PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah dilakukan seminar tentang Cedera Kepala Berat (CKB) diharapkan
mahasiswa mampu memahami secara kognitif, motorik dan afektif serta dapat
menerapkan asuhan keperawatan yang tepat dan komprehensif sehingga dapat
mempercepat proses penyembuhan klien dan memperpendek masa perawatan klien di
rumah sakit.
2. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan seminar diharapkan:
a. Mahasiswa mampu memahami tentang definisi CKB
b. Mahasiswa mampu memahami tentang etiologi CKB
c. Mahasiswa mampu memahami tentang klasifikasi dari CKB
d. Mahasiswa mampu memahami tentang manifestasi klinik CKB
e. Mahasiswa mampu memahami tentang patofisiologi dari CKB
f. Mahasiswa mampu memahami tentang penatalaksanaan CKB
g. Mahasiswa mampu memahani tentang asuhan keperawatan dari CKB yang meliputi
pengkajian, Analisa data dan Diagnosa Keperawatan, Intervensi keperawatan,
Implementasi Keperawatan, dan evaluasi keperawatan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Cedera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma pada
jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang
terjadi. (Sylvia & Price, 2006).
Cedera kepala adalah suatu gangguan trauma fungsi yang disertai perdarahan
interstisial dalam substansi otak tanpa diikuti continuitas otak (Sjamsuhidajat, 2002).
Resiko utama yang terjadi pada pasien cedera kepala adalah kerusakan otak akibat
perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan
menyebabkan peningkatan TIK.
Cedera kepala adalah pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan atau
tanpa kehilangan kesadaran (Tucker, 2002 ).
Cedera kepala (terbuka dan tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak, commusio (gegar)
serebri, contusio (memar) serebri, laserasi dan perdarahan serebral yaitu diantaranya
subdural, epidural, intraserebral, dan batang otak (Doenges, 2000:270).
Respon Motorik
§ Mematuhi perintah :6
§ Menunjuk lokasi nyeri :5
§ Reaksi fleksi :4
§ Fleksi abnormal thdp nyeri (postur dekortikasi) :3
§ Ekstensi abnormal :2
§ Tidak ada respon, flacid :1
5. Berdasarkan morfologi
a. Fraktur tengkorak
1) Kranium: linear/ stelatum, depresi/ non depresi, terbuka/ tertutup.
2) Basis: dengan/ tanpa kebocoran cairan cerebrospinal, dengan/ tanpa
kelumpuhan nervus VIII
B. Etiologi
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (
Mansjoer, 2000:3).
Penyebab cidera kepala antara lain: kecelakaan lalu lintas, perkelahian, terjatuh, dan
cidera olah raga. Cidera kepala terbuka sering disebabkan oleh peluru atau pisau
(Corkrin, 2001:175).
C. Patofisiologi
Cidera kepala dapat terjadi karena benturan benda keras, cidera kulit kepala, tulang
kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruhnya.
Cidera bervariasi dari luka kulit yang sederhana sampai gegar otak, luka terbuka dari
tengkotak, disertai kerusakan otak, cidera pada otak, bisa berasal dari trauma langsung
maupun tidak langsung pada kepala.
Trauma tak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek
terkena pada kepala akibat menarik leher.
Trauma langsung bila kepala langsung terbuka, semua itu akibat terjadinya akselerasi,
deselerasi, dan pembentukan rongga, dilepaskannya gas merusak jaringan syaraf.
Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya. Kerusakan itu bisa
terjadi seketika atau menyusul rusaknya otak oleh kompresi, goresan, atau tekanan.
Cidera yang terjadi waktu benturan mungkin karena memar pada permukaan otak,
laserasi substansia alba, cidera robekan, atau hemmorarghi.
Sebagai akibat, cidera skunder dapat terjadi sebagai kemampuan auto regulasi serebral
dikurangi atau tidak ada pada area cidera, konsekuensinya meliputi hiperemia
(peningkatan volume darah, peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial,
tekanan intra cranial) (Huddak & Gallo, 2000:226).
Pengaruh umum cidera kepala juga bisa menyebabkan kram, adanya penumpukan
cairan yang berlebihan pada jaringan otak, edema otak akan menyebabkan peningkatan
tekanan intra cranial yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan pada batang
otak. rauma pada kepala menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan
yang terjadi tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar
kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia
Aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal itu
menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan menyebabkan haematoma epidural,
subdura maupun intracranial, perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi pada
sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplai oksigen berkurang dan terjadi hipoksia
jaringan akan menyebabkan edema cerebral. Akibat dari haematoma diatas akan
menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak terdorong ke arah yang berlawanan
yang berakibat pada kenaikan TIK (Tekanan Intrakranial) merangsang kelenjar Pitultary
dan Steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul rasa
mual dan muntah dan anoreksia sehingga masukan nutrisi kurang. (Price and Wilson,
2006:1010).
D. Manifestasi Klinik
Berdasarkan anatomis
1. Gegar otak (comutio selebri)
a. Disfungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran
b. Pingsan kurang dari 10 menit atau mungkin hanya beberapa detik/menit
c. Sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, vertigo, mungkin muntah
d. Kadang amnesia retrogard
2. Edema serebri
a. Pingsan lebih dari 10 menit
b. Tidak ada kerusakan jaringan otak
c. Nyeri kepala, vertigo, muntah
3. Memar otak (kontusio selebri)
a. Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejalanya bervariasi tergantung
lokasi dan derajad
b. Ptechie dan rusaknya jaringan saraf disertai perdarahan
c. Peningkatan tekanan intracranial (PTIK)
d. Penekanan batang otak
e. Penurunan kesadaran
f. Edema jaringan otak
g. Defisit neurologis
h. Herniasi
4. Laserasi
a. Hematoma Epidural
“talk dan die” tanda klasik: penurunan kesadaran ringan saat benturan, merupakan
periode lucid (pikiran jernih), beberapa menit s.d beberapa jam, menyebabkan
penurunan kesadaran dan defisit neurologis (tanda hernia):
1) Kacau mental → koma
2) Gerakan bertujuan → tubuh dekortikasi atau deseverbrasi
3) Pupil isokhor → anisokhor
b. Hematoma subdural
1) Akumulasi darah di bawah lapisan duramater diatas arachnoid, biasanya karena
aselerasi, deselerasi, pada lansia, alkoholik.
2) Perdarahan besar menimbulkan gejala-gejala seperti perdarahan epidura
3) Defisit neurologis dapat timbul berminggu-minggu sampai dengan berbulan-
bulan
4) Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut)
5) Perluasan massa lesi
6) Peningkatan TIK
7) Sakit kepala, lethargi, kacau mental, kejang
8) Disfasia
c. Perdarahan sub arachnoid
1) Nyeri kepala hebat
2) Kaku kuduk
E. Komplikasi
Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematoma intrakranial,
edema serebral progresif, dan herniasi otak.
a. Edema serebral dan herniasi
Edema serebral adalah penyebab paling umum peningkatan TIK pada pasien yang
mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang terjadi kira kira 72 jam setelah
cedera. TIK meningkat karena ketidakmampuan tengkorak untuk membesar meskipun
peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan trauma.
Sebagai akibat dari edema dan peningkatan TIK, tekanan disebarkan pada jaringan otak
dan struktur internal otak yang kaku. Bergantung pada tempat pembengkakan,
perubahan posisi kebawah atau lateral otak (herniasi) melalui atau terhadap struktur kaku
yang terjadi menimbulkan iskemia, infark, dan kerusakan otak irreversible, kematian.
b. Defisit neurologik dan psikologik
Pasien cedera kepala dapat mengalami paralysis saraf fokal seperti anosmia (tidak
dapat mencium bau bauan) atau abnormalitas gerakan mata, dan defisit neurologik
seperti afasia, defek memori, dan kejang post traumatic atau epilepsy. Pasien mengalami
sisa penurunan psikologis organic (melawan, emosi labil) tidak punya malu, emosi agresif
dan konsekuensi gangguan.
c. Kebocoran cairan cerebrospinal,
dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2 – 6 % pasien
dengan cidera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala
setelah beberapa hari pada 85 % pasien. Drainase lumbai dapat mempercepat proses
ini. Walaupun pasien ini memiliki resiko meningitis yang meningkat (biasanya
pneumolok), pemberian antibiotik profilaksis masih kontoversial. Otorea atau rinorea
cairan cerebrospinal yang menentap atau meningitis berulang merupakan indikasi untuk
operasi reparatif.
d. Fistel Karotis-Kavernosus,
ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosisi dan bruit orbital dapat timbul
segera atau beberapa hari setelah cidera. Anglografi diperlukan untuk konformasi
diagnosis dan terapi dengan oklusi balon endovaskular merupakan cara yang paling
efektif dan dapat mencegah hilangnya penglihatan yang permanen.
e. Diabetes Incipidus,
dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis, menyebabkan
penghentian sekresi hormon antidiuretik. Pasien mengekskresikan sejumlah besar
volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum. Vasopresin arginin
(pitressin) 5 – 10 unit intravena, intramuscular, atau subkutan setiap 4 – 6 jam atau
desmopressin asetat subkutan atau intravena 2 – 4 mg setiap 12 jam, diberikan untuk
mempertahankan pengeluaran urin kurang dari 200 ml/jam, dan volume diganti dengan
cairan hipotonis (0,25 5 atau 0,45 % salin) tergantung pada berat ringannya
hipernatremia.
f. Kejang Pascatrauma,
dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut
(setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predesposisi untuk kejang lanjut.
Kejang dini menunjukkan resiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus
dipertahankan dengan antikonvulsan. Insidens keseluruhan epilepsi pascatrauma lanjut
(berulang, tanpa provokasi) setelah cidera kepala tertutup adalah 5 %; resiko mendekati
20 % pada pasien dengan perdarahan intrakranial ayau fraktur depresi.
g. Pneumonia, radang paru-paru disertai eksudasi dan konsolidasi.
h. Meningitis Ventrikulitis
i. Infeksi saluran kemih
j. Perdarahan gastrointestinal
k. Sepsis asam negatif
l. Kebocoran CSS
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. X Ray tengkorak
Untuk mengetahui adanya fraktur pada tengkorak.
2. CT Scan
Mengidentifikasi adanya hemorragic, ukuran ventrikuler, infark pada jaringan
mati.
3. MRI (Magnetic Resonan Imaging)
Gunanya sebagai penginderaan yang mempergunakan gelombang
elektomagnetik.
4. Pemeriksaan Laboratorium
Kimia darah: mengetahui ketidakseimbangan elektrolit.
5. Pemeriksaan analisa gas darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.
BAB III
MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN CKB
A. Pengkajian
Hal penting yang pertama kali dinilai adalah status fungsi vital dan status kesadaran
pasien. Ini harus dilakukan sesegera mungkin bahkan mendahului anamnesis yang teliti.
1. Status fungsi vital
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai adalah:
• Jalan nafas
• Pernafasan
• Nadi dan tekanan darah, sirkulasi jalan nafas harus segera dibersihkan dari
benda asing, lendir atau darah, bila perlu segera dipasang pipa naso/orofuring, diikuti
dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher hams berhati-hati bila ada riwayat / dugaan
trauma servikal (whiplash injury), Jamb dengan kepala dibawa atau trauma tengkuk.
Gangguan yang mungkin ditemukan dapat berupa:
• Pernafasan cheyne stokes
• Pernafasan blot / hiperventilasi
• Pernafasan taksik yang menggambarkan makin memburuknya tingkat
kesadaran.
2. Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama bila
terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur
ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya
frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan intracranial, yang
biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma epidural.
3. Status kesadaran, dewasa ini penilaian status kesadaran secara kualitatif, terutama
pada kasus cidera kepala sudah mulai ditinggalkan karena subyektivitas pemeriksa;
stulah apatik, samnolen, spoor, coma. Sebaliknya dihindari atau disertai dengan
penilaian / perbandingan secara ketat. Cara penilaian kesadaran yang luas digunakan
ialah dengan skala koma Galsgow. Cara ini sederhana tanpa memerlukan alat diagnostik
sehingga dapat digunakan baik oleh dokter maupun perawat. Melalui cara ini,
perkembangan / perubahan kesadaran dari waktu ke waktu dapat diikuti secara akurat.
4. Skala koma Glasgow adalah berdasarkan penilaian / pemeriksaan atas tiga
parameter, yaitu:
a. Buka Mata (E)
4 : Spontan
3 : Dengan perintah
2 : Dengan rangsang nyeri
1 : Tidak ada reaksi
b. Respon Motorik Terbaik (M)
6 : Mengikuti perintah
5 : Melokalisir nyeri
4 : Menghindari nyeri
3 : Fleksi abnormal
2 : Ekstensi abnormal
1 : Tidak ada gerakan
c. Respon Verbal Terbaik (V)
5 : Orientasi baik dan sesuai
4 : Disorientasi tempat dan waktu
3 : Bicara kacau
2 : Mengerang
1 : Tidak ada suara
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan cidera kepala
adalah sebagai berikut :
1) Gangguan perfusi jaringan / perfusi jaringan tidak efektif (spesifik serebral)
berhubungan dengan aliran arteri dan atau vena terputus.
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik.
3) Defisit perawatan diri: makan/ mandi, toileting berhubungan dengan kelemahan fisik
dan nyeri.
4) Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual, muntah.
5) Peningkatan tekanan intrakranial b.d proses desak ruang akibat penumpukan cairan /
darah dalam otak
6) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan status hipermetabolik.
7) Kerusakan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kemampuan kognitif,
afektif, dan motorik)
C. Rencana Perawatan
- Mengerti secara
seder-hana cara mandi, Aktifitas:
makan, toileting, dan 1. Informasikan pada klien dalam
berpakaian serta mau memilih pakaian selama perawatan
mencoba se-cara aman2. Sediakan pakaian di tempat yang
tanpa cemas mudah dijangkau
- Klien mau 3. Bantu berpakaian yang sesuai
berpartisipasi dengan 4. Jaga privcy klien
senang hati tanpa 5. Berikan pakaian pribadi yg digemari
keluhan dalam dan sesuai
memenuhi ADL NIC: ADL Makan
1. Anjurkan duduk dan berdo’a bersama
teman
2. Dampingi saat makan
3. Bantu jika klien belum mampu dan
beri contoh
4. Beri rasa nyaman saat makan
4 Peningkatan Setelah dilakukan 1. Pantau tanda dan gejala peningkatan
tekan-an tindakan keperawatan TIK
intrakranial b.d selama ....x 24 jam 2. Kaji respon membuka mata, respon
pro-ses desak dapat mencegah atau motorik, dan verbal, (GCS)
ruang akibat meminimalkan 3. Kaji perubahan tanda-tanda vital
penumpukan komplikasi dari 4. Kaji respon pupil
cairan / darah di peningkatan TIK, 5. Catat gejala dan tanda-tanda: muntah,
dalam otak dengan kriteria : sakit kepala, lethargi, gelisah, nafas
(Carpenito, 2000)- Kesadaran stabil keras, gerakan tak bertujuan,
(orientasi baik) perubahan mental
Batasan - Pupil isokor, diameter6. Tinggikan kepala 30-40O jika tidak
karakteristik : 1mm ada kontra indikasi
- Penurunan - Reflek baik 7. Hindarkan situasi atau manuver
kesadaran - Tidak mual sebagai berikut:
(gelisah, - Tidak muntah 8. Masase karotis
disorientasi) 9. Fleksi dan rotasi leher berlebihan
- Perubahan 10. Stimulasi anal dengan jari, menahan
motorik dan nafas, dan mengejan
persepsi sensasi 11. Perubahan posisi yang cepat
- Perubahan tanda 12. Ajarkan klien untuk ekspirasi selama
vital (TD perubahan posisi
meningkat, nadi 13. Konsul dengan dokter untuk
kuat dan lambat) pemberian pe-lunak faeces, jika perlu
- Pupil melebar, 14. Pertahankan lingkungan yang tenang
reflek pupil 15. Hindarkan pelaksanaan urutan
menurun aktivitas yang dapat meningkatkan
- Muntah TIK (misal: batuk, penghisapan,
- Klien mengeluh pengubahan posisi, meman-dikan)
mual 16. Batasi waktu penghisapan pada tiap
- Klien mengeluh waktu hingga 10 detik
pandangan kabur 17. Hiperoksigenasi dan hiperventilasi
dan diplopia klien sebelum dan sesudah
penghisapan
18. Konsultasi dengan dokter tentang
pemberian lidokain profilaktik
sebelum penghisapan
19. Pertahankan ventilasi optimal melalui
posisi yang sesuai dan penghisapan
yang teratur
20. Jika diindikasikan, lakukan protokol
atau kolaborasi dengan dokter untuk
terapi obat yang mungkin termasuk
sebagai berikut:
21. Sedasi, barbiturat (menurunkan laju
meta-bolisme serebral)
22. Antikonvulsan (mencegah kejang)
23. Diuretik osmotik (menurunkan
edema serebral)
24. Diuretik non osmotik (mengurangi
edema serebral)
25. Steroid (menurunkan permeabilitas
kapiler, membatasi edema serebral)
26. Pantau status hidrasi, evaluasi cairan
masuk dan keluar)
5 Resiko tinggi Setelah dilakukan Kaji adanya alergi makanan
terhadap tindak asuhan - Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
perubahan keperawatan selama menentukan jumlah kalori dan nutrisi
nutrisi: kurang ….. x 24 jam yang dibutuhkan klien
dari kebutuhan diharapkan nutrisi - Anjurkan klien untuk meningkatkan
tubuh klien seimbang dengan intake Fe, protein dan vit C
berhubungan KH : - Kaji kemampuan klien
dengan mual, - Klien tidak lemah - Monitor mual dan muntah
muntah. - Nafsu makan - Kolaborasi pemberian obat antimual
meningkat dan muntah
- Klien tidak mual dan- Monitor lingkungan selama makan
muntah - Berikan makanan kesukaan
- Monitor adanya penurunan berat
badan
Pathway CKB (Cidera Kepala Berat) - Cedera kepala adalah suatu gangguan
traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan intertisial dalam
substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Tarwoto, 2007: 125).
Pathway CKB
PATHWAY
Klik disini => Pathway CKB
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
Lebih dari 2 juta kasus cedera kepala terjadi setiap tahun di Amerika Serikat;
kira-kira 1,5 juta kasus adalah cedera kepala ringan dan 500.000 kasus adalah cedera
kepala berat yang memerlukan hospitalisasi. Kira-kira 120.000 kasus dlklasifikasikan
sebagai cedera kepala berat dan kira-kira setengah dari manusia meninggal sebelum tiba
di rumah sakit.kecelakaan sepeda motor terhitung 50% dari seluruh penyebab cedera
kepala; jatuh 21%, serangan dan kekerasan12%, olahraga dan rekreasi 10%. Insiden
tertinggi cedera kepala terjadi pada manusia rentang umur 15-24 tahun, dengan kejadian
laki-laki lebih besar 2-3 kali lipat dibandingkan pada wanita. Kejadian tertinggi kedua
terjadi pada lansia. Yang selamat dari cedera kepala 70.000-90.000 orang akan memiliki
kehilangan fungsi seumur hidup yang serius, 5.000 orang akan mengalami kejang dan
2.000 orang akan dalam keadaan hidup yang penuh dengan semangat. Biaya untuk
perawatan dan pemulihan dari satu kejadian cedera kepala hingga 310.000 USD
berdasarkan pada tahun 1990; ini tidak mencerminkan untuk perawatan seumur hidup.
Hilangnya potensi manusia akan berdampak pada fisik, fungsi psikososial, emosional,
pekerjaan dan keluarga adalah beragam dan sangat efektif, sehingga menciptakan
kebutuhan bagi banyak layanan kesehatan masyarakat.
Kematian karena cedera kepala terbagi menjadi 3 fase ; segera ketika cedera, 2
jam setelah cedera, dan 3 minggu setelah cedera. Kematian yang paling sering terjadi
adalah cedera yang terjadi segera setelah cedera, baik dari cedera kepaaala langsung
atau perdarahan massive bahkan syok.kematian yang terjadi 3 jam setelah trauma atau
lebih setelah cedera dihasilkan dari kegagalan multisystem. Asuhan keperawatan yang
terbaik sangat penting untuk mengurangi angka kematian. Factor-faktor yang
mengakibatkan buruknya keadaan adalah hemetema intra kranial, meningkatnya usia
pasien, respon motoric yang abnormal, kerusakan atau tidak adanya gerakan mata atau
reflek pupil terhadap cahaya, hipotensi, hipoksemia atau hiperkapnia level TIK lebih dari
20 mmHg.
Hasil statistic menyatakan kejadian cedera kepala tidak lengkap dilaporkan
karena banyak korban meninggal saat krjadian atau karena tidak dilakukan
perawawatan. Pada masa lalu, kecelakaan bermotor dan terjatuh adalah penyebab
cedera kepala yang sering terjadi baik di Canada maupun Amerika Serikat. Penyebab
lainnya adalah penyerangan, cedera yang berhubungan dengan olahraga dan
kecelakaan lain.
II. DEFINISI
Menurut Mansjoer (2000), cedera kepala adalah trauma yang mengenai calvaria
dan atau basis cranii serta organ-organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat
non-degeneratif/non-kongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga
timbul gangguan fisik, kognitif maupun sosial serta berhubungan dengan atau tanpa
penurunan tingkat kesadaran
Cidera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit
kepala tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cidera
baik yang trauma tertutup maupun trauma tembus.
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Di
samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit,
penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan
dan prognonis selanjutnya.
Cidera kepala dibagi menjadi tiga yaitu cidera kepala ringan, sedang dan berat.
Cidera kepala ringan adalah trauma kepala dengan skala Glasgow Coma Scale 15
(sadar penuh) tidak ada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala dapat
terjadi abrasi, lacerasi, haematoma kepala dan tidak ada kriteria cidera sedang dan berat.
Sedangkan cidera berat adalah keadaan dimana struktur lapisan otak mengalami cidera
berkaitan dengan edema, hyperemia, hipoksia dimana pasien tidak dapat mengikuti
perintah, coma (GSC < 8) dan tidak dapat membuka mata.
Cidera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologi
cidera:
1. Mekanisme: berdasarkan adanya penetrasi durameter
a. Trauma tumpul: kecepatan tinggi (tabrakan otomobil) Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
b. Taruma tembus: (luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya)
2. Keparahan cidera
a. Ringan : Skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) 14-15
b. Sedang : GCS 9 – 13
c. Berat : GCS 3 – 8
3. Morfologi
III. ETIOLOGI
Menurut Hudak dan Gallo (1996: 108) mendeskripsikan bahwa penyebab cidera
kepala adalah karena adanya trauma rudapaksa yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu:
1. Trauma Primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselarasi dan deselerasi).
2. Trauma Sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui, akson) yang meluas, hipertensi intrakranial,
hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi siskemik.
IV. PATOFISIOLOGI
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun
otak hanya seberat 2% dari berat badan orang dewasa, ia menerima 20% dari curah
jantung. Sebagian besar yakni 80% dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh
substansi kelabu.
Cedera kepala yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer.
Proses lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan
nutrien, terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya
oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak menurun,
misalnya akibat syok. Karena itu pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas,
gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu, sehingga oksigenasi
tubuh cukup. Gangguan metabolisme jaringan otak akam menyebabkan edem yang
mengakibaykan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum, atau herniasi
dibawah falks serebrum.
Jika terjadi herniasi jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami iskemik
sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang menimbulkan kematian (3).
Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak, robek pembuluh
darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya duramater, laserasi,
kontusio).
2. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui batas
kompensasi ruang tengkorak.
Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan
volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan
parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan
TIK yang progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat
fatal pada tingkat seluler.
Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :
CPP = MAP - ICP
CPP : Cerebral Perfusion Pressure
MAP : Mean Arterial Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure
Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak
mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel).
Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi,
kejang, dll.
3. Edema Sitotoksik
Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis
Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l. glutamat,
aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-Aspartat) dan NMDA (Amino Methyl
Propionat Acid) menyebabkan Ca influks berlebihan yang menimbulkan edema dan
mengaktivasi enzym degradatif serta menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-
kejang).
O2 menurun.
CO2 meningkat.
1. CT-Scan
Mengidentifikasi adanya hemorragic, ukuran ventrikuler, infark pada jaringan mati.
4. Laboratorium
Kimia darah: mengetahui ketidakseimbangan elektrolit.
Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrkranial
Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran.
5. Cerebral Angiography:
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder
menjadi udema, perdarahan dan trauma.