Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cidera Kepala Berat (CKB) -


Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
disertai perdarahan intertisial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas
otak (Tarwoto, 2007: 125).
Hampir semua orang dalam hidupnya mengalami beberapa bentuk trauma kepala.
Lansia, bayi, dan mereka yang bermasalah seperti penyalahgunaan alkohol, terapi anti-
koagulasi khususnya rentan untuk konsekuensi serius setelah cedera kepala. Di
Indonesia, cedera kepala adalah penyebab utama kecacatan dan kematian dewasa di
bawah usia 40 tahun yang mempunyai dampak penting pada pasien cedera otak,
keluarga dan masyarakat. Berbagai derajat gejala termasuk kehilangan kesadaran
sementara atau permanen, mual, muntah, sakit kepala, pusing, dan hilang ingatan
mungkin tampak terkait dengan keparahan cedera kepala. Tanda dan gejala cedera
kepala mungki terjadi langsung atau berkembang perlahan setelah beberapa jam hingga
hari. Bahkan jika cedera tidak serius ditemukan, pengamatan hati-hati oleh seorang
dewasa yang bertanggung jawab, baik di rumah atau rumah sakit harus dilakukan dalam
24-48jam pertama setelah cedera. (Http://www.cederakepala.com/2011)
Pengobatan disesuaikan, tergantung keparahan dan jangkauan cedera. Pengobatan
berkisar mulai observasi tanda memburuk seperti rasa kantuk, meningkatnya sakit kepala
atau pusing (cedera kepala minor) untuk mengambil gumpalan darah pada otak untuk
meringankan tekanan pada otak (disebabkan oleh gumpalan darah) atau pemasukan
monitor tekanan otak (cedera kepala akut). (Tarwoto, 2007)

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah dilakukan seminar tentang Cedera Kepala Berat (CKB) diharapkan
mahasiswa mampu memahami secara kognitif, motorik dan afektif serta dapat
menerapkan asuhan keperawatan yang tepat dan komprehensif sehingga dapat
mempercepat proses penyembuhan klien dan memperpendek masa perawatan klien di
rumah sakit.
2. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan seminar diharapkan:
a. Mahasiswa mampu memahami tentang definisi CKB
b. Mahasiswa mampu memahami tentang etiologi CKB
c. Mahasiswa mampu memahami tentang klasifikasi dari CKB
d. Mahasiswa mampu memahami tentang manifestasi klinik CKB
e. Mahasiswa mampu memahami tentang patofisiologi dari CKB
f. Mahasiswa mampu memahami tentang penatalaksanaan CKB
g. Mahasiswa mampu memahani tentang asuhan keperawatan dari CKB yang meliputi
pengkajian, Analisa data dan Diagnosa Keperawatan, Intervensi keperawatan,
Implementasi Keperawatan, dan evaluasi keperawatan.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Cedera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma pada
jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang
terjadi. (Sylvia & Price, 2006).
Cedera kepala adalah suatu gangguan trauma fungsi yang disertai perdarahan
interstisial dalam substansi otak tanpa diikuti continuitas otak (Sjamsuhidajat, 2002).
Resiko utama yang terjadi pada pasien cedera kepala adalah kerusakan otak akibat
perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan
menyebabkan peningkatan TIK.
Cedera kepala adalah pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan atau
tanpa kehilangan kesadaran (Tucker, 2002 ).
Cedera kepala (terbuka dan tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak, commusio (gegar)
serebri, contusio (memar) serebri, laserasi dan perdarahan serebral yaitu diantaranya
subdural, epidural, intraserebral, dan batang otak (Doenges, 2000:270).

Cidera kepala diklasifikasikan berdasarkan:


1. Keadaan kulit kepala dan tulang tengkorak
a. Cidera kepala terbuka
b. Cidera kepala tertutup
2. Cidera pada jaringan otak (secara anatomis)
a. Commusio serebri (gegar otak)
b. Edema serebri
c. Contusio serebri (memar otak)
d. Laserasi
1) Hematoma epidural
2) Hematoma subdural
3) Perdarahan sub arakhnoid
(Ergan, 2001:642)
3. Adanya penetrasi durameter (secara mekanisme)
a. Cidera tumpul
1) Kecepatan tinggi (tabrakan otomobil)
2) Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
b. Cidera tembus
c. Luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya

4. Tingkat keparahan cidera (berdasarkan GCS)


a. Cidera Kepala Ringan (CKR) GCS 13-15
b. Cidera Kepala Sedang (CKS) GCS 9-12
c. Cidera Kepala Berat (CKB) GCS 3-8

GCS (Glasgow Coma Scale)


Membuka mata (E)
§ Spontan :4
§ Dipanggil/diperintah :3
§ Tekanan pada jari/rangsang nyeri :2
§ Tidak berespon :2

Respon Verbal (V)


§ Orientasi baik: dapat bercakap-cakap :5
§ Bingung, dapat bercakap tapi disorientasi : 4
§ Kata yang diucapkan tidak tepat, kacau :3
§ Tidak dapat dimengerti, mengerang :2
§ Tidak bersuara dengan rangsang nyeri :1

Respon Motorik
§ Mematuhi perintah :6
§ Menunjuk lokasi nyeri :5
§ Reaksi fleksi :4
§ Fleksi abnormal thdp nyeri (postur dekortikasi) :3
§ Ekstensi abnormal :2
§ Tidak ada respon, flacid :1

5. Berdasarkan morfologi
a. Fraktur tengkorak
1) Kranium: linear/ stelatum, depresi/ non depresi, terbuka/ tertutup.
2) Basis: dengan/ tanpa kebocoran cairan cerebrospinal, dengan/ tanpa
kelumpuhan nervus VIII

b. Lesi intra cranial


1) Foxal: epidural, subdural, intraserebral
2) Difus: konkusi ringan/ klasik, cidera aksonal difus.

B. Etiologi
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (
Mansjoer, 2000:3).
Penyebab cidera kepala antara lain: kecelakaan lalu lintas, perkelahian, terjatuh, dan
cidera olah raga. Cidera kepala terbuka sering disebabkan oleh peluru atau pisau
(Corkrin, 2001:175).

C. Patofisiologi
Cidera kepala dapat terjadi karena benturan benda keras, cidera kulit kepala, tulang
kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruhnya.
Cidera bervariasi dari luka kulit yang sederhana sampai gegar otak, luka terbuka dari
tengkotak, disertai kerusakan otak, cidera pada otak, bisa berasal dari trauma langsung
maupun tidak langsung pada kepala.
Trauma tak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek
terkena pada kepala akibat menarik leher.
Trauma langsung bila kepala langsung terbuka, semua itu akibat terjadinya akselerasi,
deselerasi, dan pembentukan rongga, dilepaskannya gas merusak jaringan syaraf.
Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya. Kerusakan itu bisa
terjadi seketika atau menyusul rusaknya otak oleh kompresi, goresan, atau tekanan.
Cidera yang terjadi waktu benturan mungkin karena memar pada permukaan otak,
laserasi substansia alba, cidera robekan, atau hemmorarghi.
Sebagai akibat, cidera skunder dapat terjadi sebagai kemampuan auto regulasi serebral
dikurangi atau tidak ada pada area cidera, konsekuensinya meliputi hiperemia
(peningkatan volume darah, peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial,
tekanan intra cranial) (Huddak & Gallo, 2000:226).
Pengaruh umum cidera kepala juga bisa menyebabkan kram, adanya penumpukan
cairan yang berlebihan pada jaringan otak, edema otak akan menyebabkan peningkatan
tekanan intra cranial yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan pada batang
otak. rauma pada kepala menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan
yang terjadi tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar
kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia
Aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal itu
menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan menyebabkan haematoma epidural,
subdura maupun intracranial, perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi pada
sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplai oksigen berkurang dan terjadi hipoksia
jaringan akan menyebabkan edema cerebral. Akibat dari haematoma diatas akan
menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak terdorong ke arah yang berlawanan
yang berakibat pada kenaikan TIK (Tekanan Intrakranial) merangsang kelenjar Pitultary
dan Steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul rasa
mual dan muntah dan anoreksia sehingga masukan nutrisi kurang. (Price and Wilson,
2006:1010).

D. Manifestasi Klinik
Berdasarkan anatomis
1. Gegar otak (comutio selebri)
a. Disfungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran
b. Pingsan kurang dari 10 menit atau mungkin hanya beberapa detik/menit
c. Sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, vertigo, mungkin muntah
d. Kadang amnesia retrogard
2. Edema serebri
a. Pingsan lebih dari 10 menit
b. Tidak ada kerusakan jaringan otak
c. Nyeri kepala, vertigo, muntah
3. Memar otak (kontusio selebri)
a. Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejalanya bervariasi tergantung
lokasi dan derajad
b. Ptechie dan rusaknya jaringan saraf disertai perdarahan
c. Peningkatan tekanan intracranial (PTIK)
d. Penekanan batang otak
e. Penurunan kesadaran
f. Edema jaringan otak
g. Defisit neurologis
h. Herniasi
4. Laserasi
a. Hematoma Epidural
“talk dan die” tanda klasik: penurunan kesadaran ringan saat benturan, merupakan
periode lucid (pikiran jernih), beberapa menit s.d beberapa jam, menyebabkan
penurunan kesadaran dan defisit neurologis (tanda hernia):
1) Kacau mental → koma
2) Gerakan bertujuan → tubuh dekortikasi atau deseverbrasi
3) Pupil isokhor → anisokhor
b. Hematoma subdural
1) Akumulasi darah di bawah lapisan duramater diatas arachnoid, biasanya karena
aselerasi, deselerasi, pada lansia, alkoholik.
2) Perdarahan besar menimbulkan gejala-gejala seperti perdarahan epidura
3) Defisit neurologis dapat timbul berminggu-minggu sampai dengan berbulan-
bulan
4) Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut)
5) Perluasan massa lesi
6) Peningkatan TIK
7) Sakit kepala, lethargi, kacau mental, kejang
8) Disfasia
c. Perdarahan sub arachnoid
1) Nyeri kepala hebat
2) Kaku kuduk

Berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale)


1. Cidera kepala Ringan (CKR)
a. GCS 13-15
b. Kehilangan kesadaran/amnesia <30 menit
c. Tidak ada fraktur tengkorak
d. Tidak ada kontusio celebral, hematoma

2. Cidera Kepala Sedang (CKS)


a. GCS 9-12
b. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >30 menit tetapi kurang dari 24 jam
c. Dapat mengalami fraktur tengkorak
3. Cidera Kepala Berat (CKB)
a. GCS 3-8
b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia > 24 jam
c. Juga meliputi kontusio celebral, laserasi, atau hematoma intracranial (Hudak dan
Gallo, 2001:226)

E. Komplikasi
Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematoma intrakranial,
edema serebral progresif, dan herniasi otak.
a. Edema serebral dan herniasi
Edema serebral adalah penyebab paling umum peningkatan TIK pada pasien yang
mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang terjadi kira kira 72 jam setelah
cedera. TIK meningkat karena ketidakmampuan tengkorak untuk membesar meskipun
peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan trauma.
Sebagai akibat dari edema dan peningkatan TIK, tekanan disebarkan pada jaringan otak
dan struktur internal otak yang kaku. Bergantung pada tempat pembengkakan,
perubahan posisi kebawah atau lateral otak (herniasi) melalui atau terhadap struktur kaku
yang terjadi menimbulkan iskemia, infark, dan kerusakan otak irreversible, kematian.
b. Defisit neurologik dan psikologik
Pasien cedera kepala dapat mengalami paralysis saraf fokal seperti anosmia (tidak
dapat mencium bau bauan) atau abnormalitas gerakan mata, dan defisit neurologik
seperti afasia, defek memori, dan kejang post traumatic atau epilepsy. Pasien mengalami
sisa penurunan psikologis organic (melawan, emosi labil) tidak punya malu, emosi agresif
dan konsekuensi gangguan.
c. Kebocoran cairan cerebrospinal,
dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2 – 6 % pasien
dengan cidera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala
setelah beberapa hari pada 85 % pasien. Drainase lumbai dapat mempercepat proses
ini. Walaupun pasien ini memiliki resiko meningitis yang meningkat (biasanya
pneumolok), pemberian antibiotik profilaksis masih kontoversial. Otorea atau rinorea
cairan cerebrospinal yang menentap atau meningitis berulang merupakan indikasi untuk
operasi reparatif.
d. Fistel Karotis-Kavernosus,
ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosisi dan bruit orbital dapat timbul
segera atau beberapa hari setelah cidera. Anglografi diperlukan untuk konformasi
diagnosis dan terapi dengan oklusi balon endovaskular merupakan cara yang paling
efektif dan dapat mencegah hilangnya penglihatan yang permanen.
e. Diabetes Incipidus,
dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis, menyebabkan
penghentian sekresi hormon antidiuretik. Pasien mengekskresikan sejumlah besar
volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum. Vasopresin arginin
(pitressin) 5 – 10 unit intravena, intramuscular, atau subkutan setiap 4 – 6 jam atau
desmopressin asetat subkutan atau intravena 2 – 4 mg setiap 12 jam, diberikan untuk
mempertahankan pengeluaran urin kurang dari 200 ml/jam, dan volume diganti dengan
cairan hipotonis (0,25 5 atau 0,45 % salin) tergantung pada berat ringannya
hipernatremia.
f. Kejang Pascatrauma,
dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut
(setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predesposisi untuk kejang lanjut.
Kejang dini menunjukkan resiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus
dipertahankan dengan antikonvulsan. Insidens keseluruhan epilepsi pascatrauma lanjut
(berulang, tanpa provokasi) setelah cidera kepala tertutup adalah 5 %; resiko mendekati
20 % pada pasien dengan perdarahan intrakranial ayau fraktur depresi.
g. Pneumonia, radang paru-paru disertai eksudasi dan konsolidasi.
h. Meningitis Ventrikulitis
i. Infeksi saluran kemih
j. Perdarahan gastrointestinal
k. Sepsis asam negatif
l. Kebocoran CSS

Komplikasi lain secara traumatik:


1. Infeksi sitemik (pneumonia, ISK, sepsis)
2. Infeksi bedah neurologi (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis, abses
otak)
3. Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi sendi)
Komplikasi lain:
1. Peningkatan TIK
2. Hemorarghi
3. Kegagalan nafas
4. Diseksi ekstrakranial
Komplikasi menurut

F. Penatalaksanaan CKB (Cidera Kepala Berat)


1. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Menjamin kelancaran jalan nafas dan control vertebra cervicalis
b. Menjaga saluran nafas tetap bersih, bebas dari secret
c. Mempertahankan sirkulasi stabil
d. Melakukan observasi tingkat kesadaran dan tanda tanda vital
e. Menjaga intake cairan elektrolit dan nutrisi jangan sampai terjadi
hiperhidrasi
f. Menjaga kebersihan kulit untuk mencegah terjadinya decubitus
g. Mengelola pemberian obat sesuai program
2. Penatalaksanaan Medis
a. Oksigenasi dan IVFD
b. Terapi untuk mengurangi edema serebri (anti edema)
Dexamethasone 10 mg untuk dosis awal, selanjutnya:
1) 5 mg/6 jam untuk hari I dan II
2) 5 mg/8 jam untuk hari III
3) 5 mg/12 jam untuk hari IV
4) 5 mg/24 jam untuk hari V
c. Terapi neurotropik: citicoline, piroxicam
d. Terapi anti perdarahan bila perlu
e. Terapi antibiotik untuk profilaksis
f. Terapi antipeuretik bila demam
g. Terapi anti konvulsi bila klien kejang
h. Terapi diazepam 5-10 mg atau CPZ bila klien gelisah
i. Intake cairan tidak boleh > 800 cc/24 jam selama 3-4 hari

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. X Ray tengkorak
Untuk mengetahui adanya fraktur pada tengkorak.
2. CT Scan
Mengidentifikasi adanya hemorragic, ukuran ventrikuler, infark pada jaringan
mati.
3. MRI (Magnetic Resonan Imaging)
Gunanya sebagai penginderaan yang mempergunakan gelombang
elektomagnetik.
4. Pemeriksaan Laboratorium
Kimia darah: mengetahui ketidakseimbangan elektrolit.
5. Pemeriksaan analisa gas darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.

BAB III
MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN CKB

A. Pengkajian
Hal penting yang pertama kali dinilai adalah status fungsi vital dan status kesadaran
pasien. Ini harus dilakukan sesegera mungkin bahkan mendahului anamnesis yang teliti.
1. Status fungsi vital
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai adalah:
• Jalan nafas
• Pernafasan
• Nadi dan tekanan darah, sirkulasi jalan nafas harus segera dibersihkan dari
benda asing, lendir atau darah, bila perlu segera dipasang pipa naso/orofuring, diikuti
dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher hams berhati-hati bila ada riwayat / dugaan
trauma servikal (whiplash injury), Jamb dengan kepala dibawa atau trauma tengkuk.
Gangguan yang mungkin ditemukan dapat berupa:
• Pernafasan cheyne stokes
• Pernafasan blot / hiperventilasi
• Pernafasan taksik yang menggambarkan makin memburuknya tingkat
kesadaran.
2. Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama bila
terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur
ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya
frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan intracranial, yang
biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma epidural.
3. Status kesadaran, dewasa ini penilaian status kesadaran secara kualitatif, terutama
pada kasus cidera kepala sudah mulai ditinggalkan karena subyektivitas pemeriksa;
stulah apatik, samnolen, spoor, coma. Sebaliknya dihindari atau disertai dengan
penilaian / perbandingan secara ketat. Cara penilaian kesadaran yang luas digunakan
ialah dengan skala koma Galsgow. Cara ini sederhana tanpa memerlukan alat diagnostik
sehingga dapat digunakan baik oleh dokter maupun perawat. Melalui cara ini,
perkembangan / perubahan kesadaran dari waktu ke waktu dapat diikuti secara akurat.
4. Skala koma Glasgow adalah berdasarkan penilaian / pemeriksaan atas tiga
parameter, yaitu:
a. Buka Mata (E)
4 : Spontan
3 : Dengan perintah
2 : Dengan rangsang nyeri
1 : Tidak ada reaksi
b. Respon Motorik Terbaik (M)
6 : Mengikuti perintah
5 : Melokalisir nyeri
4 : Menghindari nyeri
3 : Fleksi abnormal
2 : Ekstensi abnormal
1 : Tidak ada gerakan
c. Respon Verbal Terbaik (V)
5 : Orientasi baik dan sesuai
4 : Disorientasi tempat dan waktu
3 : Bicara kacau
2 : Mengerang
1 : Tidak ada suara

5. Status Neurologik lain


Selain status kesadaran di atas pemeriksaan neurologik pada kasus trauma kapitis
trauma ditujukan untuk mendeteksi adanya tanda-tanda fokal yang dapat menunjukkan
adanya kelainan fokal, dalam hal ini perdarahan intracranial. Tanda fokal tersebut adalah:
- Anisokori (ketidaksamaan ukuran diameter kedua pupil mata)
- Paresis / Parahisis (Paralisis ringan atau tidak lengkap)
- Reties patologik sesisi

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan cidera kepala
adalah sebagai berikut :
1) Gangguan perfusi jaringan / perfusi jaringan tidak efektif (spesifik serebral)
berhubungan dengan aliran arteri dan atau vena terputus.
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik.
3) Defisit perawatan diri: makan/ mandi, toileting berhubungan dengan kelemahan fisik
dan nyeri.
4) Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual, muntah.
5) Peningkatan tekanan intrakranial b.d proses desak ruang akibat penumpukan cairan /
darah dalam otak
6) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan status hipermetabolik.
7) Kerusakan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kemampuan kognitif,
afektif, dan motorik)

C. Rencana Perawatan

Diagnosa Tujuan dan kriteria


No Intervensi
Keperawatan hasil
1 Perfusi jaringan NOC: Monitor Tekanan Intra Kranial
tak efektif 1. Status sirkulasi 1. Catat perubahan respon klien terhadap
(spesifik sere- 2. Perfusi jaringan stimu-lus / rangsangan
bral) b.d aliran serebral 2. Monitor TIK klien dan respon
arteri dan atau Setelah dilakukan neurologis terhadap aktivitas
vena terputus, tindakan keperawatan3. Monitor intake dan output
dengan batasan selama ….x 24 jam, 4. Pasang restrain, jika perlu
karak-teristik : klien mampu men- 5. Monitor suhu dan angka leukosit
- Perubahan capai : 6. Kaji adanya kaku kuduk
respon motorik 1. Status sirkulasi 7. Kelola pemberian antibiotik
- Perubahan dengan indikator: 8. Berikan posisi dengan kepala elevasi
status mental - Tekanan darah sis- 30-40O dengan leher dalam posisi
- Perubahan tolik dan diastolik netral
respon pupil dalam rentang yang 9. Minimalkan stimulus dari lingkungan
- - Amnesia diharapkan 10. Beri jarak antar tindakan keperawatan
retrograde (gang-- Tidak ada ortostatik untuk meminimalkan peningkatan
guan memori) hipotensi TIK
- Tidak ada tanda tan-11. Kelola obat obat untuk
da PTIK mempertahankan TIK dalam batas
Perfusi jaringan spesifik
serebral, dengan
indicator : Monitoring Neurologis
- Klien mampu berko- 1. Monitor ukuran, kesimetrisan, reaksi
munikasi dengan je-las dan bentuk pupil
dan sesuai ke- 2. Monitor tingkat kesadaran klien
mampuan 3. Monitor tanda-tanda vital
- Klien menunjukkan 4. Monitor keluhan nyeri kepala, mual,
perhatian, konsen- dan muntah
trasi, dan orientasi 5. Monitor respon klien terhadap
- Klien mampu mem- pengobatan
proses informasi 6. Hindari aktivitas jika TIK meningkat
- Klien mampu mem- 7. Observasi kondisi fisik klien
buat keputusan de-
ngan benar Terapi Oksigen
- Tingkat kesadaran 1. Bersihkan jalan nafas dari secret
klien membaik 2. Pertahankan jalan nafas tetap efektif
3. Berikan oksigen sesuai instruksi
4. Monitor aliran oksigen, kanul
oksigen, dan humidifier
5. Beri penjelasan kepada klien tentang
pentingnya pemberian oksigen
6. Observasi tanda-tanda hipoventilasi
7. Monitor respon klien terhadap
pemberian oksigen
8. Anjurkan klien untuk tetap memakai
oksigen selama aktivitas dan tidur

2 Nyeri akut b.d NOC: Manajemen nyeri


dengan agen 1. Nyeri terkontrol 1. Kaji keluhan nyeri, lokasi,
injuri fisik, 2. Tingkat Nyeri karakteristik, onset/durasi, frekuensi,
dengan batasan 3. Tingkat kenyamanan kualitas, dan beratnya nyeri.
karakteristik: 2. Observasi respon ketidaknyamanan
- Laporan nyeri Setelah dilakukan secara verbal dan non verbal.
kepala secara asuhan keperawatan 3. Pastikan klien menerima perawatan
verbal atau non selama …. x 24 jam, analgetik dg tepat.
verbal klien dapat : 4. Gunakan strategi komunikasi yang
- Respon autonom 1. Mengontrol nyeri, efektif untuk mengetahui respon
(perubahan vital dengan indikator: penerimaan klien terhadap nyeri.
sign, dilatasi  Mengenal faktor- 5. Evaluasi keefektifan penggunaan
pupil) faktor penyebab kontrol nyeri
- Tingkah laku  Mengenal onset nyeri6. Monitoring perubahan nyeri baik
eks-presif  Tindakan pertolongan aktual maupun potensial.
(gelisah, me- non farmakologi 7. Sediakan lingkungan yang nyaman.
nangis, merintih) Menggunakan 8. Kurangi faktor-faktor yang dapat
- Fakta dari analgetik menambah ungkapan nyeri.
observasi  Melaporkan gejala- 9. Ajarkan penggunaan tehnik relaksasi
- Gangguan tidur gejala nyeri kepada sebelum atau sesudah nyeri
(mata sayu, tim kesehatan. berlangsung.
menye-ringai,  Nyeri terkontrol 10. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain
dll) 2. Menunjukkan tingkat untuk memilih tindakan selain obat
nyeri, dengan untuk meringankan nyeri.
indikator: 11. Tingkatkan istirahat yang adekuat
untuk meringankan nyeri.
 Melaporkan nyeri
 Frekuensi nyeri
Manajemen pengobatan
 Lamanya episode 1. Tentukan obat yang dibutuhkan klien
nyeri dan cara mengelola sesuai dengan
 Ekspresi nyeri; wajah anjuran/ dosis.
 Perubahan respirasi 2. Monitor efek teraupetik dari
rate pengobatan.
 Perubahan tekanan 3. Monitor tanda, gejala dan efek
darah samping obat.
 Kehilangan nafsu 4. Monitor interaksi obat.
makan 5. Ajarkan pada klien / keluarga cara
mengatasi efek samping pengobatan.
3. Tingkat kenyamanan, 6. Jelaskan manfaat pengobatan yg
dengan indicator : dapat mempengaruhi gaya hidup
 Klien melaporkan klien.
kebutuhan tidur dan
istirahat tercukupi Pengelolaan analgetik
1. Periksa perintah medis tentang obat,
dosis & frekuensi obat analgetik.
2. Periksa riwayat alergi klien.
3. Pilih obat berdasarkan tipe dan
beratnya nyeri.
4. Pilih cara pemberian IV atau IM
untuk pengobatan, jika mungkin.
5. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgetik.
6. Kelola jadwal pemberian analgetik
yang sesuai.
7. Evaluasi efektifitas dosis analgetik,
observasi tanda dan gejala efek
samping, misal depresi pernafasan,
mual dan muntah, mulut kering, &
konstipasi.
8. Kolaborasi dgn dokter untuk obat,
dosis & cara pemberian yg
diindikasikan.
9. Tentukan lokasi nyeri, karakteristik,
kualitas, dan keparahan sebelum
pengobatan.
10. Berikan obat dengan prinsip 5 benar
11. Dokumentasikan respon dari
analgetik dan efek yang tidak
diinginkan
3 Defisit self care
NOC : NIC: Membantu perawatan diri klien
b.d dengan Perawatan diri : Mandi dan toiletting
kelelahan, nyeri (mandi, Makan
Toiletting, berpakaian) Aktifitas:
1. Tempatkan alat-alat mandi di tempat
Setelah diberi motivasi
perawatan selama yang mudah dikenali dan mudah
….x24 jam, dijangkau klien
pasien mengerti cara 2. Libatkan klien dan dampingi
memenuhi 3. Berikan bantuan selama klien masih
ADL secara bertahap mampu mengerjakan sendiri
sesuai kemampuan,
dengan kriteria : NIC: ADL Berpakaian

- Mengerti secara
seder-hana cara mandi, Aktifitas:
makan, toileting, dan 1. Informasikan pada klien dalam
berpakaian serta mau memilih pakaian selama perawatan
mencoba se-cara aman2. Sediakan pakaian di tempat yang
tanpa cemas mudah dijangkau
- Klien mau 3. Bantu berpakaian yang sesuai
berpartisipasi dengan 4. Jaga privcy klien
senang hati tanpa 5. Berikan pakaian pribadi yg digemari
keluhan dalam dan sesuai
memenuhi ADL NIC: ADL Makan
1. Anjurkan duduk dan berdo’a bersama
teman
2. Dampingi saat makan
3. Bantu jika klien belum mampu dan
beri contoh
4. Beri rasa nyaman saat makan
4 Peningkatan Setelah dilakukan 1. Pantau tanda dan gejala peningkatan
tekan-an tindakan keperawatan TIK
intrakranial b.d selama ....x 24 jam 2. Kaji respon membuka mata, respon
pro-ses desak dapat mencegah atau motorik, dan verbal, (GCS)
ruang akibat meminimalkan 3. Kaji perubahan tanda-tanda vital
penumpukan komplikasi dari 4. Kaji respon pupil
cairan / darah di peningkatan TIK, 5. Catat gejala dan tanda-tanda: muntah,
dalam otak dengan kriteria : sakit kepala, lethargi, gelisah, nafas
(Carpenito, 2000)- Kesadaran stabil keras, gerakan tak bertujuan,
(orientasi baik) perubahan mental
Batasan - Pupil isokor, diameter6. Tinggikan kepala 30-40O jika tidak
karakteristik : 1mm ada kontra indikasi
- Penurunan - Reflek baik 7. Hindarkan situasi atau manuver
kesadaran - Tidak mual sebagai berikut:
(gelisah, - Tidak muntah 8. Masase karotis
disorientasi) 9. Fleksi dan rotasi leher berlebihan
- Perubahan 10. Stimulasi anal dengan jari, menahan
motorik dan nafas, dan mengejan
persepsi sensasi 11. Perubahan posisi yang cepat
- Perubahan tanda 12. Ajarkan klien untuk ekspirasi selama
vital (TD perubahan posisi
meningkat, nadi 13. Konsul dengan dokter untuk
kuat dan lambat) pemberian pe-lunak faeces, jika perlu
- Pupil melebar, 14. Pertahankan lingkungan yang tenang
reflek pupil 15. Hindarkan pelaksanaan urutan
menurun aktivitas yang dapat meningkatkan
- Muntah TIK (misal: batuk, penghisapan,
- Klien mengeluh pengubahan posisi, meman-dikan)
mual 16. Batasi waktu penghisapan pada tiap
- Klien mengeluh waktu hingga 10 detik
pandangan kabur 17. Hiperoksigenasi dan hiperventilasi
dan diplopia klien sebelum dan sesudah
penghisapan
18. Konsultasi dengan dokter tentang
pemberian lidokain profilaktik
sebelum penghisapan
19. Pertahankan ventilasi optimal melalui
posisi yang sesuai dan penghisapan
yang teratur
20. Jika diindikasikan, lakukan protokol
atau kolaborasi dengan dokter untuk
terapi obat yang mungkin termasuk
sebagai berikut:
21. Sedasi, barbiturat (menurunkan laju
meta-bolisme serebral)
22. Antikonvulsan (mencegah kejang)
23. Diuretik osmotik (menurunkan
edema serebral)
24. Diuretik non osmotik (mengurangi
edema serebral)
25. Steroid (menurunkan permeabilitas
kapiler, membatasi edema serebral)
26. Pantau status hidrasi, evaluasi cairan
masuk dan keluar)
5 Resiko tinggi Setelah dilakukan Kaji adanya alergi makanan
terhadap tindak asuhan - Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
perubahan keperawatan selama menentukan jumlah kalori dan nutrisi
nutrisi: kurang ….. x 24 jam yang dibutuhkan klien
dari kebutuhan diharapkan nutrisi - Anjurkan klien untuk meningkatkan
tubuh klien seimbang dengan intake Fe, protein dan vit C
berhubungan KH : - Kaji kemampuan klien
dengan mual, - Klien tidak lemah - Monitor mual dan muntah
muntah. - Nafsu makan - Kolaborasi pemberian obat antimual
meningkat dan muntah
- Klien tidak mual dan- Monitor lingkungan selama makan
muntah - Berikan makanan kesukaan
- Monitor adanya penurunan berat
badan

6 Resiko Setelah dilakukan 1. Kaji TTV


kekurangan tindakan asuhan 2. Monitor menekan makanan/cairan
volume cairan keperawatan selama 3. Dorong masukan oral
….. x 24 jam 4. Anjurkan untuk minum air banyak
diharapkan volume 5. Kolaborasi pemberian
cairan klien dapat cairan/makanan
terpenuhi dengan KH.6. Monitor hasil laboratorium yang
- Klien tidak lemas sesuai dengan retensi cairan (BUN,
- ND : normal HMT, Osmolalitas Urin)
- Mukosa tidak kering 7. Pertahankan catatan intake dan
- Turgor kulit baik output yang akurat.

Pathway CKB (Cidera Kepala Berat) - Cedera kepala adalah suatu gangguan
traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan intertisial dalam
substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Tarwoto, 2007: 125).

Tingkat keparahan cidera (berdasarkan GCS) :


a. Cidera Kepala Ringan (CKR) GCS 13-15
b. Cidera Kepala Sedang (CKS) GCS 9-12
c. Cidera Kepala Berat (CKB) GCS 3-8
Cidera Kepala Berat (CKB) :
a. GCS 3-8
b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia > 24 jam
c. Juga meliputi kontusio celebral, laserasi, atau hematoma intracranial (Hudak dan
Gallo, 2001:226)

Pathway CKB
PATHWAY
Klik disini => Pathway CKB

DAFTAR PUSTAKA

Price A. S et al. 2005. Patofisiologi. Jakarta : EGC


Smeltzer C. S & B.G. Bare. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Sudoyo, W. A et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC
Barbara C Long, Perawatan Medikal Bedah (Terjemahan), Yayasan IAPK Padjajaran
Bandung, September 1996, Hal. 443 – 450.
Hudak dan Gallo. 2000. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II. Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Mansjoer, Arif, dkk. Kapita selekta Kedokteran (Efusi Pleura), Media Aesculapius,
Fakultas Kedokteran Universita Indonesia, 2002, Hal.206 – 208.
Soeparman. 2006. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi Kedua, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan intervensi NIC
dan NOC kriteria hasil NOC.
CEDERA KEPALA

I. PENDAHULUAN
Lebih dari 2 juta kasus cedera kepala terjadi setiap tahun di Amerika Serikat;
kira-kira 1,5 juta kasus adalah cedera kepala ringan dan 500.000 kasus adalah cedera
kepala berat yang memerlukan hospitalisasi. Kira-kira 120.000 kasus dlklasifikasikan
sebagai cedera kepala berat dan kira-kira setengah dari manusia meninggal sebelum tiba
di rumah sakit.kecelakaan sepeda motor terhitung 50% dari seluruh penyebab cedera
kepala; jatuh 21%, serangan dan kekerasan12%, olahraga dan rekreasi 10%. Insiden
tertinggi cedera kepala terjadi pada manusia rentang umur 15-24 tahun, dengan kejadian
laki-laki lebih besar 2-3 kali lipat dibandingkan pada wanita. Kejadian tertinggi kedua
terjadi pada lansia. Yang selamat dari cedera kepala 70.000-90.000 orang akan memiliki
kehilangan fungsi seumur hidup yang serius, 5.000 orang akan mengalami kejang dan
2.000 orang akan dalam keadaan hidup yang penuh dengan semangat. Biaya untuk
perawatan dan pemulihan dari satu kejadian cedera kepala hingga 310.000 USD
berdasarkan pada tahun 1990; ini tidak mencerminkan untuk perawatan seumur hidup.
Hilangnya potensi manusia akan berdampak pada fisik, fungsi psikososial, emosional,
pekerjaan dan keluarga adalah beragam dan sangat efektif, sehingga menciptakan
kebutuhan bagi banyak layanan kesehatan masyarakat.
Kematian karena cedera kepala terbagi menjadi 3 fase ; segera ketika cedera, 2
jam setelah cedera, dan 3 minggu setelah cedera. Kematian yang paling sering terjadi
adalah cedera yang terjadi segera setelah cedera, baik dari cedera kepaaala langsung
atau perdarahan massive bahkan syok.kematian yang terjadi 3 jam setelah trauma atau
lebih setelah cedera dihasilkan dari kegagalan multisystem. Asuhan keperawatan yang
terbaik sangat penting untuk mengurangi angka kematian. Factor-faktor yang
mengakibatkan buruknya keadaan adalah hemetema intra kranial, meningkatnya usia
pasien, respon motoric yang abnormal, kerusakan atau tidak adanya gerakan mata atau
reflek pupil terhadap cahaya, hipotensi, hipoksemia atau hiperkapnia level TIK lebih dari
20 mmHg.
Hasil statistic menyatakan kejadian cedera kepala tidak lengkap dilaporkan
karena banyak korban meninggal saat krjadian atau karena tidak dilakukan
perawawatan. Pada masa lalu, kecelakaan bermotor dan terjatuh adalah penyebab
cedera kepala yang sering terjadi baik di Canada maupun Amerika Serikat. Penyebab
lainnya adalah penyerangan, cedera yang berhubungan dengan olahraga dan
kecelakaan lain.
II. DEFINISI
Menurut Mansjoer (2000), cedera kepala adalah trauma yang mengenai calvaria
dan atau basis cranii serta organ-organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat
non-degeneratif/non-kongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga
timbul gangguan fisik, kognitif maupun sosial serta berhubungan dengan atau tanpa
penurunan tingkat kesadaran
Cidera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit
kepala tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cidera
baik yang trauma tertutup maupun trauma tembus.
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Di
samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit,
penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan
dan prognonis selanjutnya.
Cidera kepala dibagi menjadi tiga yaitu cidera kepala ringan, sedang dan berat.
Cidera kepala ringan adalah trauma kepala dengan skala Glasgow Coma Scale 15
(sadar penuh) tidak ada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala dapat
terjadi abrasi, lacerasi, haematoma kepala dan tidak ada kriteria cidera sedang dan berat.
Sedangkan cidera berat adalah keadaan dimana struktur lapisan otak mengalami cidera
berkaitan dengan edema, hyperemia, hipoksia dimana pasien tidak dapat mengikuti
perintah, coma (GSC < 8) dan tidak dapat membuka mata.
Cidera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologi
cidera:
1. Mekanisme: berdasarkan adanya penetrasi durameter
a. Trauma tumpul: kecepatan tinggi (tabrakan otomobil) Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
b. Taruma tembus: (luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya)
2. Keparahan cidera
a. Ringan : Skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) 14-15
b. Sedang : GCS 9 – 13
c. Berat : GCS 3 – 8
3. Morfologi

a. Fraktur tengkorak: kranium, linear/stelatum, depresi/non depresi,


terbuka/tertutup. Basis: dengan / tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan /
tanpa kelumpuhan nervus VII.
b. Lesi Intrakranial: Fokal, Epidural, Intraserebral Difus: konkusi ringan, konkusi
klasik, cidera aksonal difus.
Klasifikasi Tingkat Kesadaran
Tingkat kesadaran atau responsivitas dikaji secara teratur karena perubahan pada
tingkat kesadaran mendahului semua perubahan tanda vital dan neurologik lain.
a. Kompos metis (GCS 14-15)
Suatu keadaan sadar penuh atau kesadaran yang normal
b. Somnolen (GCS 13-11)
Suatu keadaan mengantuk dan kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang. Somnolen
disebut juga letargi atau obtundasi. Somnolen ditandai dengan mudahnya klien
dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.
c. Sopor atau Stupor (GCS 8-10)
Suatu keadan dengan rasa ngantuk yang dalam. Klien masih dapat dibangunkan dengan
rangsang yang kuat, singkat dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri
klien tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan
samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari klien. Gerak motorik untuk menangkis
rangsang nyeri masih baik.
d. Koma ringan atau semi koma (GCS 5-7)
Pada keadaan ini, tidak ada respon terhadap rangsang verbal. Reflek (kornea, pupil dan
sebagainya) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai respon terhadap rangsang
nyeri. Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi, merupakan jawaban primitif.
Klien sama sekali tidak dapat dibangunkan.
e. Koma (dalam atau komplit) (GCS 3-4)
Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri
yang bagaimanapun kuatnya.
Glasgow Coma Scale, yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat
kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada tiga aspek yang dinilai,
yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons) dan reaksi
gerakan lengan serta tungkai (motor respons).

Glasgow Coma Scale (GCS) :


Respon Nilai
a. Membuka mata
 Spontan 4
 Terhadap bicara 3
(Suruh pasien membuka mata)
 Dengan rangsang nyeri 2
(Tekan pada saraf supraorbita atau kuku)
 Tidak ada reaksi 1
(Dengan rangsang nyeri pasien tidak membuka
mata)

b. Respon verbal (bicara)


 Baik dan tidak ada disorientasi 5
(Dapat menjawab dengan kalimat yang baik dan
tahu dimana ia berada)
 Kacau (confused) 4
(Dapat bicara dengan kalimat, namun ada
disorientasi waktu dan tempat)
 Tidak tepat 3
(Dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak
berupa kalimat dan tidak tepat)
 Mengerang 2
(Tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang)
 Tidak ada jawaban
1
c. Respon motorik (gerakan)
 Menurut perintah 6
(Misalnya : suruh pasien angkat tangan)
 Mengetahui lokasi nyeri 5
(Berikan rangsang nyeri, misalnya menekan dengan
jari pada supraorbita. Bila oleh rasa nyeri pasien
mengangkat tangannya sampai melewati dagu
untuk maksud menapis rangsang tersebut berarti ia
dapat mengetahui lokasi nyeri)
 Reaksi menghindar 4
 Reaksi Fleksi (dekortikasi) 3
(Berikan rangsang nyeri, misalnya menekan dengan
objek keras, seperti bolpoint, pada jari kuku. Bila
sebagai jawaban siku memfleksi, terdapat reaksi
fleksi terhadap nyeri (fleksi pada pergelangan
tangan mungkin ada atau tidak ada)
 Reaksi ekstensi (deserebarsi)
(Dengan rangsang nyeri tersebut diatas terjadi 2
ekstensi pada siku. Ini selalu disertai fleksi spastik
pada pergelangan tangan)
 Tidak ada reaksi 1

III. ETIOLOGI
Menurut Hudak dan Gallo (1996: 108) mendeskripsikan bahwa penyebab cidera
kepala adalah karena adanya trauma rudapaksa yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu:
1. Trauma Primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselarasi dan deselerasi).
2. Trauma Sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui, akson) yang meluas, hipertensi intrakranial,
hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi siskemik.
IV. PATOFISIOLOGI
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun
otak hanya seberat 2% dari berat badan orang dewasa, ia menerima 20% dari curah
jantung. Sebagian besar yakni 80% dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh
substansi kelabu.
Cedera kepala yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer.
Proses lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan
nutrien, terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya
oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak menurun,
misalnya akibat syok. Karena itu pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas,
gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu, sehingga oksigenasi
tubuh cukup. Gangguan metabolisme jaringan otak akam menyebabkan edem yang
mengakibaykan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum, atau herniasi
dibawah falks serebrum.
Jika terjadi herniasi jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami iskemik
sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang menimbulkan kematian (3).
Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak, robek pembuluh
darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya duramater, laserasi,
kontusio).

2. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui batas
kompensasi ruang tengkorak.
Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan
volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan
parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan
TIK yang progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat
fatal pada tingkat seluler.
Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :
CPP = MAP - ICP
CPP : Cerebral Perfusion Pressure
MAP : Mean Arterial Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure
Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak
mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel).
Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi,
kejang, dll.

3. Edema Sitotoksik
Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis
Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l. glutamat,
aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-Aspartat) dan NMDA (Amino Methyl
Propionat Acid) menyebabkan Ca influks berlebihan yang menimbulkan edema dan
mengaktivasi enzym degradatif serta menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-
kejang).

4. Kerusakan Membran Sel


Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan menyebabkan
kerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid sel (BBB breakdown) melalui rendahnya
CDP cholin (yang berfungsi sebagai prekusor yang banyak diperlukan pada sintesa
fosfolipid untuk menjaga integritas dan repair membran tersebut).
Melalui rusaknya fosfolipid akan meyebabkan terbentuknya asam arakhidonat
yang menghasilkan radikal bebas yang berlebih.
5. Apoptosis
Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic bodies
terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA dan akhirnya sel akan
mengkerut (shrinkage).
Trauma Kepala

Gangguan auto regulasi


TIK meningkat Aliran darah otak
menurun

Edema otak Gangguan


metabolisme

 O2 menurun.
 CO2 meningkat.

Asam laktat meningkat


Metabolik anaerobik
V. MANIFESTASI KLINIK
A. Gejala
Merasa lemah, lesu, lelah, hilang keseimbangan, perubahan tekanan darah atau
normal perubahan frekuensi jantung, perubahan tingkah laku atau kepribadian,
inkontenensia kandung kemih / khusus mengalami gangguan fungsi, mual, muntah, dan
mengalami perubahan selera makan / minum, kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo,
syncope, tinnitus, kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan
pengecapan, sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, trauma baru
karena kecelakaan konfusi, sukar bicara, dan kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
B. Tanda
Cidera kepala berat mempunyai tanda yang variabel yaitu:
1. Perubahan kesadaran 17. Kehilangan sensasi
2. Depresi sebagian tubuh
3. Latergi 18. Agitasi
4. Muntah (mungkin 19. Wajah menyeringai
proyektif) 20. Bingung
5. Ataksia atau cara 21. Respon menarik pada
berjalan tidak tetap rangsang
6. Gangguan menelan 22. Perubahan pola nafas
7. Perubahan kesadaran 23. Nyeri yang hebat
sampai koma 24. Nafas bunyi rochi
8. Cidera orthopedic 25. Gelisah
9. Kehilangan tonus otot 26. Fraktur atau dislokasi
10. Perubahan status mental 27. Gangguan rentang gerak
11. Cemas 28. Gangguan penglihatan
12. Perubahan pupil 29. Gangguan dalam
13. Mudah tersinggung regulasi suhu tubuh
14. Kehilangan 30. Gangguan kognitif
penginderaan 31. Afasia motoris atau
15. Delirium (suatu kondisi sensoris
dimana kesadaran 32. Bicara tanpa arti disartria
menjadi kabur dan anomia
disertai ilusi atau
halusinasi)
16. Kejang

VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. CT-Scan
Mengidentifikasi adanya hemorragic, ukuran ventrikuler, infark pada jaringan mati.

2. Foto tengkorak atau cranium


Untuk mengetahui adanya fraktur pada tengkorak.

3. MRI (Magnetic Resonan Imaging)


Gunanya sebagai penginderaan yang mempergunakan gelombang elektomagnetik.

4. Laboratorium
Kimia darah: mengetahui ketidakseimbangan elektrolit.
Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrkranial
Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran.

5. Cerebral Angiography:
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder
menjadi udema, perdarahan dan trauma.

6. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis


7. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
8. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
9. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
10. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
11. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intracranial

VII. PENATALAKSANAAN MEDIK


Menurut Mansjoer (2000), penatalaksanaan cedera kepala adalah :
A. Cedera Kepala Ringan
Pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu
dilakukan CT-Scan bila memenuhi kriteria berikut :
1. Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam
batas normal.
2. Foto servikal jelas normal
3. Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien 24 jam pertama, dengan
instruksi untuk segera kembali kebagian gawat darurat jika timbul gejala yang lebih
buruk.
Kriteria perawatan di rumah sakit :
1. Adanya perdarahan intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan.
2. Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
3. Adanya tanda atau gejala neurologis fokal
4. Intoksikasi obat atau alcohol
5. Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
6. Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah.

B. Cedera Kepala Sedang


Pasien yang menderita konkusi otak (comotio cerebri), dengan skala GCS 15
(sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT Scan normal, tidak perlu
dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah,meskipun terdapat nyeri
kepala, mual, muntah, pusing atau amnesia. Resiko timbulnya lesi intrakranial lanjut yang
bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
C. Cedera Kepala Berat
Setelah penilaian awal dan stabilitasi tanda vital,keputusan segera pada pasien
ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial
yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsultasikan ke bedah saraf untuk
tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat sebaiknya perawatan dilakukan
di unit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan
primer akibat cedera kepala, tetapi sebaiknya dapat mengurangi kerusakan otaksekunder
akibat hipoksia, hipertensi, atau tekanan intrakranial yang meningkat.
Dalam unit rawat intensif dapat dilakukan hal-hal berikut :
1. Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi
2. Monitor tekanan darah
3. Pemasangan alat monitor tekanan intraktranial pada pasien dengan skor GCS < 8, bila
memungkinkan.
4. Penatalaksanaan cairan : hanya larutan isotonis (salin normal dan ringer laktat)
5. Nutrisi
6. Temperatur badan
7. Anti kejang fenitoin 15 – 20 mg/kg BB bolus intravena
8. Steroid deksametason 10 mg intravena setiap 4 – 6 jam selama 48 – 72 jam
9. Antibiotik
10. Pemeriksaan
Dapat menberikan manfaat terhadap kasus yang ragu-ragu. Harus dilakukan
pemeriksaan sinar X tulang kepala, bila bertujuan hanya untuk kepentingan medikolegal.

Anda mungkin juga menyukai