CEDERA KEPALA
Disusun Oleh :
Wida Ayu Nurahma
030.11.307
Pembimbing :
dr. Julintari, Sp.S
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ..
BAB I.
PENDAHULUAN .. 1
2.3. Klasifikasi .. 2
2. 4. Patofisiologi 7
2. 5. Pemeriksaan Fisik ...... 8
2. 6. Pemeriksaan Penunjang ..... 9
2. 7. Diagnosis .... 10
2. 8. Penatalaksanaan .. 10
2. 9. Komplikasi . 16
2. 10. Prognosis 18
BAB III. RINGKASAN .... 19
20
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala adalah cedera apapun yang mengakibatkan luka (trauma) pada otak
atau tengkorak. Cedera tersebut dapat berupa luka kulit kepala, fraktur tulang tengkorak,
robekan selaput otak, kerusakan pembuluh darah intra- maupun ekstraserebral,dan kerusakan
jaringan otaknya sendiri.
Menurut penelitian nasional bagian kegawatdaruratan di Amerika, menunjukkan
bahwa penyebab primer cedera kepala karena trauma pada anak-anak adalah karena jatuh,
dan penyebab sekunder adalah terbentur oleh benda keras. Penyebab cedera kepala pada
remaja dan dewasa muda adalah kecelakaan kendaraan bermotor dan terbentur, selain karena
kekerasan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pengguna
kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya kesadaran untuk
menjaga keselamatan di jalan raya. Selain itu akibat cedera ini, seseorang dapat mengalami
kondisi kritis seperti tidak sadarkan diri pada saat akut, dan yang tidak kalah penting adalah
saat perawatan karena jika penatalaksanaannya tidak akurat, dapat terjadi kecacatan berat
Di Indonesia kajadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus. Dari jumlah tersebut 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Sekitar
80% di kelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10% termasuk cedera sedang dan 10 %
termasuk cedera kepala berat.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif.
Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat
dan cepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.DEFINISI
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah trauma mekanik
terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan
fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial. Gangguan yang
ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun menetap. Hal ini disebabkan oleh karena
trauma kepala dapat mengenai berbagai komponen kepala mulai dari bagian terluar hingga
terdalam, termasuk tengkorak dan otak. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab
kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas.
2.2.EPIDEMIOLOGI
Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan yang cukup tinggi dalam
neurologi dan menjadi masalah kesehatan pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar
karena kecelakaan lalu lintas. Dibandingkan dengan trauma lainnya, presentase trauma
kapitis adalah yang tertinggi, yaitu sekitar lebih atau sama dengan 80%. Trauma kapitis
mempunyai dampak emosi, psikososial dan ekonomi yang cukup besar sebab
penderitanyasering menjalani masa perawatan rumah sakit yang panjang.
Pada data ruang rawat neurologi RSCM tahun 2005, terdapat 434 kejadian trauma
kapitis ringan, 315 trauma kapitis sedang, dan 28 trauma kapitis berat.
2.3.KLASIFIKASI
Cedera kepala dibedakan berdasarkan 3 hal yaitu secara patologi, morfologi cedera
dan derajat kesadaran berdasarkan Glascow Coma Scale (GCS).
1.
Patologi
a. Komosio serebri
Keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma
kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri
kepala, vertigo, muntah dan tampak pucat.
2
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat pula
terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan
CT Scan dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan
antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater.
Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak
merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga
mengakibatkan retaknya tulang tengkorak.
Fracture Basis Cranii, bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa
posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang terkena.
Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala: perdarahan bilateral periorbital
ecchymosis / raccoon eye, tanpa disertai subkonjungtival bleeding, Epistaksis,
Anosmia, Keluarnya liquor dari hidung / Rhinorrhea. Fraktur pada fossa media
menimbulkan gejala: Keluarnya liquor dari telinga / Otorrhea, Gangguan N. VII dan
VIII. Fraktur pada fossa posterior menimbulkan gejala: Perdarahan bilateral
periaulikular ecchymosis / battles sign.
b. Lesi intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,walau kedua
bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural,
hematoma subdural, dan kontusi (atauhematoma intraserebral).
i.
Lesi diffus
Gejala dan tanda klinis : koma lama pasca trauma kapitis, disfungsi saraf otonom,
demam tinggi. Penunjang diagnostik CT Scan otak: pada awalnya tampak normal
tidak ada tanda perdarahan, edema, kontusio, namun dapat terlihat edema otak
luas bila diulang setelah 24 jam.
b)
Hematoma subdural
Perdarahan yang terjadi diantara duramater dengan arakhnoid, akibat
robeknya bridging vein. Jenisnya :
Akut
: Interval lucid 0 5 hari
Subakut : Interval lucid 5 hari beberapa minggu
Kronik : Interval lucid >3 bulan
CT Scan otak menunjukan gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang
tengkorak dan duramater, umumnya karena robekan dari bridging vein, dan
tampak seperti bulan sabit. (Gambar 2.1)
Hematoma intraserebral
Perdarahan disebabkan karena pecahnya arteri intraserebral mono atau
multiple. Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal,
terbanyak pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma
kapitis yang berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja.
Perdarahan tersebut akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan
kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan
fungsi bagian otak yang terkena.
5
d)
Hematoma subaraknoid
Gejala dan tanda klinis : kaku kuduk, nyeri kepala, gangguan kesadaran.
CT Scan otak menunjukan perdarahan (hiperdens) di ruang subarachnoid.
3.
a.
b.
c.
d.
dipakai di klinik karena mempunyai beberapa kelebihan, yaitu penilaian GCS (Skala Koma
Glasgow) dengan komponen E(ye) M(otor) dan V(erbal) mempunyai nilai pasti dengan
tampakan klinik yang mudah dinilai oleh kalangan medis maupun paramedis (standar jelas)
2.4.PATOFISILOGI
Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan langsung
pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa fraktur
tulang tengkorak. Cedera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematom epidural, subdural
dan intraserebral. Cedera difus dapat mengakibatkan gangguan fungsi saja, yaitu gegar otak
atau cedera struktural yang difus.
2.5.PEMERIKSAAN FISIK
Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera
dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS, yakni metode EMV (Eyes,
Verbal, Movement)
1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)
Secara spontan
Atas perintah
Rangsangan nyeri
Tidak bereaksi
Orientasi baik
Jawaban kacau
Mengerang
Tidak bersuara
Reaksi setempat
Menghindar
Fleksi abnormal
Ekstensi
Tidak bereaksi
Amnesia pasca trauma (post traumatic amnesia), sebagai lamanya waktu setelah
cedera kepala saat pasien merasa bingung (confused), disorientasi, konsentrasi menurun,
atensi menurun dan tidak mampu untuk membentuk memori baru.
2.6.PEMERIKASAAN PENUNJANG
Yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma kapitis adalah:
8
2.8 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memiliki tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki
keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak
yang cedera. Penatalaksanaan cedera kranioserebral dapat dibagi berdasarkan Kondisi
kesadaran pasien, Tindakan, dan Saat kejadian.
A. Kondisi kesadaran pasien
Kesadaran baik (GCS = 15)
a. Simple Head Injury (SHI)
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan
tidak ada defi sit neurologik, dan tidak ada muntah. Penanganan kasus Simple
Head Injury adalah Permeriksaan status umum dan neurologi, pemeriksaan
radiologik hanya atas indikasi, dan Perawata luka. Umumnya pasien SHI
dipulangkan dengan pengawasan ketat oleh keluarga selama 48 jam, apabila
dirumah terdapat hal-hal seperti pasien cenderung mengantuk, sakit kepala yang
semakin berat dan muntah proyektil, maka pasien harus segera kembali ke rumah
sakit. Pasien perlu dirawat apabila ada hal-hal berikut : Gangguan orientasi waktu
atau tempat, Sakit kepala dan muntah, Tidak ada yang mengawasi di rumah, atau
rumah jauh atau sulit untuk kembali ke RS.
b. Penderita mengalami penurunan kesadaran
sesaat
setelah
trauma
Terapi non-operatif , ditujukan untuk Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta
mencegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial, Mencegah dan
mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik), Minimalisasi kerusakan
sekunder, Mengobati simptom akibat trauma otak, Mencegah dan mengobati
komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi (antikonvulsan dan antibiotic).
Terapi operatif, diindikasikan untuk kasus
1. Cedera kranioserebral tertutup :
Fraktur impresi (depressed fracture)
Edema serebri berat dengan tanda peningkatan TIK
Perdarahan epidural (hematoma epidural /EDH) dengan volume perdarahan lebih
dari 40cc dengan midline shifting, perdarahan 30cc pada daerah fossa posterior
dengan tanda-tanda penekanan batang otak atau hidrosefalus, dan/atau pergeseran
garis tengah lebih dari 3 mm serta ada perburukan kondisi pasien
Perdarahan subdural (hematoma subdural/ SDH) dengan perdarahan >40 cc atau
pendorongan garis tengah lebih dari 3 mm atau kompresi/ obliterasi sisterna
basalis
Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan penurunan kesadaran
progresif, perburukan defisit neurologi fokal atau herniasi.
2. Pada cedera kranioserebral terbuka
Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, fraktur multipel, dura
yang robek disertai laserasi otak
Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari
Corpus alienum
Luka tembak
C. Saat kejadian
Manajemen prehospital
Instalasi Gawat Darurat
Perawatan di ruang rawat
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam
penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, dan
circulation.
Survei Primer, untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis
otak, meliputi tindakan berikut :
A = Airway (jalan nafas)
12
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa
muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi
lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan.
B = Breathing (pernafasan)
Pastikan pernafasan adekuat, perhatikan frekuensi, pola nafas dan kesataraan
pengembanga dada kanan dan kiri. Bila ada gangguan pernafasan, cari penyebab
apakah gangguan sentral atau perifer. Kelainan sentral disebabkan oleh depresi
pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi
neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma
dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi. Tata laksana:
Oksigen tekanan tinggi, terutama pada pasien kegagalan fungsi paru atau syok.
Bertujuan untuk menurunkan PCO2 darah dan mencegah vasodilatasi pembuluh
darah, selain itu dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat
C = Circulation
Pertahankan tekanan darah sistolik >90 mmHg. Hipotensi dapat terjadi akibat cedera
otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali
saja sudah dapat meningkatkan risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan
terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau
ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung/pneumotoraks, atau syok
septik.Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi
jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan cairan isotonik NaCl
0,9%.
13
Survei Sekunder, meliputi pemeriksaan dan tindakan lanjutan setelah kondisi pasien
stabil. Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan fisik yang meliputi :
Tanda vital dan GCS
Pupil : ukuran, bentuk dan refleks cahaya
Pemeriksaan neurologi cepat : defi sit fokal serebral dan cedera ekstrakranial.
Hasil pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari pertama.
Bila terdapat perburukan salah satu komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.
Pemeriksaan laboratorium darah yaitu :
Hb, leukosit. Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis dapat dipakai sebagai
salah satu indikator pembeda antara kontusio (CKS) dan komosio (CKR). Leukosit
>17.000 merujuk pada CT scan otak abnormal,
Gula darah sewaktu (GDS), Hiperglikemia reaktif dapat merupakan faktor risiko
bermakna untuk kematian
Ureum dan kreatinin, Pemeriksaan fungsi ginjal perlu karena manitol merupakan zat
hiperosmolar yang pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal. Pada fungsi ginjal yang
buruk, manitol tidak boleh diberikan.
Analisis gas darah, Dikerjakan pada cedera kranioserebral dengan kesadaran menurun.
pCO2 tinggi dan pO2 rendah akan memberikan luaran yang kurang baik. pO2 dijaga
tetap >90 mm Hg, SaO2 >95%, dan pCO2 30-35 mmHg.
Elektrolit (Na, K, dan Cl), Kadar elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan
kesadaran.
Albumin serum, Pasien dengan kadar albumin rendah (2,7-3,4g/dL) mempunyai risiko
kematian 4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan kadar albumin normal.
Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen, Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada kelainan
hematologis. Diagnosis kelainan hematologis ditegakkan bila trombosit <40.000/mm3,
kadar fi brinogen <40mg/mL, PT >16 detik, dan aPTT >50 detik.
Pemantauan tekanan intra kanial, peningkatan tekanan intrakranial terjadi akibat
edema serebri dan/atau hematoma intrakranial. Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang monitor
TIK. TIK normal adalah 0-15 mm Hg. Di atas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan
cara:
a.Posisi kepala ditinggikan 30 derajat
b.Terapi diuretik:
Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan dalam
30 menit. Untuk mencegah rebound, pemberian diulang setelah 6 jam dengan dosis
0,25-0,5/kgBB dalam 30 menit. Pemantauan: osmolalitas tidak melebihi 310 mOsm.
14
efek sinergis dan memperpanjang efek osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari IV.
Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase toraks, dan ekstremitas
digerakkan pasif untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik.
Kondisi kognitif dan fungsi kortikal luhur lain perlu diperiksa. Saat Skala Koma
Glasgow sudah mencapai 15, dilakukan pemeriksaan penapisan untuk menilai kognitif dan
domain fungsi luhur lainnya dengan Mini-Mental State Examination (MMSE); akan diketahui
domain yang terganggu dan dilanjutkan dengan konsultasi ke klinik memori bagian
neurologi.
Proteksi serebral (neuroproteksi), Adanya tenggang waktu antara terjadinya cedera
otak primer dengan timbulnya kerusakan sekunder memberikan kesempatan untuk pemberian
neuroprotektor. Manfaat obat-obat tersebut sampai saat ini masih terus diteliti. Obat-obat
tersebut antara lain golongan antagonis kalsium (mis., nimodipine) yang terutama diberikan
pada perdarahan subaraknoid (SAH) dan sitikolin untuk memperbaiki memori. Dari beberapa
percobaan penting, terungkap bahwa agen neuroprotektor yang diberikan setelah cedera otak
dapat menekan kematian dan menambah perbaikan fungsi otak. Dahulu, pemberian
neuroprotektor ini masih diragukan kegunaannya. Hal yang perlu dipantau dari awal untuk
proteksi serebral adalah kemungkinan terjadinya hipoksia, hipotensi, maupun demam yang
dapat memperburuk kondisi iskemia serebral. Manajemen intensif dengan obat proteksi
serebral berdasarkan patofisiologi mekanisme kerja yang spesifik menjanjikan perbaikan
luaran (outcome) pasien cedera kranioserebral.
2.9 KOMPLIKASI
Sequelae adalah kondisi berikutnya sebagai konsekuensi dari penyakit. Sedangkan
komplikasi adalah adalah proses baru atau proses terpisah yang dapat timbul sekunder karena
beberapa perubahan yang dihasilkan oleh keadaan aslinya. Cedera kepala dapat menyebabkan
Sequela, diantaranya adalah :
1. Bangkitan Pasca Trauma,
Kejang yang terjadi setelah masa trauma yang dialami pasien merupakan salah
satu komplikasi serius. Insidensinya sebanyak 10%, terjadi di awal cedera 4-25%
(dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Kejang yang
15
terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure, dan yang terjadi
setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu
ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah korteks. Diberi
profilaksis fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari.
2. Mood, Tingkah Laku dan Kognitif,
Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan fisik
setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian PonsFord, menunjukkan 2 tahun
setelah cedera kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi
termasuk problem daya ingat pada 74%, gangguan mudah lelah (fatigue) 72%,
gangguan kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi
62%.
Cedera kepala dapat menyebabkan beberapa komplikasi, diantaranya adalah ;
1. Infeksi,
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur
tulang terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profilaksis antibiotik ini
masih kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik
dengan dosis meningitis.
2. Demam,
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan memperburuk
outcome. Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Sering terjadi
akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral. Penatalaksanaan dengan. Dilakukan
tindakan menurunkan suhu dengan kompres dingin di kepala, ketiak, dan lipat paha,
atau tanpa memakai baju dan perawatan dilakukan dalam ruangan dengan pendingin.
Boleh diberikan tambahan antipiretik dengan dosis sesuai berat badan.
3. Gelisah atau Agitasi,
Kegelisahan dapat disebabkan oleh kandung kemih atau usus yang penuh, patah
tulang yang nyeri, atau tekanan intrakranial yang meningkat. Bila ada retensi urin,
dapat dipasang kateter untuk pengosongan kandung kemih. Bila perlu, dapat diberikan
penenang dengan observasi kesadaran lebih ketat. Obat yang dipilih adalah obat
peroral yang tidak menimbulkan depresi pernapasan.
2.10
PROGNOSIS
16
Prognosis pada cedera kepala mengacu pada tingkat keparahan yang dialami. Prediksi
luaran pasien cedera kepala bergantung pada banyak faktor, antara lain umur, beratnya cedera
berdasarkan klasifikasi GCS dan CT scan otak, komorbiditas, hipotensi, dan/atau iskemia
serta lateralisasi neurologik. Nutrisi yang tidak adekuat dapat memperburuk luaran. Hal yang
perlu juga diperhatikan adalah adanya amnesia pascacedera yang menetap lebih dari 1 jam,
fraktur tengkorak, gejala neuropsikologik (salah satu caranya dengan pemeriksaan Mini
Mental State Examination / MMSE).
Nilai GCS saat pasien pertama kali datang ke rumah sakit memiliki nilai prognosis
yang besar. Nilai GCS antara 3-4 memiliki tingkat mortalitas hingga 85%, sedangkan nilai
GCS diatas 12 memiliki nilai mortalitas 5-10%. Gejala-gejala yang muncul pasca trauma juga
perlu diperhatikan seperti mudah letih, sakit kepala berat, tidak mampu berkonsentrasi dan
irritable, yang akan memberikan problem gejala sisa lebih sering dibandingkan mereka yang
keluar tanpa adanya gejala tersebut di atas.
17
BAB III
RINGKASAN
Cedera kepala bisa mengalami penyembuhan total namun juga penderita bisa
menyebabkan kematian. Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang
menetap, yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas
(terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung
kepadabagian otak mana yang terkena.
Cedera kepala dibagi berdasarkan 3 hal yaitu secara patologi, morfologi cedera dan
derajat kesadaran berdasarkan Glascow Coma Scale (GCS). , klasifikasi berdasarkan derajat
kesadaran banyak dipakai di klinik karena mudah dinilai oleh kalangan medis maupun
paramedis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis neurologis,
pemeriksaan penunjang berupa foto kepala, dan CT Scan otak. Penatalaksanaan penderita
cedara kepala dasarnya bertujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera
kepala sekunder. Penatalaksanaan cedera kranioserebral dapat dibagi berdasarkan Kondisi
kesadaran pasien, tindakan, dan saat kejadian
Cedera kepala dapat menyebabkan beberapa komplikasi, diantaranya adalah kejang
pasca trauma, infeksi, demam, gelisah, gangguan mood, tingkah laku dan kognitif. Prognosis
pasien cedera kepala bergantung pada banyak faktor, antara lain umur, beratnya cedera
berdasarkan klasifikasi GCS dan CT scan otak, komorbiditas, hipotensi, atau iskemia serta
lateralisasi neurologik.
18
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Hafid A. Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua. Jong W.D. Jakarta : penerbit
buku kedokteran EGC. 2007.
9.
19