PENDAHULUAN
1
Trauma kepala akan memberikan gangguan yang sifatnya lebih kompleks
bila dibandingkan dengan trauma pada organ tubuh lainnya. Hal ini disebabkan
karena struktur anatomik dan fisiologik dari isi ruang tengkorak yang majemuk,
dengan konsistensi cair, lunak dan padat yaitu cairan otak, selaput otak, jaringan
syaraf, pembuluh darah dan tulang (Retnaningsih, 2008).
Pemeriksaan klinis pada pasien trauma kepala secara umum meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah
mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan
bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem
organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke Rumah Sakit sangat penting
untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain
pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi
batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleks-refleks.
Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah rontgen
kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan lateral. Idealnya
penderita trauma kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama bila dijumpai adanya
kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia, atau sakit kepala hebat.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Trauma kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Pierc
dan Neil, 2006).
Trauma kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung
ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu
gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen
(Perdossi, 2006 dalam Asrini, 2008 ).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), trauma kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana dapat menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa, trauma kepala
adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak dan otak yang terjadi baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya
penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematian.
2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian trauma kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala
ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah
cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok
usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-
53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya
disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi (Turner DA,
1996). Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah
3
sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat
60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka
kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk
CKR tidak ada yang meninggal (Perdossi, 2007).
2.3 Klasifikasi
1. Berdasarkan macam cedera kepala (Brunner dan Suddarth, 2001):
a. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak
Atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh
massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang
tengkorak menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter
saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan. Cedera kepala
terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah
goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak
cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera
kepala tertutup meliputi: kombusio geger otak, kontusio memar, dan laserasi.
4
4) Diikuti contusio serebral, laserasi dan hematoma intrakranial.
c. Cedera kepala berat
1) GCS = 3 – 8
2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intrakranial.
5
2.4 Etiologi
Menurut Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1. Kecelakaan lalu lintas,
2. Terjatuh/ terbentur.
3. Kecelakaan pada saat olah raga.
4. Cedera akibat kekerasan/ penganiayaan.
5. Tertembak peluru atau terkena benda tajam.
6
2.6 Patofisiologi
Kecelakaan lalu lintas, terjatuh/
terbentur,terkena tembakan, dan lain-lain
Trauma kepala
Perubahan
autoregulasi
Perdarahan dan Gangguan MK: resiko MK: nyeri akut dan oedema
hematoma suplai darah infeksi serebral
7
2.7 Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas
darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras): mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan
dan perubahan jaringan otak.
3. MRI : digunakan sama seperti Ct-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
4. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi oedema, perdarahan dan trauma.
5. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan, edema), fragmen tulang.
6. Pungsi Lumbal CSS : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
7. PET (Pesikon Emission Tomografi): menunjukkan aktivitas metabolisme pada
otak.
8. GDA (Gas Darah Arteri) : mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah
pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
9. Kadar elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial
10. BAER (Brain Eauditory Evoked): menentukan fungsi dari kortek dan batang
otak.
(menurut Musliha, 2010).
2.8 Penatalaksanaan
1. Umum, menurut Tunner (2000):
a. Airway
1) Atur posisi : posisi kepala datar dan tidak miring ke satu sisi untuk
mencegah penekanan/bendungan pada vena jugularis
2) Pertahankan kepatenan jalan nafas
3) Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga atau mulut
b. Breathing
1) Kaji pola nafas, frekuensi, irama nafas, kedalaman
2) Monitoring ventilasi : pemeriksaan analisa gas darah, saturasi oksigen
8
c. Circulation
1) Kaji keadaan perfusi jaringan perifer (akral, nadi, capillary rafill time,
sianosis pada kuku, bibir)
2) Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek terhadap
cahaya
3) Monitoring tanda – tanda vital
4) Monitoring intake dan output
2. Khusus, menurut Tunner (2000):
a. Konservatif: Dengan pemberian manitol/gliserin, furosemid, pemberian
steroid
b. Operatif: Tindakan kraniotomi, pemasangan drain, shuting prosedur
c. Monitoring tekanan intrakranial: yang ditandai dengan sakit kepala hebat,
muntah proyektil dan papil edema
d. Pemberian diet/nutrisi
3. Penatalaksanaan berdasarkan klasifikasi, menurut Mansjoer (2000):
a. Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan (GCS 14–15)
1) Observasi atau dirawat di rumah sakit bila CT Scan tidak ada atau
hasil CT Scan abnormal
2) Indikasi rawat inap adalah riwayat hilang kesadaran, sakit kepala
sedang–berat, pasien dengan intoksikasi alkohol/obat-obatan, fraktur
tulang tengkorak, adanya kebocoran liuor serebro-spinalis
(rinorre/ottorea), cedera penyerta yang bermakna, indikasi sosial
(tidak ada keluarga atau pendamping di rumah).
3) Bila tidak memenuhi kriteria rawat inap maka pasien dipulangkan
dengan diberikan pengertian kemungkinan kembali ke rumah sakit
bila dijumpai tanda-tanda perburukan, seperti:
a. mengatuk dan sukar dibangunkan
b. mual, muntah dan pusing yang hebat
c. kelumpuhan sala satu sisi anggota gerak dan kejang
d. nyeri kepala yang hebat atau bertambah hebat
e. bingung,gelisah, tidak mampu berkonsentrasi
f. perubahan denyut nadi atau pola pernapasan.
9
4) Observasi tanda-tanda vital serta pemeriksaan neurologis secara
periodik setiap ½- 2 jam.
5) Pemeriksaan CT Scan kepala sangat ideal pada penderita CKR
kecuali memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis
normal.
b. penatalaksanaan cedera kepala sedang (GCS 9-13)
1) Dirawat di rumah sakit untuk observasi, pemeriksaan neurologis
secara periodik.
2) Bila kondisi membaik, pasien dipulangkan dan kontrol kembali, bila
kondisi memburuk dilakukan CT Scan ulang dan penatalaksanaan
sesuai protokol cedera kepala sedang.
c. Penatalaksanaan Cedera Kepala Berat (GCS > 8)
1) Pastikan jalan nafas korban clear (pasang ET), berikan oksigenasi dan
jangan banyak memanipulasi gerakan leher sebelum cedera cervical
dapat disingkirkan.
2) Berikan cairan secukupnya (ringer laktat/ringer asetat) untuk resusitasi
korban agar tetap normovolemia, atasi hipotensi yang terjadi dan
berikan transfusi darah jika Hb kurang dari 10 gr/dl.
3) Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh
lain, GCS dan pemeriksaan batang otak secara periodik.
4) Berikan manitol IV dengan dosis 1 gr/kgBB diberikan secepat
mungkin pada penderita dengan ancaman herniasi dan peningkatan
TIK yang mencolok.
5) Berikan anti edema cerebri: kortikosteroid deksametason 0,5 mg 3×1,
furosemide diuretik 1 mg/kg BB tiap 6-12 jam bila ada edema cerebri,
berikan anti perdarahan.
6) Berikan obat-obatan neurotonik sebagai obat lini kedua, berikan anti
kejang jika penderita kejang, berikan antibiotik dosis tinggi pada
cedera kepala terbuka, rhinorea, otorea.
7) Berikan antagonis H2 simetidin, ranitidin IV untuk mencegah
perdarahan gastrointestinal.
8) Koreksi asidodis laktat dengan natrium bikarbonat.
10
2.9 Komplikasi
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin
berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan
dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha
mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan
intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk mencoba
mempertahankan aliran darah ke otak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi
menurun (bradikardi) dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah
semakin meningkat. Hipotensi akan memperburuk keadan, harus dipertahankan
tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg,yang membutuhkan tekanan sistol
100-110 mmHg, pada penderita cedera kepala. Peningkatan vasokontriksi
tubuh secara umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru,
perubahan permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses
berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan
karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut
(Rosjidi, 2007).
2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15
mmHg,dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah
yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. Yang
merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan
dan gagal jantung serta kematian (Rosjidi, 2007).
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase
akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping
tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang, perawat harus
memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah
cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah
pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan
11
diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada system
pernafasan, pantau selama pemberian diazepam, frekuensi dan irama
pernafasan (Rosjidi, 2007).
4. Kebocoran cairan serebrospinal
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulang temporal akan merobek
meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan,
diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah hidung atau telinga.
Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga (Rosjidi,
2007).
5. Infeksi
Frekuensi tengkorak atau luka terbuka dapat merobek membran
(meningen) sehingga kuman dengan mudah dapat masuk. Infeksi meningen ini
sangat berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke
sistem saraf yang lain (Rosjidi, 2007).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
Contoh Kasus:
Tn. A, 37 tahun dibawa ke UGD RSUD setelah mengalami kecelakaan lalu lintas
saat mengendarai motornya. Lokasi kejadian berjarak 2 jam dari RSUD. Tn. A tidak
memakai helm saat dibawa dan Tn. A sempat pingsan > 15 menit ketika sadar ia kembali
mengeluh bahwa kepalanya terasa sakit dan Tn. A muntah sebanyak 3 kali.
Saat dilakukan periksaan fisik ditemukan Tn.A membuka mata saat dirangsang nyeri
dan menunjukkan fleksi abnormal pada sisi kanan dan tidak dapat digerakkan pada sisi kiri.
Tekanan darah : 80/50 mmHg, pernafasan: cheynes stokes, nadi: 52x/menit, suhu : 37,8
C .tampak jejas dengan ukuran 5x10cm pada parietal kanan. Pupil mengalami dilatasi dan
refleks cahaya pada kedua pupil menurun.
12
3.1 PENGKAJIAN
1. PENGKAJIAN UMUM
a. Identitas pasien
1) Nama :
2) Umur :
3) Jenis kelamis :
4) Status perkawinan:
5) Agama :
6) Suku :
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Apakah ada penurunan kesadaran, muntah, sakit kepala, wajah tidak
simetris, lemah, paralysis, perdarahan, fraktur kepala terbuka ataupun
tertutup
2) Riwayat kesehatan dahulu
Apakah ada penyakit sistem persyarafan, riwayat trauma masa lalu,
riwayat penyakit darah, riwayat penyakit sistemik / pernafasan,
kardiovaskuler dan metabolik.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada riwayat penyakit menular/ genetik.
2. PENGKAJIAN PRIMER
a. Airway
Perhatikan kepatenan jalan napas, apakah ada sumbatan, sputum/ sekret,
darah, benda asing dan sebagainya.
b. Breathing
Melihat : adanya pengembangan dinding dada, penggunaaan otot bantu nafas,
pernapasan cuping hidung, sianosis,respirasi cepat (takipnea).
Mendengar : terdengar suara nafas stridor (indikasi adanya obstruksi parsial
jalan nafas).
Merasakan : hembusan nafas.
c. Circulation
13
Akral dingin, kulit pucat, adanya perdarahan (dimulut, telinga, hidung),
capilarry refille time.
d. Disability
Ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil
anisokor dan nilai GCS. Menurut Arif Mansjoer Et all ( 2000) penilaian GCS
beerdasarkan pada tingkat keparahan cidera :
1. Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)
a) Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan orientatif)
b) Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)
c) Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang
d) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e) Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepala
f) Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
2. Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
a) Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)
b) Konkusi
c) Amnesia pasca trauma
d) Muntah
e) Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata
rabun,hemotimpanum,otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal).
3. Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)
a) Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)
b) Penurunan derajat kesadaran secara progresif
c) Tanda neurologis fokal
d) Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.
e. Exposure of extermitas
Ada tidaknya peningkatan suhu ruangan, pertahankan suhu ruangan yang
normal.
3. PENGKAJIAN SKUNDER
a. Breathing (B1)
Perubahan system persyarafan tergantung gradasi dari perubahan serebral
akibat trauma kepala.
14
b. Blood (B2)
1) Sering ditemukan syok hipovelemik pada cedera kepala sedang dan
berat. Tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi,
takikardi dan aritmia. Frekuansi nadi cepat dan lemah Karena
homeostatis tubuh untuk menyeimbangkan kebutuhan oksigen
perifer.
2) Nadi bradikardi sebagai tanda perubahan perfusi jaringan otak
3) Kulit pucat karena penurunan kadar hemoglobin dalam darah
4) Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-
tanda awal dari syok
5) Terjadi retensi atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus sehingga
elektrolit meningkat.
c. Brain (B3)
1) Pengkajian tingkat kesadaran : letargi,stupor,semikomatosa sampai
Koma
2) Pengkajian fungsi serebral
3) Pengkajian saraf cranial
d. Bladder (B4)
1) Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi
akibat menurunnya perfusi pada ginjal
2) Setelah cedera kepala,klien dapat terjadi inkotinensia urine
e. Bowel (B5)
1) Terjadi kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual dan muntah
pada fase akut. Defekai terjadi kontipasi akibat penurunan peristaltic
usus
2) Pemeriksaan rongga mulut terdapat mulut dan dehidrasi
3) Bising usus menurun atau hilang. Motilitas usus menurun
f. Bone (B6)
Disfungsi motorik yaitu : kelemahan pada seluruh ekstrimitas. Kaji warna
kulit ,suhu kelembapan dan turgor kulit,warna kebiruan. Pucat pada wajah
dan membran mukosa karena rendahnya kadar hemoglobin atau syok.
15
3.2 ANALISA DATA
DO: Perdarahan
- KU: lemah, gelisah,
kesadaran stupor Penambahan volume
nyeri
- Palpebra edema dan Kompresi pada vena
- Akral dingin
Peningkatan TIK
- CRT > 2 detik
Penurunan aliran
darah ke otak
Perubahan perfusi
jaringan serebral
16
berupa darah dan
lendir Kejang
- Pasien terlihat sesak
dengan frekuensi Dispnea, obstruksi
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas
3. DS: Peningkatan TIK Resiko kekurangan
- Keluarga mengatakan volume cairan
pasien masih belum gilus medialis lobus
sadar temporalis tergeser
DO:
- Mukosa bibir kering mual muntah,
17
3.4 Intervensi keperawatan
18
abnormal).
3. Mampu
mengidentifikasikan
dan mencegah faktor
yang dapat
menghambat jalan
nafas.
2. Ketidakefektifan perfusi NOC: NIC:
jaringan serebral b/d 1. Circulation status 1. Monitor adanya
penurunan ruangan untuk 2. Tissue perfusion : daerah tertentu yang
perfusi serebral, cerebral hanya peka terhadap
sumbatan aliran darah Setelah dilakukan tindakan panas/dingin/tajam/tu
serebral. keperawatan selama 1x 8 mpul.
jam perusi jaringan serebral 2. Monitor adanya
dapat tertasi dengan kriteria paratese
hasil : 3. Batasi gerakan pada
1. Tekanan sisteole dan leher, kepala dan
diastole dalam punggung.
rentang yang 4. Monitor adanya
diharapkan tromboplebitis
2. Tidak ada ortostatik 5. Kolaborasi pemberian
hipertensi antibiotik untuk
3. Tidak ada tanda- mencegah terjadinya
tanda peningkatan infeksi pada cedera
TIK kepala terbuka.
4. Dapat
berkomunikasi
dengan jelas dan
sesuai kemampuan
5. Menunjukkan fungsi
sensori motorik
cranial yang utuh:
19
tingkat kesadaran
membaik, tidak ada
gerakan-gerakan
involunter.
3. Resiko kekurangan NOC: NIC:
volume cairan 1. Fluid balance 1. Monitor TTV
berhubungan dengan 2. Hydration 2. Monitor status
perubahan kadar elktrolit 3. Nutritional status : hidrasi
serum (muntah). food and fluid intake (kelembaban
membran mukosa,
Setelah dilakukan tindakan nadi adekuat, TD
keperawatan selama 1x8 ortostatik)
jam jam, kekuragan volume 3. Monitor intake
cairan pasien dapat teratasi dan urin output
dengan kriteria hasil : 4. Monitor elektrolit
1. Mempertahankan 5. Monitor tanda dan
urin output sesuai gejala dari edema
dengan usia dan BB 6. Monitor BB
2. TTV dalam batas 7. Kolaborasi dengan
normal dokter dalam
3. Tidak ada tanda- pemberian obat-
tanda dehidrasi, obatan.
elastisitas turgor
kulit baik, membran
mukosa lembab,
tidak ada rasa haus
yang berlebihan.
4. Elektrolit, HB dalam
batas normal
5. PH urin dalam batas
normal
BAB III
20
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
IDENTITAS KLIEN
Nama : Tn. S
Umur : 58 tahun
Jenis Kelamin : Laki- Laki
Alamat :Sumberan Macan Putih,
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa, Indonesia
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Buruh Tani
Tanggal masuk RS : 6 Mei 2019
No. RM : 1435
Diagnosa Medik : CKR
C. KELUHAN UTAMA :
Klien mengatakan nyeri kepala
D. RIWAYAT KESEHATAN SEKARANG
Px datang dengan keluhan pusing berputar, post jatuh dari motor luka lecet
didahi kiri diameter 2 cm , hematome kepala bagian belakang diameter 4cm ,
muntah 1 x
TD: 130/90 mmHg, Nadi: 105x/menit, RR: 23x/menit, Suhu 36,6oC. Pasien
kemudian di pindahkan dari ruang IGD ke ruang perawatan yaitu Minak jinggo
21
Klien mengatakan dalam keluarganya tidak ada yang memiliki penyakit keturunan
seperti hipertensi, jantung, diabetes, asma, hepatitis, dan TBC atau penyakit
lainnya.
G. GENOGRAM
22
Saat dikaji : klien mengatakan bahawa tidak bisa melakukan kegiatan karena
kepala terasa nyeri dan pusing bergerak karena khawatir memperparah
kondisinya.
5. POLA ISTIRAHAT DAN TIDUR
Sebelum sakit : klien mengatakan tidak ada masalah dalam tidur, klien tidur
kurang lebih selama 7-8 jam pada malam hari dan siang hari kurang lebih 1-2
jam.
Saat dikaji : klien mengatakan tidak bisa tidur Karena merasakan sakit dan
pusing kepala.
6. POLA BERPAKAIAN
Sebelum sakit : klien mengatakan dalam berpakaian dapat mandiri tanpa di
bantu pihak manapun.
Saat dikaji : klien mengatakan dalam ganti pakaian klien dibantu oleh
keluarganya.
7. POLA MENJAGA SUHU TUBUH
Sebelum sakit : klien mengatakan bahwa jika klien merasa dingin bentuk
pertahanan menjaga suhu tubuh yaitu memakai pakaian yang hangat dan
meminum minuman yang hangat.
Saat dikaji : klien mengatakan bahwa tidak mengalami kendala yang berarti
pada system suhu tubuh tidak mengalami demam.
8. POLA PERSONAL HYGIENE
Sebelum sakit : klien mengatakan bahwa klien dalam sehari mandi 2 kali
sehari yaitu pagi dan sore hari.
Saat dikaji : klien mengatakn belum mandi dan memiliki masalah pada saat
mandi karena klien tidak bisa
melakukannya secara mandiri dan harus di bantu oleh anggota keluarga yaitu
dengan di seka.
9. POLA AMAN DAN NYAMAN
Sebelum sakit : klien mengatakan bahwa tidak ada masalah pada gangguan
rasa aman nyaman karena tidak memliki beban apapun.
Saat dikaji : klien mengatakan bahwa dirinya merasa terganggu karena sakit
kepala, nyeri cekot-cekot dan sesekali
23
berputar, nyeri menyebar keseluruh bagian kepala, skala nyeri 7, nyeri dating
terus menerus, terdapat luka robek di pelipis kiri dan luka-luka pada seluruh
bagian wajah yang mengakibatkan nyeri yang memberat dan di tambah
kondisi kakinya yang patah
10. POLA KOMUNIKASI
Sebelum sakit : klien mengatakan tidak ada kendala saat berkomunikasi dalam
bahasa jawa
Saat dikaji : klien dalam berkomunikasi kurang kooperatif seakan-akan
menutupi, komunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia.
11. POLA SPIRITUAL
Sebelum sakit : klien mengatakan tidak ada kendala saat melakukan ibadah,
menjalankan 5 waktu sholat.
Sebelum sakit : klien mengatakan mendapat kendala karena tidak bisa
melakukan ibadah sholat karena kondisi yang sangat lemah.
I. PEMERIKSAAN FISIK
1. KEADAAN UMUM
Baik
2. KESADARAN
Composmentis
3. TTV
TD : 130/80 mmHg
N : 90x/menit
RR : 20x/menit
S : 36,9oC
4. PEMERIKSAAN HEAD TO TOE
a. Kepala :
Mesochepal, ada oedema di kepala belakang , terdapat luka lecet di dahi
sebelah kiri,Tidak ada pembesaran kelenjar thyroid, tidak ada lesi, tidak ada
nyeri tekan.
c. Mata
Fungsi penglihatan normal, Konjungtiva an anemis, sclera an ikterik.
d. Hidung
24
Fungsi normal, tidak ada pembesaran polip, tidak ada secret, tidak ada
gumpalan darah.
e. Telinga
Fungsi normal, tidak ada kelainan dalam pendengaran, terdapatserumen, tidak
ada perdarahan.
f. Mulut
Terdapat lebam di bibir, gigi utuh, tidak terdapat perdarahan gusi, lidah pink,
fungsi indra pengecapan berfungsi dengan baik.
g. Dada
1) Paru-paru : sura nafas vesikuler, tidak ada suara
tambahan ronchi, tidak ada suara tambahan
wheezing
2) Jantung : S1 S2 tunggal regular, tidak
terdapat suara murmur.
h. Payudara dan ketiak
Bentuk simetris, tidak ada jejas, tidak ada massa.
i. Abdomen
I : tidak ada jejas, tidak ada distensi abdomen.
A : bising usus/peristaltic 8-10 x/menit
P : tidak ada massa, hepar terapa dua jari di bawahkosta, lien tidak teraba.
P : thimpani
j. Genetalia
Perempuan, tidak terpasang kateter
k. Ekstremitas
1) Atas : tidak ada luka tangan kanan dan kiri, ROM bebas normal, tidak ada
krepitasi,
tidak ada sianosis, akral hangat, kekuatan motorik kanan 5 kiri5.
2) Bawah : terdapat jejas pada kaki kiri, ROM terbatas pada
kaki kiri, fraktur pada enkel kiri, kekuatan otot kanan 5 kiri 2
25
l. Pemeriksaan Neurologis
1) Status mental dan emosi
Klien terlihat cukup tenang walau merasa masih trauma dengan kecelakaan
yang dialami.
2) Pengkajian syaraf kranial
Pemeriksaan syaraf kranial I s/d XII masih dalam batas normal.
3) Pemeriksaan Refleks
Reflek fisiologis ada, tidak ada reflek patologis
ANALISA DATA
26
Nyeri akut Agen cidera fisik
Pasien mengatakan (00231)
sakit kepala
berdenyut-denyut
pada kepala belakang
kadang
disertai pusing.
P : nyeri kepala
Q : nyeri cekotcekot
dan berputar
R : Kepala Belakang
S: skala nyeri 7
T: terus menerus
DO:
Hematoma Kepala
belakang
TD : 130/80 mmHg
N : 90x/menit
RR : 20x/menit
S : 36,9oC
GCS: 4 5 6
2. DS: Kerusakan Factor mekanik
- DS: - integritas kulit (robekan
DO: (00068)
Kesadaran :
composmentis
(E4V5M6)
TD : 130/80 mmHg
N : 100x/menit
RR : 25x/menit
S : 36,9oC
Terdapat luka jahit
pada pelipis kiri.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen cidera fisik
2. Resiko infeksi berhubungan dengan Trauma jaringan
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidaknyamanan
27
1. 7 Mei 2019 Setelah dilakukan NIC :
tindakan keperawatan Pain Management
Selasa jam 09.00 selama 3x24 jam Lakukan
masalah keperawatan pengkajian
nyeri dapat teratasi nyeri secara
dePain Level, ko termasuk
Pain control, lokasi,
Comfort level karakteristik,
Kriteria Hasil : durasi,
Mampu frekuensi,
mengontrol nyeri kualitas dan
(tahu penyebab faktor
nyeri, mampu presipitasi
menggunakan Observasi
tehnik reaksi
nonfarmakologi nonverbal dari
untuk ketidaknyaman
mengurangi an
nyeri, mencari Gunakan
bantuan) teknik
Melaporkan komunikasi
bahwa nyeri terapeutik
berkurang untuk
dengan mengetahui
menggunakan pengalaman
manajemen nyeri nyeri pasien
Mampu Kaji kultur
mengenali nyeri yang
(skala, intensitas, mempengaruhi
frekuensi dan respon nyeri
tanda nyeri) Evaluasi
Menyatakan rasa pengalaman
nyaman setelah nyeri masa
nyeri berkurang lampau
Tanda vital Evaluasi
dalam rentang bersama pasien
normalngan kriteria dan timmprehensif
hasil kesehatan lain
tentang
ketidakefektifa
n kontrol nyeri
masa lampau
Bantu pasien
dan keluarga
untuk mencari
dan
menemukan
28
dukungan
Kontrol
lingkungan
yang dapat
mempengaruhi
nyeri seperti
suhu ruangan,
pencahayaan
dan kebisingan
Kurangi faktor
presipitasi
nyeri
Pilih dan
lakukan
penanganan
nyeri
(farmakologi,
non
farmakologi
dan inter
personal)
Kaji tipe dan
sumber nyeri
untuk
menentukan
intervensi
Ajarkan
tentang teknik
non
farmakologi
Berikan
analgetik untuk
mengurangi
nyeri
Evaluasi
keefektifan
kontrol nyeri
Tingkatkan
istirahat
Kolaborasikan
dengan dokter
jika ada
keluhan dan
tindakan nyeri
tidak berhasil
Monitor
penerimaan
pasien tentang
29
manajemen
nyeri
Posisikan
pasien pada
posisi nyaman
Kaji keluha pasien
Analgesic
Administration
Tentukan
lokasi,
karakteristik,
kualitas, dan
derajat nyeri
sebelum
pemberian obat
Cek instruksi
dokter tentang
jenis obat,
dosis, dan
frekuensi
Cek riwayat
alergi
Pilih analgesik
yang
diperlukan atau
kombinasi dari
analgesik
ketika
pemberian
lebih dari satu
Tentukan
pilihan
analgesik
tergantung tipe
dan beratnya
nyeri
Tentukan
analgesik
pilihan, rute
pemberian, dan
dosis optimal
Pilih rute
pemberian
secara IV, IM
untuk
pengobatan
nyeri secara
teratur
30
Monitor vital
sign sebelum
dan sesudah
pemberian
analgesik
pertama kali
Berikan
analgesik tepat
waktu terutama
saat nyeri hebat
Evaluasi
efektivitas
analg
31
tangan
Cuci tangan
setiap sebelum
dan sesudah
tindakan
kperawtan
Gunakan baju,
sarung tangan
sebagai alat
pelindung
Pertahankan
lingkungan
aseptik selama
pemasangan
alat
Ganti letak IV
perifer dan line
central dan
dressing sesuai
dengan
petunjuk
umum
Gunakan
kateter
intermiten
untuk
menurunkan
infeksi
kandung
kencing
Tingktkan
intake nutrisi
Berikan terapi
antibiotik bila
perlu
Infection
Protection
(proteksi terhadap
infeksi)
Monitor tanda
dan gejala
infeksi
sistemik dan
lokal
Monitor hitung
granulosit,
WBC
32
Monitor
kerentanan
terhadap
infeksi
Batasi
pengunjung
Saring
pengunjung
terhadap
penyakit
menular
Partahankan
teknik aspesis
pada pasien
yang beresiko
Pertahankan
teknik isolasi
k/p
Berikan
perawatan
kuliat pada
area epidema
Inspeksi kulit
dan membran
mukosa
terhadap
kemerahan,
panas, drainase
Ispeksi kondisi
luka / insisi
bedah
Dorong
masukkan
nutrisi yang
cukup
Dorong
masukan cairan
Dorong
istirahat
Instruksikan
pasien untuk
minum
antibiotik Ajarkan
pasien
dan keluarga
tanda dan
gejala infeksi
33
Ajarkan cara
menghindari
infeksi
Laporkan
kecurigaan
infeksi
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif atau non
konginetal yang terjadi akibat rudapaksa(trauma) mekanis eksternal yang
34
menyebabkan kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan psikososial baik
sementara atau permanen. Trauma kepala dapat menyebabkan kematian /
kelumpuhan pada usia dini (Osborn, 2003). Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas, disamping kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari
ketinggian maupun akibat kekerasan.
Penyebab cedera kepala pada remaja dan dewasa muda adalah kecelakaan
kendaraan bermotor dan terbentur, selain karena kekerasan. Insidensi cedera kepala
karena trauma kemudian menurun pada usia dewasa, kecelakaan kendaraan bermotor
dan kekerasan yang sebelumnya merupakan etiologi cedera utama, digantikan oleh
jatuh pada usia >45 tahun.
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah
mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan
bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem
organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke Rumah Sakit sangat penting
untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain
pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi
batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleks-refleks.
Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah rontgen
kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan lateral. Idealnya
penderita cedera kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama bila dijumpai adanya
kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia, atau sakit kepala hebat.
DAFTAR PUSTAKA
Amin H & Hardhi K, 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
dan NANDA. MediAction. Jogjakarta.
35
Batticaca,Fransisca B, 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta:Salemba Medika
PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3 November
2007. Pekanbaru.
Brunner & suddarth.1997.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah E/3 Vol.3. Jakarta:EGC
Smeltzer, Suzanne C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC, Jakarta
Musliha,S.Kep.,Ns. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta:Nuha Medika
Syaifuddin.2009. Fisiologi Tubuh Manusia E/2.Jakarta.Salemba Medika
36