Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

CIDERA KEPALA RINGAN (CKR)

I. KONSEP TEORI

A. DEFINISI

Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala,

tengkorak dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang

serius diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai

hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001).

Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang

disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa

diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).

Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,

tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung

maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi dan Rita Yuliani.2001)

Cidera kepala ringan adalah gangguan traumatic dari fungsi otak yang

disertai atau tanpa disertai perdarahan interstisial dalam substansi otak tanpa

diikuti terputusnya kontinuitas otak.

B. ETIOLOGI

Menurut Tarwoto (2007), penyebab dari Cedera Kepala adalah :

1. Kecelakaan lalu lintas.

2. Terjatuh

3. Pukulan atau trauma tumpul pada kepala.

4. Olah raga

5. Benturan langsung pada kepala.

6. Kecelakaan industri.

1
C. PATHWAY

2
D. EPIDEMIOLOGI

Insiden cedera kepala nyata yang memerlukan perawatan di RS dapat

diperkirakan 480 ribu kasus pertahun (200 kasus, 100 ribu orang) yang meliputi

concussion, fraktur tengkorak, peradarahan intracranial, laserasi otak, hematoma

dan cedera serius lainnya. Dari total ini, 75 – 85 % adalah concussion dan

sekuele cedera kepala ringan. Cedera kepala banyak terjadi pada laki – laki

berumur antara 15 – 24 tahun, dan biasanya karena kecelakaan bermotor.

Menurut Rinner, dari 1200 pasien yang dirawat di RS dengan cedera kepala

tertutup, 55 % dengan cedera kepala ringan (minor).

E. KLASIFIKASI

Cedera Kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, tingkat keparahan,

dan morfologi cidera.

1. Berdasarkan Mekanisme :

a. Trauma Tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), kecepatan rendah

(terjatuh, terpukul)

b. Trauma Tembus : luka tembus peluru dan cdera tembus lainnya.

2. Berdasarkan Tingkat Keparahan :

Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas

GCS. Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu:

a. Reaksi membuka mata (Eye responses)

1) Score 4: Membuka mata dengan spontan

2) Score 3: Membuka mata bila dipanggil

3) Score 2: Membuka mata bila dirangsang nyeri

4) Score 1: Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun

b. Reaksi berbicara (Verbal responses)

1) Score 5: Komunikasi verbal baik, jawaban tepat

2) Score 4 : Bingung disorientasi waktu, tempat dan orang

3
3) Score 3 : Dengan rangsangan, reaksi hanya kata, tidak

berbentuk gerakan

4) Score 2 : Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak berbentuk kata

5) Score 1 : Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun

c. Reaksi Gerakan lengan / tungkai (Motoric responses)

1) Score 6 : Mengikuti perintah

2) Score 5 : Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui rangsangan atau

tempat

3) Score 4: Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan

4) Score 3: Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal

5) Score 2: Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal

6) Score 1: Dengan rangsangan nyeri tidak ada reaksi

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat

diklasifikasikan menjadi :

1) Cedera Kepala Ringan (CKR) : bila GCS 14-15 (kelompok resiko

rendah). Dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit,

tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti

fraktur tengkorak , kontusio atau temotom (sekitar 55% ).

2) Cedera Kepala Sedang (CKS) : bila GCS 9-13 (kelompok resiko

sedang), hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat

mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ).

3) Cedera Kepala Berat (CKB) : bila GCS 3-8 (kelompok resiko berat),

hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi contusio cerebral,

laserasi atau adanya hematoina atau edema

3. Berdasarkan morfologi

a. Fraktur tengkorak

4
1) Kranium : linear / stelatum ; depresi / non depresi ; terbuka /

tertutup.

2) Basis : dengan / tanpa kebocoran cairan serebrospinal ; dengan

/tanpa kelumpuhan nervus VII

b. Lesi intracranial

1) Fokal diakibatkan dari kerusakan local yang meliputi konsio serebral

dan hematom serebal, serta kerusakan otak sekunder yang

disebabkan oleh perluasan masa lesi, pergeseran otak.

2) Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.

F. ANATOMI KEPALA

1. Kulit kepala

Pada bagian ini tidak terdapat banyak pembuluh darah. Bila robek,

pembuluh- pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi yang dapat

menyebabkan kehilangan darah yang banyak. Terdapat vena emiseria dan

diploika yang dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai dalam

tengkorak(intracranial) trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi,

atau avulasi.

2. Tulang kepala

Terdiri dari calvaria (atap tengkorak) dan basis eranium (dasar

tengkorak). Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuibis tulang tengkorak

disebabkan oleh trauma. Fraktur calvarea dapat berbentuk garis (liners) yang

bisa non impresi (tidak masuk / menekan kedalam) atau impresi. Fraktur

tengkorak dapat terbuka (dua rusak) dan tertutup (dua tidak rusak).

Tulang kepala terdiri dari 2 dinding yang dipisahkan tulang berongga,

dinding luar (tabula eksterna) dan dinding dalam (labula interna) yang

mengandung alur-alur artesia meningia anterior, indra dan prosterion.

Perdarahan pada arteria-arteria ini dapat menyebabkan tertimbunya darah

dalam ruang epidural.

5
a. Lapisan Pelindung otak / Meninges

Terdiri dari 3 lapisan meninges yaitu durameter areknol dan diameter.

1) Durameter adalah membran luas yang kuat, semi translusen, tidak

elastis menempel ketat pada bagian tengkorak. Bila durameter robek,

tidak dapat diperbaiki dengan sempurna. Fungsi durameter yaitu

melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena ( yang terdiri dari

durameter dan lapisan endotekal saja tanpa jaringan vaskuler ) dan

membentuk periosteum tabula interna.

2) Asachnoid adalah membrane halus, vibrosa dan elastis, tidak

menempel pada dura. Diantara durameter dan arachnoid terdaptr

ruang subdural yang merupakan ruangan potensial. Pendarahan

sundural dapat menyebar dengan bebas. Dan hanya terbatas untuk

seluas valks serebri dan tentorium. Vena-vena otak yang melewati

subdural mempunyai sedikit jaringan penyokong sehingga mudah

cedera dan robek pada trauma kepala.

3) Diameter adalah membran halus yang sangat kaya dengan pembuluh

darah halus, masuk kedalam semua sulkus dan membungkus semua

girus, kedua lapisan yang lain hanya menjembatani sulkus. Pada

beberapa fisura dan sulkus di sisi medial homisfer otak. Prametar

membentuk sawan antar ventrikel dan sulkus atau vernia. Sawar ini

merupakan struktur penyokong dari pleksus foroideus pada setiap

ventrikel. Diantara arachnoid dan parameter terdapat ruang

subarachnoid, ruang ini melebar dan mendalam pada tempat tertentu.

Dan memungkinkan sirkulasi cairan cerebrospinal. Pada kedalam

system vena.

b. Otak.

6
Otak terdapat didalam iquor cerebro Spiraks. Kerusakan otak yang

dijumpai pada trauma kepala dapat terjadi melalui 2 campuran : 1. Efek

langsung trauma pada fungsi otak, 2. Efek-efek lanjutan dari sel-sel

otakyang bereaksi terhadap trauma. Apabila terdapat hubungan langsung

antara otak dengan dunia luar (fraktur cranium terbuka, fraktur basis

cranium dengan cairan otak keluar dari hidung / telinga), merupakan

keadaan yang berbahaya karena dapat menimbulkan peradangan otak.

Otak dapat mengalami pembengkakan (edema cerebri) dank arena

tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat, maka edema ini akan

menimbulkan peninggian tekanan dalam rongga tengkorak (peninggian

tekanan tekanan intra cranial).

c. Tekanan Intra Kranial (TIK).

Tekanan intra cranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan

otak, volume darah intracranial dan cairan cerebrospiral di dalam

tengkorak pada 1 satuan waktu. Keadaan normal dari TIK bergantung

pada posisi pasien dan berkisar ± 15 mmHg. Ruang cranial yang kalau

berisi jaringan otak (1400 gr), Darah (75 ml), cairan cerebrospiral (75

ml), terhadap 2 tekanan pada 3 komponen ini selalu berhubungan dengan

keadaan keseimbangan Hipotesa Monro – Kellie menyatakan : Karena

keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di dalam tengkorak, adanya

peningkatan salah 1 dari komponen ini menyebabkan perubnahan pada

volume darah cerebral tanpa adanya perubahan, TIK akan naik.

Peningkatan TIK yang cukup tinggi, menyebabkan turunnya batang ptak

(Herniasi batang otak) yang berakibat kematian.

G. PATOFISIOLOGI

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa

dapat terpenuhi, energi yang dihasilkan di dalam sel – sel syaraf hampir

7
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen,

jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan

gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar

metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan

koma, kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan tubuh,

sehingga bila kadar oksigen plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala –

gejala permulaan disfungsi cerebral.

Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan

oksigen melalui proses metabolisme anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi

pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi

penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan

oksidasi metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metababolik.

Dalam keadaan normal Cerebral Blood Flow (CBF) adalah 50 – 60 ml / menit

100 gr. Jaringan otak yang merupakan 15 % dari cardiac output.

Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktifitas

atypical myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udema paru. Perubahan

otonim pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P aritmia,

fibrilasi atrium dan ventrikel serta takikardi. Akibat adanya perdarahan otak

akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler akan

menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan

simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak

begitu besar.

H. KOMPLIKASI

1. Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah

terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang

nyata atau cedera kepala tertutup yang ditandai oleh hilangnya

kesadaran. Konkusio menyebabkan periode apnu yang singkat.

8
2. Hematoma Epidural adalah penimbunan darah di atas durameter. Hemotoma

epidural terjadi secara akut dan biasanya terjadi karena pendarahan arteri

yang mengancam jiwa

3. Hematoma subdura adalah penimbunan darah dibawah durameter tetapi

diatas membrane abaknoid. Hematoma ini biasanya disebabkan oleh

pendarahan vena, tetapi kadang-kadang dapat terjadi perdarahan arteri

subdura.

4. Pendarahan subaraknoid adalah akumulasi darah di bawah membran

araknoid tetapi diatas diameter, ruang ini hanya mengandung cairan

serebraspinalis bila dalam keadaan normal.

5. Hematoma intraserebrum adalah pendarahan di dalam otak itu sendiri, hal

ini dapat timbul pada cedera kepala tertutup yang berat ataupun pada cedera

kepala terbuka.

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. CT Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,

menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.

2. MRI : sama dengan CT Scan

3. Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti

pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma

4. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang

patologis.

5. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.

6. Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),

pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan) adanya fragmen

tulang.

7. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :

perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.

9
8. Fungsi Lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan sub

arakhnoid.

9. AGD : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi

perdarahan sub arakhnoid.

10. Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan

dalam peningkatan TIK atau perubahan mental.

11. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai

akibatpeningkatan tekanan intrkranial.

J. PENATALAKSANAAN

Pedoman resusitasi dan penilaian awal

1. Menilai jalan nafas

Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu,

pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar

servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera kepala orofasial

mengganggu jalan nafas, maka pasien harus diintubasi.

2. Menilai pernapasan

Tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak berikan

oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan

atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks.

Pasang oksimeter nadi, jika tersedia, dengan tujuan menjaga saturasi

oksigen minimum 95%. Jika pasien tidak terlindung bahkan terancam atau

memperoleh oksigen yang adekuat (PaO2 >95 mmHg dan PaCO2 > 95%)

atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli anestesi.

3. Menilai sirkulasi

Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan

dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera

intrabdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan

tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur

10
intravena ynag besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan dara perifer

lengkap ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan

larutan koloid. Sedangkan laruta kristaloid (dekstrosa dan dekstrosa salan

salin) menimbulkan eksaserbasi edema otak pasca cedera kepala. Keadaan

hipotensi, hipoksia dan hiperkapnia memburuk cedera kepala.

4. Obati kejang

Kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati.

Dengan memberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat

diulangi sampai tiga kali masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan

fenitoin 15 mg/kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan

tidak melebihi 50 mg/menit.

K. PEDOMAN PENATALAKSANAAN

1. Pada semua pasien dengan cedera kepala atau leher, lakukan foto tulang

belakang servikal (proyeksi antero-posterior, lateral dan odontoid), kolar

servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-

C7 normal.

2. Elevasi kepala 300

3. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, dilakukan

prosedur berikut :

a. Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau

larutan Ringer laktat : catat isotonis lebih efektif mengganti volume

intravaskular daripada cairan hipotonis dan larutan ini tidak menambah

edema serebri.

b. Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap,

trombosis, kimia darah, glukosa, ureum, kreatinin, masa protrombin,

atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alkohol

bila perlu.

11
4. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang : foto rontgen kepala tidak

diperlukan jikaCT Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk

mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera kepala ringan, sedang atau berat,

harus dievaluasi adanya :

a. Hematoma epidural

b. Darah dalam suaracnoid dan intraventrikel

c. Kontusio dan perdarahan jaringan otak

d. Edema serebri

e. Obliterasi sisterna perimesensefalik

f. Pergeseran garis tengah

g. Fraktur kranium, cairan dalam sinus dan pneumosefalus.

5. Pasien dengan cedera kepala ringan umumnya dapat dipulangkan ke rumah

tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria sebagai

berikut :

a. Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya

berjalan) dalam batas normal

b. Foto servikal jelas normal

c. Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama

24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gaeat

darurat jika timbul gejala perburukan.

L. KRITERIA PERAWATAN DI RUMAH SAKIT

1. Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan

2. Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun

3. Adanya tanda atau gejala neurologis fokal

4. Intoksikasi obat atau alcohol

5. Adanya penyakit medis komorbid yang nyata

6. Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah.

12
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

Pengkajian dilakukan pada… tanggal…. Jam….

1. Identitas pasien

Nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status, agama, alamat, no register,

dan diagnosa medis.

Penanggung jawab

Nama,umur, jenis kelamin, pekerjaan, status, agama, alamat, hubungan

dengan pasien

2. Riwayat kesehatan

a. Keluhan utama

b. Riwayat penyakit sekarang

c. Riwayat penyakit dahulu

d. Riwayat penyakit keluarga

3. Pengkajian primer

a. Airway

b. Breathing

c. Circulation

d. Disability

e. Exposure

4. Pengkajian sekunder

a. Aktifitas

b. Integritas ego

c. Eliminasi

d. Pola nutrisi

e. Hygiene

5. Pemeriksaan penunjang

13
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Resiko ketidafefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan

edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.

2. Resiko tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya

sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan

intrakranial.

3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma kepala.

4. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.

5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau

meningkatnya tekanan intracranial.

C. INTERVENSI

1. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan

edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.

Tujuan : Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada

pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda

peningkatan tekanan intrakranial.

Intervensi :

a. Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline” untuk

menurunkan tekanan vena jugularis.

b. Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya tekanan

intrakranial:

c. Bila akan memiringkan pasien, harus menghindari adanya tekukan

pada anggota badan, fleksi (harus bersamaan)

d. Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver

e. Ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan therapeutic,

hindari percakapan yang emosional.

f. Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan

intrakranial sesuai program.

14
g. Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena

dapat meningkatkan edema serebral.

h. Monitor intake dan out put.

i. Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.

j. Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan

pemenuhan nutrisi.

k. Pada pasien , libatkan keluarga dalam perawatan pasien dan jelaskan

hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

2. Resiko tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya

sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan

intrakranial.

Tujuan : Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan

tidak ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan

dalam batas normal.

Intervensi:

a. Kaji Airway, Breathing, Circulasi

b. Kaji apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari kepala

ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebral

c. Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada

sekret segera lakukan pengisapan lender

d. Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas

e. Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan

tinggikan 15 – 30 derajat.

f. Oksigen sesuai program.

3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma kepala.

Tujuan : pasien akan merasa nyaman yang ditandai dengan pasien tidak

mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.

Intervensi :

15
a. Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri,

lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat,

berkeringat dingin.

b. Mengatur posisi sesuai kebutuhan untuk mengurangi nyeri.

c. Kurangi rangsangan.

d. Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.

e. Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.

f. Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.

4. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.

Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau

dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit

baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.

Intervensi :

a. Kaji intake dan out put.

b. Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-

ubun atau mata cekung dan out put urine.

c. Berikan cairan intra vena sesuai program.

5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya

tekanan intrakranial.

Tujuan : pasien terbebas dari injuri.

Intervensi :

a. Kaji status neurologis pasien: perubahan kesadaran, kurangnya respon

terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas

pergerakan menurun, dan kejang.

b. Kaji tingkat kesadaran dengan GCS

c. Monitor tanda-tanda vital pasien setiap jam.

d. Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.

e. Berikan analgetik sesuai program.

16
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,

volume 3. Jakarta : EGC

Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek

Klinik. Jakarta : EGC

Doenges, Marilynn E. et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan :

Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perwatan

Pasien, Edisi 3. (Alih bahasa oleh : I Made Kariasa, dkk). Jakarta :

EGC.

Iskandar. (2004). Memahami Aspek-aspek Penting Dalam Pengelolaan

Penderita Cedera Kepala. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer

Kelompok Gramedia.

NANDA, 2007. Nursing Diagnoses : Definition and Clssification 2007 –

2008, NANDA

International, Philadephia.

Mansjoer, Arif. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarata : Media

Aesculapius Fakultas Kedokteran UI

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pasien dengan

Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

Smeltzer, Suzanna C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.

Brunner dan Suddart. (Alih bahasa Agung Waluyo), Edisi 8. Jakarta:

EGC.

17

Anda mungkin juga menyukai