Anda di halaman 1dari 46

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang.
Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari cedera dan banyak lainnya
terjadi sekinder akibat cedera. Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit
dan tulang yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut
(yang membuat kita seperti adanya) akan mudah sekali terkena cedera dan
mengalami kerusakan. Selain itu, begitu rusak neuron tidak dapat di perbaiki
lagi(Sylvia Anderson,2005:1171).
Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera
kepala paling sering dan penyakit neurologic yang serius diantara penyakit
neurologic dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan
raya. Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahun akibat cedera kepala,
dan lebih dari 700.000 orang mengalami cedera cukup berat yang memerlukan
perawatan di rumah sakit. Pada kelompok ini, antara 50.000 orang dan 90.000
orang setiap tahun mengalami penurunan intelektual atau tingkah laku yang
menghambat kembalinya mereka menuju kehidupan normal. Dua pertiga dari
kasus ini berusia di bawah 30 tahun, dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari
wanita. Adanya kadar alcohol dalam darah deteksi lebih dari 50% pasien cedera
kepala yang di terapi di ruang darurat. Lebih dari setengah dari semua pasien
cedera kepalanberat mempunyai signifikan terhadap cedera bagian tubuh
lainnya. Adanya syok hipovolemik pada pasien cedera kepala biasanya karena
cedera bagian tubuh lainnya. Resiko utama pasien yang mengalami cedera
kepala adalah kerusakan otot akibat perdarahan atau pembengkakan otak
sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan
intracranial.(Smeltzer dan Suzanne, 2001:2209).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, 2007: 3). Di dunia diperkirakan sebanyak 1,2

Page 1
juta jiwa nyawa melayang setiap tahunnya sebagai akibat kecelakaan bermotor,
diperkirakan sekitar 0,3-0,5% mengalami cedera kepala. Di Indonesia
diperkirakan lebih dari 80% pengendara kendaraan mengalami resiko
kecelakaan. 18% diantaranya mengalami cedera kepala dan kecederaan
permanen, tingginya angka kecelakaan lalu lintas tidak terlepas dari makin
mudahnya orang untuk memiliki kendaraan bermotor dan kecelakaan
manusia(Shell,2008).

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana dan seperti apakah cedera otak itu?

2. Bagaimanakah proses pemberian asuhan keperawatan pada pasien


dengan cedera otak?

1.3 TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui tentang cedera otak.

2. Untuk mengetahui proses pemberian asuhan keperawatan pada pasien


dengan cedera otak.

Page 2
BAB 2
KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian

Banyak Istilah yang dipakai dalammenyatakan suatu trauma atau cedera


pada kepala di Indonesia. Beberapa rumah sakit ada yang memakai istilah
cedera kepala dan cedera otak sebagai suatu diagnosis medis untuk suatu
trauma pada kepala, walaupun secara harfiah kedua istilah tersebut sama karena
memakai gradasi respon Glasgow Coma Scale (GCS) sebagai tingkat gangguan
yang terjadi akibat suatu cedera di kepala.

Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan


akibat trauma yang mencederai kepala, maka perawat perlu mengenal
neuroanatomi, neurofisiologi, serta neuropatofisiologi dengan baik agar
kelainan dari masalah yang dikeluhkan atau kelainan dari pengkajian fisik yang
didapat bisa sekomprehensif mungkin ditanggapi perawat yang melakukan
asuhan pada klien dengan cedera kepala.

Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak. Secara
anatomis otak dilindungi dari cedera oleh rambut , kulit kepala, serta tulang dan
tentorium (helm) yang membungkusnya.

Tanpa perlindungan ini otak akan mudah sekali terkena cedera dan
mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat diperbaiki
lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang.
Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari cedera dan banyak lainnya
timbul sekunder dari cedera.

Efek efek ini Harus dihindari ddan ditemukan secepatnya oleh perawat
untuk menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental
dan fisik, bahkan kematian. Cedera kepala paling sering dan penyakit
neurologis yang serius diantara penyakit neurologis, dan merupakan pproporsi
epedemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Diperkirakan dua per tiga korban

Page 3
dari kasus ini berusia dibawah 30 ttahun, dengan jumlah laki-laki lebih banyak
dari wanita lebih dari setengah dari semua klien cedera kepala berat
mempunyai signifikansi terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Adanyak Syok
Hipovolemik pada klien cedera kepala biasanya karena cedera bagian tubh
lainnya. Resiko utama klien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan
otak akibat pendarahan atau pembengkakan otak sebagai respons terhadap
cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.

Pada beberap literature terakhir dapat disimpulkan bahwa cedera kepala


atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa
diikuti kontinuitas otak.

Berdasarkan GCS, cedera kepala atau cedera otak dapat dibagi menjadi
tiga gradasi, yaitu:

1. Cedera kepala ringan/ cedera otak ringan, bila GCS: 13-15


2. Cedera kepala sedang/ cedera otak sedang bila GCS: 9-12
3. Cedera kepala berat/ cedera otak berat bila GCS kurang atau sama dengan 8

Pada klien yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misalnya oleh


karena afasia, maka reaksi verbal diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua
mata edema berat sehingga tidak dapat dinilai reaksi membuka matanya maka
reaksi membuka mata diberi nilai “X”, sedangkan jika klien dilakukan
trakeostomi ataupun dilakukan inkubasi maka reaksi verbal dinilai “T”.

Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi
trauma oleh benda atau serpihan yang menembus jaringan otak, efek dari
kekuatan atau energy yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan
perlambatan (Akselerasi-deselerasi) pada otak.

2.2 Etiologi

Page 4
Penyebab mengenai hal ini terutama pada trauma otak primer yaitu
terjadi disebabkan oleh benturan langsung ataupun tidak langsung (aselerasi/
deselerasi otak) dan trauma otak sekunder akibat dari trauma saraf ( melalui
akson ) yang meluas, hipertensi intracranial, hipoksia, hiperkapnea, atau
hipotensi sistematik. Adapun penyebab lain dari cedera otak diantaranya
adalah:

Menurut Masjoer Arif(2000) yaitu :

 Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan


mobil.
 Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
 Cedera akibat kekerasan.
 Spasme pembuluh darah intrakranial.
 Kecelakaan otomotif/tabrakan, terjatuh, olah raga, kecelakaan industri.
 Gejala depresi
 Gangguan pada jaringan saraf yang sudah terganggu
 Tertimpa benda keras.
Menurut Tarwoto (2007), penyebab dari Cedera Kepala adalah :

 Kecelakaan lalu lintas.


 Terjatuh
 Pukulan atau trauma tumpul pada kepala.
 Olah raga
 Benturan langsung pada kepala.
 Kecelakaan industri.
 Luka, dan
 Persalinan.

Page 5
Menurut Cholik Harun Rosjidi & Saiful Nurhidayat, (2009 : 49) etiologi
cedera kepala adalah:

 Kecelakaan lalu lintas


 Jatuh
 Pukulan
 Kejatuhan benda
 Kecelakaan kerja atau industri
 Cedera lahir
 Luka tembak
Menurut Bunner dan Suddart (2000), Cedera kepala dapat disebabkan
oleh dua hal, yaitu :

 Benda tajam, dimana dapat menyebabkan cedera setempat


 Benda tumpul dimana dapat menyebabkan cedera keseluruhan.
Kerusakan terjadi ketika energi/kekuatan diteruskan kepada otak.
Kerusakan jaringan otak karena benda tumpul tergantung pada :

1) Lokasi,
2) Kekuatan,
3) Fraktur infeksi/kompresi,
4) Rotasi,
5) Delarasi dan deselarasi.
Menurut Satyanegara,(1998:148)

Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat salah satu dari kedua


mekanisme dasar yaitu:

a. Kontak bentur, terjadi bila kepala membentur atau


menabrak sesuatu obyek atau sebaliknya

Page 6
b. Guncangan lanjut, merupakan akibat peristiwa
guncangan kepala yang hebat, baik yang disebabkan oleh pukulan
maupun yang bukan karena pukulan
Menurut Smeltzer (2001 : 2210; Long, 1996 : 203)

 Trauma tajam
 Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana itu merobek otak,
misalnya tertembak peluru / benda tajam.
 Trauma tumpul.
 Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya.
 Cedera akselerasi
 Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh
pukulan maupun bukan dari pukulan.
 Kontak benturan (Gonjatan langsung).
 Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu obyek.
 Kecelakaan lalu lintas
 Jatuh
 Kecelakaan industri
 Serangan yang disebabkan karena olah raga
 Perkelahian
2.3 Patogenesis
Metabolisme otak normal

Berat otak manusia normal kerkisar antara 1200 - 1400 gram,


merupakan 2% dari berat badan total manusia. Dalam keadaan istirahat otak
memerlukan oksigen sebanyak 20% dari seluruh kebutuhan oksigen tubuh dan
memerlukan 70% glukosa tubuh. Adanya kebutuhan oksigen yang tinggi
tersebut disertai dengan aktifitas metabolik otak yang terjadi secara terus
menerus memerlukan aliran darah yang konstan kedalam otak, sehingga otak
memerlukan makanan yang cukup dan teratur. Dalam setiap menit, otak
memerlukan 800 cc oksigen dan 100 mgr glukosa sebagai sumber energi.
Berkurang atau hilangnya suplai darah ke otak dalam beberapa menit akan
menimbulkan adanya gangguan pada jaringan otak yang bervariasi dari ringan
hingga yang berat berupa kematian sel otak.

Page 7
Secara normal otak memerlukan glukosa untuk menghasilkan energi
melalui proses glikolisis dan siklus kreb serta membutuhkan ± 4 x ATP
/menit. Kecepatan metabolisme diotak adalah 30 μ mol/100 gr otak/menit atau
5mg/100 gr otak/menit. Kecepatan metabolisme oksigen di otak adalah 165 μ
mol/ 100 gr otak/ menit. Metabolisme glukosa terutama terjadi di mitokondria
yang akan menghasilkan senyawa fosfat berenergi tinggi seperti ATP. Maka
jaringan otak sangat rentan terhadap gangguan suplai glukosa dan oksigen.
Kebutuhan glukosa dan oksigen dihantarkan melalui aliran darah secara
konstan. Neuro-neuro otak mendapatkan seluruh sediaan energi dari
metabolisme oksidatif glukosa. Untuk melakukan fungsi-fungsinya, otak
memerlukan seperempat kebutuhan oksigen yang digunakan oleh tubuh per
menit.

Metabolisme aerob glukosa sangat efektif untuk menghasilkan energi


yang diperlukan. Satu molekul glukosa 38 molekul ATP, sedangkan
metabolisme anaerob hanya menghasilakannya ion laktat yang menghasilkan
perubahan pH intrasel.

Kebutuhan otak secara umum adalah konstan, tetapi secara lokal


bervariasi dan mampu beradaptasi terhadap pasokan darah. Hal ini mencegah
perubahan-perubahan yang mungkin timbul yang mungkin timbul dalam
tekanan perfusi yang dipengaruhi oleh sistem sirkulasi sentral dengan
autoregulasi. Hal ini dapat dicapai melalui kontraksi otot polos terhadap
berbagai tingkat resistensi arteri dan arteriole sesuai dengan tekana luminal. Hal
ini diduga akibat respon langsung mekanisme distensi dari otot polos atau suatu
reflek neurogenik sistem simpatis. Melalui autoregulasi yang memungkinkan
neuron dapat dipertahankan aliran darah otak total diatas rentang yang luas dari
tekanan perfusi.

Dalam keadaan normal, aliran darah otak pada orang dewasa antara 50-
55 mL/100 gr otak / menit. Bila aliran darah otak turun hingga kurang dari 18
ml/100 gr otak/menit merupakan ambang bawah gagalnya pompa ion.

Page 8
2.4 Patologis

Dari gambarannya (neuropatologi), kerusakan otak dapat digolongkan


menjadi fokal dan difus, walaupun terkadang kedua tipe tersebut muncul
bersamaan. Alternatif yang lain menggolongkan kerusakan otak menjadi primer
(terjadi sebagai dampak) dan sekunder (munculnya kerusakan neuronal yang
menetap, hematoma, pembengkakan otak, iskemia, atau infeksi).

Patologi Trauma Kepala

Patologi trauma kepala sangat bergantung pada bagian anatomis yang kepala
yang mengalami trauma ;

a. Laserasi pada kulit kepala, dapat menimbulkan perdarahan hebat karena


di kepala terdapat banyak pembuluh darah

b. Fraktur tengkorak ;

Fraktur linier, ringan atau hebat. Fraktur linear yang melibatkan rongga
udara perinasal dapat menimbulkan rhinore atau othore ari cairan cerebro
spinalis sedangkan faktur linear yang terbuka lebar dapat menimbulkan
herniasi. Fraktur linear dapat merobek pembuluh darah yang melewati tulang
tengkorak sehingga dapat terjadi perdarahan epidural atau subdural

Fraktur depresi ; depresi lebih dari 3mm dapat menimbulkan kerusakan


otak disamping sebagai akibat tekanan perdarahan

Fraktur dasar tengkorak dapat mengakibatkan rhinore atau otore

c. Perdarahan pada selaput otak ; trauma kepala dengan atau tanpa fraktur
dapat menimbulkan robekan pembuluh darah yang terdapat pada
duramater. Jenis perdarahan tersebut adalah :

Perdarahan epidural (antara tulang tengkorak dengan duramater).


Perdarahan yang terperangkap dalam tulang tengkorak kemudian menimbulkan
tekanan pada otak, hingga menekan nervus kranialis ketiga sehingga terjadi

Page 9
dilatasi pupil pada sisi yang sama. Penekanan hemisfer berlanjut pada
penekanan batang otak sehingga berpindah pada sisi yang berlawanan.
Perpindahan yang cukup jauh menimbulkan defisit neurologi pada sisi yang
berlawanan(kontralateral) yang tidak dapat diperbaiki dan kematian.
Perdarahan epidural dapat berkembang sangat lambat. Mula-mula pasien tidak
sadar kemudian sadar tanpa tanda/gejala gangguan neurologis. Karena
perdarahan berlanjut maka pasien mulai mengalami penurunan kesadaran, dari
mengantuk, sampai koma.

Perdarahan subdural (antara duramater dan arakhnoid). Perdarahan


subdural dapat diklasifikasikan menjadi akut, sub akut, dan kronis. Perdarahan
akut karena trauma kepala yang hebat. Perdarahan sub akut terjadi setelah 1-15
hari trauma. Perdarahan kronik dapat terjadi pada anak-anak dan usila

d. Cedera otak, dapat berupa komotio, yaitu;hilangnya kesadaran untuk


sementara waktu tanpa kerusakan organ. Kontusio(memar otak);
hialngnya kesadaran sebagai akibat kerusakan yang jelas pada jaringan
otak, berupa edema, dan peningkatan tekanan intracranial

2.5 Klasifikasi Cedera Otak

1.Trauma kepala juga dapat di kategorikan menurut keadaan pasca trauma :

a. Tertutup

Merupakan hasil dari trauma accelerasi/decelerasi. Trauma ini


melibatkan struktur dalam kepala seperti substansi otak, CSF dan seluruh
pembuluh darah. Selama proses akselerasi / deselerasi akan menimbulkan
kerusakan di beberapa tempat. Saat terjadi benturan. Saat terjadi benturan otak
bergerak, hal ini dapat menyebabkan adanya luka pada jaringan otak, kerusakan
pembuluh darah dan syaraf yang kemungkinan akan terjadi perputaran otak.
Trauma kepala tertutup ini bisa menyebabkan:

1) Confusion dengan karakteristik hilang kesadaran yang terjadi dalam


waktu singkat.

Page 10
2) Confusion yang bisa beraikbat pada memar pada jaringan otak.

3) Laserasi dapat terjadi pada pembuluh darah dan akan memicu untuk
terjadinya terdarahan sekunder

b. Terbuka

Keadaan ini terjadi apabila kepala berbenturan dengan benda tajam


seperti pisau, peluru sehingga luka menghubungkan antara udara luar dengan
isi rongga kepala. Kerusakan yang terjadi tergantung pada kecepatan objek
yang menembus tulang tengkorak dan lokasi otak yang terkena objek. Jika
kecepatan objek tinggi makan akan menghasilkan tenaga perusak yang lebih
besar dan akan berakibat.

2. Klasifikasi cidera kepala berdasarkan Glascow coma scale ( GCS)

Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif


kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera kepala:

a. Cedera Kepala Ringan (CKR)

GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari
30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak,
tidak ada kontusio cerebral maupun hematoman.

b. Cedera Kepala Sedang ( CKS)

GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30


menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.

c. Cedera Kepala Berat (CKB)

GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau
terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi
atau hematoma intracranial.

Page 11
3. Klasifikasi cidera kepala berdasarkan morfologi pencitraan atau radiologi

Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi menurut (Sadewa,


2011) maka cedera kepala difus dikelompokkan menjadi :

a. Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI --- Difus axonal injury
adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti
permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun
serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi)
dan serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer
(komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih
disebabkan karena gaya rotasi antara initi profunda dengan inti
permukaan .

b. Kontsuio cerebri --- Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal


otak yang disebabkan karena efek gaya akselerasi dan deselerasi.
Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri adalah
adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan
besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang
terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak.
Lokasi kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim
otak yang berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai
kepala.

c. Edema cerebri --- Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler


akibat trauma kepala. Pada edema cerebri tidak tampak adanya
kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada
daerah yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih disebabkan
karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan
hipovolemik.

d. Iskemia cerebri --- Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke
bagian otak berkurang atau terhenti. Kejadian iskemia cerebri

Page 12
berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena penyakit
degeneratif pembuluh darah otak.

Trauma Kepala

Kulit Kepala Tulang Kepala Jaringan Otak

Hematoma pada kulit Fraktur Linear Komusio


Fraktur Communited Hematoma
Fraktur Depressed Edema
Fraktur Basis Kontusio

Cedera Otak
1.Tik meningkat Gangguan Kesadaran
Gangguan TTV
Cedera otak primer Kelainan Neurologis
Ringan Respons fisiologis otak
Sedang
Berat
Cedera otak sekunder Hipoksemia Serebral

Kerusakan sel otak Kelainan Metabolisme

Gangguan autoregulasi Rangsangan simpatis Stress Lokalis

Aliran darah ke otak Tahanan vaskuler sistemik Katekolamin


Sekresi Asam Lambung
Gangguan Metabolisme Tek.pemb.darah pulmonal
Mual, Muntah
Produksi Asam Laktat Tekanan Hidrostatik
2.6 Patofisiologi
5. Intake Nutrisi Tidak
Edema Otak Kebocoran cairan kapiler Adekuat

2. Gangguan Perfusi Edema paru


Jaringan Serebral 4.Gangguan Perfusi
Curah jantung menurun Jaringan

Page 13
Difusi terhambat

3.Gangguan pola napas Hipoksemia, Hiperkapnea


2.7 Manifestasi klinis

Gejala-gejala yang muncul pada cedera lokal bergantung pada jumlah


dan distribusi cedera otak. Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya
menunjukan adanya fraktur.

Page 14
Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur, dan
karena alasan ini diagnosis akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan
dengan sinar-x.

Fraktur dasar tengkorak cederung melintasi sinus paranasal pada tukang


frontal atau lokasi tulang telinga di tulang temporal, juga sering menimbulkan
hemoragi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat dari konjungtiva.
Suatu area ekimosis atau memar, mungkin terlihat diatas mastoid (tanda
battle). Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CCS keluar dari telinga
(rinorea serebrospinal). Keluarnya cairan serebrospinal merupakan masalah
serius karena dapat menyebabkan infeksi seperti meningitis, jika organisme
masuk kedalam isi kranial melalui hidung, telinga atau sinus melalui robekkan
pada dura. Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh cairan spinal berdarah.

2.8 Komplikasi

Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematom


intracranial, edema serebral progresif, dan herniasi otak. (Brunner & Suddarth,
2002 : hal. 2215)
a. Edema serebral dimana terjadi peningkatan tekanan intrakranial karena
ketidaknmampuan tengkorak utuh untuk membesar meskipun peningkatan
volume oleh pembengkakan otak diakibatkan dari trauma.
b. Herniasi otak adalah perubahan posisi ke bawah atau lateral otak melalui
atau terhadap struktur kaku yang terjadi menimbulkan iskemia, infark,
kerusakan otak ireversibel, dan kematian.
c. Defisit neurologik dan psikologik
d. Infeksi sistemik (pneumoni, infeksi saluran kemih, septicemia)
e. Infeksi bedah neuron (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis,
abses otak)
f. Osifikasi heterotopik (nyeri tulang pada sendi-sendi yang penunjang berat
badan)

Page 15
Menurut Arief Mansjoer (2000), komplikasi dari cedera kepala berat,
yaitu:

a. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya


leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera kepala tertutup.
b. Fistel karotis kavernosus ditandai dengan trias gejala: eksolftalmus, kemosis,
dan bruit orbita, dapat segera timbul atau beberapa hari setelah cedera.
c. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai
hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik.
d. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam), dini(minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).

Menurut Eka J. Wahjoepramono (2005 : 90) antara lain :


a. Cedera Otak Sekunder akibat hipoksia dan hipotensi
Hipoksia dapat terjadi akibat adanya trauma di daerah dada yang
terjadinya bersamaan dengan cedera kepala. Adanya obstruksi saluran nafas,
atelektasis, aspirasi, pneumotoraks, atau gangguan gerak pernafasan dapat
berdampak pasien mengalami kesulitan bernafas dan pada akhirnya mengalami
hipoksia.
b. Edema Serebral
Edema adalah tertimbunnya cairan yang berlebihan di dalam jaringan.
Edema serebral akan menyebabkan bertambah besarnya massa jaringan otak di
dalam rongga tulang tengkorak yang merupakan ruang tertutup. Kondisi ini
akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang
selanjutnya juga berakibat penurunan perfusi jaringan otak.

c. Peningkatan Tekanan Intra Kranial


Tekanan intrakranial dapat meningkat karena beberapa sebab, yaitu
pada perdarahan selaput otak (misalnya hematoma epidural dan subdural). Pada
perdarahan dalam jaringan otak (misalnya laserasi dan hematoma serebri), dan
dapat pula akibat terjadinya kelainan parenkim otak yaitu berupa edema serebri.

Page 16
d. Herniasi Jaringan Otak
Adanya penambahan volume dalam ruang tengkorak (misalnya karena
adanya hematoma) akan menyebabkan semakin meningkatnya tekanan
intrakranial. Sampai batas tertentu kenaikan ini akan dapat ditoleransi. Namun
bila tekanan semakin tinggi akhirnya tidak dapat diltoleransi lagi dan terjadilah
komplikasi berupa pergeseran dari struktur otak tertentu kearah celah-celah
yang ada.
e. Infeksi
Cedera kepala yang disertai dengan robeknya lapisan kulit akan
memiliki resiko terjadinya infeksi, sebagaimana pelukaan di daerah tubuh
lainnya. Infeksi yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya Meningitis,
Ensefalitis, Empyema subdural, Osteomilietis tulang tengkorak, bahkan abses
otak.
f. Hidrisefalus
Hidrosefalus merupakan salah satu komplikasi cedera kepala yang
cukup sering terjadi, khususnya bila cedera kepala cukup berat.

Menurut (Tarwoto&Wartonah, 2007, hal 129) diantaranya :


1. Deficit neurologi fokal,
2. Kejang,
3. Pneumonia,
4. Perdarahan gastrointestinal,
5. Disritmia jantung,
6. Syndrome of inappropriate secretion of antideuretic hormone ( SIADH),
7. Hidrosefalus
8. Kerusakan control respirasi,
9. Inkontinensia bladder dan bowel
Adapun komplikasi pada klien cedera otak juga akan mengalami
kemunduran pada kondisi klien, yang diakibatkan dari perluasan hematoma
intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak. Komplikasi dari cedera
kepala adalah:

Page 17
1. Peningkatan TIK
Lebih dari separuh kematian karena trauma kepala disebabkan oleh
hipertensi intrakranial. Kenaikan tekanan intrakranial (TIK) dihubungkan
dengan penurunan tekanan perfusi dan aliran darah serebral (CBF) dibawah
tingkat kritis (60 mmHg) yang berakibat kerusakan otak iskemik.
Pengendalian TIK yang berhasil mampu meningkatkan outcome yang
signifikan. Telah dikembangkan pemantauan TIK tapi belum ditemukan metode
yang lebih akurat dan non invasive.
Pemantauan TIK yang berkesinambungan bisa menunjukkan indikasi
yang tepat untuk mulai terapi dan mengefektifkan terapi, serta menentukan
prognosis.
TIK yang normal: 5-15 mmHg
TIK Ringan : 15 – 25 mmHg
TIK sedang : 25-40 mmHg
TIK berat : > 40 mmHg
Sebagian besar CSF diproduksi oleh pleksus choroidalis dari
ventrikulus lateralis, sisanya dihasilkan oleh jaringan otak kemudian dialirkan
langsung ke rongga sub arachnoid untuk diabsorpsi lewat vili arachnoid di
sagitalis.
Pengikatan / penghilangan pleksus choroidalis akan menurunkan CSF
60%. Produksi CSF 0,3 – 0,5 cc/menit (450-500 cc/hari). Karena hanya ada
volume 150cc CSF di otak dewasa, jadi ada 3 kali penggantian CSF selama
sehari. Produksi CSF bersifat konstan dan tidak tergantung tekanan. Variasi
pada TIK tidak mempengaruhi laju produksi CSF.
Absorpsi CSF secara langsung dipengaruhi oleh kenaikan TIK. Tempat
utama penyerapan CSF, vili arachnoidalis (merupakan suatu katub yang diatur
oleh tekanan). Bila fungsi katub rusak / jika tekanan sinus vena meningkat,
maka absorpsi CSF menurun, maka terjadilah peningkatan CSF. Obstruksi
terutama terjadi di aquaductus Sylvii dan cisterna basalis. Kalau aliran CSF
tersumbat mengakibatkan hidrocephalus tipe obstruktif.
2. Iskemia

Page 18
Iskemia adalah simtoma berkurangnya aliran darah yang dapat
menyebabkan perubahan fungsional pada sel normal.
Otak merupakan jaringan yang paling peka terhadap iskemia hingga
episode iskemik yang sangat singkat pada neuron akan menginduksi
serangkaian lintasan metabolisme yang berakhir dengan apoptosis. Iskemia
otak diklasifikasikan menjadi dua subtipe yaitu iskemia global dan fokal. Pada
iskemia global, setidaknya dua, atau empat pembuluh cervical mengalami
gangguan sirkulasi darah yang segera pulih beberapa saat kemudian. Pada
iskemia fokal, sirkulasi darah pada pembuluh nadi otak tengah umumnya
terhambat oleh gumpalan trombus sehingga memungkinkan terjadi reperfusi.
Simtoma terhambatnya sirkulasi darah oleh gumpalan trombus disebut
vascular occlusion.(Wikipedia.org)
3. Perdarahan otak
- Epidural hematom:
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater
akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang
terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena
itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari.
Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.
Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah,
hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian
dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.
- Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi
akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena
yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit.
Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat
terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri,
berfikir lambat, kejang dan edema pupil.
- Perdarahan intraserebral

Page 19
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri,
kapiler, vena.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi
pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
- Perdarahan subarachnoid:
Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh
darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese,
dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.(Smeltzer, 2001; Tucker, 1998)
4. Kejang pasca trauma.
Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di
awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7
hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural,
epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10.
5. Demam dan mengigil :
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism dan
memperburuk “outcome”. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek
sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muscular paralisis.
Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.
6. Hidrosefalus:
Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non
komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala
dengan obstruksi, Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat
penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan
muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia, ataksia, gangguan miksi.

7. Spastisitas :
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada
kecepatan gerakan. Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk
ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan ditujukan pada :

Page 20
Pembatasan fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan kontraktur, Bantuan dalam
posisioning.
Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder
dengan splinting, casting, farmakologi: dantrolen, baklofen, tizanidin,
botulinum, benzodiasepin
8. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal
dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi
juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi
sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan
antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodisepin
dan terapi modifikasi lingkungan.
9. Mood, tingkah laku dan kognitif
Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding
gangguan fisik setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons
Ford,menunjukkan 2 tahun setelah cedera kepala masih terdapat gangguan
kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk problem daya ingat pada 74 %,
gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan kecepatan berpikir 67%.
Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%.
Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting untuk
perbaikan gangguan kognitif. Methyl phenidate sering digunakan pada pasien
dengan problem gangguan perhatian, inisiasi dan hipoarousal (Whyte).
Dopamine, amantadinae dilaporkan dapat memperbaiki fungsi perhatian dan
fungsi luhur. Donepezil dapat memperbaiki daya ingat dan tingkah laku dalam
12 minggu. Depresi mayor dan minor ditemukan 40-50%. Faktor resiko depresi
pasca cedera kepala adalah wanita, beratnya cedera kepala, pre morbid dan
gangguan tingkah laku dapat membaik dengan antidepresan.
10. Sindroma post kontusio
Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala
80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun
pertama:

Page 21
Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah
lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya.kognitif: perhatian, konsentrasi,
memori.Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.
2.10 Prognosis

Hasil penanganan cedera kepala traumatik berat sangat terkait dengan


skor GCS awal, ukuran dan reaktivitas pupil, usia, TIK (tekanan >20 mmHg
atau ketidakmampuan menurunkan TIK yang meningkat), massa intracranial,
hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg), dan saturasi O 2 vena jugularis
<50%.

Fasilitas rehabilitasi cedera kepala sangat berpengaruh dalam hasil


penanganan pasien. Segera setelah pasien stabil secara medis dan neurologis,
sebaiknya segera dirujuk ke pusat rehabilitasi.

Mortalitas pasien dengan peningkatan tekanan Intrakranial > 20 mmHg


selama perawatan mencapai 47%, sedangkan TIK di bawah 20 mmhg
kematiannya 39%. Tujuh belas persen pasien sakit cedera kepala berat
mengalami gangguan kejang-kejang dalam dua tahun pertama post trauma.
Lamanya koma berhubungan signifikan dengan pemulihan amnesia.

Pemeriksaan penunjang preditor prognosis cedera kepala:

Skor GCS: Penurunan kesadaran pada saat kejadian, penurunan


kesadaran < 30 menit, penurunan kesadaran setelah 30 menit, amnesia < 24
jam.

William, 2001 meneliti 215 cedera kepala : pasien-pasien cedera kepala


sedang dengan komplikasi (CT Scan +) terdapat gangguan fungsi neuropsikiatri
setelah 6 bulan. Rontgen tulang tidak direkomendasikan untuk evaluasi cedera
kepala ringan dan sedang dan sensitifitasnya rendah terhadap adanya lesi
intrakranial.

Page 22
Faktor-faktor yang dapat menjadikan ”Predictor outcome” cedera
kepala adalah: lamanya koma, durasi amnesia post trauma, area kerusakan
cedera pada otak mekanisme cedera dan umur.

Pengukuran outcome:

Beberapa pengukuran outcome setelah cedera kepala yang sering


digunakan antara lain:

Glasgow Outcome Scale (GOS) :

Terdiri 5 kategori, meninggal, status vegetative, kecacatan yang berat,


kecacaatan sedang (dapat hidup mandiri tetapi tidak dapat kembali ke sekolah
dan pekerjaannya), kembali pulih sempurna (dapat kembali bekerja/sekolah).

Dissabily Rating Scale (DRS)

Merupakan skala tunggal untuk melihat progress perbaikan dari koma


sampai ke kembali ke lingkungannya. Terdiri dari 8 kategori termasuk
komponen kesadaran (GCS), kecacatan (activity of daily living, handicap
dalam bekerja).

Fungsional Independent Measure (FIM)

Banyak digunakan untuk rehabilitasi terdiri dari 18 items skala yang


digunakan untuk mengevalusi tingkat kemandirian mobilitas, perawatan diri,
kognitif.

Beberapa pendekatan farmakologi yang digunakan banyak yang tidak


efektif. Strategi terapi masa yang akan datang lebih ditujukan pada fase
hipoperfusi awal antara lain: induksi hipertensi arterial, terapi farmakologi yang
dapat memperbaiki peningkatan resistensi mikrosirkulasi dan terapi hipotermi
yang dapat memproteksi neuron akibat iskemik.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA OTAK

Page 23
3.1 PENGKAJIAN
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun obyektif pada gangguan
system persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk,
lokasi, jenis injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian
keperawtan cedera kepala anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.

Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia
muda), jenis kelamin (banyak laki-laki, karena sering ngebut-ngebutan dengan
motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, diagnosis medis.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta
pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala
disertai penurunan tingkat kesadaran.

Riwayat Penyakit Sekarang


Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan
lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung ke kepala. Pengkajian
yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS < 15), konvulsi,
muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka dikepala,
paralisis, akumulasi sekret pada saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung
dan telinga, serta kejang. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat
kesadaran dihubungkan dengan perubahan didalam intracranial. Keluhan
perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat
terjadi letargi, tidak responsif, dan koma.

Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien (bila
klien tidak sadar), tentang penggunaan obat-obatan adiktif dan penggunaan
alkohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut-ngebutan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Page 24
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi,
riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia,
penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif,
konsumsi alcohol berlebihan.
Riwayat Penyakit Keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi
dan diabetes mellitus.
Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian maknisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan
akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra
diri).
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami
kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan
konsep diri didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah
marah, dan tidak kooperatif.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini
memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan
pengobatan memerlukan daan yang tidak sedikit. Cedera kepala memerlukan
biaya untuk pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan dapat mengacaukan
kuangan keluarga sehingga factor biaya ini dapat memengaruhi stabilitas emosi
dan pikiran klien dan keluarga. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap
fumgsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada
gaya hidup individu. Perspektif perawatan dalam mengkaji terdiri atas dua
masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurologis dalam
hubunganya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan

Page 25
mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam sistem dukungan
individu.

Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan
fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.

Keadaan umum

Pada keadaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran


(cedera kepala ringan/cedera otak ringan GCS 13-15, cedera kepala sedang
GCS 9-12, cedera kepala berat/cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama
dengan 8) dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.

B1 (BREATHING)
Perubahan pada sistem pernapasan tergantung pada gradasi dari
perubahan jaringan selebral akibat trauma kepala. Pada beberapa keadaan hasil
dari pemeriksaan fisik dari sistem ini akan didapatkan : Inspeksi, didapatkan
klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu
napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Terdapat retraksi klavikula/dada,
pengembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada : dinilai penuh/tidak penuh
dan kesimerisanya. Ketidaksimetrisan mungkin menunjukkan adanya
atelektasis, lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga,
pneumothoraks, atau penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang
kurang tepat. Pada observasi ekspansi dada juga perlu di nilai : retraksi dari
otot-otot interkostal, substernal, pernapasan abdomen, dan respirasi paradoks
(retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot
interkostal tidak mampu menggerakkan dinding dada.

Page 26
Palpasi, fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.
Perkusi, adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan
trauma pada thoraks atau hematothoraks.
Auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor,
ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi secret, dan kemampuan batuk
yang menurun sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan penurunan
tingkat kesadaran koma.
Pada klien cedera otak berat dan sudah terjadi disfungsi pusat
pernapasan, klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan biasanya klien
dirawat di ruang perawatan intensif sampai kondisi klien menjadi stabil.
Pengkajian klien cedera otak berat dengan pemasangan ventilator secara
komprehensif merupakan jalur keperawatan kritis.

Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis pada pengkajian


inspeksi pernapasan tidak ada kelainan. Palpasi thoraks didapatkan taktil
premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas
tambahan. TIK meningkat

Hipoksemia,Hiperkapnia Rangsang simpatis

Peningkatan hambatan difusi Me tahanan vaskular


- sistemik dan tekanan darah

Sistem pembuluh darah


Edema paru
pelmonal tekanan darah

Meningkatkan tekanan
hidrostatik
B2 (Blood)

Page 27
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok)
hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala pada beberapa
keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi,
takikardi, dan aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan
homeostasis tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer.
Nadi brakikardi merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit
terliht pucat menandakan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah.
Hipotensi merupakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda awal
dari suatu syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala akan
merangsang pelepasan antideuretik hormon (ADH) yang berdampak pada
kompensasi tubuh untuk melakukan retensi atau pengeluaran garam dan air
oleh tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan konsentrasi elektrolit
meningkat sehingga memberikan resiko terjadinya gangguan keseimbangan
cairan Trauma kepala dan
elektrolit ↓ pada
sistem ADH dilepas

Retensi Na dan air

Output urine menurun

Konsentrasi elektrolit meningkat

Resiko gangguan keseimbangan dan elektrolit
kardiovaskular.

B3 (Brain)

Page 28
Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama
disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya
perdarahan baik versifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan
epidural hematoma. Pengkajian B3 (brain) merupakan pemeriksaan fokus dan
lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.

Tingkat kesadaran

Tingkat kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan adalah


indikator paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persyarafan. Beberapa
sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
kesadaran. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya
berkisar pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa, sampai koma.

Kapasitas, memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi


mungkin rusak. Disfungsi ini dapat di tunjukan dalam lapang perhatian
terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang
menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi
mereka. Masalah psikologis lain juga umum terjadi dan di manifestasikan oleh
labilitas emosional, bermusuhan, frustasi, demam, dan kurang kerja sama.

Hemisfer : cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemisfer sebelah


kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral
sehingga kemungkinan terjatu ke sisi yang berlawanan tersebut. Cedera kepala
pada hemisfer kiri, mengalami hemiparase kanan, perilaku lambat dan sangat
hati-hati, kelainan bidang pandag sebelah kanan, disfagia global, afasia, dan
mudah frustasi.

Pemeriksaan saraf kranial


Saraf I. Pada beberapa keadaan cedera kepala di daerah yang merusak
anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan pada fungsi
penciuman/anosmia unilateral atau bilateral.
Saraf II. Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan
menurunkan lapangan pengelihatan dan mengganggu fungsi dari nervus

Page 29
optikus. Perdarahan di ruang intrakranial, terutama hemoragia subarakhnoidal,
dapat disertai dengan perdarahan retina. Anomali pembuluh darah didalam otak
dapat bermanifestasi juga di fundus. Tetapi dari segala macam kelainan di
dalam ruang intrakranial, tekanan intrakranial dapat di cerminkan pada fundus.
Saraf III, IV, dan VI. Gangguan mengangkat kelopak mata terutama
pada klien dengan trauma yang merusak rongga orbital. Pada kasus-kasus
trauma kepala dapat di jumpai anisokoria. Gejala ini harus dianggap sebagai
tanda serius jika midriasis itu tidak bereaksi pada penyinaran. Tanda awal
herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi pada penyinaran.
Paralisis otot-otot okular akan menyusul pada tahap berikutnya. Jika pada
trauma kepala terdapat anisokoria di mana bukannya midriasis yang di
temukan, melainkan miosis yang bergandengan dengan pupil yang normal pada
sisi yang lain, maka pupil yang miosislah yang abnormal. Miosis ini di
sebabkan oleh lesi di lobus frontalis ipsilateral yang mengelola pusat
siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat siliospinal menjadi tidak aktif,
sehingga pupil tidak berdilatasi melainkan berkonstriksi.
Saraf V. pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis
nervus trigeminus, di dapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan
mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan mengalami perubahan.
Saraf VIII. Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala
ringan biasanya tidak di dapatkan apabila trauma yang terjadi tidak melibatkan
saraf vestibulokoklearis.
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran
membuka mulut.
Saraf XI. Biala tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien
cukup baik dan tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus.
Saraf XII. Indra pengecapan mengalami perubahan.

Sistem motorik
 Inspeksi umum, didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi)
karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis (kelemahan salah satu
sisi tubuh) adalah tanda yang lain.
 Tonus otot, didapatkan menurun sampai hilang.

Page 30
 Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan grade kekuatan
otot didapatkan grade 0.
 Keseimbangan dan koordinasi, didapatkan mengalami gangguan karena
hemiparase dan hemiplegia.
Pemeriksaan refleks
 Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periosteum derajat refleks pada respons normal.
 Pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks fisiologis sisi yang
lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul
kembali di dahului dengan refleks patologis.
Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestasi. Persepsi adalah ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras
sensorik primer diantara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual
spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering
terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.
Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa kerusakan
sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan propreosepsi
(kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta keulitan
dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan audiotirus.

B4 (bladder)
kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karakteristik, termasuk
berat jenis. Penurunan jumlah urine dan peingkatan retensi cairan dapat terjadi
akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera kepala klien mungkin
mengalami inkontenensia urine karena konfusi, ketidakmamppuan
mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mnggunakan
urinal karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang-kadang kontrol
sfinger urinarius eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan
kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.

B5 (bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nanfsu makan menurun,
mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan dengan

Page 31
peningkaktan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
penurunan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan
peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menurunkan
kerusakan neurologis luas.
Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya
lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukan adanya dehidrasi.
Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau tidaknyadan kualitas bising
usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus menurun
atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan observasi
bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat
tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal.

Akibat trauma terhadap sistem metabolis


Trauma

Tubuh perlu energi untuk perbaikan

Nutrisi berkurang

Penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen
utama

Hilang nitrogen ↑

Kelelahan/kelemahan fisik

Gambar. Mekanisme perubahan yang terjadi pada klien trauma


memberikan manifestasi pada perubahan status nutrisi tubuh dan kelemahan
fisik secara umum dampak dari trauma kepala.

B6 (Bone)

Page 32
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh
ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembaban dan turgor kulit. Adanya
perubahan warna kulit, warna kerbiruan menunjukan adanya sianosis. Pucat
pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar
hameoglobin atau syok. Pucat pada klien dan sianosis yang menggunakan
ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia. Jaundice (warna kuning)
pada klien yang menggunakan respirator dapat terjadi akibat penuruna aliran
darah portal akibat yang menggunakan respirator hipoksemia. Jaundice (warna
kuning) pada klien yang menggunakan respirator dapat terjadi akibat adanya
penurunan aliran darah portal akibat dari penggunaan packed red cells (PRC)
dalam jangka waktu lama. Pada klien dengan kulit gelap, perubahan warna
tersebut tidak begitu jelas terlihat. Warna kemerahan pada kulit dapat
menunjukan adanya demam dan infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya
lesi dan dekubitus. Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensorik atau paralisis/hemiplegia, mudah lelah menyebabkan
masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera
kepala meliputi :
1. CT scan (dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak.
2. MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral angiography
Menunjukan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
4. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5. Sinar-X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
8. CSS

Page 33
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarakhnoid.
9. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai penekanan
intrakranial.
10. Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh otot yang dapat menyebabkan penurunan
kesadaran.
11. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
12. Toraksentesis menyatakan darah/cairan
13. Analisa gas darah (AGD/astrup)
Analisa gas darah (AGD/astrup) adalah salah satu tes diagnostik untuk
menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan
melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam.

Penatalaksanaan medis

Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain faktor


mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circullation) dan menilai
status neurologis, maka faktor yang harus diperhitungkan pula adalah
mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan
pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma
relatif memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.

Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intrakranial yang


meninggi disbabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan
tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intrakranial ini dapat
dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang
mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolisme serebral.
Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakni dengan intubasi
endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat intermittent iatrogenic paralisis.
Intubasi dilakukan sedini mungkin kepada klien-klien yang koma untuk
mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang
teratur dapat mencegah peningkatan tekanan intrakranial.

Page 34
Penatalaksanaan konservatif meliputi:

1. Bedrest total
2. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
3. Pemberian obat-obatan
 Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti-edema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringannnya trauma
 Terapi hiperventilasi (trauma kepaa berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
 Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%
atau glukosa 40%, atau gliserol 10%.
 Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin) atau
untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
4. Makana atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak
dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5%, aminofsufin,
aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari
kemudian diberikan makanan lunak.

Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat klien


mengalami penurunan kesadaran cenderung terjadi retensi natrium dan
elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa
5% 8 jam pertama, ringer dextrosa8 jam kedua, dan dextrosa 5% 8 jam ketiga.
Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka makanan diberikan melalui
nasogastric tube (2500-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai
urenitrogennya

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Risiko tinggi peningkatan tekanan intracranial yang berhubungan dengan
desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya pendarahan
baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural
hematoma.
2. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada
pusat pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru
yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan, dan perubahan
perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventilator.

Page 35
3. Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan
metabolism.
4. Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan terpasangnya
endotracheal/tracheostomy tube dan paralisis/kelemahan neuromuscular.

3.3 INTERVENSI KEPERAWATAN

Risiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak


ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik
bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.

Tujuan : dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada
klien.
Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala,
mual-mual dan muntah, GCS : 4,5,6, tidak terdapat pepiledema. TTV dalam
batas normal.

Intervensi Rasionalisasi

Mandiri Deteksi dini untuk


Kaji factor penyebab dari
memprioritaskan intervensi,
situasi/keadaan individu/penyebab
mengkaji status neurologis/tanda-
koma/penurunan perfusi jaringan dan
tanda kegagalan untuk menentukan
kemungkinan penyebab peningkatan
perawatan kegawatan atau tindakan
TIK
pembedahan.

Memonitor tanda-tanda vital Suatu keadaan normal bila


tiap 4 jam. sirkulasi serebral terpelihara
dengan baik atau fluktuasi ditandai
dengan tekanan darah sistemik,
penurunan dari autoregulator
kebanyakan merupakan tanda
penurunan difusi local vaskularisasi
darah serebral. Dengan peningkatan
tekanan darah (diastolik) maka

Page 36
dibarengi dengan peningkatan
tekanan darah intracranial. Adanya
peningkatan tekanan darah,
bradikardi, distrimia, dispnea
merupakan tanda terjadinya
peningkatan TIK

Evaluasi pupil, amati ukuran, Reaksi pupil dan


ketajaman, dan reaksi terhadap cahaya. pergerakan kembali dari bola mata
merupkan tanda dari gangguan
nervus/saraf jika batang otak
terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh
saraf III cranial (okulomotorik)
yang menunjukan keutuhan batang
otak, ukuran pupil menunjukan
keseimbangan antara parasimpatis
dan simpatis. Respons terhadap
cahaya merupakan kombinasi
fungsi dari saraf cranial II dan III.

Monitor temperature dan Panas merupakan refleks


pengaturan suhu lingkungan. dari hipotalamus. Peningkatan
kebutuhan metabolisme dan O2
akan menunjang peningkatan
TIK/ICP (Intracranial Pressure).

Pertahankan kepala/leher pada Perubahan kepala pada


posisi yang netral, usahakan dengan satu sisi dapat menimbulkan
sedikit bantal. Hindari penggunaan penekanan pada vena jugularis dan
bantal yang tinggi pada kepala. menghambat aliran darah otak
(menghambat drainase pada vena
serebral), untuk itu dapat
meningkatkan tekanan intracranial.

Page 37
Berikan periode istirahat antara Tindakan yang terus-
tindakan perawatan dan batasi lamanya menerus dapat meningkatkan TIK
prosedur. oleh efek rangsangan kumulatif.

Ketidakefektifannya pola pernapasan yang berhubungan dengan


depresi pusat pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru
yang tidak maksimal karena trauma, dan perubahan perbandingan O2 dengan
CO2 kegagalan ventilator.

Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam setelah intervensi adanya


peningkatan, pola napas kembali efektif.

Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif,


mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-
faktor penyebab.

Intervensi Rasionalisasi

Berikan posisi yang Meningkatkan inspirasi maksiamal,


nyaman, biasanya dengan meningkatkan ekspansi paru dann ventilasi
peninggian kepala tidur tidur. pada posisi yang tidak sakit.
Balok ke sisi yang sakit. Dorong
klien untuk duduk sebanyak
mungkin.

Observasi fungsi Distress pernapasan dan perubahan


pernapasan, catat frekuensi pada tanada vital dapat terjadi akibat stress
pernapasan, dispnea, atau fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan
perubahan tanda-tanda vital. terjadinya syok sehubungan dengan
hipoksia.

Jelaskan pada klien Pengetahuan apa yang diharapkan


bahwa tindakan tersebut dapat mengurangi ansietas dan
dilakukan untuk menjamin mengembangkan kepatuhan klien terhadap
keamanan. rencana terapeutik.

Jelaskan pada klien Pengetahuan apa yang diharapkan

Page 38
tentang etiologi/factor pencetus dapat mengembangkan kepatuhan klien
adanya sesak atau kolaps paru- terhadap rancana terapeutik.
paru.

Pertahankan perilaku Membantu klien mengalami efek


tenang, bantu klien untuk fisiologi hipoksia, yang dapat
kontrol diri, dengan dimanifestasikan sebagai
menggunakan pernapasan lebih ketakutan/ansietas.
lambat dan dalam.

Periksalah alarm pada Ventilator yang memilki alarm


ventilator sebelum difungsikan. yang bisa dilihat dan didengar misalnya
Jangan mematikan alarm. alarm kadar oksigen, tinggi/rendahnya
tekanan oksigen.

Taruhlah kantung Kantung resusitasi/manual


resusitasi disamping tempat ventilasi sangat berguna untuk
tidur dan manual ventilasi untuk mempertahankan fungsi pernapasan jika
sewaktu-waktu dapat digunakan. terjadi gangguan pada alat ventilator secara
mendadak.

Bantulah klien untuk Melatih klien untuk mengatur


mengontrol pernapasan jika napas seperti napas dalam, napas pelan,
ventilator tiba-tiba berhenti. napas perut, pengaturan posisi, dan teknik
relaksasi dapat membantuk
memaksimalkan fungsi daari sistem
pernapasan.

Perhatikan letak dan Memerhatikan letak dan fungsi


fungsi ventilator secara rutin. ventilator sebagai kesiapan perawat dalam
Pengecekan konsentrasi oksigen, memberikan tindakan pada penyakit primer
memeriksa tekanan oksigen setelah menilai hasil disgnostik dan
dalam tabung, monitor menyediakan sebagai cadangan.
manometer untuk menganalisis
batas/kadar oksigen.

Page 39
Mengkaji tidal volume
(10-15 ml/kg). Periksa fungsi
spirometer.

Kolaborasi dengan tim Kolaborasi dengan tim kesehatan


kesehatan lain : Dengan dokter, lain untuk mengevaluasi perbaikan kondisi
radiologi, dan fisioterapi. klien atas pengembangan parunya.

 Pemberian
antibiotik.
 Pemberian
analgesik.
 Fisioterapi dada.
 Konsul foto
thoraks.

Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan terpasangnya


endotracheal/ tracheostomy tube dan paralisis/ kelemahan neuromuskular.
Tujuan : Dalam waktu 2 x 24 jam terjadi perilaku dalam menerapkan
komunikasi efektif.
Kiteria : Membuat teknik/metode komunikasi yang dapat dimengerti sesuai
kebutuhan.
Intervensi Rasionalisasi
Mandiri
Kaji kemampuan klien untuk Berbagia macam alasan untuk
berkomunikasi menunjang selama pemasangan
ventilator sangat bervariasi seperti
klien dapat member isyarat dan
menggunakan tulisan (misalnya klien
COPD dengan kemampuan yang
kurang) atau kelemahan, comatose,
atau paralisis. Komunikasi dengan
klien ini bersifat individual.
Menentukan cara-cara komunikasi Mempertahankan kontak mata akan

Page 40
seperti mepertahankan kontak membuat klien interest selama
mata, pertanyan dengan jawaban ya komunikasi. Jika klien dapat
atau tidak, menggunakan kertas dan menggerakkan kepala, mengedipkan
pensil/bolpoin, gambar, atau papan mata, atau senang dengan isyarat-
tulis: bahasa isyarat, perjelas arti isyarat sederhana, lebih baik dengan
dari komunikasi yang disapaikan. menggunakan pertanyaan ya/tidak
Kemampuan menulis kadang- kadang
melelahkan klien, selain itu dapat
mengakibatkan frustasi dalam upaya
memenuhi kebutuhan komunikasi.
Keluarga dapat bekerja sama untuk
membantu memenuhi kebutuhan klien.
Pertimbangkan bentuk komunikasi Kateter intravena yang terpasang di
bila terpasang kateter intravena. tangan akan mengurangi kebebasan
menulis/memberi isyarat.
Letakkan bel/lampu panggilan di Ketergantungan klien pada ventilator
tempat yang mudah dijangkau dan akan lebih baik dan rileks, perasaan
berikan penjelasan cara aman, dan mengerti bahwa selama
menggunakannya. Jawab panggilan menggunakan ventilator, perawat akan
tersebut dengan segera. Penuhi memenuhi segala kebutuhannya.
kebutuhan klien. Katakana kepeda
klien bahwa perawat siapmembantu
jika dibutuhkan.
Buatlah catatan di kantor Mengingatkan staf perawat untuk
perawatan tentang keadaan klien berespons dengan klien selama
yang tak dapat berbicara. memberikan perawatan.
Anjurkan keluarga/orang lain yang Keluarga/SO dapat merasakan akrab
dekat dengan klien untuk berbicara dengan klien berada dekat klien selama
dengan klien, memberikan berbicara, dengan pengalaman ini
informasi tantang keluarganya, dan dapat membantu/memoertahankan
keadaan yang sedang terjadi. kotak nyata seperti merasakan
kehadiran anggota keluarga yang dapat

Page 41
mengurangi perasaan kaku/janggal.
Kalaborasi
Evaluasi kebutuhan komunikasi Klien dengan pengetahuan dan
(berbicara) selama memakai keterampilan yang adekuat memiliki
Tracheostomy tube kemampuan untuk menggerakkan
Tracheostomy tube bila berbicara.

Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan


perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan
metabolisme.

Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.

Kriteria hasil : mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh,


memperlihatkan kenaikan berat badan sesuai dengan hasil pemeriksaan
laboratorium.

Intervensi Rasionalisasi

Mandiri : Evaluasi kemampuan makan Klien dengan tracheostomy tube


klien. mungkin sulit untuk makan,
tetapi klien dengan endotracheal
tube dapat menggunakan mag
slang atau member makan
parenteral.

Observasi/timbang berat badan jika Tanda kehilangan berat badan (7-


memungkinkan. 10%) dan kekurangan intake
nutrisi menunjang terjadinya
masalah metabolisme, kandungan
glikogen dalam otot, dan
kepekaan terhadap pemasangan
ventilator.

Monitor keadaan otot yang menurun dan Menunjang indikasi kekurangan


kehilangan lemak subkutan. energy otot dan mengurangi

Page 42
fungsi otot-otot pernapasan.

Catat pemasukan per oral jikia Nafsu makan biasanya berkurang


diindikasikan. Anjurkan klien untuk dan nutrisi yang masuk pun
makan. berkurang. Menganjurkan klien
memilih makanan yang disenangi
dapat dimakan (bila sesuai
anjuran)

Berikan makanan kecil dan lunak. Mencegah terjadinya kelelahan,


memudahkan masuknya
makanan, dan mencegah
gangguan pada lambung.

Kajilah fungsi sistem Fungsi sistem gastrointestinal


gastrointestinalyang meliputi suara sangat penting untuk
bising usus, catat terjadi perubahan di memasukkan makanan. Ventilator
dalam lambung seperti mual, dapat menyebabkan kembung
muntah.observasi perubahan pergerakan pada lambung dan pendarahan
usus misalnya diare, konstipasi. lambung.

Anjurkan permberian cairan 2500 Mencegah terjadinya dehidrasi


cc/hari selama tidak terjadi gangguan akibat penggunaan ventilator
jantung. selama tidak sadar dan mencegah
terjadinya konstipasi.

Kolaborasi Diet tinggi kalori, protein,


karbohidrat, sangat diperlukan
Aturlah diet yang diberikan sesuai
selama pemasangan ventilator
keadaan klien.
untuk mempertahankan fungsi
otot-otot respirasi. Karbohidrat
dapat berkurang dan penggunaan
lemak meningkat untuk
mencegah terjadinya produksi
CO2 dan pengaturan sisa

Page 43
respirasi.

Lakukan pemeriksaan laboratorium yang Memberikan informasi yang tepat


diindikasikan seperti serum, transferin, tentang keadaan nutrisi yang
BUN/Creatine dan glukosa. dibutuhkan klien.

3.4 IMPLEMENTASI

Tindakan keperawatan (implementasi) adalah diskripsi untuk perilaku


yang diharapkan dari klien atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat
sesuai dengan apa yang direncanakan (Merilynn E. Doenges, 2000).
Implementasi pada klien Cedera Kepala sedang meliputi pencapaian perfusi
jaringan serebral adekuat, status nutrisi adekuat, pencegahan cedera, penigkatan
fungsi kognitif, koping keluarga efektif, peningkatan pengetahuan tentang
proses rehabilitasi dan pencegahan komplikasi (Merilynn E. Doenges, 2000).

3.5 EVALUASI

Hasil yang diharapkan

1. Mencapai atau mempertahankan bersihan jalan napas yang efektif, ventilasi,


dan oksigenasi otak

a. Tercapainya nilai gas darah normal dan bunyi napas bormal saat
diauskultasi.

b. Membersihkan dan membuang sekret.

2. Tercapainya keseimbangan cairan dan elektrolit yang memuaskan

a. Memperlihatkan elektrolit serum dalam nilai normal

b. Menunjukkan tanda klinis dehidrasi dan kelebihan dehidrasi

3. Mencapai status nutrisi yang adekuat

Page 44
a. Terdapat kurang dari 50 cc isi lambung saat aspirasi sebelum pemberian
makanan melalui selang lambung

b. Bebas dari distensi lambung dan murah

c. Memperlihatkan penurunan berat badan minimal

4. Menghindari cidera

a. Agitasi dan ketidakberdayaan berkurang

b. Dapat berorientasi terhadap waktu, tempat dan orang

5. Mempertahankan peningkatan fungsi kognitif dan meningkatkan memori

6. Anggota keluarga memperlihatkan mekanisme koping yang adaptif

a. Mempunyai hubungan dengan kelompok pendukung

b. Berbagi perasaan dengan tenaga pelayanan

7. Pasien dan anggota keluarga berpatisipasi dalam proses rehabilitasi sesuai


indikasi.

a. Melakukan peran aktif dengan identifikasi tujuan rehabilitasi dalam


berpartisipasi dalam menentukan aktivitas

b. Mempersiapkan keluarga untuk menerima pasien keluar dari rumah sakit

8. Tidak ada komplikasi

a. Mencapai TIK normal, tanda vital dan suhu tubuh normal dan
meningkatkan orientasi terhadap waktu, tempat dan orang

b. Menggambarkan hasrat untuk berespons terhadap tindakan menurunkan


TIK

Page 45
BAB 4

PENUTUP

1.1 KESIMPULAN

Beberapa rumah sakit ada yang memakai istilah cedera kepala dan cedera
otak sebagai suatu diagnosis medis untuk suatu trauma pada kepala, walaupun
secara harfiah kedua istilah tersebut sama karena memakai gradasi respon
Glasgow Coma Scale (GCS) sebagai tingkat gangguan yang terjadi akibat suatu
cedera di kepala.

Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan


akibat trauma yang mencederai kepala, maka perawat perlu mengenal
neuroanatomi, neurofisiologi, serta neuropatofisiologi dengan baik agar
kelainan dari masalah yang dikeluhkan atau kelainan dari pengkajian fisik yang
didapat bisa sekomprehensif mungkin ditanggapi perawat yang melakukan
asuhan pada klien dengan cedera kepala.

Page 46

Anda mungkin juga menyukai