CEDERA KEPALA
Disusun Oleh :
Mitha Faramita
030.11.191
Pembimbing :
Dr. Rifa’i Sp.S
i
BAB I
PENDAHULUAN
Era globalisasi saat ini semakin meningkatkan mobilitas manusia, baik dalam
perjalanan antar desa, antar kota, maupun provinsi, serta antar negara. Kondisi tersebut
menyebabkan peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap sarana transportasi, dan pada
akhirnya meningkatkan angka kejadian kecelakaan lalu lintas. Apalagi dalam kondisi sarana
transportasi, dan pada akhirnya meningkatkan angka kejadian kecelakaan lalu lintas.
Cedera kepala dapat merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian
yang cukup tinggi dalam neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya
sebagian besar orang muda, sehat, dan produktif.
Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian pada anak diatas usia 1 tahun di
Amerika Serikat. Dibandingkan dengan trauma lainnya, persentase Cedera kepala adalah
yang tertinggi, yaitu sekitar lebih atau sama dengan 80%. Kira-kira sekitar 5% penderita
Cedera kepala meninggal di tempat kejadian. Cedera kepala mempunyai dampak emosi,
psikososial, dan ekonomi yang cukup besar sebab penderitanya sering menjalani masa
perawatan rumah sakit yang panjang, dan 5-10% setelah perawatan rumah sakit masih
membutuhkan pelayanan jagka panjang.
Cedera kepala akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat besar, meskipun
pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini. Sebagian besar pasien dengan Cedera
kepala (75-80%) adalah Cedera kepala ringan, sisanya merupakan trauma dengan kategori
sedang dan berat dalam jumlah yang sama.
Manajemen Cedera kepala sendiri pada dasarnya dibagi dalam manajemen non
operatif (kasus terbanyak), ditangani oleh keilmuan penyakit saraf (neurologi) dan
manajemen operatif, ditangani oleh keilmuan bedah saraf.
Manajemen Cedera kepala dapat menjawab tuntutan kebutuhan keluaran kualitas
hidup yang baik setelah terjadinya cedera otak pada penderitanya (patient oriented) yang
mayoritas berusia muda dan sehat dan masih berkesempatan untuk mengembangkan
kariernya.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala, baik secara langsung
ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik,
kognitif, fungsi psikososial. Gangguan yang ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun
menetap. Hal ini disebabkan oleh karena trauma kepala dapat mengenai berbagai komponen
kepala mulai dari bagian terluar hingga terdalam, termasuk tengkorak dan otak. Cedera
kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia
produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.
2.2. EPIDEMIOLOGI
Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan yang cukup tinggi dalam
neurologi dan menjadi masalah kesehatan pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar
karena kecelakaan lalu lintas. Dibandingkan dengan trauma lainnya, presentase Cedera
kepala adalah yang tertinggi, yaitu sekitar lebih atau sama dengan 80%. Cedera kepala
mempunyai dampak emosi, psikososial dan ekonomi yang cukup besar sebab penderitanya
sering menjalani masa perawatan rumah sakit yang panjang.
Pada data ruang rawat neurologi RSCM tahun 2005, terdapat 434 kejadian Cedera
kepala ringan, 315 Cedera kepala sedang, dan 28 Cedera kepala berat.
2.3. KLASIFIKASI
Cedera kepala dibedakan berdasarkan 3 hal yaitu secara patologi, morfologi cedera
dan derajat kesadaran berdasarkan Glascow Coma Scale (GCS).
1. Patologi
a. Komosio serebri
Keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma
kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri
kepala, vertigo, muntah dan tampak pucat.
Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau
terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada komusio serebri mungkin pula
terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas
sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman
2
kejadian di lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang sering dibuat adalah foto
tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan selama 3-5
hari untuk observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi bertahap.
b. Kontusio serebri
Terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang
kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang
penting untuk terjadinya lesi contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika
itu juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang
destruktif. Timbulnya lesi contusio di daerah “coup” ,“contrecoup”, dan
“intermediate” menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa refleks
babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Akibat gaya yang dikembangkan oleh
mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada Cedera kepala tersebut di atas,
autoregulasi pembuluh darah cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis.
Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan
lemah. Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan
pernafasan bisa timbul.
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi dan
adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi dengan antiserebral edem,
anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10 hari.
c. Laserasio serebri
Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh
benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka.
Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat
akibat kekuatan mekanis.
3
2. Morfologi cedera
a. Fraktur cranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat pula
terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan
CT Scan dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
Fracture Basis Cranii, bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa
posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang terkena.
Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala: perdarahan bilateral periorbital
ecchymosis / raccoon eye, tanpa disertai subkonjungtival bleeding, Epistaksis,
Anosmia, Keluarnya liquor dari hidung / Rhinorrhea. Fraktur pada fossa media
menimbulkan gejala: Keluarnya liquor dari telinga / Otorrhea, Gangguan N. VII dan
VIII. Fraktur pada fossa posterior menimbulkan gejala: Perdarahan bilateral
periaulikular ecchymosis / battle’s sign.
b. Lesi intrakranial
4
i. Lesi diffus
Gejala dan tanda klinis : koma lama pasca Cedera kepala, disfungsi saraf otonom,
demam tinggi. Penunjang diagnostik CT Scan otak : pada awalnya tampak normal
tidak ada tanda perdarahan, edema, kontusio, namun dapat terlihat edema otak
luas bila diulang setelah 24 jam.
a) Hematoma epidural
b) Hematoma subdural
5
CT Scan otak menunjukan gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang
tengkorak dan duramater, umumnya karena robekan dari bridging vein, dan
tampak seperti bulan sabit. (Gambar 2.1)
c) Hematoma intraserebral
d) Hematoma subaraknoid
Gejala dan tanda klinis : kaku kuduk, nyeri kepala, gangguan kesadaran.
CT Scan otak menunjukan perdarahan (hiperdens) di ruang subarachnoid.
6
a. Minimal (Simple Head Injury)
Skor GCS 15, ada riwayat Cedera kepala, tidak terdapat penurunan kesadaran,
tidak ada amnesia pasca trauma, tidak terdapat defisit neurologi, gejala sakit
kepala dan pusing
Dari tiga klasifikasi tersebut, klasifikasi berdasarkan derajat kesadaran yang banyak
dipakai di klinik karena mempunyai beberapa kelebihan, yaitu penilaian GCS (Skala Koma
Glasgow) dengan komponen E(ye) M(otor) dan V(erbal) mempunyai nilai pasti dengan
tampakan klinik yang mudah dinilai oleh kalangan medis maupun paramedis (standar jelas)
2.4. PATOFISILOGI
Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan langsung
pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa fraktur
tulang tengkorak. Cedera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematom epidural, subdural
dan intraserebral. Cedera difus dapat mengakibatkan gangguan fungsi saja, yaitu gegar otak
atau cedera struktural yang difus.
7
Gambar 2.2. Patofisiologi Cedera Kepala
Dari tempat benturan, gelombang kejut disebar ke seluruh arah. Gelombang ini
mengubah tekanan jaringan dan bila tekanan cukup besar, akan terjadi kerusakan jaringan
otak di tempat benturan yang disebut “coup” atau ditempat yang berseberangan dengan
benturan disebut “contra coup”. ( Gambar 2.2. )
Gangguan metabolisme jaringan otak akan mengakibatkan oedem yang dapat
menyebabkan herniasi jaringan otak melalui foramen magnum, sehingga jaringan otak
tersebut dapat mengalami iskhemi, nekrosis, atau perdarahan.
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Cedera kepala
dapat menyebabkan gangguan suplai oksigen dan glukosa, yang terjadi karena berkurangnya
oksigenisasi darah akibat kegagalan fungsi paru atau karena aliran darah ke otak yang
menurun, misalnya akibat syok. Karena itu, pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan
nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu sehingga oksigenisasi
cukup.
8
Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera
dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS, yakni metode EMV (Eyes,
Verbal, Movement)
1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)
Secara spontan 4
Atas perintah 3
Rangsangan nyeri 2
Tidak bereaksi 1
9
yang sekarang makin ditinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka
tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi
dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan
kesadaran, kecurigaan adanya fraktur depresi maka dilakukan foto polos posisi
AP/lateraldan oblique
3. EEG
Serial EEG dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
2.7. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakan berdasarkan :
1. Anamnesis
Ada tidaknya riwayat Cedera kepala dengan atau tanpa gangguan kesadaran
atau dengan Interval lucid, peningkatan TIK, gejala laterlisasi
Perdarahan, otorrhea ataupun rhinorrhea
10
Anamnesia traumatika (retrograde/anterogard)
3. Foto kepala polos posisi AP, Lateral, foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto
servikal.
2.8 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memiliki tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki
keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak
yang cedera. Penatalaksanaan cedera kranioserebral dapat dibagi berdasarkan Kondisi
kesadaran pasien, Tindakan, dan Saat kejadian.
Kesadaran menurun
a. Cedera kranioserebral ringan (SKG=13-15)
11
Umumnya didapatkan perubahan orientasi atau tidak mengacuhkan perintah,
tanpa disertai defisit fokal serebral. Dilakukan pemeriksaan fi sik, perawatan
luka, foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan
kondisi pasien disertai terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam di rumah
sakit untuk menilai kemungkinan hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid
interval, nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala
lateralisasi (pupil anisokor, refleksi patologis positif ). Jika dicurigai ada
hematoma, dilakukan CT scan. Pasien cedera kranioserebral ringan (CKR) tidak
perlu dirawat jika:
orientasi (waktu dan tempat) baik
tidak ada gejala fokal neurologik
tidak ada muntah atau sakit kepala
tidak ada fraktur tulang kepala
tempat tinggal dalam kota, ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah,
dan bila dicurigai ada perubahan kesadaran, dibawa kembali ke RS
12
c. Cedera kranioserebral berat (SKG=3-8)
Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan
fraktur servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada
perdarahan, dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan
sama dengan cedera kepala sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di
ICU. Di samping kelainan serebral juga bisa disertai kelainan sistemik. Pasien cedera
kranioserebral berat sering berada dalam keadaan hipoksi, hipotensi, dan hiperkapni
akibat gangguan kardiopulmoner.
B. Tindakan
Terapi non-operatif , ditujukan untuk Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta
mencegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial, Mencegah dan
mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik), Minimalisasi kerusakan
sekunder, Mengobati simptom akibat trauma otak, Mencegah dan mengobati
komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi (antikonvulsan dan antibiotic).
13
→ Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari
→ Corpus alienum
→ Luka tembak
C. Saat kejadian
Manajemen prehospital
Instalasi Gawat Darurat
Perawatan di ruang rawat
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam
penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, dan
circulation.
Survei Primer, untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis
otak, meliputi tindakan berikut :
B = Breathing (pernafasan)
Pastikan pernafasan adekuat, perhatikan frekuensi, pola nafas dan kesataraan
pengembanga dada kanan dan kiri. Bila ada gangguan pernafasan, cari penyebab
apakah gangguan sentral atau perifer. Kelainan sentral disebabkan oleh depresi
pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi
neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma
dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi. Tata laksana:
• Oksigen tekanan tinggi, terutama pada pasien kegagalan fungsi paru atau syok.
Bertujuan untuk menurunkan PCO2 darah dan mencegah vasodilatasi pembuluh
darah, selain itu dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat
mengurangi kemungkinan asidosis.
• Cari dan atasi faktor penyebab
• Pemakaian ventilator pada pasien dengan gagal nafas karena trauma di dada yang
menyebabkan kerusakan paru maupun karena kelemahan otot pernafasan dada,
14
serta pasien dengan GCS <8 yang beresiko mengalami apnoe berulang, pemberian
hiperventilasi pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial
C = Circulation
Pertahankan tekanan darah sistolik >90 mmHg. Hipotensi dapat terjadi akibat cedera
otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali
saja sudah dapat meningkatkan risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan
terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau
ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung/pneumotoraks, atau syok
septik.Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi
jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan cairan isotonik NaCl
0,9%.
Survei Sekunder, meliputi pemeriksaan dan tindakan lanjutan setelah kondisi pasien
stabil. Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan fisik yang meliputi :
→ Tanda vital dan GCS
→ Pemeriksaan neurologi cepat : defi sit fokal serebral dan cedera ekstrakranial.
Hasil pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari pertama.
Bila terdapat perburukan salah satu komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.
15
Elektrolit (Na, K, dan Cl), Kadar elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan
kesadaran.
Albumin serum, Pasien dengan kadar albumin rendah (2,7-3,4g/dL) mempunyai risiko
kematian 4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan kadar albumin normal.
Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen, Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada kelainan
hematologis. Diagnosis kelainan hematologis ditegakkan bila trombosit <40.000/mm3,
kadar fi brinogen <40mg/mL, PT >16 detik, dan aPTT >50 detik.
b. Terapi diuretik:
Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan dalam 30
menit. Untuk mencegah rebound, pemberian diulang setelah 6 jam dengan dosis
0,25-0,5/kgBB dalam 30 menit. Pemantauan: osmolalitas tidak melebihi 310 mOsm.
Loop diuretic (furosemid) Pemberiannya bersama manitol, karena mempunyai efek
sinergis dan memperpanjang efek osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari IV.
Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase toraks, dan ekstremitas
digerakkan pasif untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik.
Kondisi kognitif dan fungsi kortikal luhur lain perlu diperiksa. Saat Skala Koma
Glasgow sudah mencapai 15, dilakukan pemeriksaan penapisan untuk menilai kognitif dan
domain fungsi luhur lainnya dengan Mini-Mental State Examination (MMSE); akan diketahui
domain yang terganggu dan dilanjutkan dengan konsultasi ke klinik memori bagian
neurologi.
Proteksi serebral (neuroproteksi), Adanya tenggang waktu antara terjadinya cedera
otak primer dengan timbulnya kerusakan sekunder memberikan kesempatan untuk pemberian
neuroprotektor. Manfaat obat-obat tersebut sampai saat ini masih terus diteliti. Obat-obat
tersebut antara lain golongan antagonis kalsium (mis., nimodipine) yang terutama diberikan
pada perdarahan subaraknoid (SAH) dan sitikolin untuk memperbaiki memori. Dari beberapa
percobaan penting, terungkap bahwa agen neuroprotektor yang diberikan setelah cedera otak
dapat menekan kematian dan menambah perbaikan fungsi otak. Dahulu, pemberian
16
neuroprotektor ini masih diragukan kegunaannya. Hal yang perlu dipantau dari awal untuk
proteksi serebral adalah kemungkinan terjadinya hipoksia, hipotensi, maupun demam yang
dapat memperburuk kondisi iskemia serebral. Manajemen intensif dengan obat proteksi
serebral berdasarkan patofisiologi mekanisme kerja yang spesifik menjanjikan perbaikan
luaran (outcome) pasien cedera kranioserebral.
2.9 KOMPLIKASI
Sequelae adalah kondisi berikutnya sebagai konsekuensi dari penyakit. Sedangkan
komplikasi adalah adalah proses baru atau proses terpisah yang dapat timbul sekunder karena
beberapa perubahan yang dihasilkan oleh keadaan aslinya. Cedera kepala dapat menyebabkan
Sequela, diantaranya adalah :
1. Bangkitan Pasca Trauma,
Kejang yang terjadi setelah masa trauma yang dialami pasien merupakan salah
satu komplikasi serius. Insidensinya sebanyak 10%, terjadi di awal cedera 4-25%
(dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Kejang yang
terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure, dan yang terjadi
setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu
ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah korteks. Diberi
profilaksis fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari.
17
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan memperburuk
outcome. Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Sering terjadi
akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral. Penatalaksanaan dengan. Dilakukan
tindakan menurunkan suhu dengan kompres dingin di kepala, ketiak, dan lipat paha, atau
tanpa memakai baju dan perawatan dilakukan dalam ruangan dengan pendingin. Boleh
diberikan tambahan antipiretik dengan dosis sesuai berat badan.
3. Gelisah atau Agitasi,
Kegelisahan dapat disebabkan oleh kandung kemih atau usus yang penuh, patah tulang
yang nyeri, atau tekanan intrakranial yang meningkat. Bila ada retensi urin, dapat
dipasang kateter untuk pengosongan kandung kemih. Bila perlu, dapat diberikan
penenang dengan observasi kesadaran lebih ketat. Obat yang dipilih adalah obat peroral
yang tidak menimbulkan depresi pernapasan.
2.10 PROGNOSIS
Prognosis pada cedera kepala mengacu pada tingkat keparahan yang dialami. Prediksi
luaran pasien cedera kepala bergantung pada banyak faktor, antara lain umur, beratnya cedera
berdasarkan klasifikasi GCS dan CT scan otak, komorbiditas, hipotensi, dan/atau iskemia
serta lateralisasi neurologik. Nutrisi yang tidak adekuat dapat memperburuk luaran. Hal yang
perlu juga diperhatikan adalah adanya amnesia pascacedera yang menetap lebih dari 1 jam,
fraktur tengkorak, gejala neuropsikologik (salah satu caranya dengan pemeriksaan Mini
Mental State Examination / MMSE).
Nilai GCS saat pasien pertama kali datang ke rumah sakit memiliki nilai prognosis
yang besar. Nilai GCS antara 3-4 memiliki tingkat mortalitas hingga 85%, sedangkan nilai
GCS diatas 12 memiliki nilai mortalitas 5-10%. Gejala-gejala yang muncul pasca trauma juga
perlu diperhatikan seperti mudah letih, sakit kepala berat, tidak mampu berkonsentrasi dan
irritable, yang akan memberikan problem gejala sisa lebih sering dibandingkan mereka yang
keluar tanpa adanya gejala tersebut di atas.
BAB III
KESIMPULAN
Cedera kepala bisa mengalami penyembuhan total namun juga penderita bisa
menyebabkan kematian. Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang
menetap, yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas
18
(terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung
kepadabagian otak mana yang terkena.
Cedera kepala dibagi berdasarkan 3 hal yaitu secara patologi, morfologi cedera dan
derajat kesadaran berdasarkan Glascow Coma Scale (GCS). , klasifikasi berdasarkan derajat
kesadaran banyak dipakai di klinik karena mudah dinilai oleh kalangan medis maupun
paramedis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis neurologis,
pemeriksaan penunjang berupa foto kepala, dan CT Scan otak. Penatalaksanaan penderita
cedara kepala dasarnya bertujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera
kepala sekunder. Penatalaksanaan cedera kranioserebral dapat dibagi berdasarkan Kondisi
kesadaran pasien, tindakan, dan saat kejadian
Cedera kepala dapat menyebabkan beberapa komplikasi, diantaranya adalah kejang
pasca trauma, infeksi, demam, gelisah, gangguan mood, tingkah laku dan kognitif. Prognosis
pasien cedera kepala bergantung pada banyak faktor, antara lain umur, beratnya cedera
berdasarkan klasifikasi GCS dan CT scan otak, komorbiditas, hipotensi, atau iskemia serta
lateralisasi neurologik.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Alfa AY. Penatalaksanaan Medis (Non-Bedah) Cedera Kepala. In: Basuki A, Dian
S.Kegawatdaruratan Neurologi. 2nd Ed. Bandung: Departemen/UPF Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran UNPAD. 2009. p61-74.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Cedera kepala. In:
Konsensus Nasional Penanganan Cedera kepala dan Trauma Spinal. Jakarta: PERDOSSI
Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2006. p1-18.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Konsensus Nasional : Penanganan Cedera
kepala dan Trauma Spinal. Jakarta : PERDOSSI, 2006.
4. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata
Laksana Penyakit Saraf. Jakarta : penerbit buku kedokteran EGC, 2009.
5. Soertidewi L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral. CDK-193/vol.39
no.5. 2012.
6. Chusid. Neuroanatomi Korelatif dan Neurology Fungsional, bagian dua. Gajah Mada
University Press, 1991
7. Harsono. Kapita Selekta Neurologi, edisi kedua. Gajah Mada University Press, 2003
8. Iskandar J. Cedera Kepala, PT Dhiana Populer. Kelompok Gramedia, Jakarta, 1981
9. Sidharta P, Mardjono M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 1981
10. Hafid A. Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua. Jong W.D. Jakarta : penerbit buku
kedokteran EGC. 2007.
11. Coetzer R. Anxiety and Mood Disorders following Traumatic Brain Injury: Clinical
Assessment and Psychotherapy. Karnac Books, 2010.
20