Anda di halaman 1dari 55

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA PASIEN

CEDERA KEPALA BERAT

Diajukan guna memenuhi Tugas Bridging dalam Mata Kuliah : Keperawatan


Kritis Dosen Pembimbing : Viyan Septiyana S.Kp, Ners M.Kep

Disusun oleh :

Fifi Maghfiroh

28

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK


KESEHATAN KEMENKES BANTEN JURUSAN KEPERAWATAN
TANGERANG PRODI PENDIDIKAN PROFESI NERS
2021
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori Cedera Kepala Berat


1. Definisi
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung
atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak
dan otak.Cedera otak primer merupakan kerusakan yang terjadi pada otak
segera setelah trauma.
Cedera kepala berat merupakan cedera kepala yang
mengakibatkan penurunan kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8,
mengalami amnesia > 24 jam (Haddad, 2012).
Cedera kepala berat adalah keadaan dimana penderita tidak
mampu melakukan perintah sederhana oleh karena kesadaran menurun
(GCS < 8) (ATLS, 2008).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Dari semua pengertian di atas dapat disimpulkan cedera kepala
berat adalah proses terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap
kepala yang mnyebabkan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa perdarahan interstitial dimana mengalami penurunan
kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8 dan mengalami amnesia > 24
jam.

2. Etiologi
Kejadian cedera kepala bervariasi mulai dari usia, jenis kelamin,
suku, dan faktor lainnya. Kejadian-kejadian dan prevalensi dalam studi
epidemiologi bervariasi berdasarkan faktor -faktor seperti nilai keparahan,
apakah disertai kematian, apakah penelitian dibatasi untuk orang yang
dirawat di rumah sakit dan lokasi penelitian (NINDS, 2013).
Penyebab cedera kepala berat adalah:
a. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat
dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi kontusio
serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan
perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera
menyeluruh (difusi). Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi
dalam 4 bentuk yaitu cedera akson, kerusakan otak hipoksia,
pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak
koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang
otak atau kedua-duanya.
Akibat trauma tergantung pada :
1) Kekuatan benturan (parahnya kerusakan).
2) Akselerasi dan Deselerasi
3) Cup dan kontra cup
Cedera cup adalah kerusakan pada daerah dekat yang
terbentur. Sedangkan cedera kontra cup adalah kerusakan cedera
berlawanan pada sisi desakan benturan. a) Lokasi benturan
b) Rotasi
Pengubahan posisi pada kepala menyebabkan trauma
regangan dan robekan substansia alba dan batang otak.
c) Depresi fraktur
Kekuatan yang mendorong fragmen tulang turun
menekan otak lebih dalam. Akibatnya CSS (Cairan Serebro
Spinal) mengalir keluar ke hidung, telinga → masuk kuman →
kontaminasi dengan CSS → infeksi →kejang.
3. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan
glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf
hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai
cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh
kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan
glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga
bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala
permulaan disfungsi serebral seperti kesulitan dalam berbicara,nyeri di
kepakla dan bola mata, tampak berkeringat, bisa muntah, dan terjadi
kerusakan fungsi motorik. Dari sini dapat muncul masalah keperawatan
gangguan perfusi jaringan serebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi
kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme
anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan
normal cerebral bood flow (CBF) adalah 50-60 ml/menit/100 gr jaringan
otak yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala menyebakan perubahan fungsi jantung sekuncup
aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru.
Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T
dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel, takikardia. Akibat
adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada
pembuuh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.

4. Tanda dan Gejala


Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara
praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat
- ringan, dan morfologi.
a. Mekanisme cedera kepala
Cedera kepala secara luas dapat dibagi atas cedera kepala
tertutup dan cedera kepala terbuka. Cedera kepala tertutup biasanya
berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena
pukulan benda tumpul. Sedangkan cedera tembus disebabkan oleh
luka tembak atau tusukan.
b. Beratnya cedera kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan suatu komponen
untuk mengukur secara klinisberatnya cedera otak. Glasgow Coma
Scale meliputi 3 kategori yaitu respon membuka mata, respon verbal,
dan respon motorik. Skor ditentukan oleh jumlah skor dimasing
masing 3 kategori, dengan skor maksimum 15 dan skor minimum 3
ialah sebagai berikut:
1) Nilai GCS kurang dari 8 didefinisikan sebagai cedera kepala
berat.
Kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia > 24 jam, juga
meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
2) Nilai GCS 9 – 12 didefinisikan sebagai cedera kepala sedang.
Kehilangan kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi kurang dari
24 jam dan dapat mengalami fraktur tengkorak.
3) Nilai GCS 13 – 15 didefinisikan sebagai cedera kepala ringan (D.
Jong, 2010).
Kehilangan kesadaran atau amnesia < 30 menit, tidak ada fraktur
tengkorak dan tidak ada kontusio serebral atau hematoma.
c. Morfologi
Secara morfologis cedera kepala dapat meliputi fraktur kranium,
kontusio, perdarahan, dan cedera difus.
1) Fraktur kranium
Fraktur tulang tengkorak (cranium) dapat terjadi pada atap atau
dasar tengkorak (basiscranii), dan dapat berbentuk garis atau
linear dan dapat pula terbuka atautertutup. Fraktur cranium
terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi
kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya
selaputdura(ATLS,2008).

1Respon buka mata 4 Spontan


(E) : 3 Terhadap suara
2 Terhadap nyeri
1 Tidak ada
2Respon motorik (M) 6 Turut perintah
5 Melokalisir nyeri
4 Fleksi normal (menarik anggota yang
dirangsang)

3 Fleksi abnormal (dekortikasi)


2 Ekstensi abnormal (deserebrasi)
1 Tidak ada (flaksid)
3Respon verbal (V) 5 Berorientasi baik
4 Disorientasi tempat dan waktu
3 Kata-kata tidak teratur
2 Suara tidak jelas
1 Tidak ada

4Nilai GCS = (E + M +V) : Nilai tertinggi = 15, dan terendah = 3 ( D.


Jong, 2010).

Tabel 2.1 Skala GCS

2) Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau
lesi difus, walaupun kedua jenis lesi ini sering terjadi bersamaan.
Lesi fokal adalah perdarahan epidural, perdarahan subdural,
kontusio (hematom intraserebral), dan perdarahan intra serebral.
3) Cedera otak difusi
Cedera otak difusi mulai dari konkusi ringan dimana gambaran
CT scan normal, sampai cedera iskemi-hipoksik yang
berat.Cedera otak difus berat biasanya diakibatkan oleh hipoksia,
iskemi otak karena syok yang berkepanjangan atau periode
apneu yang terjadi segera setelah trauma. Pada kasus tersebut,
awalnya CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau
gambaran otak bengkak secara merata dengan batas area
substasia putih dan abu-abu hilang. Kelainan difus lainnya,
seringterlihat pada cedera dengan kecepatan tinggi atau cedera
deselerasi, yang dapat menunjukkan gambaran titik perdarahan
multipel diseluruh hemisfer otak tepat dibatas area putih dan
abuabu.
4) Perdarahan epidural
Perdarahan epidural relatif jarang, lebih kurang 0,5% dari semua
cedera otak dan 9% dari pasien yang mengalami koma.
Hematom epidural itu secara tipikal berbentuk bikonveks atau
cembung sebagai akibat dari pendorongan perdarahan terhadap
duramater yang sangat melekat di tabula interna tulang kepala.
Perdarahan ini sering terjadi pada area temporal atau
temporoparietal dan biasanya disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
5) Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan
epidural, kira -kira 30% dari cedera otak berat. Perdarahan ini
sering terjadi akibat robekan pembuluh darah atau vena -vena
kecil di permukaan korteks serebri. Berbeda dengan perdarahan
epidural yang berbentuk lensa cembung pada CT scan,
perdarahan subdural biasanya mengikuti dan menutupi
permukaan hemisfer otak. Perdarahan ini dapat menutupi seluruh
permukaan otak. Kerusakan otak yang berada di bawah
perdarahan subdural biasanya lebih berat dan prognosisnya lebih
buruk daripada perdarahan epidural.
6) Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi (20% sampai 30% dari cedera
otak berat). Sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus
temporal, meskipun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari
otak. Kontusio serebri dapat terjadi dalam waktu beberapa jam
atau hari, berkumpul menjadi perdarahan intraserebral atau
kontusio yang luas (ATLS, 2008).

5. Studi Diagnostik
a. Foto polos kepala
Tidak semua penderita dengan cedera kepala diindikasikan untuk
pemeriksaan foto polos kepala karena masalah biaya dan kegunaan
yang sekarang mungkin sudah ditinggalkan. Jadi, indikasi meliputi
jejas lebih dari 5 cm , luka tembus (peluru/tajam), deformasi kepala
(dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal
neurologis, dan gangguan kesadaran.
b. CT – Scan
Indikasi CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat-obatan analgesia atau anti muntah.
2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna
terdapat pada lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang
general.
3) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor – faktor ekstrakranial
telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi misalnya
karena syok, febris, dll).
4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.
5) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari
GCS (Sthavira, 2012).

c. MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk pasien
yang memiliki abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT
Scan. MRI telah terbukti lebih sensitif daripada CT-Scan, terutama
dalam mengidentifikasi lesi difus non hemoragik cedera aksonal.
d. EEG
Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin untuk
membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat
melihat perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah
studi landmark pemantauan EEG terus menerus pada pasien rawat
inap dengan cedera otak traumatik. Kejang konfulsif dan non
konfulsif tetap terlihat dalam 22%. Pada tahun 2012 sebuah studi
melaporkan bahwa perlambatan yang parah pada pemantauan EEG
terus menerus berhubungan dengan gelombang delta atau pola
penekanan melonjak dikaitkan dengan hasil yang buruk pada bulan
ketiga dan keenam pada pasien dengan cedera otak traumatik.
e. X – Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan atau edema), fragmen tulang (Rasad, 2011).

6. Pengobatan
a. Cedera kepala sedang (GCS 9 -12)
Kurang lebih 10% pasien dengan cedera kepala di Unit Gawat
Darurat (UGD) menderita cedera otak sedang. Mereka umumnya
masih mampu menuruti perintah sederhana, namun biasanya tampak
bingung atau mengantuk dan dapat pula disertai defisit neurologis
fokal seperti hemiparesis. Sebanyak 10 -20% dari pasien cedera otak
sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Untuk alasan
tersebut maka pemeriksaan neurologi secara berkala diharuskan dalam
mengelola pasien ini.
Saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera
dilakukan stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis
dilaksanakan. CT Scan kepala harus selalu dilakukan dan segera
menghubungi ahli bedah saraf. Pasien harus dirawat di ruang
perawatan intensif atau yang setara, dimana observasi ketat dan
pemeriksaan neurologis serial dilakukan selama 12-24 jam pertama.
Pemeriksaan CT Scan lanjutan dalam 12-24 jam direkomendasikan
bila hasil CT Scan awal abnormal atau terdapat penurunan status
neurologis pasien (ATLS, 2008).
b. Cedera kepala berat (GCS < 8)
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh
karena itu disamping kelainan serebral juga disertai kelainan
sistemik.Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut: 1)
Resusitasi jantung paru ( airway, breathing, circulation =ABC) Pasien
dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan
hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu
tindakan pertama adalah: a) Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang
dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa
orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan,
darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui
pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan.
b) Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan
sentral atau perifer. Kelainansentral adalah depresi
pernafasan pada lesi medula oblongata, pernafasan cheyne
stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation.
Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru,
DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan
dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan
pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab
dan kalau perlu memakai ventilator.
c) Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan
kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh
kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial,
yakni berupa hipovolemik akibat perdarahan luar atau ruptur
alat dalam, trauma dada disertai tempo nadi jantung atau
peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah
menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung
dan mengganti darah yang hilang dengan plasma.
2) Pemeriksaan fisik
Setelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi
kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstrakranial.
Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan
ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas
bisa diartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus
segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.
3) Tekanan Intrakranial (TIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi,
hematom intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun
naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal
adalah berkisar 0 -15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus
diturunkan dengan urutan sebagai berikut: a) Hiperventilasi
Setelah resusitasi ABC, dilakukan hiperventilasi dengan
ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2)
27 -30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti
berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan
PCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu
dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK
naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24 -48 jam. Bila
TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah
dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom.
b) Drainase
Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil.
Untuk jangka pendek dilakukan drainase ventrikular,
sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo
peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus.
c) Terapi diuretik
(1) Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari
jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh
kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis
pemberiannya harus dihentikan.Cara pemberiannya : Bolus
0,5 -1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5
gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24 -48 jam. Monitor
osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm.
(2) Loop diuretik (Furosemid)
Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek
menghambat pembentukan cairan serebrospinal dan
menarik cairan interstisial pada edema sebri.
Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek
sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh
manitol. Dosis 40 mg/hari/IV.
d) Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus -kasus yang tidak responsif
terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Cara
pemberiannya adalah bolus 10 mg/kgBB/IV selama 0,5 jam
dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan
pada kadar serum 3-4 mg dengan dosis sekitar 1
mg/kgBB/jam. Setelah TIK terkontrol 20 mmHg selama 24-48
jam dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
e) Steroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak.
Akan tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh
karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera
kepala.
f) Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi
tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan
kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau
laterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit
sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
4) Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah
bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500 -2000
ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid
seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan
kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan
cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan
hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan
tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia
kembali normal dan volume urine normal >30 ml/jam. Setelah 3-4
hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada
keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan
elektrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada
pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of
inappropriate anti diuretichormone (SIADH). Dalam keadaan ini
perlu dipantau kadar elektrolit, gula darah, ureum,kreatinin dan
osmolalitas darah.
5) Nutrisi
Setelah 3-4 hari dengan cairan perenteral pemberian cairan nutrisi
peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000
3000 kalori/hari.
6) Epilepsi atau kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma
disebut early epilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama
disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul pada
anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur
impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik.

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian

Penting bagi perawat untuk mengetahui bahwa setiap adanya


riwayat trauma pada servikal merupakan hal yang penting
diwaspadai.

a. Identitas pasien

b. Riwayat Penyakit

1) Keluhan Utama

Cedera kepala berat mempunyai keluhan atau


gejala utama yang berbeda-beda tergantung letak lesi
dan luas lesi. Keluhan utama yang timbul seperti
nyeri, rasa bebal, kekakuan pada leher atau punggung
dan kelemahan pada ekstremitas atas maupun bawah.
2) Riwayat Penyakit Saat Ini

Pengkajian ini sangat penting dalam


menentukan derajat kerusakan dan adanya kehilangan fungsi
neurologik. Medulla spinalis dapat mengalami cedera
melalui beberapa mekanisme, cedera primer meliputi satu
atau lebih proses berikut dan gaya : kompresi akut, benturan,
destruksi, laserasi dan trauma tembak.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Klien dengan cedera medulla spinalis bias disebabkan oleh
beberapa penyakit seperti reumatoid artritis,
pseudohipoparatiroid, Spondilitis, Ankilosis,
Osteoporosis maupun tumor ganas.
4) Riwayat Penyakit Keluarga

Perlu ditanyakan riwayat penyakit keluarga yang dapat


memperberat cedera medulla spinalis.
c. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik mengacu pada pengkajian B1-B6


dengan pengkajian fokus ditujukan pada gejala-gejala yang
muncul akibat cedera kepala berat. Keadaan umum (Arif
muttaqin 2008) pada keadaan cedera kepala berat umumnya
mengalami penurunan kesadaran. Adanya perubahan pada
tanda-tanda vital, meliputi bradikardi dan hipotensi.

1) B1 (BREATHING)

Perubahan pada sistem pernapasan bergantung


pada gradasi blok saraf parasimpatis klien mengalami
kelumpuhan otot otot pernapasan dan perubahan
karena adanya kerusakan jalur simpatetik desending
akibat trauma pada tulangbelakang sehingga
mengalami terputus jaringan saraf di medula spinalis,
pemeriksaan fisik dari sistem ini akan didapatkan hasil
sebagai berikut inspeksi umum didapatkan klien batuk
peningkatan produksi sputum, sesak napas.
2) B2 (BLOOD)

Pengkajian pada sistem kardiovaskuler


didapatkan renjatan syok hipovolemik yang sering
terjadi pada klien cedera kepala berat. Dari hasil
pemeriksaan didapatkan tekanan darah menurun nadi
bradikardi dan jantung berdebar-debar. Pada keadaan
lainnya dapat meningkatkan hormon antidiuretik yang
berdampak pada kompensasi tubuh.
3) B3 (BRAIN)
Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, pengkajian
fungsi serebral dan pengkajian saraf kranial. Pengkajian
tingkat kesadaran : tingkat keterjagaan klien dan respon
terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif
untuk disfungsi sistem persyarafan. Pengkajian fungsi
serebral : status mental observasi penampilan, tingkah
laku nilai gaya bicara dan aktivitas motorik klien
Pengkajian sistem motorik inspeksi umum didapatkan
kelumpuhan pada ekstermitas bawah, baik bersifat
paralis, dan paraplegia. Pengkajian sistem sensori
ganguan sensibilitas pada klien cedera kepala berat
sesuai dengan segmen yang mengalami gangguan.
4) B4 (BLADDER)

Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan


karakteristik urine, termasuk berat jenis urine.
Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi
cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada
ginjal.
5) B5 (BOWEL)

Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering


didapatkan adanya ileus paralitik, dimana klinis
didapatkan hilangnya bising usus, kembung,dan defekasi,
tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari tahap syok
spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu.

6) B6 (BONE)

Paralisis motorik dan paralisis organ internal


bergantung pada ketinggian lesi saraf yang terkena
trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan
distribusi segmental dari saraf yang terkena.disfungsi
motorik paling umum adalah kelemahan dan
kelumpuhan.pada saluran ekstermitas bawah. Kaji
warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit.

d. Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan diagnostik

a) X-ray/CT Scan

Untuk mengetahui apakah terdapat hematom serebral,


edema serebral, perdarahan
intracranial, fraktur tulang tengkorak

b) MRI : dengan/tanpa menggunakan kontras

c) Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan


sirkulasi serebral.

d) EEG : memperlihatkan keberadaan atau


berkembangnya gelombang patologis

e) BAER (Brain Auditory Evoked Respons) :


menentukan fungsi korteks dan batang otak
f) PET (Positron Emission Tomography)
menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme
pada otak

2) Pemeriksaan laboratorium
a) AGD : PO2, pH, HCO3 : untuk mengkaji
keadekuatan ventilasi (mempertahankan AGD
dalam rentang normal untuk menjamin aliran darah
serebral adekuat) atau untuk melihat masalah
oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK.
b) Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan
dengan gangguan regulasi natrium, retensi Na
berakhir dapat beberapa hari, diikuti diuresis Na,
peningkatan letargi, konfusi dan kejang akibat
ketidakseimbangan elektrolit.
c) Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin,
protein serum
d) CSS : menentukan kemungkinan adanya
perdarahan subarachnoid (warna, komposisi,
tekanan).
e) Pemeriksaan toksikologi: mendeteksi obat yang
mengakibatkan penurunan kesadaran.
f) Kadar antikonvulsan darah : untuk mengetahui
tingkat terapi yang cukup efektif mengatasi kejang.

2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang dapat ditemukan dalam Standar
Diagnosis Keperawatan Indonesia pada pasien dengan cedera kepala
berat antara lain:
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan
neurologis (cedera kepala), gangguan neuromuskular,
kerusakan inervasi diafragma (kerusakan saraf C5 ke atas),
cedera pada medula spinalis, efek agen farmakologis (D.0005)
b. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
hipersekresi jalan napas, sekresi yang tertahan, disfungsi
neuromuskular, efek agen farmakologis (anaestesi), adanya
jalan napas buatan (D. 0149)
c. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan
cedera kepala (D. 0017)
d. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma)
(D.0077)
e. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna
makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme
(D.0019)
f. Risiko jatuh berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran
(D.0143)
g. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
integritas struktur struktur tulang, gangguan neuromuskular
(D.0054)
h. Inkontinensia urin berlanjut berhubungan dengan trauma,
kerusakan refleks kontraksi detrusor (D.0042)
i. Inkontinensia fekal berhubungan dengan kerusakan susunan
syaraf motorik bawah, kehilangan fungsi pengendalian sfingter
rektum (D.0041)
j. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan
neuromuskuloskeletal (D.0109)
k. Risiko Infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
(D.0142)
l. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, ancaman
terhadap kematian, kekhawatiran akan kegagalandisfungsi
sistem keluarga (D. 0080)
m. Konfusi kronis berhubungan dengan cedera otak (D. 0065)
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosis Keperawatan Tujuan & kriteria hasil Intervensi
Pola nafas tidak efektif L.01004 Pola napas I.01014 Pemantauan respirasi
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi
keperawatan selama … a. Monitor frekuensi
gangguan neurologis diharapkan inspirasi dan napas, kedalaman, dan
(cedera kepala), gangguan ekspirasi yang memberikan upaya napas
ventilasi adekuat dengan b. Monitor pola napas
neuromuskular, kerusakan kriteria hasil : c. Monitor kemampuan
inervasi diafragma 1. Dispnea menurun batuk efektif
2. Penggunaan otot bantu d. Monitor adanya
(kerusakan saraf C5 ke napas menurun produksi sputum
atas), cedera pada medula 3. Pemanjangan fase e. Monitor adanya
ekspirasi menurun sumbatan jalan napas
spinalis, efek agen 4. Frekuensi napas f. Auskultasi bunyi
farmakologis (D.0005) membaik napas
5. Kedalaman napas g. Monitor saturasi
membaik oksigen
6. Kesulitan bernapas
menurun 2. Terapeutik
a. Atur interval
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
b. Informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu

3. Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
b. Informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu

I.01011 Manajemen Jalan


Napas
1. Observasi
a. Monitor pola napas
(frekuensi, kedalaman,
usaha napas)
b. Monitor bunyi napas
tambahan (mis.
Gurgling, mengi,
weezing, ronkhi kering)
c. Monitor sputum (jumlah,
warna,
aroma)

2. Terapeutik
a. Posisikan semi-
Fowler atau Fowler
b. Berikan minum hangat
c. Lakukan fisioterapi dada,
jika perlu
d. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
e. Lakukan hiperoksigenasi
sebelum
f. Penghisapan endotrakeal
g. Keluarkan sumbatan
benda padat dengan
forsep McGill
h. Berikan oksigen, jika
perlu

3. Edukasi
a. Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hari,
jika tidak kontraindikasi.
b. Ajarkan teknik batuk
efektif

4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik,
jika perlu

Bersihan jalan napas tidak L.01001 Bersihan I.01014 Pemantauan respirasi


efektif berhubungan Jalan Napas 1. Observasi
dengan hipersekresi jalan Setelah dilakukan tindakan a. Monitor frekuensi
napas, sekresi yang keperawatan selama … napas, kedalaman, dan
tertahan, diharapkan bersihan jalan upaya napas
napas tidak efektif teratasi b. Monitor pola napas
disfungsi neuromuskular, dengan kriteria hasil 1. c. Monitor kemampuan
Batuk efektif meningkat batuk efektif
efek agen farmakologis
2. Produksi sputum d. Monitor adanya
(anaestesi), adanya jalan menurun produksi sputum
3. Mengi menurun e. Monitor adanya
napas buatan (D. 0149)
4. Gelisah menurun sumbatan jalan napas
5. Frekuensi napas f. Auskultasi bunyi
membaik napas
6. Sulit bicara menurun g. Monitor saturasi
oksigen

2. Terapeutik
a. Atur interval
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
b. Informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu

3. Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
b. Informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu

I.01011 Manajemen Jalan


Napas
1. Observasi
a. Monitor pola napas
(frekuensi, kedalaman,
usaha napas)
b. Monitor bunyi napas
tambahan (mis.
Gurgling, mengi,
weezing, ronkhi
kering)
c. Monitor sputum
(jumlah, warna,
aroma)

2. Terapeutik
a. Posisikan semi-
Fowler atau Fowler
b. Berikan minum
hangat
c. Lakukan fisioterapi dada,
jika perlu
d. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
e. Lakukan hiperoksigenasi
sebelum
f. Penghisapan endotrakeal
g. Keluarkan sumbatan
benda padat dengan
forsep McGill
h. Berikan oksigen, jika
perlu

3. Edukasi
a. Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hari,
jika tidak kontraindikasi.
b. Ajarkan teknik batuk
efektif

4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu

I.01013 Manajemen Ventilasi


Mekanik
1. Observasi
a. Periksa indikasi
ventilator mekanik
(mis. Kelelahan otot
napas, disfungsi
neurologis, respirasi
respiratorik)
b. Monitor efek ventilstor
terhadap status
oksigenisasi (mis.
Bunyi paru, Xray paru,
AGD, SaO2 SvO2
ETCO2 respon
subyektif pasien)
c. monitor gejala peningkatan
pernapasan (mis,
peningkatan denyut
jantung atau pernapasan,
peningkatan tekanan darah,
diaforesis, perubahan
status mental)
d. monitor gangguan mukosa
oral, nasal,
trakea dan laring

2. terapeutik
a. lakukan perawatan mulut
secara rutin, termasuk
sikat gigi setiap 12 jam
b. lakukan penghisapan
lendir sesuai kebutuhan
c. dokumentasikan respon
terhadap
ventilator

3. kolaborasi
a. kolaborasi pemilihan
mode ventilator (mis,
kontrol volume, kontrol
tekanan, atau gabungan)
b. kolaborasi pemberian
pelumpuh otot, sedatif,
analgesik, sesuai
kebutuhan)
c. kolaborasi penggunaan PS
atau PEEP untuk
meminimalkan
hipoventilasi alveolus

Risiko perfusi serebral L.02014 Perfusi serebral I. 06198 Menejemen


tidak efektif berhubungan Setelah dilakukan Peningkatan Tekanan
dengan cedera kepala (D. tindakan keperawatan Intrakranial
0017) selama … diharapkan
keadekuatan
aliran darah serebral 1. Observasi
meningkat dengan kriteria a. Identifikasi penyebab
hasil : peningkatan TIK
1. Tingkat kesadaran (mis. Lesi, gangguan
meningkat metabolisme, edema
2. Tekanan intra kranial serebral)
menurun b. Monitor tanda/gejala
3. Gelisah menurun peningkatan TIK
4. Demam menurun (mis. Tekanan darah
5. Tekanan darah sistolik meningkat, tekanan
membaik nadi melebar,
6. Tekanan darah diastolik bradikardia, pola
membaik napas ireguler,
kesadaran menurun)
c. Monitor MAP (Mean
Arterial Pressure)
d. Monitor
CVP (Central
Venous
Pressure), jika perlu
e. Monitor PAWP, jika
perlu
f. Monitor PAP, jika
perlu
g. Monitor ICP (Intra
Cranial Pressure),
jika tersedia
h. Monitor
CPP (Cerebral
Perfusion Pressure)
i. Monitor gelombang
ICP
j. Monitor status
pernapasan
k. Monitor intake dan
output cairan
l. Monitor cairan
serebro-spinalis (mis.
Warna, konsistensi)

2. Terapeutik
a. Berikan posisi 30
derajat
b. Hindari maneuver
Valsava
c. Cegah terjadinya
kejang
d. Hindari pemberian cairan
IV hipotonik
e. Atur ventilator agar
PaCO2 optimal
f. Pertahankan suhu tubuh
normal

3. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
sedasi dan antikonvulsan,
jika perlu
b. Kolaborasi pemberian
diuretic osmosis, jika perlu

I.06198 Pemantauan Tekanan


Intrakranial

1. Observasi
a. Observasi penyebab
peningkatan TIK (mis. Lesi
menempati ruang,
gangguan metabolism,
edema sereblal,
peningkatan tekanan vena,
obstruksi aliran cairan
serebrospinal, hipertensi
intracranial idiopatik)
b. Monitor peningkatan
TD
c. Monitor pelebaran tekanan
nadi (selish
TDS dan TDD)
d. Monitor penurunan
frekuensi jantung
e. Monitor ireguleritas irama
jantung
f. Monitor penurunan tingkat
kesadaran
g. Monitor perlambatan atau
ketidaksimetrisan respon
pupil
h. Monitor kadar CO2 dan
pertahankan dalm rentang
yang diindikasikan
i. Monitor tekanan perfusi
serebral
j. Monitor jumlah, kecepatan,
dan karakteristik drainase
cairan serebrospinal
k. Monitor efek stimulus
lingkungan terhadap
TIK

2. Terapeutik
a. Pertahankan sterilitas
system pemantauan
b. Pertahankan posisi kepala
dan leher netral
c. Atur interval pemantauan
sesuai kondisi pasien
d. Dokumentasikan hasil
pemantauan

Nyeri berhubungan Setelah dilakukan I.08243 Pemberian Analgesik


intervensi keperawatan
dengan agen pencedera
selama …. , diharapkan 1. Observasi
fisik tingkat nyeri menurun dan a. Identifikasi karakteristik
kontrol nyeri meningkat nyeri (mis. pencetus,
(trauma) (D.0077)
dengan kriteri hasil : pereda, kualitas, lokasi,
1. Meringis menurun intensitas, frekuensi,
2. Gelisah menurun durasi)
3. Ketegangang otot b. Identifikasi riwayat alergi
menurun obat
4. Frekuensi nadi c. Identifikasi kesesuaian
membaik jenis analgesik (mis.
5. Pola napas membaik narkotika, nonnarkotika, atau
6. Tekanan darah NSAID) dengan tingkat
membaik keparahan nyeri
d. Monitor tanda-tanda vital
sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
e. Monitor efektifitas analgesik

2. Terapeutik
a. Diskusikan jenis analgesik
yang disukai untuk
mencapai analgesia
optimal, jika perlu
b. Pertimbangkan penggunaan
infus kontinu, atau bolus
oploid untuk
mempertahankan kadar
dalam serum
c. Tetapkan target efektifitas
analgesik untuk
mengoptimalkan respons
pasien
d. Dokumentasikan respons
terhadap efek analgesik dan
efek
yang tidak diinginkan

3. Edukasi
Jelaskan efek terapi dan
efek samping obat

4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian dosis dan
jenis analgesik, sesuai indikasi

I.08238 Manajemen Nyeri

1. Observasi
a. Identifikasi lokasi,
karakteristik durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas nyeri
b. Identifikasi skala nyeri
c. Identifikasi respons
nyeri non verbal
d. Identifikasi faktor yang
memperberat
dan memperingan nyeri
e. Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan
f. Monitor efek samping
penggunaan analgetik

2. Terapeutik
a. Berikan teknik
nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hipnosis,
akupresur, terapi
musik, biofeedback, terapi
pijat, aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres hangat dingin)
b. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(mis. suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
c. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri

3. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu

4. Implementasi

Menurut Setiadi,(2012) dalam buku Konsep & Penulisan

Asuhan Keperawatan, implementasi keperawatan adalah pengelolaan

dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada

tahap perencanaan.
5. Evaluasi

Menurut Setiadi,(2012) dalam buku Konsep & Penulisan

Asuhan Keperawatan, tahap penilaian atau evaluasi adalah

perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan klien

dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara

bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan tenaga

kesehatan lainnya. Komponen catatan perkembangan, antara lain

sebagai berikut :

a. Kartu SOAP(data subjektif, data objektif, analisis/assessment,

dan perencanaan/plan) dapat dipakai untuk mendokumentasikan

evaluasi dan pengkajian ulang.

b. Kartu SOAP sesuai sebagai catatan yang ringkas mengenai

penilaian diagnosis keperawatan dan penyelesaiannya. SOAP

merupakan komponen utama dalam catatan perkembangan yang

terdiri atas:

1) S (Subjektif) : data subjektif yang diambil dari keluhan

klien, kecuali pada klien yang afasia.

2) O (Objektif) : data objektif yang diperoleh dari hasil

observasi perawat, misalnya tanda-tanda akibat

penyimpanan fungsi fisik, tindakan keperawatan, atau

akibat pengobatan.

3) A (Analisis/assessment) : masalah dan


diagnosis

keperawatan klien yang dianalisis/dikaji dari data subjektif

dan data objektif. Karena status klien selalu berubah yang


mengakibatkan informasi/data perlu pembaharuan, proses

analisis/assessment bersifat diinamis. Oleh karena itu sering

memerlukan pengkajian ulang untuk menentukan perubahan

diagnosis, rencana, dan tindakan.

4) P (Perencanaan/planning) : perencanaan kembali tentang

pengembangan tindakan keperawatan, baik yang sekarang

maupun yang akan datang (hasil modifikasi rencana

keperawatan) dengan tujuan memperbaiki keadaan

kesehatan klien. Proses ini berdasarkan kriteria tujaun yang

spesifik dan periode yang telah ditentukan.

TINJAUAN KASUS

Tn. J pasien cidera kepala di rawar di ruangan ICU RSD Kab Tangerang, riwayat
sakit pasien yaitu korban kecelakan bermotor. Pasien terpasang Ventilator mode
SIMV dengan PEEP 6 PIP 12 Kesadaran pasien somnolen GCS 9 E2V ETT M3 ,
klien mengalami cidera kepala, di selang ETT klien terdapat sekret, terdapat suara
tambahan ronchi, irama napas cepat, pola napas takipne RR : 33x/menit CRT < 3
detik, Suhu 37 C, HR 84x /menit, TD 130/80, Buatlah Asuhan Keperawatan
tentang kasus di atas

A. Pengkajian

1. Biodata Pasien
a. Nama : Tn. J

b. Umur : 22 tahun

c. TTL : Tangerang, 8 Juni 1998

d. No Medrek : 0425282

e. Agama : Islam

f. Golongan Darah : -

g. Pekerjaan : Karyawan Swasta

h. Diagnosa Medis : Cedera Kepala Berat

i. Tanggal Masuk RS : 2 Juni 2021

j. Tanggal Pengkajian : 4 Juni 2021


: Kampung Sejahtera, Sepatan No.04,
k. Alamat Lengkap
Kab
Tangerang

2. Biodata Penanggungjawab

a. Nama : Ny. V
b. Umur : 22 tahun
c. Agama : Islam
d. Hubungan dgn klien : Istri
e. Pekerjaan : Karyawan Swasta
l. Alamat Lengkap : Kampung Sejahtera,
Sepatan
No.04, Kab Tangerang

3. Riwayat Kesehatan

a. Keluhan utama

Keluarga mengatakan pasien kecelakaan motor dengan motor,

tidak pakai helm pada tanggal 2 JUni 2021 jam 02.00 dini hari.

Pasien mengalami pendarahan yang keluar dari hidung dan pada

kepala bagian depan, lalu pasien tidak sadarkan diri. Setelah itu

warga menolong pasien dengan membawa pasien ke puskesmas

untuk mendapat pertolongan pertama. Pasien mendapatkan

pertolongan pertama berupa terapi oksigen dengan non rebreathing

mask sebanyak 10 lt/ menit, pemasangan neck collar, balut tekan

pada bagian depan kepala. Setelah itu pihak Puskesmas merujuk

pasien ke RSUD Kabupaten Tangerang untuk mendapatkan

pemeriksaan foto rontgen dan untuk mendapatkan penanganan yang

lengkap termasuk pemeriksaan CT Scan kepala dan rencana operasi

cranitomy.

b. Riwayat penyakit sekarang

Keluarga mengatakan pasien tidak pernah sakit seperti ini

sebelumnya dan jarang pergi ke rumah sakit. Pasien memiliki istri

dan 1 orang anak.

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Keluarga mengatakan pasien tidak sadarkan diri sejak 2 hari


yang lalu. Pasien terpasang IVFD NaCL 1000 cc/12 jam, NGT dan
kateter urine.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga

Keluarga mengatakan tidak mempunyai penyakit keturunan

seperti hipertensi, DM dan tidak mempunyai penyakit menular

seperti hepatitis B dan HIV/AIDS.

4. Primary Survey

a. Airway (jalan napas)

Jalan napas tersumbat partial (sebagian) oleh sputum . Pasien

menggunakan ETT yang terpasang dengan ventilator.

b. Breathing (kontrol ventilasi)

Klien terpasang ETT no.7 yang terhubung dengan ventilator


dengan mode SIMV dengan PEEP/PIP 6/12, FiO2 30%. Gerakan
dada simetris, irama nafas cepat, frekuensi nafas 33 x/menit, pola
nafas takipnea, bunyi nafas ronchi, klien tampak menggunakan otot
bantu pernafasan, pernafasan dada, perkusi kedua lapang paru sonor,
tidak ada jejas pada area torax, dan tidak ada krepitasi. Terdapat
produksi sputum pada bagian selang ETT dan mulut.

c. Circulation (Kontrol pendarahan)


Nadi pasien teraba 83 x/menit, irama tidak teratur, TD : 130/80
mmHg, MAP : 115 mmHg. Suhu : 37,3oC. Hemodinamik pasien
tidak stabil. Akral teraba hangat. CRT < 3 detik. IVFD Ringer
Fundin 500/6 jam. Tidak perdarahan perdarahan.
d. Disability
Kesadaran sopor, nilai GCS : E2V ETT M3, pupil isokor, respon
terhadap cahaya +/+, kekuatan otot 2211,
e. Exposure
Suhu 37,3°C, terdapat luka pada frontal parietal dextra dan sinistra
kepala, luka tertutup perban post operasi 1 hari. Terdapat jejas di
daerah mata, pinggang, pipi sebelah kanan dan ekstremitas.

5. Secondary Survey
a. Folley Cateter
Klien terpasang kateter no 16, tidak terdapat tanda-tanda ruptur
uretra dan hematuria.
b. Gastric Tube
Klien terpasang NGT, tidak terdapat pengeluaran darah atau cairan
dari NGT
c. Heart Monitor
Tekanan darah 130/80 mmHg, Nadi pasien teraba 83 x/menit, irama
tidak teratur, MAP : 115 mmHg.

6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : penurunan kesadaran
b. GCS : E2V ETT M3 (Sopor)
c. Kepala
1) Kepala
Bentuk kepala asimetris, bengkak, terdapat luka dengan ukuran
± 3 cm pada frontal parietal dextra dan sinistra kepala, luka
tertutup perban post operasi 1 hari. Terdapat jejas di sekitar
wajah.
2) Mata
Area disekitar mata kebiruan dan bengkak, isokhor, refleks
pupil terhadap cahaya +/+, ukuran pupil kanan dan kiri 3 mm.
3) Hidung
Bentuk simetris, terdapat luka lecet, terpasang NGT
4) Telinga
Bentuk simetris, tidak terdapat darah yang keluar dari telinga
5) Mulut dan tenggorokan
Simetris, ada karies, membran mukosa kering, kesulitan bicara
dan menelan karena pasien mengalami penurunan kesadaran.
Klien terpasang gudle dan ETT yang terhubung dengan
ventilator. Terdapat secret di selang ETT dan mulut.
6) Leher
Tidak terdapat lesi dan fraktur disekitar leher, tidak ada
pembesaran JVP

d. Thorax
Bentuk simetris, tidak terdapat indikasi fraktur daerah throrax,
auskulasi ronchi, saat diperkusi terdengar sonor, RR 33 x/menit.
Terdapat produksi sputum.
e. Abdomen
Dinding abdomen simetris, terdapat lecet bagian pinggang kanan
f. Genetalia
Tidak terdapat hematom, lesi daerah genetalia, maupun ruptur uretra.
Klien terpasang kateter urine
g. Ekstremitas
1) Ekstremitas Atas
Keadaan lengkap kiri dan kanan, Bentuk simetris dan bengkak,
terdapat jejas dan lecet pada ekstremitas, keterbatasan gerak.
Terpasang infus pada tangan sebelah kiri, tidak sianosis,
kekuatan otot 2/2.
2) Ekstremitas Bawah
Keadaan lengkap kiri dan kanan, simetris kiri dan kanan,
terdapat edema pada ekstremitas, kekuatan otot 1/1, refleks
patella positif.

h. Integumen
Ada luka dan hematom dengan ukuran ± 3 cm pada frontal parietal
dextra dan sinistra kepala, luka tertutup perban post operasi 1 hari.
Terdapat jejas di sekitar wajah, ekstremitas, terdapat ekimosis
dibagian wajah, ekstremitas atas dan bawah, dan pinggang kanan.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal


Hematologi
Hemoglobin 10,7 gr/dL 13-18
Hematokrit 32 % 40-52
Eritrosit 4,3 Juta /µL 4,3-6,0
Leukosit 19.350 /µL 1.800-10.800
Trombosit 200.000 /µL 150.000-290.000
MCV 75 fl 80-96
MCH 25 pg 27-32
MCHC 34 g/dL 32-36
Koagulasi
Waktu Protrombin (PT) 11,3 10,3-12,3 detik
aPTT 35 29,0-40,2 detik
Analisa Gas
Darah Ph pCO2 pO2 7,288 7,35-7,45
13,5 mmHg mmHg 33-34
175,6 71-104
HCO3 6,5 mmol/L mmol/L 22-29
Kelebihan Basa (BE) -17,7 % 150.000-400.000
SaO2 99,3 94-98
Glukosa sewaktu 150 mg/dl 70-140
Urea 32 mg/dl 10-50
Kreatinin 1,00 mg/dl 0,5-1,2
SGOT 23 u/L 0-31
SGPT 14 u/L 0-32
K 41 Mmol/L 3,4-5,4
Na 145 Mmol/L 135-155
Cl 99 Mmol/L 95-108
HbsAg Negatif
WBC 14,59 [10^3/uL] 4,8-10,8
RBC 3,99 [10^6/uL] 4,2-5,4
HGB 10,3 [g/dL] 12-16
HCT 32,6 [%] 37-47

8. Pengobatan

No Nama Terapi Dosis Cara Pemberian


1 Ceftriaxone I.V
2x1 Gr
2 Paracetamol 3x1 gr I.V
3 Omeperazole 1x40 ml I.V
4 Ringer Fundin I.V
2000 cc/ 24 jam Kontinyu
5 Propofol 20 mg (10 mg/jam ) I.V
6 Meropenem 3 x 500 mg

7 Ranitidin 2 x 25 mg I.V
8 Ondansentron 2 mg I.V
9 Combivent 3x1 Inhalasi
10 Ventolin 3x1 Inhalasi
11 Manitol 600 ml (200 ml/30 menit) IV

B. Analisa Data

No Data (Symptom) Penyebab (Etiologi) Masalah (Problem)


1. DS: Trauma Kepala Bersihan jalan napas
- tidak efektif

Sistem pernapasan
DO: ↓
1. Keadaan umum: Penurunan kesadaran
penurunan kesadaran ↓
2. GCS : E2 V ETT M3 Bed rest lama
3. Kesadaran: somnolen

4. Terpasang Ventilator
Penurunan kemampuan batuk
mode SIMV dengan

PEEP 6 PIP 12
Akumulasi mukus
5. RR: 33x/m, N : 83/M

S : 37,30C
Batuk tidak efektif, ronchi, RR ↑
TD: 130/80 mmHg

6. Terdapat secret
Bersihan jalan napas tidak
di selang ETT
efektif
dan mulut
7. Suara nafas tambahan
ronchi

2. DS: Trauma Kepala Pola napas tidak efektif


- ↓
Sistem pernapasan
DO: ↓
1. Ku: penurunan Perdarahan, hematoma,
kesadaran kerusakan jaringan
2. Kesadaran: somnolen ↓
3. Terpasang Ventilator Penekanan syaraf sistem
dengan mode SIMV pernapasan
4. Irama napas cepat ↓
5. Pola nafas takipnea Perubahan pola napas
6. Klien tampak ↓
menggunakan otot RR ↑, takipnea, hiperventilasi
bantu pernafasan

7. Pernafasan dada
Pola napas tidak efektif
8. Suara nafas tambahan
ronchi
9. RR: 33x/m,
N : 83 x/M
T : 37,30C
TD: 130/80 mmHg

3. DS: Trauma Kepala Resiko perfusi serebral


- tidak efektif

Sistem hematologi
DO: ↓
1. Ku: penurunan Perdarahan
kesadaran ↓
2. Kesadaran: somnolen Kompensasi tubuh yaitu
3. GCS: E2V ETT M3 vasodilatasi dan bradikardi
4. Terpasang Ventilator ↓
5. RR: 33x/m
Aliran darah ke otak ↓
N : 83/M

0
T : 37,3 C
Hipoksia jaringan
TD: 130/80 mmHg ↓
MAP : 115 mmHg Resiko perfusi serebral tidak
6. Kebiruan sekitar mata efektif

(jejas) dan bengkak


7. Kepala bengkak dan
asimetris
8. Kepala terpasang
perban post operasi
craniotomy

C. Diagnosis Keperawatan

1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi


jalan napas, sekresi yang tertahan (D. 0149)
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neurologis
(cedera kepala) (D.0005)
3. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cedera
kepala (D. 0017)
D. Rencana Keperawatan

Diagnosis Keperawatan Tujuan & kriteria hasil Intervensi


Bersihan jalan napas tidak L.01001 I.01011
efektif berhubungan Bersihan Jalan Napas Manajemen Jalan Napas
Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi
dengan hipersekresi jalan keperawatan selama 3 x 24 a. Monitor pola napas
napas, sekresi yang jam diharapkan bersihan (frekuensi, irama, usaha
jalan napas tidak efektif napas)
tertahan teratasi dengan kriteria b. Monitor bunyi napas
(D. 0149) hasil tambahan (mis. Gurgling,
1. Produksi sputum mengi, weezing, ronkhi
menurun (5) kering)
2. Frekuensi napas c. Monitor sputum (jumlah,
membaik (5) warna,
aroma)

2. Terapeutik
a. Posisikan semi-
Fowler atau Fowler
b. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
c. Lakukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakeal
d. Berikan oksigen, jika
perlu

3. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu

I.01013
Manajemen Ventilasi
Mekanik
1. Observasi
a. Periksa indikasi
ventilator mekanik
(mis. Kelelahan otot
napas, disfungsi
neurologis, respirasi
respiratorik)
b. Monitor gejala
peningkatan
pernapasan (mis,
peningkatan denyut
jantung atau
pernapasan,
peningkatan tekanan
darah, diaforesis,
perubahan status
mental)
c. monitor gangguan
mukosa oral, nasal,
trakea dan laring

2. Terapeutik
a. lakukan perawatan
mulut secara rutin,
termasuk sikat gigi
setiap 12 jam
b. lakukan penghisapan
lendir sesuai
kebutuhan
c. dokumentasikan
respon terhadap
ventilator

3. Kolaborasi
a. kolaborasi pemilihan
mode ventilator (mis,
kontrol volume,
kontrol tekanan, atau
gabungan)
b. kolaborasi pemberian
pelumpuh otot,
sedatif, analgesik,
sesuai kebutuhan)
c. kolaborasi
penggunaan PS atau
PEEP untuk
meminimalkan
hipoventilasi alveolus

Pola nafas tidak efektif L.01004 I.01014


berhubungan dengan Pola napas Pemantauan respirasi
Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi
gangguan neurologis keperawatan selama 3 x 24 a. Monitor frekuensi napas,
(cedera kepala) (D.0005) jam diharapkan inspirasi irama, dan upaya napas
dan ekspirasi yang b. Monitor pola napas
memberikan ventilasi c. Monitor adanya produksi
adekuat dengan kriteria sputum
hasil : d. Monitor adanya
1. Dispnea cukup menurun sumbatan jalan napas
(4) e. Auskultasi bunyi napas
2. Penggunaan otot bantu f. Monitor saturasi oksigen
napas cukup menurun
(4) I.01011
3. Frekuensi napas Manajemen Jalan Napas
membaik (5) 1. Observasi
4. Pola napas membaik (5) a. Monitor pola napas
(frekuensi, kedalaman,
usaha napas)
b. Monitor bunyi napas
tambahan (mis. Gurgling,
mengi, weezing, ronkhi
kering)
c. Monitor sputum (jumlah,
warna,
aroma)

2. Terapeutik
a. Posisikan semi-
Fowler atau Fowler
b. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
c. Lakukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakeal
d. Berikan oksigen, jika perlu

3. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu

Risiko perfusi serebral L.02014 Perfusi serebral I.06198


Setelah dilakukan Manajemen Peningkatan
tidak efektif
tindakan keperawatan Tekanan Intrakranial
berhubungan dengan selama 3 x 24 jam
diharapkan keadekuatan 1. Observasi
cedera kepala (D. 0017)
aliran darah serebral
a. Monitor tanda/gejala
meningkat dengan kriteria
peningkatan TIK (mis.
hasil :
Tekanan darah meningkat,
1. Tingkat kesadaran
tekanan nadi melebar,
cukup meningkat (4) bradikardia, pola napas
2. Tekanan intra kranial
ireguler, kesadaran
menurun (5) menurun)
3. Demam menurun (5) b. Monitor MAP (Mean
4. Tekanan darah sistolik
Arterial Pressure)
membaik (5)
c. Monitor status pernapasan
5. Tekanan darah
diastolik membaik (5)
2. Terapeutik
a. Berikan posisi 30 derajat
b. Pertahankan suhu tubuh
normal

3. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
sedasi dan antikonvulsan,
jika perlu
I.06198
Pemantauan Tekanan
Intrakranial

1. Observasi
a. Monitor peningkatan
TD
b. Monitor pelebaran tekanan
nadi (selish
TDS dan TDD)
c. Monitor penurunan
frekuensi jantung
d. Monitor ireguleritas irama
jantung
e. Monitor penurunan tingkat
kesadaran
f. Monitor perlambatan atau
ketidaksimetrisan respon
pupil
g. Monitor kadar CO2 dan
pertahankan dalam rentang
yang diindikasikan
h. Monitor tekanan perfusi
serebral
i. Monitor jumlah, kecepatan,
dan karakteristik drainase
cairan serebrospinal
j. Monitor efek stimulus
lingkungan terhadap
TIK

2. Terapeutik
a. Pertahankan posisi kepala
dan leher netral
b. Dokumentasikan hasil
pemantauan
E. Implementasi Keperawatan

Hari/tangga
No Dx Implementasi
l
4 Juni 1 Observasi

2021 1. Memonitor pola napas (frekuensi, irama, usaha napas)


2. Memonitor bunyi napas tambahan
3. Memonitor sputum (jumlah, warna, aroma)

Hasil:

Frekuensi napas 30 x/ menit, irama napas cepat,


menggunakan alat bantu pernapasan ventilator, bunyi napas
ronchi, spuntum berwarna putih pekat dan kental.

Teraupeutik
1. Memberikan inhalasi obat bronkodilator ventolin dan
combivent
2. Melakukan hiperoksigenisasi sebelum dan sesudah
melakukan penghisapan lendir
3. Melakukan penghisapan lendir

Hasil:
Pasien sudah diberikan obat ventolin dan combivent dengan
rute inhalasi. Pasien sudah diberikan oksigen sebelum dan
sesudah melakukan penghisapan lendir.

2 Observasi

Memonitor saturasi oksigen

Hasil:

Saturasi oksigen 99%

3 Observasi
1. Memonitor tanda/gejala peningkatan TIK
2. Memonitor MAP (Mean Arterial Pressure)
3. Memonitor irreguleritas irama jantung
4. Memonitor penurunan tingkat kesadaran
5. Memonitor respon pupil
Hasil:
Tekanan darah 130/80 mmHg, Nadi 85 x/menit, MAP 113,
EKG menunjukkan sinus rhythm, tingkat kesadaran sopor, pupil
isokhor, reflek terhadap cahaya +/+, ukuran pupil 3 mm.

Teraupeutik
1. Memberikan posisi 30 derajat
2. Mempertahankan suhu tubuh

Hasil:
Posisi tepat tidur bagian kepala sudah diatur menjadi 30 derajat,
Memberikan paracetamol drip 100 ml dalam satu jam, setelah
satu jam kemudian suhu tubuh turun menjadi 37,1◦C

Kolaborasi
1. Berkolaborasi pemberian sedasi, manitol, ceftriaxone,
paracetamol, propofol, merofenem, ranitidine,
ondansentron

Hasil:
Terapi sudah diberikan

5 Juni 2021 1 Observasi

1. Memonitor pola napas (frekuensi, irama, usaha napas)


2. Memonitor bunyi napas tambahan
3. Memonitor sputum (jumlah, warna, aroma)

Hasil:

Frekuensi napas 28x/ menit, irama napas cepat, menggunakan


alat bantu pernapasan ventilator, bunyi napas ronchi, spuntum
berwarna putih pekat

Teraupeutik
Melakukan perawatan mulut (oral hygine)

Hasil:
Mulut sudah bersih, bibir sudah tidak pecah-pecah, gigi tampak
bersih dan segar
Teraupeutik
1. Memberikan inhalasi obat bronkodilator ventolin dan
combivent
2. Melakukan hiperoksigenisasi sebelum dan sesudah
melakukan penghisapan lendir
3. Melakukan penghisapan lendir

Hasil:
Pasien sudah diberikan obat ventolin dan combivent dengan
rute inhalasi. Pasien sudah diberikan oksigen sebelum dan
sesudah melakukan penghisapan lendir.

2 Observasi

Memonitor saturasi oksigen

Hasil:

Saturasi oksigen 98%

3 Observasi
1. Memonitor tanda/gejala peningkatan TIK
2. Memonitor MAP (Mean Arterial Pressure)
3. Memonitor irreguleritas irama jantung
4. Memonitor penurunan tingkat kesadaran
5. Memonitor respon pupil

Hasil:
Tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi 80 x/menit, MAP 97, EKG
menunjukkan sinus rhythm, tingkat kesadaran sopor, pupil
isokhor, reflek terhadap cahaya +/+, ukuran pupil 3 mm.

Teraupeutik
1. Mempertahankan suhu tubuh

Hasil:
Suhu tubuh pasien 36,8C

Kolaborasi
1. Berkolaborasi pemberian sedasi, manitol, ceftriaxone,
paracetamol, propofol, merofenem, ranitidine,
ondansentron

Hasil:
Terapi sudah diberikan ke pasien.

6 Juni 2021 1 Observasi

1. Memonitor pola napas (frekuensi, irama, usaha napas)


2. Memonitor bunyi napas tambahan
3. Memonitor sputum (jumlah, warna, aroma)

Hasil:

Frekuensi napas 25 x/ menit, irama napas reguler,


menggunakan alat bantu pernapasan ventilator, bunyi napas
ronchi, spuntum berwarna putih

Teraupeutik
1. Memberikan inhalasi obat bronkodilator ventolin dan
combivent
2. Melakukan hiperoksigenisasi sebelum dan sesudah
melakukan penghisapan lendir
3. Melakukan penghisapan lendir
4. Melakukan perawatan mulut (oral hygine)

Hasil:
Pasien sudah diberikan obat ventolin dan combivent dengan
rute inhalasi. Pasien sudah diberikan oksigen sebelum dan
sesudah melakukan penghisapan lendir. Gigi tampak bersih dan
segar, mulut bersih, bibir tidak pecah-pecah

2 Observasi

Memonitor saturasi oksigen

Hasil:

Saturasi oksigen 99%


3 Observasi
1. Memonitor tanda/gejala peningkatan TIK
2. Memonitor MAP (Mean Arterial Pressure)
3. Memonitor irreguleritas irama jantung
4. Memonitor penurunan tingkat kesadaran
5. Memonitor respon pupil

Hasil:
Tekanan darah 125/83 mmHg, Nadi 79x/menit, MAP 111, EKG
menunjukkan sinus rhythm, tingkat kesadaran sopor, pupil
isokhor, reflek terhadap cahaya +/+, ukuran pupil 3 mm.

Teraupeutik
1. Mempertahankan suhu tubuh

Hasil:
Suhu tubuh pasien 36°C

Kolaborasi
1. Berkolaborasi pemberian sedasi, manitol, ceftriaxone,
paracetamol, propofol, merofenem, ranitidine,
ondansentron

Hasil:
Terapi telah diberikan ke pasien.
A. Evaluasi

No
No Tanggal Evaluasi Paraf
Dx
1 6 Juni 1 S:
2021 -

O:
• Frekuensi napas 25 x/ menit
• Irama napas reguler
• Klien terpasang oksigen dengan ventilator
• Bunyi napas ronchi
• Sputum berwarna putih
• Produksi sputum menurun (5)
• Frekuensi napas membaik (5)

A: Masalah belum teratasi

P: Lanjutkan semua intervensi pada diagnosis 1


2 6 Juni 2 S:
2021 -

O:
• Saturasi oksigen 99%
• Klien terpasang oksigen dengan ventilator
• Bunyi napas ronchi
• Produksi sputum menurun (5)
• Frekuensi napas membaik 25 x/ menit (5)
• Dispnea cukup menurun (4)
• Penggunaan otot bantu napas cukup menurun
(4)
• Pola napas reguler dan membaik (5)

A: Masalah belum teratasi

P:
Lanjutkan semua intervensi dan modifikasi pada
diagnosis 2
3 6 Juni 3 S:
2021 -
O:
• Tingat kesadaran sedang (3)
• Tekanan intra kranial cukup meningkat (4)
Pupil isokhor
Reflek pupil +/+
Ukuran pupil 3 mm
MAP 111 mmHg
EKG sinus rhythm
• Demam menurun (5)
• Tekanan darah sistolik membaik (5)
• Tekanan darah diastolik membaik (5) Tekanan
darah 125/83 mmHg

A: Masalah belum teratasi

P:
Lanjutkan semua intervensi dan modifikasi pada
diagnosis 2

DAFTAR PUSTAKA
Arif Muttaqin. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Salemba Medika Jakarta
Bulechek, Gloria M.,dkk. 2016. Nursing Intervensi Classification (NIC) edisi
bahasa Indonesia. Indonesia
Bulechek, Gloria M.,dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC) edisi
bahasa Indonesia. Indonesia
Corwin, Elizabeth, J. 2009. Buku aku Patofisiologi Edisi Revisi 3. Jakarta : EGC
Stillwell, Susan. B. 2012. Pedoman Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC
Morton, Patricia, dkk. 2012. Keperawatan Kritis Volume 2 Pendekatan Asuhan
Holistik. Jakarta : EGC
Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat Contoh Askep Dengan Pendekatan
Nanda, NIC, NOC. Yogyakarta : Nuha Medika
NANDA. 2016. Diagnosis keperawatan definisi dan klasifikasi 2015 – 2017 edisi
10.Jakarta:EGC
Price, Sylvia dan Lorraine Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne, dan Brenda Bare. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8. Jakarta : EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Wijaya, Andra Saferi dan Yessie Mariza Putri. 2013. KMB 2 Keperawatan
Medikal Bedah (Keperawatan Dewasa). Yogyakarta : Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai