Disusun oleh :
Fifi Maghfiroh
28
2. Etiologi
Kejadian cedera kepala bervariasi mulai dari usia, jenis kelamin,
suku, dan faktor lainnya. Kejadian-kejadian dan prevalensi dalam studi
epidemiologi bervariasi berdasarkan faktor -faktor seperti nilai keparahan,
apakah disertai kematian, apakah penelitian dibatasi untuk orang yang
dirawat di rumah sakit dan lokasi penelitian (NINDS, 2013).
Penyebab cedera kepala berat adalah:
a. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat
dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi kontusio
serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan
perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera
menyeluruh (difusi). Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi
dalam 4 bentuk yaitu cedera akson, kerusakan otak hipoksia,
pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak
koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang
otak atau kedua-duanya.
Akibat trauma tergantung pada :
1) Kekuatan benturan (parahnya kerusakan).
2) Akselerasi dan Deselerasi
3) Cup dan kontra cup
Cedera cup adalah kerusakan pada daerah dekat yang
terbentur. Sedangkan cedera kontra cup adalah kerusakan cedera
berlawanan pada sisi desakan benturan. a) Lokasi benturan
b) Rotasi
Pengubahan posisi pada kepala menyebabkan trauma
regangan dan robekan substansia alba dan batang otak.
c) Depresi fraktur
Kekuatan yang mendorong fragmen tulang turun
menekan otak lebih dalam. Akibatnya CSS (Cairan Serebro
Spinal) mengalir keluar ke hidung, telinga → masuk kuman →
kontaminasi dengan CSS → infeksi →kejang.
3. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan
glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf
hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai
cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh
kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan
glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga
bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala
permulaan disfungsi serebral seperti kesulitan dalam berbicara,nyeri di
kepakla dan bola mata, tampak berkeringat, bisa muntah, dan terjadi
kerusakan fungsi motorik. Dari sini dapat muncul masalah keperawatan
gangguan perfusi jaringan serebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi
kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme
anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan
normal cerebral bood flow (CBF) adalah 50-60 ml/menit/100 gr jaringan
otak yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala menyebakan perubahan fungsi jantung sekuncup
aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru.
Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T
dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel, takikardia. Akibat
adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada
pembuuh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
2) Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau
lesi difus, walaupun kedua jenis lesi ini sering terjadi bersamaan.
Lesi fokal adalah perdarahan epidural, perdarahan subdural,
kontusio (hematom intraserebral), dan perdarahan intra serebral.
3) Cedera otak difusi
Cedera otak difusi mulai dari konkusi ringan dimana gambaran
CT scan normal, sampai cedera iskemi-hipoksik yang
berat.Cedera otak difus berat biasanya diakibatkan oleh hipoksia,
iskemi otak karena syok yang berkepanjangan atau periode
apneu yang terjadi segera setelah trauma. Pada kasus tersebut,
awalnya CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau
gambaran otak bengkak secara merata dengan batas area
substasia putih dan abu-abu hilang. Kelainan difus lainnya,
seringterlihat pada cedera dengan kecepatan tinggi atau cedera
deselerasi, yang dapat menunjukkan gambaran titik perdarahan
multipel diseluruh hemisfer otak tepat dibatas area putih dan
abuabu.
4) Perdarahan epidural
Perdarahan epidural relatif jarang, lebih kurang 0,5% dari semua
cedera otak dan 9% dari pasien yang mengalami koma.
Hematom epidural itu secara tipikal berbentuk bikonveks atau
cembung sebagai akibat dari pendorongan perdarahan terhadap
duramater yang sangat melekat di tabula interna tulang kepala.
Perdarahan ini sering terjadi pada area temporal atau
temporoparietal dan biasanya disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
5) Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan
epidural, kira -kira 30% dari cedera otak berat. Perdarahan ini
sering terjadi akibat robekan pembuluh darah atau vena -vena
kecil di permukaan korteks serebri. Berbeda dengan perdarahan
epidural yang berbentuk lensa cembung pada CT scan,
perdarahan subdural biasanya mengikuti dan menutupi
permukaan hemisfer otak. Perdarahan ini dapat menutupi seluruh
permukaan otak. Kerusakan otak yang berada di bawah
perdarahan subdural biasanya lebih berat dan prognosisnya lebih
buruk daripada perdarahan epidural.
6) Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi (20% sampai 30% dari cedera
otak berat). Sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus
temporal, meskipun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari
otak. Kontusio serebri dapat terjadi dalam waktu beberapa jam
atau hari, berkumpul menjadi perdarahan intraserebral atau
kontusio yang luas (ATLS, 2008).
5. Studi Diagnostik
a. Foto polos kepala
Tidak semua penderita dengan cedera kepala diindikasikan untuk
pemeriksaan foto polos kepala karena masalah biaya dan kegunaan
yang sekarang mungkin sudah ditinggalkan. Jadi, indikasi meliputi
jejas lebih dari 5 cm , luka tembus (peluru/tajam), deformasi kepala
(dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal
neurologis, dan gangguan kesadaran.
b. CT – Scan
Indikasi CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat-obatan analgesia atau anti muntah.
2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna
terdapat pada lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang
general.
3) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor – faktor ekstrakranial
telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi misalnya
karena syok, febris, dll).
4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.
5) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari
GCS (Sthavira, 2012).
c. MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk pasien
yang memiliki abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT
Scan. MRI telah terbukti lebih sensitif daripada CT-Scan, terutama
dalam mengidentifikasi lesi difus non hemoragik cedera aksonal.
d. EEG
Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin untuk
membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat
melihat perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah
studi landmark pemantauan EEG terus menerus pada pasien rawat
inap dengan cedera otak traumatik. Kejang konfulsif dan non
konfulsif tetap terlihat dalam 22%. Pada tahun 2012 sebuah studi
melaporkan bahwa perlambatan yang parah pada pemantauan EEG
terus menerus berhubungan dengan gelombang delta atau pola
penekanan melonjak dikaitkan dengan hasil yang buruk pada bulan
ketiga dan keenam pada pasien dengan cedera otak traumatik.
e. X – Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan atau edema), fragmen tulang (Rasad, 2011).
6. Pengobatan
a. Cedera kepala sedang (GCS 9 -12)
Kurang lebih 10% pasien dengan cedera kepala di Unit Gawat
Darurat (UGD) menderita cedera otak sedang. Mereka umumnya
masih mampu menuruti perintah sederhana, namun biasanya tampak
bingung atau mengantuk dan dapat pula disertai defisit neurologis
fokal seperti hemiparesis. Sebanyak 10 -20% dari pasien cedera otak
sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Untuk alasan
tersebut maka pemeriksaan neurologi secara berkala diharuskan dalam
mengelola pasien ini.
Saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera
dilakukan stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis
dilaksanakan. CT Scan kepala harus selalu dilakukan dan segera
menghubungi ahli bedah saraf. Pasien harus dirawat di ruang
perawatan intensif atau yang setara, dimana observasi ketat dan
pemeriksaan neurologis serial dilakukan selama 12-24 jam pertama.
Pemeriksaan CT Scan lanjutan dalam 12-24 jam direkomendasikan
bila hasil CT Scan awal abnormal atau terdapat penurunan status
neurologis pasien (ATLS, 2008).
b. Cedera kepala berat (GCS < 8)
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh
karena itu disamping kelainan serebral juga disertai kelainan
sistemik.Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut: 1)
Resusitasi jantung paru ( airway, breathing, circulation =ABC) Pasien
dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan
hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu
tindakan pertama adalah: a) Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang
dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa
orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan,
darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui
pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan.
b) Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan
sentral atau perifer. Kelainansentral adalah depresi
pernafasan pada lesi medula oblongata, pernafasan cheyne
stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation.
Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru,
DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan
dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan
pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab
dan kalau perlu memakai ventilator.
c) Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan
kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh
kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial,
yakni berupa hipovolemik akibat perdarahan luar atau ruptur
alat dalam, trauma dada disertai tempo nadi jantung atau
peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah
menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung
dan mengganti darah yang hilang dengan plasma.
2) Pemeriksaan fisik
Setelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi
kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstrakranial.
Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan
ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas
bisa diartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus
segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.
3) Tekanan Intrakranial (TIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi,
hematom intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun
naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal
adalah berkisar 0 -15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus
diturunkan dengan urutan sebagai berikut: a) Hiperventilasi
Setelah resusitasi ABC, dilakukan hiperventilasi dengan
ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2)
27 -30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti
berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan
PCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu
dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK
naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24 -48 jam. Bila
TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah
dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom.
b) Drainase
Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil.
Untuk jangka pendek dilakukan drainase ventrikular,
sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo
peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus.
c) Terapi diuretik
(1) Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari
jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh
kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis
pemberiannya harus dihentikan.Cara pemberiannya : Bolus
0,5 -1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5
gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24 -48 jam. Monitor
osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm.
(2) Loop diuretik (Furosemid)
Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek
menghambat pembentukan cairan serebrospinal dan
menarik cairan interstisial pada edema sebri.
Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek
sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh
manitol. Dosis 40 mg/hari/IV.
d) Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus -kasus yang tidak responsif
terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Cara
pemberiannya adalah bolus 10 mg/kgBB/IV selama 0,5 jam
dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan
pada kadar serum 3-4 mg dengan dosis sekitar 1
mg/kgBB/jam. Setelah TIK terkontrol 20 mmHg selama 24-48
jam dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
e) Steroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak.
Akan tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh
karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera
kepala.
f) Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi
tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan
kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau
laterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit
sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
4) Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah
bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500 -2000
ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid
seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan
kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan
cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan
hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan
tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia
kembali normal dan volume urine normal >30 ml/jam. Setelah 3-4
hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada
keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan
elektrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada
pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of
inappropriate anti diuretichormone (SIADH). Dalam keadaan ini
perlu dipantau kadar elektrolit, gula darah, ureum,kreatinin dan
osmolalitas darah.
5) Nutrisi
Setelah 3-4 hari dengan cairan perenteral pemberian cairan nutrisi
peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000
3000 kalori/hari.
6) Epilepsi atau kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma
disebut early epilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama
disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul pada
anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur
impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik.
a. Identitas pasien
b. Riwayat Penyakit
1) Keluhan Utama
1) B1 (BREATHING)
6) B6 (BONE)
d. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan diagnostik
a) X-ray/CT Scan
2) Pemeriksaan laboratorium
a) AGD : PO2, pH, HCO3 : untuk mengkaji
keadekuatan ventilasi (mempertahankan AGD
dalam rentang normal untuk menjamin aliran darah
serebral adekuat) atau untuk melihat masalah
oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK.
b) Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan
dengan gangguan regulasi natrium, retensi Na
berakhir dapat beberapa hari, diikuti diuresis Na,
peningkatan letargi, konfusi dan kejang akibat
ketidakseimbangan elektrolit.
c) Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin,
protein serum
d) CSS : menentukan kemungkinan adanya
perdarahan subarachnoid (warna, komposisi,
tekanan).
e) Pemeriksaan toksikologi: mendeteksi obat yang
mengakibatkan penurunan kesadaran.
f) Kadar antikonvulsan darah : untuk mengetahui
tingkat terapi yang cukup efektif mengatasi kejang.
2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang dapat ditemukan dalam Standar
Diagnosis Keperawatan Indonesia pada pasien dengan cedera kepala
berat antara lain:
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan
neurologis (cedera kepala), gangguan neuromuskular,
kerusakan inervasi diafragma (kerusakan saraf C5 ke atas),
cedera pada medula spinalis, efek agen farmakologis (D.0005)
b. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
hipersekresi jalan napas, sekresi yang tertahan, disfungsi
neuromuskular, efek agen farmakologis (anaestesi), adanya
jalan napas buatan (D. 0149)
c. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan
cedera kepala (D. 0017)
d. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma)
(D.0077)
e. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna
makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme
(D.0019)
f. Risiko jatuh berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran
(D.0143)
g. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
integritas struktur struktur tulang, gangguan neuromuskular
(D.0054)
h. Inkontinensia urin berlanjut berhubungan dengan trauma,
kerusakan refleks kontraksi detrusor (D.0042)
i. Inkontinensia fekal berhubungan dengan kerusakan susunan
syaraf motorik bawah, kehilangan fungsi pengendalian sfingter
rektum (D.0041)
j. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan
neuromuskuloskeletal (D.0109)
k. Risiko Infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
(D.0142)
l. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, ancaman
terhadap kematian, kekhawatiran akan kegagalandisfungsi
sistem keluarga (D. 0080)
m. Konfusi kronis berhubungan dengan cedera otak (D. 0065)
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosis Keperawatan Tujuan & kriteria hasil Intervensi
Pola nafas tidak efektif L.01004 Pola napas I.01014 Pemantauan respirasi
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi
keperawatan selama … a. Monitor frekuensi
gangguan neurologis diharapkan inspirasi dan napas, kedalaman, dan
(cedera kepala), gangguan ekspirasi yang memberikan upaya napas
ventilasi adekuat dengan b. Monitor pola napas
neuromuskular, kerusakan kriteria hasil : c. Monitor kemampuan
inervasi diafragma 1. Dispnea menurun batuk efektif
2. Penggunaan otot bantu d. Monitor adanya
(kerusakan saraf C5 ke napas menurun produksi sputum
atas), cedera pada medula 3. Pemanjangan fase e. Monitor adanya
ekspirasi menurun sumbatan jalan napas
spinalis, efek agen 4. Frekuensi napas f. Auskultasi bunyi
farmakologis (D.0005) membaik napas
5. Kedalaman napas g. Monitor saturasi
membaik oksigen
6. Kesulitan bernapas
menurun 2. Terapeutik
a. Atur interval
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
b. Informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu
3. Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
b. Informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu
2. Terapeutik
a. Posisikan semi-
Fowler atau Fowler
b. Berikan minum hangat
c. Lakukan fisioterapi dada,
jika perlu
d. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
e. Lakukan hiperoksigenasi
sebelum
f. Penghisapan endotrakeal
g. Keluarkan sumbatan
benda padat dengan
forsep McGill
h. Berikan oksigen, jika
perlu
3. Edukasi
a. Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hari,
jika tidak kontraindikasi.
b. Ajarkan teknik batuk
efektif
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik,
jika perlu
2. Terapeutik
a. Atur interval
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
b. Informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu
3. Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
b. Informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu
2. Terapeutik
a. Posisikan semi-
Fowler atau Fowler
b. Berikan minum
hangat
c. Lakukan fisioterapi dada,
jika perlu
d. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
e. Lakukan hiperoksigenasi
sebelum
f. Penghisapan endotrakeal
g. Keluarkan sumbatan
benda padat dengan
forsep McGill
h. Berikan oksigen, jika
perlu
3. Edukasi
a. Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hari,
jika tidak kontraindikasi.
b. Ajarkan teknik batuk
efektif
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
2. terapeutik
a. lakukan perawatan mulut
secara rutin, termasuk
sikat gigi setiap 12 jam
b. lakukan penghisapan
lendir sesuai kebutuhan
c. dokumentasikan respon
terhadap
ventilator
3. kolaborasi
a. kolaborasi pemilihan
mode ventilator (mis,
kontrol volume, kontrol
tekanan, atau gabungan)
b. kolaborasi pemberian
pelumpuh otot, sedatif,
analgesik, sesuai
kebutuhan)
c. kolaborasi penggunaan PS
atau PEEP untuk
meminimalkan
hipoventilasi alveolus
2. Terapeutik
a. Berikan posisi 30
derajat
b. Hindari maneuver
Valsava
c. Cegah terjadinya
kejang
d. Hindari pemberian cairan
IV hipotonik
e. Atur ventilator agar
PaCO2 optimal
f. Pertahankan suhu tubuh
normal
3. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
sedasi dan antikonvulsan,
jika perlu
b. Kolaborasi pemberian
diuretic osmosis, jika perlu
1. Observasi
a. Observasi penyebab
peningkatan TIK (mis. Lesi
menempati ruang,
gangguan metabolism,
edema sereblal,
peningkatan tekanan vena,
obstruksi aliran cairan
serebrospinal, hipertensi
intracranial idiopatik)
b. Monitor peningkatan
TD
c. Monitor pelebaran tekanan
nadi (selish
TDS dan TDD)
d. Monitor penurunan
frekuensi jantung
e. Monitor ireguleritas irama
jantung
f. Monitor penurunan tingkat
kesadaran
g. Monitor perlambatan atau
ketidaksimetrisan respon
pupil
h. Monitor kadar CO2 dan
pertahankan dalm rentang
yang diindikasikan
i. Monitor tekanan perfusi
serebral
j. Monitor jumlah, kecepatan,
dan karakteristik drainase
cairan serebrospinal
k. Monitor efek stimulus
lingkungan terhadap
TIK
2. Terapeutik
a. Pertahankan sterilitas
system pemantauan
b. Pertahankan posisi kepala
dan leher netral
c. Atur interval pemantauan
sesuai kondisi pasien
d. Dokumentasikan hasil
pemantauan
2. Terapeutik
a. Diskusikan jenis analgesik
yang disukai untuk
mencapai analgesia
optimal, jika perlu
b. Pertimbangkan penggunaan
infus kontinu, atau bolus
oploid untuk
mempertahankan kadar
dalam serum
c. Tetapkan target efektifitas
analgesik untuk
mengoptimalkan respons
pasien
d. Dokumentasikan respons
terhadap efek analgesik dan
efek
yang tidak diinginkan
3. Edukasi
Jelaskan efek terapi dan
efek samping obat
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian dosis dan
jenis analgesik, sesuai indikasi
1. Observasi
a. Identifikasi lokasi,
karakteristik durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas nyeri
b. Identifikasi skala nyeri
c. Identifikasi respons
nyeri non verbal
d. Identifikasi faktor yang
memperberat
dan memperingan nyeri
e. Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan
f. Monitor efek samping
penggunaan analgetik
2. Terapeutik
a. Berikan teknik
nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hipnosis,
akupresur, terapi
musik, biofeedback, terapi
pijat, aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres hangat dingin)
b. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(mis. suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
c. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
3. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu
4. Implementasi
tahap perencanaan.
5. Evaluasi
sebagai berikut :
terdiri atas:
akibat pengobatan.
TINJAUAN KASUS
Tn. J pasien cidera kepala di rawar di ruangan ICU RSD Kab Tangerang, riwayat
sakit pasien yaitu korban kecelakan bermotor. Pasien terpasang Ventilator mode
SIMV dengan PEEP 6 PIP 12 Kesadaran pasien somnolen GCS 9 E2V ETT M3 ,
klien mengalami cidera kepala, di selang ETT klien terdapat sekret, terdapat suara
tambahan ronchi, irama napas cepat, pola napas takipne RR : 33x/menit CRT < 3
detik, Suhu 37 C, HR 84x /menit, TD 130/80, Buatlah Asuhan Keperawatan
tentang kasus di atas
A. Pengkajian
1. Biodata Pasien
a. Nama : Tn. J
b. Umur : 22 tahun
d. No Medrek : 0425282
e. Agama : Islam
f. Golongan Darah : -
2. Biodata Penanggungjawab
a. Nama : Ny. V
b. Umur : 22 tahun
c. Agama : Islam
d. Hubungan dgn klien : Istri
e. Pekerjaan : Karyawan Swasta
l. Alamat Lengkap : Kampung Sejahtera,
Sepatan
No.04, Kab Tangerang
3. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
tidak pakai helm pada tanggal 2 JUni 2021 jam 02.00 dini hari.
kepala bagian depan, lalu pasien tidak sadarkan diri. Setelah itu
cranitomy.
4. Primary Survey
5. Secondary Survey
a. Folley Cateter
Klien terpasang kateter no 16, tidak terdapat tanda-tanda ruptur
uretra dan hematuria.
b. Gastric Tube
Klien terpasang NGT, tidak terdapat pengeluaran darah atau cairan
dari NGT
c. Heart Monitor
Tekanan darah 130/80 mmHg, Nadi pasien teraba 83 x/menit, irama
tidak teratur, MAP : 115 mmHg.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : penurunan kesadaran
b. GCS : E2V ETT M3 (Sopor)
c. Kepala
1) Kepala
Bentuk kepala asimetris, bengkak, terdapat luka dengan ukuran
± 3 cm pada frontal parietal dextra dan sinistra kepala, luka
tertutup perban post operasi 1 hari. Terdapat jejas di sekitar
wajah.
2) Mata
Area disekitar mata kebiruan dan bengkak, isokhor, refleks
pupil terhadap cahaya +/+, ukuran pupil kanan dan kiri 3 mm.
3) Hidung
Bentuk simetris, terdapat luka lecet, terpasang NGT
4) Telinga
Bentuk simetris, tidak terdapat darah yang keluar dari telinga
5) Mulut dan tenggorokan
Simetris, ada karies, membran mukosa kering, kesulitan bicara
dan menelan karena pasien mengalami penurunan kesadaran.
Klien terpasang gudle dan ETT yang terhubung dengan
ventilator. Terdapat secret di selang ETT dan mulut.
6) Leher
Tidak terdapat lesi dan fraktur disekitar leher, tidak ada
pembesaran JVP
d. Thorax
Bentuk simetris, tidak terdapat indikasi fraktur daerah throrax,
auskulasi ronchi, saat diperkusi terdengar sonor, RR 33 x/menit.
Terdapat produksi sputum.
e. Abdomen
Dinding abdomen simetris, terdapat lecet bagian pinggang kanan
f. Genetalia
Tidak terdapat hematom, lesi daerah genetalia, maupun ruptur uretra.
Klien terpasang kateter urine
g. Ekstremitas
1) Ekstremitas Atas
Keadaan lengkap kiri dan kanan, Bentuk simetris dan bengkak,
terdapat jejas dan lecet pada ekstremitas, keterbatasan gerak.
Terpasang infus pada tangan sebelah kiri, tidak sianosis,
kekuatan otot 2/2.
2) Ekstremitas Bawah
Keadaan lengkap kiri dan kanan, simetris kiri dan kanan,
terdapat edema pada ekstremitas, kekuatan otot 1/1, refleks
patella positif.
h. Integumen
Ada luka dan hematom dengan ukuran ± 3 cm pada frontal parietal
dextra dan sinistra kepala, luka tertutup perban post operasi 1 hari.
Terdapat jejas di sekitar wajah, ekstremitas, terdapat ekimosis
dibagian wajah, ekstremitas atas dan bawah, dan pinggang kanan.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
8. Pengobatan
7 Ranitidin 2 x 25 mg I.V
8 Ondansentron 2 mg I.V
9 Combivent 3x1 Inhalasi
10 Ventolin 3x1 Inhalasi
11 Manitol 600 ml (200 ml/30 menit) IV
B. Analisa Data
C. Diagnosis Keperawatan
2. Terapeutik
a. Posisikan semi-
Fowler atau Fowler
b. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
c. Lakukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakeal
d. Berikan oksigen, jika
perlu
3. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
I.01013
Manajemen Ventilasi
Mekanik
1. Observasi
a. Periksa indikasi
ventilator mekanik
(mis. Kelelahan otot
napas, disfungsi
neurologis, respirasi
respiratorik)
b. Monitor gejala
peningkatan
pernapasan (mis,
peningkatan denyut
jantung atau
pernapasan,
peningkatan tekanan
darah, diaforesis,
perubahan status
mental)
c. monitor gangguan
mukosa oral, nasal,
trakea dan laring
2. Terapeutik
a. lakukan perawatan
mulut secara rutin,
termasuk sikat gigi
setiap 12 jam
b. lakukan penghisapan
lendir sesuai
kebutuhan
c. dokumentasikan
respon terhadap
ventilator
3. Kolaborasi
a. kolaborasi pemilihan
mode ventilator (mis,
kontrol volume,
kontrol tekanan, atau
gabungan)
b. kolaborasi pemberian
pelumpuh otot,
sedatif, analgesik,
sesuai kebutuhan)
c. kolaborasi
penggunaan PS atau
PEEP untuk
meminimalkan
hipoventilasi alveolus
2. Terapeutik
a. Posisikan semi-
Fowler atau Fowler
b. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
c. Lakukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakeal
d. Berikan oksigen, jika perlu
3. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
3. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
sedasi dan antikonvulsan,
jika perlu
I.06198
Pemantauan Tekanan
Intrakranial
1. Observasi
a. Monitor peningkatan
TD
b. Monitor pelebaran tekanan
nadi (selish
TDS dan TDD)
c. Monitor penurunan
frekuensi jantung
d. Monitor ireguleritas irama
jantung
e. Monitor penurunan tingkat
kesadaran
f. Monitor perlambatan atau
ketidaksimetrisan respon
pupil
g. Monitor kadar CO2 dan
pertahankan dalam rentang
yang diindikasikan
h. Monitor tekanan perfusi
serebral
i. Monitor jumlah, kecepatan,
dan karakteristik drainase
cairan serebrospinal
j. Monitor efek stimulus
lingkungan terhadap
TIK
2. Terapeutik
a. Pertahankan posisi kepala
dan leher netral
b. Dokumentasikan hasil
pemantauan
E. Implementasi Keperawatan
Hari/tangga
No Dx Implementasi
l
4 Juni 1 Observasi
Hasil:
Teraupeutik
1. Memberikan inhalasi obat bronkodilator ventolin dan
combivent
2. Melakukan hiperoksigenisasi sebelum dan sesudah
melakukan penghisapan lendir
3. Melakukan penghisapan lendir
Hasil:
Pasien sudah diberikan obat ventolin dan combivent dengan
rute inhalasi. Pasien sudah diberikan oksigen sebelum dan
sesudah melakukan penghisapan lendir.
2 Observasi
Hasil:
3 Observasi
1. Memonitor tanda/gejala peningkatan TIK
2. Memonitor MAP (Mean Arterial Pressure)
3. Memonitor irreguleritas irama jantung
4. Memonitor penurunan tingkat kesadaran
5. Memonitor respon pupil
Hasil:
Tekanan darah 130/80 mmHg, Nadi 85 x/menit, MAP 113,
EKG menunjukkan sinus rhythm, tingkat kesadaran sopor, pupil
isokhor, reflek terhadap cahaya +/+, ukuran pupil 3 mm.
Teraupeutik
1. Memberikan posisi 30 derajat
2. Mempertahankan suhu tubuh
Hasil:
Posisi tepat tidur bagian kepala sudah diatur menjadi 30 derajat,
Memberikan paracetamol drip 100 ml dalam satu jam, setelah
satu jam kemudian suhu tubuh turun menjadi 37,1◦C
Kolaborasi
1. Berkolaborasi pemberian sedasi, manitol, ceftriaxone,
paracetamol, propofol, merofenem, ranitidine,
ondansentron
Hasil:
Terapi sudah diberikan
Hasil:
Teraupeutik
Melakukan perawatan mulut (oral hygine)
Hasil:
Mulut sudah bersih, bibir sudah tidak pecah-pecah, gigi tampak
bersih dan segar
Teraupeutik
1. Memberikan inhalasi obat bronkodilator ventolin dan
combivent
2. Melakukan hiperoksigenisasi sebelum dan sesudah
melakukan penghisapan lendir
3. Melakukan penghisapan lendir
Hasil:
Pasien sudah diberikan obat ventolin dan combivent dengan
rute inhalasi. Pasien sudah diberikan oksigen sebelum dan
sesudah melakukan penghisapan lendir.
2 Observasi
Hasil:
3 Observasi
1. Memonitor tanda/gejala peningkatan TIK
2. Memonitor MAP (Mean Arterial Pressure)
3. Memonitor irreguleritas irama jantung
4. Memonitor penurunan tingkat kesadaran
5. Memonitor respon pupil
Hasil:
Tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi 80 x/menit, MAP 97, EKG
menunjukkan sinus rhythm, tingkat kesadaran sopor, pupil
isokhor, reflek terhadap cahaya +/+, ukuran pupil 3 mm.
Teraupeutik
1. Mempertahankan suhu tubuh
Hasil:
Suhu tubuh pasien 36,8C
Kolaborasi
1. Berkolaborasi pemberian sedasi, manitol, ceftriaxone,
paracetamol, propofol, merofenem, ranitidine,
ondansentron
Hasil:
Terapi sudah diberikan ke pasien.
Hasil:
Teraupeutik
1. Memberikan inhalasi obat bronkodilator ventolin dan
combivent
2. Melakukan hiperoksigenisasi sebelum dan sesudah
melakukan penghisapan lendir
3. Melakukan penghisapan lendir
4. Melakukan perawatan mulut (oral hygine)
Hasil:
Pasien sudah diberikan obat ventolin dan combivent dengan
rute inhalasi. Pasien sudah diberikan oksigen sebelum dan
sesudah melakukan penghisapan lendir. Gigi tampak bersih dan
segar, mulut bersih, bibir tidak pecah-pecah
2 Observasi
Hasil:
Hasil:
Tekanan darah 125/83 mmHg, Nadi 79x/menit, MAP 111, EKG
menunjukkan sinus rhythm, tingkat kesadaran sopor, pupil
isokhor, reflek terhadap cahaya +/+, ukuran pupil 3 mm.
Teraupeutik
1. Mempertahankan suhu tubuh
Hasil:
Suhu tubuh pasien 36°C
Kolaborasi
1. Berkolaborasi pemberian sedasi, manitol, ceftriaxone,
paracetamol, propofol, merofenem, ranitidine,
ondansentron
Hasil:
Terapi telah diberikan ke pasien.
A. Evaluasi
No
No Tanggal Evaluasi Paraf
Dx
1 6 Juni 1 S:
2021 -
O:
• Frekuensi napas 25 x/ menit
• Irama napas reguler
• Klien terpasang oksigen dengan ventilator
• Bunyi napas ronchi
• Sputum berwarna putih
• Produksi sputum menurun (5)
• Frekuensi napas membaik (5)
O:
• Saturasi oksigen 99%
• Klien terpasang oksigen dengan ventilator
• Bunyi napas ronchi
• Produksi sputum menurun (5)
• Frekuensi napas membaik 25 x/ menit (5)
• Dispnea cukup menurun (4)
• Penggunaan otot bantu napas cukup menurun
(4)
• Pola napas reguler dan membaik (5)
P:
Lanjutkan semua intervensi dan modifikasi pada
diagnosis 2
3 6 Juni 3 S:
2021 -
O:
• Tingat kesadaran sedang (3)
• Tekanan intra kranial cukup meningkat (4)
Pupil isokhor
Reflek pupil +/+
Ukuran pupil 3 mm
MAP 111 mmHg
EKG sinus rhythm
• Demam menurun (5)
• Tekanan darah sistolik membaik (5)
• Tekanan darah diastolik membaik (5) Tekanan
darah 125/83 mmHg
P:
Lanjutkan semua intervensi dan modifikasi pada
diagnosis 2
DAFTAR PUSTAKA
Arif Muttaqin. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Salemba Medika Jakarta
Bulechek, Gloria M.,dkk. 2016. Nursing Intervensi Classification (NIC) edisi
bahasa Indonesia. Indonesia
Bulechek, Gloria M.,dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC) edisi
bahasa Indonesia. Indonesia
Corwin, Elizabeth, J. 2009. Buku aku Patofisiologi Edisi Revisi 3. Jakarta : EGC
Stillwell, Susan. B. 2012. Pedoman Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC
Morton, Patricia, dkk. 2012. Keperawatan Kritis Volume 2 Pendekatan Asuhan
Holistik. Jakarta : EGC
Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat Contoh Askep Dengan Pendekatan
Nanda, NIC, NOC. Yogyakarta : Nuha Medika
NANDA. 2016. Diagnosis keperawatan definisi dan klasifikasi 2015 – 2017 edisi
10.Jakarta:EGC
Price, Sylvia dan Lorraine Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne, dan Brenda Bare. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8. Jakarta : EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Wijaya, Andra Saferi dan Yessie Mariza Putri. 2013. KMB 2 Keperawatan
Medikal Bedah (Keperawatan Dewasa). Yogyakarta : Nuha Medika