Anda di halaman 1dari 26

RESUME CONTOH KASUS HUKUM DAN PERMASALAHAN ETIK

DALAM KEPERAWATAN PERIOPERATIF


(Resume diajukan untuk memenuhi tugas Keperawatan Perioperatif)

Dosen Pembimbing : Kusniawati, S.Kep, Ners, M.Kep

DISUSUN OLEH :

NAMA : Fifi Maghfiroh


NIM : P27904117019

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANTEN
JURUSAN KEPERAWATAN TANGERANG
PROGRAM STUDI D IV KEPERAWATAN
2020
A. Pengertian Kode Etik
Sering kali kita mendengar tentang istilah kode etik, akan tetapi terkadang
masih belum kita ketahui arti kode etik yang sesungguhnya. Kode etik merupakan
suatu sistem norma, nilai serta aturan profesional secara tertulis yang dengan tegas
menyatakan hal baik dan juga benar, serta apa yang tidak benar dan juga tidak baik
bagi profesional. Secara singkat pengertian kode etik adalah suatu pola aturan, tata
cara, tanda, pedoman etis di dalam melakukan suatu kegiatan ataupun suatu
pekerjaan. Kode etik  berhubungan dengan perilaku seseorang.
Pengertian kode etik  lainnya adalah suatu aturan yang tertulis, secara
sistematik dengan sengaja di buat, berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada serta
ketika dibutuhkan bisa di fungsikan sebagai alat yang dapat digunakan menghakimi
berbagai macam dari tindakan yang pada umumnya dinilai menyimpang dari kode
etik yang ada. Dalam pembentukannya, kode etik tentu memiliki tujuan didalamnya
yaitu,
1. Agar profesional dapat memberikan jasa dengan sebaik-baiknya kepada para
pemakai ataupun para nasabahnya.
2. Sebagai pelindung dari perbuatan yang tidak profesional.

Ketaatan dari tenaga profesional terhadap kode etik yang ada merupakan
sebuah ketaatan yang naluriah.
Penyelewengan/penyimpangan terhadap norma yang ditetapkan dan diterima
oleh sekelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada
anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu profesi itu
dimata masyarakat dinamakan pelanggaran terhadap kode etik profesi. Kode etik bagi 
sebuah profesi adalah sumpah jabatan yang juga diucapkan oleh para pejabat Negara.
Kode etik dan sumpah adalah janji yang harus dipegang teguh. Artinya, tidak ada
toleransi terhadap siapa pun yang melanggarnya. Berdasarkan pengertian kode etik,
dibutuhkan sanksi keras terhadap pelanggar sumpah dan kode etik profesi. Bahkan,
apabila memenuhi unsur adanya tindakan pidana atau perdata, selayaknya para
pelanggar sumpah dan kode etik itu harus diseret ke pengadilan.Kita memang harus
memiliki keberanian untuk lebih bersikap tegas terhadap penyalahgunaan profesi .
Kita pun tidak boleh bersikap diskrimatif dan tebang pilih dalam menegakkan
hukum di Indonesia. Kode etik dan sumpah jabatan harus ditegakkan dengan
sungguh-sungguh. Profesi apa pun sesungguhnya tidak memiliki kekebalan di bidang
hukum. Kita harus mengakhiri praktik-praktik curang dan penuh manipulatif dari
sebagian elite masyarakat. Ini penting dilakukan, kalau Indonesia ingin menjadi
sebuah Negara dan Bangsa yang bermartabat. Pelanggaran kode etik profesi
merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh sekelompok profesi yang tidak
mencerminkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya
berbuat dan sekaligus menjamin mutu profesi itu dimata masyarakat.
Kode etik disusun oleh organisasi profesi sehingga masing-masing profesi
memiliki kode etik tersendiri. Misalnya kode etik dokter, guru, pustakawan,
pengacara, Pelanggaran kode etik tidak diadili oleh pengadilan karena melanggar
kode etik tidak selalu berarti melanggar hukum.
Berapa penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa, ada pun yang
menjadi penyebab mengapa terjadi pelanggaran kode etik yaitu;
1. tidak berjalannya kontrol dan pengawasan dari masyarakat
2. organisasi profesi tidak di lengkapi dengan sarana dan mekanisme bagi
masyarakat untuk menyampaikan keluhan
3. rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai substansi kode etik profesi,
karena buruknya pelayanan sosialisasi dari pihak profesi sendiri
4. belum terbentuknya kultur dan kesadaran dari para pengemban profesi untuk
menjaga martabat luhur profesinya tidak adanya kesadaran etis da moralitas
diantara para pengemban profesi untuk menjaga martabat luhur profesinya

B. Aspek legal perioperatif


Perawat sebagai profesi perawat dokterprofesi 1. knowledge 2. berorientasikan
pelayanan 3. autonomi 4. kode etik mitra masing-masing akuntabel atas tindakannya
perawat sebagai profesi harus akuntabel kepada : 1. pasien yg menerima
pelayanannya 2. rs yg memperkerjakannya 3. profesinya 4. pemerintah/lembaga
pemberi lisensi 5. diri sendiri dan anggota tim lainnya
Pengertian Etik atau ‘ethics’ berasal dari bahasa Yunani : ethos = adat,
kebiasaan, perilaku, atau karakter. = Berhubungan dengan pertimbangan pembuat
keputusan, benar tidaknya suatu perbuatan karena tidak ada UU atau peraturan yg
menegaskan hal yg harus dilakukan. Menurut kamus Webster etik = suatu ilmu yang
mempelajari tentang apa yang baik dan buruk secara moral. Etik = ilmu tentang
kesusilaan yang menentukan bagaimana sepatutnya manusia hidup di dalam
masyarakat yang menyangkut aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang menentukan
tingkah laku yang benar, yaitu : Baik dan buruk Kewajiban dan tanggung jawab
Pengertian Keperawatan : pelayanan profesional yang merupakan bagian dari
pelayanan kesehatan, berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan
bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif dan ditujukan kepada individu,
kelompok, dan masyarakat baik sakit sehat maupun sehat.
Kode etik keperawatan Bagian dari etika kesehatan yang menerapkan nilai
etika terhadap bidang pemeliharaan atau pelayanan kesehatan masyarakat. Disusun
dan disahkan oleh organisasi atau wadah yg membina profesi tertentu baik secara
nasional maupun internasional. Kode etik keperawatan di Indonesia telah disusun oleh
DPP PPNI melalui Munas PPNI di Jakarta tanggal 29 Nopember 1989.  Terdiri dari
4 bab dan 16 pasal. Keputusan Munas VI PPNI telah memberlakukan Kode Etik
Keperawatan Indonesia bagi semua warga keperawatan pd tanggal 14 April 2000.
Etika profesi keperawatan dikenal sebagai practice discipline perwujudannya melalui
asuhan/praktek keperawatan.
Kode etik perawat perawat fungsi : pelayanan universal berdasarkan
kebutuhan manusiaperawat akan berbuat : - benar - diperlukan - menguntungkan
manusia tingkah laku ber-beda2 pedoman : -tepat -bermoral kode etik perawat
Tujuan Untuk menciptakan dan mempertahankan kepercayaan klien kepada
perawat, kepercayaan di antara sesama perawat, dan kepercayaan masyarakat kepada
profesi keperawatan. Cakupan Etika Profesi keperawatan mencakup 2 hal penting :
– Kemampuan penampilan kerja
Merupakan respon terhadap tuntutan profesi lain mengharapkan bahwa
sesuatu yang dilakukan oleh tenaga keperawatan memenuhi standar pelayanan yg
ditetapkan oleh keperawatan sendiri. Dinyatakan dengan kata-kata teknis
– Perilaku manusiawi
Merupakan reaksi terhadap tekanan dari luar. Biasanya adalah individu atau
masyarakat yang dilayani. Dinyatakan dalam bentuk kebutuhan yang ada dan nilai
kehidupan manusia yg konkret.
- Prinsip Etika Profesi keperawatan
• Prinsip : menghargai hak dan martabat manusia, tidak akan pernah berubah.
Apabila menghadapi suatu situasi yang melibatkan keputusan yang bersifat
etis dan moralitas, perawat hendaknya bertanya kepada dirinya sendiri : 1.
Bagaimana pengaruh tindakan saya kepada pasien? 2. Bagaimana pengaruh
tindakan saya terhadap atasan dan orang-orang yang ekerja sama dengan
saya? 3. Bagaimana pengaruh tindakan saya terhadap diri saya sendiri? 4.
Bagaimana pengaruh tindakan saya terhadap profesi?
• Fungsi Kode Etik Profesi keperawatan
Fungsi Kode Etik : 1. Menghindari ketegangan antar manusia 2.
Memperbaiki status kehidupan 3. Menopang pertumbuhan dan
perkembangan kehidupan Prinsip moral : Mempunyai peran yang penting
dalam menentukan perilaku etis dan dalam pemecahan masalah etik.
Merupakan standar umum dalam melakukan sesuatu sehingga membentuk
sustu sistem etik. Berfungsi untuk membuat secara spesifik apakah suatu
tindakan dilarang, diperlukan, atau diizinkan dalam suatu keadaan. Tiga
prinsip moral : autonomy, non-maleficience, dan justice.
Otonomi • Berarti kemampuan untuk menentukan sendiri atau mengatur diri
sendiri. • Menghargai otonomi berarti menghargai manusia sebagai seseorang yang
mempunyai harga diri dan martabat yang mampu menentukan sesuatu bagi dirnya. •
Perawat harus menghargai harkat dan martabat manusia sebagai individu yang dapat
memutuskan hal yang terbaik bagi dirinya.
Contoh tindakan yang tidak memperhatikan otonomi : 1. Melakukan sesuatu
bagi klien tanpa mereka diberitahu sebelumnya. 2. Melakukan sesuatu tanpa memberi
nformasi relevan yang penting diketahui klien dalam membuat suatu pilihan 3.
Memberitahukan klien bahwa keadaanya baik, padahal terdapat gangguan atau
penyimpangan. 4. Tidak memberikan informasi yang lengkap walaupun klien
menghendaki informsi tersebut. 5. Memaksa klien memberi informasi tentang hal-hal
yang mereka sudah tidak bersedia menjelaskannya.
Non-maleficience • Berarti tidak melukai atau tidak menimbulkan
bahaya/cedera bagi orang lain. • Johnson (1989)menyatakan bahwa prinsip untuk
tidak melukai orang lain berbeda dan lebih keras daripada prinsip untuk melakukan
yang baik. • Beneficience merupakan prinsip untuk melakukan yang baik dan tidak
merugikan orang lain. • Contoh : kasus transfusi darah.
Justice (Keadilan) • Merupakan prinsip moral untuk semua individu. •
Tindakan yang dilakukan untuk semua orang sama • Tindakan yang sama tidak selalu
identik, tetapi dalam hal ini persamaan berarti mempunyai kontribusi yangrelatif sama
untuk kebaikan kehidupan seseorang. • Prinsip moral ini tidak berdiri sendiri, tetapi
bersifat komplementer sehingga kadang-kadang menimbulkan masalah dalam
berbagai situasi.
Masalah Etik Keperawatan • Lima masalah dasar etika keperawatan : 1.
Kuantitas versus kualitas hidup 2. Kebebasan versus penanganan dan pencegahan
bahaya 3. Berkata secara jujur versus berkata bohong 4. Keinginan terhadap
pengetahuan yang bertentangan dengan falsafah, agama, politik, ekonomi, dan
ideologi 5. Terapi ilmiah konvensional dan versus terapi tidak ilmiah dan coba-coba.
Masalah Etik Keperawatan • Terdapat lima faktor yang pada umumnya harus
dipertimbangkan : 1. Pernyataan dari klien yang pernah diucapkan kepada anggota
keluarga, teman-temannya, dan petugas kesehatan. 2. Agama dan kepercayaan klien
yang dianutnya 3. Pengaruh terhadap anggota keluarga pasien 4. Kemungkinan akibat
sampingan yang tidak dikehendaki. 5. Prognosis dengan atau tanpa pengobatan.
Masalah Etik Keperawatan 1. Kuantitas versus kualitas hidup Contoh : –
Seorang ibu meminta perawat untuk melepas semua slang yang dipasang pada
anaknya yang berusia 14 tahun – Seorang bayi yangdilahirkan dengan penyakit
Sindrom Down dan beberapa cacat bawaan lainnya, untuk menyelamatkan
kehidupannya perlu operasi tetapi keluarga menolak. – Seorang nenek yang menderita
berbagai penyakit kronis menolak makan dan minum serta tidak mau minum obat
dengan alasan suapaya cepat meninggal dunia.
Masalah Etik Keperawatan 2. Kebebasan versus penanganan dan pencehagan
bahaya. Contoh – Seorang nenek berusia lanjut yang menolak untuk memakai tongkat
sewaktu berjalan, ia ingin berjalandengan bebas. – Bapak DS yang selalu menolak
anjuran perawat dan mengatakan semua itu bertentangan dengan keyakinannya.
Masalah Etik Keperawatan 3. Berkata jujur versus bohong Contoh : – Seorang
perawat anestesi yang mendapati teman kerjanya menggunakan narkotika, dalam
posisi ini perawat tersebut berada pada pilihan apakah akan mengatakan terbuka atau
diam karena diancam akan dibuka rahasia yang dimilikinya bial melaporkan hal itu
pada orang lain.
Masalah Etik Keperawatan 4. Keinginan terhadap pengetahuan
yangbertentangan dengan falsafah agama, politik, ekonomi dan ideologi. Contoh : 
Klien yang memilih penghapusan dosa dari pada berobat ke dokter. 5. Terapi ilmiah
konvensional versus terapi tidak ilmiah dan coba-coba. Contoh : Di Iriang Jaya
masyarakat melakukan tindakan untuk mengatasi nyeri dengan daun-daunan yang
safatnya gatal. Mereka percaya bahwa pada daun gatal tersebut terdapat “miang” yang
dapat melekat danmenghilangkan rasa nyeri bila dipukul-pukulkan dibagian tubuh
yang sakit.
Masalah Etika Dalam Praktek keperawatan 1. Berkata jujur 2. AIDS 3.
Fertilisasi in vitro, inseminasi artifisial dan pengontrolan reproduksi. 4. Abortus 5.
Eutanasia 6. Penghentian pemberian makanan, cairan dan pengobatan 7. Transplantasi
organ
Masalah Etika Dalam Praktek keperawatan 1. Masalah perawat dan sejawat 2.
Masalah perawat dan klien 3. Masalah perawat dan profesi kesehatan lain
Upaya Mencegah Konflik 1. Uraian tugas, tanggung jawabnya, dan wewenang
yang jelas 2. Komunikasi vertikal dan horisontal 3. Adanya mekanisme penyampaian
keluhan 4. Keterbukaan 5. Keadilan 6. Pengamatan atau pemantauan gairah kerja 7.
Keikutsertaan semua tim kesehatan dalam mengambil keputusan 8. Bimbingan dan
penyuluhan.

C. Etika Kerja Di Kamar Bedah


a. Pengertian
Etika kerja = nilai-nilai atau norma tentang sikap, perilaku dan budaya yang baik
dan telah disepakati oleh masing-masing kelompok profesi kamar operasi.
b. Tujuan
Agar anggota tim melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya dengan baik
serta penuh kesadaran terhadap pasien/keluarga.
c. Ruang lingkup
1. Persetujuan operasi
2. Tata tertib kamar operasi
3. Pencatatan dan pelaporan
4. Keselamatan dan keamanan kerja
d. Persetujuan operasi
Persetujuan operasi dari pasien atau keluarga merupakan hal yang mutlak
diperlukan sebelum pembedahan untuk menghindarkan tim bedah/rumah sakit
dari tuntutan hukum bila ada hal-hal yang terjadi sehubungan dengan operasi yang
dilakukan serta untuk melindungi pasien dari mal praktek.
1. Setiap tindakan pembedahan kecil, sedang, maupun besar harus ada
persetujuan operasi secara tertulis. Persetujuan operasi ini berdasarkan
ketentuan Permenkes No.585/MEN.KES/PER/1989, Perihal : Persetujuan
Tindakan Medik.
2. Persetujuan operasi diperoleh dari pasien/keluarga yang bersangkutan atau
perwalian yang sah menurut hukum. Izin bedah dapat diperoleh dari pasien
yang bersangkutan, keluarga atau perwalian yg sah menurut hukum.
3. Dalam keadaan emergency pasien tidak sadar, tidak ada keluarga/perwalian
persetujuan operasi dapat diberikan oleh Direktur RS yang
bersangkutan/pejabat yang berwenang.
4. Pasien harus mendapat informasi yang lengkap dan jelas tentang prosedur
tindakan pembedahan yang akan dilakukan serta akibatnya.
5. Persetujaun operasi merupakan dasar pertanggungjawaban yang sah bagi
dokter kepada pasien/keluarga/wali/.
6. Persetujuan operasi harus disimpan dalam berkas dokumen pasien/rekam
medis.

D. Tata Tertib Kamar Operasi


Tata tertib kamar operasi disusun dengan tujuan agar semua petugas dan
anggota tim bedah memahami dan mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku
sehingga program operasi yang direncanakan dapat berjalan dengan lancar. Tata tertib
yang perlu ditaati antara lain :
a. Semua orang yang masuk kamar operasi, tanpa kecuali wajib memakai baju
khusus sesuai dengan ketentuan.
b. Semua petugas memahami tentang adanya ketentuan pembagian area kamar
operasi dengan segala konsekuensinya dan memahami ketentuan tersebut.
c. Setiap petugas harus memahami dan melaksanakan teknik aseptik sesuai dengan
peran dan fungsinya.
d. Semua anggota tim harus melaksanakan jadual harian operasi yang telah
dijadwalkan oleh perawat kepala kamar operasi.
e. Perubahan jadwal operasi harian yang dilakukan atas indikasi kebutuhan dan
kondisi pasien harus ada persetujuan antara ahli bedah dan perawat kepala kamar
operasi
f. Pembatalan jadual harus dijelaskan oleh ahli bedah kepada pasien/keluarganya.
g. Setiap petugas dikamar operasi harus bekerja seusia dengan uraian tugas yang
diberlakukan.
h. Setiap perawat di kamar operasi harus melaksanakan asuhan keperawatan
perioperatif sesuai dengan peran dan fungsinya, agar dapat memberikan asuhan
secara paripurna
i. Setiap petugas melaksanakan pemeliharaan alat-alat dan ruangan kamar operasi
dengan penuh tanggung awab dan disiplin.
j. Semua tindakan yang dilakukan dan peristiwa yang terjadi selama pembedahan
harus dicatat dengan teliti.
k. Anggota tim bedah mempunyai kewajiban untuk menjamin kerahasiaan
informasi/data pasien yang diperoleh pada waktu pembedahan terhadap pihak
yang tidak berkepentingan
l. Khusus pada pasien dengan pembiusan regional (lumbal anestesi) perlu
diperhatikan hal sebagai berikut : Tim bedah harus bicara seperlunya, karena
pasien dapat melihat dan mendengar keadaan sekitarnya.
m. Ahli anestesi harus menjelaskan kepada pasien/ keluarga tentang efek obat bius
yang digunakan dan hal-hal yang harus ditaati.

E. PENCATATAN DAN PELAPORAN


a. Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu aspek dari suatu proses akhir
dalam perioperatif yang mencerminkan pertanggungjawaban dari tim bedah
dalam pelaksanaan pembedahan kepada pasien/masyarakat dan rumah sakit.
b. Adapun pencatatan dan pelaporan tersebut meliputi :
a) Asuhan keperawatan
b) Registrasi pasien kamar bedah
c) Pemakaian obat-obatan, harus ditulis dengan lengkap dan jelas di
formulir yang telah tersedia.
d) Peristiwa/kejadian luar biasa harus segra dilaporkan sesuai dengan
sistem yang berlaku.
e) Catatan kegiatan rutin
f) Catatan pengiriman bahan pemeriksaan laboratoroum harus ditulis
lengkap, jelas dan singkat pada formulir yang telah tersedia.
g) Laporan operasi harus ditulis lengkap, jelas dan singkat oleh ahli
bedah/operator
h) Laporan operasi harus ditulis lengkap, jelas dan singkat oleh dokter
ahli anestesi/perawat anestesi.
F. KESELAMATAN DAN KEAMANAN KERJA
Keselamatan dan keamanan kerja ditujukan kepada pasien, petugas, dan alat, meliputi
hal-hal berikut :
a. Keselamatan dan keamanan pasien. Untuk menjamin keselamatan dan keamanan
pasien semua anggota tim bedah meneliti kembali :
a) Identitas pasien
b) Rencana tindakan
c) Jenis pemberian anestesi yang akan dipakai
d) Faktor-faktor alergi
e) Respon pasien selama perioperatif
f) Menghindari pasien dari bahaya fisik akibat penggunaan alat/kurang teliti.

b. Keselamatan dan keamanan petugas


a) Melakukan pemeriksaan periodik sesuai ketentuan
b) Beban kerja harus sesuai dengan kemampuan dan kondisi kesehatan petugas
c) Perlu adanya keseimbangan antara kesejahteraan , penghargaan dan
pendidikan berkelanjutan
d) Melakukan pembinaan secara terus menerus dalam rangka mempertahankan
hasil kinerja.
e) Membina hubungan kerja sama yang baik inter dan antara profesi, dalam
pencapaian tujuan tindakan pembedahan.

c. Keselamatan dan kemanan alat-alat


a) Menyediakan pedoman/manual dalam bahasa Indonesia tentang cara
penggunaan alat-alat dan menggantungkannya pada alat tersebut
b) Memeriksa secara rutin kondisi alat dan memberi label khusus untuk alat yang
rusak
c) Semua petugas harus memahami penggunaan alat dengan tepat
d) Melaksanakan pelatihan tentang cara penggunaan dan pemeliharaan alat secara
rutin dan berkelanjutan. 5. Memeriksa setiap hari ada tidaknya kebocoran pada
pipa gas medis. Pemeriksaan dilakukan oleh petugas IPSRS
e) Memeriksa alat ventilasi udara agar berfungsi dengan baik
f) Memasang simbol khusus untuk daerah rawan bahaya atau mempunyai resiko
mudah terbakar
g) Menggunakan diatermi tidak boleh bersamaan dengan pemakaian obat bius
ether.
h) Memeriksa alat pemadam kebakaran agar dalam keadaaaan siap pakai.
1. Pemeriksaan secara rutin alat elektro medis yang dilakukan oleh petugas
IPSRS.
2. Program jaminan mutu
3. Melaksanakan evalausi pelayanan dikamar operasi melalui macam-macam
audit.
4. Melakukan surveilans infeksi nosokomial secara periodik dan
berkesinambungan

CONTOH KASUS 1

BINTAN UTARA - Wati (30) warga Tanjunguban, Kecamatan Bintan Utara, mengeluhkan
buruknya pelayanan RSUD Provinsi Kepri Tanjunguban. Pasien mengalami infeksi
pascaoperasi caesar. Perutnya berlubang dan mengeluarkan bau busuk.
Toni, suami Wati mengatakan, tanggal 30 Januari lalu, istrinya melahirkan secara caesar.
Lalu, dirawat inap selama tiga hari. Anehnya, selama tiga hari, pihak rumah sakit sama sekali
tidak memeriksa luka bekas operasi apalagi mengganti perbannya.
"Tidak diganti perban atau apapun, lalu tanggal 1 Februari kami dibolehkan pulang ke rumah
dan diminta kembali ke rumah sakit untuk kontrol pascaoperasi pada tanggal 8 Februari,"
kata Toni, di Tanjunguban, Bintan Utara, Senin (12/1/2018).
Namun, sebelum tanggal 8 Februari, istrinya mengeluh sakit di bagian perut. Saat dilihat,
ternyata di dinding perut istrinya sudah basah dan menimbulkan bau bahkan berlubang. Saat
itu, ia kemudian membawa istrinya ke Puskesmas Mentigi Tanjunguban.
"Karena operasinya di rumah sakit, jadi kami oleh pihak Puskesmas dianjurkan ke rumah
sakit," katanya.
Saat itu, ia kembali membawa istrinya ke RSUD Kepri Tanjunguban. Setiba di rumah sakit,
pihak rumah sakit memberikan obat antibiotik. Malah, pihak rumah sakit menawarkan
kembali agar istrinya dirawat inap sehingga hari berikutnya bisa ditangani.
"Saya sudah kecewa sekali dengan pelayanan rumah sakit. Jadi saya tak mau istri saya
dirawat di rumah sakit itu (RSUD Provinsi Kepri Tanjunguban) lagi. Saya memilih lukanya
dibersihkan saja di Puskesmas, malah saya disuruh membawanya ke rumah sakit di
Tanjungpinang," kesalnya.
Selain hal itu, ia mengeluhkan, banyaknya nyamuk di rumah sakit pelat merah tersebut.
Setelah sang buah hatinya lahir, ia mengeluhkan ke perawat banyak nyamuk di ruangan bayi.
Tapi, perawat yang berjaga saat itu justru memberikan obat pengusir nyamuk.
"Saya mau dikasih baygon untuk mengusir nyamuk. Coba bayangkan, di situ ada bayi malah
mau disemprotkan baygon," katanya kesal.
Terkait keluhan pasien bernama Wati atas buruknya pelayanan RSUD Provinsi Kepri
Tanjunguban ini, Humas rumah sakit tersebut bernama Ranti dikonfirmasi belum
memberikan jawaban. Begitu juga Direkturnya bernama dr Kurniakin, juga belum
memberikan jawaban.

ANALISA KASUS 1

Kasus diatas dapat dikategorikan sebagai kasus malpraktik keperawatan


dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. Malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional yang bertentangan
dengan standard operating procedure (SOP), kode etik, dan undang-undang yang
berlaku, baik disengaja maupun akibat kelalaian yang mengakibatkan kerugian atau
kematian pada orang lain (Sabungan Sibarani). Berkenaan dengan poin ini adalah
kondisi dimana pasien tidak mengalami pembersihan dan pergantian pembalut luka
standar pasca operasi.
2. Kelalaian atau ketidak hati-hatian dalam berbuat atau bertindak, yang diakomodir
pada Pasal 1366 dan Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata. Dalam kasus ini adalah
keadaan lalai mengganti pembalut luka pasien yang seharusnya teridentifikasi saat
melakukan kontrol ke ruangan pasca operasi yang ditempati pasien .
3. Pasal 1239 KUH Perdata mengenai wanprestasi (cidera janji) , dimana terungkap
melalui kondisi memburuknya pasien karna luka pasca operasinya tidak mengering
serta menimbulkan rasa sakit
4. Bentuk perlindungan hukum terhadap korban malpraktik diatur dalam Undang-
Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu berupa
pengaturan pertanggungjawaban untuk memberikan ganti rugi kepada korban
malpraktik selaku konsumen, sebagai akibat adanya kesalahan atau kelalaian dalam
pelayanan kesehatannya atau malpraktik yang dilakukan oleh pelaku usaha serta
pengaturan pemberlakuan ketentuan hukum pidana yang disertai dengan pidana
tambahan.
a. Pasal 19 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen yang selengkapnya dinyatakan
bahwa “Pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.”
b. Ganti kerugian yang dapat dimintakan oleh korban malpraktik menurut Pasal
19 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen dapat berupa pengembalian uang
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Karena korban harus menjalani perawatan lanjutan akibat rasa nyeri dan luka
basah yang diterimanya, sehingga berdasarkan pasal-pasal diatas maka pihak
rumah sakit perlu melakukan penanggungan biaya atas perawatan lanjutan
yang harus dijalani korban akibat kelalaian yang terjadi.
5. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia No.4 Tahun 2018
dapat menjadi salah satu rujukan tentang kondisi Malpraktik yang disebutkan diatas,
karna didalam Permenkes ini terdapat 2pemaparan tentang Kewajiban Rumah Sakit
dan Kewajiban Pasien

KESIMPULAN KASUS 1

1. Untuk dapat menilai dan membuktikan suatu perbuatan (tindakan medis) termasuk
kategori malpraktik atau tidak, Menurut Hubert W. Smith sebuah tindakan
malpraktik meliputi 4D, yaitu:
a. Adanya kewajiban (duty), dalam unsur ini tidak ada kelalaian jika tidak
terdapat kewajiban, oleh karena itu unsur yang pertama ini menyatakan
harus ada hubungan hukum antara pasien dengan dokter/rumah sakit.
b. Adanya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas (dereliction), yaitu dokter
dalam melakukan kewajiban terhadap pasien melakukan tindakan
penyimpangan dari standar profesi tersebut.
c. Penyimpangan akan mengakibatkan kerusakan (direct caution), dalam
unsur ini terdapat hubungan kausal yang jelas antara tindakan medik yang
dilakukan dokter dengan kerugian yang dialami pasien.
d. Sang dokter akan menyebabkan kerusakan (damage), yaitu bahwa
tindakan medik yang dilakukan dokter merupakan penyebab langsung
timbulnya kerugian terhadap pasien.
2. Hendaknya Masyarakat mempelajari dan memahami Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) Republik Indonesia No.4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit
dan Kewajiban Pasien. Dimana didalamnya terdapat aturan-aturan preventif yang
dapat menjaga kemungkinan terjadinya malpraktik.
3. Berkenaan dengan profesi akupunkturis, pemerintah telah mengeluaran panduan
dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.34 Tahun 2018. Peraturan ini memandu
Akupuknturis untuk melakukan praktek pengobatan yang sesuai dengan standar
sehingga memberikan hasil yang positif .

CONTOH KASUS 2

Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana


layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anastesi terlebih dahulu. Pembiusan dilakukan
oleh dokter anastesi, sedangkan operasi dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (orthopedy).
Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas. Bahkan
setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan hingga tak
sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di ruang perawatan intensif dengan
bantuan mesin pernapasan (ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan. Pasalnya,
sebelum dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnnya.

Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas
anastesi (N2O) yang dipasng pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan
gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu
mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasi menjadi
sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal.

Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat fatal. Dengan kata lain ada
sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi. Dan ternyata, di rumah sakit tersebut
tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian gas yang dipasang di mesin anastesi.
Padahal seeharusnya ada standar, siapa yang harus memasang, bagaimana caranya,
bagaimana monitoringnnya, dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah menjadi keharusan
bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis (misalnya warna tabung gas yang berbeda),
jelas, dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan
ditandatangani. Seandainya prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan
terjadi kekeliruan. Dan kalaupun terjadi akan cepat diketahui siapa yang bertanggungjawab.

ANALISIS MASALAH KASUS 2

1. Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum

Sanksi hukum Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter terbukti dilakukan dengan
unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa) seperti dalam kasus malpraktek
dalam bidang orthopedy yang kami ambil, maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter
yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun
kelalaian telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang.
Perbuatan tersebut telah nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu profesi
yang mulia.

Pekerjaan profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus sangat berhati-
hati untuk mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan tugas-tugasnya karena
sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya ditujukan
terhadap tindakan kesengajaan (dolus) saja. Tetapi juga akibat kelalaian (culpa) dalam
menggunakan keahlian, sehingga mengakibatkan kerugian, mencelakakan, atau bahkan
hilangnya nyawa orang lain. Selanjutnya, jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan
tindakan medik yang tidak memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang
No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan
malpraktik dengan sanksi pidana.

Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan


celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan,
“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.

Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang


dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang
lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun. (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang
lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi
tiga ratus rupiah.

Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti
melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), “Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu
jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat
memerintahkan supaya putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter tersebut
terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau
hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin
praktik) dapat dilakukan.

Berdasarkan Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindakan


malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap
dokter yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban,
sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian
yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian
(culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja
untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
kelalaian atau kurang hati-hatinya.”

2. Kepastian hukum

Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas dapat
dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan. Tetapi, juga para
dokter akan dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena telah melakukan malpraktik
dan bahkan juga tidak tertutup kemungkinan hilangnya profesi pencaharian akibat dicabutnya
izin praktik. Dalam situasi seperti ini azas kepastian hukum sangatlah penting untuk
dikedepankan dalam kasus malpraktik demi terciptanya supremasi hukum.
Apalagi, azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga negara untuk diperlakukan sama
di depan hukum (equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah (presumptions of
innocence) sehingga jaminan kepastian hukum dapat terlaksana dengan baik dengan tanpa
memihak-mihak siapa pun. Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang dapat dikategorikan
seorang dokter telah melakukan malpraktik, apabila (1) Bahwa dalam melaksanakan
kewajiban tersebut, dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai. (2)
Pelanggaran terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran
terhadap Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). (3) Melanggar UU No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan.

3. Ditinjau dari Sudut Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI)

Jika dilihat dari sudut pandang masing-masing ruang lingkup yang berbeda istilah etika
dapat diartikan dalam banyak pengertian.

Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas, sedangkan
moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sitem tentang motifasi,
perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno
menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab
pertanyaan yang amat fundamental: “bagaimana saya harus hidup dan bertindak?”. Bagi
seorang sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan
budaya tertentu. Bagi praktisi professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya,
etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan profesi dan masyarakat, serta
bertindak dengan cara-cara yang professional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga
terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil,
professional dan terhormat.

Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai denga standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seeorang
dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya seebagai seorang proesional harus sesuai
dengan ilmu kedokteran mutakhir, hokum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan
bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”.
Artinya dalam setiap tindakannya, dokter harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan
kebahagiaan manusia.
Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI) sangatlah perlu
ditingkatkan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering
terjadi yang dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat,
pengacara, notaris, atau akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang
berwenang untuk memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis
Kode Etik, dalam hal ini Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti
melanggar kode etik maka dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana
yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Karena itu seperti kasus yang
ditampilkan maka juga harus dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam kode etik.
Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga dapat
dikategorikan malpraktik, maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang
untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut.

Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum


hanyalah lembaga yudikatif, dalam hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata terbukti
melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan
pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata.

Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena
maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta
bagi masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan
pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi
menghindar dari tanggung jawab hokum profesinya.

4. Ditinjau dari Sudut Pandang Agama

Adapun agama–agama memandang malpraktek, khususnya yang menyebabkan


kematian atau bisa menyebabkan hilangnya nyawa pasien. Di antaranya dapat dilihat
bagaimana secara garis besar agama Islam dan Khatolik memandang malpraktek.

a. Menurut pandangan Islam

Dikatakan bahwa jatah hidup itu merupakan ketentuan yang menjadi hak prerogatif
Tuhan, biasanya disebut juga haqqullâh (hak Tuhan), bukan hak manusia (haqqul
âdam). Artinya, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa saya menguasai
diri saya sendiri, tapi saya sebenarnya bukan pemilik penuh atas diri saya sendiri.
Untuk itu, saya harus juga tunduk pada aturan-aturan tertentu yang kita imani
sebagai aturan Tuhan. Atau, meskipun saya memiliki diri saya sendiri, tetapi saya
tetap tidak boleh membunuh diri saya. Dari sini dapat kita katakan bahwa sebagai
individu saja kita tidak berhak atas diri atau kehidupan yang kita miliki, apalagi
kehidupan orang lain. Karena itu maka setiap tindakan yang ada akhirnya
menghilangkan hidup atau nyawa seseorang bisa dianggap sebagai satu tindakan
yang melanggar hak prerogatif Tuhan. Dengan demikian segala macam tindakan
malpraktek adalah suatu pelanggaran.

b. Menurut pandangan Katolik

c. Secara garis besar yang menjadi titik tolak pandangan katolik tentang malpraktek
adalah mengenai hak hidup seseorang. Yang menjadi pertanyaan utama disini adalah
sejak kapan satu individu atau bakal individu sudah bisa disebut sebagai individu
atau pribadi yang sudah memiliki hak untuk hidup?.

Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah setelah si janin terbentuk dia harus
dianggap sebagai pribadi (a person) atau sebagai manusia (a human person). Satu hal
yang perlu diketengahkan adalah apakah si janin telah memiliki roh atau jiwa (soul)
atau tidak?.

Agama katolik berpendapat ya, si janin sejak fertilisasi sudah memiliki jiwa. Pada
waktu dilahirkan janin telah menjadi seorang manusia yang telah berhak akan
kewajiban moral terhadapnya. Dari uraian singkat diatas kita dapat katakan bahwa,
sejak si janin sudah terbentuk, kita sebenarnya sudah tidak punya hak untuk
memusnahkannya dan harus membiarkan atau memeliharanya sampai ia tumbuh
besar. Terkait dengan kasus yang kami ambil dimana karena suatu kalalaian
mengakibatkan satu nyawa menghilang, dapat kita katakan sebagai suatu
perampasan hak untuk hidup karena sejak ia masih sebagai janin saja kita sudah
tidak punya hak untuk membunuhnya apalagi ia sudah tumbuh besar. Karena itu
maka setiap kelalaiaan yang mengakibatkan menghilangnya nyawa seseorang harus
bisa ditindaklanjuti baik secara agama ataupun hukum.
Pasal-pasal lain yang terkait dengan kasus tersebut:

1. Berdasarkan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit


- Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

 Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan


kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat
jalan, dan gawat darurat.
 Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera
guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut.
 Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
 Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak
langsung di Rumah Sakit.
- Pasal 2

Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai


kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti
diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi
sosial.

- Pasal 3

Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:

 mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan;


 memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah
sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit;
 meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan
 memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah
sakit, dan Rumah Sakit.

- Pasal 4
Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna.

- Pasal 5

Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Rumah Sakit mempunyai
fungsi:

 penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan


standar pelayanan rumah sakit;
 pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang
paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;
 penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan
 penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang
kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika
ilmu pengetahuan bidang kesehatan;
 meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan
 memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah
sakit, dan Rumah Sakit.
- Pasal 12

 Persyaratan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yaitu
Rumah Sakit harus memiliki tenaga tetap yang meliputi tenaga medis dan penunjang
medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga manajemen Rumah Sakit, dan
tenaga nonkesehatan.
 Jumlah dan jenis sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai
dengan jenis dan klasifikasi Rumah Sakit.
 Rumah Sakit harus memiliki data ketenagaan yang melakukan praktik atau pekerjaan
dalam penyelenggaraan Rumah Sakit.
 Rumah Sakit dapat mempekerjakan tenaga tidak tetap dan konsultan sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. 

- Pasal 13
 Tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran di Rumah Sakit wajib memiliki
Surat Izin Praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
 Tenaga kesehatan tertentu yang bekerja di Rumah Sakit wajib memiliki izin sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan
standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang
berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.
 Ketentuan mengenai tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagaimana `dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. 

- Pasal 32

Setiap pasien mempunyai hak:

 memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;


 memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional;
 memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian
fisik dan materi;
 mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
 memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang
berlaku di Rumah Sakit;
 meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang
mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;
 mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan
tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;
 memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga
kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
 menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan
pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana;

- Pasal 37
 Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus mendapat persetujuan
pasien atau keluarganya.
 Ketentuan mengenai persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Pasal 46

Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan
atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.

2. UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999


- Pasal 4

“Konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa. Konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya“

- Pasal 7

“Pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan“

- Pasal 62

 “Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku”
 Pada pasal 7 yaitu pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan,
 pada kasus ini pelaku usaha yaitu tenaga kesehatan, tetapi tenaga kesehatan tidak
memberikan informasi yang jelas kepada keluarga pasien tentang keadaan pasien
setelah operasi dan tindakan apa saja yang telah dilakukan pada waktu operasi.
 Selain itu, sesuai dengan pasal 62, yaitu terhadap pelanggaran yang mengakibatkan
luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang
berlaku.
SOLUSI KASUS 2

Dengan melihat faktor-faktor penyebab dan juga segala macam sanksi hokum serta
segala macam pelanggaran kode etik atas kasus yang kami ambil dalam hal ini kesalahan
pemberian atau pemasangan gas setelah operasi pembedahan tulang di atas maka pencegahan
terjadinya malpraktek harus dilakukan dengan melakukan perbaikan sistem, mulai dari
pendidikan hingga ke tata-laksana praktek kedokteran.

Pendidikan etik kedokteran dianjurkan dimulai lebih dini sejak tahun pertama
pendidikan kedokteran, dengan lebih ke arah pembuatan keputusan etik, memberikan banyak
latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu
(clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan
dari pembuatan keputusan medis sehari-hari dan juga perlu terus ada pelatihan dan
pengenalan akan segala macam alat ataupun obat yang harus dipakai dalam pelaksanaan
profesi kedokteran ataupun semua tenaga pelayanan kesehatan agar kesalahan dalam
diagnosis atau kesalahan dalam pemberian obat dapat diminimalisir . Tentu saja kita pahami
bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila
teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam
pendidikan.

Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan


memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter.
Diyakini bahwa hal ini adalah bagian tersulit dari upaya sistemik pencegahan malpraktek,
oleh karena diperlukan kemauan politis yang besar dan serempak dari masyarakat profesi
kedokteran untuk mau bergerak ke arah tersebut. Perubahan besar harus dilakukan.
Undang-undang Praktik Kedokteran diharapkan menjadi wahana yang dapat membawa kita
ke arah tersebut, sepanjang penerapannya dilakukan dengan benar. Standar pendidikan
ditetapkan guna mencapai standar kompetensi, kemudian dilakukan registrasi secara nasional
dan pemberian lisensi bagi mereka yang akan berpraktek. Konsil harus berani dan tegas
dalam melaksanakan peraturan, sehingga akuntabilitas progesi kedokteran benar-benar dapat
ditegakkan. Standar perilaku harus ditetapkan sebagai suatu aturan yang lebih konkrit dan
dapat ditegakkan daripada sekedar kode etik. Demikian pula standar pelayanan harus
diterbitkan untuk mengatur hal-hal pokok dalam praktek, sedangkan ketentuan rinci agar
diatur dalam pedoman-pedoman. Keseluruhannya akan memberikan rambu-rambu bagi
praktek kedokteran, menjadi aturan disiplin profesi kedokteran, yang harus diterapkan,
dipantau dan ditegakkan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Profesional yang “kotor” dibersihkan dan mereka yang “busuk” dibuang dari masyarakat
profesi.

Ketentuan yang mendukung good clinical governance harus dibuat dan ditegakkan.
Dalam hal ini peran rmah sakit sangat diperlukan. Rumah sakit harus mampu mencegah
praktek kedokteran tanpa kewenangan atau di luar kewenangan, mampu “memaksa” para
profesional bekerja sesuai dengan standar profesinya, serta mampu memberikan “suasana”
dan budaya yang kondusif bagi suburnya praktek kedokteran yang berdasarkan bukti hokum
dank ode etik yang berlaku.

KESIMPULAN KASUS 2

Malpraktek dalam bidang orthopedy adalah suatu tindakan kelalaian yang dilakukan
oleh dokter atau petugas pelayanan kesehatan yang bertugas melakukan segala macam
tindakan pembedahan khususnya pembedahan pada tulang. Dimana dalam kasus ini si pasien
yang pada awalnya hanya mengalami masalah pada tulangnya pada akhirnya harus
menghembuskan nafasnya untuk terakhir kalinya hanya karena kesalahan pemberian gas
setelah operasi.

Kelalaian fatal ini bisa dikatakan terjadi karena kurangnya ketelitian dari dokter
ataupun petugas kesehatan lainnya dalam pemberian pelayanan kesehatan terhadap pasien.
Kelalaian ini juga bisa disebabkan karena manejemen rumah sakit yang kurang tertata baik,
pendidikan yang dimiliki petugas yang mungkin masih minim serta banyak lagi faktor yang
lainnya. Karena tindakan tersebut tidak hanya melangar hukum, kode etik kedokteran dan
juga standar berperilaku dalam suatu agama tetapi bahkan sampai menghilangkan nyawa
seseorang maka perlu ada jalan keluarnya yakni dengan cara; pembenahan majemen rumah
sakit, meningkatkan ketelitian dalam menjalankan profesi kedokteran serta memperdalam
segala macam pengetahuan tentang berbagai macam tindakan pelayanan kesehatan.

SARAN KASUS 2

Bagi semua oranng yang bertugas sebagai pelayan kesehatan dan juga bagi penulis
serta siapa saja yang nantinya akan menjadi seorang pelayan yang bergerak di bidang
kesehatan, hendaknya bisa menggunakan waktu yang masih ada semaksimal mungkin untuk
mempelajari semua hal yang berkaitan dangan tugas kita nantinya, agar segala macam
tindakan pelanggaran ataupun kelalaian dapat diminimalisir atau kalau bisa dihilangkan.

DAFTAR PUSTAKA

https://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:jBX3UfEz_t0J:https://www.slideshare.net/fredyakbark/aspek-legal-
perioperatif+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id

https://www.academia.edu/41217977/KASUS_MALPRAKTIK_KEPERAWATAN_TUGAS
_MATA_KULIAH_ETIKA_PROFESI

https://www.academia.edu/7339077/KASUS_MALPRAKTEK_PADA_KAMAR_OPERASI
_Makalah_Undang-Undang_Dan_Hukum_Etik_Kedokteran_Pembimbing

Anda mungkin juga menyukai