PENDAHULUAN
Page 1
juta jiwa nyawa melayang setiap tahunnya sebagai akibat kecelakaan bermotor,
diperkirakan sekitar 0,3-0,5% mengalami cedera kepala. Di Indonesia
diperkirakan lebih dari 80% pengendara kendaraan mengalami resiko
kecelakaan. 18% diantaranya mengalami cedera kepala dan kecederaan
permanen, tingginya angka kecelakaan lalu lintas tidak terlepas dari makin
mudahnya orang untuk memiliki kendaraan bermotor dan kecelakaan
manusia(Shell,2008).
Page 2
BAB 2
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian
Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak. Secara
anatomis otak dilindungi dari cedera oleh rambut , kulit kepala, serta tulang dan
tentorium (helm) yang membungkusnya.
Tanpa perlindungan ini otak akan mudah sekali terkena cedera dan
mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat diperbaiki
lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang.
Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari cedera dan banyak lainnya
timbul sekunder dari cedera.
Efek efek ini Harus dihindari ddan ditemukan secepatnya oleh perawat
untuk menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental
dan fisik, bahkan kematian. Cedera kepala paling sering dan penyakit
neurologis yang serius diantara penyakit neurologis, dan merupakan pproporsi
epedemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Diperkirakan dua per tiga korban
Page 3
dari kasus ini berusia dibawah 30 ttahun, dengan jumlah laki-laki lebih banyak
dari wanita lebih dari setengah dari semua klien cedera kepala berat
mempunyai signifikansi terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Adanyak Syok
Hipovolemik pada klien cedera kepala biasanya karena cedera bagian tubh
lainnya. Resiko utama klien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan
otak akibat pendarahan atau pembengkakan otak sebagai respons terhadap
cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
Berdasarkan GCS, cedera kepala atau cedera otak dapat dibagi menjadi
tiga gradasi, yaitu:
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi
trauma oleh benda atau serpihan yang menembus jaringan otak, efek dari
kekuatan atau energy yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan
perlambatan (Akselerasi-deselerasi) pada otak.
2.2 Etiologi
Page 4
Penyebab mengenai hal ini terutama pada trauma otak primer yaitu
terjadi disebabkan oleh benturan langsung ataupun tidak langsung (aselerasi/
deselerasi otak) dan trauma otak sekunder akibat dari trauma saraf ( melalui
akson ) yang meluas, hipertensi intracranial, hipoksia, hiperkapnea, atau
hipotensi sistematik. Adapun penyebab lain dari cedera otak diantaranya
adalah:
Page 5
Menurut Cholik Harun Rosjidi & Saiful Nurhidayat, (2009 : 49) etiologi
cedera kepala adalah:
1) Lokasi,
2) Kekuatan,
3) Fraktur infeksi/kompresi,
4) Rotasi,
5) Delarasi dan deselarasi.
Menurut Satyanegara,(1998:148)
Page 6
b. Guncangan lanjut, merupakan akibat peristiwa
guncangan kepala yang hebat, baik yang disebabkan oleh pukulan
maupun yang bukan karena pukulan
Menurut Smeltzer (2001 : 2210; Long, 1996 : 203)
Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana itu merobek otak,
misalnya tertembak peluru / benda tajam.
Trauma tumpul.
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya.
Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh
pukulan maupun bukan dari pukulan.
Kontak benturan (Gonjatan langsung).
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu obyek.
Kecelakaan lalu lintas
Jatuh
Kecelakaan industri
Serangan yang disebabkan karena olah raga
Perkelahian
2.3 Patogenesis
Metabolisme otak normal
Page 7
Secara normal otak memerlukan glukosa untuk menghasilkan energi
melalui proses glikolisis dan siklus kreb serta membutuhkan ± 4 x ATP
/menit. Kecepatan metabolisme diotak adalah 30 μ mol/100 gr otak/menit atau
5mg/100 gr otak/menit. Kecepatan metabolisme oksigen di otak adalah 165 μ
mol/ 100 gr otak/ menit. Metabolisme glukosa terutama terjadi di mitokondria
yang akan menghasilkan senyawa fosfat berenergi tinggi seperti ATP. Maka
jaringan otak sangat rentan terhadap gangguan suplai glukosa dan oksigen.
Kebutuhan glukosa dan oksigen dihantarkan melalui aliran darah secara
konstan. Neuro-neuro otak mendapatkan seluruh sediaan energi dari
metabolisme oksidatif glukosa. Untuk melakukan fungsi-fungsinya, otak
memerlukan seperempat kebutuhan oksigen yang digunakan oleh tubuh per
menit.
Dalam keadaan normal, aliran darah otak pada orang dewasa antara 50-
55 mL/100 gr otak / menit. Bila aliran darah otak turun hingga kurang dari 18
ml/100 gr otak/menit merupakan ambang bawah gagalnya pompa ion.
Page 8
2.4 Patologis
Patologi trauma kepala sangat bergantung pada bagian anatomis yang kepala
yang mengalami trauma ;
b. Fraktur tengkorak ;
Fraktur linier, ringan atau hebat. Fraktur linear yang melibatkan rongga
udara perinasal dapat menimbulkan rhinore atau othore ari cairan cerebro
spinalis sedangkan faktur linear yang terbuka lebar dapat menimbulkan
herniasi. Fraktur linear dapat merobek pembuluh darah yang melewati tulang
tengkorak sehingga dapat terjadi perdarahan epidural atau subdural
c. Perdarahan pada selaput otak ; trauma kepala dengan atau tanpa fraktur
dapat menimbulkan robekan pembuluh darah yang terdapat pada
duramater. Jenis perdarahan tersebut adalah :
Page 9
dilatasi pupil pada sisi yang sama. Penekanan hemisfer berlanjut pada
penekanan batang otak sehingga berpindah pada sisi yang berlawanan.
Perpindahan yang cukup jauh menimbulkan defisit neurologi pada sisi yang
berlawanan(kontralateral) yang tidak dapat diperbaiki dan kematian.
Perdarahan epidural dapat berkembang sangat lambat. Mula-mula pasien tidak
sadar kemudian sadar tanpa tanda/gejala gangguan neurologis. Karena
perdarahan berlanjut maka pasien mulai mengalami penurunan kesadaran, dari
mengantuk, sampai koma.
a. Tertutup
Page 10
2) Confusion yang bisa beraikbat pada memar pada jaringan otak.
3) Laserasi dapat terjadi pada pembuluh darah dan akan memicu untuk
terjadinya terdarahan sekunder
b. Terbuka
GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari
30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak,
tidak ada kontusio cerebral maupun hematoman.
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau
terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi
atau hematoma intracranial.
Page 11
3. Klasifikasi cidera kepala berdasarkan morfologi pencitraan atau radiologi
a. Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI --- Difus axonal injury
adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti
permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun
serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi)
dan serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer
(komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih
disebabkan karena gaya rotasi antara initi profunda dengan inti
permukaan .
d. Iskemia cerebri --- Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke
bagian otak berkurang atau terhenti. Kejadian iskemia cerebri
Page 12
berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena penyakit
degeneratif pembuluh darah otak.
Trauma Kepala
Cedera Otak
1.Tik meningkat Gangguan Kesadaran
Gangguan TTV
Cedera otak primer Kelainan Neurologis
Ringan Respons fisiologis otak
Sedang
Berat
Cedera otak sekunder Hipoksemia Serebral
Page 13
Difusi terhambat
Page 14
Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur, dan
karena alasan ini diagnosis akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan
dengan sinar-x.
2.8 Komplikasi
Page 15
Menurut Arief Mansjoer (2000), komplikasi dari cedera kepala berat,
yaitu:
Page 16
d. Herniasi Jaringan Otak
Adanya penambahan volume dalam ruang tengkorak (misalnya karena
adanya hematoma) akan menyebabkan semakin meningkatnya tekanan
intrakranial. Sampai batas tertentu kenaikan ini akan dapat ditoleransi. Namun
bila tekanan semakin tinggi akhirnya tidak dapat diltoleransi lagi dan terjadilah
komplikasi berupa pergeseran dari struktur otak tertentu kearah celah-celah
yang ada.
e. Infeksi
Cedera kepala yang disertai dengan robeknya lapisan kulit akan
memiliki resiko terjadinya infeksi, sebagaimana pelukaan di daerah tubuh
lainnya. Infeksi yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya Meningitis,
Ensefalitis, Empyema subdural, Osteomilietis tulang tengkorak, bahkan abses
otak.
f. Hidrisefalus
Hidrosefalus merupakan salah satu komplikasi cedera kepala yang
cukup sering terjadi, khususnya bila cedera kepala cukup berat.
Page 17
1. Peningkatan TIK
Lebih dari separuh kematian karena trauma kepala disebabkan oleh
hipertensi intrakranial. Kenaikan tekanan intrakranial (TIK) dihubungkan
dengan penurunan tekanan perfusi dan aliran darah serebral (CBF) dibawah
tingkat kritis (60 mmHg) yang berakibat kerusakan otak iskemik.
Pengendalian TIK yang berhasil mampu meningkatkan outcome yang
signifikan. Telah dikembangkan pemantauan TIK tapi belum ditemukan metode
yang lebih akurat dan non invasive.
Pemantauan TIK yang berkesinambungan bisa menunjukkan indikasi
yang tepat untuk mulai terapi dan mengefektifkan terapi, serta menentukan
prognosis.
TIK yang normal: 5-15 mmHg
TIK Ringan : 15 – 25 mmHg
TIK sedang : 25-40 mmHg
TIK berat : > 40 mmHg
Sebagian besar CSF diproduksi oleh pleksus choroidalis dari
ventrikulus lateralis, sisanya dihasilkan oleh jaringan otak kemudian dialirkan
langsung ke rongga sub arachnoid untuk diabsorpsi lewat vili arachnoid di
sagitalis.
Pengikatan / penghilangan pleksus choroidalis akan menurunkan CSF
60%. Produksi CSF 0,3 – 0,5 cc/menit (450-500 cc/hari). Karena hanya ada
volume 150cc CSF di otak dewasa, jadi ada 3 kali penggantian CSF selama
sehari. Produksi CSF bersifat konstan dan tidak tergantung tekanan. Variasi
pada TIK tidak mempengaruhi laju produksi CSF.
Absorpsi CSF secara langsung dipengaruhi oleh kenaikan TIK. Tempat
utama penyerapan CSF, vili arachnoidalis (merupakan suatu katub yang diatur
oleh tekanan). Bila fungsi katub rusak / jika tekanan sinus vena meningkat,
maka absorpsi CSF menurun, maka terjadilah peningkatan CSF. Obstruksi
terutama terjadi di aquaductus Sylvii dan cisterna basalis. Kalau aliran CSF
tersumbat mengakibatkan hidrocephalus tipe obstruktif.
2. Iskemia
Page 18
Iskemia adalah simtoma berkurangnya aliran darah yang dapat
menyebabkan perubahan fungsional pada sel normal.
Otak merupakan jaringan yang paling peka terhadap iskemia hingga
episode iskemik yang sangat singkat pada neuron akan menginduksi
serangkaian lintasan metabolisme yang berakhir dengan apoptosis. Iskemia
otak diklasifikasikan menjadi dua subtipe yaitu iskemia global dan fokal. Pada
iskemia global, setidaknya dua, atau empat pembuluh cervical mengalami
gangguan sirkulasi darah yang segera pulih beberapa saat kemudian. Pada
iskemia fokal, sirkulasi darah pada pembuluh nadi otak tengah umumnya
terhambat oleh gumpalan trombus sehingga memungkinkan terjadi reperfusi.
Simtoma terhambatnya sirkulasi darah oleh gumpalan trombus disebut
vascular occlusion.(Wikipedia.org)
3. Perdarahan otak
- Epidural hematom:
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater
akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang
terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena
itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari.
Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.
Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah,
hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian
dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.
- Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi
akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena
yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit.
Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat
terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri,
berfikir lambat, kejang dan edema pupil.
- Perdarahan intraserebral
Page 19
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri,
kapiler, vena.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi
pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
- Perdarahan subarachnoid:
Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh
darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese,
dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.(Smeltzer, 2001; Tucker, 1998)
4. Kejang pasca trauma.
Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di
awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7
hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural,
epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10.
5. Demam dan mengigil :
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism dan
memperburuk “outcome”. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek
sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muscular paralisis.
Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.
6. Hidrosefalus:
Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non
komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala
dengan obstruksi, Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat
penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan
muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia, ataksia, gangguan miksi.
7. Spastisitas :
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada
kecepatan gerakan. Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk
ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan ditujukan pada :
Page 20
Pembatasan fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan kontraktur, Bantuan dalam
posisioning.
Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder
dengan splinting, casting, farmakologi: dantrolen, baklofen, tizanidin,
botulinum, benzodiasepin
8. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal
dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi
juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi
sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan
antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodisepin
dan terapi modifikasi lingkungan.
9. Mood, tingkah laku dan kognitif
Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding
gangguan fisik setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons
Ford,menunjukkan 2 tahun setelah cedera kepala masih terdapat gangguan
kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk problem daya ingat pada 74 %,
gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan kecepatan berpikir 67%.
Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%.
Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting untuk
perbaikan gangguan kognitif. Methyl phenidate sering digunakan pada pasien
dengan problem gangguan perhatian, inisiasi dan hipoarousal (Whyte).
Dopamine, amantadinae dilaporkan dapat memperbaiki fungsi perhatian dan
fungsi luhur. Donepezil dapat memperbaiki daya ingat dan tingkah laku dalam
12 minggu. Depresi mayor dan minor ditemukan 40-50%. Faktor resiko depresi
pasca cedera kepala adalah wanita, beratnya cedera kepala, pre morbid dan
gangguan tingkah laku dapat membaik dengan antidepresan.
10. Sindroma post kontusio
Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala
80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun
pertama:
Page 21
Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah
lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya.kognitif: perhatian, konsentrasi,
memori.Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.
2.10 Prognosis
Page 22
Faktor-faktor yang dapat menjadikan ”Predictor outcome” cedera
kepala adalah: lamanya koma, durasi amnesia post trauma, area kerusakan
cedera pada otak mekanisme cedera dan umur.
Pengukuran outcome:
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA OTAK
Page 23
3.1 PENGKAJIAN
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun obyektif pada gangguan
system persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk,
lokasi, jenis injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian
keperawtan cedera kepala anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia
muda), jenis kelamin (banyak laki-laki, karena sering ngebut-ngebutan dengan
motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, diagnosis medis.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta
pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala
disertai penurunan tingkat kesadaran.
Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien (bila
klien tidak sadar), tentang penggunaan obat-obatan adiktif dan penggunaan
alkohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut-ngebutan.
Page 24
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi,
riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia,
penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif,
konsumsi alcohol berlebihan.
Riwayat Penyakit Keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi
dan diabetes mellitus.
Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian maknisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan
akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra
diri).
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami
kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan
konsep diri didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah
marah, dan tidak kooperatif.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini
memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan
pengobatan memerlukan daan yang tidak sedikit. Cedera kepala memerlukan
biaya untuk pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan dapat mengacaukan
kuangan keluarga sehingga factor biaya ini dapat memengaruhi stabilitas emosi
dan pikiran klien dan keluarga. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap
fumgsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada
gaya hidup individu. Perspektif perawatan dalam mengkaji terdiri atas dua
masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurologis dalam
hubunganya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan
Page 25
mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam sistem dukungan
individu.
Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan
fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Keadaan umum
B1 (BREATHING)
Perubahan pada sistem pernapasan tergantung pada gradasi dari
perubahan jaringan selebral akibat trauma kepala. Pada beberapa keadaan hasil
dari pemeriksaan fisik dari sistem ini akan didapatkan : Inspeksi, didapatkan
klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu
napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Terdapat retraksi klavikula/dada,
pengembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada : dinilai penuh/tidak penuh
dan kesimerisanya. Ketidaksimetrisan mungkin menunjukkan adanya
atelektasis, lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga,
pneumothoraks, atau penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang
kurang tepat. Pada observasi ekspansi dada juga perlu di nilai : retraksi dari
otot-otot interkostal, substernal, pernapasan abdomen, dan respirasi paradoks
(retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot
interkostal tidak mampu menggerakkan dinding dada.
Page 26
Palpasi, fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.
Perkusi, adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan
trauma pada thoraks atau hematothoraks.
Auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor,
ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi secret, dan kemampuan batuk
yang menurun sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan penurunan
tingkat kesadaran koma.
Pada klien cedera otak berat dan sudah terjadi disfungsi pusat
pernapasan, klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan biasanya klien
dirawat di ruang perawatan intensif sampai kondisi klien menjadi stabil.
Pengkajian klien cedera otak berat dengan pemasangan ventilator secara
komprehensif merupakan jalur keperawatan kritis.
Meningkatkan tekanan
hidrostatik
B2 (Blood)
Page 27
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok)
hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala pada beberapa
keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi,
takikardi, dan aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan
homeostasis tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer.
Nadi brakikardi merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit
terliht pucat menandakan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah.
Hipotensi merupakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda awal
dari suatu syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala akan
merangsang pelepasan antideuretik hormon (ADH) yang berdampak pada
kompensasi tubuh untuk melakukan retensi atau pengeluaran garam dan air
oleh tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan konsentrasi elektrolit
meningkat sehingga memberikan resiko terjadinya gangguan keseimbangan
cairan Trauma kepala dan
elektrolit ↓ pada
sistem ADH dilepas
↓
Retensi Na dan air
↓
Output urine menurun
↓
Konsentrasi elektrolit meningkat
↓
Resiko gangguan keseimbangan dan elektrolit
kardiovaskular.
B3 (Brain)
Page 28
Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama
disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya
perdarahan baik versifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan
epidural hematoma. Pengkajian B3 (brain) merupakan pemeriksaan fokus dan
lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
Tingkat kesadaran
Page 29
optikus. Perdarahan di ruang intrakranial, terutama hemoragia subarakhnoidal,
dapat disertai dengan perdarahan retina. Anomali pembuluh darah didalam otak
dapat bermanifestasi juga di fundus. Tetapi dari segala macam kelainan di
dalam ruang intrakranial, tekanan intrakranial dapat di cerminkan pada fundus.
Saraf III, IV, dan VI. Gangguan mengangkat kelopak mata terutama
pada klien dengan trauma yang merusak rongga orbital. Pada kasus-kasus
trauma kepala dapat di jumpai anisokoria. Gejala ini harus dianggap sebagai
tanda serius jika midriasis itu tidak bereaksi pada penyinaran. Tanda awal
herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi pada penyinaran.
Paralisis otot-otot okular akan menyusul pada tahap berikutnya. Jika pada
trauma kepala terdapat anisokoria di mana bukannya midriasis yang di
temukan, melainkan miosis yang bergandengan dengan pupil yang normal pada
sisi yang lain, maka pupil yang miosislah yang abnormal. Miosis ini di
sebabkan oleh lesi di lobus frontalis ipsilateral yang mengelola pusat
siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat siliospinal menjadi tidak aktif,
sehingga pupil tidak berdilatasi melainkan berkonstriksi.
Saraf V. pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis
nervus trigeminus, di dapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan
mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan mengalami perubahan.
Saraf VIII. Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala
ringan biasanya tidak di dapatkan apabila trauma yang terjadi tidak melibatkan
saraf vestibulokoklearis.
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran
membuka mulut.
Saraf XI. Biala tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien
cukup baik dan tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus.
Saraf XII. Indra pengecapan mengalami perubahan.
Sistem motorik
Inspeksi umum, didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi)
karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis (kelemahan salah satu
sisi tubuh) adalah tanda yang lain.
Tonus otot, didapatkan menurun sampai hilang.
Page 30
Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan grade kekuatan
otot didapatkan grade 0.
Keseimbangan dan koordinasi, didapatkan mengalami gangguan karena
hemiparase dan hemiplegia.
Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periosteum derajat refleks pada respons normal.
Pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks fisiologis sisi yang
lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul
kembali di dahului dengan refleks patologis.
Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestasi. Persepsi adalah ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras
sensorik primer diantara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual
spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering
terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.
Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa kerusakan
sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan propreosepsi
(kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta keulitan
dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan audiotirus.
B4 (bladder)
kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karakteristik, termasuk
berat jenis. Penurunan jumlah urine dan peingkatan retensi cairan dapat terjadi
akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera kepala klien mungkin
mengalami inkontenensia urine karena konfusi, ketidakmamppuan
mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mnggunakan
urinal karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang-kadang kontrol
sfinger urinarius eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan
kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
B5 (bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nanfsu makan menurun,
mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan dengan
Page 31
peningkaktan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
penurunan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan
peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menurunkan
kerusakan neurologis luas.
Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya
lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukan adanya dehidrasi.
Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau tidaknyadan kualitas bising
usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus menurun
atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan observasi
bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat
tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal.
B6 (Bone)
Page 32
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh
ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembaban dan turgor kulit. Adanya
perubahan warna kulit, warna kerbiruan menunjukan adanya sianosis. Pucat
pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar
hameoglobin atau syok. Pucat pada klien dan sianosis yang menggunakan
ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia. Jaundice (warna kuning)
pada klien yang menggunakan respirator dapat terjadi akibat penuruna aliran
darah portal akibat yang menggunakan respirator hipoksemia. Jaundice (warna
kuning) pada klien yang menggunakan respirator dapat terjadi akibat adanya
penurunan aliran darah portal akibat dari penggunaan packed red cells (PRC)
dalam jangka waktu lama. Pada klien dengan kulit gelap, perubahan warna
tersebut tidak begitu jelas terlihat. Warna kemerahan pada kulit dapat
menunjukan adanya demam dan infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya
lesi dan dekubitus. Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensorik atau paralisis/hemiplegia, mudah lelah menyebabkan
masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera
kepala meliputi :
1. CT scan (dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak.
2. MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral angiography
Menunjukan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
4. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5. Sinar-X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
8. CSS
Page 33
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarakhnoid.
9. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai penekanan
intrakranial.
10. Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh otot yang dapat menyebabkan penurunan
kesadaran.
11. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
12. Toraksentesis menyatakan darah/cairan
13. Analisa gas darah (AGD/astrup)
Analisa gas darah (AGD/astrup) adalah salah satu tes diagnostik untuk
menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan
melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam.
Penatalaksanaan medis
Page 34
Penatalaksanaan konservatif meliputi:
1. Bedrest total
2. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
3. Pemberian obat-obatan
Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti-edema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringannnya trauma
Terapi hiperventilasi (trauma kepaa berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%
atau glukosa 40%, atau gliserol 10%.
Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin) atau
untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
4. Makana atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak
dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5%, aminofsufin,
aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari
kemudian diberikan makanan lunak.
Page 35
3. Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan
metabolism.
4. Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan terpasangnya
endotracheal/tracheostomy tube dan paralisis/kelemahan neuromuscular.
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada
klien.
Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala,
mual-mual dan muntah, GCS : 4,5,6, tidak terdapat pepiledema. TTV dalam
batas normal.
Intervensi Rasionalisasi
Page 36
dibarengi dengan peningkatan
tekanan darah intracranial. Adanya
peningkatan tekanan darah,
bradikardi, distrimia, dispnea
merupakan tanda terjadinya
peningkatan TIK
Page 37
Berikan periode istirahat antara Tindakan yang terus-
tindakan perawatan dan batasi lamanya menerus dapat meningkatkan TIK
prosedur. oleh efek rangsangan kumulatif.
Intervensi Rasionalisasi
Page 38
tentang etiologi/factor pencetus dapat mengembangkan kepatuhan klien
adanya sesak atau kolaps paru- terhadap rancana terapeutik.
paru.
Page 39
Mengkaji tidal volume
(10-15 ml/kg). Periksa fungsi
spirometer.
Pemberian
antibiotik.
Pemberian
analgesik.
Fisioterapi dada.
Konsul foto
thoraks.
Page 40
seperti mepertahankan kontak membuat klien interest selama
mata, pertanyan dengan jawaban ya komunikasi. Jika klien dapat
atau tidak, menggunakan kertas dan menggerakkan kepala, mengedipkan
pensil/bolpoin, gambar, atau papan mata, atau senang dengan isyarat-
tulis: bahasa isyarat, perjelas arti isyarat sederhana, lebih baik dengan
dari komunikasi yang disapaikan. menggunakan pertanyaan ya/tidak
Kemampuan menulis kadang- kadang
melelahkan klien, selain itu dapat
mengakibatkan frustasi dalam upaya
memenuhi kebutuhan komunikasi.
Keluarga dapat bekerja sama untuk
membantu memenuhi kebutuhan klien.
Pertimbangkan bentuk komunikasi Kateter intravena yang terpasang di
bila terpasang kateter intravena. tangan akan mengurangi kebebasan
menulis/memberi isyarat.
Letakkan bel/lampu panggilan di Ketergantungan klien pada ventilator
tempat yang mudah dijangkau dan akan lebih baik dan rileks, perasaan
berikan penjelasan cara aman, dan mengerti bahwa selama
menggunakannya. Jawab panggilan menggunakan ventilator, perawat akan
tersebut dengan segera. Penuhi memenuhi segala kebutuhannya.
kebutuhan klien. Katakana kepeda
klien bahwa perawat siapmembantu
jika dibutuhkan.
Buatlah catatan di kantor Mengingatkan staf perawat untuk
perawatan tentang keadaan klien berespons dengan klien selama
yang tak dapat berbicara. memberikan perawatan.
Anjurkan keluarga/orang lain yang Keluarga/SO dapat merasakan akrab
dekat dengan klien untuk berbicara dengan klien berada dekat klien selama
dengan klien, memberikan berbicara, dengan pengalaman ini
informasi tantang keluarganya, dan dapat membantu/memoertahankan
keadaan yang sedang terjadi. kotak nyata seperti merasakan
kehadiran anggota keluarga yang dapat
Page 41
mengurangi perasaan kaku/janggal.
Kalaborasi
Evaluasi kebutuhan komunikasi Klien dengan pengetahuan dan
(berbicara) selama memakai keterampilan yang adekuat memiliki
Tracheostomy tube kemampuan untuk menggerakkan
Tracheostomy tube bila berbicara.
Intervensi Rasionalisasi
Page 42
fungsi otot-otot pernapasan.
Page 43
respirasi.
3.4 IMPLEMENTASI
3.5 EVALUASI
a. Tercapainya nilai gas darah normal dan bunyi napas bormal saat
diauskultasi.
Page 44
a. Terdapat kurang dari 50 cc isi lambung saat aspirasi sebelum pemberian
makanan melalui selang lambung
4. Menghindari cidera
a. Mencapai TIK normal, tanda vital dan suhu tubuh normal dan
meningkatkan orientasi terhadap waktu, tempat dan orang
Page 45
BAB 4
PENUTUP
1.1 KESIMPULAN
Beberapa rumah sakit ada yang memakai istilah cedera kepala dan cedera
otak sebagai suatu diagnosis medis untuk suatu trauma pada kepala, walaupun
secara harfiah kedua istilah tersebut sama karena memakai gradasi respon
Glasgow Coma Scale (GCS) sebagai tingkat gangguan yang terjadi akibat suatu
cedera di kepala.
Page 46