Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas
otak. (Muttaqin, 2008), cedera kepala biasanya diakibatkan salah satunya benturan atau
kecelakaan. Sedangkan akibat dari terjadinya cedera kepala yang paling fatal adalah
kematian. Akibat trauma kepala pasien dan keluarga mengalami perubahan fisik maupun
psikologis, asuhan keperawatan pada penderita cedera kepala memegang peranan penting
terutama dalam pencegahan komplikasi.
Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi, perdarahan. Cedera kepala berperan pada
hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma-trauma. Cedera kepala merupakan
keadaan yang serius. Oleh karena itu, diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat
dapat menekan morbiditas dan mortilitas penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya
rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya
pemilihan fungsi (Tarwoto, 2007).
Sedangkan berdasarkan Mansjoer (2002), kualifikasi cedera kepala berdasarkan berat
ringannya, dibagi menjadi 3 yakni cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan cedera
kepala berat. Adapun penilaian klinis untuk menentukkan klasifikasi klinis dan tingkat
kesadaran pada pasien cedera kepala menggunakan metode skala koma Glasgow (Glasgow
Coma Scale) (Wahjoepramono, 2005).
Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di dunia kejadian cedera
kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari jumlah di atas 10%
penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita
berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut (Depkes, 2012). Diperkirakan
100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000
mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua per tiga dari
kasus ini berusia di bawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih
dari setengah dari semua pasien cedera kepala berat mempunyai signifikasi terhadap cedera
bagian tubuh lainnya (Smeltzer, 2002).
Tindakan pembedahan yang dilakukan untuk cidera kepala yaitu, Trepanasi atau
craniotomy adalah operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala) dengan maksud
untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak. Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu
tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan
definitif
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Cidera Kepala
2. Untuk mengetahui etiologi Cidera Kepala
3. Untuk mengetahui patofisiologi Cidera Kepala
4. Untuk mengetahui manifestasi klinik Cidera Kepala
5. Untuk mengetahui Asuhan keperawatan pada pasien dengan Cidera Kepala
6. Untuk mengetahui prosedur pembedahan Trepanasi

BAB 2
KONSEP TEORI
A. Konsep Dasar Penyakit Cedera Kepala
1. Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau
tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik,
kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanen.
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan /
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang
sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10%
termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).
Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-4 tahun.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28%
lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan
rekreasi. Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di
Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan
CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-
50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal

3. Etiologi
Beberapa penyebab cedera kepala (Smeltzer, 2001; Long,1996), antara lain :
a. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek otak, misalnya
tertembak peluru atau benda tajam
b. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya
c. Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun
bukan dari pukulan
d. Kontak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek
e. Kecelakaan lalu lintas
f. Jatuh
g. Kecelakaan industri
h. Perkelahian
4. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Pada trauma kapitis, dapat timbul
suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar
dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Akselerasi-
deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi
solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr
dkk,2009). Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat,
cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak
ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada
area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan
hipotensi.
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia
otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera
sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali
jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat
diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa
perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium,
produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam
terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel
fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan
dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai
terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume
darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam
otak ( Lombardo, 2003).
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya
konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika
benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan
benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi)
adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil
atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan
kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara
kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala,
yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
(pathway terlampir)

5. Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya.
a. Berdasarkan Mekanisme
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan
cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil
atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala tembuus
disebabkan oleh peluru atau tusukan (Bernath, 2009).

b. Berdasarkan Tingkat Keparahan


Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas GCS.
Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu :
 Reaksi membuka mata (E)
Reaksi membuka mata Nilai
Membuka mata spontan 4
Buka mata dengan rangsangan suara 3
Buka mata dengan rangsangan nyeri 2
Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri 1

 Reaksi berbicara

Reaksi Verbal Nilai


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang 4
Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata 3
Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata 2
Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun 1

 Reaksi Gerakan lengan / tungkai

Reaksi Motorik Nilai


Mengikuti perintah 6
Melokalisir rangsangan nyeri 5
Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri 4
Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri 3
Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri 2
Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri 1

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi :
1) Cedera kepala ringan : Nilai GCS-nya 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit.
Ditandai dengan nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada fraktur
tengkorak, kontusio/hematoma
2) Cedera kepala sedang : Nilai GCS-nya 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit – 24
jam, dapat mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung)
3) Cedera kepala berat : Nilai GCS-nya 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi:
kontusio serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral (Hudack dan Gallo, 1996)
c. Morfologi Cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur kranium dan lesi intrakranial.
1) Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk garis
atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya
memerlukan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda
klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan
lebih rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis
retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis
(Bernath, 2009)
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi
kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Keadaanini
membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa
benturan yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak.
Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian
dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear
mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20
kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma
intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar.
Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah
sakit untuk pengamatan (Davidh, 2009)
2) Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difus, walau kedua bentuk
cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma
subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak
difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan
sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis
(a) Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah
perdarahan yang terbentuk di ruang
potensial antara tabula interna dan
duramater dengan ciri berbentuk bikonvek
atau menyerupai lensa cembung. Paling
sering terletak diregio temporal atau
temporoparietal dan sering akibat robeknya
pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin
sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural
akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari
pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak
segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang
terjadi tidak berlangsung lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan
langsung denggan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan
pendarahan epidural dapat menunjukan adanya “lucid interval” yang klasik dimana penderita
yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya
tindakan bedah memang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf
(Harga Daniel, 2009). Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak
selalu homogen, bentuknya bikonveks sampai planokonvex, melekat pada tabula interna dan
mendesak ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas dengan
corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media
kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas (Gazali, 2007).
(b) Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan
arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita
dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara
korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi
permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak (American
college of surgeon, 1997)
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akut. Biasanya sangat
lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%,
namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis
agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.
(1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat tabula
interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom seperti
bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan
adanya hematom subdural (Bernath, 2009).

(2) SDH Kronis


Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang disebabkan
oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan
akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas
tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah
hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens,
bahkan akhirnya menjadi hipodens (Ghazali, 2007)
3) Kontusi dan Hematoma Intraserebral
Kontusi serebral murni bisanya jarang
terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir
selalu berkaitan dengan hematoma subdural
akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi
dilobus frontal dan temporal, walau dapat
terjadi pada setiap tempat termasuk
serebelum dan batang otak. Perbedaan
antara kontusi dan hematoma intraserebral
traumatika tidak jelas batasannya.
Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi
hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak.
Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan
pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling
sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat
bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan (Hafidh, 2007).
Cedera difus
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan
deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri
ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi
neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun
karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini
adalah keadaan bingguung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa
gejala sisa sama sekali.cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung
disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad (American college of surgeon, 1997).
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilanggnya
kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini
merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita dapat timbul defisist
neurologis untuk beberapa waktu. Edfisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat,
pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai
sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana penderita
mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan tidak diakibatkan oleh suatu lesi
massa atau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap
koma selama beberapa waktu. Penderita sering menunjukan gejala dekortikasi atau
deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.
Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan
hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedeera aksonal difus dan cedera otak kerena hiipoksiia
secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut seringg terjadi bersamaan
(American college of surgeon,1997)
Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedera
kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski bukan
penyebab kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu menjadi
pertimbangan.

6. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya cedera kepala.
a. Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling sensitive yang dapat
dilihat dengan penggunaan GCS (Glasgow Coma Scale). Pada cedera kepala berat
nilai GCS nya 3-8
b. Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti : nyeri kepala karena regangan
dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan
pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali proyektil.
c. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung
(bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
d. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi,
stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi), gurgling.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala
diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang
sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka
tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan
palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran.
Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal
jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi
maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.
b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat–obatan analgesia/anti muntah.
2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dicebandingkan dengan kejang general.
3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock,
febris, dll).
4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi
temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
5) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
7) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
Fungsi CT Scan ini adalah untuk mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui
adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
c. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
d. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder
menjadi udema, perdarahan dan trauma.
e. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis

f. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
g. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
h. CSF, Lumbal Punksi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
i. Analisis Gas Darah
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intracranial
j. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrkranial

8. Penatalaksanaan
a. Observasi 24 jam
b. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
d. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
e. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
f. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
g. Pemberian obat-obat analgetik.
h. Pembedahan bila ada indikasi.
Pembedahan yang dilakukan untuk pasien cedera kepala adalah pelaksanaan
operasi trepanasi. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala
yang bertujuan untuk mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitive (seperti
adanya SDH (subdural hematoma) atau EDH (epidural hematoma) dan kondisi lain
pada kepala yang memerlukan tindakan kraniotomi). Epidural Hematoa (EDH) adalah
suatu pendarahan yang terjadi diantara tulang dang dan lapisan duramater; Subdural
Hematoa (SDH) atau pendarahan yang terjadi pada rongga diantara lapisan duramater
dan dengan araknoidea. Pelaksanaan operasi trepanasi ini diindikasikan pada pasien
1) Penurunan kesadaran tiba-tiba terutama riwayat cedera kepala akibat berbagai
faktor,2) Adanya tanda herniasi/lateralisasi,3) Adanya cedera sistemik yang
memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
Perawatan pasca bedah yang penting pada pasien post trepanasi adalah memonitor
kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada
hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan
dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran
CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi
nosokomial. Terapi konservatif meliputi bedrest total, pemberian obat-obatan,
observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
Prioritas perawatan adalah maksimalkan perfusi / fungsi otak, mencegah
komplikasi, pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal,
mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga, pemberian informasi tentang
proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.
9. Komplikasi
a. Koma.
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi ini,
secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita
akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative state atau
mati penderita pada masa vegetative statesering membuka matanya dan
mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun demikian
penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita
pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh
b. Seizure.
Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya
sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian,
keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
c. Infeksi.
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena
keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang lain
d. Kerusakan saraf.
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus facialis.
Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk
pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda
e. Hilangnya kemampuan kognitif.
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala berat
mengalami masalah kesadaran.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajiaan
a. Data subjektif :
1) Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab)
Nama : Ny. Sarmini
Umur : 42 tahun
No. RM : 279282
Jenis kelamin : perempuan
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah
Alamat :Jember
2) Keluhan utama: pasien mengatakan nyeri di kepala akibat benturan
3) Riwayat cedera : pasien mengalami kecelakaan motor
4) Mekanisme cedera: pasien mengalami kecelakaan motor
5) Allergi (alergi): pasien tidak alergi obat antibiotik
6) Medication (pengobatan): pasien langsung dibawa ke UGD dr. Soebandi
7) Past Medical History (riwayat penyakit sebelumnya): tidak dikaji
8) Last Oral Intake (makan terakhir): pasien puasa >8 jam
9) Event Leading Injury (peristiwa sebelum/awal cedera): tidak dikaji
b. Pengkajian ABCD FGH
1) AIRWAY
- jalan napas paten
- tidak ada obstruksi
- tidak terdapat suara napas tambahan seperti snoring, gurgling, crowing.
2) BREATHING
- pernapasan, napas spontan
- Gerakan dinding dada simetris
- Pola napas teratur
- Suara napas vesikuler
- Tidak ada pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu pernapasan
3) CIRCULATION
- Nadi :78x/menit
- Tekanan darah : 130/78 mmhg
- Sianosis(-), CRT >2 dtk
- Akral , Suhu: 36.0 c
- Turgor kulit baik

4) DISABILITY
- Kesadaran : composmentis
- GCS : EVM 456
- Pupil : isokor
- Refleks fisiologis dan patologis baik
- Kekuatan otot 5555
5) EXPOSURE
- Ada tidaknya deformitas (-)
- Contusion (-)
- Abrasi (-)
- Penetrasi (-)
- Laserasi (-)
- Edema (kepala bagian kanan)
6) FIVE INTERVENTION
- Monitoring jantung ((-)sinus bradikardi, sinus takikardi)
- Saturasi oksigen (90)
- Pemeriksaan laboratorium (+)
7) GIVE COMFORT
- Ada tidaknya nyeri
- Kaji nyeri dengan
P : Problem (nyeri kepala)
Q : Qualitas/Quantitas (cekot2)
R : Regio (kepala bagian kanan)
S : Skala (8)
T : Time (sering)
8) H 1 SAMPLE
- Keluhan utama (nyeri kepala)
- Mekanisme cedera/trauma
9) H 2 HEAD TO TOE
- Fokus pemeriksaan pada daerah trauma : cidera pada bagian kepala kanan,terdapat
edema
2. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK
2. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan perubahan fungsi neurologis
3. Perubahan persepsi sensori visual berhubungan dengan gangguan persepsi, transmisi
4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan saraf
5. Cemas berhubungan dengan ancaman kematian
Intra Operasi
1. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
2. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat (trauma
jaringan, kulit tidak utuh)
Post Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
2. Resiko cedera berhubungan dengan trauma intracranial
3. Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi
3. Rencana Keperawatan

No Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional


Keperawatan

Pre Operasi
1 Nyeri NOC : Perilaku Kriteria hasil : NIC : Menejemen Nyeri 1. Meminimalkan rasa
berhubungan Mengendalikan Nyeri a. Tidak menunjukkan Intervensi : nyeri yang dirasakan
dengan Tujuan : Pasien tidak adanya nyeri atau 1. Berikan pereda nyeri pasien
peningkatan TIK mengalami nyeri atau nyeri minimalnya bukti-bukti dengan manipulasi 2. Mengurangi rasa nyeri
menurun sampai tingkat ketidaknyamanan lingkungan (misal lampu 3. Mengurangi rasa nyeri
yang dapat diterima pasien b. TIK dalam batas normal ruangan redup, tidak ada 4. Pasien bisa mimilih
c. Tidak menunjukkan kebisingan, tidak ada teknik yang tepat untuk
bukti-bukti peningkatan gerakan tiba-tiba). mengurangi nyeri
TIK 2. Berikan analgesia sesuai 5. Dukungan keluarga
d. Belajar dan ketentuan, observasi dapat memotivasi
mengimplementasikan adanya efek samping. pasien
strategi koping yang 3. Lakukan strategi sesuai 6. Mengantisipasi nyeri
efektif. non farmakologi untuk yang berulang
membantu mengatasi
nyeri.
4. Gunakan strategi yang
dikenal pasien atau
gambarkan beberapa
strategi dan biarkan
pasien memilih.
5. Libatkan keluarga dalam
pemilihan strategi
6. Ajarkan pasien untuk
menggunakan strategi
non farmakologi
sebelum terjadi nyeri
atau sebelum menjadi
lebih berat.
2 Resiko cedera NOC : Keamanan Sosial Kriteria hasil : NIC : Mencegah Jatuh 1. Pasien mengetahui
berhubungan Tujuan : Pasien tidak a. Bebas dari cedera 1. Tekankan pentingnya tujuan perawatan
dengan mengalami cedera b. Pasien dan keluarga mematuhi program 2. Memberikan dukungan
perubahan menyetujui aktivitas atau terapeutik 3. Mencegah terjadi
fungsi modifikasi aktivitas yang 2. Dampingi pasien selama cedera
neurologis tepat aktivitas yang diijinkan 4. Mencegah terjadinya
3. Jaga agar penghalang dekubitus
tempat tidur tetap
terpasang
4. Bantu ambulasi dan
aktivitas hidup sehari-
hari dengan tepat
3 Perubahan NOC : Pengendalian Kriteria hasil : NIC : Pengelolaan 1. Memberikan rasa
persepsi sensori Ansietas a. Pasien menyesuaikan diri Lingkungan nyaman pada pasien
visual Tujuan : Pasien pada defisit sensoris / 1. Berikan lingkungan yang 2. Dukungan pasien
berhubungan menunjukkan tanda-tanda persepsi mendorong rasa akrab selama perawatan
dengan penyesuaian terhadap defisit b. Pasien menunjukkan dan rasa aman 3. Dukungan keluarga
gangguan sensoris / persepsi sikap dan rasa aman 2. Dorong partipasi dalam memberikan dampak
persepsi, dalam lingkungan bermain aktif positif pada pasien
transmisi 3. Diskusikan bersama
keluarga pentingnya
membatasi lingkungan
4 Gangguan Neurogical Status Kriteria hasil : NIC : Pengelolaan 1. Informasi bisa dapat
komunikais Tujuan : Pasien a. Fungsi neurologis Lingkungan dipahami
verbal menunjukkan komunikasi b. TIK dbn 1. Membantu keluarga 2. Pasien paham maksud
berhubungan verbal yang efektif. c. Komunikasi dalam memahami dan tujuan
dengan tumor d. TTV dbn pembicaraan 3. Memberikan
otak 2. Berbicara kepada pasien pemahaman yang jelas
dengan suara yang jelas 4. Memudahkan
3. Menggunakan kata dan komunikasi
kalimat yang singkat 5. Pasien dapat
4. Instruksikan pasien dan menyampaikan keluhan
keluarga untuk 6. Memberikan dukungan
menggunakan bantuan selama perawatan
berbicara
5. Anjurkan pasien untuk
mengulangi
pembicaraannya jika
belum jelas
6. Beri pujian positif ketika
pasien bisa bicara
5 Konflik NOC: Decision Making Kriteria Hasil: NIC: Family Support 1. Keluarga memahami
pengambilan Tujuan: Setelah dilakukan a. Identifikasi informasi 1. Informasikan kepada tindakan selama
keputusan tindakan keperawatan yang relevan keluarga tentang perawatan
berhubungan selama proses keperawatan b. Identifikasi alternative alternatif pilihan atau 2. Keluarga dapat
dengan kurang diharapkan tidak terjadi c. Memilih berbagai solusi mengetahui keuntungan
informasi yang konflik dalam keluarga. alternatif 2. Bantu keluarga dan kelebihan alternatif
relevan mengidentifikasi yang lain
keuntungan dan kerugian 3. Memberikan informasi
alternatif lain 4. Memberikan dukungan
3. Tawarkan informasi dalam pemberian
4. Bantu keluarga dalam keputusan yang tepat
menjelaskan yang diambil
keputusannya pada 5. Memberikan dukungan
anggota keluarga yang selaman perawatan
lain, jika diperlukan
5. Berikan dukungan secara
penuh
6 Cemas NOC : Kontrol Cemas Kriteria hasil : NIC : Enhancement Coping 1. Memberikan informasi
berhubungan Tujuan : Setelah dilakukan a. Monitor intensitas 1. Sediakan informasi yang selama perawatan yang
dengan ancaman tindakan keperawatan kecemasan sesungguhnya meliputi didapatkan pasien
kematian diharapkan kecemasan b. Rencanakan strategi diagnosis, treatment dan 2. Memberikan rasa
hilang atau berkurang. koping untuk prognosis nyaman
mengurangi stress 2. Tetap dampingi kien 3. Memberikan rasa
c. Gunakan teknik relaksasi untuk menjaga nyaman pada pasien
untuk mengurangi keselamatan pasien dan 4. Mengurangi ansietas
kecemasan mengurangi
d. Kondisikan lingkungan 3. Instruksikan pasien
nyaman untuk melakukan ternik
relaksasi
4. Bantu pasien
mengidentifikasi situasi
yang menimbulkan
ansietas.
Intra Operasi
1 Resiko NOC : Fluid balance Kriteria hasil : NIC : Manajemen cairan 1. Mengetahui balance
kekurangan Tujuan : Pasien tidak a. Kulit dan membran 1. Catat intake dan output cairan
volume cairan mengalami dehidrasi atau mukosa lembab 2. Monitor status hidrasi 2. Antisipasi tanda
berhubungan cairan tubuh pasien adekuat. b. Tidak terjadi demam, seperti membran dehidrasi
dengan TTV normal mukosa, nadi, tekanan 3. Mengatur balance
kehilangan darah dengan cepat. cairan
cairan 3. Beri cairan yang sesuai
dengan terapi
2 Resiko infeksi NOC : Pengenalian Resiko Kriteria hasil : NIC : Pengendalian Infeksi 1. Mencegah terjadinya
berhubungan Tujuan : Pasien tidak Tidak menunjukkan tanda- 1. Pantau tanda / gejala infeksi
pertahan tubuh mengalami infeksi atau tanda infeksi infeksi 2. Mencegah invasi
primer tidak tidak terdapat tanda-tanda 2. Rawat luka operasi mikroorganisme
adekuat infeksi pada pasien. dengan teknik steril 3. Mencegah inos
3. Memelihara teknik 4. Mencegah inos
isolasi, batasi jumlah
pengunjung
4. Ganti peralatan
perawatan pasien sesuai
dengan protap
Post Operasi
1 Nyeri NOC : Tingkat Nyeri Kriteria hasil : NIC : Menejemen Nyeri 1. Mengurangi stressor
berhubungan Tujuan : Pasien tidak a. Tidak menunjukkan Intervensi : yang dapat
dengan prosedur mengalami nyeri, antara lain tanda-tanda nyeri 1. Berikan pereda nyeri memperparah nyeri
bedah penurunan nyeri pada b. Nyeri menurun sampai dengan manipulasi 2. Mengurangi nyeri
tingkat yang dapat diterima tingkat yang dapat lingkungan (misal 3. Meminimalkan nyeri
diterima ruangan tenang, batasi 4. Mengurangi rasa nyeri
pengunjung). yang dirasakan pasien
2. Berikan analgesia sesuai
ketentuan
3. Cegah adanya gerakan
yang mengejutkan
seperti membentur
tempat tidur
4. Cegah peningkatan TIK
2 Resiko tinggi NOC : Pengendalian Resiko Kriteria hasil : NIC : Positioning 1. Menerikan posisi yang
cedera Tujuan : Pasien mengalami a. Stress minimal pada sisi 1. Konsul dengan ahli tepat sehingga
berhubungan stress minimal pada sisi operasi bedah mengenai mengurangi risiko
dengan trauma operasi b. Pasien tetap pada posisi pemberian posisi, cedera
intracranial yang diinginkan termasuk derajat fleksi 2. Mengurangi
leher. peningkatan TIK
2. Posisikan pasien datar 3. Mencegah terjadinya
dan mirirng, bukan cedera
terlentang atau tinggikan 4. Mencegah peningkatan
kepala TIK
3. Balikkan pasien dengan
hati-hati
4. Hindari posisi
trendelenburg
3 Resiko infeksi NOC : Pengenalian Resiko Kriteria hasil : NIC : Pengendalian Infeksi 5. Mencegah terjadinya
berhubungan Tujuan : Pasien tidak Tidak menunjukkan tanda- 5. Pantau tanda / gejala infeksi
dengan luka post mengalami infeksi atau tanda infeksi infeksi 6. Mencegah invasi
operasi tidak terdapat tanda-tanda 6. Rawat luka operasi mikroorganisme
infeksi pada pasien. dengan teknik steril 7. Mencegah inos
7. Memelihara teknik 8. Mencegah inos
isolasi, batasi jumlah
pengunjung
8. Ganti peralatan
perawatan pasien sesuai
dengan protap
5 Cemas NOC : Kontrol Cemas Kriteria hasil : NIC : Enhancement Coping 5. Memberikan informasi
berhubungan Tujuan : Setelah dilakukan e. Monitor intensitas 5. Sediakan informasi yang selama perawatan yang
dengan ancaman tindakan keperawatan kecemasan sesungguhnya meliputi didapatkan pasien
kematian diharapkan kecemasan f. Rencanakan strategi diagnosis, treatment dan 6. Memberikan rasa
hilang atau berkurang. koping untuk prognosis nyaman
mengurangi stress 6. Tetap dampingi kien 7. Memberikan rasa
g. Gunakan teknik relaksasi untuk menjaga nyaman pada pasien
untuk mengurangi keselamatan pasien dan 8. Mengurangi ansietas
kecemasan mengurangi
h. Kondisikan lingkungan 7. Instruksikan pasien
nyaman untuk melakukan ternik
relaksasi
8. Bantu pasien
mengidentifikasi situasi
yang menimbulkan
ansietas.
4. Implementasi Keperawatan
Sesuai dengan rencana keperawatan
5. Evaluasi
Sesuai dengan kreteria hasil
BAB 4
PEMBAHASAN
A. Trepanasi
1. Definisi
Trepanasi atau craniotomy adalah operasi untuk membuka tengkorak (tempurung
kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak. Trepanasi/
kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak
untuk tindakan pembedahan definitif.

2. Indikasi
a. Pengangkatan jaringan abnormal
b. Mengurangi tekanan intracranial
c. Mengevaluasi bekuan darah
d. Mengontrol bekuan darah
e. Pembenahan organ-organ intracranial
f. Tumor otak
g. Perdarahan
h. Peradangan dalam otak
i. Trauma pada tengkorak

3. Tehnik Operasi
a. Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Head-up kurang
lebih 15o (pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala miring kontralateral
lokasi lesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi saja (pada sisi lesi) misalnya kepala
miring ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya.
b. Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan,
menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka, penetrasi
betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril. Pasang doek steril di bawah
kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi
c. Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah benar
dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut untuk kosmetik,
sinus untuk menghindari perdarahan, sutura untuk mengetahui lokasi, zygoma
sebagai batas basis cranii, jalannya N VII (kurang lebih 1/3 depan antara tragus
sampai dengan canthus lateralis orbita)
d. Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin 1:200.000
yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan doek steril.

e. Operasi
1) Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung.
2) Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat.
3) Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan kasa
basah. Di bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh darah tidak
tertekuk (bahaya nekrosis pada kulit kepala). Klem pada pangkal flap dan fiksasi
pada doek.
4) Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan
rasparatorium pada daerah yang akan di burrhole dan gergaji kemudian dan
rawat perdarahan.
5) Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom sesuai gambar CT
scan.
6) Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudson’s Brace) kemudian
dengan mata bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah menembus tabula
interna.
7) Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.
8) Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup lubang
boorhole dengan kapas basah/ wetjes.
9) Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan menggunakan
sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole. Pasang gigli kemudian
masukkan penuntun gigli sampai menembus lubang boorhole di sebelahnya.
Lakukan pemotongan dengan gergaji dan asisten memfixir kepala penderita.
10) Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara tulang
dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi dengan elevator
kemudian miringkan posisi elevator pada saat mematahkan tulang.
11) Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan spoeling
dan suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang dapat dihentikan
dengan bone wax.
12) Gantung dura (hitch stitch) dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4 buah.
13) Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara gentle. Evaluasi
dura, perdarahan dari dura dihentikan dengan diatermi. Bila ada perdarahan dari
tepi bawah tulang yang merembes tambahkan hitch stitch pada daerah tersebut
kalau perlu tambahkan spongostan di bawah tulang. Bila perdarahan profus dari
bawah tulang (berasal dari arteri) tulang boleh di-knabel untuk mencari sumber
perdarahan kecuali dicurigai berasal dari sinus.
14) Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl 3.0 secara simpul
dengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada lagi perdarahan dengan
spoeling berulang-ulang.
15) Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi langkah salanjutnya
adalah membuka duramater.
16) Sayatan pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U) berla-
wanan dengan sayatan kulit. Duramater dikait dengan pengait dura, kemudian
bagian yang terangkat disayat dengan pisau sampai terlihat lapisan mengkilat
dari arakhnoid. (Bila sampai keluar cairan otak, berarti arachnoid sudah turut
tersayat). Masukkan kapas berbuntut melalui lubang sayatan ke bawah duramater
di dalam ruang subdural, dan sefanjutnya dengan kapas ini sebagai pelindung ter-
hadap kemungkinan trauma pada lapisan tersebut.
17) Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip khusus. Koagulasi
yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah dibandingkan untuk pembuluh darah
kulit atau subkutan.
18) Reseksi jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan otak dengan
pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri maupun vena.
19) Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di permukaan di ruang
subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak dibawahnya tak
ada darah lagi.
20) Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan koagulasi. Tepi bagian otak yang
direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin jaringan otak bebas dari
perlengketan. Untuk membakar permukaan otak, idealnya dipergunakan kauter
bipolar. Bila dipergunakan kauter monopolar, untuk memegang jaringan otak
gunakan pinset anatomis halus sebagai alat bantu kauterisasi.
21) Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/tidaknya tulang
dengan evaluasi klinis pre operasi dan ketegangan dura. Bila tidak dikembalikan
lapangan operasi dapat ditutup lapis demi lapis dengan cara sebagai berikut:
a) Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus keluar
kulit.
b) Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0.
c) Pasang drain subgaleal.
d) Jahit galea dengan vicryl 2.0.
e) Jahit kulit dengan silk 3.0.
f) Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain).
f. Operasi selesai.
Bila tulang dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang, pertama pada tulang
yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura ditengah tulang yang akan dikembalikan
untuk menghindari dead space. Buat lubang pada tulang yang akan dikembalikan
sesuai dengan lokasi yang akan di fiksasi (3-4 buah ditepi dan 2 lubang ditengah
berdekatan untuk teugel dura). Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0,
selanjutnya tutup lapis demi lapis seperti diatas.
4. Komplikasi Post Operasi
a. Edema cerebral.
b. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral.
c. Hypovolemik syok.
d. Hydrocephalus.
e. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus).
f. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
b. Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 – 14 hari setelah operasi.
c. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh
darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati,dan otak.
Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini
d. Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36 – 46 jam setelah operasi. Organisme yang
paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme; gram
positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka
yang paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptik dan
antiseptik
BAB 5
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak. Penyebab terjadinya cedera kepala salah satunya karena adanya
benturan atau kecelakaan. Cedera kepala mengakibatkan pasien dan keluarga
mengalami perubahan fisik maupun psikologis dan akibat paling fatal adalah kematian.
Asuhan keperawatan pada penderita cedera kepala memegang peranan penting terutama
dalam pencegahan komplikasi (Muttaqin, 2008).
Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi dan perdarahan. Hampir separuh
dari seluruh kematian akibat trauma disebabkan oleh cedera kepala. Cedera kepala
merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, diharapkan dengan penanganan yang
cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan mortilitas penanganan yang tidak
optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin
memburuk dan berkurangnya pemilihan fungsi (Tarwoto, 2007).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013, jumlah data
yang dianalisis seluruhnya 1.027.758 orang untuk semua umur. Adapun responden yang
tidak pernah mengalami cedera 942.984 orang dan yang pernah mengalami cedera
84.774 orang. Sebanyak 34.409 kasus cedera disebabkan karena transportasi sepeda
motor, yang menjadi penyebab cedera kedua tertinggi (40,6%) setelah jatuh (40,9%).
Prevalensi cedera secara nasional adalah 8,2% dan prevalensi angka cedera yang
disebabkan oleh sepeda motor di Sumatera Barat sebesar 49,5%. Prevalensi cedera
tertinggi berdasarkan karakteristik responden yaitu pada kelompok umur 15-24 tahun
(11,7%), dan pada laki-laki (10,1%), (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
B. SARAN
Dengan memahami pembahasan dengan Trepanasi kita dapat memberikan asuhan
keperawatan yang benar dan berfikir kritis dalam menghadapi kasus Cidera Kepala.
Dan bagi Instansi Rumah Sakit diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan
perioperatif yang optimal bagi klien.

DAFTAR PUSTAKA
Barbara C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan). Alih bahasa : Yayasan Ikatan alumsi Pendidikan Keperawatan
Pajajaran Bandung. Cetakan I.
Carpenito, L.J. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Doengoes E.Marilyn. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran. Jakarta: EGC.
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius.
PriceS.A., Wilson L. M. 2006. Buku Ajar Ilmu. Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta :
EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah edisi 3 volume 8.
Jakarta: EGC.
Sylvia A. Price. 2006. Patofosiologi Konsep Penyakit. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai