Anda di halaman 1dari 41

BAB I PENDAHULUAN

Di negara maju, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama kematian pada usia antara 244 tahun, dimana 70% di antaranya mengalami trauma kapitis. Trauma kapitis dapat menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi, deselerasi dan rotasi dari kepala dan isinya. Kerusakan jaringan otak dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di tempat yang berlawanan (countre coup). Diduga countre coup terjadi karena gelombang tekanan dari sisi benturan (sisi coup) dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah yang berlawanan, teoritis pada sisi countre coup ini terjadi tekanan yang paling rendah, bahkan sering kali negatif hingga timbul kavitasi dengan robekan jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak pada setiap trauma merupakan penyebab utama terjadinya countre coup, akibat benturan-benturan otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan dan pergeseran antara jaringan dalam tengkorak. Daerah pada otak yang seringkali menderita kerusakankerusakan ini adalah pada daerah lobus temporalis, frontalis dan oksipitalis.1 Trauma kapitis merupakan salah satu kasus yang paling sering dijumpai di ruang gawat darurat rumah sakit. Suatu rumah sakit yang melayani daerah yang berpenduduk sekitar 250.000 orang bisa menerima sampai 5.000 kasus trauma kapitis setiap tahun dan ini merupakan 10% dari semua kasus yang datang.2 Pencitraan diagnostik pada trauma kapitis adalah seperti foto polos kepala, tomografi komputer, pencitraan resonansi magnetik dan angiografi serebral. Tomografi komputer merupakan pencitraan diagnostik gold standard pada semua kasus trauma kapitis dan harus dilakukan pada pasien dengan penurunan kesadaran akibat trauma.3, 4 Skala Koma Glasgow (SKG) merupakan tolok ukur klinis yang digunakan untuk menilai derajat beratnya suatu trauma kapitis. Skor awal Skala Koma Glasgow adalah salah satu indikator dini yang penting dalam memprediksi prognosis pasien trauma kapitis. Prognosis pada trauma kapitis ringan (SKG 13-15) umumnya baik dan penderita dengan trauma kapitis berat (SKG 3-8) biasanya mempunyai prognosa yang buruk.4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1.

Definisi Trauma kapitis, juga disebut acquired brain injury atau hanya cedera kepala, hal ini

tejadi bila trauma tersebut berlaku secara tiba-tiba menyebabkan kerusakan pada otak. Kerusakan dapat terjadi secara fokal (terbatas pada satu daerah otak) atau difus (melibatkan lebih dari satu area dari otak). Trauma kapitis dapat terjadi akibat cedera kepala tertutup (closed head injury) atau luka penetrasi cedera kepala. Closed head injury terjadi ketika kepala secara tiba-tiba dan keras menghentam/melanggar obyek, tapi obyek tidak menembus tengkorak. Cedera penetrasi pula terjadi ketika obyek menembus tengkorak dan memasuki jaringan otak.5

II.2.

Epidemiologi Di Amerika Serikat, misalnya, setiap tahun sekitar 1,6 juta orang mengalami cedera

otak traumatis, di antaranya 800.000 menerima perawatan rawat jalan dan 270.000 membutuhkan perawatan rawat inap. Setiap tahun sekitar 52.000 orang tewas dan 80.000 pasien permanen cacat neurologis parah akibat cedera otak traumatis. Di seluruh dunia, trauma kapitis adalah penyebab terbesar jumlah cacat dan kematian. Di negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan, frekuensi trauma kapitis cenderung makin meningkat.5, 6

II.3.

Etiologi Separuh dari semua trauma kapitis adalah karena kecelakaan di jalan raya yang

melibatkan mobil, sepeda motor, sepeda, dan pejalan kaki. Kecelakaan ini adalah penyebab utama dari trauma kapitis pada orang di bawah usia 75 tahun. Bagi mereka berusia 75 tahun ke atas, mayoritis mengalami trauma kapitis karena jatuh. Sekitar 20% dari trauma kapitis adalah karena kekerasan, seperti senjata api dan serangan kekerasan terhadap anak, dan sekitar 3% adalah karena cedera olahraga. Selain itu setengah dari insiden trauma kapitis melibatkan penggunaan alkohol. Penyebab trauma kapitis berperan dalam menentukan hasil pasien.6
2

II.4.

Patofisiologi Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat dipenuhi.

Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral.7, 8

II.5.

Klasifikasi Trauma kapitis dibagi menjadi trauma kapitis primer dan trauma kapitis sekunder.

Trauma kapitis primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera, dan ini merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang dapat dilakukan kecuali menstabilkan kondisi pasien, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal. Trauma kapitis primer pula dibahagikan kepada trauma kapitis terbuka dan trauma kapitis tertutup.7, 8 Trauma kapitis sekunder merupakan proses lanjutan dari trauma kapitis primer dan lebih merupakan fenomena metabolik. Pada penderita trauma kapitis berat, pencegahan trauma kapitis sekunder dapat mempengaruhi tingkat penyembuhan pasien. Penyebab trauma kapitis sekunder antara lain penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo atau hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intrakranial (tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi).7, 8 Trauma Kapitis

Primer

Sekunder

Terbuka

Tertutup

Sistemik

Intrakranial

II.6.

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis trauma kapitis terbuka adalah seperti berikut: Trauma kapitis ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi duramater. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak. Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus interna, foramen jugularis dan tuba eustachius. Setelah 2-3 hari akan tampak battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga diatas os mastoid) dan otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga). Perdarahan dari telinga dengan trauma kapitis hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Fraktur basis tengkorak tidak selalu dapat dideteksi oleh foto rontgen, karena terjadi sangat dasar. Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah: 6 i. ii. iii. iv. v. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid) Hemotimpanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga) Periorbital ecchymosis (mata berwarna hitam tanpa trauma langsung) Rhinorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari hidung) Otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga)

Manifestasi klinis trauma kapitis tertutup: i.

Komusio serebri (Gegar otak) Merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi pingsan (kurang dari 10 menit). Gejala lain yang mungkin terjadi adalah pusing dan noda-noda didepan mata.6

ii.

Kontusio serebri (Memar otak) Merupakan perdarahan kecil/ptechie pada jaringan otak akibat pecahnya pembuluh darah kapiler. Hal ini bersama-sama dengan rusaknya jaringan saraf atau otak yang akan menimbulkan edema jaringan otak di daerah sekitarnya.6

Berdasarkan lokasi benturan, lesi dibedakan atas coup kontusio dimana lesi terjadi pada sisi benturan, dan tempat benturan. Pada kepala yang relatif diam biasanya terjadi lesi coup, sedang bila kepala dalam keadaan bebas bergerak akan terjadi kontra coup.6

Gejala perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin menurun, disertai oleh anisokor dan mungkin terjadi hemiparese kontralateral. Sedangkan perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan manifestasi klinis yang khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang tidak membaik setelah beberapa hari.6

iii.

Perdarahan Subdural Merupakan perdarahan antara duramater dan arakhnoid, yang biasanya meliputi perdarahan vena. Perdarahan subdural dibedakan atas akut, subakut, dan kronis.7

Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak dasar dan cedera batang otak. Manifestasi klinisnya adalah sakit kepala, perasaan mengantuk, kebingungan, respon yang lambat, dan gelisah. Keadaan kritis terlihat apabila adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.7

Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat. Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran yang dalam.7

Perdarahan subdural kronik, terjadi karena luka ringan. Bermula dengan perdarahan kecil yang memasuki ruang subdural. Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara perlahan meluas. Manifestasi klinis ini mungkin tidak tampak dalam beberapa mingggu atau bulan. Pada proses berkelanjutan dapat terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.7

iv.

Perdarahan Intraserebral Merupakan penumpukan darah pada jaringan otak. Perdarahan mungkin disertai contra coup phenomenon. Pendarahan ini sering pada kasus kontusio dan terjadi pada area frontal dan temporal. Akibat adanya substansi darah dalam jaringan otak akan menimbulkan edema otak. Manifestasi neurologik tergantung pada ukuran dan lokasi perdarahan.7, 8

II.7.

Pemeriksaan Radiologi

A. Foto Polos Kepala Foto polos kepala pernah merupakan pemeriksaan penting dalam mengevaluasi trauma kapitis, sekarang telah digantikan dengan tomografi komputer dan jarang digunakan lagi pada pasien dengan trauma kapitis tertutup. Kadang-kadang foto polos kepala digunakan pada pasien dengan luka tembak di kepala untuk menentukan ada tidaknya fragmen peluru intrakranial yang tertinggal. Pemeriksaan ini dapat melihat pergeseran (displacement) fraktur tulang tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan intrakranial.9 Jenis-jenis fraktur pada tengkorak dapat berupa fraktur impresi, fraktur linear dan fraktur diastasis. Fraktur impresi biasanya disertai kerusakan jaringan otak dan pada foto terlihat sebagai garis atau dua garis sejajar dengan densitas tinggi pada tulang tengkorak. Fraktur linear harus dibedakan dari sutura dan pembuluh darah. Pada foto, fraktur ini terlihat sebagai garis radiolusen, paling sering di daerah parietal. Garis fraktur biasanya lebih radiolusen daripada pembuluh darah dan arahnya tidak teratur. Fraktur pada dasar tengkorak seringkali sukar dilihat. Adanya bayangan cairan (air-fluid level) dalam sinus sfenoid menunjukkan adanya fraktus basis kranii. Fraktur diastasis lebih sering pada anak-anak dan terlihat sebagai pelebaran sutura.9

Gambar 1 Gambar 1: Menunjukkan fraktur linear (panah hitam) 10 Gambar 2: Menunjukkan fraktur impresi (panah hitam)10

Gambar 2

Gambar 1 & 2: Gambaran foto polos kepala lateral menunjukkan dua jenis fraktur tengkorak

B. Tomografi Komputer (TK) Tomografi Komputer adalah satu pemeriksaan yang menggunakan sifat tembus sinar-x, di mana sumber sinar-x dan detektor berputar di sekitar objek kemudian informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk menghasilkan gambaran cross-sectional oleh komputer. Foto tomografi komputernakan tampak sebagai penampang-penampang melintang dari objeknya. Tomografi Komputer adalah modalitas alat pencitraan utama yang digunakan dalam keadaan akut dan sangat bermanfaat pada dalam menegakkan serta menentukan tipe trauma kapitis karena kemampuannya memberikan gambaran fraktur, hematoma dan edema yang jelas baik bentuk maupun ukurannya. Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat seluruh struktur anatomis kepala, dan merupakan alat yang paling baik untuk mengetahui dan menentukan lokasi serta ukuran dari perdarahan intrakranial. Indikasi pemeriksaan tomografi komputer pada kasus trauma kapitis adalah seperti berikut: 11 Trauma kapitis sedang dan berat Trauma kapitis ringan yang disertai fraktur tengkorak Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran Sakit kepala yang berat Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral

Indikasi Pemeriksaan TK untuk Pasien Dewasa Pasien dewasa yang mengalami trauma kapitis dan mempunyai satu atau lebih dari resiko berdasarkan Tabel 2.1 perlu dilakukan pemeriksaan TK dengan segera.12 Tabel 2.1 NO RESIKO 1 Skor SKG < 13 sewaktu pihak IGD melakukan pemeriksaan buat pertama kali 2 Skor SKG < 15 selepas 2 jam berlakunya trauma kapitis sewaktu pihak IGD melakukan pemeriksaan buat pertama kali 3 Suspek trauma kapitis dengan fraktur terbuka & depresi tulang tengkorak 4 Tanda-tanda fraktur basal tengkorak (haemotympanum, racoon eyes, kebocoran cairan cerebrospinal melalui telinga dan hidung, Battles sign) 5 Terjadinya kejang post-trauma 6 Penurunan fokal neurologis 7 Muntah 1 kali atau lebih 8 Amnesia > 30 menit

Indikasi Pemeriksaan TK untuk Pasien Dewasa dengan penurunan kesadaran dan amnesia Pasien dewasa yang mengalami trauma kapitis dan mempunyai satu atau lebih dari resiko berdasarkan Tabel 2.2 dan hilang kasadaran serta amnesia serta merta setelah kecelakaan lalu lintas (KLL) perlu dilakukan pemeriksaan TK dengan segera.12 Tabel 2.2 NO RESIKO 1 Usia lebih dari 65 tahun 2 Koagulopati (riwayat perdarahan, gangguan pembekuan, saat ini pengobatan dengan warfarin) 3 Mekanisme KLL yang terlalu berbahaya

Indikasi Pemeriksaan TK untuk Pasien Anak-anak Pasien anak-anak yang mengalami trauma kapitis dan mempunyai satu atau lebih dari resiko berdasarkan Tabel 2.3 perlu dilakukan pemeriksaan TK dengan segera.12 Tabel 2.3 NO RESIKO 1 Hilang kasadaran lebih dari 5 menit 2 Amnesia (antegrade atau retrograde) lebih dari 5 menit 3 Pening yang abnormal 4 Muntah 3 kali atau lebih 5 Suspek klinis mungkin telah terjadi cedea tanpa KLL 6 Kejang post-trauma tanpa ada riwayat epilepsi 7 SKG < 14, anak bayi < 1 tahun SKG (Pediatrik) < 15, sewaktu pihak IGD melakukan pemeriksaan pertama kali 8 Suspek trauma kapitis dengan trauma terbuka, depresi tulang tengkorak atau 9 Tanda-tanda fraktur basal tengkorak (haemotympanum, racoon eyes, kebocoran cairan cerebrospinal melalui telinga dan hidung, Battles sign) 10 Penurunan fokal neurologis 11 Usia < 1 tahun, adanya memar, bengkak atau laserasi lebih dari 5 cm di kepala. 12 Mekanisme KLL yang terlalu berbahaya Kepentingan dilakukan pemeriksaan TK dengan segera Kepentingan untuk melakukan pemeriksaan TK (serta pembacaan) dalam masa 1 jam berdasarkan resiko tabel 2.4. 12 Tabel 2.4 NO RESIKO 1 SKG < 13 sewaktu pihak IGD melakukan pemeriksaan pertama kali 2 SKG < 15 2 jam setelah trauma kapitis 3 Suspek trauma kapitis dengan fraktur terbuka & depresi tulang tengkorak 4 Tanda-tanda fraktur basal tengkorak (haemotympanum, racoon eyes, kebocoran cairan cerebrospinal melalui telinga dan hidung, Battles sign) 5 Muntah 1 kali atau lebih untuk pasien dewasa, muntah 3 kali atau lebih untuk anak-anak 6 Kejang post-trauma 7 Koagulopati (riwayat perdarahan, gangguan pembekuan, saat ini pengobatan dengan warfarin) + penurunan kesadaran dan amnesia. Pasien saat ini dengan pengobatan antiplatelet mungkin akan mengalami resiko yang lebih tinggi untuk perdarahan intrakranial 8 Penurunan fokal neurologis

Gambaran Tomografi Komputer pada Trauma Kapitis i. Komosio Serebri Secara definisi komosio serebri adalah gangguan fungsi otak tanpa adanya kerusakan anatomi jaringan otak akibat adanya cedera kepala. Sedangkan secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar selama kurang dari 15 menit, disertai sakit kepala, pusing, mual-muntah adanya amnesia retrograde atau antegrade. Pada pemeriksaan radiologis tomografi komputer tidak didapatkan adanya kelainan.13

ii.

Kontusio Serebri Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak akibat

adanya kerusakan jaringan otak, secara klinis didapatkan pasien pernah atau sedang tidak sadar selama lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya kelainan neurologis akibat kerusakan jaringan otak seperti hemiparese/plegi, afaasia disertai gejala mual-muntah, pusing sakit kepala, amnesia retrograde atau antegrade, pada pemeriksaan tomografi komputer didapatkan daerah hiperdens di jaringan otak, sedangkan istilah laserasi serebri menunjukkan bahwa terjadi robekan membran pia-arakhnoid pada daerah yang mengalami contusio serebri yang gambaran pada tomografi komputer disebut Pulp brain.13 Gambaran TK akut awalnya menunjukkan isodens kontusio yang menjadi lebih jelas pada tindak lanjut pemindaian TK. Gambaran TK seperti terlihat di bawah, sering menunjukkan perkembangan dari waktu ke waktu dalam ukuran dan jumlah kontusio dan jumlah perdarahan dalam kontusio. Awalnya, temuan gambaran TK boleh normal atau minimal abnormal karena volume parsial antara microhemorrhages padat dan edema hipodens dapat menyebabkan kontusio isodens relatif terhadap jaringan otak sekitarnya.14.

10

Gambar 3 Gambar 3: Gambaran kontusi serebri akut pada temporal kortikal kanan Gliding contusion disebabkan oleh percepatan sudut sagital dengan peregangan dan robeknya pembuluh darah parasagittal. Gliding contusion sering hemoragik, tidak hanya dari gerak diferensial struktur subkortikal (sering disebut sebagai cedera geser), tetapi juga dari robeknya vena parasagittal. Ketika otak tiba-tiba bergeser pada saat dampak, jaringan subkortikal meluncur lebih dari korteks. Para Convexities dari setiap belahan yang berlabuh ke dura secara granulasi arakhnoid. Gliding contusion juga cenderung bilateral.14

Gambar 4 Gambar 4: Gambaran acute gliding contusions

11

iii.

Hematoma Epidural Tomografi komputer adalah pemeriksaan pilihan jika dicuriga adanya hematoma

epidural intrakranial.15-19 Namun, karena volume rata-rata berada dengan tulang yang berdekatan, hematoma epidural yang kecil dapat menjadi sulit untuk dideteksi dengan tomografi komputer.20 Hematoma epidural biasanya dapat dibedakan dari hematoma subdural dengan adanya bentuk biconvex, dibandingkan dengan bentuk bulan sabit dari hematoma subdural. Selain itu, tidak seperti hematoma subdural, hematoma epidural biasanya tidak melewati sutura.20 Dengan bentuk biconvex yang khas, elips, ekstra-aksial koleksi cairan, penampilan hematoma epidural pada tomografi komputer tergantung pada sumber perdarahan, waktu berlalu sejak cedera, tingkat keparahan perdarahan, dan tingkat organisasi gumpalan dan pemecahan.21, 22

Gambar 5 Gambar 5: Gambaran Hematoma Epidural Akut, atau tipe 1, hematoma epidural mungkin mengandung hyperdense clot dan swirling lucency. Temuan ini diyakini merupakan campuran dari perdarahan aktif dan serum yang tersisa setelah pembentukan gumpalan sebelumnya. Subakut, atau tipe 2, hematoma epidural menjadi hiperdens homogen dengan adanya perdarahan aktif berhenti dan bentuk gumpalan terorganisir. Kronis, atau tipe 3, hematoma epidural mengandung setidaknya sebagian hipodens dengan gumpalan mengalami kerusakan dan resorpsi. Peningkatan pembentukan membran mungkin hasil dari neovascularitas dan pembentukan jaringan granulasi di dura pengungsi selama proses gumpalan-resorpsi.23

12

Gambar 6 Gambar 6: Gambaran Hematoma Epidural Akut

Meskipun tomografi komputer merupakan pemeriksaan pilihan dalam mengevaluasi hematoma epidural intrakranial, modalitas ini terbatas dalam mengevaluasi hematoma epidural tulang belakang karena kesulitan dalam memeriksa segmen tulang belakang yang panjang dengan gambar aksial tomografi komputer dan karena atenuasi rendah subakut atau hematoma epidural kronis.23

iv.

Hematoma Subdural Perdarahan terjadi di antara duramater dan arakhoid yang disebabkan robekan vena-

vena di daerah korteks serebri atau bridging vein oleh suatu trauma. Lokalisasi terutama di daerah frontoparietotemperoral. Hematoma subdural dibagikan dalam tiga jenis: akut, subakut dan kronik.24 Pada gambaran TK, subdural hematoma akut dapat ditemukan area hiperdens tipis, merata berbentuk semilunar atau bulan sabit (crescentic appearance) di antara tabula dan parenkim otak. Pada minggu kedua dan ketiga (fase subakut), subdural hematoma menjadi isodense terhadap otak dan sering menjadi bentuk lensa sehingga dapat membingung dengan epidural hematoma. Setelah beberapa minggu kemudian, akan timbul hematoma subdural kronik, pada gambaran TK yang ditemukan area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens dan berbentuk bikonveks yang berbatas tegas.23 Seringkali, hematoma subdural kronis muncul sebagai lesi heterogen padat dengan fluid level antara (hipodens) komponen akut dan (hiperdens) komponen kronis hematoma.24, 25
13

Gambar 7

Gambar 8

Gambar 9

Gambar 7: Menunjukkan Hematoma subdural akut. Gambaran TK ditemukan hiperdens diantara duramater dan araknoid, umumnya akibatkan robekan dari briging vein. Gambaran seperti bulan sabit, disertai mildline shift Gambar 8: Menunujukkan Hematoma subdural subakut. Gambaran hematoma berbentuk bulan sabit yang kurang densitas berbanding daripada gambaran TK hematoma subdural akut Gambar 9: Menunjukkan gambaran TK Hematoma subdural kronik dan disertai midline shift

Gambar 10 Gambar 10: Kronis subdural hematoma (SDH) umumnya bilateral dan memiliki area perdarahan akut, yang mengakibatkan densitas yang heterogen. Tampak kurangnya pergeseran garis tengah karena adanya hematoma bilateral.24, 25

14

v.

Perdarahan Subarakhoid (SAH) Perdarahan subarakhnoid yang terjadi karena trauma biasanya terletak di atas gyri

pada konveksitas otak. SAH yang disebabkan oleh pecahnya aneurisma otak biasanya terletak di cisterns subarakhnoid pada dasar otak. SAH dapat terjadi sendiri atau dalam hubungan dengan hematoma intraserebral atau ekstraserebral lainnya. Pada gambaran TK, SAH terlihat mengisi ruangan subaraknoid yang biasanya terlihat gelap dan terisi cairan serebrospinal di sekitar otak. Rongga subaraknoid yang biasanya hitam mungkin tampak putih di perdarahan akut. Temuan ini paling jelas terlihat dalam rongga subaraknoid yang besar. Jika pemeriksaan TK dilakukan beberapa hari atau minggu setelah perdarahan awal, temuan akan tampak lebih halus. Gambaran putih darah dan bekuan cenderung menurun, dan tampak sebagai abu-abu. SAH dapat menyebabkan hidrosefalus dan konfusi akibat trauma, pecahnya pembuluh darah arteri (aneurisme) atau malformasi arteriovenosa (AVM). Selain menentukan SAH, gambaran TK juga dapat digunakan untuk melokalisir sumber perdarahan.24, 25

Gambar 11

Gambar 12

Gambar 11: Menunujukkan perdarahan subarachoid. Gambaran TK kepala ditemukan adanya perdarahan di ruang subarakhoid (tanda panah hitam) Gambar 12: Menunjukkan pasien mengalami hematoma esktradural di sebelah kanan dan perdarahan subarakhnoid di sebelah kiri

15

vi.

Hematoma Intraserebral Hematoma intraserebral adalah perdarahan parenkhim otak disebabkan pecahnya

pembuluh darah, sehingga timbulnya hematom intraparenkim sesudah 30 menit hingga 6 jam trauma. Hematom ini boleh timbul di daerah kontralateral (contrecoup). Pada gambaran TK sesudah beberapa jam akan tampak daerah hematom (hiperdens) dan tepi yang tidak rata.5, 26

Gambar 13 Gambar 13: Hematoma intraserebral. Gambaran TK ditemukan perdarahan parenkim otak dengan adanya gambaran lesi hiperdens (panah putih), jaringan di sekitar tampak densitasnya lebih rendah akibat infark atau edema.

vii.

Perdarahan Intraventrikular Sebelum ketersediaan ultrasonografi, tomografi komputer digunakan untuk diagnosis

dan tindak lanjut. Tomografi komputer tidak lagi digunakan untuk diagnosis dan tindak lanjut mengingat keamanan dan efektivitas biaya sonografi.10

Gambar 14
16

C. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah pemeriksaan yang menggunakan medan magnet dan pulsa energi gelombang radio untuk mengambil gambar kepala. Dalam banyak kasus, MRI memberikan informasi yang tidak dapat dilihat pada X-ray, USG, atau Tomografi Komputer (TK). Untuk MRI kepala, pasien berbaring dengan kepala di dalam sebuah mesin khusus (scanner) yang memiliki magnet kuat. MRI dapat menunjukkan kerusakan jaringan atau penyakit, seperti infeksi, radang, atau tumor. Informasi dari MRI dapat disimpan dalam komputer untuk studi yang lebih lanjut. Foto-foto atau film pandangan tertentu juga dapat dibuat. Selain itu, gambaran stroke dan kejang dapat dilihat dari pemeriksaan MRI. Dalam beberapa kasus, pewarnaan (bahan kontras) dapat digunakan ketika dilakukan pemeriksaan MRI untuk menampilkan gambaran struktur yang lebih jelas. Cairan tersebut dapat membantu menunjukkan aliran darah, mencari beberapa jenis tumor, dan menunjukkan area peradangan.27 MRI saat ini tidak digunakan pada trauma kapitis akut, tetapi berperan penting ketika tidak ada informasi atau gambaran yang jelas untuk menentukan diagnosis pada trauma subakut atau kronis. Tujuan dari pemeriksaan MRI dalam mengevaluasi perdarahan intrakranial adalah sebagai berikut: 28 Untuk melihat ada atau tidaknya perdarahan Untuk mengetahui lokasi dan membedakan perdarahan (ekstra-aksial dibandingkan intra-aksial): ekstra-aksial, untuk membedakan perdarahan subarakhnoid (SAH), hematoma subdural (SDH), dan hematoma epidural (EDH), dan intra-aksial, untuk menemukan lokasi spesifik dari neuroanatomi Untuk menentukan sudah berapa lama perdarahan terjadi Untuk mengetahui etiologi Untuk membantu penatalaksanaan perdarahan dan menentukan prognosis pasien

17

Perdarahan Intraserebral Berdasarkan Waktu 1. Perdarahan Hiperakut

Gambar 15 Gambar 15: Magnetic Resonance Imaging aksial menunjukkan hematoma hiperakut dalam kapsul eksternal yang tepat dan korteks insular pada pasien hipertensi. T1 aksial menunjukkan isointens untuk lesi hipointens di daerah temporoparietal kanan yang hiperintens pada T2 dan dengan kecenderungan tampak sebagai intensitas sinyal rendah karena darah pada gradienecho (GRE). Sebuah lingkaran kecil edema vasogenik mengelilingi hematoma.28

2.

Perdarahan Akut

Gambar 16 Gambar 16: Magnetic Resonance Imaging menunjukkan hematoma akut pada daerah frontal kiri. T1 aksial dan T2 menunjukkan hematoma yang hipointens. Sebuah lingkaran kecil edema vasogenik mengelilingi hematoma terlihat di T2.28

18

3.

Perdarahan Subakut Awal (Early Subacute Hemorrhage)

Gambar 17 Gambar 17: Magnetic Resonance Imaging menunjukkan hematoma subakut awal di daerah oksipital kiri. Lesi terlihat hiperintens pada T1 dan hipointens pada T2 ditandai dengan kecenderungan disebabkan oleh hematoma pada gradien-echo intraventrikular juga terlihat jelas sebagai sinyal rendah pada GRE.28 (GRE). Hematoma

4.

Perdarahan Subakut Akhir (Late subacute hemorrhage)

Gambar 18 Gambar 18: Magnetic Resonance Imaging menunjukkan perdarahan subakut akhir di kedua daerah thalamus pada pasien malaria cerebral. T1, T2, dan gradient-echo (GRE) menunjukkan hematoma hiperintens. T2 dan GRE menunjukkan lingkaran kecil hipointens yang disebabkan hemosiderin.28

19

5.

Perdarahan Kronik

Gambar 19 Gambar 19: Magnetic Resonance Imaging menunjukkan hematoma kronik sebagai spaceoccupying lesion pada fossa posterior kanan. Perdarahan terlihat sebagai gambaran hipointens di T1 dan T2. Hipointensitas diperjelas oleh efek darah pada GRE.28

6.

Subdural Hematoma dan Epidural Hematoma Seperti perdarahan intraserebral, subdural hematoma (SDH) memiliki 5 tahap yang

berbeda evolusinya, oleh karena itu, terdapat 5 penampilan di MRI. Dura tervaskularisasi dengan baik dan mempunyai tekanan oksigen yang agar tinggi, mengakibatkan perkembangan dari satu tahap ke tahap lainnya menjadi lebih lambat di dalam lesi daripada di dalam otak. 4 tahapan yang pertama itu adalah sama dengan yang untuk hematoma parenkim, dengan karakteristik yang sama pada T1-WI dan T2-WI. Tahap kronis ditandai dengan denaturasi oksidatif methemoglobin yang terus-menerus, terjadi pembentukan hemochromates

nonparamagnetic. Selain itu, tidak ada pinggiran hemosiderin dan jaringan makrofag terlihat di sekitarnya hematoma. Apabila terjadinya perdarahan rekuren di SDH, akan terlihat lesi dengan gambaran intensitas sinyal yang berbeda pada MRI.29 Perkembangan epidural hematoma (EDH) dan subdural hematoma (SDH) adalah sangat mirip. EDH berbentuk bikonveks klasik dan dengan dasar dura mater yang berintensitas, manakala SDH berbentuk konkave.29

20

Gambar 20 Gambar 20: Hematoma subdural subakut pada frontoparietal. KT menunjukkan isodens hipodens subdural hematoma. Pada MRI, T1 dan T2 terlihat gambaran intensitas sinyal tinggi menunjukkan perdarahan subakut akhir.29

Gambar 21 Gambar 21: Pada MRI T1 menunjukkan subdural hematoma subakut bilateral dengan intensitas sinyal yang meningkat. Daerah intensitas yang intermediate menunjukkan perdarahan akut pada perdarahan subakut.29

Meskipun MRI sangat sensitif dalam mengevaluasi SEDH (spinal epidural hematoma), MRI jarang menjadi modalitas awal pilihan untuk menilai hematoma epidural intrakranial yang dikarenakan oleh tahap akut dan tingkat keparahan hematoma epidural. Gerak artefak pada pasien tidak sadar dan tidak adanya unit MRI tersedia di luar daerah perkotaan juga membatasi kegunaannya. MRI menunjukkan massa bikonveks dipisahkan dari

21

dura atasnya oleh pelek tipis serum diekstrusi terletak di antara gumpalan dan dura. Garis ini hyperintense pada kedua gambar T1-W dan T2-W.23 Hematoma epidural akut adalah isointense untuk minimal hipointense pada gambar T1-W dan nyata hipointense pada gambar T2-W; penampilan ini sesuai dengan fase deoxyhemoglobin. Hematoma epidural subakut adalah hyperintense pada gambar T1-W, karena deoxyhemoglobin diubah menjadi methemoglobin. Pada gambar T1-W, dura dapat dilihat sebagai garis tipis hipointense bahwa hematoma tersebut berpindah menuju ke dalam.23 MRI juga dapat menunjukkan fraktur dengan cairan antara margin fraktur. Modalitas ini dapat membantu dalam menunjukkan oklusi sinus dural dalam kasus flap fraktur akibat intimal berhubungan dengan vena sinus hematoma epidural.23

Gambar 22 Gambar 22: Gambaran Hematoma Epidural Akut MRI biasanya menunjukkan kontusio otak dari timbulnya cedera. MRI adalah sensitif terhadap hiperakut kontusio hemoragik (<12 jam). Pada MRI, kontusio adalah isointense ke hyperintense pada T1-W dan hyperintense pada gambar T2-W. Gradient-echo MRI dapat mengungkapkan hipointensitas, yang sangat penting untuk deteksi dan deliniasi kontusio.14

22

Gambar 23 Gambar 23: Gambaran MRI pada kontusio serebri 7. Perdarahan Subarachnoid (SAH) dan Perdarahan intraventricular (IVH) Perdarahan subarachnoid (SAH) dan perdarahan intraventricular (IVH) berbeda dari perdarahan intraparenchymal, subdural hematoma (SDH), dan epidural hematoma (EDH) dimana mereka dicampur dengan cairan serebrospinal. Seperti EDH dan SDH, SAH memiliki kadar oksigen yang tinggi, sehingga mereka menua lebih lambat daripada hematoma parenkim yang lakukan.28

Gambar 24 Gambar 24: MRI menunjukkan perdarahan subarachnoid (SAH). SAH muncul hyperintense pada T2 dan fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) images. Isointense - hipointense pada gambar T1. Marked blooming diamati pada gambar echo gradient (GRE). Gambaran menunjukkan perdarahan hiperakut atau akut.28

23

Gambar 25 Gambar 25: Perdarahan subarachnoid tampak hiperintense pada gambar T2, hipointense pada FLAIR, dan tampak marked blooming pada gradien echo-(GRE) gambar di celah Sylvian, pada basal cisterns, dan sepanjang folia serebellar karena darah. Gambaran ini menunjukkan perdarahan subarachnoid kronis dan / atau siderosis superfisia.28 D. Angiografi Serebral Pemeriksaan angiografi adalah pemeriksaan pembuluh darah dengan menggunakan zat kontras. Sejak perkembangan TK di pertengahan 1970-an, kebutuhan angiografi serebral pada trauma kapitis telah menurun secara dramatis. Angiografi serebral berperan dalam menunjukkan dan mengelola cedera vaskuler yang traumatis. Cedera vaskuler biasanya disebabkan oleh trauma tajam (misalnya, luka tembak atau tusuk), fraktur tulang tengkorak basal, atau trauma leher. Namun, pemeriksaan ini bermanfaat bila alat tomografi komputer tidak disediakan. Pemeriksaan angiografi serebral pada trauma kapitis dapat memperlihatkan adanya hematoma subdural dan hematoma epidural. Bila ada kelainan di dalam otak akan terlihat adanya pergeseran pembuluh darah.9, 30 Pada pemeriksaan angiografi serebral, hematoma subdural menunjukkan pendesakan arteri dan vena berbentuk konveks sesuai dengan lengkung hemisfer serebri. Sesuai dengan lokalisasi perdarahan, akan tampak pendesakan arteri serebri anterior, arteri serebri media maupun deep vein. Kadang-kadang ditemukan lesi yang luas, tetapi pendesakan arteri serebri anterior, arteri serebri media dan vena serebri interna sangat sedikit (tidak seimbang), maka harus dilakukan angiografi sisi kontralateral karena kemungkinan adanya hematoma subdural di sisi kontralateral tersebut. Membedakan hematoma epidural dan hematoma subdural pada angiogram sering sulit. Jika arteri meningea media terdesak ke arah median (ke dalam), maka

24

diagnosis hematoma epidural dapat ditegakkan. Jika hematoma epidural masuk ke dalam sinus venosus, maka sinus venosus ini akan terpisah dari tabula interna.9

Gambar 26

Gambar 27

Gambar 28

Gambar 26: Menunjukkan gambaran Bilateral subdural hematoma. Tampak depresi permukaan hemisfera serebral (panah hitam).31 Gambar 27: Hematoma subdural di bagian parietal kiri.9 Gambar 28: Hematoma epidural di daerah temporal kiri.9

Sebelum perkembangan TK, angiografi serebral sering digunakan pada trauma kapitis akut untuk membedakan hematoma ekstra-aksial daripada hematoma intra-aksial.10

Gambar 29

Gambar 30

Gambar 29: Menunjukkan Massa ekstra-aksial (hematoma subdural akut), tampak pemisahan antara permukaan otak (panah padat) dan tengkorak (panah terbuka).10 Gambar 30: Menunjukkan ekstravasi bahan kontras (panah hitam) dari arteri meningeal medial (tanda panah melengkung) ke dalam hematoma epidural. Tampak garis fraktur (panah terbuka) meluas di meningeal groove, dan bahan kontras memenuhi alur sepanjang meningeal.10
25

E. PET dan SPECT Positron emission tomography (PET) dan technetium 99m-hexa-

methylpropyleneamineoxime single photon emission computed tomography (SPECT) dapat menunjukkan abnormalitas pada stadium akut dan kronis apabila pemeriksaan lain tidak menunjukkan kelainan. Hasil normal yang ditemukan pada pemeriksaan SPECT yang dapat dilakukan dalam waktu 1-4 minggu untuk kasus trauma kapitis ringan dan sedang untuk memprediksi prognosis untuk 1 tahun mendatang. Namun tidak direkommendasikan pada stadium awal kasus trauma kapitis.32

F. Pemeriksaan Biokimia Marker Trauma Kapitis (Biochemical Markers of Traumatic Brain Injury) Otak memproduksi protein yang spesifik, yaitu S100B dan neur one specific enolase dimana ia akan dirembeskan ke dalam sirkulasi darah setelah terjadinya suatu trauma kapitis. Kadar serum S100B adalah lebih tinggi pada pasien dengan kelainan patologi intrakranial serta kadarnya berkolerasi sesuai klinisnya dan sesuai dengan tahap keparahan kasus trauma kapitis primer dan sekunder.32

G. Kedokteran Nuklir 1. Radiofarmaka Untuk menilai keadaan tubuh, misalnya hati, maka organ tersebut harus dijadikan sumber radiasi. Apabila hanya organ tersebut saja yang menangkap unsur radioaktif, sedangkan sekitar organ tersebut tidak, maka pemeriksaan organ tersebut sebagai sumber radiasi dapat dilakukan. Untuk maksud tersebut, diperlukan suatu senyawa yang mengandung radioaktif yang dapat ditangkap oleh organ tubuh secara selektif. Senyawa tersebut adalah radiofarmaka, yang diberi batasan sebagai suatu senyawa aktif yang dimasukkan ke dalam tubuh penderita (ditelan atau disuntik) untuk menegakkan diagnosis atau pangobatan dan tidak tertutup kedap (ikut metabolisme tubuh).9 Radiofarmaka terdiri atas dua komponen radioaktif dan komponen pembawa materi dapat ditandai (dilabel) oleh lebih dari satu bahan radioaktif, sebaliknya satu komponen radioaktif dapat menandai lebih dari satu pembawa materi. Komponen pembawa materi akan membawa bahan radioaktif ke organ tubuh tertentu yang dapat ditempati atau dapat
26

menangkap pembawa materi tersebut, sehingga bahan radioaktif akan berada di organ tersebut dan menjadi sumber radiasi. Apabila sebagian atau seluruh organ tersebut gagal ditempati/menangkap radiofarmaka atau sebaliknya terlalu banyak/terlalu aktif menangkap radiofarmaka, maka peta energi organ tersebut akan berubah, misalnya abses di hati menimbulkan gambaran cold area karena kegagalan sel hati di daerah abses untuk menangkap radiofarmaka.9

2. Kedokteran Nuklir Sebagai Pencitraan Diagnostik Kedokteran nuklir yang memberikan data pencitraan (imaging) organ merupakan pemeriksaan in vivo karena menjadikan organ tubuh sebagai sumber radiasi. Peta energi sumber radiasi tersebut dapat diamati untuk menentukan besar, bentuk dan letak organ serta kelainan-kelainannya. Sedangkan kegunaan kedokteran nuklir lainnya, terhadap penderita yang tidak diberikan radiofarmaka, tetapi radioaktif dimaanfaatkan untuk menghitung konsentrasi hormon atau obat dalam darah dengan mengambil sampel plasma penderita dan direaksikan dengan radioaktif yang telah ditetapkan, baik reaksi kompetitif maupun reaksi immunologis, menghasilkan ketepatan yang cukup baik, misalnya reaksi radioimmunoassay (RIA) untuk menghitung hormon T3 dan T4.9

3. Skrining Otak Kerusakan sawar darah otak (blood brain barrier) yang dapat diakibatkan oleh trauma (kontusi), daerah iskemi karena stroke dapat menyebabkan masuknya materi dari kapiler darah ke jaringan ekstraseluler otak. Bila radioaktif disuntikkan ke dalam darah, radioaktif ini juga akan berada di daerah ekstraseluler otak tersebut dengan konsentrasi yang tinggi dan menimbulkan hot spot. Kerusakan blood brain barrier juga dapat diakibatkan oleh abses, keganasan, sebaliknya hot spot pada citra otak dapat pula terjadi pada aneurisma dan malformasi arteriovenosis. Sejak berkembangnya TK kepala, pemeriksaan scanning otak dengan isotop jarang dilakukan di Indonesia.9 Radiofarmaka yang sering dipakai adalah 99mTc-HMPAO yang cukup representatif dibandingkan radiofarmaka lainnya karena in vivo stabil, distribusi cepat, tidak retensi lama, relatif tidak begitu mahal.9

27

Indikasi pemeriksaan pencitraan perfusi cerebral dengan 99mTc-HMPAO adalah seperti berikut:9 Penyakit cerebro-vaskuler Gangguan kejiwaan Kelainan kejang/konvulsi Trauma Degeneratif Dementia Alzheimer II.8. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium pada kasus trauma kapitis termasuklah: 33 Pemeriksaan darah lengkap dan platelet Kadar elektrolit, urea dan urin Kadar glukosa darah Koagulasi darah: PT, TT, aPTT, INR

II.9.

Komplikasi Komplikasi trauma kapitis biasanya berlaku secara langsung setelah terjadinya trauma

kapitis. Komplikasi yang terjadi bukan merupakan contoh-contoh trauma kapitis tetapi adalah masalah medis yang terjadi akibat trauma kapitis. Walaupun komplikasi jarang terjadi namun, resiko komplikasi bertambah dengan beratnya trauma kapitis. Antara komplikasi yang dapat terjadi adalah kejang, hidrosefalus atau pembesaran ventrikel pasca-trauma, kebocoran cairan serebrospinal, infeksi, cedera pembuluh darah, cedera saraf kranial, nyeri, luka, kegagalan multiple organ pada pasien tidak sadar, dan politrauma (trauma ke bagian lain dari tubuh selain kepala).34 Sebanyak 25% pasien dengan cedera kepala atau hematoma dan sekitar 50% pasien dengan luka tembus kepala akan langsung mengalami kejang, dan kejang berlaku dalam waktu 24 jam pertama setelah trauma kapitis. Hidrosefalus atau pembesaran ventrikel pascatrauma terjadi ketika cairan serebrospinal terakumulasi di otak yang mengakibatkan pelebaran ventrikel otak (rongga otak yang diisi dengan cairan serebrospinal) dan peningkatan tekanan intrakranial. Kondisi ini dapat berkembang selama tahap akut akibat trauma kapitis dan
28

mungkin tidak dapat dideteksi pada peringkat awalnya. Umumnya terjadi dalam tahun pertama dari cedera dan ditandai oleh memburuknya keadaan neurologis, gangguan kesadaran, perubahan perilaku, ataksia (kurangnya koordinasi atau keseimbangan), inkontinensia, atau tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial yang tinggi. Kondisi ini dapat berkembang sebagai akibat dari meningitis, perdarahan subarachnoid, hematoma intrakranial, atau cedera lainnya.34 Fraktur tulang tengkorak dapat merobek selaput pelindung otak, menyebabkan kebocoran cairan serebrospinal. Robekan antara dura dan selaput arakhnoid, yang disebut fistula cairan serebrospinal, dapat menyebabkan cairan serebrospinal bocor keluar dari ruang subarakhnoid ke ruang subdural, ini disebut hygroma subdural. Cairan serebrospinal juga dapat keluar melalui hidung dan telinga. Robekan ini yang memungkinkan cairan serebrospinal keluar dari rongga otak juga dapat memungkinkan udara dan bakteri ke dalam rongga, sehingga menyebabkan infeksi seperti meningitis. Pneumocephalus terjadi ketika udara masuk ke rongga intrakranial dan terperangkap dalam ruangan subarachnoid. Infeksi dalam rongga intrakranial merupakan komplikasi berbahaya dari trauma kapitis. Infeksi mungkin terjadi di luar dura, di bawah dura, di bawah arakhnoid (meningitis), atau dalam ruang otak sendiri (abses). Sebagian besar cedera ini berkembang dalam beberapa minggu trauma awal hasil dari fraktur tulang tengkorak atau luka tembus. Komplikasi meningitis sangat berbahaya, dengan potensi untuk menyebar ke seluruh sistem otak dan saraf. Setiap kerusakan pada kepala atau otak biasanya menghasilkan beberapa kerusakan pada sistem pembuluh darah, yang menyuplai darah ke sel-sel otak.34 Sistem kekebalan tubuh dapat memperbaiki kerusakan pembuluh darah kecil, tetapi kerusakan pada arteri yang lebih besar dapat mengakibatkan komplikasi yang serius. Kerusakan salah satu arteri utama yang mengarah ke otak dapat menyebabkan stroke, baik melalui perdarahan dari arteri (stroke hemoragik) atau melalui pembentukan bekuan di lokasi yang cedera, disebut trombus atau trombosis, menghalangi aliran darah ke otak (stroke iskemik). Gumpalan darah juga dapat berkembang di bagian lain dari kepala. Gejala seperti sakit kepala, muntah, kejang, kelumpuhan pada satu sisi tubuh, dan semiconsciousness berkembang dalam beberapa hari setelah cedera kepala yang disebabkan oleh gumpalan darah yang terbentuk di jaringan dari salah satu sinus atau kavitas, berdekatan dengan otak.34

29

Fraktur tulang tengkorak, terutama di dasar tengkorak, dapat menyebabkan cedera saraf kranial yang menghasilkan tekanan kranial neuropati. Semua kecuali tiga dari 12 saraf kranial memproyeksikan keluar dari batang otak ke kepala dan wajah. Saraf kranial ketujuh, disebut saraf fasialis, adalah saraf kranial yang paling sering terluka dalam trauma kapitis dan kerusakan ini dapat mengakibatkan kelumpuhan otot wajah.34 Nyeri adalah gejala yang umum dari trauma kapitis dan dapat menjadi komplikasi yang signifikan bagi pasien sadar setelah trauma kepala. Sakit kepala adalah bentuk paling umum dari sakit yang dialami oleh pasien trauma kapitis. Komplikasi yang serius bagi pasien yang tidak sadar, koma, atau dalam keadaan vegetatif termasuk luka atau tekanan pada kulit, infeksi kandung kemih berulang, pneumonia atau infeksi yang mengancam jiwa, dan kegagalan multiple organ yang progresif.34

II.10. Penatalaksanaan Berdasarkan Advanced Trauma Life Support guidelines, pasien yang mengalami trauma pada kepala harus dievaluasi untuk trauma bedah (EL III) (American College of Surgeons Committeee on Trauma, 1997). Triase yang tepat meliputi penilaian saluran udara, pernapasan, dan sirkulasi, dan juga tulang servikal. Pemeriksaan neurologis adalah wajib dan harus meliputi tingkat kesadaran, adanya amnesia anterograde atau retrograde dan atau disorientasi, fungsi kognitif tinggi, adanya defisit neurologis fokal (asimetris motor refleks atau reaksi, paresis unilateral atau defisit saraf kranial), respon pupil, tekanan darah dan denyut nadi.32 Selain itu, adanya tanda-tanda lobus frontal, gejala atau defisit sensorik cerebellar harus diperiksa sentiasa. Rekomendasi yang dianjurkan adalah semua pasien dengan cedera kepala harus menjalani pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan bedah. Selanjutnya, mendapatkan sejarah yang akurat (termasuk riwayat pengobatan), sebaiknya dengan informasi yang diperoleh dari saksi dari kecelakaan atau personil yang terlibat dalam prosedur pertolongan pertama di luar rumah sakit, adalah penting untuk memastikan keadaan di mana kecelakaan itu terjadi dan untuk menilai durasi dari hilang kesadaran dan amnesia.32

30

II.11. Prognosis Indikator awal (dalam waktu 24 jam dari trauma kapitis) prognosis pasien trauma kapitis berguna supaya dapat dilakukan konseling kepada ahli keluarga. Berdasarkan penelitian terkini mengenai nilai prognostik suatu kasus trauma kapitis setelah dilakukan resusitasi adalah berdasarkan Skor SKG antara 39 yaitu trauma kapitis berat prognosisnya adalah kematian,vegetatif stage, atau penurunan refleks neurologis yang berat.5 Selain itu, usia pasien juga membantu prognosis suatu kasus trauma kapitis. Usia lanjut mempunyai nilai prognostik yang kurang dan prognosis berkurang sebanyak dua kali lipat dengan usia 60 tahun ke atas. Keadaan hipotensi saat masuk ke rumah sakit mempunyai resiko dua kali lipat kematian. Demikian pula, mata yang dilatasi lebih dari 4 mm mempunyai resiko kematian sebanyak 90%.5 Biasanya, cisterns di sekitar otak tengah akan terlihat, tetapi dengan pembengkakkan otak dan herniasi ruangan tersebut tersumbat dan tidak lagi terlihat dan merupakan prediktor signifikan untuk prognosis yang buruk. Perdarahan subarakhnoid di sekitar dasar otak meningkatkan kemungkinan vasospasme, perfusi buruk, dan selanjutnya kematian atau cacat yang signifikan. Pergeseran garis tengah otak adalah akibat memar atau perdarahan dalam kebanyakan kasus merupakan indikator prognostik buruk.5

Tabel 2.5 Klinis / Trauma Kapitis Skor GSC Hilang Kasadaran Abnormalitas TK Ringan > 12 Sedang 9 12 Berat < 9 dalam 48 jam setelah trauma kapitis > 24 jam Tampak abnormalitas Ada (Tergantung prognosis) > 7 hari -

< 30 menit > 30 menit Tidak tampak Tampak abnormalitas abnormalitis Tidak ada Ada lesi operatif Lesi Operatif intrakranial < 48 jam 48 jam Jangka waktu di RS < 1 jam 1 24 jam Post traumatic Amnesia Mual, Muntah & Ada Pening

31

BAB III KESIMPULAN

1. Trauma kapitis, tejadi bila trauma berlaku secara tiba-tiba menyebabkan kerusakan pada otak. Kerusakan dapat terjadi secara fokal (terbatas pada satu daerah otak) atau difus (melibatkan lebih dari satu area dari otak). 2. Skor SKG penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya trauma kapitis. Berdasarkan Skala Koma Glasgow, trauma kapitis dibagi atas trauma kapitis ringan (SKG 13-15), sedang (SKG 9-12) dan berat (SKG 3-8). 3. Pemeriksaan foto polos kepala dapat melihat pergeseran (displacement) fraktur tulang tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan intrakranial. Sekarang, pemeriksaan foto polos kepala telah digantikan oleh TK dan jarang digunakan lagi pada pasien dengan trauma kapitis tertutup. 4. Tomografi Komputer (TK) adalah modalitas alat pencitraan utama yang digunakan dalam keadaan akut dan sangat bermanfaat dalam menegakkan serta menentukan tipe trauma kapitis karena kemampuannya memberikan gambaran fraktur, hematoma dan edema yang jelas baik bentuk maupun ukurannya. 5. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan informasi yang tidak dapat dilihat pada sinar-X atau tomografi komputer (TK).

32

DAFTAR PUSTAKA

1. Leksmono, P.R., Hafid A., Sajid D.M., 1984. Cedera Otak dan Dasar-dasar Pengelolaannya, Cermin Dunia Kedokteran, 34: 32 38 2. Budi Riyanto W., 1992, Penatalaksanaan Fase Akut Cedera Kepala, Cermin Dunia Kedokteran, 77: 52 55 3. Eastern Association for the Surgery of Trauma, 2001, Practice Management Guidelines for the Management of Mild Traumatic Brain Injury 4. Toyama, Y. et al., 2005. CT for Acute Stage of Closed Head Injury. Radiation Medicine 23 (5): 309316 5. Ghajar. J (2000), Traumatic brain injury, Brain Trauma Foundation and Weill Medical College of Cornell University, New York, The Lancet, Vol 356: 928 6. Vital.M., 2002, Traumatic Brain Injury, National Institute of Neurological Disorders & Stroke National Institute of Health, Maryland, NIH Publication, 1-34 7. Yate. D, Robb. P., 2007, Head Injury, NICE Clinical guildelines 56, National Callaborating Centre for Acute Care, 5 8. Facts about Concussion and Brain Injury, U.S Department of Health & Human Services Centre for Disease Control & Prevention, 5-10. Diunduh dari: www.cdc.gov/TraumaticBrainInjury [12 April 2012] 9. Rasad S., 2005, Radiologi Diagnostik, Balai Penerbit FK UI, Jakarta. Edisi Kedua, 349-591. 10. Robert M, Quencer., 2002, Neuroimaging and Head Injury, AJR, 150 11. Irwan O., 2006 Trauma kapitis, Universitas Riau. Diunduh dari:

http://www.yayanakhyar.co.nr [12 April 2012] 12. National Institute for Health and Clinical Excellence (NHS), Head Injury Triage, assessment, investigation and early management of head injury in infants, children and adults, 2007, NICE clinical guideline 56, Developed by the National Collaborating Centre for Acute Care, 22-26 13. Bajamal AH., 1999, Penatalaksanaan Cedera Otak karena Trauma, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf Surabaya

33

14. Denise

Morales,

MD,

Brain

Contusion

Imaging,

Diunduh

dari:http://emedicine.medscape.com/article/337782-overview#a20 [14 April 2012] 15. Atlas SW., Magnetic Resonance Imaging of the Brain and Spine. New York, Raven;. 1991 16. Lee SH, Rao K, Zimmerman RA., Cranial MRI and CT. 4th ed. New York, McGrawHill:. 1999 17. Ramsey RG., Neuroradiology, Philadelphia, PA: WB Saunders Co, 1987: 151 18. Runge VM., Clinical MRI, Philadelphia, PA: WB Saunders Co, 2002 19. Zimmerman R, Gibby A, Carmody R., Neuroimaging, Clinical and Physical Principles. New York, NY: Springer-Verlag, 2000 20. Huisman TA, Tschirch FT. Epidural hematoma in children: Do cranial sutures act as a barrier. J Neuroradiol. 2009; 36(2):93-7 21. Yuh EL, Gean AD, Manley GT, Callen AL, Wintermark M., Computer-aided assessment of head computed tomography (CT) studies in patients with suspected traumatic brain injury. J Neurotrauma. 2008; 25(10):1163-72 (ISSN: 0897-7151) 22. Paci GM, Sise MJ, Sise CB, Sack DI, Swanson SM, Holbrook TL, et al., The need for immediate computed tomography scan after emergency craniotomy for head injury. J Trauma. 2008; 64(2):326-33; discussion 333-4 (ISSN: 1529-8809) 23. Douglas K McDonald, MD., Imaging in Epidural Hematoma. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/340527-overview#showall [14 April 2012] 24. Allan H. R., 2008, Concussion and Other Head Injuries, Harrisons Principle of Internal Medicine, 17th Edition, Volume 2, Mc Graw Hill, 2596-2601. 25. Richard J. M., Subdural Hematoma, USA: Medscape; 2011. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/1137207-workup#a0756 [12 April 2012] 26. Abner Gershon., 2011, Imaging in Subarachnoid Hematoma. USA: Medscape; Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/344342 [12 April 2012] 27. Magnetic Resonance Imaging (MRI) of The Head. Diunduh dari:

http://www.webmd.com/brain/magnetic-resonance-imaging-mri-of-the-head [6 April 2012]

34

28. Ashtekar JL. Naul LG., Intracranial Hemorrhage Evaluation with MRI, USA: Medscape; 2011. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/344973overview [25 Maret 2012] 29. Andrew LW., Imaging in Subdural Hematoma, USA: Medscape; 2011. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/344482 [10 April 2012] 30. David J, Ted R., 2011, Intracaranial Hemorrhage Workup, USA: Medscape. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/1163977-workup [12 April 2012]. 31. Gaskill-Shipley MF, Tomsick TA., Angiography in the evaluation of head and neck trauma, Neuroimaging Clin N Am 1996; 6(3):607-624. 32. P. E. Vos et al. (2002), EFNS Guideline on Mild Traumatic Brain Injury: Report of an EFNS task force, European Journal of Neurology 9: 210216 33. BMJ Publishing Group Limited, 2011. Assessment of traumatic brain injury, acute, Best Practice. Diunduh dari: http://bestpractice.bmj.com/best-

practice/monograph/515/diagnosis.html [10 April 2012]. 34. Traumatic Brain Injury, 2001, National Institute of Neurological Disorder and Stroke (NINDS), 1316 35. Lingsma H.F & et al, 2010, Early prognosis in traumatic brain injury: from prophecies to predictions, Lancet Neurol ; 9: 54354

35

LAMPIRAN
36

36

36

Tabel Karakteristik Klinis dan Prognosis Trauma Kapitis Komusio ringan Tiada Kehilangan kesadaran Jangka waktu kehilangan Tiada kesadaran Tiada Decerebrate posturing Amnesia pasca trauma Defisit memori Beberapa detik Tiada Kontusio serebral Segera < 6 jam Tiada Beberapa menit-jam Ringan Tiada Trauma Axonal Difus Ringan Sedang Segera 6-24 jam Jarang Beberapa Jam RinganSedang Tiada Segera > 24 jam Kadangkadang Beberapa Hari RinganSedang Ringan Berat Segera Beberapa hari-minggu Ada Beberapa minggu Berat Berat

Tiada Defisit motorik Prognosis setelah 3 bulan (%) 100 Baik 0 Defisit sedang 0 Defisit berat 0 Vegetatif 0 Kematian

95 5 0 0 0

63 15 6 1 15

38 21 12 5 24

15 13 14 7 51

Tabel Gambaran Perdarahan Intrakranial Berdasarkan Waktu Kesan Fase Hiperakut Waktu Hemoglobin, Lokasi < 24 h Oxyhemoglobin, intraseluler T1 Isointens hipointens Akut 1-3 d Deoxyhemoglobin, intraseluler Hipointens Methemoglobin, intraseluler Methemoglobin, extraseluler Hiperintens Hiperintens Hipointens Hipointens Hiperintens T2 atau Hiperintens

Sub akut awal >3 d Sub akut akhir Kronik >14 d >7 d

Ferritin

dan

hemosiderin, Hipointens

Hipointens

extraseluler

37

Table Gambaran Radiologi Trauma Kapitis Tomografi Komputer Komosio Serebri Kontusio Serebri N Hiperdensiti inhomogen Hematoma Epidural Bentuk bikonveks yang khas, elips, ekstra-aksial koleksi cairan, tidak melewati sutura N isointensities to hyperintensities Massa bikonveks dipisahkan dari dura atasnya oleh pelek tipis serum diekstrusi terletak di antara gumpalan dan dura. Garis ini hiperintense pada kedua gambar T1-dan T2-W. MRI juga dapat menunjukkan fraktur dengan cairan antara margin fraktur a) Akut mengandung hyperdense clot dan swirling lucency T2-W: nyata hipointense b) Subakut homogeneously hyperdense c) Kronis Sebagian hipodense dengan gumpalan mengalami kerusakan dan resorpsi
38

MRI

Angiografi

spasme vena serebral dan arteri meningealnya terlihat menuju ke dalam

T1-W : isointense ke hipointense minimal -

T1-W: hiperintense

SDH Akut Lokasi perdarahan Subakut Kronik

- Di antara duramater dan arackhoid robekan - robekan bringing vein / vena-vena di daerah korteks serebri

Onset CT-Scan

jam 72 jam

3 14 hari

> 14 hari

- Crescent shape/ concave/ bulan sabit - Dapat melewati garis suture - Dapat menyebabkan mildline shift Hiperdens Isodens Hipodens, isodens/ sedikit hiperdens Lesi heterogen (campuran dari komponen akut dan kronik)

MRI

Hiperakut

Akut

Subakut (awal)

Subakut (akhir) T1W Hiperintens T2W Hiperintens

Kronik

T1W hipointens/ isointens T2W hiperintens

T1W Hipointens T2W Hipointens

T1W Hiperintens T2W Hipointens

T1W Hipointens T2W Hipointens

39

Gambar 31 Gambar 31: Menunjukkan komponen-komponen yang menjadi patokan dalam prognosis suatu kasus trauma kapitis 36

Gambar 32 Gambar 32: Merupakan Rotterdam prognostic CT score 36

Gambar 33

Gambar 33: Merupakan kriteria untuk penurunan neurologis (neuroworsening) 36


40

Type of Patient Epidural Young, rare in elderly and those aged < 2 years

Anatomic Location Potential space between skull and dura mater

CT Findings

Common Cause

Classic Symptoms Immediate LOC with a lucid period or to deterioration (only occurs in about 20%)

Biconvex, football shaped hematoma

Skull fracture with tear of the middle meningeal artery

Subdural

More risk in the elderly and alcoholic patients

Space between dura mater and arachnoid

Crescent-or sickle-shaped hematoma

Accelerationdeceleration with the tearing of bringing vein

Acute: rapid LOC, lucid period possible Chronic: altered mental state and behavior with gradual decrease in consciousness

Subarachnoid

Any age group after blunt trauma

Subrachnoid

Blood in the basilar cisterns and hemispheric sulci and fissures

Accelerationdeceleration with the tearing of subarachnoid vessels

Mild, moderate, or severe traumatic brain injury with meningeal signs and symptoms

Contusion/Intracerebral hematoma

Any age group after blunt trauma

Usually anterior temporal or posterior frontal lobe

May be normal initially with delayed bleeding

Severe or penetrating trauma; shaken baby syndrome

Symptoms range from normal to LOC

41

Anda mungkin juga menyukai