisional perlu dikelompokkan kedalam 2 golongan yaitu:
a) Obat tradisional jamu.
b) Fitofarmaka.
Dalam kaitannya dengan pemanfaatannya di dalam
kesehatan, Fitofarmaka perlu mendapat prioritas.
5) Agar supaya Fitofarmaka dapat diterima dalam upaya pelayanan
kesehatan, perlu dibuktikan manfaat kliniknya melalui uji klinik
fitofarmaka pada manusia.
b. Tujuan
Tujuan pokok uji klinik fitofarmaka adalah:
1) Memastikan keamanan dan manfaat klinik fitofarmaka pada
manusia dalam pencegahan atau pengobatan penyakit maupun
gejala penyakit.
2) Untuk mendapatkan fitofarmaka yang dapat dipertanggung
jawabkan keamanan dan manfaatnya.
c. Tahap Pelaksanaan
1) Merencanakan tahap-tahap pelaksanaan uji klinik Fitofarmaka
termasuk formulasi, uji farmakologik eksperimental dan uji kimia.
2) Melaksanakan uji klinik fitofarmaka.
3) Melakukan evaluasi hasil uji klinik fitofarmaka.
4) Menyebar luaskan informasi tentang hasil uji klinik litofarmaka
kepada masyarakat (peneliti diperbolehkan mempublikasikan
pengujian yang dilakukan dengan memperhatikan kode etik
publikasi ilmiah).
5) Memantau penggunaan dan kemungkinan timbulnya efek samping
fitofarmaka.
d. Persyaratan Uji Klinik
Beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam uji klinik Fitofarmaka
1) Terhadap calon fitofarmaka dapat dilakukan pengujian klinik pada
manusia apabila sudah melalui penelitian toksisitas dan kegunaan
pada hewan coba yang sesuai dan dinyatakan memenuhi syarat,
yang membenarkan dilakukannya pengujian klinik pada manusia.
2) Alasan untuk melaksanakan uji klinis terhadap suatu fitofarmaka
dapat didasarkan pada :
a) Adanya data pengujian farmakologik pada hewan coba yang
menunjukan bahwa calon fitofarmaka tersebut mempunyai
aktivitas farmakologik yang sesuai dengan indikasi yang
menjadi tujuan uji klinik fitofarmaka tersebut.
b) Adanya pengalaman empirik dan / atau histori bahwa
fitofarmaka tersebut mempunyai manfaat klinik dalam
pencegahan dan pengobatan dan pengobatan penyakit atau
gejala penyakit.
3) Uji Klinik Fitofarmaka merupakan suatu kegiatan pengujian
multidisiplin.
4) Uji klinik Fitofarmaka harus memenuhi syarat-syarat ilmiah dan
metodologi suatu uji klinik untuk pengembangan dan evaluasi
khasiat klinik suatu obat baru. Protokol uji klinik suatu calon
fitofarmaka harus selaras dengan Pedoman Fitofarmaka yang
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Rl. Protokol uji klinik dengan
rancangan dan metodologi yang sesuai dikembangkan dulu oleh
tim peneliti. Protokol uji klinik harus dinilai dahulu oleh suatu
Panitia llmiah yang independent untuk mendapatkan persetujuan.
5) Uji Klinik Fitofarmaka harus memenuhi prinsip-prinsip etika sejak
perencanaan sampai pelaksanaan dan penyelesaian uji klinik.
Setiap pengujian harus mendapatkan ijin kelaikan etik (ethical
clearance) dari Panitia Etika Penelitian Biomedik pada manusia.
6) Uji Klinik Fitofarmaka hanya dapat dilakukan oleh tim peneliti
yang mempunyai keahlian, pengalaman, kewenangan dan tanggung
jawab dalam pengujian klinik dan evaluasi khasiat klinik obat.
7) Uji Klinik Fitofarmaka hanya dapat dilakukan oleh unit-unit
pelayanan dan penelitian yang memungkinkan untuk pelaksanaan
suatu uji klinik, baik dipandang dari segi kelengkapan sarana,
keahlian personalia, maupun tersedianya pasien yang mencukupi.
Pengulian klinik dalam unit-unit pelayanan kesehatan di luar
Sentra Uji Fitofarmaka, misalnya di Puskesmas atau Rumah Sakit,
harus mendapatkan supervisi dan monitoring dari Sentra Uji
Fitofarmaka sejak perencanaan, pelaksanaan sampai dengan
penyelesaiannya.

2.4. RENCANA KERANGKA TAHAP-TAHAP PENGEMBANGAN

Agar supaya fitofarmaka dapat dipertanggung jawabkan keamanan dan


khasiatnya dalam pemakaiannya pada manusia, maka pengembangan obat
tradisional tersebut harus mencakup berbagai tahap pengujian dan
pengembangan secara sistematik. Tahap-tahap ini meliputi:
1. Pemilihan.
2. Pengujian Farmakologik
a. Penapisan aktivis farmakologik diperlukan bila belum terdapat
petunjuk mengenai khasiat.
b. Bila telah ada petunjuk mengenai khasiat maka langsung
dilakukan pemastian khasiat.
3. Pengujian Toksisitas
a. Uji toksisitas akut.
b. Uji toksisitas sub akut.
c. Uji toksisitas kronik.
d. Uji toksisitass pesifik: - Toksisitas pada janin.
- Mutagenisitas.
- Toksisitasto pikal.
- Toksisitaso ada darah.
- Dan lain-lain.
4. Pengujian Farmakodinamik
5. Pengembangan Sediaan (formulasi).
6. Penapisan Fitokimia dan Standarisasi Sediaan.
7. Pengujian klinik.
2.5. CONTOH FITOFARMAKA
REGULASI

FITOFARMAKA

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 760/MENKES/ PER/ lX/1992
TENTANG FITOFARMAKA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK


INDONESIA TENTANG FITOFARMAKA

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal I

Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :

1. Fitofarmaka : adalah sediaan obat dan obat tradisional yang telah


dibuktikan keamanan dan khasiatnya bahan bakunya terdiri dari simplisia
atau sediaan galenik yang telah memenuhi persyaratan yang berlaku.
2. Komisi Ahli Uji

Fitofarmaka : adalah komisi yang ditunjuk oleh Menteri, beranggotakan


para pakar multi disipliner yang diberi tugas untuk
mengevaluasi uji preklinik dan uji klinik fitofarmaka dan
memberikan rekomendasi untuk keputusan terhadap hasil
uji preklinik dan uji klinik fitofarmaka tersebut.

3. Sentra Uji

Fitofarmaka : adalah Instalasi Pelayanan atau Penelitian Kesehatan yang


disetujui Menteri untuk melaksanakan dan atau
mengkoordinir uji fitofarmaka.

4. Pelaksanaan

Uji Fitofarmaka : adalah Tim multidisiplin yang terdiri ari dokter, apoteker
dan tenaga ahli lainnya yang mempunyai fasilitas,
bersedia serta mampu melaksanakan uji fitofarmaka.

5. Uji Fitofarmaka : adalah uji toksisitas, uji farmakologik eksperimental dan


uji klinik fitofarmaka.
6. Uji Farmakologik

Eksperimental : adalah pengujian pada hewan coba, untuk memastikan


khasiat fitofarmaka.

7. Uji Klinik : adalah pengujian pada manusia, untuk mengetahui atau


memastikan adanya efek farmakologik, tolerabilitas, keamanan dan
manfaat klinik untuk pencegahan penyakit, pengobatan penyakit atau
pengobatan gejala penyakit.

BAB II
BAHAN BAKU
Pasal 2
1. Bahan baku Fitofarmaka dapat berupa simplisia atau sediaan galenik.
2. Bahan baku Fitofarmaka harus memenuhi persyaratan yang tertera dalam
Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia, Materia Medika
Indonesia, ketentuan atau persyaratan lain yang berlaku.
3. Penggunaan ketentuan atau persyaratan lain diluar yang disebut dalam ayat
(2) pasal ini harus mendapatkan persetujuan pada waktu pendaftaran
fitofarmaka.

Pasal 3
1. Penggunaan bahan Tambahan harus memenuhi ketentuan dan syarat.-
syarat yang berlaku.
2. Ketentuan dan syarat-syarat yang dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh
Direktur Jenderal.
BAB III
SEDIAAN
Pasal 4
Bentuk sediaan harus dipilih sesuai dengan sifat bahan baku dan tujuan
penggunaan, sehingga bentuk sediaan tersebut dapat memberikan keamanan,
khasiat, dan mutu yang paling tinggi.
Pasal 5
1. Komposisi fitofarmaka tidak boleh lebih dari 5 (lima) bahan baku.
2. Penyimpangan dari ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) akan dinilai
secara khusus pada saat pendaftaran
3. Penilaian yang dimaksud pada ayat (2) antara lain meliputi kemampuan
Industri Obat Tradisional dalam melakukan pengujian secara kualitatif dan
kuantitatif terhadap fitofarmaka yang dimaksud pada ayat (2)
4. Masing-masing bahan baku yang disebut dalam ayat (1) harus diketahui
keamanan dan khasiatnya
5. Keamanan dan kebenaran khasiat ramuan harus telah dibuktikan dengan
uji klinik
Pasal 6
Fitofarmaka sebelum diedarkan harus mengalami pengujian secara
kualitatif, kuantitatif dan memenuhi persyaratan yang berlaku.
BAB IV
PEDOMAN FITOFARMAKA
Pasal 11
1. Pelaksanaan Uji Fitofarmaka dan pembuatan fitofarmaka harus berdasar pada
Pedoman Fitofarmaka dan cara Pembuatan Obat Tradisional yang baik.
2. Pedoman yang dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
BAB V
TATA CARA UJI FITOFARMAKA
Pasal 12
1. Sentra Uji Fitofarmaka yang melakukan Uji Fitofarmaka harus melaporkan
kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Komisi Ahli Uji
Fitofarmaka
2. laporan yang dimaksud pada ayat (1), harus dilengkapi dengan protokol
pengujian, kesediaan para peneliti dari kelayakan kode etik
3. Direktur Jenderal dapat memberikan sarana atau menolak rencana uji
Fitofarmaka yang dimaksud ayat (1), setelah mempelajari rekomendasi dari
komisi Ahli Uji Fitofarmaka
4. Penolakan yang dimaksud ayat (3), disertai dengan alasan yang jelas.
Pasal 13
1. Pelaksanaan Uji fitofarmaka dapat dilakukan pada beberapa Pelaksanaan Uji
Fitofarmaka.
2. Pelaksanaan yang dimaksud ayat (1), harus memperhatikan kemampuan
pengawasan Sentra Uji Fitofarmaka.
3. Sentra Uji Fitofarmaka harus segera menghentikan Uji Fitofarmaka bila ada
indikasi atau dugaan membahayakan pada penderita.
4. Pada pelaksanaan Uji Fitofarmaka, terutama pada uji klinis harus ada Rumah
Sakit yang siap menerima penderita yang mengalami hal-hal yang tidak
diinginkan.
Pasal 14
1. Sentra Uji Fitofarmaka yang telah selesai melakukan Uji fitofarmaka, harus
mengirimkan hasil Uji fitofarmaka satu berkas dikirimkan kepada Direktur
Jenderal dan satu berkas dikirimkan kepada Komisi Ahli Uji Fitofarmaka.
2. Direktur Jenderal dapat meminta tambahan data atau menolak Hasil Uji
Fitofarmaka yang dimaksud ayat (1), setelah mempelajari rekomendasi Komisi
Ahli Uji Fitofarmaka.
3. Penolakan yang dimaksud ayat (2), harus disertai dengan alasan yang jelas.

BAB VI
FITOFARMAKA

Pasal 15

1. Obat tradisional yang harus dikembangkan menjadi Fitofarmaka tercantum


pada daftar lampiran peraturan ini.
2. Daftar yang dimaksud dalam ayat (1) dapat ditinjau dan ditetapkan kembali
oleh Direktur Jenderal.

Pasal 16

1. Obat tradisional yang dimaksud pada ayat (1) pasal 15 dapat didaftarkan :
a. Sebagai jamu dengan syarat sudah dilakukan uji toksisitas, dan uji
farmakologik eksperimental pada hewan coba.
b. Sebagai fitofarmaka dengan syarat sudah dilakukan toksisitas, uji
farmakologik eksperimental dan uji klinik
2. Obat tradisional yang didaftarkan sebagai jamu seperti yang dimaksud pada
ayat (1) huruf, nomor pendaftaran hanya berlaku 2(dua) tahun sejak
dikeluarkannya.
3. Obat tradisional yang didaftarkan sebagai fitofarmaka seperti yang dimaksud
pada ayat (1) huruf b, nomor pendaftarannya berlaku seterusnya.
Pasal 17

1. Obat tradisional yang dimaksud pada ayat (2) pasal 16, 2 (dua) tahun setelah
mendapatkan nomor pendaftarannya sebagai jamu harus didaftarkan ulang
sebagai Fitofarmaka.
2. Obat tradisional yang dimaksud pada ayat (1) yang tidak didaftarkan ulang
sebagai Fitofarmaka, gugur pendaftarannya atau dicabut nomor
pendaftarannya,
3. Industri Obat Tradisional atau Industri Kecil Obat Tradisional yang
memproduksi obat tradisional yang dimaksud pada ayat (2), harus
menghentikan produksi dan menarik obat tradisional yang dimaksud pada ayat
(1) selambat-lambatnya pendaftaran 6 bulan setelah nomor pendaftarannya
gugur atau dicabut.

BAB VII

PENANDAAN

Pasal 18

1. Selain ketentuan yang dimaksud dalam pasal 34 Peraturan Menteri Kesehatan


RI No. 246/Menkes/Per/V/90 tentang izin usaha industri obat tradisional dana
pendaftaran obat tradisional untuk fitofarmaka pada pembungkus, wadah atau
etiket dan brosurnya harus dicantumkan kata “Fitofarmaka: yang terletak
dalam lingkaran dan pada bagian sebelah kiri.
2. Kata “Fitofarmaka” yang dimaksud dalam ayat (1) harus jelas serta mudah
dibaca dan ukuran huruf sekurang-kurangnnya 2 1/2 (dua setengah) millimeter
dan tebal 1/2 (setengah) millimeter, dicetak dengan warna hitam di atas warna
putih.
PENUTUP

3.

3.1. Kesimpulan

1. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan


keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dan uji klinis
bahan baku serta produk jadinya telah di standarisasi,
2. Alasan utama keengganan profesi kesehatan untuk meresepkan atau
menggunakan obat tradisional tradisional karena bukti ilmiah mengenai
khasiat dan keamanan obat tradisional pada manusia masih kurang. Obat
tradisional Indonesia merupakan warisan budaya bangsa sehingga perlu
digali, diteliti dan dikembangkan agar dapat digunakan lebih luas oleh
masyarakat. Untuk itulah dikembangkan Obat Tradisional menjadi
fitofarmaka.
3. Fitofarmaka harus memenuhi beberapa criteria, diantaranya :
a. Aman dan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
b. Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik
c. Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan
dalam produk jadi
d. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
4. Produk-produk fitofarmaka
a. Nodiar d. Stimuno
b. X-gra e. Tensigard Agromed
c. Rheumaneer

3.2. Saran
Kami harap dengan makalah ini dapat memberikan informasi mengenai
fitofarmaka sehingga pembaca dan penulis dapat memanfaatkan obat-obat
fitofarmaka untuk meningkatkan kualitas kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai