PENDAHULUAN
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul/ tajam pada kepala
atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab
kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar disebabkan karena
kecelakaan lalu lintas.
Adapun pembagian trauma kapitis ada lima, yaitu Simple head injury, Commotio cerebri, Contusion
cerebri, Laceratio cerebri, dan Basis cranii fracture. Simple head injury dan Commotio cerebri sekarang
digolongkan sebagai cedera kepala ringan. Sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan
sebagai cedera kepala berat.
Pada penderita cedera kepala harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah, keadaan umum dan
kesadaran. Tindakan resusitasi, anamnesa dan pemeriksaan fisik umum serta pemeriksaan neurologis harus
dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di
Rumah Sakit.
BAB II
CEDERA KEPALA
2.1. Anatomi
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective tissue atau jaringan
penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar
dan pericranium.
b. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang
yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini
dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat
bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior
tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak
dan serebelum.
c. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii. Komplikasi :
Gangguan pendengaran
Parese N.VII perifer
Meningitis purulenta akibat robeknya duramater
Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi terapinya harus disesuaikan. Pemberian
antibiotik dosis tinggi untuk mencegah infeksi. Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe yang berlangsung
lebih dari 6 hari.
a b c
Gambar 4. Tanda-tanda fraktur basis kranii
a. Raccon`s eyes (brill haematoma), b.Otorrhea, c.Rhinorrhea
2.6. Derajat Cedera Kepala
1. Cedera Kepala Ringan (CKR). Termasuk didalamnya Laseratio dan
Commotio Cerebri. Pada cedera kepala ringan ditemukan:
a. Skor GCS 14-15
b. Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit
c. Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
d. Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan neurologis.
2. Cedera Kepala Sedang (CKS). Dapat ditemukan:
a. Skor GCS 9-12
b. Ada pingsan lebih dari 10 menit
c. Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
d. Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak.
3. Cedera Kepala Berat (CKB). Dapat ditemukan:
a. Skor GCS <8
b. Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat
c. Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
d. Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas.
2.7. Diagnosa
Diagnosa cedera kepala ditegakkan berdasarkan ada tidaknya riwayat trauma kapitis dan gejala-gejala klinis
serta dari pemeriksaan penunjang.
Gejalanya yaitu setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri kepala sebentar kemudian
membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam kemudian timbul gejala-gejala yang bersifat progresif seperti
nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan
mula-mula miosis, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks cahaya. Ini adalah tanda-
tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial.
Kejadiannya biasanya akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam) dengan adanya lucid interval,
peningkatan TIK dan gejala lateralisasi berupa hemiparese
Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati hematoma subkutan. Pemeriksaan
neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar. Pada sisi kontralateral dari hematom, dapat
dijumpai tanda-tanda kerusakan traktus piramidalis, misal: hemiparesis, refleks tendon meninggi dan refleks
patologik positif.
Pemeriksaan CT-Scan menunjukkan ada bagian hiperdens yang bikonveks dan LCS biasanya jernih.
Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan pengikatan pembuluh darah.
b. Hematom subdural
Letak subdural yaitu di bawah duramater. Terjadi akibat pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging
veins dan laserasi piamater serta arachnoid dari kortex cerebri.
Gejala subakut mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama dan gejala kronis timbul 3 minggu atau
berbulan-bulan setelah trauma.
Pada pemeriksaan CT-Scan setelah hari ke 3 yang kemudian diulang 2 minggu kemudian terdapat bagian
hipodens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim otak (bagian dalam mengikuti kontur
otak dan bagian luar sesuai lengkung tulang tengkorak). Juga terlihat bagian isodens dari midline yang
bergeser.
Gambar 6. Perdarahan subdural
Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak (dekompresi) dengan melakukan
evakuasi hematom. Penanganan subdural hematom akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.
c. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak pada lobus temporalis. Perdarahan
intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika
penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan
pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi
bagian otak yang terkena.
2.10. Penatalaksanaan
2.10.1. Penatalaksanaan Umun
a. Observasi GCS dan Tanda Vital (T,N,R,S)
b. Head up 300
c. O2 lembab 4-6 liter/m
d. IVFD NaCl 0,9% (30-40cc/kgBB perhari)
e. Antibiotik
f. Analgetik
g. Antagonis H2 reseptor
h. K/P : Manitol, Anti Konvulsan
i. Pasang NGT, Kateter
2.10.2. Penatalaksanaan TTIK
Terapi Konservatif
Posisi : Head up 30 0.
Hiperventilasi ringan 15-30 menit
Manitol 20% dosis 0,25 - 2 gr/Kg BB/kali pemberian tiap 4 – 6 jam
Terapi operatif (craniotomy, diversi LCS, dekompresi)
Indikasi ;
Fraktur depress
Intracranial hematoma (EDH/SDH/ICH) > 25 cc
Midline Shift > 5 cm
Cedera penetrasi
Indikasi rawat bagi pasien cedera kepala yaitu :
a. Penurunan kesadaran
b. Nyeri kepala (dari sedang hingga berat)
c. Riwayat tidak sadarkan diri selam > 15 menit
d. Fraktur tulang tengkorak
e. Rhinorea – otorhea
f. Cedera penetrasi
g. Intoksikasi alcohol atau obat-obatan
h. Trauma multiple
i. Hasil CT Scan abnormal
j. Amnesia
k. Tidak ada keluarga
2.11.Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan
kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya yang dilakukan yaitu :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu lintas seperti untuk
mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk
pengaman,dan memakai helm.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang dirancang untuk mengurangi atau
meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :
1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada kasus cedera. Guna
menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi prioritas utama dari masalah yang
lainnya. Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah
airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan
nafas tertutup lidah penderita sendiri.
Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas,
selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh
ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya
yang mengancam airway.
2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah membantu pernafasan.
Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat menimbulkan
kematian.
3. Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah sehingga pembuluh darah
tertutup. Kepala dapat dibalut
dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infus dan bila perlu dilanjutkan
dengan pemberian transfuse darah. Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat, penanganan yang tepat
bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang
harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan
pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita.
Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu ditangani melalui
rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
1. Rehabilitasi Fisik
a) Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan bawah tubuh.
b) Perlengkapan splint dan kaliper
c) Transplantasi tendon
2. Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tama dimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan memotivasi kembali keinginan
dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari
ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan semangat hidup.
3. Rehabilitasi Sosial
a) Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda,perubahan paling sederhana adalah
pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang lain.
b) Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).
2.12. Prognosa
Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya trauma kapitis. Pemulihan fungsi otak
tergantung kepada beratnya cedera yang terjadi, umur anak, lamanya penurunan kesadaran dan bagian otak
yang terkena.
Masalah yang biasa timbul selama masa pemulihan adalah hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat
sebelum terjadinya cedera (amnesia retrograd), perubahan perilaku, ketidakstabilan emosi, gangguan tidur dan
penurunan tingkat kecerdasan.
BAB III
SIMPULAN
Cedera Kepala adalah setiap trauma pada kepala yang menyebabkan cedera pada kulit kepala, tulang tengkorak
maupun otak. Cedera kepala bertanggung jawab atas separuh kematian karena cedera. Merupakan komponen
yang paling sering pada cedera multipel. Ditemukan pada 75 % korban tewas karena kecelakaan lalu lintas.
Untuk setiap kematian, terdapat dua kasus dengan cacat tetap, biasanya sekunder terhadap cedera kepala.
Masalah yang biasa dihadapi adalah jauhnya, ketersediaan fasilitas serta tingkat kompetensi bedah saraf
setempat, serta lambatnya tindakan definitif, organisasi kegawatdaruratan, dan profil cedera. Yang terpenting
adalah pengelolaan ventilasi dan hipovolemia yang berperan dalam menimbulkan kerusakan otak sekunder
yang bisa dicegah. Transfer pasien yang memenuhi sarat dengan segera akan mengurangi kesakitan dan
kematian. Transfer tidak boleh diperlambat oleh tindakan diagnostik.
Penyebab kecacatan atau kematian yang dapat dicegah antara lain adalah keterlambataan resusitasi atas
hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi, keterlambatan tindakan definitif terutama terhadap hematoma intrakranial
yang berkembang cepat, serta kegagalan mencegah infeksi.
DAFTAR PUSTAKA