Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN KASUS CKR PADA PASIEN TN. S


DIRUANG WIJAYA KUSUMA RUMAH SAKIT UMUM DAEAH KOTA SALATIGA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Keperawatan Medical Bedah II

Disusun Oleh :
Nama : Putri Nur Fitriani
NIM : 20101440120071

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN


STIKES KESDAM IV/DIPONEGORO SEMARANG
TAHUN AKADEMIK 2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak. Penyebab terjadinya cedera kepala salah satunya karena adanya
benturan atau kecelakaan. Cedera kepala mengakibatkan pasien dan keluarga mengalami
perubahan fisik maupun psikologis dan akibat paling fatal adalah kematian. Asuhan
keperawatan pada penderita cedera kepala memegang peranan penting terutama dalam
pencegehan komplikasi (Muttaqin, 2008) Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi
dan perdarahan. Hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma disebabkan oleh
cedera kepala. Cedera kepala merupakan keaadan yang serius. Oleh karena itu,
diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan
mortalitas penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan
keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya pemilihan fungsi .
Cedera kepala merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Muttaqin, 2008). Menurut Haryono & Utami, (2019) cedera kepala
merupakan istilah luas yang menggambarkan sejumlah cedera yang terjadi pada kulit
kepala, tengkorak, otak, dan jaringan di bawahnya serta pembuluh darah di kepala.
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala, trauma yang dapat
menyebabkan cedera kepala antara lain kejadian jatuh yang tidak disengaja, kecelakaan
kendaraan bermotor, benturan benda tajam dan tumpul, benturan dari objek yang
bergerak, serta benturan kepala pada benda yang tidak bergerak (Manurung, 2018). Pada
tahun 2014 di Amerika Serikat cedera kepala yang diakibatkan oleh kejadian jatuh yang
tidak disengaja memiliki prevalensi tertinggi yaitu 52,3%, sedangkan cedera kepala yang
diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor memiliki prevalensi 20,4% dari total
keseluruhan pasien rawat inap dengan diagnosa cedera kepala (Peterson et al., 2019).
Berdasarkan GCS (Glasgow Coma Scale) cedera kepala dapat dibagi menjadi 3, yaitu
cedera kepala ringan dengan GCS 13-15, cedera kepala sedang dengan GCS 9-12, dan
cedera kepala berat dengan GCS kurang atau sama dengan 8.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dalam uraian latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah
“Bagaimanakah gambaran asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala ringan”
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien
dengan cedera kepala, serta mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien
dengan kasus cedera kepala ringan.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui dan memahami pengertian cedera kepala ringan
b. Untuk mengetahui dan memahami etiologi cedera kepala ringan
c. Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi cedera kepala ringan
d. Untuk mengetahui dan memahami manifestasi klinis cedera kepala ringan
e. Untuk mengetahui dan mampu menerapkan pemeriksaan, penatalaksanaan serta
pencegahan untuk pasien dengan cedera kepala ringan
f. Untuk memahami dan menerapkan asuhan keperawatan pada pasien cedera
kepala ringan.
BAB II
KONSEP TEORI

A. Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif , psikososial, bersifat temporer atau permanen
(Riskesdas,2013). Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala , bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik (Snell,2010).
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Hudak&Gallo,2010) Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai
cedera otak gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun
trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan
pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral do sekitar jaringan otak.
(Batticaca Fransisca, 2008, hal 96). Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari
fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnyakontinuitas otak (Arif Muttaqin, 2008, hal 270-271).
B. Etiologi
1. Trauma tajam adalah trauma yang disebabkan oleh benda tajam yang dapat
mengakibatkan cedera setempat dan menimbulkan cedera local. Kerusakan local
meliputi Contosio serebral,hematom serebral,kerusakan otak sekunder yang
disebabkan perluasan masa lesi , pergeseran otak atau hernia.
2. Trauma tumpul trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh
menyebabkan kerusakan secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk yaitu cedera akson,
kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, multiple pada otak koma
terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer,cerebral,batang otak atau keduanya
(Wijaya,2013).
C. Klasifikasi
Cedera Kepala menurut dewantoro, dkk (2007) di klasifikasikan menjadi 3 kelompok
berdasarkan nilai GCS (Glasglow Coma Scale) adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 : Kategori penentuan keparahan cedera kepala berdasarkan nilai


Glasgow Coma Scale (GCS)

Tingkat Keparahan Deskripsi


Minor/ringan GCS 13-15
Sadar penuh, membuka mata bila dipanggil. Dapat
terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi
kurang dari 30 menit dan disorientasi. Tidak ada
fraktur tengkorak, tidak ada kontusia, cerebral dan
hematoma.
Sedang GCS 9-12
Kehilangan kesadaran, namun masih menuruti
perintah yang sederhana atau amnesia lebih dari 30
mneit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami
fraktur tengkorak.
Berat GCS 3-8
Kehilangan kesdaran dan atau terjadi amnesia lebih
dari 24 jam. Juga meliputi kontusio serebral,
laserasi, atau hematoma intracranial. Dengan
perhitungan GCS sebagai berikut :
 Eye : nilai 1 atau 2
 Motorik : nilai 5 atau <5
 Verbal : nilai 2 atau 1
Tabel 2.2. Kategori nilai Glasgow Coma Scale (GCS)

Respon mata

Spontan 4
Terhadap suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
Respon Motorik
Turut perintah 6
Melokalisir nyeri 5
Fleksi normal (menarik anggota 4
gerak yang dirangsang)
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
Tidak ada 1
Respon Verbal
Berorientasi baik 5
Berbicara mengacau (bingung) 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada 1

D. Anatomi Fisiologi
1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu Skin atau kulit,
Connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponereutika,
loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium. Kulit
kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga perdarahan akibat liseran kulit
kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan
anakanak.
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis krani. Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis.
Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat
bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas
3 fosa yaitu: fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan
fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak serebelum. Struktur tulang yang
menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka. Tulang
kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar, diploe dan lapisan dalam. Lapisan luar dan
dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan diploe merupakan struktur yang
menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga / fosa: fosa anterior (didalamnya
terdapat lobus frontalis), fosa tengah (berisi lobus temporalis, parietalis, oksipitalis),
fosa posterior (berisi otak tengah dan sereblum)
3. Lapisan pelindung otak / Meninges
Terdiri dari 3 lapisan meninges yaitu durameter, arakhnoid dan piameter.
a) Durameter ( lapisan sebelah luar )
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat.
Durameter ditempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah vena
ke otak.
b) Arakhnoid (lapisan tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan piameter
membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi susunan
saraf sentral.
c) Piameter (lapisan sebelah dalam)
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piameter
berhubungan dengan araknoid melalui strukturstruktur jaringan ikat yang disebut
trabekel (Ganong, 2002)
4. Otak
Otak terbagi menjadi 3 bagian utama, yaitu:
a) Sereblum
Sereblum merupakan bagian otak yang terbesar dan paling menonjol. Disini
terletak pusat-pusat saraf yang mengatur semua kegiatan sensorik dan motorik,
juga mengatur proses penalaran, ingatan dan intelegensia. Sereblum dibagi
menjadi hemisfer kanan dan kiri oleh suatu lekuk atau celah dalam yang disebut
fisura longitudinalis mayor. Bagian luar hemisferium serebri terdiri dari
substansial grisea yang disebut sebagai kortek serebri, terletak diatas substansial
alba yang merupakan bagian dalam (inti) hemisfer dan dinamakan pusat medulla.
Kedua hemisfer saling dihubungkan oleh suatu pita serabut lebar yang disebut
korpus kalosum. Di dalam substansial alba tertanam masa substansial grisea yang
disebut ganglia basalis. Pusat aktifitas sensorik dan motorik pada masingmasing
hemisfer dirangkap dua, dan biasanya berkaitan dengan bagian tubuh yang
berlawanan. Hemisferium serebri kanan mengatur bagian tubuh sebelah kiri dan
hemisferium kiri mengatur bagian tubuh sebelah kanan. Konsep fungsional ini
disebut pengendalian kontra lateral. Setiap hemisfer dibagi dalam lobus dan
terdiri dari 4, yaitu:
 Lobus Frontalis : Kontrol motorik gerakan volunteer, terutama fungsi bicara,
kontrol berbagai emosi, moral tingkah laku dan etika.
 Lobus Temporal :Pendengaran, keseimbangan, emosi dan memori.
 Lobus Oksipitalis : Visual senter, mengenal objek.
 Lobus Parietalis : Fungsi sensori umum, rasa (pengecapan)
b) Otak tengah
c) Otak belakang
Suzanne C Smeltzer (2001), Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala
meluas sampai batang otak karna edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan
nervus yaitu :
 Nervus Alfaktorius ( Nervus Kranialis I )
Nervus alfaktorius menghantarkan bau menuju otak dan kemudian diolah lebih
lanjut. Dengan mata tertutup dan pada saat yang sama satu lubang hidung
ditutup, penderita diminta membedakan zat aromatis lemah seperti vanila, cau
de cologne, dan cengkeh. Fungsi saraf pembau.
 Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Nervus optikus menghantarkan impuls dari retina menuju plasma optikum,
kemudian melalui traktus optikus menuju korteks oksipitalis untuk dikenali dan
diinterpretasikan. Fungsi: Bola mata untuk penglihatan.
 Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital (otot penggerak bola mata).
Fungsi sebagai penggerak bola mata.
 Nervus Troklearis (Nervus Kranialis IV)
Sifatnya motorik, fungsi memutar mata, sebagai penggerak mata.
 Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Nervus Trigeminus membawa serabut motorik maupun sensorik dengan
memberikan persarafan ke otot temporalis dan maseter, yang merupakan otot-
otot pengunyah. Nervus trigeminus dibagi menjadi 3 cabang utama:
1) Nervus oftalmikus sifatnya motorik dan sensorik.
Fungsi: Kulit kepala dan kelopak mata atas.
2) Nervus maksilaris sifatnya sensorik. Fungsi : Rahang atas, palatum dan
hidung.
3) Nervus mandibularis sifatnya motorik dan sensorik. Fungsi : Rahang bawah
dan lidah.
 Nervus Abdusen (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital. Fungsi: Sebagai saraf
penggoyang bola mata.
 Nervus Facialis (Nervus Nervus Kranialis VII)
Sifatnya motorik dan sensorik, saraf ini membawa serabut sensorik yang
menghantar pengecapan bagian anterior lidan dan serabut motorik yang
mensarafi semua otot ekspresi wajah, termasuk tersenyum, mengerutkan dahi
dan menyeringai. Fungsi: Otot lidah menggerakkan lidah dan selaput lendir
rongga mulut.
 Nervus Auditorius (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensorik, mensarafi alat pendengar membawa rangsangan dari
pendengaran dari telinga ke otak. Fungsinya: Sebagai saraf pendengar.
 Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk, mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf ini dpat membawa
rangsangan cita rasa ke otak.
 Nervus Vagus (Nervus Kranialis X).
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mengandung saraf-saraf motoric,
sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus, gaster intestinum
minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf
perasa.
 Nervus Assesoris (Nervus Kranialis XI).
Saraf ini mensarafi muskulus sternocleidomastoid dan muskulus trapezium,
fungsinya sebagai saraf tambahan.
 Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini
terdapat di dalam sumsum penyambung.
5. Tekanan Intra Kranial (TIK)
Tekanan intra kranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak, volume darah
intrakranial dan cairan serebrospiral di dalam tengkorak pada 1 satuan waktu.
Keadaan normal dari TIK bergantung pada posisi pasien dan berkisar ± 15mmHg.
Ruang kranial yang kalua berisi jaringan otak (1400gr), Darah (75 ml), cairan
serebrospiral (75ml), terhadap 2 tekanan pada 3 komponen ini selalu berhubungan
dengan keadaan keseimbangan Hipotesa Monro- Kellie menyatakan : Karena
keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di dalam tengkorak, adanya peningkatan salah
satu dari komponen ini menyebabkan perubahan pada volume darah serebral tanpa
adanya perubahan, TIK akan naik. Peningkatan TIK yang cukup tinggi menyebabkan
turunnya batang otak (Herniasi batang otak) yang berakibat kematian.
E. Manifestasi Klinis
Menurut Mansjoer, 2000 :
1. Pingsan tidak lebih dari sepuluh menit
2. Setelah sadar timbul nyeri
3. Pusing
4. Muntah
5. GCS : 13-15
6. Tidak terdapat kelainan neurologis
7. Pernafasan secara progresif menjadi abnormal
8. Respon pupil lenyap atau progresif menurun
9. Nyeri kepala dapat timbul segera atau bertahan
F. Patofisiologi
Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya.
Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut (yang membuat kita seperti adanya) akan
mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Cedera memegang peranan yang
sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu
trauma kepala. Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga
kepala. Lesi jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada
tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri. Terjadinya benturan pada
kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan, yaitu :
1. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak
2. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam dan
3. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain dibentur
oleh benda yang bergerak (kepala tergencet). Terjadinya lesi pada jaringan otak dan
selaput otak pada cedera kepala diterangkan oleh beberapa hipotesis yaitu getaran
otak, deformasi tengkorak, pergeseran otak dan rotasi otak.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup. Contre
coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang yang
mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan
hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena sedangkan contre coup terjadi
pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan. Kejadian coup dan contre coup dapat
terjadi pada keadaan.Keadaan ini terjadi ketika pengereman mendadak pada
mobil/motor. Otak pertama kali akan menghantam bagian depan dari tulang kepala
meskipun kepala pada awalnya bergerak ke belakang. Sehingga trauma terjadi pada otak
bagian depan.Karena pergerakan ke belakang yang cepat dari kepala, sehingga
pergerakan otak terlambat dari tulang tengkorak, dan bagian depan otak menabrak tulang
tengkorak bagian depan.
Pada keadaan ini, terdapat daerah yang secara mendadak terjadi penurunan
tekanan sehingga membuat ruang antara otak dan tulang tengkorak bagian belakang dan
terbentuk gelembung udara. Pada saat otak bergerak ke belakang maka ruangan yang
tadinya bertekanan rendah menjadi tekanan tinggi dan menekan gelembung udara
tersebut. Terbentuknya dan kolapsnya gelembung yang mendadak sangat berbahaya bagi
pembuluh darah otak karena terjadi penekanan,sehingga daerah yang memperoleh suplai
darah dari pembuluh tersebut dapat terjadi kematian sel-sel otak. Begitu juga bila terjadi
pergerakan kepala ke depan
G. Pathway
H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Arif Mutaqin 2008 Pemeriksaan Penujunang Pasien cedera Kepala :
1. CT Scan
Mengidentifikasi luasnya lesi, pendarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak.
2. MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder
menjadi edema, pendarahan, dan trauma.
4. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
5. Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSS
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
9. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan intrakranial
10. Screen toxilogy
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
11. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural
12. Toraksentesis menyatakan darah/cairan
13. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup)
Analisa gas darah adalah salah satu tes diagnostic untuk menentukan status repirasi.
Status respirasi yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status
oksigenasi dan status asam basa
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Pengkajian Keperawatan
Identitas pasien seperti nama, usia, jenis kelamin, agama, suku bangsa, alamat,
pendidikan, nama orang tua dan pekerjaan orang tua.
2. Keluhan utama
Keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien dibawa berobat. Keluhan utama tidak
selalu merupakan keluhan yang pertama disampaikan oleh orang tua pasien. Pada
gangguan kebutuhan aktifitas sistem musculoskeletal keluhan utama yang muncul
adalah terkait sistem rangsang nyeri dan gangguan aktivitas.
3. Riwayat penyakit sekarang
Kapan mulai sakit, tanggal berapa mulai sakit, faktor yang menyebabkan sakit.
4. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit yang pernah diderita merupakan kesehatan sebelum saat ini,
terutama yang berhubungan dengan sakitnya yang sekarang. Yang perlu dikaji apakah
anak dulu pernah menderita suatu penyakit yang serius sehingga menimbulkan
penyakit yang sekarang.
5. Riwayat penyakit keluarga
Berguna untuk mengetahui anggota keluarga ada yang pernah menderita penyakit
yang sama.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik ditandai dengan mengeluh
pusing, gelisah, sulit tidur( D. 0077)
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neurologis ditandai dengan
pola napas abnormal (D. 0005)
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular dibuktikan
dengan nyeri (pusing) saat bergerak, merasa cemas saat bergerak. (D.0054)
4. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri dibuktikan dengan
merasa bingung, merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi, sulit
berkonsentrasi, tampak gelisah, sulit tidur. (D. 0080)
5. Risiko jatuh berhubungan dengan neuropatii (D. 0143)
C. Intervensi Keperawatan

Tujuan dan Kriteria


Diagnosa Keperawatan Intervensi
Hasil
Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukann Manajemen nyeri ( I.
dengan agen pencedera tindakan keperawatan 08238)
fisik ditandai dengan selama 3x8 jam diharapkan Observasi
mengeluh pusing, gelisah, tingkat cedera menurun - Identifikasi lokasi,
sulit tidur( D. 0077) dengan kriteria hasil : karakteristik, durasi,
- Toleransi aktivitas frekuensi, kualitas,
menurun dengan intensitas nyeri
skala 1 menjadi - Identifikasi skala nyeri
meningkat dengan - Identifikasi respon nyeri
skala 5 non verbal
- Nafsu makan - Indentifikasi faktor yang
menurun dengan memperberat dan
skala 1 menjadi memperingan nyeri
meningkat dengan - Identifikasi pengaruh
skala 5 nyeri pada kualitas hidup
- Toleransi makanan - Monitor efeksamping
menurun dengan penggunaan analgesic
skala 1 menjadi
Terapeutik
meningkat dengan
- Berikan teknik
skala 5
nonfarmakologis untuk
- Kejadian cedera
mengurangi rasa
meningkat dengan
nyeri( mis. Hypnosis,
skala 1 menjadi
akupresure, terapi
menurun dengan musiik, aromaterapi)
skala 5 - Kontrol lingkungan yang
- Pola istirahat tidur memperberat rasa nyeri
memburuk dengan (mis. Suhu ruangan
skala 1 menjadi pencahayaan,
membaik dengan kebisingan)
skala 5 - Fasilitas istirahat tidur
- Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan


berhubungan dengan keperawatan selama
gangguan neurologis 3x8jam diharapkan pola
napas membaik dengan
kriteria hasil
- Tekanan ekspirasi
menurun dengan skala

ditandai dengan pola 1 menjadi meningkat

napas abnormal (D. 0005) dengan skala 5


- Frekuensi napas
memburuk dengan
skala 1 menjadi
membaik dengan
skala 5

Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakna Dukungan Mobilisasi (I.


berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 8 05173)
gangguan neuromuscular jam diharapkan mobilitas Observasi
dibuktikan dengan nyeri fisik meningkat dengan - Identifikasi adanya
(pusing) saat bergerak, kriteria hasil : nyeri atau keluhan fisik
merasa cemas saat - Pergerakan ekstremitas lainnya
bergerak. (D.0054) menurun dengan skala - Identifikasi toleransi
1 menjadi meningkat fisik melakukan
dengan skala 5 pergerakan
- Kekuatan otot menurun - Monitor frekuensi
dengan skala 1 menjadi jantung dang tekanan
meningkat dengan darah sebelum
skala 5 memulai mobilisasi
- Rentang gerak (ROM) - Monitor kondisi umum
menurun dengan skala selama melakukan
1 menjadi meningkat mobilisasi
dengan skala 5
Terapeutik

- Fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan alat
bantu (mis. Pagar
tempat tidur)
- Fasilitasi melakukan
pergerakan, jika perlu
- Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
pergerakan

Edukasi
- Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
- Anjurkan melakukan
mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis. duduk
di tempat tidur, duduk
disisi tempat tidur,
pindah dari tempat tidur
ke kursi)
Ansietas berhubungan Setelah dilakukan tindakan Pemantauan Neurologis (I.
dengan ancaman terhadap keperawatan selama 3 x 8 06197)
konsep diri dibuktikan jam diharapkan status Observasi
dengan merasa bingung, neurologis membaik - Monitor ukuran,
merasa khawatir dengan dengan kriteria hasil : bentuk, kesimetrisan
akibat dari kondisi yang - Reaksi pupil sedang dan reaktifitas pupil
dihadapi, sulit dengan skala 3 menjadi - Monitor tingkat
berkonsentrasi, tampak meningkat dengan kesadaran( mis.
gelisah, sulit tidur. (D. skala 5 Menggunakan GCS)
0080) - Orientasi kognitip - Moniotr tingkat
menurun dengan skala orientasi
1 menjadi meningkat - Monitor status
dengan skala 5 pernapasan
- Fungsi sensorik kranial - Monitor irama otot,
cukup menurun dengan gerakan motor, gaya
skala 2 menjadi berjalan dan
meningkat dengan propriosepsi.
skala 5 - Monitor gangguan
- Fungsi motoric kranial visual : penglihatan
cukup menurun dengan kabur dan ketajaman
skala 2 menjadi penglihatan.
meningkat dengan
Terapeutik
skala 5
- Tingkattkan frekuensi
- Sakit kepala cukup
pemantauan neurologis,
meningkat dengan
jika perlu
skala 2 menjadi
- Hindari aktivitas yang
menurun dengan skala
dapat meningkatkan
5
tekanan intracranial
- Atur interval waktu
pemantauan sesuai
dengan kondisi pasien
- Dokumentasikan hasil
pemantauan
Eduukasi
- Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
- Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
Risiko jatuh berhubungan Setelah dilakukan tindakan Minimalisasi Rangsangan
dengan neuropatii (D. keperawtan selama 3x8 (I. 08241)
0143) jam diharapkan persepsi Observasi
sensori membaik dengan - Periksa status mental,
kriteria hasil : status sensori dan
- Verbalisasi melihat tingkat kenyamanan
bayangan cukup (mis. Nyeri, kelelahan)
meningkat dengan skla
Terapeutik
2 menjadi menurun
- Diskusikan tingkat
dengan skala 5
toleransi terhadap
- Verbalisasi merasakan
beban sensori (mis.
sesuatu melalui indra
bising, terlalu terang)
perabaan cukup
- Batasi stimulus
meningkat dengan
lingkungan (mis.
skala 2 menjadi
Cahaya, suara ,
menurun dengan skala
aktivitas)
5
- Jadwalkan aktivitas
harian dan waktu
istirahat
- Kombinasikan
prosedur atau tindakan
dalam satu waktu,
sesuai kebutuhan
Edukasi
- Ajarkan cara
meminimalisasi
stimulus ( mis.
Mengatur pencahayaan
ruangan, mengurangi
kebisingan, membatasi
kunjungan)
Kolaborasii
- Kolaborasi
meminimalkan
prosedur atau
tindakan
- Kolaborasi pemberian
obat yang
mempengaruhi
persepsi stimulus
Setelah dilakukan tindakan Dukungan perawatan diri (I.
Defisit perawatan diri
keperawatan selama 3x8 11348)
berhubungan dengan
jam diharapkan perawatan Observasi
gangguan neuromuskuler
diri meningkat dengan - Identifikasi kebiasaan
dibuktikan dengan tidak
kriteria hasil : aktivitas perawatan diri
mampu mandi,
- Kemampuan mandi sesuai usia
mengenakan pakaian,
menurun dengan skala - Monitor tingkat
toiletting secara mandiri
1 menjadi meningkat kemandirian
(D.0109)
dengan skala 5 - Identifikasi kebutuhan
- Kemampuan alat bantu kebersihan
mengenakan pakaian diri, berpakaian,
menurun dengan skala berhias dan makan
1 menjadi meningkat
Terapeutik
dengan skala 5
- Sediakan lingkungan
- Kemampuan ke toilet
yang terapeutik (mis.
menurun dengan skala
Suasana hangat,
1 menjadi meningkat
rileks, privasi)
dengan skala 5
- Siapkan keperluan
pribadi(mis parfum,
sikat gigi dan sabun
mandi)
- Dampingi dalam
melakukan perawatan
diri sampai mandiri
- Fasilitasi untuk
menerima keadaan
ketergantungan
- Fasilitasi
kemandirian, bantu
jika tidak mampu
melakukan perawatan
diri
- Jadwalkan rutinitas
perawatan diri

Edukasi
- Anjurkan melakukan
perawatan diri secara
konsisten sesuai
kemampuan

D. Implementasi Keperawatan
Komponen ini merupakan rangkaian prilaku atau aktivitas yang dikerjakan oleh
perawat untuk mengimlementasikan itervensi keperawatan. Tindakan keperawatan
mencakup tindakan observasi, terapeutik, edukasi, mandiri dan kolaborasi. Implementasi
keeprawatann adalah tindakan yang telah direncanakan mencakup tinsakan mandiri.
Tindakan mandiri adalah tindakan keperawatan berdasarkan analisis dan kesimpulan
perawat serta bukan ats petunjuk tenaga kesehatan lain. Tindakan kolaboratif adalah
tindakan keeprawatan yang didasarkan oleh hasil keputusan bersama dengan dokter, atau
petugas kesehatan lain (Mitayani, 2016).
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan penilaian perkembangan hasil implementasi
keperawatan dengan berpedoman kepada hasil dan tujuan yang hendak dicapai. Evaluasi
diharapkan pada pasien kembalinya fungsi fisiologis dan tidak terjadi komplikasi akibat
penatalaksanaan keperawatan maupun medis. (Mutaqin & Sari 2019).

DAFTAR PUSTAKA

Dourman, K. (2013). Waspadai Stroke Usia Muda. Jakarta: Cerdas Sehat.

Esther. (2010). Patofisiologi Aplikasi pada Prakte Keperawtaan. Jakarta: EGC.

Hartikasari. (2015). Stroke Kenali, Cegah dan Obati. Yogyakarta: Notebook.

Bararah, T dan Jauhar, M. (2013). Asuhan Keperawtan panduan Lemngkap Menjadi Perawat
Profesional. Jakarta: Prestasi Pustakaray.

Junaidi, Iskandar. (2012). Stroke Waspadai Ancamannya. Yogyakarta: Andi Publisher.

Lemone, P. B. (2016). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Lili indrawati, W. S. (2016). Care Yourself Stroke (Indriani, ed). Jakarta: Penebar Plus.

Lingga, Lanny. (2013). All About Stroke Hidup Sebelum dan Pasca Stroke. Jakarta: Kompas
Gramedia.

PPNI, T. P. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan


Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI, T. P. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai