OLEH:
KOMANG DEWIK
NIM 02123021
Suatu praktek Pelayanan apoteker dapat dikategorikan sebagai perbuatan malpraktik apoteker
dilihat dari 3 aspek/hal:
a. Intensional Professional Misconduct, yaitu bahwa apoteker berpraktek tidak
bertanggungjawab yaitu dengan melakukan praktek yang salah/buruk dan dalam prakteknya
melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap standar-standar yang ditetapkan baik standar
dari profesinya (standar profesi, pedoman disiplin, Pedoman praktek,Standar Prosedur
Operasional) maupun yang ditetapkan pemerintah (standar pelayanan kefarmasian) dan
dilakukan dengan sengaja tidak mengindahkan standar-standar dalam aturan yang ada dan
tidak ada unsur kealpaan/kelalaian. Misalnya apoteker memalsukan copy resep, membuka
rahasia pasien dengan sengaja tanpa persetujuan pasien ataupun tanpa permintaan penegak
hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang.
b. Negligence atau tidak sengaja (kelalaian) yaitu seorang apoteker yang karena kelalaiannya
(culpa) yang mana berakibat cacat atau meninggalnya pasien. Seorang apoteker lalai
melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sesuai dengan keilmuan kefarmasian,.
c. Lack of Skill yaitu apoteker yang melakukan pelayanan tetapi diluar kompetensinya atau
kewenangan yang diberikan kepadanya.
Menurut Penulis Malpraktik adalah perbuatan yang bertentangan dengan etika, disiplin serta
hukum, tidak melaksanakan standar-standar dan pedoman yang dibuat oleh organisasi profesinya
dan pemerintah, dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja atau karena kelalaian.
5. Jelaskan mengapa metode kloning dan euthanasia dilarang atau belum diatur
hukumnya di Indonesia.
Jawaban:
a. Kloning
Kloning secara eksplisit tidak diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan di Indonesia. Akan tetapi, karena kloning merupakan metode pro tanpa
melalui aseksual, maka hal tersebut dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan
upaya kehamilan di luar carakreasi sebagaimana telah diatur ketentuannya dalam
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (“UU
Kesehatan”). Dalam Pasal 127 Ayat (1) UU Kesehatan disebutkan bahwa upaya
kehamilan di luar cara alami hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang
sah dengan ketentuan, yakni hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal, dilakukan oleh
Tenaga Kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk itu, dan pada
fasilitas kesehatan tertentu. Dilanjutkan pada ayat (2),
Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah Peraturan
Pemerintah No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi (“PP Kesehatan
Reproduksi”). Dalam Pasal 40 Ayat (1) disebutkan bahwasanya reproduksi dengan
bantuan atau kehamilan di luar cara alami hanya dapat dilakukan pada pasangan
suami istri yang pernikahan yang sah dan mengalami ketidaksuburan atau infertilitas
untuk memperoleh keturunan. Kemudian Ayat (2) menjelaskan bahwa dilaksanakan
dengan menggunakan hasil pembuahan sperma dan ovum yang berasal dari suami
istri yang bersangkutan dan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum
berasal. Kemudian disebutkan pula dalam melakukan reproduksi dengan bantuan atau
kehamilan di luar cara alami, harus dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta tidak bertentangan dengan norma agama.
Perkembangan kloning di dunia, seperti sebuah pisau bermata dua terhadap
keberlangsungan hidup manusia. Secara teoritis, kloning dapat dilakukan tanpa
melalui proses perkawinan yang sah dan dapat menggunakan sel telur serta sel apa
saja selain sperma dari suami istri yang bersangkutan. Menurut Hukum Positif,
tindakan tersebut tentu saja sudah melanggar Pasal 127 UU Kesehatan. Bantuan
infertilitas dalam metode kloning merupakan pemecah masalah dari ketidaksuburan
yang dialami oleh wanita. Namun, tidak dapat melihat fakta bahwa para ilmuwan
pencipta kloning domba Dolly harus melakukan percobaan sebanyak 277 kali agar
berhasil. Clonaid, pencipta bayi Eve, mengklaim bahwa menggunakan lebih dari 200
sel telur manusia dari sel dewasa untuk mendapatkan sepuluh yang tumbuh normal
tetapi hanya lima yang dapat dimplantasikan dengan sukses. Bercermin dari
eksperimen-eksperimen tersebut, kloning untuk manusia akan melewati prosedur
yang jauh lebih rumit dan tidak menutup kemungkinan terjadi kematian ataupun
kematian embrio dalam janin nantinya.
Pembunuhan ataupun kematian embrio menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) merupakan suatu bentuk kejahatan sehingga dapat dijatuhkan sanksi
pidana. Pengaturan lebih rinci terkait pasal dalam KUHP yang dimaksud dalam
beberapa pasal, yakni Pasal 346 KUHP jika pelakunya merupakan perempuan, Pasal
347 jika pelakunya orang lain dengan tidak memiliki izin perempuan, Pasal 348 jika
pelakunya merupakan orang lain dengan memiliki izin perempuan, dan Pasal 349 jika
pelakunya memiliki jabatan. Di samping itu, menurut Hukum Perdata, embrio yang
terdapat dalam janin sudah dapat dikatakan sebagai subjek hukum karena dianggap
hidup sehingga memiliki hak terkait hak waris sebagaimana yang termaktub dalam
Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
Lahirnya embrio tersebut ke dunia ternyata tidak menyelesaikan permasalahan
hukum dengan begitu saja. Embrio yang lahir dan menjadi seorang manusia akan
mengalami kesulitan mengetahui status hukumnya dalam hak pewarisan dan dalam
hal pembuktian pengingkaran dan/atau pengakuan anak di kemudian hari, yang
memerlukan tes DNA ataupun Akta Kelahiran. Menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan), anak yang sah merupakan anak
yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Anak yang lahir
menggunakan metode kloning nantinya hanya akan memiliki hubungan darah dengan
satu pihak, baik ibu atau ayah, bahkan tidak menutup kemungkinan lahirnya
hubungan darah dengan pihak lain di luar kedua orang tua karena sel telur dan DNA
yang diambil dari orang lain.
Salah satu kemungkinan penyebab berbedanya hubungan darah karena adanya
pembuahan di rahim oleh sel telur ibu pengganti. Ibu pengganti suatu perjanjian
antara seorang wanita yang mengikatkan diri melalui suatu perjanjian dengan pihak
lain (suami istri) untuk menjadi hamil terhadap hasil pembuahan suami istri tersebut
yang ditanamkan ke dalam rahimnya, dan setelah melahirkan terpaksa menyerahkan
bayi tersebut kepada pihak suami adalah berdasarkan perjanjian yang dibuat. Dengan
kata lain, perempuan penampung pembuahan telah menyewakan rahimnya. Perjanjian
sewa rahin ini bila mengacu pada Hukum Positif Indonesia tidak diizinkan karena
prokreasi yang terjadi bukan dari pasangan suami istri yang pernikahan sah. Jika
terdapat polemik mengenai status hukum anak dalam waris, anak tersebut akan
mengandalkan pada pembuktian pengingkaran dan/atau pengakuan anak yang bukan
jalan mudah untuk dicapai.
Hukum Positif Indonesia juga mengacu pada ketentuan Hukum Islam ketika
melangsungkan kloning. Islam mempercayai bahwasanya hubungan suami istri
melalui perkawinan merupakan landasan bagi pembentukan masyarakat yang diatur
berdasarkan tuntuhan Allah swt. Anak yang lahir dalam perikatan perkawinan tidak
hanya membawakan komponen genetik kedua orang tua, tetapi juga membawa
identitas bagi anak. Kloning dalam hal ini dipercayai akan memutuskan pada
keputusan garis keturunan yang menghasilkan hak anak dan terabaikannya sejumlah
hukum yang timbul. Kemudian karena proses prokreasi dapat dilakukan secara
aseksual, maka institusi perkawinan yang telah disyariatkan sebagai media
berketurunan secara sah tidak diperlukan lagi, lembaga keluarga melalui perkawinan
menjadi hancur, dan tidak ada lagi saling membutuhkan antara laki-laki dan
perempuan.
Setelah memaparkan penjelasan mengenai kloning di atas, sudah teranglah
bahwasanya masyarakat tidak dapat serta menerima penggunaan teknologi
biomedik. Kloning yang dapat membahayakan masyarakat ini, sampai saat ini belum
memiliki kedudukan yang pasti di mata hukum. Namun, dapat diketahui bahwa
kloning telah melanggar Hukum Positif Indonesia. Oleh karena itu, perlu diatur lebih
lanjut hukum mengenai kloning sehingga terdapat kepastian hukum dan para pihak
yang dirugikan mendapatkan payung hokum.
b. Euthanasia
Jika dikaitkan kembali dengan hak asasi manusia, euthanasia tentu melanggar
hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup. Pakar hukum pidana Universitas
Padjadjaran Komariah Emong berpendapat, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(“KUHP”) mengatur tentang larangan melakukan euthanasia. yakni dalam Pasal 344
KUHP yang bunyinya:
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.”
Dari ketentuan tersebut, jelas bahwa yang diatur dalam KUHP adalah
euthanasia aktif dan sukarela. Sehingga, menurut Haryadi, dalam praktiknya di
Indonesia, Pasal 344 KUHP ini sulit diterapkan untuk menyaring perbuatan
euthanasia sebagai tindak pidana, sebab euthanasia yang sering terjadi di negara ini
adalah yang pasif, sedangkan pengaturan yang ada melarang euthanasia aktif dan
sukarela.
Pada sisi lain, Komariah berpendapat, walaupun KUHP tidak secara tegas
menyebutkan kata euthanasia, namun, berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP
seharusnya dokter menolak melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawa,
sekalipun keluarga pasien menghendaki. Menurutnya, secara hukum, norma sosial,
agama dan etika dokter, euthanasia tidak diperbolehkan. Berkaca dari pengalaman di
Belanda, Komariah mengatakan prosedur euthanasia yang diberlakukan di Belanda
tidak sembarangan. Diperlukan penetapan pengadilan untuk melakukan perbuatan
tersebut. Meskipun keluarga pasien menyatakan kehendaknya untuk
melakukan euthanasia, namun pengadilan bisa saja menolak membuat penetapan.
Dalam sebuah kasus di sekitar 1990 di Belanda, kata Komariah, seorang keluarga
pasien yang ingin melakukan euthanasia sempat ditolak oleh pengadilan walaupun
akhirnya dikabulkan. Untuk itu, menurut Komariah apabila tidak ada jalan lain, tidak
lagi ada harapan hidup dan secara biomedis seseorang terpaksa dicabut nyawanya
melalui euthanasia, harus ada penetapan pengadilan untuk menjalankan proses
tersebut.
Sebab, penetapan pengadilan tersebut akan digunakan agar keluarga atau pihak
yang memohon tidak bisa dipidana. Begitu pula dengan peranan dokter, sehingga
dokter tidak bisa disebut malpraktik. Selain penetapan pengadilan, keterangan dari
kejaksaan juga harus diminta agar di kemudian hari negara tidak menuntut
masalah euthanasia tersebut. Terlepas dari masalah di atas, menurutnya hidup mati
seseorang hanya dapat ditentukan oleh Tuhan.
Di Indonesia, upaya pengajuan permohonan euthanasia ini pernah terjadi di
penghujung 2004, suami Ny. Again mengajukan permohonan euthanasia ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengakhiri penderitaan istrinya, namun
permohonan itu ditolak oleh pengadilan. Menurut pakar hukum pidana Indriyanto
Seno Adji, tindakan euthanasia harus memenuhi persyaratan medis dan bukan karena
alasan sosial ekonomi. Menurutnya, sifat limitatif ini untuk mencegah agar nantinya
pengajuan euthanasia tidak sewenang-wenang. Lebih jauh simak artikel Euthanasia
Dimungkinkan Dengan Syarat Limitatif dan Permohonan Euthanasia Menimbulkan
Pro dan Kontra.
Jadi, euthanasia memang dilarang di Indonesia, terutama untuk euthanasia aktif
dapat dipidana paling lama 12 (dua belas) tahun penjara. Akan tetapi, dalam
praktiknya tidak mudah menjerat pelaku euthanasia pasif yang banyak terjadi.