PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan kasus yang sering ditemui di Instalasi Rawat
Darurat. Cedera kepala adalah salah satu penyebab kematian utama dikisaran usia
produktif. Secara global insiden cedera kepala meningkat dengan tajam terutama
karena peningkatan penggunaan kendaraan bermotor. Tahun 2020 diperkirakan
WHO bahwa kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab penyakit dan trauma
ketiga terbanyak di dunia. Cedera kepala atau Traumatic Brain Injury merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas setelah infark miokard di dunia. Setiap
tahunnya sekitar 50.000 orang meninggal akibat cedera kepala di Amerika Serikat.
Jumlah ini merupakan sepertiga dari total kematian akibat kejadian cedera.1
Di Amerika tiap tahunnya didapatkan 1.500.000 kasus cedera kepala,
sekitar 50.000 meninggal, dan 80.000 mengalami kecacatan. Saat ini terdapat
sekitar 5.300.000 warga Amerika yang mengalami cacat permanen karena kasus
cedera kepala. Di Indonesia sendiri angka kecelakaan lalu lintas masih cukup tinggi.
Pada tahun 2003 kasus cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas sebanyak 13.399
kejadian. Dari jumlah yang ada sebanyak 9.865 orang meninggal dunia, 6.142 orang
cedera berat dan 8.694 cedera ringan.2,3
Di Indonesia, berdasarkan data statistik yang dikutip dari Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan bahwa penderita cedera kepala yang
menjalani rawat inap terdiri dari penderita cedera kepala ringan (60%- 70%), cedera
kepala sedang (15%-20%), dan cedera kepala berat (sekitar 10%). Angka mortalitas
tinggi pada penderita cedera kepala berat dengan persentase 35%-50% dan cedera
kepala sedang 5%-10%. Dari data pasien cedera otak yang datang ke RSUD Dr.
Sutomo Surabaya sejak tahun Januari 2002 hingga Desember 2013, angka kematian
pada semua tingkat keparahan cedera kepala berkisar antara 6,171 % hingga 11,22
%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan standar literatur internasional, yaitu
berkisar antara 3-8 %. Berdasarkan tingkat keparahannya, mortalitas pasien cedera
otak berat masih tinggi, berkisar antara 25,13% hingga 37,14%, dengan
kecenderungan menurun. Angka ini relatif tinggi dibanding dengan literatur yaitu
22%. Angka operasi berkisar antara 18,87% sampai 25,27% dari seluruh pasien
cedera otak yang datang ke IRD RSUD Dr. Sutomo.5
Di RS Wahidin Sudirohusodo Makassar, data pada tahun 2006 sampai
2010 menunjukkan angka kematian 23% (29 orang dari 101 kasus) EDH yang
menjalani tindakan operasi. Hal ini masih jauh dari target mortalitas 0% pada EDH,
mengingat fasilitas dan penunjang serta kamar operasi tersedia untuk kasus bedah
saraf darurat.6
Pasien dengan cedera otak traumatis berat (TBI) memiliki risiko tinggi
mengalami hipernatremia. Hubungan antara hipernatremia dan TBI kompleks,
selama perawatan lama di ICU mereka tinggal, karena menimbulkan kondisi
predisposisi seperti gangguan sensorium, perubahan haus, diabetes insipidus sentral
(CDI) dengan poliuria. Selain itu, pasien ini sering menerima manitol atau larutan
saline hipertonik, dengan tujuan mengurangi edema serebral dan mengendalikan
tekanan intrakranial. Dalam pengaturan klinis ini, tidak diketahui, apakah
peningkatan serum natrium (Na) merupakan faktor risiko independen untuk
kematian atau hanya merupakan penanda keparahan penyakit. Sekitar 20% pasien
dengan perdarahan subaraknoid mengalami hipernatremia, suatu komplikasi yang
menyebabkan peningkatan risiko kematian. Di sisi lain, laporan kasus pasien baru-
baru ini dari neuro-ICU, hipernatremia terjadi hanya 8% dari mereka; Selain itu,
hanya kadar serum Na melebihi 160 mmol / l yang dikaitkan dengan peningkatan
mortalitas. Temuan yang bertentangan ini meninggalkan pertanyaan tentang
signifikansi klinis sebenarnya dari peningkatan moderat serum Na (misalnya, antara
145 dan 160 mmol / l) tidak terselesaikan.7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Cedera otak traumatik
Istilah cedera kepala (Head Injury), trauma kapitis adalah cedera yang
mengenai bukan hanya jaringan otak tetapi juga disertai cedera kulit kepala (scalp),
tulang tengkorak (atap dan dasar tengkorak), tulang-tulang wajah (maksila,
mandibula), saraf kranial spesial (penglihatan, penciuman, pendengaran). Tidak
semua jejas pada kepala menyebabkan cedera jaringan otak (misalnya luka sayat
sederhana pada kulit kepala), sebaliknya tidak harus ada jejas di kepala
menyebabkan cedera jaringan otak (misalnya jatuh terduduk dari ketinggian tanpa
ada perlukaan di kepala).8
Cedera otak primer akibat langsung dari kekuatan mekanik yang merusak
jaringan otak saat terjadinya cedera kepala (hancur, robekan, memar dan
perdarahan). Cedera otak primer menyebabkan kerusakan jaringan otak lokal, multi
fokal dan difus pada sel neuron, axon, glia dan pembuluh darah. Temuan radiologis
pada CT Scan otak yaitu perdarahan epidural, perdarahan subdural, perdarahan
intraserebral, bercak perdarahan (kontusio), cedera difus dan sebagainya. 8
2.2. Etiologi
Penyebab cedera kepala yang paling sering dialami di seluruh dunia adalah
akibat kecelakaan lalu lintas. Sekitar 60% dari kasus cedera kepala merupakan
akibat dari kelalaian dalam berlalu lintas, 20 sampai 30% kasus disebabkan oleh
jatuh, 10% disebabkan oleh kekerasan, dan sisanya disebabkan oleh perlukaan yang
terjadi di rumah maupun tempat kerja. 8
Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu : 1. Trauma Primer,
terjadi akibat trauma pada kepala secara langsung maupun tidak langsung
(akselerasi dan deselerasi). 2. Trauma Sekunder, terjadi akibat trauma saraf (melalui
akson) yang meluas, hipertensi intracranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi
sistemik.8
2.3. Patofisiologi Cedera Otak
Berdasarkan biomekanisme dasarnya, maka cedera otak traumatik dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:9
1. Kerusakan otak fokal; akibat dari tipe cedera kontak, mengakibatkan
terjadinya kontusio, laserasi, dan perdarahan intrakranial, dan9
2. Kerusakan otak difus; akibat tipe cedera akselerasi/deselerasi
mengakibatkan cedera axon difus (diffuse axonal injury), cedera
vaskuler difus atau edema otak.9
Sementara itu berdasarkan kerusakan atau cedera otak yang timbul maka
dapat dibagi sebagai berikut :
1. Cedera otak primer (the primary insult); suatu kerusakan mekanik yang
terjadi pada saat benturan. Keadaan dapat menyebakan kerusakan
langsung pada parenkim otak atau pembuluh darah atau kedua-duanya.9
2. Cedera otak sekunder (the secondary insult); suatu kerusakan non-
mekanik yang menggambarkan proses patologi berkelanjutan yang
dimulai sejak saat cedera, dengan presentasi klinik yang muncul
belakangan. Keadaan yang timbul bisa lebih kompleks melalui beberapa
proses patofisologi. Iskemia cerebri dan hipertensi intrakranial
merupakan diantara contoh cedera sekunder ini.9
Kerusakan otak akibat trauma, dapat dikategorikan menjadi cedera otak
primer dan sekunder. Gaya mekanis yang bekerja pada waktu cedera akan
menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah, akson, sel-sel saraf dan glia dari
otak. Semua hal ini akan memicu serangkaian perubahan sekunder sehingga
terjadi perubahan pada kompleks selular, inflamasi, neurokimiawi dan
metabolik.9
2.3.1. Cedera Otak Primer
Kerusakan otak primer terjadi akibat deformasi otak secara mekanis yang
menimbulkan cedera pada permukaan otak oleh fenomena kontak atau pada
parenkim otak akibat gaya sebar. Hal ini berarti cedera primer merupakan
cedera yang bersifat mendadak dan sebagian besar irreversibel, gaya mekanis
yang timbul akan menyebabkan kerusakan jaringan yang bersifat progresif.
Deformitas yang timbul dapat langsung merusak pembuluh darah, akson,
neuron dan glia. Kerusakan yang timbul dapat bersifat fokal, multifokal atau
difus. Semua ini akan memicu serangkaian reaksi sehingga terjadi perubahan
pada kompleks selular, inflamasi, neurokimiawi dan metabolik. Berbagai bukti
biomekanis menunjukkan adanya perbedaan ambang cedera untuk berbagai
komponen struktural. Secara umum, cedera otak primer dapat bersifat fokal
ataupun difus. Cedera yang terjadi dapat mengenai jaringan otak saja, vaskular,
atau melibatkan keduanya.10
Proses cedera tidak hanya terjadi sesaat setelah cedera, namun
berlangsung bahkan beberapa jam setelah awal kejadian. Penelitian
berkelanjutan pada tahun 1995, dan penelitian lain pada tahun yang sama
membuktikan bahwa meskipun kerusakan otak primer dianggap irreversibel
namun perubahan pada ultrastruktur, sawar darah otak dan fungsi neuronal yang
berlangsung sejalan dengan waktu memberikan peluang yang cukup untuk
ditangani agar tidak menjadi lebih berat.10
Tabel 1. Cedera otak primer (neural dan/atau vaskular)9
Difus 1. Cedera aksonal difus (Diffuse axonal injury = DAI)
2. Cedera vaskular difus (Diffuse vascular injury =DVI)
Fokal 1. Cedera vaskular yang menyebabkan :
a. Perdarahan intraserebral
b. Perdarahan subdural
c. Perdarahan ekstradural (perdarahan epidural)
2. Cedera aksonal
3. Kontusio
4. Laserasi
Nekrosis
Cedera otak primer
Cedera otak sekunder
Atrofi otak Akumulasi
lekosit
Kerusakan jaringan
neuronal
Inflamasi berkepanjangan Apoptosis
Pelepasan sitokrom C,
Aktivasi kaspase
Ekpresi mediator pro-apoptotik
Gambar 1. Mekanisme patofisiologi cedera otak primer dan sekunder.10
2.4. Hipernatremia
2.4.1. Definisi
Hipernatremia merupakan keadaan yang ditandai dengan peningkatan
kadar natrium serum di atas 145 mEq / lt. hal ini merupakan kondisi
hiperosmolar yang disebabkan oleh penurunan total cairan tubuh relatif terhadap
kandungan natrium. Hipernatremia disebabkan oleh gangguan haus dan asupan air
terbatas yang sering diperburuk oleh kondisi yang menyebabkan peningkatan
kehilangan cairan. Tujuan penanganan melibatkan identifikasi hipernatremia dan
koreksi gangguan volume dan hipertonisitas.12 Insiden yang dilaporkan saat
masuk unit perawatan intensif (ICU) dapat mencapai 6% dan hingga 26% dari
kodisi pasien ICU yang berkembang menjadi hipernatremia selama mereka dirawat.
Setiap tingkat natrium lebih dari 145 mmol / l memiliki efek negatif independen
pada keluaran semua pasien ICU. Berbagai ambang batas untuk mendefinisikan
"Hipernatremia berat" dilaporkan, seperti pNa 150 mmol / l1,14 atau sNa 160 mmol
. Metode pengukuran pNa dan sNa yang tersedia memiliki masalah teknis khusus
dan hasilnya mungkin tidak akurat (lihat paragraf sebelumnya). Tingkat kematian
antara 30% dan 48% telah diamati pada pasien dengan sNa lebih dari 150
mmol / l. Di NCCU, hipernatremia lebih sering disebabkan oleh diabetes
insipidus sentral (CDI) setelah disfungsi pituitari posterior yang menyebabkan
ADH tidak mencukupi / sekresi AVP dan kehilangan air di ginjal yang
berlebihan. Dalam pengaturan ini, hipernatremia umumnya dikaitkan dengan
cedera otak traumatis parah (TBI) dengan kejadian 26% pada fase akut dan
6,9% pada yang selamat. Penyebab umum lainnya di NCCU adalah pembedahan
hipofisis atau apoflex dan kematian otak. Ketika CDI merupakan faktor sekunder
terhadap hypernatremia, kondisi ini merupakan faktor risiko independen untuk
keluaran yang buruk. Hal ini terkait dengan peningkatan mortalitas pada pasien TBI
(20,6%, 42,4%, 86,8% pada kelompok bertingkat dengan sNa antara 150 dan
155, 155 dan 160, dan lebih dari 60%.13
2.4.2. Fisiopatologi
Hipernatremia selalu merupakan kondisi hipertonik apakah itu disebabkan
oleh akumulasi natrium relatif dalam ECF dibandingkan dengan TBW, atau oleh
hilangnya TBW yang relatif dibandingkan dengan kandungan natrium, mengarah
pada penurunan konsentrasi natrium dalam ECF. Mekanisme ketiga dan jarang
adalah latihan fisik terbuka dan pembengkakan sel otot akibat akumulasi osmolit
dari katabolisme glikogen yang menyebabkan hipernatremia relatif. Jika
hipotalamus dan kelenjar hipofisis posterior dipertahankan, hipertonisitas
menyebabkan sekresi ADH / AVP dan mengaktifkan mekanisme haus. Jika refleks
ini utuh dan pasien memiliki akses ke air, CDI umumnya tidak menyebabkan
hipernatremia, karena pasien meminum cukup air bebas untuk mempertahankan
keluaran urin encer secara maksimal (sekitar 750 mL / jam jika mengonsumsi
makanan Barat) .1 Sayangnya, banyak faktor yang dapat mengganggu stimulus rasa
haus pada pasien neurokritik, seperti ketidaksadaran dan / atau sedasi, lesi fokus.,
dan usia lanjut, jika ada. Aquaresis (dari CDI yang tidak diobati, pengobatan dengan
vaptans atau pemulihan spontan dari hiponatremia) meningkatkan plasma
konsentrasi natrium 2,5 mmol / l / jam. Dengan tidak adanya fluks urin, saline 3%
pada 1 ml / kg / jam meningkatkan konsentrasi natrium plasma 1 mmol / l.
Akibatnya, aquaresis memiliki efek yang sama dari informasi yang sedang
berlangsung 2,5 ml / kg / jam dari 3% saline. Ketika natrium ekstra seluler mencapai
konsentrasi kritis, sel-sel menderita tekanan hipertonik yang menyebabkan
hilangnya air intraseluler dan, volume di CNS. Zat-zat terlarut intraseluler yang
aktif secara osmotik seperti glutamat, myo-inositol, dan taurin secara bertahap
mengembalikan volume sel dan otak dalam waktu dua hari. Penyusutan sel merusak
membran dan sitoskeleton yang menyebabkan kerusakan metabolisme global.
Dalam kasus hipertonisitas ekstrem dan hiperintis, sel nekrosis dari ruptur membran
telah dijelaskan. Ketika fenomena ini melibatkan sel-sel pembuluh darah otak, ada
peningkatan risiko kerusakan pembuluh darah dan perdarahan subarakhnoid
(SAH). Selain itu, demielinasi serebral telah diamati pada hipernatremia onset
cepat, lebih sering pada pasien dengan penyakit hati stadium akhir. Hipertonisitas
mempengaruhi semua jaringan, namun otot dan SSP adalah yang paling terganggu
secara klinis karena gangguan metabolisme.13
Tabel 2. Penyebab hipernatremia13
Ketakutan akan over koreksi adalah penyebab utama dari tidak adekuatnya
perawatan, sementara itu masih bisa diperdebatkan apakah overkoreksi dari
hipernatremia berat akut berbahaya. Satu pengecualian adalah cedera otak akut
dengan peningkatan ICP. Dalam pengaturan ini, penurunan tonisitas plasma dapat
berkembang menjadi edema serebral dan meningkatkan kerusakan. Faktanya,
banyak dokter mentolerir hipernatremia ringan dengan osmoterapi untuk
mempertahankan TIK ketika merawat pasien dengan TBI. Jika CDI didiagnosis,
terapi hormonal dengan vasopresin 5 10 U SC q6h atau desmopresin asetat 0,125–
2 μg SC / IV q8-12j dapat dimulai. Desmopresin dapat menyebabkan rebound
hiponatremik yang signifikan dan overkoreksi harus dihindari. Sebaliknya, jika
kelebihan natrium adalah penyebab utama yang didokumentasikan, terapi diuretik
dapat dimulai untuk menyebabkan natriuresis bersama-sama dengan infus IV atau
air oral yang dititrasi untuk menghindari hipovolemia. Pada hipernatremia
hiperakut yang muncul dalam hitungan menit hingga jam (disebabkan oleh
konsumsi garam, pemberian iatrogenik dari salin hipertonik, kesalahan dialisis),
infus cepat dengan dekstrosa 5% dalam air dan dialisis darurat harus
dipertimbangkan. Dalam pengaturan khusus ini, koreksi berlebihan tidak
dianjurkan. Terapi penggantian ginjal berkelanjutan (CRRT) belum ditangani oleh
uji klinis besar untuk mengobati hipernatremia, tetapi telah terbukti bermanfaat,
memungkinkan untuk koreksi terus-menerus dari gangguan tersebut.13