Anda di halaman 1dari 28

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.

u dengan Cidera Kepala Ringan di Instalasai


Gawat Darurat RSUD MUNTILAN MAGELANG

Disusun Oleh :
Nama : Mei Lutfi Aryani
Nim : 19.0601.0023

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

TAHUN AKADEMIK 2020/2021


A. DEFINISI
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas
otak. Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi
normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis
terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa karena hemoragik,
serta edema serebral di sekitar jaringan otak.
B. ETIOLOGI
1) Kecelakaan lalu lintas.
2) Terjatuh
3) Pukulan atau trauma tumpul pada kepala.
4) Olah raga
5) Benturan langsung pada kepala.
6) Kecelakaan industry
C. Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses
sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan
suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar
daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama
pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda
jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba
subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan
respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang
menderita cedera kepala traumatik berat. Proses
1. Primer Proses primer
timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya vokal (perdarahan,
konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal
yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung
pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan
perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan
segera intrakranial, robekan reganga serabut saraf dan kematian langsung pada daerah
yang terkena.
2. Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan
primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai
gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti.
Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya
iskemi dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan
berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak
metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan
radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-
gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
D. PATHWAYS

E. TANDA DAN GEJALA


1. Konfusi
2. Gangguan kesadaran
3. Abnormalitas pupil
4. Awitan tiba-tiba defisit neurologi
5. Perubahan tanda vital
6. Gangguan penglihatan dan pendengaran
7. Disfungsi sensori
8. Kejang otot
9. Sakit kepala
F. Klasifikasi Cidera Kepala
Beratnya cedera kepala saat ini didefinisikan oleh The Traumatik Coma Data Bank
berdasarkan Skore Scala Coma Glascow (GCS). Penggunaan istilah cedera kepala ringan,
sedang dan berat berhubungan dari pengkajian parameter dalam menetukan terapi dan
perawatan. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :
1) Berdasarkan beratnya cidera
a. Cedera Kepela Ringan Nilai GCS 13-15 yang dapat terjadi kehilangan
kesadaran atau amnesia akan tetapi kurang dari 30 menit. Tidak terdapat
fraktur tengkorak serta tidak ada kontusio serebral dan hematoma.
b. Cedera Kepala Sedang
Nilai GCS 9-12 yang dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia
lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur
tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat
Nilai GCS 3-8 yang diikuti dengan kehilangan kesadaran atau amnesia
lebih dari 24 jam meliputi
2) Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan
bermotor, kecelakaan saat berolahraga, kecelakaan kerja, jatuh, maupun cidera
akibat kekersan (pukulan)
b. Trauma Tembus
Trauma yang terjadi kerena tembakan maupun tusukan benda – benda
tajam/runcing.
3) Berdasarkan Morfologi
a. Cidera Kulit Kepala Cidera yang hanya mengenai kulit kepala. Cidera kulit
kepala dapat menjadi pintu masuk infeksi intrakranial.
b. Fraktur Tengkorak
Fraktur yang terjadi pada tulang tengkorak. Fraktur basis crani secara
anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis cranii dan kalvaria yang
meliputi pada daerah basis cranii tulangnya lebih tipis dibandingkan daerah
klavaria, durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan daerah klavaria,
durameter daerah basis lebih melekat erat padamtulang dibandingkan daerah
klavaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan robekan
durameter klinis.
4) Cidera Otak
a. Komosio Serebri (geger otak)
Komosio serebri adalah gangguan fungsi neurologic ringan tanpa adanya
kerusakan struktur otak akibat cedera kepala. Gejala-gejala yang terjadi adalah
mual, muntah, nyeri kepala, hilangnya kesadaran kurang dari 10 menit atau
tanpa diertai anamnesia retrogad yaitu hilangnya ingatan pada kejadiaan-
kejadian sebelum terjadinya kecelakaan/cedera.
b. Kontusio Serebri (memar otak)
Kontusio serebri adalah gangguan fungsi neurologic akibat cedera kepala
yang disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontinuitas otak masih utuh, Otak
mengalami memar dengan memungkinkan adanya daerah yang mengalami
perdarahan. Gejala yang timbul lebih khas yaitu, penderita kehilangan
gerakan, kehilangan kesadaran lebih dari 10 menit
1. Macam – Macam Cidera Kepala
Menurut Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu :
a) Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau
luka penetrasi,besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh massa dan
bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak
menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak,
jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan, cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen .memiliki abses langsung ke otak.
b) Cidera Kepala Tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang
mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian
serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup
meliputi:kombusio, gagar otak, kontusio, memar, dan laserasi.
G. Manifestasi klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.
1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005)
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
d. Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih
lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2. Cedera kepala sedang
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau bahkan
koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,
kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
3. Cedera kepala berat
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya
penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut
H. Komplikasi Cidera Kepala
Menurut Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan
hematoma intrakranial edemaserebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera
kepala adalah :
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru,etiologi mungkin berasal dari
gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa. Edema paru
terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan
perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkattekanan darah
sistematik meningkat untukmemcoba mempertahankan aliran darah keotak, bila
keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi
respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk
keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang
membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala.Peningkatan
vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebihbanyak darah dialirkan ke
paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses
berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari
darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Peningkatan TIK
Tekana intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan herniasi
dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam otak
disebut sebagai tekan perfusi serebral yangmerupakan komplikasi serius dengan
akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut. Perawat
harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan spatel
lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien, juga
peralatan penghisap. Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya
mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya
tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan
obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena.
Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian diazepam,
frekuensi dan irama pernafasan.
4. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak
basilar Bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges, sehingga
CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup
diberi bantalan steril di bawah 25 hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak
memanipulasi hidung atau telinga.
5. Infeksi
I. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT –Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel
pergeseran cairan otak
2. MRI : sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks.
3. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
4. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembanan gelombang.
5. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur
dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).
6. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang otak..
7. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak.
8. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.
9. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam
peningkatan TIK.
10. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang
akan dapat menngkatkan TIK.
11. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran
Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif untuk mengatasi kejang.
J. Penatalaksanaan Medik
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya cedera
otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotesis
atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak. Pengatasan nyeri yang adekuat
juga direkomendasikan pada pendertia cedera kepala (Turner, 2000).
1. Penatalaksanaan umum adalah sebagai berikut :
a) Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi.
b) Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma.
c) Berikan oksigenasi. Awasi tekanan darah
d) Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neuregenis
e) Atasi shock
f) Awasi kemungkinan munculnya kejang.
2. Penatalaksanaan lainnya:
1) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2) Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.
3) Pemberian analgetika
4) Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertoni yaitu manitol 20% atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %
5) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).
6) Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak
dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin,
aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian
diberikana makanan lunak.
7) Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan.
Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan
dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah,
makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein
tergantung nilai urea N.
3. Tindakan terhadap peningktatan TIK:
1) Pemantauan TIK dengan ketat, Oksigenisasi adekuat,
2) Pemberian manitol, Penggunaan steroid, Peningkatan kepala tempat tidur,
Bedah neuro.
4. Tindakan pendukung lain:Dukungan ventilasi, Pencegahan kejang, Pemeliharaan
cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi, Terapi anti konvulsan, Klorpromazin
untuk , menenangkan pasien, Pemasangan selang nasogastrik.
K. Konsep Asuhan Keperawatan Cedera Kepala
Proses keperawatan adalah penerapan
pemecahan masalah keperawatan secara ilmiah yang digunakan untuk mengidentifikasi
masalah- masalah pasien, merencanakan secara sistematis dan melaksanakannya serta
mengevaluasi hasil tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan (Nasrul Effendy dalam
Andra, dkk. 2013).
Menurut Rendi dan Margareth. ( 2012 ), asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala
meliputi:
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Berisi biodata pasien yaitu nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir,
golongan darah, pendidikan terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan,
TB/BB, alamat.
b. Identitas penanggung jawab Berisikan biodata penangguang jawab pasien yaitu
nama, umur, jenis kelamin,
c. Keluhan utama
Keluhan yang sering menjadi alasan klien untuk memnita pertolongan kesehatan
tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai penurunan tingkat
kesadaran ( Muttaqin, A. 2008 ). Biasanya klien akan mengalami penurunan
kesadaran dan adanya benturan serta perdarahan pada bagian kepala klien yang
disebabkan oleh kecelakaan
ataupun tindaka kejahatan.
d. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Berisikan data adanya penurunan kesadaran (GCS <15), letargi,mual dan
muntah, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralysis, perdarahan,
fraktur, hilang keseimbangan, sulit menggenggam, amnesia seputar
kejadian,tidak bias beristirahat, kesulitan mendengar, mengecap dan mencium
bau, sulit mencerna/menelan makanan
2) Riwayat kesehatan dahulu
Berisikan data pasien pernah mangalami penyakit system persyarafan, riwayat
trauma masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat penyakit
sistemik/pernafasan cardiovaskuler, riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala
sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-
obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan konsumsi
alkohol ( Muttaqin, A. 2008 ).
3) Riwayat kesehatan keluarga
Berisikan data ada tidaknya riwayat penyakit menular seperti hipertensi,
diabetes mellitus, dan lain sebagainyaagama, suku, hubungan dengan klien,
pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat.
e. Permeriksaan fisik
1. Tingkat kesadaran
i. Kuantitatif dengan GCS (Glasgow Coma Scale)
N Komponen nilai Hasil
o
1. Verbal 1 Hasil berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti,
3 ritihan
4 Bicara ngawur/ tidak
nyambung
5 Bicara membingungkan
Orientasi baik
2. Motoric 1 Tidak berespon
2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal
4 Menghindari area nyeri
5 Melokalisasi nyeri
6 Ikut perintah
3. Reaksi 1 Tidak berespon
membuka 2 Dengan rangsangan nyeri
mata (Eye) 3 Dengan perintah (sentuh)
4 Spontan

ii. Kualitatif
1) Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya, nilai GCS: 15 - 14.
2) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk
berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh, nilai GCS: 13
- 12.
3) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal, nilai
GCS: 11-10.
4) Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih
bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal, nilai GCS: 9 – 7.
5) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri, nilai GCS: 6 – 4
6) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak adarespon pupil terhadap cahaya), nilai
GCS: ≤ 3 (Satyanegara.2010).
2. Fungsi motoric
Setiap ekstermitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut ini yang digunakan
secara internasional:
Kekuatan otot
Respon Skala
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang, Bisa terangkat, bisa melawan 4
gravitasi, namun tidak mampu melawan tahanan
pemeriksa, gerakan tidak terkoordinasi
Kelemahan berat, Terangkat sedikit < 450, tidak 3
mampu melawan gravitasi
Kelemahan berat, Dapat digerakkan, mampu 2
terangkat sedikit
Gerakan trace/ Tidak dapat digerakkan, tonus otot 1
ada
Tidak ada gerakan 0
Biasanya klien yang mengalami cedera kepala kekuatan ototnya berkisar antar 0 sampai 4
tergantung tingkat keparahan cedera kepala yang dialami klien.
3. Pemeriksaan reflek fisiologis
a. Reflek bisep
Caranya: emeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk, dengan membiarkan lengan
untuk beristirahat di pangkuan pasien, atau membentuk sudut sedikit lebih dari 900 di
siku, minta pasien memflexikan di siku sementara pemeriksa mengamati dan meraba
fossa antecubital, tendon akan terlihat dan terasa seperti tali tebal, ketukan pada jari
pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m.biceps brachii, posisi lengan setengah
diketuk pada sendi siku, normalnya terjadi fleksi lengapada sendi siku.
b. Trisep
Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk, secara perlahan tarik
lengan keluar dari tubuh pasien, sehingga membentuk sudut kanan di bahu atau lengan
bawah harus menjuntai ke bawah langsung di siku, ketukan pada tendon otot triceps,
posisi lengan fleksi padasendi siku dan sedikit pronasi,normalnya terjadi ekstensi lengan
bawah pada sendi siku.
c. Reflek patella
Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi duduk atau berbaring terlentang, ketukan
pada tendon patella, respon: plantar fleksi kaki karena kontraksi m.quadrisep femoris.
d. Reflek achilesCaranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk, kaki
menggantung di tepi meja ujian atau dengan berbaring terlentang dengan posisi kaki
melintasi diatas kaki di atas yang lain atau mengatur kaki dalam posisi tipe katak,
identifikasi tendon mintalah pasien untuk plantar flexi, ketukan hammer pada tendon
achilles. Respon: plantar fleksi kaki krena kontraksi m.gastroenemius (Muttaqin,
A.2010).
4. Reflek Patologis
Bila dijumpai adanya kelumpuhan ekstremitas pada kasus-kasus tertentu.
a. Reflek babynski
Pesien diposisikan berbaring supinasi dengan kedua kaki diluruskan,
tangan kiri pemeriksa memegang pergelangan kaki pasien agar kaki
tetap pada tempatnya, lakukan penggoresan telapak kaki bagian
lateral dari posterior ke anterior, respon: posisitif apabila terdapat
gerakan dorsofleksi ibu jari kaki dan pengembangan jari kaki
lainnya.
b. Reflek chaddok
Penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral sekitar maleolus
lateralis dari posterior ke anterior, amati ada tidaknya gerakan
dorsofleksi ibu jari, disertai mekarnya (fanning) jari-jari kaki
lainnya.
c. Reflek oppenheim Pengurutan dengan cepat krista anterior tibia dari
proksiml ke distal, amati ada tidaknya gerakan dorso fleksi ibu jari
kaki, disertai mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya.
d. Reflek Gordon
Menekan pada musculus gastrocnemius (otot betis), amati ada
tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya
(fanning) jari-jari kaki lainnya.
5. Pernafasan
1) Perubahan poa nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas
berbunyi stridor, tersedak
2) Irama, frekuensi, kedalaman, bunyi nafas Ronki, mengi positif
6. Kebutuhan dasar
a. Eliminasi : perubahan pada BAB/BAK (inkontinensia, obstipasi, hematuri)
b. Nutrisi : mual, muntah, gangguan pencernaan/menelan makanan, kaji bising
usus
7. Istirahat : kelemahan, mobilisasi, kelelahan, tidur kurang
8. Pengkajian psikologis
a. Gangguan emosi/apatis, delirium
b. Perubahan tingkah laku atau kepribadian
9. Pengkajian social
a. Hubungan dengan orang terdekat
f. Diagnose kepearawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan
konsentrasi dan suplai oksigen ke otak
2. Nyeri akut b/d agen cedera fisik (trauma)
3. Ketidakefektifan Pola nafas berhubungan dengan hipoventilasi
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas yang lama
5. Defisit perawatan diri : makan/mandi, toileting berhubungan dengan kelemahan fisik
dan nyeri
6. Risiko infeksi berhubungan dengan trauma/laserasi Kulit kepala
7. PK: peningkatan TIK dengan proses desak ruang akibat penumpukan cairan /darah di
dalam otak.
g. Analisa dta

Diagnosa 1 : Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan

konsentrasi dan suplai oksigen ke otak

Tujuan : Pasien akan mempertahankan perfusi jaringan serebral yang efektif selama
dalam perawatan.

NOC :

1. Circulation status (Status Sirkulasi)

2. Tissue Prefusion : Cerebral (Perfusi Jaringan : Serebral) Outcome/Kriteria Hasil :

1. Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan :

a. Tekanan sistole dan diastole dalam rentang yang diharapkan


b. Tidak ada ortostatikhipertensi
c. Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (tidak lebih dari 15 mmHg)

2. Mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai dengan:

d. Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan


e. Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi
f. Memproses informasi
g. Membuat keputusan dengan benar

3. Menunjukkan fungsi sensori motori cranial yang utuh : tingkat kesadaran membaik,
tidak ada gerakan-gerakan involunter

NIC : Intrakranial Pressure (ICP) Monitoring (Monitor tekana intrakranial)

1. Berikan informasi kepada keluarga


2. Monitor tekanan perfusi serebral
3. Catat respon pasien terhadap stimulus
4. Monitor tekanan intrakranial pasien dan respon neurologi terhadap aktivitas
5. Monitor jumlah drainase cairan serebrospinal
6. Monitor intake dan output cairan
7. Restrain pasien jika perlu
8. Monitor suhu dan angka WBC
9. Kolaborasi pemberian antibiotik
10. Posisikan pasien pada posisi semifowler
11. Minimalkan stimulus dari lingkungan

NIC : Peripheral Sensation Management (Manajemen sensasi perifer)

1. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap


panas/dingin/tajam/tumpul
2. Monitor adanya paretese
3. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada isi atau laserasi
4. Gunakan sarung tangan untuk proteksi
5. Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
6. Monitor kemampuan BAB
7. Kolaborasi pemberian analgetik
8. Monitor adanya tromboplebitis
9. Diskusikan mengenai penyebab perubahan sensasi

Diagnosa 2 : Nyeri akut b/d agen cedera fisik (trauma).

Tujuan : Pasien akan mempertahankan rasa nyaman nyeri selama dalam perawatan

NOC : Pain Level (level nyeri),Pain control (control nyeri), dan Comfort level (level
kenyamanan)

Kriteria Hasil :

1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik non
farmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
5. Tanda vital dalam rentang normal

NIC : Pain Management (manajemen nyeri)

1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,


frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
6. Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri
masa lampau
7. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
8. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan
dan kebisingan
9. Kurangi faktor presipitasi nyeri
10. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan interpersonal)
11. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
12. Ajarkan tentang teknik non farmakologi
13. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
14. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
15. Tingkatkan istirahat
16. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
17. Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri

NIC : Analgesik Administration (Pengobatan. Administrasi analgetik)

1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih
5. dari satu
6. Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
7. Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal
8. Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
9. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
10. Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
11. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)

Diagnosa 3 : Ketidakefektifan Pola nafas b/d hipoventilasi.

Tujuan : Pasien akan mempertahankan pola napas yang efektif selama dalam perawatan

NOC :

1. Respiratory status : Ventilation (Status Respirasi : Ventilasi)


2. Respiratory status : Airway patency (Status Respirasi : Patensi Jalan Napas)
3. Vital sign Status (status TTV)

Outcome/kriteria Hasil :
1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan
dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada
pursed lips)
2. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi
pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)

Terapi Oksigen

1. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea


2. Pertahankan jalan nafas yang paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi

Diagnosa 4 : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas yang lama.

Tujuan : Pasien akan mempertahankan integritas kulit yang utuh selama dalam perawatan

NOC :

Tissue Integrity : Skin and Mucous Membran (integritas jaringan : Kulit dan membrane mukosa)

Kriteria Hasil :

1. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi,
pigmentasi)
2. Tidak ada luka/lesi pada kulit
3. Perfusi jaringan baik
4. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya ccedera
berulang
5. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami

NIC : Pressure Management (Manajemen Tekanan)

1. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar


2. Hindari kerutan pada tempat tidur
3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
5. Monitor kulit akan adanya kemerahan
6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan
7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
8. Monitor status nutrisi pasien
9. Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat

Diagnosa 5 : Defisit perawatan diri : makan/mandi, toileting berhubungan dengan kelemahan


fisik dan nyeri. Tujuan : Pasien akan meningkatkan aktivitas perawatan diri yang efektif selama
dalam perawatan

NOC :

Self care : Activity of Daily Living (ADLs) (Perawatan diri : Aktivitas sehari-hari)

Kriteria Hasil :

1. Klien terbebas dari bau badan


2. Menyatakan kenyamanan terhadap kemampuan untuk melakukan ADLs
3. Dapat melakukan ADLS dengan bantuan

NIC : Self Care assistane : ADLs (Asisten perawatan diri : Aktivitas sehari-hari)

1. Monitor kemampuan klien untuk perawatan diri yang mandiri.


2. Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu untuk kebersihan diri, berpakaian, berhias,
toileting dan makan.
3. Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk melakukan self-care.
4. Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang normal sesuai kemampuan yang
dimiliki.
5. Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi beri bantuan ketika klien tidak mampu
melakukannya. Ajarkan klien/ keluarga untuk mendorong kemandirian, untuk
memberikan bantuan hanya jika pasien tidak mampu untuk melakukannya.
6. Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai kemampuan.
7. Pertimbangkan usia klien jika mendorong pelaksanaan aktivitas sehari-hari.

Diagnosa 6 : Risiko infeksi berhubungan dengan trauma/laserasi kulit kepala.

Tujuan : Tidak terjadi risiko infeksi yang efektif selama dalam perawatan

NOC : Immune Status (status imun), Risiko control (control risiko)

Kriteria Hasil :

1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi


2. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
3. Jumlah leukosit dalam batas normal
4. Menunjukkan perilaku hidup sehat

NIC : Infection Control (Kontrol infeksi)

1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain


2. Pertahankan teknik isolasi
3. Batasi pengunjung bila perlu
4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah
c. berkunjung meninggalkan pasien
5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
8. Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
9. Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum
10. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
11. Tingkatkan intake nutrisi
12. Berikan terapi antibiotik bila perlu

Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)

1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal


2. Monitor hitung granulosit, WBC
3. Monitor kerentanan terhadap infeksi
4. Batasi pengunjung
5. Saring pengunjung terhadap penyakit menular
6. Pertahankan teknik asepsis pada pasien yang berisiko
7. Pertahankan teknik isolasi k/p
8. Berikan perawatan kulit pada area epidema
9. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase
10. Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
11. Dorong masukkan nutrisi yang cukup
12. Dorong masukan cairan
13. Dorong istirahat
14. Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
15. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
16. Ajarkan cara menghindari infeksi
17. Laporkan kecurigaan infeksi
18. Laporkan kultur positif

Diagnosa 7 : PK: peningkatan TIK b/d proses desak ruang akibat penumpukan cairan/darah di
dalam otak.

Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama…× 24 jam, dapat mencegah atau
meminimalkan komplikasi dari peningkatan TIK.

Kriteria hasil :Kesadaran stabil (orientasi baik), pupil isokor, diameter 1 mm, reflek baik. tidak
mual, tidak muntah.

NIC :

1. Pantau tanda dan gejala peningkatan TIK


a. Kaji respon membuka mata, respon motorik dan verbal, (GCS)
b. Kaji perubahan tanda-tanda vital
c. Kaji respon pupil
d. Catat gejala dan tanda-tanda: muntah, sakit kepala, letargi, gelisah, nafas
keras,gerakan tak bertujuan, perubahan mental
2. Tinggikan kepala 30-40 derajat jika tidak ada kontra indikasi
3. Hindari situasi atau manuver sebagai berikut :
a. Masase karotis
b. Fleksi dan rotasi leher berlebihan
c. Stimulasi anal dengan jari, menahan nafas dan mengejan
d. Perubahan posisi yang cepat
4. Ajarkan klien untuk ekspirasi selama perubahan posisi
5. Konsul dengan dokter untuk pemberian pelunak feses, jika perlu
6. Pertahankan lingkungan yang tenang
7. Hindarkan pelaksanaan urutan aktivitas yang dapat meningkatkan TIK
8. Batasi waktu pengisapan pada tiap waktu hingga 10 detik
9. Hiperoksigenasi dan hiperventilasi klien sebelum dan sesudah pengisapan
10. Konsultasi dengan dokter untuk pemberian lidokain profilaktik sebelum pengisapan
11. Pertahankan ventilasi optimal melalui posisi yang sesuai dengan pengisapan yang teratur
12. Jika diindikasikan, lakukan protocol atau kolaborasi dengan dokter untuk terapi obat yang
mungkin termasuk sebagai berikut:
a. Sedasi, barbiturat (menurunkan laju metabolisme serebral)
b. Antikonvulsan (mencegah kejang)
c. Diuretic osmotic (menurunkan edema serebral)
d. Diuretic non osmotic (mengurangi edema serebral)
h. Implementasi Keperawatan (NOC & NIC Edisi 5)

Implementasi merupakan suatu tindakan keperawatan yang bertujuan untuk mengatas masalah
keperawatan yang ditemukan pada pasien untuk itu diharapkan harus sesuai dengan intervensi
atau rencana yang telah dibuat.

i.Evaluasi leperawatan

Diagnosa 1:

Perfusi jaringan serebral:

1. Tidak terjadi peningkatan tekanan intrakranial (skala 5 = no deviation from normal


range/Tidak ada penyimpangan dari rentang normal)
2. Tekanan darah sistolik normal (120 mmHg) (skala 5 = no deviation from normal
range/Tidak ada penyimpangan dari rentang normal)
3. Tekanan darah diastolik normal (80 mmHg) (skala 5 = no deviation from normal
range/Tidak ada penyimpangan dari rentang normal)
4. Tidak ada sakit kepala (skala 5 = none/tidak ada)
5. Tidak ada gelisah (skala 5 = none)
6. Tidak ada agitasi (skala 5 = none)
7. Tidak ada syncope (skala 5 = none)
8. Tidak ada muntah (skala 5 = none)
9. Tidak ada gangguan kognisi (skala 5 = none/tidak ada)

Diagnosa 2 :

Pain level (Level nyeri):

1. Klien tidak melaporkan adanya nyeri (skala 5 = none/ tidak ada)


2. Klien tidak merintih ataupun menangis (skala 5 = none)
3. Klien tidak menunjukkan ekspresi wajah terhadap nyeri (skala 5 = none)
4. Klien tidak tampak berkeringat dingin (skala 5 = none)
5. RR dalam batas normal (16-20 x/menit) (skala 5 = normal)
6. Nadi dalam batas normal (60-100x/menit) (skala 5 = normal)
7. Tekanan darah dalam batas normal (120/80 mmHg) (skala 5 = normal)

Pain control (Kontrol Nyeri):

1. Klien dapat mengontrol nyerinya dengan menggunakan teknik manajemen nyeri non
farmakologis (skala 5 = consistently demonstrated/Secara konsisten ditunjukkan)
2. Klien dapat menggunakan analgesik sesuai indikasi (skala 5 = consistent demonstrated Secara
konsisten ditunjukkan)
3. Klien melaporkan nyeri terkontrol (skala 5 = consistently demonstrated/ Secara konsisten
ditunjukkan)

Diagnosa 3:

Status pernapasan: ventilasi

1. Kedalaman pernapasan normal (skala 5 = no deviation from normal range/Tidak ada


penyimpangan dari rentang normal)
2. Tidak tampak penggunaan otot bantu pernapasan (skala 5 = no deviation from normal
range/Tidak ada penyimpangan dari rentang normal)
3. Tidak tampak retraksi dinding dada (skala 5 = no deviation from normal range/Tidak ada
penyimpangan dari rentang normal) Tanda-tanda vital
4. Frekuensi pernapasan dalam batas normal (16-20x/menit) (skala 5 = no deviation from normal
range/Tidak ada penyimpangan dari rentang normal)

Diagnosa 4 :

1. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi,
pigmentasi)
2. Tidak ada luka/lesi pada kulit
3. Perfusi jaringan baik
4. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera
berulang
5. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami

Diagnosa 5 :

1. Klien terbebas dari bau badan


2. Menyatakan kenyamanan terhadap kemampuan untuk melakukan ADLs
3. Dapat melakukan ADLS dengan bantuan

Diagnosa 6 :

1. Tidak ada kemerahan (Skala 5 = None/tidak ada)


2. Tidak terjadi hipertermia (Skala 5 = None)
3. Tidak ada nyeri (Skala 5 = None)
4. Tidak ada pembengkakan (Skala 5 = None)
5. Suhu dalam batas normal (36,5o – 37oC) (skala 5 = no deviation from normal range/Tidak ada
penyimpangan dari rentang normal).
6. Tekanan darah dalam batas normal (120/80 mmHg) (skala 5 = no deviation from normal
range)
7. Nadi dalam batas normal (60-100 x/menit) (skala 5 = no deviation from normal
8. range/Tidak ada penyimpangan dari rentang normal). RR dalam batas normal (12-20 x/menit)
(skala 5 = no deviation from normal
9. range/Tidak ada penyimpangan dari rentang normal). WBC dalam batas normal (4,6 – 10,2
k/ul) (skala 5 = no deviation from normal
10. range/Tidak ada penyimpangan dari rentang normal). Klien mampu menyebutkan faktor-faktor
risiko penyebab infeksi ( Skala 5 = Consistenly demonstrated/Secara konsisten ditunjukkan).
11. Klien mampu memonitor lingkungan penyebab infeksi (Skala 5 = Consistenly demonstrated)
12. Klien mampu memonitor tingkah laku penyebab infeksi (Skala 5 = Consistenly
demonstrated/Secara konsisten ditunjukkan).
13. Tidak terjadi paparan saat tindakan keperawatan (Skala 5 = Consistenly demonstrated/Secara
konsisten ditunjukkan).

Diagnosa 7 :

Kesadaran stabil (orientasi baik), pupil isokor, diameter 1 mm, reflek baik. tidak mual, tidak
muntah lain

1. perfusi jaringan serebral efektif, nyeri terkontrol, dan mobilisasi pasien meningkat.
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer. 2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1.Jakarta : Media Aesculapius

Brunner & Suddart . 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Nurarif, Amin Huda dan Hardi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction Jogja.

Nurarif, Amin Huda dan Hardi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction Jogja.

Notoatmodjo, Soekidjo. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT.Rineka Cipta.


Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika. Perhimpunan
Dokter Spesialis Indonesia. 2011. Buku Ajar Neurologis Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Melti Suriya, Zuriati,. 2015. Buku Ajar asuhan keperawatan medikal bedah gangguan pada
system Muskuloskeletal aplikasi NANDA NIC & NOC . Pustaka Galeri Mandiri : SUMBAR

Anda mungkin juga menyukai