Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUHUAN

ANALISA SINTESA KLIEN DENGAN GANGGUAN CEDERA


KEPALA BERAT (CKB) DI RUANG UGD
RS ANTON SOEDJARWO

Oleh :
Khanty Kurniawati
NIM S20129008

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN


MUHAMMADIYAH PONTIANAK
TAHUN 2022
I. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
World Health Organization (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012
terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur
akibat kecelakaan lalu lintas (WHO, 2011). Menurut Korps Lalu Lintas Polisi
RI (KORLANTAS POLRI, 2018) dalam grafik kecelakaan yang dilaporkan ke
polisi lalu lintas ditampilkan per triwulan (kuartal). Grafik dihasilkan secara
online dari database kecelakaan Automatic Identification System (AIS). Dalam
grafik tersebut didapatkan data kecelakaan pada tahun 2018 sebanyak 28,784
orang dengan 6,262 korban meninggal. Kecelakaan ini didominasi oleh
pengendara sepeda motor.
Kecelakaan lalu lintas dapat menyebabkan seseorang mengalami
kecacatan bahkan kematian. Selain itu kecelakaan dapat menyebabkan
seseorang mengalami trauma atau cedera kepala.
Angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia dalam rentang 2010-2014
mengalami kenaikan rata-rata 9,59% per tahun dengan diikuti kenaikan
persentase korban meninggal dengan ratarata 9,24% per tahun (Badan Pusat
Statistik/BPS, 2016). Proporsi pasien trauma yang dirawat di rumah sakit
mayoritas akibat kecelakaan darat (59,6%) dengan sebagian besar (47,5%)
mengalami cedera kepala (Riyadina et al., 2011).
Cedera kepala adalah dimana kepala yang mengalami benturan karena
jatuh atau juga karena terkena benda tertentu yang menyebabkan sakit kepala
atau bahkan sampai tidak sadarkan diri. Cedera kepala adalah suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan
interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak
(Ristanto 2016).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, 2010. Cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat congenital ataupun
degenerative, tetapi disebabkan serangan/benturan Afisik dari luar yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Cedera kepala atau trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak
karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neorologis
terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena
hemoragig, serta edema cereblal disekitar jaringan otak. (B.Batticaca, 2010).
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala,tengkorak
dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yangserius
diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil
kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2011).

2. Etiologi
Menurut Nanda (2015) mekanisme cedera kepala meliputi:
a. Cedera Akselerasi, yaitu ketika objek bergerak menghantam kepala yang
tidak bergerak
b. Cedera Deselerasi, yaitu ketika kepala yang bergerak membentur objek
yang diam
c. Cedera akselerasi-deselerasi, sering dijumpai dalam kasus kecelakaan
bermotor dan kekerasan fisik
d. Cedera Coup-countre coup, yaitu ketika kepala terbentur dan
menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat
mengenai area tulang tengkorak
e. Cedera Rotasional, yaitu benturan/pukulan yang menyebabkan otak
berputar dalam tengkorak, sehingga terjadi peregangan atau robeknya
neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang
memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.
3. Manifestasi klinik
Pada pemeriksaan klinis biasanya memakai pemeriksaan GCS yang
dikelompokkan menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat. Kondisi cedera
kepala yang dapat terjadi yaitu:
a. Komosio serebri, yaitu kehilangan fungsi otak sesaat karna pingsan < 10
menit atau amnesia pasca cedera kepala, namun tidak ada kerusakan
jaringan otak.
b. Kontusio serebri, yaitu kerusakan jaringan otak dan fungsi otak karna
pingsan > 10 menit dan terdapat lesi neurologik yang jelas. Kontusio
serebri lebih sering terjadi di lobus frontal dan lobus temporal
dibandingkan bagian otak lain.
c. Laserasi serebri, yaitu kerusakan otak luas yang disertai robekan
durameter dan fraktur terbuka pada kranium.
d. Epidural hematom, yaitu hematom antara durameter dan tulang. Sumber
perdarahan berasal dari robeknya arteri meningea media. Epidural
hematom biasanya ditandai dengan penurunan kesadaran dengan
ketidaksamaan neurologis sisi kiri dan kanan. Jika perdarahan > 20 cc
atau > 1 cm midline shift > 5 mm akan dilakukan operasi untuk
menghentikan perdarahan. Gambaran CT scan didapatkan area hiperdens
dengan bentuk bikonvek atau letikuler antara 2 sutura.

e. Subdural Hematom (SDH), yaitu terkumpulnya darah antara durameter


dan jaringan otak, dapat terjadi akut atau kronik. Hematom dibawah
lapisan durameter dengan sumber perdarahan dari bridging vein, a/v
cortical, sinus venous. Gejala-gejalanya antara lain nyeri kepala, bingung,
mengantuk, berpikir lambat, kejang dan udem pupil. Secara klinis dapat
dikenali dengan penurunan kesadaran disertai dengan adanya laterasi
yang paling sering berupa hemiparese/plegi. Gambaran CT Scan
didapatkan hiperdens yang yang berupa bulan sabit (cresent).
f. Subarachnoid Hematom (SAH), yaitu perdarahan fokal di daerah
subarachnoid. Gejala klinis hampir menyerupai kontusio serebri. Pada
pemeriksaan CT scan didapatkan lesi hiperdens yang mengikuti arah
girus-girus serebri didaerah yang berdekatan dengan hematom.
g. ICH (Intracerebral Hematom), yaitu perdarahan yang terjadi pada
jaringan otak yang terjadi akibat robekan pembuluh darah yang ada pada
jaringan otak. Pada pemeriksaan CT scan terdapat lesi perdarahan antara
neuron otak yang relatif normal.

4. Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut
(Markam, 2011) pada cedera kepala meliputi :
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma.
Pada situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau
minggu, setelah 16 masa ini penderita akan terbangun, sedangkan
beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun
demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari
lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari
satu tahun jarang sembuh.
b. Kejang/Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami
sekurang-kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama
setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang
menjadi epilepsi
c. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan
membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi
meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki
potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain

d. Hilangnya kemampuan kognitif


Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi
dan memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak
penderita dengan cedera kepala mengalami masalah
kesadaran.
e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson
Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya
penyakit Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson.
Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan
keparahan cedera.
5. Patofisiologi dan Pathway
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya
kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema
dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan
permeabilitas vaskuler. Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses
yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer
merupakan suatu proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala
terbentur dan dapat memberi dampak kerusakan jaringan otak. Pada cedera
kepala sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya akibat dari
hipoksemia, iskemia dan perdarahan.
Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural
hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter,
subdura hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter
dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah
didalam jaringan cerebral. Kematian pada penderita cedera kepala terjadi karena
hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi
menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan berakhir pada Iskemia jaringan otak.
(Tarwoto, 2007).
Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang
tengkorak, robek pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak
(termasuk robeknya duramater, laserasi, kontusio).
b. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut
melampaui batas kompensasi ruang tengkorak.Hukum Monroe Kellie
mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap.
Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan
parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan
mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan
Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler.
Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :
CPP = MAP – ICP
CPP : Cerebral Perfusion Pressure
MAP : Mean Arterial Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure
Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak.
Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler
yang makin parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan
ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang,
dll.
6. Penatalaksanaan (medis dan keperawatan)
Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui sub kutan membuatluka
mudah dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan
benda asing dan miminimalkan masuknya infeksi sebelumlaserasi ditutup.
a. Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan;lepaskan
gigi palsu,pertahankan tulang servikal segaris dgn badan dgnmemasang collar
cervikal,pasang guedel/mayo bila dpt ditolerir. Jikacedera orofasial
mengganggu jalan nafas,maka pasien harus diintubasi.
b. Menilai pernafasan : tentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak. Jikatidak
beri O2 melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan selidiki danatasi
cedera dada berat spt pneumotoraks tensif,hemopneumotoraks.Pasang oksimeter
nadi untuk menjaga saturasi O2minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak
terlindung bahkan terancan/memperoleh O2 ygadekuat ( Pa O2 >95% dan Pa
CO2<40% mmHg serta saturasi O2 >95%)atau muntah maka pasien harus
diintubasi serta diventilasi oleh ahlianestesi.
c. Menilai sirkulasi : otak yg rusak tdk mentolerir hipotensi. Hentikan semua
perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan adanya cedera
intraabdomen/dada.Ukur dan catat frekuensidenyut jantung dan tekanan darah
pasang EKG.Pasang jalur intravena yg besar.Berikan larutan koloidsedangkan
larutan kristaloid menimbulkan eksaserbasi edema.
d. Obati kejang : Kejang konvulsif dpt terjadi setelah cedera kepala dan
harusdiobati mula-mula diberikan diazepam 10mg intravena perlahan-lahan
dandpt diulangi 2x jika masih kejang. Bila tidak berhasil diberikan
fenitoin15mg/kgBB.
e. Menilai tingkat keparahan : CKR,CKS,CKB6.Pada semua pasien dengan
cedera kepala dan/atau leher,lakukan fototulang belakang servikal ( proyeksi A-
P,lateral dan odontoid ),kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa
seluruh keservikal C1-C7normal7.Pada semua pasien dg cedera kepala sedang
dan berat :- Pasang infus dgn larutan normal salin ( Nacl 0,9% ) atau RL
cairanisotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada
cairanhipotonis dan larutan ini tdk menambah edema cerebri- Lakukan
pemeriksaan : Ht, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah.
Lakukan CT scanPasien dgn CKR, CKS, CKB harusn dievaluasi
adanya :1.Hematoma epidural; 2.Darah dalam sub arachnoid dan intraventrikel;
3.Kontusio dan perdarahan jaringan otak; 4.Edema cerebri; 5.Pergeseran garis
tengah; 6.Fraktur cranium 7.Pada pasien yg koma ( skor GCS <8) atau pasien
dgn tanda-tanda herniasilakukan : Elevasi kepala 30, Hiperventilasi, berikan
manitol 20% 1gr/kgBB intravena dlm 20-30 menit. Dosis ulangan dapat
diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semulasetiap 6 jam sampai
maksimal 48 jam I- Pasang kateter foley-Konsul bedah saraf bila terdapat
indikasi opoerasi (hematom epidural besar,hematom sub dural,cedera kepala
terbuka,fraktur Impresi >1 diplo).

II. PENGKAJIAN
1. Pengkajian
a. Riwayat penyakit (sekarang, dulu, keluarga)
1) Keluhan Utama
Keluhan utama pada pasien gangguan sistem saraf biasanya akan
terlihat bila Sudah terjadi disfungsi neurologis, keluhan yang didapatkan
meliputi kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi, konvulsi, sakit kepala hebat, tingkat kesadaran menurun
(GCS <15), akral dingin dan ekspresi rasa takut.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada gangguan neurologis riwayat penyakit sekarang yang
mungkin didapatkan. Meliputi adanya riwayat jatuh, keluhan mendadak
lumpuh pada saat pasien sedang melakukan aktivitas, keluhan pada
gastrointestinal seperti mual muntah bahkan kejang sampai tidak sadar di
samping gejala kelumpuhan separuh badan.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian riwayat penyakit dahulu diarahkan pada penyakit
penyakit yang dialami sebelumnya yang kemungkinan mempunyai
hubungan dengan masalah yang dialami klien sekarang seperti adakah
riwayat penggunaan obat obat, tekanan darah tinggi.
b. Pengkajian fokus
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan
adalah mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABC (Airway,
Breathing, Circulation)
1). A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus
dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas oleh adanya benda asing atau fraktus
di bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus
memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat
digunakan.
2). B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya
kita harus menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik
meliputi fungsi dari paru paru yang baik, dinding dada dan
diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien dengan fraktur
ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high Flow
Oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan reservoir
bag11, 12.
3). C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus
diperhatikan di sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac
output. Pendarahan sering menjadi permasalahan utama pada kasus
patah tulang, terutama patah tulang terbuka. Patah tulang femur
dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha unit darah dan
membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang terbaik
adalah menggunakan penekanan langsung dan meninggikan lokasi
atau ekstrimitas yang mengalami pendarahan di atas level tubuh.
Pemasangan bidai yang baik dapat menurunkan pendarahan secara
nyata dengan mengurangi gerakan dameningkatkan pengaruh
tamponade otot sekitar patahan. Pada patah tulang
terbuka,penggunaan balut tekan steril umumnya dapat
menghentikan pendarahan. Penggantian cairan yang agresif
merupakan hal penting disamping usaha menghentikan
pendarahan.

c. Pemeriksaan fisik (head to toe)


1) Keadaan umum
2) Tingkat kesedaran : composmetis, apatis, somnolen, sopor,
koma
3) TTV
4) Sistem Pernapasan
Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun
frekuensi, nafas bunyi ronchi.
5) Sistem Kardiovaskuler
Apabila terjadi peningkatan TIK, tekanan darah meningkat,
denyut nadi bradikardi kemudian takikardi.
6) Sistem Perkemihan
Inkotenensia, distensi kandung kemih
7) Sistem Gastrointestinal
8) Usus mengalami gangguan fungsi, mual/muntah dan
mengalami perubahan selera
9) SistemMuskuloskeletal
10) Kelemahan otot, deformasi

2. Diagnosa keperawatan
a. Pola napas tidak efektif b.d gangguan neurologis (cedera kepala)
ditandai dengan dispnea (D.0005)
b. Risiko syok b.d hipoksemia ditandai dengan trauma multiple
(D.0039)
c. Risiko perfusi serebral tidak efektif b.d cedera kepala ditandai
dengan cedera kepala (D.0017)
3. Perencanaan Keperawatan

4. Evaluasi
Menurut (Setiadi, 2012) dalam buku Konsep & Penulisan Asuhan
Keperawatan, tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang
sistematis dan terencaan tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah
ditetapkan, dilakukan dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien,
keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
LEMBAR PENGESAHAN

Mengetahui CI Pontianak, 2 Juli 2022

Ns. Dede Baon, S.Kep. Khanty Kurniawati

Anda mungkin juga menyukai