DISUSUN OLEH :
Ketaatan dari tenaga profesional terhadap kode etik yang ada merupakan
sebuah ketaatan yang naluriah.
Penyelewengan/penyimpangan terhadap norma yang ditetapkan dan diterima
oleh sekelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada
anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu profesi itu
dimata masyarakat dinamakan pelanggaran terhadap kode etik profesi. Kode etik bagi
sebuah profesi adalah sumpah jabatan yang juga diucapkan oleh para pejabat Negara.
Kode etik dan sumpah adalah janji yang harus dipegang teguh. Artinya, tidak ada
toleransi terhadap siapa pun yang melanggarnya. Berdasarkan pengertian kode etik,
dibutuhkan sanksi keras terhadap pelanggar sumpah dan kode etik profesi. Bahkan,
apabila memenuhi unsur adanya tindakan pidana atau perdata, selayaknya para
pelanggar sumpah dan kode etik itu harus diseret ke pengadilan.Kita memang harus
memiliki keberanian untuk lebih bersikap tegas terhadap penyalahgunaan profesi .
Kita pun tidak boleh bersikap diskrimatif dan tebang pilih dalam menegakkan
hukum di Indonesia. Kode etik dan sumpah jabatan harus ditegakkan dengan
sungguh-sungguh. Profesi apa pun sesungguhnya tidak memiliki kekebalan di bidang
hukum. Kita harus mengakhiri praktik-praktik curang dan penuh manipulatif dari
sebagian elite masyarakat. Ini penting dilakukan, kalau Indonesia ingin menjadi
sebuah Negara dan Bangsa yang bermartabat. Pelanggaran kode etik profesi
merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh sekelompok profesi yang tidak
mencerminkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya
berbuat dan sekaligus menjamin mutu profesi itu dimata masyarakat.
Kode etik disusun oleh organisasi profesi sehingga masing-masing profesi
memiliki kode etik tersendiri. Misalnya kode etik dokter, guru, pustakawan,
pengacara, Pelanggaran kode etik tidak diadili oleh pengadilan karena melanggar
kode etik tidak selalu berarti melanggar hukum.
Berapa penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa, ada pun yang
menjadi penyebab mengapa terjadi pelanggaran kode etik yaitu;
1. tidak berjalannya kontrol dan pengawasan dari masyarakat
2. organisasi profesi tidak di lengkapi dengan sarana dan mekanisme bagi
masyarakat untuk menyampaikan keluhan
3. rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai substansi kode etik profesi,
karena buruknya pelayanan sosialisasi dari pihak profesi sendiri
4. belum terbentuknya kultur dan kesadaran dari para pengemban profesi untuk
menjaga martabat luhur profesinya tidak adanya kesadaran etis da moralitas
diantara para pengemban profesi untuk menjaga martabat luhur profesinya
CONTOH KASUS 1
BINTAN UTARA - Wati (30) warga Tanjunguban, Kecamatan Bintan Utara, mengeluhkan
buruknya pelayanan RSUD Provinsi Kepri Tanjunguban. Pasien mengalami infeksi
pascaoperasi caesar. Perutnya berlubang dan mengeluarkan bau busuk.
Toni, suami Wati mengatakan, tanggal 30 Januari lalu, istrinya melahirkan secara caesar.
Lalu, dirawat inap selama tiga hari. Anehnya, selama tiga hari, pihak rumah sakit sama sekali
tidak memeriksa luka bekas operasi apalagi mengganti perbannya.
"Tidak diganti perban atau apapun, lalu tanggal 1 Februari kami dibolehkan pulang ke rumah
dan diminta kembali ke rumah sakit untuk kontrol pascaoperasi pada tanggal 8 Februari,"
kata Toni, di Tanjunguban, Bintan Utara, Senin (12/1/2018).
Namun, sebelum tanggal 8 Februari, istrinya mengeluh sakit di bagian perut. Saat dilihat,
ternyata di dinding perut istrinya sudah basah dan menimbulkan bau bahkan berlubang. Saat
itu, ia kemudian membawa istrinya ke Puskesmas Mentigi Tanjunguban.
"Karena operasinya di rumah sakit, jadi kami oleh pihak Puskesmas dianjurkan ke rumah
sakit," katanya.
Saat itu, ia kembali membawa istrinya ke RSUD Kepri Tanjunguban. Setiba di rumah sakit,
pihak rumah sakit memberikan obat antibiotik. Malah, pihak rumah sakit menawarkan
kembali agar istrinya dirawat inap sehingga hari berikutnya bisa ditangani.
"Saya sudah kecewa sekali dengan pelayanan rumah sakit. Jadi saya tak mau istri saya
dirawat di rumah sakit itu (RSUD Provinsi Kepri Tanjunguban) lagi. Saya memilih lukanya
dibersihkan saja di Puskesmas, malah saya disuruh membawanya ke rumah sakit di
Tanjungpinang," kesalnya.
Selain hal itu, ia mengeluhkan, banyaknya nyamuk di rumah sakit pelat merah tersebut.
Setelah sang buah hatinya lahir, ia mengeluhkan ke perawat banyak nyamuk di ruangan bayi.
Tapi, perawat yang berjaga saat itu justru memberikan obat pengusir nyamuk.
"Saya mau dikasih baygon untuk mengusir nyamuk. Coba bayangkan, di situ ada bayi malah
mau disemprotkan baygon," katanya kesal.
Terkait keluhan pasien bernama Wati atas buruknya pelayanan RSUD Provinsi Kepri
Tanjunguban ini, Humas rumah sakit tersebut bernama Ranti dikonfirmasi belum
memberikan jawaban. Begitu juga Direkturnya bernama dr Kurniakin, juga belum
memberikan jawaban.
ANALISA KASUS 1
KESIMPULAN KASUS 1
1. Untuk dapat menilai dan membuktikan suatu perbuatan (tindakan medis) termasuk
kategori malpraktik atau tidak, Menurut Hubert W. Smith sebuah tindakan
malpraktik meliputi 4D, yaitu:
a. Adanya kewajiban (duty), dalam unsur ini tidak ada kelalaian jika tidak
terdapat kewajiban, oleh karena itu unsur yang pertama ini menyatakan
harus ada hubungan hukum antara pasien dengan dokter/rumah sakit.
b. Adanya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas (dereliction), yaitu dokter
dalam melakukan kewajiban terhadap pasien melakukan tindakan
penyimpangan dari standar profesi tersebut.
c. Penyimpangan akan mengakibatkan kerusakan (direct caution), dalam
unsur ini terdapat hubungan kausal yang jelas antara tindakan medik yang
dilakukan dokter dengan kerugian yang dialami pasien.
d. Sang dokter akan menyebabkan kerusakan (damage), yaitu bahwa
tindakan medik yang dilakukan dokter merupakan penyebab langsung
timbulnya kerugian terhadap pasien.
2. Hendaknya Masyarakat mempelajari dan memahami Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) Republik Indonesia No.4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit
dan Kewajiban Pasien. Dimana didalamnya terdapat aturan-aturan preventif yang
dapat menjaga kemungkinan terjadinya malpraktik.
3. Berkenaan dengan profesi akupunkturis, pemerintah telah mengeluaran panduan
dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.34 Tahun 2018. Peraturan ini memandu
Akupuknturis untuk melakukan praktek pengobatan yang sesuai dengan standar
sehingga memberikan hasil yang positif .
CONTOH KASUS 2
Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas
anastesi (N2O) yang dipasng pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan
gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu
mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasi menjadi
sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal.
Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat fatal. Dengan kata lain ada
sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi. Dan ternyata, di rumah sakit tersebut
tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian gas yang dipasang di mesin anastesi.
Padahal seeharusnya ada standar, siapa yang harus memasang, bagaimana caranya,
bagaimana monitoringnnya, dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah menjadi keharusan
bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis (misalnya warna tabung gas yang berbeda),
jelas, dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan
ditandatangani. Seandainya prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan
terjadi kekeliruan. Dan kalaupun terjadi akan cepat diketahui siapa yang bertanggungjawab.
Sanksi hukum Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter terbukti dilakukan dengan
unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa) seperti dalam kasus malpraktek
dalam bidang orthopedy yang kami ambil, maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter
yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun
kelalaian telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang.
Perbuatan tersebut telah nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu profesi
yang mulia.
Pekerjaan profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus sangat berhati-
hati untuk mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan tugas-tugasnya karena
sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya ditujukan
terhadap tindakan kesengajaan (dolus) saja. Tetapi juga akibat kelalaian (culpa) dalam
menggunakan keahlian, sehingga mengakibatkan kerugian, mencelakakan, atau bahkan
hilangnya nyawa orang lain. Selanjutnya, jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan
tindakan medik yang tidak memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang
No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan
malpraktik dengan sanksi pidana.
Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti
melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), “Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu
jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat
memerintahkan supaya putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter tersebut
terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau
hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin
praktik) dapat dilakukan.
2. Kepastian hukum
Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas dapat
dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan. Tetapi, juga para
dokter akan dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena telah melakukan malpraktik
dan bahkan juga tidak tertutup kemungkinan hilangnya profesi pencaharian akibat dicabutnya
izin praktik. Dalam situasi seperti ini azas kepastian hukum sangatlah penting untuk
dikedepankan dalam kasus malpraktik demi terciptanya supremasi hukum.
Apalagi, azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga negara untuk diperlakukan sama
di depan hukum (equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah (presumptions of
innocence) sehingga jaminan kepastian hukum dapat terlaksana dengan baik dengan tanpa
memihak-mihak siapa pun. Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang dapat dikategorikan
seorang dokter telah melakukan malpraktik, apabila (1) Bahwa dalam melaksanakan
kewajiban tersebut, dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai. (2)
Pelanggaran terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran
terhadap Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). (3) Melanggar UU No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan.
3. Ditinjau dari Sudut Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI)
Jika dilihat dari sudut pandang masing-masing ruang lingkup yang berbeda istilah etika
dapat diartikan dalam banyak pengertian.
Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas, sedangkan
moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sitem tentang motifasi,
perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno
menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab
pertanyaan yang amat fundamental: “bagaimana saya harus hidup dan bertindak?”. Bagi
seorang sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan
budaya tertentu. Bagi praktisi professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya,
etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan profesi dan masyarakat, serta
bertindak dengan cara-cara yang professional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga
terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil,
professional dan terhormat.
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai denga standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seeorang
dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya seebagai seorang proesional harus sesuai
dengan ilmu kedokteran mutakhir, hokum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan
bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”.
Artinya dalam setiap tindakannya, dokter harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan
kebahagiaan manusia.
Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI) sangatlah perlu
ditingkatkan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering
terjadi yang dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat,
pengacara, notaris, atau akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang
berwenang untuk memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis
Kode Etik, dalam hal ini Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti
melanggar kode etik maka dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana
yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Karena itu seperti kasus yang
ditampilkan maka juga harus dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam kode etik.
Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga dapat
dikategorikan malpraktik, maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang
untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut.
Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena
maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta
bagi masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan
pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi
menghindar dari tanggung jawab hokum profesinya.
Dikatakan bahwa jatah hidup itu merupakan ketentuan yang menjadi hak prerogatif
Tuhan, biasanya disebut juga haqqullâh (hak Tuhan), bukan hak manusia (haqqul
âdam). Artinya, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa saya menguasai
diri saya sendiri, tapi saya sebenarnya bukan pemilik penuh atas diri saya sendiri.
Untuk itu, saya harus juga tunduk pada aturan-aturan tertentu yang kita imani
sebagai aturan Tuhan. Atau, meskipun saya memiliki diri saya sendiri, tetapi saya
tetap tidak boleh membunuh diri saya. Dari sini dapat kita katakan bahwa sebagai
individu saja kita tidak berhak atas diri atau kehidupan yang kita miliki, apalagi
kehidupan orang lain. Karena itu maka setiap tindakan yang ada akhirnya
menghilangkan hidup atau nyawa seseorang bisa dianggap sebagai satu tindakan
yang melanggar hak prerogatif Tuhan. Dengan demikian segala macam tindakan
malpraktek adalah suatu pelanggaran.
c. Secara garis besar yang menjadi titik tolak pandangan katolik tentang malpraktek
adalah mengenai hak hidup seseorang. Yang menjadi pertanyaan utama disini adalah
sejak kapan satu individu atau bakal individu sudah bisa disebut sebagai individu
atau pribadi yang sudah memiliki hak untuk hidup?.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah setelah si janin terbentuk dia harus
dianggap sebagai pribadi (a person) atau sebagai manusia (a human person). Satu hal
yang perlu diketengahkan adalah apakah si janin telah memiliki roh atau jiwa (soul)
atau tidak?.
Agama katolik berpendapat ya, si janin sejak fertilisasi sudah memiliki jiwa. Pada
waktu dilahirkan janin telah menjadi seorang manusia yang telah berhak akan
kewajiban moral terhadapnya. Dari uraian singkat diatas kita dapat katakan bahwa,
sejak si janin sudah terbentuk, kita sebenarnya sudah tidak punya hak untuk
memusnahkannya dan harus membiarkan atau memeliharanya sampai ia tumbuh
besar. Terkait dengan kasus yang kami ambil dimana karena suatu kalalaian
mengakibatkan satu nyawa menghilang, dapat kita katakan sebagai suatu
perampasan hak untuk hidup karena sejak ia masih sebagai janin saja kita sudah
tidak punya hak untuk membunuhnya apalagi ia sudah tumbuh besar. Karena itu
maka setiap kelalaiaan yang mengakibatkan menghilangnya nyawa seseorang harus
bisa ditindaklanjuti baik secara agama ataupun hukum.
Pasal-pasal lain yang terkait dengan kasus tersebut:
- Pasal 3
- Pasal 4
Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna.
- Pasal 5
Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Rumah Sakit mempunyai
fungsi:
Persyaratan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yaitu
Rumah Sakit harus memiliki tenaga tetap yang meliputi tenaga medis dan penunjang
medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga manajemen Rumah Sakit, dan
tenaga nonkesehatan.
Jumlah dan jenis sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai
dengan jenis dan klasifikasi Rumah Sakit.
Rumah Sakit harus memiliki data ketenagaan yang melakukan praktik atau pekerjaan
dalam penyelenggaraan Rumah Sakit.
Rumah Sakit dapat mempekerjakan tenaga tidak tetap dan konsultan sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.
- Pasal 13
Tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran di Rumah Sakit wajib memiliki
Surat Izin Praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Tenaga kesehatan tertentu yang bekerja di Rumah Sakit wajib memiliki izin sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan
standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang
berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.
Ketentuan mengenai tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagaimana `dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
- Pasal 32
- Pasal 37
Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus mendapat persetujuan
pasien atau keluarganya.
Ketentuan mengenai persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Pasal 46
Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan
atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.
“Konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa. Konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya“
- Pasal 7
“Pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan“
- Pasal 62
“Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku”
Pada pasal 7 yaitu pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan,
pada kasus ini pelaku usaha yaitu tenaga kesehatan, tetapi tenaga kesehatan tidak
memberikan informasi yang jelas kepada keluarga pasien tentang keadaan pasien
setelah operasi dan tindakan apa saja yang telah dilakukan pada waktu operasi.
Selain itu, sesuai dengan pasal 62, yaitu terhadap pelanggaran yang mengakibatkan
luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang
berlaku.
SOLUSI KASUS 2
Dengan melihat faktor-faktor penyebab dan juga segala macam sanksi hokum serta
segala macam pelanggaran kode etik atas kasus yang kami ambil dalam hal ini kesalahan
pemberian atau pemasangan gas setelah operasi pembedahan tulang di atas maka pencegahan
terjadinya malpraktek harus dilakukan dengan melakukan perbaikan sistem, mulai dari
pendidikan hingga ke tata-laksana praktek kedokteran.
Pendidikan etik kedokteran dianjurkan dimulai lebih dini sejak tahun pertama
pendidikan kedokteran, dengan lebih ke arah pembuatan keputusan etik, memberikan banyak
latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu
(clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan
dari pembuatan keputusan medis sehari-hari dan juga perlu terus ada pelatihan dan
pengenalan akan segala macam alat ataupun obat yang harus dipakai dalam pelaksanaan
profesi kedokteran ataupun semua tenaga pelayanan kesehatan agar kesalahan dalam
diagnosis atau kesalahan dalam pemberian obat dapat diminimalisir . Tentu saja kita pahami
bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila
teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam
pendidikan.
Ketentuan yang mendukung good clinical governance harus dibuat dan ditegakkan.
Dalam hal ini peran rmah sakit sangat diperlukan. Rumah sakit harus mampu mencegah
praktek kedokteran tanpa kewenangan atau di luar kewenangan, mampu “memaksa” para
profesional bekerja sesuai dengan standar profesinya, serta mampu memberikan “suasana”
dan budaya yang kondusif bagi suburnya praktek kedokteran yang berdasarkan bukti hokum
dank ode etik yang berlaku.
KESIMPULAN KASUS 2
Malpraktek dalam bidang orthopedy adalah suatu tindakan kelalaian yang dilakukan
oleh dokter atau petugas pelayanan kesehatan yang bertugas melakukan segala macam
tindakan pembedahan khususnya pembedahan pada tulang. Dimana dalam kasus ini si pasien
yang pada awalnya hanya mengalami masalah pada tulangnya pada akhirnya harus
menghembuskan nafasnya untuk terakhir kalinya hanya karena kesalahan pemberian gas
setelah operasi.
Kelalaian fatal ini bisa dikatakan terjadi karena kurangnya ketelitian dari dokter
ataupun petugas kesehatan lainnya dalam pemberian pelayanan kesehatan terhadap pasien.
Kelalaian ini juga bisa disebabkan karena manejemen rumah sakit yang kurang tertata baik,
pendidikan yang dimiliki petugas yang mungkin masih minim serta banyak lagi faktor yang
lainnya. Karena tindakan tersebut tidak hanya melangar hukum, kode etik kedokteran dan
juga standar berperilaku dalam suatu agama tetapi bahkan sampai menghilangkan nyawa
seseorang maka perlu ada jalan keluarnya yakni dengan cara; pembenahan majemen rumah
sakit, meningkatkan ketelitian dalam menjalankan profesi kedokteran serta memperdalam
segala macam pengetahuan tentang berbagai macam tindakan pelayanan kesehatan.
SARAN KASUS 2
Bagi semua oranng yang bertugas sebagai pelayan kesehatan dan juga bagi penulis
serta siapa saja yang nantinya akan menjadi seorang pelayan yang bergerak di bidang
kesehatan, hendaknya bisa menggunakan waktu yang masih ada semaksimal mungkin untuk
mempelajari semua hal yang berkaitan dangan tugas kita nantinya, agar segala macam
tindakan pelanggaran ataupun kelalaian dapat diminimalisir atau kalau bisa dihilangkan.
DAFTAR PUSTAKA
https://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:jBX3UfEz_t0J:https://www.slideshare.net/fredyakbark/aspek-legal-
perioperatif+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id
https://www.academia.edu/41217977/KASUS_MALPRAKTIK_KEPERAWATAN_TUGAS
_MATA_KULIAH_ETIKA_PROFESI
https://www.academia.edu/7339077/KASUS_MALPRAKTEK_PADA_KAMAR_OPERASI
_Makalah_Undang-Undang_Dan_Hukum_Etik_Kedokteran_Pembimbing