CEDERA KEPALA
Disusun Oleh :
Hana Rosidah
433131420118105
1. Penngertian
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent.
(Irwana,2009)
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak.(Budi,hendri,2008)
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
2. Epidemiologi
Secara global insiden cedera kepala meningkat dengan tajam terutama karena
peningkatan penggunaankendaraan bermotor. WHO memperkirakan bahwa pada tahun
2020 kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga
terbanyak di dunia. Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya
diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum
tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera
kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya
adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada
kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan
penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-
9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi (Irwana,2009).
3. Etiologi
Mekanisme cedera
Mekanisme cedera / trauma kepala, meliputi :
a) Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang yang
diam kemudian dipukul atau dilempar.
b) Deselerasi
Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada kepala yang
terbentur.
c) Deformitas
Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma, misalnya
adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau pemotongan pada jaringan otak.
4. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan
suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala ( Gennarelli,
1996 dalam Israr dkk, 2009 ). Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa
berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa
kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Akselerasi-deselerasi terjadi
karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma.
Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi
solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr
dkk,2009).
5. Klasifikasi
Reaksi berbicara
Reaksi Verbal Nilai
Mengikuti perintah 6
Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Gejala klinis
Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tidak tegap,
kehilangan tonus otot.
Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung
(bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami ganggua fungsi.
Muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur, disfagia)
Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau
tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris)
deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan seperti
pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, refleks tendon
tidak ada atau lemah, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan,
kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa
beristirahat, merintih.
Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi,
stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi, perubahan
warna, adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau hidung (CSS), gangguan
kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum
mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh.
Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang – ulang.
Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Cemas,delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.
Mual, muntah, mengalami perubahan selera.
Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,
tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam penglihatan,seperti
ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia,
gangguan pengecapan dan penciuman.
Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran, pada hematoma, kesadaran
mungkin hilang, atau bertahap sering dengan membesarnya hematoma atau edema
intestisium.
Respon pupil mungkin lenyap atau segera progresif memburuk.
Perubahan prilaku, kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan
motorik timbul dengan segera atau secara lambat.
Hematoma epidural dimanifestasikan dengan awitan yang cepat. Hematoma ini
mengancam hidup dan dikarakteristikkan dengan detoriorasi yang cepat, sakit
kepala, kejang, koma dan hernia otak dengan kompresi pada batang otak.
Hematoma subdural terjadi dalam 48 jam cedera dan dikarakteristikkan dengan
sakit kepala, agitasi, konfusi, mengantuk berat, penurunan tingkat kesadaran, dan
peningkatan TIK. Hematoma subdural kronis juga dapat terjadi.
Perubahan ukuran pupil (anisokoria)
Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertenai, depresi pernapasan)
Apabila meningkatnya tekanan intracranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas
Perdarahan yang sering ditemukan
a. Epidural Hematoma
b. Subdural Hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut
dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang
biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut
terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2
minggu atau beberapa bulan. Tanda-tanda dan gejalanya adalah : nyeri kepala,
bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan udem pupil.
Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya
pembuluh darah arteri; kapiler; vena. Tanda dan gejalanya: nyeri kepala,
penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegia kontra lateral, dilatasi
pupil, perubahan tanda-tanda vital.
c. Perdarahan Subarachnoid
2. Pemeriksaan fisik
Observasi dan pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum : Lemah, gelisah, cenderung untuk tidur
2) TTV : Suhu, nadi, tensi, RR, GCS
a. Pernafasan ( B1 : Breathing )
- Hidung : Hidung simetris , atau terdapat fraktur
- Dada : Bentuk simetris kanan kiri, retraksi otot bantu pernafasan, ronchi
- Di seluruh lapangan paru, batuk produktif, irama pernafasan, nafas
dangkal.
Inspeksi : Inspirasi dan ekspirasi pernafasan, frekuensi, irama,
gerakan cuping hidung, terdengar suara nafas tambahan bentuk
dada, batuk
Palpasi : Pergerakan asimetris kanan dan kiri, taktil fremitus raba
sama antara kanan dan kiri dinding dada
Perkusi : Adanya suara-suara sonor pada kedua paru, suara redup
pada batas paru dan hepar.
Auskultasi : Terdengar adanya suara vesikuler di kedua lapisan paru,
suara ronchi dan weezing.
b. Kardiovaskuler ( B2 : Bleeding )
Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan kiri, denyut jantung pada ictus cordis 1
Palpasi : Frekuensi nadi/HR, tekanan darah, suhu, perfusi dingin, berkeringat
Perkusi : Suara pekak
Auskultasi : Irama reguler, sistole/murmur, bendungan vena jugularis,
oedema
f. Tulang-otot-integumen ( B6 : Bone )
Kemapuan pergerakan sendi : Kesakitan pada kaki saat gerak pasif, droop
foot, kelemahan otot pada ekstrimitas atas dan bawah.
Kulit : Warna kulit, tidak terdapat luka dekubitus, turgor baik, akral kulit.
3. Pemeriksaan diagnostik/penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
AGD : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
perdarahan sub arakhnoid.
Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan
dalam peningkatan TIK atau perubahan mental.
b. Radiology
CT Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
MRI : sama dengan CT Scan
Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma.
EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang ( fraktur ),
pergeseran struktur dari garis tengah ( karena perdarahan ) adanya fragmen
tulang.
BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat
sehingga menyebabkan penurunan kesadan.
Myelogram :Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya
bendungan dari spinal aracknoid jika dicurigai.
Thorax X ray :Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
c. Fungsi lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan sub
arakhnoid.
d. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intracranial
e. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadan.
f. Pemeriksaan fungsi pernafasan: Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan
ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat
pernafasan (medulla oblongata).
4. Theraphy
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari factor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status
neurologis (disability, exposure), maka factor yang harus diperhitungkan pula adalah
mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan
tekanan intracranial yang meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak
jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan
intracranial ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan
hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolisme
intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakin dengan intubasi
endotrakeal, hiperventilasi. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepala klien yang
koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi
yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan intracranial.
Penangan khususnya pada klien dengan CKB yang mengalami perdarahan atau
hematom di kepala baik pada bagian EDH maupun SDH dilakukan tindakan
trepanasi. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang
bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Epidural Hematoma
(EDH) adalah suatu perdarahan yang terjadi di antara tulang dan lapisan duramater.
Kontusio berat observasi dan tirah baring, dilakukan pembersihan / debridement dan
sel-sel yang mati (secara bedah terutama pada cedera kepala terbuka)
Untuk cedera kepala terbuka diperlukan antibiotika untuk mencegah terjadinya infeksi
Dilakukan metode-metode untuk menurukan tekanan intracranial termasuk pemberian
diuretic dan anti inflamasi
Lakukan pengkajian neurologik
a. Fungsi serebral ( kesadaran, orientasi, memori, bicara )
b. TTV ( TD, nadi)
c. Fungsi motorik dan sensorik
Kaji adanya cedera lain, terutama cedera servikal. Jangan memindahkan pasien
sampai kemungkinan cedera servikal telah disingkirkan / ditangani. Tinggikan kepala
tempat tidur sampai 30 derajat jika tidak terdapat cedera servikal.
Pantau adanya komplikasi
a. Pantau TTV dan status neurologist dengan sering
b. Periksa adanya peningkatan TIK
c. Periksa adanya drainase dari hidung dan telinga.
5. Komplikasi
a. Koma.
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi ini,
secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini
penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative
state atau mati penderita pada masa vegetative statesering membuka matanya dan
mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun demikian
penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita
pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh
b. Seizure.
Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya
sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian,
keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
c. Infeksi.
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena
keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang lain
d. Kerusakan saraf.
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus facialis.
Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk
pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda
6. Prognosis
Pragnosa pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara
tepat dan cepat. Pasien meninggal karena beberapa factor yakni : Prolog hipoksia dan
hipotensi, herniasi otak, komplikasi - komplikasi sistemik.
1. Pengkajian
a. Data subjektif :
Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab) meliputi: Nama, umur,jenis
kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,
alamat, dan hubungan pasien dengan keluarga/pengirim).
Keluhan utama: Bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat darurat, apakah
pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau dikirim oleh orang lain?
Riwayat cedera, meliputi waktu mengalami cedera (hari, tanggal, jam),
lokasi/tempat mengalami cedera.
Mekanisme cedera: Bagaimana proses terjadinya sampai pasien menjadi
cedera.
Allergi (alergi): Apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap makanan
(jenisnya), obat, dan lainnya.
Medication (pengobatan): Apakah pasien sudah mendapatkan pengobatan
pertama setelah cedera, apakah pasien sedang menjalani proses pengobatan
terhadap penyakit tertentu?
Past Medical History (riwayat penyakit sebelumnya): Apakah pasien
menderita penyakit tertentu sebelum menngalami cedera, apakah penyakit
tersebut menjadi penyebab terjadinya cedera?
Last Oral Intake (makan terakhir): Kapan waktu makan terakhir sebelum
cedera? Hal ini untuk memonitor muntahan dan untuk mempermudah
mempersiapkan bila harus dilakukan tindakan lebih lanjut/operasi.
Event Leading Injury (peristiwa sebelum/awal cedera): Apakah pasien
mengalami sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana hal itu bisa terjadi ?
Pengkajian ABCD FGH
AIRWAY
- Cek jalan napas paten atau tidak
- Ada atau tidaknya obstruksi misalnya karena lidah jatuh kebelakang, terdapat
cairan, darah, benda asing, dan lain-lain.
- Dengarkan suara napas, apakah terdapat suara napas tambahan seperti snoring,
gurgling, crowing.
BREATHING
- Kaji pernapasan, napas spontan atau tidak
- Gerakan dinding dada simetris atau tidak
- Irama napas cepat, dangkal atau normal
- Pola napas teratur atau tidak
- Suara napas vesikuler, wheezing, ronchi
- Ada sesak napas atau tidak (RR)
- Adanya pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu pernapasan
CIRCULATION
- Nadi teraba atau tidak (frekuensi nadi)
- Tekanan darah
- Sianosis, CRT
- Akral hangat atau dingin, Suhu
- Terdapa perdarahan, lokasi, jumlah (cc)
- Turgor kulit
- Diaphoresis
- Riwayat kehilangan cairan berlebihan
DISABILITY
- Kesadaran : composmentis, delirium, somnolen, koma
- GCS : EVM
- Pupil : isokor, unisokor, pinpoint, medriasis
- Ada tidaknya refleks cahaya
- Refleks fisiologis dan patologis
- Kekuatan otot
EXPOSURE
- Ada tidaknya deformitas, contusio, abrasi, penetrasi, laserasi, edema
- Jika terdapat luka, kaji luas luka, warna dasar luka, kedalaman
FIVE INTERVENTION
- Monitoring jantung (sinus bradikardi, sinus takikardi)
- Saturasi oksigen
- Ada tidaknya indikasi pemasangan kateter urine, NGT
- Pemeriksaan laboratorium
GIVE COMFORT
- Ada tidaknya nyeri
- Kaji nyeri dengan
P : Problem
Q : Qualitas/Quantitas
R : Regio
S : Skala
T : Time
H 1 SAMPLE
- Keluhan utama
- Mekanisme cedera/trauma
- Tanda gejala
H 2 HEAD TO TOE
- Fokus pemeriksaan pada daerah trauma
Kepala dan wajah
2. Diagnosa Keperawatan
PK : Peningkatan TIK
Risiko Aspirasi berhubungan dengan penurunan kesadaran
Online.http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/05/
cedera_kepala_files_of_drsmed_fkur.pdf (diakses pada tanggal 14 desember 2013)
Carpenito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 10. EGC, Jakarta.
Doenges M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . EGC. Jakarta.
Hudak & Gallo, 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Volume 2, EGC, Jakarta.
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.
Smeltzer, S.C dan Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jilid Satu. Edisi Kedelapan. Jakarta : EGC