Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA TN.M DENGAN DIAGNOSA MEDIS CEDERA KEPALA


DI RUANG IGD RSUD KOTA KENDARI

Oleh :

HASLINDA.B

N202201023

CI LAHAN CI INSTITUSI

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MANDALA WALUYA

KENDARI

2022

LAPORAN PENDAHULUAN
CEDERA KEPALA
A. Konsep Medis
1. Definisi
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau
tidak langsung megenai kepala yang mengakibatkan luka dikulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak, serta mengakibatkan
gangguan neurologis (Putri, Rahayu, & Sidharta, 2016).
2. Etiologi
Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi deselerasi,
coup-countre coup, dan cedera rotasional.
a. Cedera Akselerasi: terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak
bergerak (misalnya, alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan
ke kepala)
b. Cedera Deselerasi: terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek diam, seperti
pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan
c. Cedera akselerasi-deselerasi: sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan
bermotor dan episode kekerasan fisik
d. Cedera coup-countre coup: terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak
bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang
berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentur. Sebagai contoh pasien
dipukuli di bagian belakang kepala.
e. Cedera rotasional: terjadi jika pukulan atau benturan menyebabkan otak berputar
dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron
dalam substansi alba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan
bagian dalam rongga tengkorak.

3. Klasifikasi Cedera Kepala


a. Klasifikasi berdasarkan GCS
Penurunan derajat kesadaran merupakan indikator yang penting dalam menilai dan
menentukan tingkat keparahan dan kerusakan otak akibat cedera kepala. Untuk
mengetahui tingkat kesadaran seseorang, dapat dilakukan dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale (GCS). GCS adalah suatu skala yang dapat digunakan untuk
mengukur tingkat kesadaran seseorang yang terdiri dari 3 aspek yaitu respon
membuka mata (eye opening), respon berbicara (Verbal Response) dan respon
motorik (Motoric Response).
Tabel Glasgow Coma Scale
Eye Opening Score
Mata terbuka spontan 1
Mata membuka ketika diajak berbicara 2
Mata membuka sedikit setelah dirangsang 3
nyeri
Tidak membuka mata 4
Verbal Response Score
Orientasi baik 1
Bicara kacau / disorientasi 2
Mengeluarkan kata-kata yang tidak tepat 3

Mengeluarkan suara yang tidak ada artinya 4


Tidak ada jawaban 5
Motoric Response Score
Menuruti Perintah 1
Melokalisir nyeri 2
Menghindari nyeri 3
Gerakan fleksi abnormal 4
Gerakan ekstensi abnormal 5
Tidak ada gerakan 6

Berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala diklasifikasikan


menjadi 3 kelompok yaitu :
1. Cedera Kepala Ringan (GCS 14 – 15), berdasarkan CT Scan otak tidak terdapat
kelainan, dengan lama rawat di rumah sakit < 48 jam.
2. Cedera Kepala Sedang (GCS 9 – 13), ditemukan kelainan berdasarkan CT Scan
Otak dan memerlukan tindakan operasi serta dirawat di rumah sakit setidaknya
selama 48 jam.
3. Cedera Kepala Berat (GCS ≤ 8), bila dalam jangka waktu > 48 jam paska
trauma atau setelah pembedahan tidak terjadi peningkatan kesadaran (Dewi,
2016
b. Klasifikasi patoanatomik
Menunjukkan lokasi atau ciri-ciri anatomis yang mengalami abnormalitas.
Fungsi klasifikasi ini adalah untuk terapi yang tepat sasaran. Kebanyakan pasien
dengan trauma yang parah akan memiliki lebih dari satu jenis perlukaan bila pasien
diklasifikasikan menggunakan metode ini. Penilaian dilakukan dimulai dari bagian
luar kepala hingga ke dalam untuk melihat tipe perlukaan yang terjadi dimulai dari
laserasi dan kontusio kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, perdarahan epidural,
perdarahan subdural, perdarahan subaraknoid, kontusio dan laserasi otak,
perdarahan intraparenkimal, perdarahan intraventrikular, dan kerusakan fokal
maupun difus dari akson. Masing-masing dari entitas tersebut dapat dideskripsikan
lebih jauh lagi meliputi seberapa luas kerusakan yang terjadi, lokasi, dan
distribusinya (Saatman, dkk, 2008)
c. Klasifikasi berdasarkan mekanisme fisik
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan pada apakah kepala menabrak
secara langsung suatu objek (contact or “impact” loading) ataupun otak yang
bergerak di dalam tulang tengkorak (noncontact or “inertial” loading) dan akhirnya
menimbulkan cedera. Arah dan kekerasan pada kedua tipe perlukaan tersebut dapat
menentukan tipe dan keparahan suatu trauma
Tipe - Tipe Traumatic Brain Injury
a. Concussion. yaitu cedera minor terhadap otak, penurunan kesadaran dengan durasi
yang sangat singkat pasca trauma kepala.
b. Fraktur depressed tulang kepala, terjadi ketika bagian tulang kepala yang patah
atau retak menekan ke dalam jaringan otak.
c. Fraktur penetrating tulang kepala, terjadi apabila terdapat benda yang menembus
tulang kepala (contoh: peluru) menyebabkan cedera lokal dan terpisah pada
jaringan otak.
d. Contusion, memar pada otak akibat fraktur tulang kepala. Kontusio dapat berupa
regio jaringan otak yang mengalami pembengkakan dan bercampur darah yang
berasal dari pembuluh darah yang rusak. Hal ini juga dapat disebabkan oleh
guncangan pada otak ke depan dan belakang (contrecoup injury) yang sering
terjadi saat kecelakaan lalu lintas.
e. Diffuse axonal injury atau shearing, melibatkan kerusakan pada sel saraf
danhilangnya hubungan antar neuron. Sehingga mampu menyebabkan kerusakan
seluruh komunikasi antar neuron di otak.
f. Hematoma, kerusakan pembuluh darah pada kepala. Tipe-tipe hematoma yaitu
Epidural hematoma (EDH), perdarahan di antara tulang kepala dan dura. Subdural
hematoma (SDH), perdarahan di antara dura dan membran araknoid, dan
Intraserebral hematoma (ICH), perdarahan di dalam otak (Beeker dkk., 2012)
4. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.
a. Cedera kepala ringan
1) Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
2) Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
3) Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau
lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
b. Cedera kepala sedang
1) Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan Kebinggungan atau
bahkan koma
2) Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba Defisit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,
kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan
c. Cedera kepala berat
1) Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
2) Pupil tidak aktual, pemeriksaan motoric tidak aktual, adanya Cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
3) Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
4) Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut
5. Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses
sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan
suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar
daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak,
terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan
tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus
pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran
berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang
merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.
a. Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya
vokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah
kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala,
derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang
bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer
menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan
serabut saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.
b. Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan
primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai
gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling
berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan
terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder
disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran
darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan
neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan
menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
6. Komplikasi
a. Epilepsi Pasca Trauma Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang
terjadi beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala.
Kejang terjadi pada sekitar 10% penderita yang mengalami cedera hebat tanpa
adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka
tembus di kepala. Obat-obat anti kejang (misalnya feniton, karbamazepinatau
valproate) biasanya dapat mengatasi kejang pasca trauma.
b. Afasia Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena
terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami atau
mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah
lobus temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis di sebelahnya.
c. Apraksia Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang
memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan
biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis ataulobus frontalis.
d. Amnesia Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk
mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu.
Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Amnesia hanya
berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung kepada
beratnya cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang
hebat, amnesia bias bersifat menetap.
e. Fistel Karotis-kavernosus Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan
bruit orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera
f. Diabetes Insipidus Disebabkan oleh kerusakan traumatic pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormone antidiuretik.
g. Kejang pasca trauma Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
h. Kebocoran cairan serebrospinal Dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen
dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera kepala tertutup. Kebocoran ini
berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari pada 85 % pasien.
i. Edema serebral & herniasi Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, Puncak
edema terjadi 72 jam setelah cedera. Perubahan TD, Frekuensi nadi, pernafasan
tidak teratur merupakan gejala klinis adanya peningkatan TIK
j. Defisit Neurologis & Psikologis Tanda awal penurunan fungsi
neurologis :perubahan TK kesadaran, Nyeri kepala hebat, Mual atau Muntah
proyektil (tanda dari peningkatan TIK).
7. Pemeriksaan Penunjang
a. CT scan
CT scan digunakan untuk mengidentifikasi adanya hemoragig ,ukuran ventrikuler ,
infark pada jaringan mati.
b. Foto tengkorak atau cranium
Foto tengkorak atau cranium digunakan untuk mengetahui adanya fraktur pada
tengkorak.
c. MRI
MRI digunakan sebagai penginderaan yang menggunakan gelombang
elektomagnetik.
d. Laboratorium
1) Kimia darah : Untuk mengetahui keseimbangan elektrlit
2) Kadar elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intracranial.
3) Screen toksikologi : Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
e. Serebral angiographi Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral ,seperti perubahan
jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
f. Serial EEG
Serial EEG digunakan untuk melihat perkembangan gelombang yang patologis.
g. X-ray
Digunakan untuk mendeteksi perubahan struktur tulang , perubahan truktur garis
(perdarahan atau edema), frakmen tulang.
h. BAER, digunakan untuk mengoreksi batas fungsi kortek dan otak kecil.
i. PET ,digunakan untuk mendeteksi perubahan aktivitas metabolism otak.
j. CSF & lumbalpungsi CSF & lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi
perdarahan subaracnoid.
k. ABG, digunakan untuk mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan intracranial
8. Penatalaksanaan Cedera Kepala
a. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Menjamin kelancaran jalan nafas dan kontrol vertebra cervicalis
2) Menjaga saluran nafas tetap bersih, bebas dari secret
3) Mempertahankan sirkulasi stabil d. Melakukan observasi tingkat kesadaran dan
tanda-tanda vital
4) Menjaga intake cairan elektrolit dan nutrisi jangan sampai terjadi hiperhidrasi
5) Menjaga kebersihan kulit untuk mencegah terjadinya dekubitus
6) Mengelola pemberian obat sesuai program
b. Penatalaksanaan Medis
1) Oksigenasi dan IVFD
2) Terapi untuk mengurangi edema serebri (anti edema)

Anda mungkin juga menyukai