“PREFORMULASI”
OLEH:
KELOMPOK 8
Cindar A Kuamba 012123010
Komang Dewik 012123021
Putri Ferdelita 012123041
Vianda Managanta 012123052
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan
Rahmat dan Berkat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
“Preformulasi” ini. Terima kasih kami ucapkan kepada dosen pengampu
mata kuliah Pengantar Ilmu Farmasi, Bapak Dr. Joni Tandi, M. Kes, Apt karena
berkat arahan dan bimbingan beliau sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini dengan lancar.
Semoga makalah yang kami buat dapat berguna bagi teman-teman dan
kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan
kalimat, tata bahasa, maupun pembahasan. Dalam menyelesaikan tugas pelajaran
dan menambah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan
saran guna meningkatkan kualitas penyusunan makalah kami kedepannya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan Makalah.................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................3
2.1 Definisi Preformulasi..........................................................................3
2.2 Tujuan Preformulasi...........................................................................4
2.3 Pertimbangan Umum Preformulasi....................................................5
2.4 Jenis-Jenis Bahan Obat dan Bahan Tambahan Obat..........................7
2.5 Sifat Fisika Kimia Bahan Obat dan Bahan Tambahan Obat..............8
2.6 Cara Pencampuran Bahan Obat dan Bahan Tambahan Obat dari
Berbagai Bentuk Sediaan
............................................................................................................
14
2.7 Hal-Hal yang Mempengaruhi Khasiat Obat
............................................................................................................
16
2.8 Keuntungan dan Kerugian Pemakaian Obat dari Berbagai Sediaan
............................................................................................................
18
BAB III PENUTUP.............................................................................................20
3.1 Kesimpulan ........................................................................................20
3.2 Saran...................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................21
iii
BAB I
PENDAHULUAN
10 | P e n g a n t a r I l m u F a r m a s i
1) Sifat Fisika
a) Uraian Fisik
Uraian fisik dari suatu obat sebelum pengembangan bentuk sediaan penting
untuk dipahami, kebanyakan zat obat yang digunakan sekarang adalah bahan
padat. Kebanyakan obat tersebut merupakan senyawa kimia murni yang
berbentuk amorf atau kristal. Obat cairan digunakan dalam jumlah yang lebih
kecil, gas bahkan lebih jarang lagi.
b) Pengujian Mikroskopik
Pengujian mikroskopik dari zat murni (bahan obat) merupakan suatu tahap
penting dalam kerja (penelitian) Preformulasi. Ia memberikan indikasi
(petunjuk ukuran partikel dari zat murni seperti juga struktur kristal.
Fotomikrograf dari lot-lot batch awal dan berikutnya dari zat murni dapat
memberikan informasi penting jika masalah timbul dalam pemrosesan
formulasi, diakibatkan oleh perubahan-perubahan dalam karakteristik partikel
atau Kristal dari obat tersebut.
c) Ukuran Partikel
Sifat-sifat fisika dan kimia tertentu dari zat obat dipengaruhi oleh distribusi
ukuran partikel, termasuk laju disolusi obat, bioavailabilitas, keseragaman isi,
rasa, tekstur, warna dan kestabilan. Tambahan pula, sifat-sifat seperti
karateristik aliran dan laju sedimentasi juga merupakan factor-faktor penting
yang berhubungan dengan ukuran partikel. Ukuran partikel dari zat murni
dapat mempengaruhi formulasi dan kemanjuran produk. Khususnya efek
ukuran partikel terhadap absorpsi obat. Keseragaman isi dalam bentuk sediaan
padat sangat tergantung kepada ukuran partikel dan distribusi bahan aktif pada
seluruh formulasi yang sama.
d) Koefisien Partisi dan Konstanta Disosiasi
Untuk memproduksi suatu respon biologis molekul obat pertama-tama harus
menyeberangi sutau membrane biologis yang bertindak sebagai pembatas
lemak. Kebanyakan obat yang larut lemak akan menyeberang dengan proses
11 | P e n g a n t a r I l m u F a r m a s i
difusi pasif sedangakn yang tidak larut lemak akan menyeberangi pembatas
lemak dengan transport aktif. Karena hal ini maka perlu mengetahui koefisien
partisi dari suatu obat. Khusus untuk obat yang bersifat larut air maka perlu
pula diketahui konstanta disosiasi agar diketahui bentuknya molekul atau ion.
Bentuk molekul lebih muda terabsorpsi daripada bentuk ion.
e) Polimerfisme
Suatu formulasi yang penting adalah bentuk kristal atau bentuk amorf dari zat
obat tersebut. Bentuk-bentuk polimorfisme biasanya menunjukkan sifat fisika
kimia yang berbeda termasuk titik leleh dan kelarutan. Bentuk polimorfisme
ditunjukkan oleh paling sedikit sepertiga dari senua senyawa-senyawa organic
f) Kelarutan
Suatu sifat kimia fisika yang penting dari suatu zat obat adalah kelarutan,
terutama kelarutan sistem dalam air. Suatu obat harus memiliki kelarutan
dalam air agar manjur dalam terapi. Agar suatu obat masuk kedalam sistem
sirkulasi dan menghasilkan suatu efek terapeutik, obat pertama-tema harus
berada dalam bentuk larutan. Senyawa-senyawa yang relative tidak larut
seringkali menunjukkan absorpsi yang tidak sempurna atau tidak menentu.
g) Disolusi
Perbedaan aktivitas biologis dari suatu zat obat mungkin diakibatkan oleh laju
disolusi. Laju disolusi adalah waktu yang diperlukan bagi obat untuk melarut
dalam cairan pada tempat absorpsi. Untuk obat yang diberikan secara oral
dalam bentuk padatan, laju disolusi adalah tahap yang menentukan laju
absorpsi. Akibatnya laju disolusi dapat mempengaruhi onset, intensitas dan
lama respon serta bioavailabilitas.
h) Kestabilan
Salah satu aktivitas yang paling penting dalam Preformulasi adalah evaluasi
kestabilan fisika dari zat obat murni. Pengkajian awal dimulai dengan
menggunakan sampel obat dengan kemurnian yang diketahui. Adanya
12 | P e n g a n t a r I l m u F a r m a s i
pengotoran akan menyebabkan kesimpulan yang salah dalam evaluasi
tersebut.
2) Sifat Kimia
Penentuan stabilitas obat penting dilakukan sedini mungkin. Studi stabilitas
preformulasi meliputi bentuk larutan dan keadaan padat pada beberapa kondisi
penanganan: formulasi, penyimpanan, dan pemberian in vivo. Sifat kelarutan pada
umumnya berhubungan dengan kelarutan senyawa dalam media yang berbeda dan
bervariasi diantara dua hal yang ekstrem, yaitu pelarut polar, seperrti air, dan pelarut
nonpolar seperti lemak. Sifat hidrofilik atau lipofobik berhubungan dengan kelarutan
dalam air, sedangkan sifat lipofilik atau hidrofobik berhubungan dengan kelarutan
dalam lemak. Gugus-gugus yang dapat meningkatkan kelarutan molekul dalam air
disebut gugus hidrofilik (lipofobik atau polar), sedangkan gugus yang dapat
meningkatkan kelarutan molekul dalam lemak disebut gugus lipofilik (hidrofobik
atau nonpolar).
Pengkajian Preformulasi yang dihubungkan dengan fase Preformulasi termasuk
kestabilan obat itu sendiri dalam keadaan padat, kestabilan fase larutan dan kestabilan
dengan adanya bahan penambah. Penyelidikan awal dimulai dengan pengetahuan
tentang struktur kimia obat yang mengizikan mengantisipasi reaksi degradasi yang
mungkin terjadi. Ketidak stabilan kimia dari zat obat dapat mengambil banyak
bentuk, karena obat-obat yang digunakan sekarang adalah dari konstituen kimia yang
beraneka ragam. Secara kimia, zat obat adalah alcohol, fenol, aldehid, keton, ester-
ester, asam-asam, garam-garam, alkaloid, glikosida, dan lain-lain. Masing-masing
dengan gugus kimia relative yang mempunyai kecenderungan berbeda terhadap
ketidak stabilan kimia. Secara kimia proses kerusakan yang paling sering meliputi
hidrolisis dan oksidasi.
1. Konstanta disosiasi
Konstanta disosiasi digunakan untuk mengetahui Ph dalam proses pembuatan
sediaan steril. Saat suatu asam HA larut dalam air, sebagian asam tersebut terurai
(terdisosiasi) membentuk ion hidronium dan basa konjugasinya. Hubungan
13 | P e n g a n t a r I l m u F a r m a s i
dengan pembuatan sediaan injeksi yaitu sediaan harus sesuai dengan pH yang
hampir sama dengan pH darah supaya jika obat di suntikkan dalam tubuh dan
tercampur dalam darah maka tidak terjadi nyeri. Dan efek terapinya tercapai.
2. Kelarutan
Semua sifat fisika atau kimia bahan aktif langsung atau tidak langsung akan
dipengaruhi oleh kelarutan. Dalam larutan ideal, kelarutan bergantung pada suhu
lebur. Hubungan dengan pembuatan sediaan injeksi yaitu sediaan harus larut
dalam pembawanya sehingga ketika sediaan tersebut di suntikkan efek terapinya
bisa tercapai dengan cepat.
3. Disolusi
Disolusi merupakan tahap pembatas laju absorbsi suatu obat menuju sirkulasi
sistemik.Uji ini digunakan untuk mengetahui waktu zat aktif mulai dilepaskan
untuk memperoleh kadar yang tinngi dalam darah.
4. Stabilitas
- Stabilitas fisika dan kimia dari bahan aktif murni sangat perlu untuk
dievaluasi karena jika terdapat keberadaan pengotor dapat menyebabkan
kesimpulan yang salah. Hubungan dengan pembuatan injeksi karena pada
sediaan injeksi keadaan harus steril dan bebas dari keberadaan pengotor.
2.6 Cara Pencampuran Bahan Obat dan Bahan Tambahan Obat dari Berbagai
Bentuk Sediaan
Apabila dalam sediaan obat terdapat lebih dari dua bahan, maka pencampuran
harus dilakukan sebaik mungkin supaya didapatkan campuran yang homogen. Ada
beberapa metode pencampuran, yaitu:
1. Spatula
Bahan digerus di atas kertas dengan memakai spatula. Metode ini hasilnya
kurang maksimal, terlebih bila serbuk yang dicampur jumlahnya banyak.
14 | P e n g a n t a r I l m u F a r m a s i
2. Triturasi
Bahan digerus di dalam lumpang porselen atau lumpang kayu, bisa juga lumpang
dari kaca. Lebih disukai lumpang porselen yang permukaan dalamnya kasar.
Hasil yang diperoleh cukup bagus. Saat ini metode inilah yang paling umum
digunakan di apotek dan di laboratorium. (Triturasi adalah proses penggerusan
obat di dalam lumpang untuk menghaluskan / memperkecil ukuran partikel).
3. Ayakan
Bahan dicampur dengan cara melewatkannya melalui ayakan. Hasil campuran
yang diperoleh biasanya agak halus. Cara ini kurang diyakini homogenitasnya.
4. Tumbling
Bahan diguling-gulingkan supaya tercampur merata. Metode ini digunakan untuk
mencampur serbuk dalam jumlah besar, dengan menggunakan mesin penggiling
serbuk yang dirancang khusus. Selain itu, cara mencampur bahan obat maupun
bahan tambahan obat harus sesuai dengan sifat-sifat fisika-kimia masing-masing
bahan. Beberapa bahan obat akan menampakkan reaksi yang tidak diinginkan
bila dicampur, misalnya terjadi penggumpalan, perubahan warna atau reaksi lain
yang akan menyebabkan menurun atau hilangnya khasiat dari bahan obat
tersebut.
Berikut ini pedoman cara mencampur bahan-bahan obat:
a. Bentuk sediaan padat.
- Bila terjadi reaksi penggumpalan antara bahan-bahan obat, maka sebelum
dicampur masing-masing bahan obat dilapisi dulu dengan bahan tambahan.
Contoh: Asam Salisilat dan Seng Oksida bila dicampur langsung maka lama
kelamaan akan mengeras, sehingga sebelum keduanya dicampur, masing-
masing dilapisi dulu dengan bahan tambahan.
- Bila ada bahan obat bentuk kristal dalam sediaan maka larutkan dulu dengan
pelarut yang sesuai. Contoh: Asam Salisilat, maka harus dilarutkan dulu
dengan Etanol 95%, kemudian segera dicampur dengan bahan tambahan
sampai kering.
15 | P e n g a n t a r I l m u F a r m a s i
- Bila ada bahan obat yang bersifat higroskopis (mudah lembab), maka
digerus dalam mortir/lumpang panas untuk menguapkan air yang terkandung
pada bahan obat tersebut.
- Bila ada bahan obat yang merupakan campuran eutektik yaitu campuran
yang titik leburnya menjadi lebih rendah dibanding bila bahan tersebut
berdiri sendiri, misalnya Camphora dan Mentholum, maka biarkan campuran
tersebut meleleh terlebih dulu, kemudian dikeringkan dengan bahan
tambahan.
- Bila ada bahan obat berupa minyak atsiri, maka ditambahkan terakhir paya
tidak ikut digerus terlalu lama karena minyak atsiri sangat mudah menguap.
b. Bentuk sediaan setengah padat
Cara mencampur bahan-bahan obat maupun bahan tambahan obat berpedoman
pada 4 ketentuan umum cara pembuatan salep.
c. Bentuk sediaan cairan.
- Bentuk sediaan larutan: bahan obat dilarutkan dengan pelarut secukupnya,
kemudian ditambah dengan sisa pelarut sampai volume atau berat yang
diminta.
- Bentuk sediaan suspensi: bahan obat yang tidak larut dicampur dengan
bahan pensuspensi, kemudian ditambah pelarut dengan volume yang sudah
ditentukan sampai terbentuk suspensi, setelah itu dicampur dengan sisa
pelarut sampai volume atau berat yang diminta.
16 | P e n g a n t a r I l m u F a r m a s i
dunia industri obat-obatan, dosis terapi ini dibuat dalam dosis tertentu yang dikenal
dengan istilah dosis lazim. Dosis lazim ini umumnya ditujukan untuk orang dewasa.
Untuk bayi, anak-anak, dan orang tua harus dilakukan penyesuaian dosis. Contoh
dosis lazim: Parasetamol 500 mg/tablet, Kloramfenikol 250mg/tablet, Ampisilin
500mg/tablet.
2. Absorpsi obat.
Agar suatu obat dapat menghasilkan efek terapi / khasiat, obat tersebut harus
larut, kemudian diasbsorpsi/menembus membran biologis dan dibawa oleh darah ke
seluruh jaringan dan organ-organ tubuh. Untuk obat pemakaian oral, absorbsi
dipengaruhi oleh kelarutan obat di dalam lambung. Umumnya makin cepat larut
dalam lambung makin cepat pula absorpsinya sehingga makin cepat pula efek terapi
yang ditimbulkan. Untuk obat pemakaian luar seperti salep, obat tetes mata, obat tetes
hidung, suppositoria, absorpsinya dipengaruhi oleh kelarutan obat dalam selaput
lendir yang terdapat pada mata, hidung, telinga, rectum dan vagina.
3. Cara pemberian obat.
Cara pemberian obat akan berpengaruh pada kecepatan absorpsi zat aktif. Cara
pemberian obat dikelompokkan dalam:
a. Secara oral, yaitu penggunaan obat melalui mulut. Obat paling sering digunakan
dengan cara oral karena alami, tidak sulit dan aman dalam penggunaan. Tetapi
efek terapi obat lebih lambat dibandingkan pemakaian secara parenteral.
b. Secara Topikal, yaitu penggunaan obat melalui permukaan kulit dan
menghasilkan efek lokal dan sebagian dapat diabsorbsi kedalam jaringan
dibawah kulit.
c. Secara rektal, yaitu penggunaan obat melalui anus / rektum. Beberapa obat sering
diberikan secara rektal untuk memperoleh efek lokal. Tetapi bisa juga untuk efek
sistemik, seperti obat-obat analgesik. Obat diabsorpsi melalui rectum, tidak
melalui metabolisme di hati. Efek terapi yang dihasilkan lebih cepat
dibandingkan secara oral.
17 | P e n g a n t a r I l m u F a r m a s i
d. Secara parenteral, yaitu penggunaan obat melalui penyuntikan dengan alat jarum
suntik ( intravena, intramuscular, subcutan ).Efek terapi yang dihasilkan paling
cepat dibandingkan dengan bentuk sediaan lain, terutama yang secara intravena
karena langsung masuk dalam darah.
4. Bentuk sediaan.
Untuk mengetahui pengaruh bentuk sediaan obat terhadap khasiat obat telah
dilakukan penelitian uji klinis berupa pengukuran kadar obat dalam darah setelah
pemberian obat . Penelitian tersebut digunakan untuk membandingkan absorpsi obat
dari berbagai bentuk sediaan, khususnya sediaan obat untuk pemakaian oral.
Pengukuran kadar obat dilakukan beberapa kali, dimulai dari saat obat diminum
sampai 12 jam sesudahnya. Hasil pengukuran dirupakan dalam bentuk grafik. Dari
ketiga bentuk sediaan tersebut sediaan cair paling cepat menghasilkan efek terapi /
khasiat. Sediaan berikutnya adalah pulveres, kemudian sediaan tablet. Hal ini
disebabkan: Kadar obat dalam darah 0 ¼ ½ 12 ,Waktu setelah pemberian obat (jam),
sediaan cair sudah berada dalam bentuk larutan sehingga lebih mudah diabsorpsi
dibandingkan sediaan pulveres dan sediaan tablet, pulveres memerlukan waktu
beberapa saat untuk larut dalam cairan lambung sebelum akhirnya diabsorpsi,Sediaan
tablet memerlukan waktu untuk hancur terlebih dulu, sebelum akhirnya larut dan
diabsorpsi.
18 | P e n g a n t a r I l m u F a r m a s i
c. Lebih stabil dibandingkan bentuk sediaan cair.
Kekurangan:
a. Selama penyimpanannya kadang-kadang serbuk menjadi lembab/lengket.
b. Tidak tertutupinya rasa tidak enak dari beberapa bahan obat, misal pahit,
sepat (meskipun bisa dikurangi dengan penambahan pemanis).
2. Kelebihan dan kekurangan sediaan setengah padat
Kelebihan:
a. Pilihan utama untuk pengobatan topical (pada kulit).
b. Kontak antara bahan obat dengan kulit lebih lama dibandingkan sediaan
serbuk ataupun sediaan cair.
c. Dapat menyerap cairan yang terjadi pada luka/kelainan dermatologik.
d. Dapat berfungsi sebagai penutup/pelindung luka.
Kekurangan:
a. Hanya bisa digunakan untuk pengobatan luar.
b. Basis berlemak umumnya menimbulkan rasa tidak nyaman.
3. Kelebihan dan kekurangan sediaan bentuk cair
Kelebihan:
a. Penyerapan/absorbsi obat lebih cepat dibanding sediaan padat.
b. Keseragaman dosis lebih terjamin dibanding sediaan padat karena dalam
bentuk larutan bahan obat terdispersi secara molekuler.
c. Bila akan diencerkan atau dicampur dengan bahan obat lain keseragaman
obat tetap terjaga.
d. Lebih disukai oleh penderita yang tidak bisa menelan tablet atau kapsul.
e. Dapat diberi perasa atau pewarna yang menarik sehingga bisa menimbulkan
kepatuhan minum obat pada penderita, terutama anak-anak.
Kekurangan:
a. Tidak sesuai untuk bahan obat yang tidak stabil/mudah rusak dalam air.
b. Tidak praktis untuk dibawa kemana-mana.
c. Lebih mudah ditumbuhi jamur atau mikroba lain dibandingkan bentuk padat.
19 | P e n g a n t a r I l m u F a r m a s i
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Studi preformulasi adalah tahap pertama dalam pembentukan tablet atau
aktivitas formulasi dengan pertimbangan yang hati-hati dari data preformulasi.
Preformulasi penting bagi formulator untuk mendapatkan profil fisika-kimia yang
lengkap dari bahan-bahan aktif yang tersedia sebelum memulai suatu aktifitas
perkembangan formula seluruh informasi ini diketahui sebagai preformulasi.
Preformulasi sangat penting dilakukan dalam setiap pengembangan sediaan
farmasi karena meliputi penelitian farmasetik dan analitik bahan obat untuk
menunjang proses pengembangan formulasi.
3.2 Saran
Sebaiknya sebelum menentukan formulasi obat yang akan dibuat carilah
informasi sebanyak-banyaknya tentang bahan-bahan yang dugunakan agar nantinya
didapatkan hasil obat yang baik sesuai dengan persyaratan obat yang telah ditetapkan.
20 | P e n g a n t a r I l m u F a r m a s i
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H.C. (1981). Introduction to pharmaceutical dosage forms. Lea & Febiger:
Philadelphia.
Dirjeen POM (1979). Farmakope Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Dirjeen POM (1995). Farmakope Indonesia IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
http://files.Google.com. Preformulasi obat
Martin, a.n.,1970, Physical pharmacy, second edition, Lea & Febiger, Philadelphia
http://files.Wikipedia.co.id. Preformulasi obat sediaan tablet.
Maryani Sri, S.Si.Apt. Siswati, Apt. Susanti Yanthy, S.Si. Apt. Theresia Liana,
S.Si.Apt. Linggiana Elizabeth, S.Si.Apt. Dra. Helwani Elly, Apt. Dra.
Suryani Ninis, Apt. (2012). Ilmu Resep Kelas XI. Jakarta: Pilar Utama
Mandiri.
Anief, M. (1984). Ilmu Farmasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Anief, M. (1990). Farmasetika. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
21 | P e n g a n t a r I l m u F a r m a s i