Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan kasus yang sering ditemui di Instalasi Rawat
Darurat. Cedera kepala adalah salah satu penyebab kematian utama dikisaran usia
produktif. Secara global insiden cedera kepala meningkat dengan tajam terutama
karena peningkatan penggunaan kendaraan bermotor. Tahun 2020 diperkirakan
WHO bahwa kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab penyakit dan trauma
ketiga terbanyak di dunia. Cedera kepala atau Traumatic Brain Injury merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas setelah infark miokard di dunia. Setiap
tahunnya sekitar 50.000 orang meninggal akibat cedera kepala di Amerika Serikat.
Jumlah ini merupakan sepertiga dari total kematian akibat kejadian cedera.1
Di Amerika tiap tahunnya didapatkan 1.500.000 kasus cedera kepala,
sekitar 50.000 meninggal, dan 80.000 mengalami kecacatan. Saat ini terdapat
sekitar 5.300.000 warga Amerika yang mengalami cacat permanen karena kasus
cedera kepala. Di Indonesia sendiri angka kecelakaan lalu lintas masih cukup tinggi.
Pada tahun 2003 kasus cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas sebanyak 13.399
kejadian. Dari jumlah yang ada sebanyak 9.865 orang meninggal dunia, 6.142 orang
cedera berat dan 8.694 cedera ringan.2,3
Di Indonesia, berdasarkan data statistik yang dikutip dari Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan bahwa penderita cedera kepala yang
menjalani rawat inap terdiri dari penderita cedera kepala ringan (60%- 70%), cedera
kepala sedang (15%-20%), dan cedera kepala berat (sekitar 10%). Angka mortalitas
tinggi pada penderita cedera kepala berat dengan persentase 35%-50% dan cedera
kepala sedang 5%-10%. Dari data pasien cedera otak yang datang ke RSUD Dr.
Sutomo Surabaya sejak tahun Januari 2002 hingga Desember 2013, angka kematian
pada semua tingkat keparahan cedera kepala berkisar antara 6,171 % hingga 11,22
%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan standar literatur internasional, yaitu
berkisar antara 3-8 %. Berdasarkan tingkat keparahannya, mortalitas pasien cedera
otak berat masih tinggi, berkisar antara 25,13% hingga 37,14%, dengan
kecenderungan menurun. Angka ini relatif tinggi dibanding dengan literatur yaitu
22%. Angka operasi berkisar antara 18,87% sampai 25,27% dari seluruh pasien
cedera otak yang datang ke IRD RSUD Dr. Sutomo.5
Di RS Wahidin Sudirohusodo Makassar, data pada tahun 2006 sampai
2010 menunjukkan angka kematian 23% (29 orang dari 101 kasus) EDH yang
menjalani tindakan operasi. Hal ini masih jauh dari target mortalitas 0% pada EDH,
mengingat fasilitas dan penunjang serta kamar operasi tersedia untuk kasus bedah
saraf darurat.6
Pasien dengan cedera otak traumatis berat (TBI) memiliki risiko tinggi
mengalami hipernatremia. Hubungan antara hipernatremia dan TBI kompleks,
selama perawatan lama di ICU mereka tinggal, karena menimbulkan kondisi
predisposisi seperti gangguan sensorium, perubahan haus, diabetes insipidus sentral
(CDI) dengan poliuria. Selain itu, pasien ini sering menerima manitol atau larutan
saline hipertonik, dengan tujuan mengurangi edema serebral dan mengendalikan
tekanan intrakranial. Dalam pengaturan klinis ini, tidak diketahui, apakah
peningkatan serum natrium (Na) merupakan faktor risiko independen untuk
kematian atau hanya merupakan penanda keparahan penyakit. Sekitar 20% pasien
dengan perdarahan subaraknoid mengalami hipernatremia, suatu komplikasi yang
menyebabkan peningkatan risiko kematian. Di sisi lain, laporan kasus pasien baru-
baru ini dari neuro-ICU, hipernatremia terjadi hanya 8% dari mereka; Selain itu,
hanya kadar serum Na melebihi 160 mmol / l yang dikaitkan dengan peningkatan
mortalitas. Temuan yang bertentangan ini meninggalkan pertanyaan tentang
signifikansi klinis sebenarnya dari peningkatan moderat serum Na (misalnya, antara
145 dan 160 mmol / l) tidak terselesaikan.7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Cedera otak traumatik
Istilah cedera kepala (Head Injury), trauma kapitis adalah cedera yang
mengenai bukan hanya jaringan otak tetapi juga disertai cedera kulit kepala (scalp),
tulang tengkorak (atap dan dasar tengkorak), tulang-tulang wajah (maksila,
mandibula), saraf kranial spesial (penglihatan, penciuman, pendengaran). Tidak
semua jejas pada kepala menyebabkan cedera jaringan otak (misalnya luka sayat
sederhana pada kulit kepala), sebaliknya tidak harus ada jejas di kepala
menyebabkan cedera jaringan otak (misalnya jatuh terduduk dari ketinggian tanpa
ada perlukaan di kepala).8
Cedera otak primer akibat langsung dari kekuatan mekanik yang merusak
jaringan otak saat terjadinya cedera kepala (hancur, robekan, memar dan
perdarahan). Cedera otak primer menyebabkan kerusakan jaringan otak lokal, multi
fokal dan difus pada sel neuron, axon, glia dan pembuluh darah. Temuan radiologis
pada CT Scan otak yaitu perdarahan epidural, perdarahan subdural, perdarahan
intraserebral, bercak perdarahan (kontusio), cedera difus dan sebagainya. 8

2.2. Etiologi
Penyebab cedera kepala yang paling sering dialami di seluruh dunia adalah
akibat kecelakaan lalu lintas. Sekitar 60% dari kasus cedera kepala merupakan
akibat dari kelalaian dalam berlalu lintas, 20 sampai 30% kasus disebabkan oleh
jatuh, 10% disebabkan oleh kekerasan, dan sisanya disebabkan oleh perlukaan yang
terjadi di rumah maupun tempat kerja. 8
Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu : 1. Trauma Primer,
terjadi akibat trauma pada kepala secara langsung maupun tidak langsung
(akselerasi dan deselerasi). 2. Trauma Sekunder, terjadi akibat trauma saraf (melalui
akson) yang meluas, hipertensi intracranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi
sistemik.8
2.3. Patofisiologi Cedera Otak
Berdasarkan biomekanisme dasarnya, maka cedera otak traumatik dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:9
1. Kerusakan otak fokal; akibat dari tipe cedera kontak, mengakibatkan
terjadinya kontusio, laserasi, dan perdarahan intrakranial, dan9
2. Kerusakan otak difus; akibat tipe cedera akselerasi/deselerasi
mengakibatkan cedera axon difus (diffuse axonal injury), cedera
vaskuler difus atau edema otak.9
Sementara itu berdasarkan kerusakan atau cedera otak yang timbul maka
dapat dibagi sebagai berikut :
1. Cedera otak primer (the primary insult); suatu kerusakan mekanik yang
terjadi pada saat benturan. Keadaan dapat menyebakan kerusakan
langsung pada parenkim otak atau pembuluh darah atau kedua-duanya.9
2. Cedera otak sekunder (the secondary insult); suatu kerusakan non-
mekanik yang menggambarkan proses patologi berkelanjutan yang
dimulai sejak saat cedera, dengan presentasi klinik yang muncul
belakangan. Keadaan yang timbul bisa lebih kompleks melalui beberapa
proses patofisologi. Iskemia cerebri dan hipertensi intrakranial
merupakan diantara contoh cedera sekunder ini.9
Kerusakan otak akibat trauma, dapat dikategorikan menjadi cedera otak
primer dan sekunder. Gaya mekanis yang bekerja pada waktu cedera akan
menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah, akson, sel-sel saraf dan glia dari
otak. Semua hal ini akan memicu serangkaian perubahan sekunder sehingga
terjadi perubahan pada kompleks selular, inflamasi, neurokimiawi dan
metabolik.9
2.3.1. Cedera Otak Primer
Kerusakan otak primer terjadi akibat deformasi otak secara mekanis yang
menimbulkan cedera pada permukaan otak oleh fenomena kontak atau pada
parenkim otak akibat gaya sebar. Hal ini berarti cedera primer merupakan
cedera yang bersifat mendadak dan sebagian besar irreversibel, gaya mekanis
yang timbul akan menyebabkan kerusakan jaringan yang bersifat progresif.
Deformitas yang timbul dapat langsung merusak pembuluh darah, akson,
neuron dan glia. Kerusakan yang timbul dapat bersifat fokal, multifokal atau
difus. Semua ini akan memicu serangkaian reaksi sehingga terjadi perubahan
pada kompleks selular, inflamasi, neurokimiawi dan metabolik. Berbagai bukti
biomekanis menunjukkan adanya perbedaan ambang cedera untuk berbagai
komponen struktural. Secara umum, cedera otak primer dapat bersifat fokal
ataupun difus. Cedera yang terjadi dapat mengenai jaringan otak saja, vaskular,
atau melibatkan keduanya.10
Proses cedera tidak hanya terjadi sesaat setelah cedera, namun
berlangsung bahkan beberapa jam setelah awal kejadian. Penelitian
berkelanjutan pada tahun 1995, dan penelitian lain pada tahun yang sama
membuktikan bahwa meskipun kerusakan otak primer dianggap irreversibel
namun perubahan pada ultrastruktur, sawar darah otak dan fungsi neuronal yang
berlangsung sejalan dengan waktu memberikan peluang yang cukup untuk
ditangani agar tidak menjadi lebih berat.10
Tabel 1. Cedera otak primer (neural dan/atau vaskular)9
Difus 1. Cedera aksonal difus (Diffuse axonal injury = DAI)
2. Cedera vaskular difus (Diffuse vascular injury =DVI)
Fokal 1. Cedera vaskular yang menyebabkan :
a. Perdarahan intraserebral
b. Perdarahan subdural
c. Perdarahan ekstradural (perdarahan epidural)
2. Cedera aksonal
3. Kontusio
4. Laserasi

Penelitian yang dilakukan pada tahun 1995 mendapatkan edema akson


terjadi 15 menit setelah cedera otak akibat kerusakan pada mikrotubulus.
Selanjutnya terjadi perubahan peningkatan permeabilitas aksolemma dan 6 jam
kemudian akan terjadi kerusakan pada neurofilamen. Sawar darah otak sendiri
mengalami kerusakan dalam 3 menit setelah cedera sehingga terjadi
ekstravasasi albumin. Kombinasi perubahan dini dengan hipoksia/iskemia
akibat cedera otak sekunder memberi potensi untuk dilakukan neuroproteksi
karena peningkatan konsentrasi glutamat maksimal setelah terjadi iskemia.10
2.3.2. Cedera otak sekunder
Luasnya kerusakan otak pasca trauma ditentukan oleh jenis cedera yang
diderita (primer dan sekunder). Cedera otak sekunder terjadi setelah trauma
inisial dan merupakan konsekuensi dari proses kompleks yang diawali dengan
cedera primer pada otak dengan faktor resiko utamanya adalah hipoksia dini
dan hipotensi sewaktu periode resusitatif. Urutan kejadian yang berperan dalam
berkembangnya kerusakan otak sekunder pasca cedera traumatik sangat
perdarahan kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Hal ini terutama
karena berbagai macam mediator endogen yang dilepaskan ke dalam
kompartemen intrakranial pasca trauma dan kompleksisitas interaksinya serta
regulasi yang tergantung waktu (time dependent regulation) antara fungsi
agonistik dan antagonistik.10
Cedera sekunder yang terjadi pada otak disebabkan oleh cedera yang
bukan bersumber pada otak itu sendiri. Penyebab secara umum cedera otak
sekunder dibagi menjadi ekstrakranial dan intrakranial. Penyebab terjadinya
perdarahan ektrakanial antara lain hipoksia, hipotensi, hiponatremia,
hipertermia, hipoglikemia, hiperglikemia. Sedangkan penyebab terjadinya
perdarahan intrakanial antara lain Perdarahan (ekstradural, subdural,
intraserebral, intraventrikular, subarakhnoid), edema (edema kongesti vena,
hiperemia, edema vasogenik, edema sitotoksik, edema interstitial), Infeksi
(meningitis, abses otak). Beberapa jenis kerusakan otak sekunder secara
potensial masih bersifat reversibel sehingga dengan penanganan yang adekuat
dapat dipulihkan. Iskemia akibat cedera otak sekunder tidak hanya timbul pada
cedera otak yang berat tetapi dapat juga timbul pada cedera otak ringan hingga
sedang.11
Trauma

Imunologik Mekanik Kimiawi

Aktivasi Komplemen Lesi pembuluh darah, Kegagalan nutritif


Pelepasan sitokin sel, sitoskeleton, Gangguan ion
Pelepasan kemokin akson Stres oksidatif
Eksitotoksisitas

Nekrosis
Cedera otak primer
Cedera otak sekunder
Atrofi otak Akumulasi
lekosit
Kerusakan jaringan
neuronal
Inflamasi berkepanjangan Apoptosis
Pelepasan sitokrom C,
Aktivasi kaspase
Ekpresi mediator pro-apoptotik
Gambar 1. Mekanisme patofisiologi cedera otak primer dan sekunder.10

Keparahan cedera otak sekunder sangat bergantung dari penyebabnya.


Pada perdarahan otak mekanisme cedera otak sekunder adalah akibat kompresi
langsung pada korteks otak yang ada di bawahnya sehingga timbul kerusakan
otak iskemik yang bersifat lokal sehingga terjadi pergeseran otak. Cedera otak
iskemik cenderung fokal namun jika peningkatan tekanan intra kranial yang
terjadi dibiarkan maka akan menyebabkan penurunan aliran darah otak dan
akhirnya terjadi kerusakan otak iskemik yang bersifat global. Konsekuensi
akhir dari ini adalah penurunan ketersediaan ATP yang akan menyebabkan
kegagalan pompa membran sehingga sel akan mengalami edema atau
kematian.11
Tahap awal cedera otak setelah trauma ditunjukkan dengan kerusakan
langsung jaringan dan gangguan regulasi aliran darah otak (cerebral blood
flow/CBF) dan metabolisme. Keadaan ini menimbulkan gambaran iskemik atau
mirip iskemik, dengan akibat akumulasi laktat karena glikolisis anaerob,
peningkatan permeablitas kapiler, dan berikutnya akan diikuti terjadi edema.
Karena metabolisme anaerob tidak adekuat untuk mempertahankan keadaan
energi seluler, maka akan terjadi gangguan cadangan ATP dan kegagalan
pompa ionik membran, suatu sistem pompa yang memerlukan energi.11
Tahap berikut dari rangkaian patofisologi ini adalah depolarisasi
membran terminal bersama-sama dengan pelepasan neurotransmiter eksitasi
yang berlebihan (misalnya glutamate, aspartat), aktifasi N-methyl-D-aspartate
(NMDA), α-amino-hydroxy-5-methyl-4-isoxalopropionate, dan kanal Ca2+-
dan Na+-. Akibat dari influx Ca2+ dan Na+ akan terjadi proses katabolik
intraseluler (self-digesting). Ca2+ akan mengaktifasi enzim-enzim lipid
peroxidase, protease, dan fosofolipase yang lebih lanjut akan meningkatkan
konsentrasi asam lemak bebas dan radikal bebas intraseluler. Selain itu, aktifasi
enzim caspase, translocase, dan endonuclease akan mengawali perubahan
struktur yang progresif dari membran biologis dan DNA nuklesom (fragmentasi
DNA dan inhibisi repair DNA). Pada akhirnya secara bersama-sama, keadaan
tersebut akan menyebabkan degradasi membran vaskuler dan struktur seluler
dan pada akhirnya akan terjadi nekrosis atau apoptosis (programmed cell
death).9
Oleh karena otak tidak dapat menyimpan cadangan gula dan oksigen
untuk mendapatkan energi (ATP), maka metabolisme otak dipengaruhi oleh
aliran darah otak yang terus menerus sehingga kebutuhan oksigen dan gula tetap
dapat dipertahankan. Bila otak kekurangan oksigen (hipoksia, iskemia) maka
akan terjadi perubahan metabolisme otak dari metabolisme aerob menjadi
anaerob. Metabolisme anaerob menyebabkan terjadinya gangguan
pembentukan energi dan mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi sel.9
Bila asupan oksigen cukup akan berlangsung metabolisme aerob :
1 mol glukosa + 6 O2 + 36 ADP + 36 Pi  6 CO2 + 44 H2O +36 ATP.
Bila asupan oksigen kurang akan berlangsung metabolisme anaerob :
1 mol glukosa + 2 ADP + 2Pi + 2 NAD+  2 ATP + 2 NADH + 2 H+
+ 2 Piruvat.
Piruvat + NADH + H+ Asam laktat + NAD+ 1 mol gula Anaerob

Asam laktat + 2 ATP


Berkurangnya jumlah ATP disertai pembentukan asam laktat akan
mengakibatkan bertambahnya edema otak.11
Beberapa keadaan patofisiologi khusus akan dijelaskan secara singkat dibawah
ini.
Cedera otak traumatik berhubungan dengan pelepasan neurotransmiter
eksitasi khususnya glutamate secara masif. Keadaan ini menyebabkan
akumulasi glutamate ekstraseluler yang mempengaruhi neuron dan astrosit dan
mengakibatkan stimulasi reseptor glutamate ionotropik dan metabotropik
dengan efek flux ion-ion Ca2+, Na+, dan K+. Meskipun keadaan tersebut memicu
proses katabolik termasuk kerusakan sawar darah otak, sel berusaha untuk
melakukan kompensasi dengan meningkatkan aktifasi Na+/K+-ATPase dan
memulihkan kebutuhan energi, dengan membentuk suatu rantai metabolisme
yang terlepas dari sel.11
Stess oksidatif berhubungan dengan terbentuknya molekul-molekul
oksigen reaktif (radikal bebas oksigen dan molekul lain berupa superoksida,
hidrogen peroksida, oksida nitrat, peroksinitrat) sebagai respon dari cedera otak.
Produksi berlebihan dari oksigen reaktif ini akibat dari eksitotoksisitas dan
kelelahan dari sistem antioksidan endogen (misalnya; superoksida dismutase,
glutation peroksidase, dan katalase) menyebabkan peroksidasi struktur seluler
dan vaskuler, oksidasi protein, pemecahan DNA, dan penghambatan rantai
transpor elektron mitokondria. Meskipun mekanisme tersebut cukup untuk
menyebabkan kematian sel, proses inflamasi dan apoptosis dini atau lambat
disebabkan oleh stress oksidatif.11
Terjadinya edema seringkali terjadi setelah cedera otak traumatik.
Klasifikasi edema otak dibuat berdasarkan kerusakan struktural atau
ketidakseimbangan air dan osmotik yang disebabkan oleh cedera otak primer
atau sekunder. Edema otak vasogenik disebabkan oleh kerusakan mekanik atau
gangguan autodigestif atau kerusakan fungsional pada lapisan sel endotel (suatu
struktur dasar dari sawar darah otak) dari pembuluh darah otak. Kerusakan
dinding endotel vaskuler otak akan memungkinkan transfer ion dan protein
yang tidak terkontrol dari kompartemen intravaskuler ke ektraseluler
(interstisial) otak sehingga menyebabkan akumulasi air. Secara anatomis,
edema jenis ini adalah peningkatan volume ruang ekstraseluler. Edema otak
sitotoksik ditandai dengan akumulasi air intraseluler pada neuron, astrosit, dan
mikroglia tanpa terpengaruh oleh keutuhan dari dinding endotel vaskuler.
Keadaan ini disebabkan oleh peningkatan permeabilitas ionik dari membran sel,
kegagalan sistem pompa ionik akibat kekurangan energi, dan reabsorpsi larutan
aktif osmotik seluler.11

2.4. Hipernatremia
2.4.1. Definisi
Hipernatremia merupakan keadaan yang ditandai dengan peningkatan
kadar natrium serum di atas 145 mEq / lt. hal ini merupakan kondisi
hiperosmolar yang disebabkan oleh penurunan total cairan tubuh relatif terhadap
kandungan natrium. Hipernatremia disebabkan oleh gangguan haus dan asupan air
terbatas yang sering diperburuk oleh kondisi yang menyebabkan peningkatan
kehilangan cairan. Tujuan penanganan melibatkan identifikasi hipernatremia dan
koreksi gangguan volume dan hipertonisitas.12 Insiden yang dilaporkan saat
masuk unit perawatan intensif (ICU) dapat mencapai 6% dan hingga 26% dari
kodisi pasien ICU yang berkembang menjadi hipernatremia selama mereka dirawat.
Setiap tingkat natrium lebih dari 145 mmol / l memiliki efek negatif independen
pada keluaran semua pasien ICU. Berbagai ambang batas untuk mendefinisikan
"Hipernatremia berat" dilaporkan, seperti pNa 150 mmol / l1,14 atau sNa 160 mmol
. Metode pengukuran pNa dan sNa yang tersedia memiliki masalah teknis khusus
dan hasilnya mungkin tidak akurat (lihat paragraf sebelumnya). Tingkat kematian
antara 30% dan 48% telah diamati pada pasien dengan sNa lebih dari 150
mmol / l. Di NCCU, hipernatremia lebih sering disebabkan oleh diabetes
insipidus sentral (CDI) setelah disfungsi pituitari posterior yang menyebabkan
ADH tidak mencukupi / sekresi AVP dan kehilangan air di ginjal yang
berlebihan. Dalam pengaturan ini, hipernatremia umumnya dikaitkan dengan
cedera otak traumatis parah (TBI) dengan kejadian 26% pada fase akut dan
6,9% pada yang selamat. Penyebab umum lainnya di NCCU adalah pembedahan
hipofisis atau apoflex dan kematian otak. Ketika CDI merupakan faktor sekunder
terhadap hypernatremia, kondisi ini merupakan faktor risiko independen untuk
keluaran yang buruk. Hal ini terkait dengan peningkatan mortalitas pada pasien TBI
(20,6%, 42,4%, 86,8% pada kelompok bertingkat dengan sNa antara 150 dan
155, 155 dan 160, dan lebih dari 60%.13
2.4.2. Fisiopatologi
Hipernatremia selalu merupakan kondisi hipertonik apakah itu disebabkan
oleh akumulasi natrium relatif dalam ECF dibandingkan dengan TBW, atau oleh
hilangnya TBW yang relatif dibandingkan dengan kandungan natrium, mengarah
pada penurunan konsentrasi natrium dalam ECF. Mekanisme ketiga dan jarang
adalah latihan fisik terbuka dan pembengkakan sel otot akibat akumulasi osmolit
dari katabolisme glikogen yang menyebabkan hipernatremia relatif. Jika
hipotalamus dan kelenjar hipofisis posterior dipertahankan, hipertonisitas
menyebabkan sekresi ADH / AVP dan mengaktifkan mekanisme haus. Jika refleks
ini utuh dan pasien memiliki akses ke air, CDI umumnya tidak menyebabkan
hipernatremia, karena pasien meminum cukup air bebas untuk mempertahankan
keluaran urin encer secara maksimal (sekitar 750 mL / jam jika mengonsumsi
makanan Barat) .1 Sayangnya, banyak faktor yang dapat mengganggu stimulus rasa
haus pada pasien neurokritik, seperti ketidaksadaran dan / atau sedasi, lesi fokus.,
dan usia lanjut, jika ada. Aquaresis (dari CDI yang tidak diobati, pengobatan dengan
vaptans atau pemulihan spontan dari hiponatremia) meningkatkan plasma
konsentrasi natrium 2,5 mmol / l / jam. Dengan tidak adanya fluks urin, saline 3%
pada 1 ml / kg / jam meningkatkan konsentrasi natrium plasma 1 mmol / l.
Akibatnya, aquaresis memiliki efek yang sama dari informasi yang sedang
berlangsung 2,5 ml / kg / jam dari 3% saline. Ketika natrium ekstra seluler mencapai
konsentrasi kritis, sel-sel menderita tekanan hipertonik yang menyebabkan
hilangnya air intraseluler dan, volume di CNS. Zat-zat terlarut intraseluler yang
aktif secara osmotik seperti glutamat, myo-inositol, dan taurin secara bertahap
mengembalikan volume sel dan otak dalam waktu dua hari. Penyusutan sel merusak
membran dan sitoskeleton yang menyebabkan kerusakan metabolisme global.
Dalam kasus hipertonisitas ekstrem dan hiperintis, sel nekrosis dari ruptur membran
telah dijelaskan. Ketika fenomena ini melibatkan sel-sel pembuluh darah otak, ada
peningkatan risiko kerusakan pembuluh darah dan perdarahan subarakhnoid
(SAH). Selain itu, demielinasi serebral telah diamati pada hipernatremia onset
cepat, lebih sering pada pasien dengan penyakit hati stadium akhir. Hipertonisitas
mempengaruhi semua jaringan, namun otot dan SSP adalah yang paling terganggu
secara klinis karena gangguan metabolisme.13
Tabel 2. Penyebab hipernatremia13

Defisit air bebas relatif di ECF


Kehilangan cairan hipotonik ekstrarenal melebihi asupan air gratis (Dehidrasi)
Volume urin × [1– (uNa + uK) / pNa] <0
Kehilangan rasa haus
Usia lanjut
Sedasi
Koma
Lesi fokus
ABI
Kehilangan yang tidak masuk akal (14 mL / kg / d + 3,5 mL / kg / d untuk setiap
derajat> 37 ° C)
Diare sebelum timbulnya hiponatremia
Muntah
Nasogastrik dekompresi
Saluran pembedahan
Hyperhidrosis
Terbakar
Hiperventilasi
Kehilangan cairan hipotonik ginjal melebihi asupan air gratis
Volume urin x [1– (uNa + uK) / pNa]> 0
Diabetes insipidus (↑ pNa + poliuria> 2,5 L / d dan uOsm <pOsm)
Diabetes insipidus sentral
Diabetes insipidus nefrogenik
Herediter
Diinduksi obat
Lithium
Foscarnet
Amfoterisin B
Ifosfamide
Diuresis osmotik (↑ pNa + poliuria> 2,5 L / d dan uOsm> pOsm)
Glikosuria (glukosa urin> 250 mmol / L)
Urea diuresis (urea kemih> 250 mmol / L)
AKI atau CRF ("hyposthenuria")
Hipokalemia
Hiperkalsemia kronis
Loop diuretik diberikan sebelum hipernatremia

2.4.3. Fisiopatologi Hipernatremia dan TBI


Hipernatremia menunjukkan hubungan yang kompleks dengan TBI.
Hypernatremia (> 150 mEq / L) terlihat pada 30% - 40% pasien dengan TBI.
kondisi ini mungkin disebabkan oleh terapi hiperosmolar; hipovolemia;
kehilangan cairan bebas; atau muatan natrium yang tinggi dalam cairan
intravena, makanan, atau obat-obatan. disfungsi hipotalamus yang tidak
menyebabkan diabetes insipidus yang jelas dapat berkontribusi terhadap
hipernatremia setelah TBI. Dalam penelitian ini, bahkan hipernatremia ringan
dan sedang secara independen terkait dengan peningkatan mortalitas, dan hubungan
ini dipertahankan pada pasien yang tidak menerima manitol untuk mengobati
edema serebral. Penelitian ini menimbulkan pertanyaan tentang potensi efek buruk
dari hipernatremia. Manfaat terapi hiperosmolar dalam mengobati edema serebral,
oleh karena itu, perlu diseimbangkan dengan potensi morbiditas yang terkait
dengan hipernatremia. Di otak, hipernatremia menyebabkan peningkatan
dehidrasi seluler dan penurunan edema serebral yang sering menjadi tujuan
terapeutik pada TBI. Namun, kondisi homeostatis yang berubah ini dapat
menyebabkan kerusakan mielin dan bahkan kematian saraf. Hypernatremia,
oleh karena itu, dapat berkontribusi pada cedera otak sekunder tambahan setelah
TBI. Hipernatremia juga telah terbukti berhubungan dengan penurunan
kontraktilitas ventrikel kiri, gangguan pemanfaatan glukosa, dan
glukoneogenesis, serta hiperventilasi dan disfungsi ginjal.14
Mekanisme yang diusulkan untuk efek ini adalah hipernatremia dan
hiperkloremia menginduksi vasokonstriksi ginjal yang mengarah pada
pengurangan laju filtrasi glomerulus dan mengurangi fungsi ginjal. Hipotensi,
manitol, dan obat-obatan nefrotoksik lainnya dapat semakin mengakibatkan
disfungsi ginjal setelah TBI berat. Hipernatremia akut terjadi dalam 24 jam dan
dapat diperbaiki dengan cepat. Namun, hipernatremia yang bertahan selama
beberapa hari harus diperbaiki pada kecepatan <10 mEq / L / jam.14
Koreksi cepat dari hipernatremia subakut dan kronik dapat
menyebabkan rebound edema dan kejang otak. Perhitungan untuk defisit air
bebas dapat membantu menentukan laju infus cairan hipotonik seperti natrium
klorida 0,45%. Pasien yang menerima nasogastrik feeding dapat dialihkan ke
formula rendah sodium sebagai tambahan pada pemberian cairan yang dijadwalkan.
Kami tidak memiliki data untuk mengevaluasi efek koreksi hipernatremia dalam
serial kasus kami. Namun, koreksi cepat dari hipernatremia seharusnya dihindari
karena adanya risiko rebound edema serebral. Hipernatremia sering terjadi pada
pasien dengan TBI dan diabetes insipidus sentral dan dengan skor masuk GCS
yang lebih rendah. Hubungan antara diabetes insipidus sentral dan mortalitas pada
pasien dengan TBI telah ditetapkan sebelumnya. 14
Kontrol Tekanan intrakranial (ICP) masih menjadi target dalam
penanganan pasien dengan TBI. Terapi hiperosmolar dalam bentuk mannitol
atau hypertonic saline (HTS) mendorong keluarnya air dari interstitium otak
sehingga menurunkan ICP. Mannitol merupakan terapi pilihan untuk penanganan
peningkatan ICP pada pasien neurokritikal dengan edema serebral. Namun,
kekhawatiran atas penurunan volume intravaskuler postadministrasi dan gagal
ginjal menjadikan HTS sebagai pilihan terapi. Studi klinis pasien dengan TBI telah
mengkonfirmasi efek penurunan ICP dari HTS. HTS telah digunakan sebagai agen
resusitasi dengan pemberian bolus, serta infus konstan untuk menanganai
hiponatremia atau untuk hipernatremia pada pasien dengan TBI. Namun, ada
beberapa kekhawatiran pemerian infus yang menargetkan hipernatremia dengan
HTS. Pertama, tidak ada dosis HTS atau target natrium serum saat memulai terapi.
Hiperosmolaritas dari hipernatremia bekerja di area "otak normal" di mana brain
blood barier tetap utuh dan dapat mengakibatkan peningkatan volume otak di
daerah kontusional. Selain itu, otak mengakomodasi hipernatremia berkelanjutan
yang diinduksi oleh HTS oleh adanya akumulasi osmol idiogen intraseluler yang
meningkatkan kadar air otak, mengembalikan volume otak, dan menyebabkan
peningkatan ICP.15
2.4.4. Manifestasi Klinis Hipernatremia
Gejala dapat muncul dan berbeda tergantung pada keparahan tingkat pNa
yang berbeda pada setiap pasien, tergantung pada kecepatan onset dan komorbiditas
pasien. Hipertonisitas menyebabkan gangguan pada metabolisme sel yang muncul
lebih jelas pada tingkat neurologis. Pasien mungkin menunjukkan iritabilitas dan
kegelisahan, ataksia, kejang, dan tingkat sedasi yang meningkat mulai dari
kebingungan dan kelesuan hingga koma. Demielinisasi serebral dan SAH akibat
cedera vaskuler mendadak dapat mempersulit hipernatremia berat, terutama ketika
onsetnya dalam beberapa menit (misalnya, dari konsumsi garam yang masif, infus
berlebihan larutan hipertonik, dan kesalahan dialisis). Kelemahan otot dan kram
mungkin timbul karena tekanan metabolik otot. Lebih lanjut, disfungsi ventrikel
kiri yang menyebabkan gagal jantung telah dilaporkan pada pasien hipernatremia
sementara rhabdomiolisis yang mengarah ke gagal ginjal akut (AKI) telah
dikorelasikan dengan hipernatremia berat. Pada hiper-natremia yang berhubungan
dengan CDI, poliuria biasanya jelas sementara kehausan mungkin tidak ada. ;
gangguan elektrolit lain dapat terjadi seperti hipokalemia dan hipomagnesemia.
Hipofosfatemia juga dapat terjadi.13
Tabel 3. Gejala Klinis Hipernatremia12
Tabel 4. Penyebab hipernatremia13

Kelebihan natrium relatif di ECF


(iNa + iK) - (uNa + uK)> 0
Terapi infus iatrogenik
Saline normal (Na 154 mmol / l)
Solusi hipertonik dalam osmoterapi (3%: Na 513 mmol / l; 10%: Na 1711 mmol
/ l)
Sodium bikarbonat (Na 1000 mmol / l)
Agen intravena dengan kadar natrium tinggi (siprofloksasin, flukonazol,
vorikonazol), Penelanan garam oral
Tablet garam yang diresepkan
Konsumsi garam masal yang tidak disengaja atau tidak disengaja
Tindakan mineralokortikoid
Hiperaldosteronisme primer (sindrom Conn)
Hiperaldosteronisme sekunder — stimulasi aksis RAA selama gagal hati
Gagal ginjal
Gagal jantung
Cushing (kelebihan glukokortikoid yang memiliki aktivitas mineralokortikoid)
Pemberian eksogen

2.4.5. Manajemen Hipernatremia


Tabel 5. Penilaian Status Penurunan Volume12
Langkah 1: Lakukan resusitasi 12
• Menilai dan mengamankan jalan napas dan memasang ventilasi bila diperlukan.
• Berikan natrium klorida isotonik pada pasien hipovolemik.

Langkah 2: Tanyakan riwayat penyakit dan lakukan pemeriksaan fisik untuk


menilai etiologi hipernatremia dan keparahan kondisi.12
• Mencari gejala yang menunjukkan hipernatremia. Gejala kadang tidak spesifik
dan bahkan dapat meniru penurunan cepat serum natrium.
• Riwayat penyakit harus ditanyakan berfokus pada masalah-masalah berikut:
- Kehilangan cairan ekstrarenal (mis. Luka bakar, muntah, diare, demam, ventilasi
menit tinggi pada pasien dengan ventilasi mekanik)
- Asupan cairan menurun
- Poliuria (mis., Tanda-tanda diabetes insipidus [DI] atau diuresis osmotik)
- Tanyakan riwayat pengobatan (obat yang menyebabkan DI, diuretik osmotik,
pencahar osmotik)
- Tanyakan kadar natrium sebelumnya untuk menilai kronisitas
- Infus larutan hipertonik (natrium bikarbonat, garam hipertonik, nutrisi parenteral
total)
- Pakan hipertonik (formula protein tinggi, formula pekat)

Langkah 3: Nilai status volume12


• Hal ini penting untuk memahami patofisiologi yang mendasari hipernatremia dan
merencanakan strategi terapi.
• Status volume dapat dinilai dengan cara klinis, pemantauan hemodinamik, dan
biokimia urin.

Langkah 4: Pemeriksaan Laboratorium12


• Gas darah arteri dan elektrolit serum
• Glukosa darah, urea darah, dan kreatinin serum
• Asam urat serum
• Hematokrit
• Osmolalitas serum dan osmolalitas urin
• Natrium dan klorida urin
• Jika diindikasikan lakukan pemeriksaan pencitraan: CT scan Kepala atau MRI

Langkah 5: Buat diagnosis12


• Osmolalitas serum selalu meningkat pada pasien dengan hipernatremia.
• Osmolalitas urin kurang dari 300 mOsmol / Kg dengan osmolalitas serum tinggi
atau, <100 mOsmol / Kg dengan osmolalitas serum normal mungkin disebabkan
oleh DI (pusat atau nefrogenik), yang dapat dibedakan dengan respons terhadap
vasopresin.
• Osmolalitas urin lebih dari 600 mOsmol / Kg dapat disebabkan oleh kelainan
gastrointestinal atau kehilangan yang tidak dapat dipertahankan (natrium urin <20
mEq / L) atau pemberian natrium berlebih melalui rute enteral atau parenteral
(natrium urin> 40 mEq / L).
• Osmolalitas urin 300-600 mOsmol / Kg mungkin disebabkan oleh diuresis
osmotik (periksa glikosuria), parsial DI pusat atau nefrogenik.
• Hitung ekskresi zat terlarut total (osmolalitas urin × volume urin); jika lebih dari
1.000 mosmol per hari — diuresis osmotik.
Langkah 6: Perawatan12
• Bertujuan untuk mengatasi gejala, peningkatan 10-15% dalam kadar natrium
dalam 24 jam pertama.
• Koreksi dalam pengaturan kronis (> 48 jam): - Kurang dari 1,5 mEq / jam
- Total kurang dari 12 meq / 24 jam
• Koreksi yang cepat akan menyebabkan pergeseran cepat air di dalam otak yang
menyebabkan edema dan kejang otak.

Langkah 7: Hitung defisit cairan12


Defisit cairan (L) = total air tubuh (TBW) x [(kadar Na yang diperiksa / 140) -1]
TBW = berat badan (Kg) x “Y”
Y = anak-anak =0,6; Dewasa pria = 0,6; Dewasa wanita = 0,5; Lansia pria = 0,5;
Lansia wanita = 0,45 (Ini adalah persentase air total berat badan.)
Sebagai contoh:
• 60 kg wanita dewasa dengan natrium serum 160 mEq / L.
• Defisit cairan bebas= [(0,5 × 60)] × [(160/140) - 1] = 4,2 L.
• Ini dapat diberikan dengan dekstrosa 5% atau caian bebas melalui tabung
nasogastrik atau secara oral.
• defisit cairan bebas = 4,2 L (lihat di atas).
• Dengan demikian, keseimbangan air positif 4,2-L harus dicapai untuk
menurunkan kadar natrium serum dari 160 menjadi 140 mEq / L atau sebesar 20
mEq.
• kecepatan koreksi = 0,5 mEq / jam.
• 4,2 L cairan bebas diberikan lebih dari 40 jam dengan kecpatan kira-kira.100 mL
/ jam.
• Kehilangan cairan yang tidak terlihat (30 mL / jam) harus ditambahkan.
• Dengan demikian, 130 mL / jam cairan bebas perlu diganti selama 40 jam.
• dapat dilakukan dengan memberikan larutan 5% dekstrosa secara intravena, saline
0,45% atau cairan biasa melalui NGT atau secara oral.
• Pemberian Volume besar larutan dekstrosa 5% akan menyebabkan hiperglikemia,
maka insulin harus diberikan untuk mencegah glikosuria, karena diuresis osmolar
dapat memperburuk hipernatremia.
• Natrium dan / atau kalium dapat ditambahkan ke dalam cairan intravena
seperlunya untuk mengobati penurunan volume dan / atau hipokalemia bersamaan
(mis., Karena diare).
• Penambahan zat terlarut mengurangi jumlah cairan yang diberikan.
• Jika kalium juga ditambahkan, maka semakin sedikit air yang tersedia dan
penyesuaian lebih lanjut harus dilakukan.
• Ulangi pemeriksaan kadar natrium dan seluruh perhitungan setiap 12 jam

Ketakutan akan over koreksi adalah penyebab utama dari tidak adekuatnya
perawatan, sementara itu masih bisa diperdebatkan apakah overkoreksi dari
hipernatremia berat akut berbahaya. Satu pengecualian adalah cedera otak akut
dengan peningkatan ICP. Dalam pengaturan ini, penurunan tonisitas plasma dapat
berkembang menjadi edema serebral dan meningkatkan kerusakan. Faktanya,
banyak dokter mentolerir hipernatremia ringan dengan osmoterapi untuk
mempertahankan TIK ketika merawat pasien dengan TBI. Jika CDI didiagnosis,
terapi hormonal dengan vasopresin 5 10 U SC q6h atau desmopresin asetat 0,125–
2 μg SC / IV q8-12j dapat dimulai. Desmopresin dapat menyebabkan rebound
hiponatremik yang signifikan dan overkoreksi harus dihindari. Sebaliknya, jika
kelebihan natrium adalah penyebab utama yang didokumentasikan, terapi diuretik
dapat dimulai untuk menyebabkan natriuresis bersama-sama dengan infus IV atau
air oral yang dititrasi untuk menghindari hipovolemia. Pada hipernatremia
hiperakut yang muncul dalam hitungan menit hingga jam (disebabkan oleh
konsumsi garam, pemberian iatrogenik dari salin hipertonik, kesalahan dialisis),
infus cepat dengan dekstrosa 5% dalam air dan dialisis darurat harus
dipertimbangkan. Dalam pengaturan khusus ini, koreksi berlebihan tidak
dianjurkan. Terapi penggantian ginjal berkelanjutan (CRRT) belum ditangani oleh
uji klinis besar untuk mengobati hipernatremia, tetapi telah terbukti bermanfaat,
memungkinkan untuk koreksi terus-menerus dari gangguan tersebut.13

2.5. Diabetes Insipidus Pasca Traumatic Brain Injury


2.5.1. Definisi
Diabetes insipidus (DI) disebabkan oleh penurunan sekresi (DI
neurogenic/ sentral) atau aksi (DI nefrogenik) dari hormon antidiuretik (ADH,
vasopresin). ADH diproduksi oleh neuron hipotalamus dalam nukleus
supraoptik dan paraventrikular, bermigrasi sepanjang aksonnya ke kelenjar
pituitari posterior di mana ia disimpan di dalam granula sekretori dan
disekresikan dalam sirkulasi ketika distimulasi (oleh peningkatan osmolalitas
plasma - osmoregulasi atau dengan penurunan tekanan darah arteri
baroregulasi). ADH bekerja pada reseptor spesifik (reseptor vasopresin; tiga
subtipe V1a, V1b dan V2). Efek fisiologis utamanya (peningkatan penyerapan
air di nefron distal) membutuhkan stimulasi reseptor V2 lokal yang
mengaktifkan ekspresi protein saluran air spesifik (aquaporin) pada
permukaan luminal dari duktus kolektifus.16
2.5.2. Patogenesis
TBI terutama disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, penyerangan, jatuh
dan kekerasan dalam rumah tangga. patogen yang mengarah ke disfungsi aksis
hipotalamus-hipofisis dikaitkan dengan dampak mekanis langsung dengan efek
akselerasi-deselerasi pada kecelakaan kendaraan bermotor atau konsekuensi otak
akibat trauma (iskemia, hipoksia, perubahan vaskularisasi otak atau metabolisme,
peningkatan tekanan intrakranial). Kerusakan hipofisis sekunder akibat TBI
dilaporkan pada awal 1918 oleh Cyran. Penelitian selanjutnya oleh Holborn
mengemukakan bahwa perubahan dalam kecepatan rotasi kepala (dengan
peregangan atau robekan pembuluh darah kecil atau struktur saraf
selanjutnya) adalah mekanisme utama dari kerusakan posttraumatic dari unit
hipotalamo-hipofisis. Mekanisme ini juga telah diusulkan oleh Porter et al pada
tahun 1948.16
Kerusakan neuron penghasil ADH hipotalamus, aksonnya atau hipofisis
posterior menyebabkan DI sentral pasca-trauma. PTDI biasanya didiagnosis
setelah interval laten dan sering bersifat sementara (lihat riwayat alami di bawah).
Pada kasus transient DI, mekanisme patogenik tidak langsung (kerusakan
pembuluh darah kecil dan edema inflamasi) muncul lebih mungkin daripada
kerusakan neuronal langsung. Lebih lanjut, terdapat kerusakan bersamaan dari
osmoreseptor haus di hipotalamus dapat menyebabkan kelainan pada regulasi
haus yang dimanifestasikan sebagai PTDI adipsik (ditandai dengan kegagalan
osmolalitas plasma tinggi untuk merangsang sekresi dan haus ADH dan
berhubungan dengan hipernatremia berat dan peningkatan mortalitas) atau,
jarang, karena PTDI terkait dengan polidipsia primer. Namun perlu dicatat,
bahwa cedera dari pusat haus sangat jarang terjadi dalam pengaturan ini, sebagai
lawan dari patologi lain di mana adipsik DI lebih luas dilaporkan (misalnya, setelah
operasi craniopharyngioma).16
Dalam otopsi pasien yang tidak selamat dari trauma kepala berat, perdarahan
batang atau infark, perdarahan dalam nukleus hipotalamus atau daerah infundibular
telah dijelaskan. Pola kelainan endokrin setelah trauma otak bervariasi tergantung
pada lokasi cedera. Cedera terutama pada hipotalamus dapat menyebabkan
hipopituitarisme anterior, PTDI atau sekresi hormon antidiuretik (SIADH) yang
tidak sesuai. Kerusakan pada hipofisis posterior biasanya tidak menyebabkan DI
permanen karena ADH yang diproduksi di nukleus hipotalamus masih dapat
ditemukan dalam sirkulasi perifer melalui kapiler dari median eminence. Setelah
transeksi hipofisis, respon triphasic telah dijelaskan (awalnya DI diikuti beberapa
hari oleh SIADH sementara dan kemudian kekambuhan DI baik sementara atau
permanen). Hal ini dikaitkan dengan goncangan cedera awal, diikuti oleh pelepasan
ADH pra-sintesis dan kemudian kambuhnya defisiensi ADH karena gangguan
sintesis hormon oleh struktur saraf yang rusak. Presentasi klasik ini jarang terlihat
dalam praktik klinis.16
2.5.3. Manifestasi Klinis dan Penanganan
Pasien dengan DI kehilangan kemampuan untuk mengkonsentrasikan urin
dan mengeluarkan volume besar urin encer (poliuria) akibatnya mengalami
polydipsia. Dalam kasus-kasus PTDI ringan dengan kesadaran yang terjaga dan
sensasi haus, ini akan mendorong pemeriksaan menyeluruh. Namun, sebagian besar
pasien PTDI berada dalam status yang buruk selama masuk di unit perawatan
intensif dan kemampuan mereka untuk mengekspresikan perasaan haus atau minum
terganggu. Dalam kasus ini, volume tinggi urin encer yang tidak sesuai dan
hipernatremia adalah poin kunci untuk diagnosis. Penilaian awal pasien TBI
didasarkan pada skor Glasgow Coma (GCS) dan cedera parah (didefinisikan
dengan skor = 8 ) umumnya ditemukan (dalam satu seri, 88% dari pasien memiliki
skor GCS = 6). Pada subjek yang sangat terpengaruh, penurunan kesadaran (karena
efek traumatis langsung, edema serebral, perdarahan intrakranial atau obat
penenang yang digunakan dalam unit perawatan intensif ), gangguan sensasi haus,
ketidakmampuan untuk mengonsumsi cairan (misalnya, karena terkait lesi di
daerah orofaringeal) sering terjadi. Ketidakmampuan untuk mengkonsumsi
cairan dan mengkompensasi kehilangan air ginjal dengan cepat menghasilkan
dehidrasi parah dan hipernatremia hipovolemik (dengan hipotensi dan
tekanan perfusi otak rendah). Tanda-tanda dehidrasi (penurunan turgor kulit,
selaput lendir kering, hipotensi, takipnea, takikardia, kebingungan, syok
hipovolemik, gagal ginjal) perlu terus dipantau dan diinterpretasikan sehubungan
dengan kecukupan penggantian cairan. Lebih jauh lagi, mengingat bahwa tanda-
tanda neurologis dari hipernatremia (kebingungan, disorientasi, hiperrefleksia,
kejang, kelesuan, koma) sulit dibedakan dari penyebab lain dari status neurologis
yang berubah, pemantauan harus selalu didukung oleh penilaian reguler dari
input dan output cairan dan konsentrasi elektrolit plasma (terutama
natrium).16
Presentasi PTDI terjadi paling sering dalam beberapa hari pertama
setelah trauma: 2–3 hingga 4–10 hari. Secara umum, tidak ada kasus DI baru
yang didiagnosis setelah fase akut, meskipun pengecualian telah dijelaskan. Onset
gejala DI yang sangat cepat (dalam beberapa jam pertama setelah cedera) juga telah
dilaporkan. Perkembangan DI pada hari pertama setelah cedera telah dikaitkan
dengan mortalitas yang sangat tinggi tetapi onset DI yang sangat dini diikuti oleh
remisi total juga telah dijelaskan. Secara keseluruhan, PTDI didiagnosis secara
signifikan lebih awal pada pasien yang tidak bertahan hidup setelah TBI.16
Segera setelah poliuria terdeteksi, pengecualian penyebab lain dari
peningkatan kehilangan cairan urin diperlukan, termasuk hiperglikemia (sering
pada pasien trauma akibat keadaan hiperkatabolik dan obat-obatan), pemberian
cairan hiperosmolar (misalnya, manitol atau salin hipertonik), diuretik, penggantian
cairan yang berlebihan, urea diuresis (kelebihan urea dari hiperkatabolisme
jaringan).16
Dalam kasus-kasus ini, diuresis terlarut menghasilkan peningkatan
osmolalitas urin, berbeda dengan urin encer yang ditemukan di diuresis air DI. Pada
semua pasien TBI yang mengalami peningkatan volume urin hipotonik, PTDI harus
dipertimbangkan dan kadar elektrolit dalam darah (terutama natrium, tetapi juga
kalium dan kalsium, karena hipokalemia dan hiperkalsemia juga berhubungan
dengan poliuria) dengan osmolalitas plasma dan urin simultan perlu
dipertimbangkan untuk diperiksa. Pada pasien tanpa gangguan kognitif dan
kemampuan minum yang terjaga, konsentrasi natrium dapat tetap normal karena
peningkatan asupan cairan oral dapat menyamai output urin yang tinggi. Dalam
kasus ini, diagnosis harus dikonfirmasi pada fase pasca-akut oleh WDT standar.
Konfirmasi DI pada kasus hipernatremik bergantung pada demonstrasi osmolalitas
urin yang rendah dengan adanya hiperosmolalitas plasma. Namun perlu dicatat,
bahwa kriteria diagnostik untuk PTDI tidak ditetapkan secara jelas. Dengan
demikian, poliuria telah didefinisikan sebagai output urin> 30 mL / kg berat badan
atau> 200 mL / jam selama 2 jam berturut-turut atau> 5 mL / kg / jam. Dalam seri
lain, kriteria yang diusulkan oleh Seckl dan Dunger diterapkan adalah poliuria (> 3
L / 24 jam) dengan urin hipotonik (osmolalitas urin <300 mosm / kg) dan
konsentrasi natrium plasma> 145 mmol / L bisa untuk mendiagnosis DI akut.
Khususnya, Agha et al., mendiagnosis PTDI berdasarkan kombinasi poliuria (> 3,5
l / 24 jam) dengan urin encer (osmolalitas urin / plasma <2), hipernatremia (> 145
mmol / L) dan peningkatan osmolalitas plasma (> 300 mosm / kg).16
Pengukuran ADH tampaknya tidak memberikan manfaat yang signifikan
karena terjadi tumpang tindih antara berbagai diagnosis dan keadaan pasca-trauma
adalah faktor perancu potensial (misalnya, hipotensi, emesis, insufisiensi adrenal
bersamaan). Selain itu, pada pasien dalam perawatan intensif, sekresi ADH
distimulasi menghasilkan konsentrasi ADH serum yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol.16
Pencitraan otak (CT atau MRI) secara rutin dilakukan pada pasien TBI.
Perdarahan intrakranial (edema intraserebral, subaraknoid, subdural) dan serebral
sangat sering didapatkan. Fraktur tengkorak, kontusio serebral, hematoma subdural
atau epidural juga dapat ditemukan. CT scan berguna seperti MRI dalam
mendeteksi perdarahan intrakranial, perdarahan subaraknoid (SAH), hematoma,
dan kontusio serebral dan lebih sensitif dalam menunjukkan adanya fraktur
tengkorak.16
Secara keseluruhan, temuan pencitraan dapat diklasifikasikan menjadi cedera
otak fokus atau cedera difus. Cedera fokus dari daerah hipotalamus-hipofisis dapat
ditunjukkan pada gambar MRI serebral pada 30% dari semua kasus TBI: perubahan
hipofisis fokal (perdarahan atau infark), peningkatan volume kelenjar dan transeksi
tangkai. Hematoma tangkai hipofisis atau hilangnya intensitas sinyal cerah dari
lobus posterior hipofisis pada scan T1-weighted kadang-kadang terlihat. Suatu titik
terang ektopik pada kasus dengan transeksi tangkai jarang dijelaskan .16
Gambar 2. Algoritma yang diajukan untuk diagnosis dan penanganan PTDI iv-
ntravenous; sc-subkutan.16
2.5.4. Prognosis
PTDI secara konsisten dikaitkan dengan trauma yang lebih parah, edema
serebral, skor GCS yang lebih rendah dan tingkat kematian yang lebih tinggi.
Terjadinya DI telah dikaitkan dengan kematian otak karena terjadi pada 80% pasien
yang mengalami mati otak. Mortalitas keseluruhan pasien TBI dengan PTDI
berkisar antara 57% -69% dan meningkat menjadi 86% -90% pada mereka dengan
onset awal DI yaitu dalam tiga hari pertama setelah cedera.16
DAFTAR PUSTAKA
1. Arifin MZ., Widhiatmo AO. 2011. Kadar Laktat Darah Arteri pada Penderita
Cedea Kepala Ringan, Sedang, dan Berat di Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung; Jurnal Kesehatan Masyarakat : 126-132
2. Miranda Esther Irene Manarisip , Maximillian Ch. Oley , Hilman Limpeleh.
Gambaran CT Scan Kepala pada penderita cedera kepala ringan di BLU RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandau Menado periode 2012 – 2013. Jurnal e-CliniC (eCl).
2014 Juli; Volume 2, Nomor 2.
3. Moch Istiadjid E, Masruroh Rahayu, Fachriy Balafif. Hubungan Respon Time
Trepanasi hematoma Epidural pada Trauma kepala Berat dengan Outcome.
Malang Neurology Journal. 2016; Vol 2, No 1.
4. Wilfred C Mezue, Chika A Ndubuisi, Mark C Chikani, David S Achebe, dan
Samuel C Ohaegbulam. Traumatic Extradural Hematoma in Enugu, Nigeria.
Nigerian journal Of Surgeri. 2012 Jul-Dec; 18(2): 80–84.
5. Tim Neuro Trauma. Guideline In Management Of Traumatic Brain Injury.
Edisi Ke-2. Rsud Soetomo. Fakultas kedokteran Universitas Airlangga. 2014.
6. Jufri. Evaluasi Kasus Epidural hematom Di Rumah sakit Wahidin
Sudirohusodo Makassar periode Januari 2006 - Desember 2010. Makalah III
(Evaluasi Kasus). Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran; Universitas
Hasanuddin. 2012.
7. Umberto Maggiore dkk. Research : The relation between the incidence of
hypernatremia and mortality in patients with severe traumatic brain injury.
Critical Care. 2009. Vol (13) : 4.
8. Indra Saputra. Hubungan Hasil Rotterdam CT Score sebelum operasi dengan
GCS sesudah operasi pada pasien Cedera Kepala yang dilakukan operasi
kraniektomy dekompressi. Tesis. Departemen Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatra Utara Medan. 2014.
9. Chaple K & Hartl R. 2008. Traumatic Brian Injury. In: Norton JA, et al.
Surgery Basic Science and Clinical Evidence, Springer. 2nd Ed. 461-9.
10. Patro A. 2009. “Mohanty S. Pathophysiology and Treatment of Traumatic
Brain Injury”. Indian Journal of Neurotrauma; Vol 5 No. 1; 11-6.
11. Guyton AC, Hall JE. 2006. Metabolism of Carbohydrates, and Formation of
Adenosin Triphosphate. In; Text Book of Medical Physology, Elsevier
Saunders: 11th Ed. 829-39.
12. Referensi : Rajesh Cawla dan Subhash Todi. 2012. ICU Protocol. London :
Springer
13. Hemanshu Prabhakar; Charu Mahajan; dan Indu Kapoor. 2018. Essentials of
Anesthesia for Neurotrauma. New York : CRC Press Taylor & Francis Group.
14. Aditya Vedantam; Claudia S. Robertson; dan Shankar P. Gopinath. Morbidity
and mortality associated with hypernatremia in patients with severe traumatic
brain injury. Neurosurgical Focus Journal. 2017. Vol (43) : 5.
15. Leif Kolmodin; Mypinder S Sekhon; William R Henderson; Alexis F Turgeon;
dan Donald EG Griesdale. Hypernatremia in patients with severe traumatic
brain injury: a systematic review. Annals of Intensive Care Springer Open
Journal. 2013. Vol (3) : 35.
16. Cristina Capatina; Alessandro Paluzzi; Rosalid Mitchell; dan Niki Karavitaki.
Diabetes Insipidus after Traumatic Brain Injury. Journal of Clinical Medicine.
2015. Vol (4).

Anda mungkin juga menyukai