Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

            Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul/ tajam pada kepala
atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab
kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar disebabkan karena
kecelakaan lalu lintas.
            Adapun pembagian trauma kapitis ada lima, yaitu Simple head injury, Commotio cerebri, Contusion
cerebri, Laceratio cerebri, dan Basis cranii fracture. Simple head injury dan Commotio cerebri sekarang
digolongkan sebagai cedera kepala ringan. Sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan
sebagai cedera kepala berat.
            Pada penderita cedera kepala harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah, keadaan umum dan
kesadaran. Tindakan resusitasi, anamnesa dan pemeriksaan fisik umum serta pemeriksaan neurologis harus
dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di
Rumah Sakit.

BAB II
CEDERA KEPALA

2.1.   Anatomi
a.      Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective tissue atau jaringan
penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar
dan pericranium.
b.      Tulang Tengkorak

Gambar 1. Tulang tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang
yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini
dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat
bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior
tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak
dan serebelum.
c.                Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :

Gambar 2. Lapisan meningen


1.   Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal.
Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan
dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang
potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan
subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus
sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya
fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media).
2.   Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara
piamater sebelah dalam dan duramater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater
oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh
liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3.   Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater adarah membrana vaskular yang dengan erat
membungkus otak, meliputi gyrus dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus
saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi
oleh piamater.

2.2.   Definisi Cedera Kepala


Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai
kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan
jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.

2.3.   Mekanisme dan Patofisiologi


Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan langsung pada kepala.  Kelainan
dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa fraktur tulang tengkorak. Cedera fokal dapat
menyebabkan memar otak, hematom epidural, subdural dan intraserebral.  Cedera difus dapat mengakibatkan
gangguan fungsi saja, yaitu gegar otak atau cedera struktural yang difus.
Dari tempat benturan, gelombang kejut disebar ke seluruh arah.  Gelombang ini mengubah tekanan jaringan
dan bila tekanan cukup besar, akan terjadi kerusakan jaringan otak di tempat benturan yang disebut “coup” atau
ditempat yang berseberangan dengan benturan  (countre coup).
   Gangguan metabolisme jaringan otak akan mengakibatkan oedem yang dapat menyebabkan herniasi jaringan
otak melalui foramen magnum, sehingga jaringan otak tersebut dapat mengalami iskhemi, nekrosis, atau
perdarahan dan kemudian meninggal.
   Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa.  Cedera kepala dapat menyebabkan
gangguan suplai oksigen dan glukosa, yang terjadi karena berkurangnya oksigenisasi darah akibat kegagalan
fungsi paru atau karena aliran darah ke otak yang menurun, misalnya akibat syok. Karena itu, pada cedera
kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu
sehingga oksigenisasi cukup.

2.4.   Gambaran Klinis


   Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya.  Derajat cedera dapat dinilai menurut
tingkat kesadarannya melalui sistem GCS, yakni metode EMV (Eyes, Verbal, Movement).

1.    Kemampuan membuka kelopak mata (E)


Gambar 3. Tes membuka mata (eye)
       Secara spontan                                  4
       Atas perintah                                     3
       Rangsangan nyeri                              2
       Tidak bereaksi                                   1
2.    Kemampuan komunikasi (V)

Gambar 4. Kemampuan komunikasi (verbal)


       Orientasi baik                                    5
       Jawaban kacau                                  4
       Kata-kata tidak berarti                      3
       Mengerang                                        2
       Tidak bersuara                                   1
3.    Kemampuan motorik (M)

Gambar 5. Kemampuan motorik


         Kemampuan menurut perintah          6
         Reaksi setempat                                5
         Menghindar                                       4
         Fleksi abnormal                                 3
         Ekstensi                                             2
         Tidak bereaksi                                   1

2.5.   Pembagian Cedera Kepala


1.      Simple Head Injury
      Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan:
         Ada riwayat trauma kapitis
         Tidak pingsan
         Gejala sakit kepala dan pusing
      Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat simptomatik dan cukup istirahat.

2.      Commotio Cerebri


Commotio cerebri (gegar otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat
trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak.  Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo,
mungkin muntah dan tampak pucat.
Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau terangsangnya pusat-pusat dalam batang
otak.  Pada commotio cerebri mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang
masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan.  Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian
di lobus temporalis.  Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat adalah foto tengkorak, EEG, pemeriksaan
memori.  Terapi simptomatis, perawatan selama 3-5 hari untuk observasi kemungkinan terjadinya komplikasi
dan mobilisasi bertahap.
3.      Contusio Cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya
robekan jaringanyang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus.  Yang penting
untuk terjadinya lesi contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran
otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif.  Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi
kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible
terhadap lintasan asendens retikularis difus.  Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input aferen dan karena
itu, kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung.
Timbulnya lesi contusio di daerah “coup” , “contrecoup”, dan “intermediate”menimbulkan gejala deficit
neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN.  Setelah kesadaran puli
kembali, si penderita biasanya menunjukkan “organic brain syndrome”.
Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut di
atas, autoregulasi pembuluh darah cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis.  Tekanan darah menjadi
rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah.  Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa
mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul.
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi
jangka pendek.  Terapi dengan antiserebral edem, anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-
10 hari.
4.      Laceratio Cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan piamater.  Laceratio biasanya
berkaitan dengan adanya perdarahan subaraknoid traumatika, subdural akut dan intercerebral.  Laceratio dapat
dibedakan atas laceratio langsung dan tidak langsung.
Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi
fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka.  Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan oleh
deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.
5.      Fractur Basis Cranii
Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa posterior.  Gejala yang timbul
tergantung pada letak atau fossa mana yang terkena. 
Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:
         Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding
         Epistaksis
         Rhinorrhoe
Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:
         Hematom retroaurikuler, Ottorhoe
         Perdarahan dari telinga

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii.  Komplikasi :
         Gangguan pendengaran
         Parese N.VII perifer
         Meningitis purulenta akibat robeknya duramater
Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi terapinya harus disesuaikan.  Pemberian
antibiotik dosis tinggi untuk mencegah infeksi.  Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe yang berlangsung
lebih dari 6 hari.

 
a                                            b                                             c
Gambar 4. Tanda-tanda fraktur basis kranii
a. Raccon`s eyes (brill  haematoma), b.Otorrhea, c.Rhinorrhea
2.6.   Derajat Cedera Kepala
1.      Cedera Kepala Ringan (CKR). Termasuk didalamnya Laseratio dan
Commotio Cerebri. Pada cedera kepala ringan ditemukan:
a.       Skor GCS 14-15
b.      Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10    menit
c.       Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
d.      Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan    pada pemeriksaan neurologis.
2.      Cedera Kepala Sedang (CKS). Dapat ditemukan:
a.       Skor GCS 9-12
b.      Ada pingsan lebih dari 10 menit
c.       Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
d.      Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak.
3.      Cedera Kepala Berat (CKB). Dapat ditemukan:
a.       Skor GCS <8
b.      Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat
c.       Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
d.      Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas.
2.7.   Diagnosa
   Diagnosa cedera kepala ditegakkan berdasarkan ada tidaknya riwayat trauma kapitis dan gejala-gejala klinis
serta dari pemeriksaan penunjang.

2.8.   Pemeriksaan Penunjang


   Yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma kapitis adalah:
a. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Indikasi dilakukan CT Scan yaitu
:
      Penurunan kesadaran (GCS < 15).
      Fraktur tulang tengkorak
      Tanda klinis adanya fraktur basis kranii
      Nyeri kepala persisten/ muntah
      Cedera penetrasi
      Kejang
      Deficit neurologis (lateralisasi)
b. Lumbal Pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam dari saat terjadinya trauma
c. EEG
Dapat digunakan untuk mencari lesi
d. Roentgen foto kepala
Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak
2.9.   Komplikasi
2.9.1.   Jangka pendek
a.      Hematom Epidural
Letak epidural yaitu antara tulang tengkorak dan duramater. Terjadi akibat pecahnya arteri meningea media
atau cabang-cabangnya.

Gejalanya yaitu setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri kepala sebentar kemudian
membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam kemudian timbul gejala-gejala yang bersifat progresif seperti
nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan
mula-mula miosis, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks cahaya.  Ini adalah tanda-
tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial.
Kejadiannya biasanya  akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam) dengan adanya lucid interval,
peningkatan TIK dan gejala lateralisasi berupa hemiparese
Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati hematoma subkutan. Pemeriksaan
neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar. Pada sisi kontralateral dari hematom, dapat
dijumpai tanda-tanda kerusakan traktus piramidalis, misal: hemiparesis, refleks tendon meninggi dan refleks
patologik positif.
Pemeriksaan CT-Scan menunjukkan ada bagian hiperdens yang bikonveks dan LCS biasanya jernih.
Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan pengikatan pembuluh darah.
b.      Hematom subdural
Letak subdural yaitu di bawah duramater. Terjadi akibat pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging
veins dan laserasi piamater serta arachnoid dari kortex cerebri.
Gejala subakut  mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama dan gejala kronis timbul 3  minggu atau
berbulan-bulan setelah trauma.
Pada pemeriksaan CT-Scan setelah hari ke 3 yang kemudian diulang 2 minggu kemudian terdapat bagian
hipodens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim otak (bagian dalam mengikuti kontur
otak dan bagian luar sesuai lengkung tulang tengkorak). Juga terlihat bagian isodens dari midline yang
bergeser.
Gambar 6. Perdarahan subdural

Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak (dekompresi) dengan melakukan
evakuasi hematom. Penanganan subdural hematom akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.
c.                   Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak pada lobus temporalis.  Perdarahan
intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja.  Jika
penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan
pembentukan gliosis dan kavitasi.  Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi
bagian otak yang terkena.

d.      Perdarahan Subarachnoid


Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu
ada pada cedera kepala yang hebat. Tanda dan gejala :
· Nyeri kepala
· Penurunan kesadaran
· Hemiparese
· Dilatasi pupil ipsilateral
· Kaku kuduk
e.                   Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak.  Penderita lebih lama pingsannya, mungkin hingga berjam-jam.  Gejala-
gejalanya berupa commotio cerebri, hanya lebih berat.  Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin melambat. 
Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada.  Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat
meninggi dan kesadaran menurun.
2.9.2.   Jangka Panjang
1.   Kerusakan saraf cranial
a.   Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan yang jika total disebut dengan
anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
b.   Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami cedera (trauma). Biasanya disertai hematoma
di sekitar mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di dalam orbita. Gejala klinik berupa
penurunan visus, skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia bitemporal. Dalam
waktu 3-6 minggu setelah cedera yang mengakibatkan kebutaan, tarjadi atrofi papil yang difus, menunjukkan
bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat irreversible.
c.   Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, umumnya disertai proptosis dan pupil yang
midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik
dini.
d.   Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi,
kesulitan menutup mata, mulut moncong, semuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.
e.   Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan
yang erat antara koklea, vestibula dan saraf. Dengan demikian adanya cedera yang berat pada salah satu organ
tersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan pada organ lain.
2.   Disfasia
Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau memproduksi bahasa
disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama,
rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia
kecuali speech therapy.
3.   Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan) merupakan manifestasi klinik dari
kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera
kepala adalah perdarahan otak, empiema subdural, dan herniasi transtentorial.
4.   Sindrom pasca cedera kepala
Sindrom pasca trauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan kumpulan gejala yang kompleks yang
sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah
tersinggung, gangguan konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah,
sulit tidur, dan gangguan fungsi seksual.
5.   Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteri karotis interna dengan sinus
kavernosus, umumnya disebabkan oleh cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa bising pembuluh
darah (bruit) yang dapat didengar penderita atau pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, proptosis disertai
hyperemia dan pembengkakan konjungtiva, diplopia dan penurunan visus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita,
dan kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.
6.   Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam minggu pertama pascatrauma (early
posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late posttraumatic
epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami
epilepsi setelah 4 tahun kemudian.

2.10. Penatalaksanaan
2.10.1. Penatalaksanaan Umun
a.       Observasi GCS dan Tanda Vital (T,N,R,S)
b.      Head up 300
c.       O2 lembab 4-6 liter/m
d.      IVFD NaCl 0,9% (30-40cc/kgBB perhari)
e.       Antibiotik
f.       Analgetik
g.      Antagonis H2 reseptor
h.      K/P : Manitol, Anti Konvulsan
i.        Pasang NGT, Kateter
2.10.2. Penatalaksanaan TTIK
Terapi Konservatif
         Posisi : Head up 30 0.
         Hiperventilasi ringan 15-30 menit
         Manitol 20% dosis 0,25 - 2 gr/Kg BB/kali pemberian tiap 4 – 6 jam
Terapi operatif (craniotomy, diversi LCS, dekompresi)
Indikasi ;
  Fraktur depress
  Intracranial hematoma   (EDH/SDH/ICH) > 25 cc
  Midline Shift > 5 cm
  Cedera penetrasi
Indikasi rawat bagi pasien cedera kepala yaitu :
a.       Penurunan kesadaran
b.       Nyeri kepala (dari sedang hingga berat)
c.       Riwayat tidak sadarkan diri selam > 15 menit
d.      Fraktur tulang tengkorak
e.     Rhinorea – otorhea
f.      Cedera penetrasi
g.     Intoksikasi alcohol atau obat-obatan
h.     Trauma multiple
i.       Hasil CT Scan abnormal
j.       Amnesia
k.     Tidak ada keluarga
2.11.Pencegahan
   Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan
kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya yang dilakukan yaitu : 
a.   Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu lintas seperti untuk
mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk
pengaman,dan memakai helm.
b.   Pencegahan Sekunder                                    
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang dirancang untuk mengurangi atau
meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :
1.   Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada kasus cedera. Guna
menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi prioritas utama dari masalah yang
lainnya. Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah
airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan
nafas tertutup lidah penderita sendiri.
Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas,
selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh
ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya
yang mengancam airway.
2.   Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah membantu pernafasan.
Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat menimbulkan
kematian.
3.   Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah sehingga pembuluh darah
tertutup. Kepala dapat dibalut
dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infus dan bila perlu dilanjutkan
dengan pemberian transfuse darah. Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.
c.   Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat, penanganan yang tepat
bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang
harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan
pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita.
Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu ditangani melalui
rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
1.   Rehabilitasi Fisik
a)      Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan bawah tubuh.
b)      Perlengkapan splint dan kaliper
c)      Transplantasi tendon
2.   Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tama dimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan memotivasi kembali keinginan
dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari
ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan semangat hidup.
3.   Rehabilitasi Sosial
a) Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda,perubahan paling sederhana adalah
pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang lain.
b) Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).
2.12. Prognosa
Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya trauma kapitis. Pemulihan fungsi otak
tergantung kepada beratnya cedera yang terjadi, umur anak, lamanya penurunan kesadaran dan bagian otak
yang terkena.
Masalah yang biasa timbul selama masa pemulihan adalah hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat
sebelum terjadinya cedera (amnesia retrograd), perubahan perilaku, ketidakstabilan emosi, gangguan tidur dan
penurunan tingkat kecerdasan.

BAB III
SIMPULAN

Cedera Kepala adalah setiap trauma pada kepala yang menyebabkan cedera pada kulit kepala, tulang tengkorak
maupun otak. Cedera kepala bertanggung jawab atas separuh kematian karena cedera. Merupakan komponen
yang paling sering pada cedera multipel. Ditemukan pada 75 % korban tewas karena kecelakaan lalu lintas.
Untuk setiap kematian, terdapat dua kasus dengan cacat tetap, biasanya sekunder terhadap cedera kepala.
Masalah yang biasa dihadapi adalah jauhnya, ketersediaan fasilitas serta tingkat kompetensi bedah saraf
setempat, serta lambatnya tindakan definitif, organisasi kegawatdaruratan, dan profil cedera. Yang terpenting
adalah pengelolaan ventilasi dan hipovolemia yang berperan dalam menimbulkan kerusakan otak sekunder
yang bisa dicegah. Transfer pasien yang memenuhi sarat dengan segera akan mengurangi kesakitan dan
kematian. Transfer tidak boleh diperlambat oleh tindakan diagnostik.
Penyebab kecacatan atau kematian yang dapat dicegah antara lain adalah keterlambataan resusitasi atas
hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi, keterlambatan tindakan definitif terutama terhadap hematoma intrakranial
yang berkembang cepat, serta kegagalan mencegah infeksi.

DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi C.F., dkk. Schwartz’s Principles of Surgery Edisi 8. McGraw-Hill’s, 2004.


Mansyoer Arif. Kapita selekta kedokteran edisi 3 jilid 2. Media Aesculapius, Jakarta, 2000.
Sabiston Buku Ajar Bedah Bagian 2. EGC, Jakarta,1994.
Sabiston Textbook of Surgery; The Biological Basis of Modern Surgical Practice, Edisi 18. Saunders, 2007.
Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005.
http://moveamura.files.wordpress.com/2009/12/cidera-kepala.pdf
http://yayanakhyar.wordpress.com/2008/04/25/cedera-kepala-head-injury/
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16495/4/Chapter%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai