Anda di halaman 1dari 27

REFERAT RADIOLOGI

Trauma Kepala

Disusun oleh:

Cindy Sitarani.A

Pembimbing:

dr. Yekti Sulistiawati, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RS Bhayangkara
PERIODE 18 Oktober 2021 – 20 November 2021
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma kepala merupakan penyebab utama kematian di berbagai negara di


dunia, terutama pada kelompok usia di bawah 40 tahun. Di negara berkembang
seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan,
frekuensi trauma kepala cenderung makin meningkat.1

Trauma kepala didefiniskan sebagai trauma non degeneratif-non


kongenital yang terjadi akibat trauma yang mencederai kepala yang kemungkinan
berakibat gangguan kognitif, fisik, dan psikososial baik sementara atau permanen
yang berhubungan dengan berkurang atau berubahnya derajat kesadaran.
Mekanisme dari cedera kepala itu sendiri dapat berasal dari cedera langsung ke
jaringan otak, rudapaksa luar yang mengenai bagian luar kepala (tengkorak) yang
menjalar ke dalam otak, ataupun pergerakan dari jaringan otak di dalam
tengkorak.1

Trauma kepala berperan pada kematian akibat trauma, mengingat kepala


merupakan bagian yang rentan dan sering terlibat dalam kecelakaan. Laki-laki 2 –
3 kali lebih sering dibandingkan wanita, terutama pada kelompok usia resiko
tinggi (usia 15 – 24 tahun dan >75 tahun). Berdasarkan studi epidemiologi,
kecelakaan sepeda motor dan violence-related injuries merupakan penyebab
trauma kepala yang paling sering.1

Pasien dengan trauma kepala memerlukan penegakan diagnosis sedini


mungkin agar tindakan terapi dapat segera dilakukan untuk menghasilkan
prognosa yang baik. Peranan diagnosa imajing juga diperlukan terutama pada
pasien dengan tingkat resiko sedang-berat. Tujuan utama dari pemeriksaan
imajing pada pasien trauma kepala adalah untuk mengkonfirmasi adakah cedera
intrakranial yang berpotensi mengancam jiwa pasien bila tidak segera dilakukan
tindakan.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi

Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau
kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar,
dan pericranium.1

Gamabar 1. Sclap.

Tulang Tengkorak

Anatomi normal tengkorak ditunjukkan pada Gambar 1. Masalah yang


paling umum pada foto tengkorak polos adalah membedakan sutura
tengkorak dari alur pembuluh darah dan fraktur. Sutura utama adalah
koronal, sagital, dan lambdoid. Sebuah sutura juga berjalan dalam bentuk
pelangi di atas telinga. Pada orang dewasa, sutura berbentuk simetris dan
memiliki tepi yang sklerotik (sangat putih). Alur vaskular biasanya terlihat
pada tampilan lateral dan meluas pada sisi posterior dan superior dari
hanya di depan telinga dapat dilihat pada gambar 2. Alur vaskular tersebut
merupakan gambaran dari Arteri Meningea Media, yang mana jika terjadi
trauma kepala dapat menyebabkan arteri ini pecah, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan epidural.2

Gambar 2. Skemati foto polos kepala proyeksi Lateral (A) dan AP (B).

Gambar 3. Vaskularisasi pada tulang tengkorak.

Meningia

Meningia merupakan selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang


belakang. Fungsi meningia yaitu melindungi struktur saraf halus yang membawa
pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan serebrospinal), dan memperkecil
benturan atau getaran. Meningiaterdiri atas 3 lapisan, yaitu :

a. Duramater (Lapisan sebelah luar)


Duramater adalah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari
jaringan ikat tebal dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput
tulang tengkorak dan duramater propia di bagian dalam. Duramater
pada tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah vena
dari otak, rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior yang
terletak diantara kedua hemisfer otak.3

b. Arachnoid (Lapisan tengah)

Arachnoid adalah membran impermeabel halus yang meliputi otak dan


terletak diantara piamater di sebelah dalam dan duramater di sebelah
luar. Ruang sub arachnoid pada bagian bawah serebelum merupakan
ruangan yang agak besar disebut sistermagna.3

c. Piamater (Lapisan sebelah dalam)

Piamater merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan


jaringan otak. Piameter berhubungan dengan arachnoid melalui struktur
jaringan ikat.3

Gambar.4. Lapisan Meningen.

Otak
Otak merupakan suatu organ tubuh yang sangat penting karena merupakan
pusat dari semua organ tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak di
dalam rongga tengkorak (kranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang
kuat. Otak terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan
batang otak (Trunkus serebri). Besar otak orang dewasa kira-kira 1300
gram, 7/8 bagian berat terdiri dari otak besar.4

a. Otak besar (cerebrum)

Otak besar adalah bagian terbesar dari otak dan terdiri dari dua
hemispherium cerebri yang dihubungkan oleh massa substansia alba
yang disebut corpus callosum. Setiap hemisfer terbentang dari os
frontale sampai ke os occipitale, diatas fossa cranii anterior, media,
dan posterior, diatas tentorium cerebelli. Hemisfer dipisahkan oleh
sebuah celah dalam, yaitu fossa longitudinalis cerebri, tempat
menonjolnya falx cerebri.5

Otak mempunyai 2 permukaan, permukaan atas dan permukaan


bawah. Kedua lapisan ini dilapisi oleh lapisan kelabu (substansia
grisea) yaitu pada bagian korteks serebral dan substansia alba yang
terdapat pada bagian dalam yang mengandung serabut saraf. Fungsi
otak besar yaitu sebagai pusat berpikir (kepandaian), kecerdasan dan
kehendak. Selain itu otak besar juga mengendalikan semua kegiatan
yang disadari seperti bergerak, mendengar, melihat, berbicara, berpikir
dan lain sebagainya.5

b. Otak kecil (cerebellum)

Otak kecil terletak dibawah otak besar. Terdiri dari dua belahan yang
dihubungkan oleh jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan
pada kedua belahan dan menyampaikan rangsangan dari bagian lain.
Fungsi otak kecil adalah untuk mengatur keseimbangan tubuh serta
mengkoordinasikan kerja otot ketika bergerak.5

c. Batang Otak (Trunkus serebri)


Batang otak terdiri dari :

1. Diensefalon

Bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebellum dengan


mesensefalon, kumpulan dari sel saraf yang terdapat dibagian depan
lobus temporalis terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap
kesamping. Diensefalon ini berperan dalam proses vasokonstriksi
(memperkecil pembuluh darah), respiratorik (membantu proses
pernafasan), mengontrol kegiatan refleks, dan membantu pekerjaan
jantung.5

2. Mesensefalon

Atap dari mesensefalon terdiri dari empat bagian yang menonjol ke


atas, dua di sebelah atas disebut korpus kuadrigeminus superior dan
dua disebelah bawah disebut korpus kuadrigeminus inferior.
Mesensefalon ini berfungsi sebagai pusat pergerakan mata,
mengangkat kelopak mata, dan memutar mata.5

3. Pons varoli

Pons varoli merupakan bagian tengah batang otak dan arena itu
memiliki jalur lintas naik dan turun seperti otak tengah. Selain itu
terdapat banyak serabut yang berjalan menyilang menghubungkan
kedua lobus cerebellum dan menghubungkan cerebellum dengan
korteks serebri.5

4. Medula Oblongata

Medula oblongata merupakan bagian dari batang otak yang paling


bawah yang menghubungkan pons varoli dengan medulla spinalis.
Medulla oblongata memiliki fungsi yang sama dengan diensefalon.5
Gambar 5. Bagian dan Lobus Otak.

Cairan Serebrospinal

Cairan serebrospinal adalah hasil sekresi plexus khoroid. Cairan ini


bersifat alkali, bening mirip plasma dengan tekanannya 60-140 mmH 2O.
Sirkulasi cairan serebrospinal yaitu cairan ini disalurkan oleh plexus
khoroid ke dalam ventrikel-ventrikel yang ada di dalam otak. Cairan itu
masuk ke dalam kanalis sentralis sumsum tulang belakang dan juga ke
dalam ruang subaraknoid melalui celah-celah yang terdapat pada ventrikel
keempat. Setelah itu cairan ini dapat melintasi ruangan di atas seluruh
permukaan otak dan sumsum tulang belakang hingga akhirnya kembali ke
sirkulasi vena melalui granulasi araknoid pada sinus sagitalis superior.
Oleh karena susunan ini maka bagian saraf otak dan sumsum tulang
belakang yang sangat halus terletak diantara dua lapisan cairan. Dengan
adanya kedua ‘bantalan air’ ini maka sistem persarafan terlindungi dengan
baik. Cairan serebrospinal ini berfungsi sebagai buffer, melindungi otak
dan sumsum tulang belakang dan menghantarkan makanan ke jaringan
sistem persarafan pusat.5
Gambar 6. Aliran Cairan Serebrospinal.

2.2. Definisi
Trauma kepala atau trauma kepala adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak. Menurut Brain Injury Association of
America, trauma kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. 3

2.3. Epidemiologi
Insidensi dari kasus cedera kepala adalah 75-200 kasus/ 100.000 populasi.
Kasus ini terjadi di semua usia dan terbanyak pada usia 15-24 tahun pada
laki-laki. Kasus cedera kepala atau cedera lain yang melibatkan cedera
kepala menyumbang 50% kematian dari total kematian akibat cedera,
dimana cedera merupakan penyebabab utama kematian pada pasien < 45
tahun. Menurut laporan World Health Organization (WHO) setiap
tahunnya sekitar 1,2 juta orang meninggal dengan diagnosis cedera kepala
berat yaitu akibat kecelakaan lalu lintas (KLL).6,7,8
Kasus cedera kepala di Amerika mencapai 1,7 juta kasus / tahun dimana
275.000 di rawat dan 52.000 meninggal. Di Eropa (Denmark) kira-kira
300 orang / 7 juta penduduk menderita cedera kepala sedangberat dan
sepertiganya memerlukan rehabilitasi. Di indonesia data Riset Kesehatan
Dasar (RISKEDAS) menunjukan presentase kasus cedera kepala berada
pada angka 11,9 % dengan presentase tertinggi di Gorontalo sebesar 17,9
%. Kasus di Maluku berada di atas 10%.6.9

2.4. Etilogi
Menurut Hudak dan Gallo mendiskripsikan bahwa penyebab cedera kepala
adalah karena adanya trauma yang dibedakan menjadi dua faktor yaitu
trauma primer dan sekunder. Sebagian dari semua trauma kapitis adalah
karena kecelakaan di jalan raya yang melibatkan mobil, sepeda motor,
sepeda, dan pejalan kaki. Kecelakaan ini adalah penyebab utama dari
trauma kapitis pada orang di bawah usia 75 tahun. Bagi mereka berusia 75
tahun ke atas, mayoritis mengalami trauma kapitis karena jatuh. Sekitar
20% dari trauma kapitis adalah karena kekerasan, seperti senjata api dan
serangan kekerasan terhadap anak, dan sekitar 3% adalah karena cedera
olahraga. Selain itu setengah dari insiden trauma kapitis melibatkan
penggunaan alkohol. Penyebab trauma kapitis berperan dalam menentukan
hasil pasien.10

2.5. Patofisiologi

Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala.
Lesi jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi
pada tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri.
Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada tiga jenis keadaan
yaitu, kepala diam dibentur benda yang bergerak, kepala yang bergerak
membentur benda yang diam, dan kepala yang tidak dapat bergerak karena
bersandar pada benda yang lain dibentur oleh benda yang bergerak.4

Dalam mekanisme trauma kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan
coup. Contre coup dan coup pada trauma kepala dapat terjadi kapan saja
pada orang orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Trauma
kepala pada coup disebabkan hantaman otak bagian dalam pada sisi yang
terkena sedangkan contre coup pada sisi yang berlawanan dengan daerah
benturan.4

Berdasarkan patofisiologinya trauma kepala dibagi menjadi trauma kepala


primer dan trauma kepala sekunder. Trauma kepala primer merupakan
cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera, dan ini
merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan
lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi
stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan
yang optimal

Trauma kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari trauma kepala


primer dan lebih merupakan fenomena metabolik. Pada penderita trauma
kepala berat, pencegahan trauma kepala sekunder dapat mempengaruhi
tingkat kesembuhan penderita. Penyebab trauma kepala sekunder antara
lain penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo atau hiperkapnea,
hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intrakranial (tekanan
intrakranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift),
vasospasme, kejang, dan infeksi.4

2.6. Manifestasi klinis


Manifestasi klinis trauma kapitis terbuka adalah seperti berikut:11
Trauma kapitis ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi
duramater. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk
otak. Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus
akustikus interna, foramen jugularis dan tuba eustachius. Setelah 2-3 hari
akan tampak battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga
diatas os mastoid) dan otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga).
Perdarahan dari telinga dengan trauma kapitis hampir selalu disebabkan
oleh retak tulang dasar tengkorak. Fraktur basis tengkorak tidak selalu
dapat dideteksi oleh foto rontgen, karena terjadi sangat dasar. Tanda-tanda
klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah: 11

i. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os


mastoid)
ii. Hemotimpanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga)
iii. Periorbital ecchymosis (mata berwarna hitam tanpa trauma langsung)
iv. Rhinorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari hidung)
v. Otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga)

2.7. Tingkat Keparahan Trauma Kepala dengan Skala Koma Glosgow (SKG)

Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien
trauma kepala, gangguan kesadaran dinilai secara kuantitatif pada setiap
tingkat kesadaran. Bagian-bagian yang dinilai adalah:

1. Proses membuka mata (Eye Opening)

2. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)

3. Reaksi bicara (Best Verbal Response)

Pemeriksaan tingkat keparahan trauma kepala disimpulkan dalam suatu


tabel Skala Koma Glasgow (SKG).4
Berdasarkan Skala Koma Glasgow, trauma kepala dibagi atas:

Trauma kepala Ringan

Trauma kepala ringan adalah trauma kepala dengan SKG 14-15 dimana
tidak dijumpai keadaan hilangnya kesadaran (< 30 menit), pasien dapat
mengeluh pusing dan nyeri kepala, pasien dapat menderita abrasi, laserasi,
atau hematoma kulit kepala serta tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
5

Trauma kepala Sedang

Trauma kepala sedang adalah trauma kepala dengan SKG 9-13. Pasien
mungkin bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti
perintah sederhana. Dapat dijumpai konkusi, amnesia pasca-trauma,
muntah, kejang serta tanda kemungkinan fraktur kranium (Battle sign,
mata rabun, otorea, atau rinorea cairan serebrospinal).5
Trauma kepala Berat

Trauma kepala berat adalah trauma kepala dengan SKG 3-8 dimana terdapat
penurunan derajat kesadaran secara progresif (koma). Pada keadaan ini dapat
dijumpai tanda neurologis fokal, serta trauma kepala penetrasi atau teraba fraktur
depresi kranium. Hampir 100% trauma kepala berat dan 66% trauma kepala
sedang menyebabkan cacat yang permanen. Pada trauma kepala berat terjadinya
cedera otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder apabila proses
patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dandihentikan. 5

2.8. Interpretasi Radiologis pada Trauma Kepala

Indikasi Pemeriksaan Radiologis

Tidak semua pasien dengan cedera kepala membutuhkan pemeriksaan


neuroradiologis. Penelitian menunjukkan bahwa kurang dari 10% pasien
dengan cedera kepala ringan ternyata memiliki hasil yang positif pada
pemeriksaan CT scan, dimana kurang dari 1% yang membutuhkan
intervensi. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada sejumlah kecil pasien
yang diuntungkan dengan pencitraan radiologis.12

Pasien harus diperiksa secara klinis dan diagnosis dibuat berdasarkan


apakah pada pemeriksaan fisik dan riwayat perjalanan penyakit
menunjukkan cedera kepala sedang hingga berat atau cedera kepala ringan.
CT, MRI, atau radiografi tengkorak tidak diperlukan untuk pasien berisiko
rendah. Risiko rendah didefinisikan sebagai mereka yang tidak
menunjukkan gejala atau hanya pusing, sakit kepala ringan, kulit kepala
lecet, atau hematoma, usia lebih dari 2 tahun, dan tidak memiliki temuan
yang berisiko sedang ataupun tinggi.5

Pasien dengan resiko sedang adalah mereka yang memiliki salah satu
kondisi berikut: riwayat penurunan tingkat kesadaran beberapa waktu
ataupun setelah terjadi cedera kepala, sakit kepala berat atau progresif,
kejang pasca-trauma, muntah terus menerus, multipel trauma, cedera
wajah yang serius, tanda-tanda dari fraktur tengkorak basilar
(hemotympanum, “raccoon eyes”, rinorrea atau otorrea), dugaan kekerasan
pada anak, gangguan perdarahan, atau usia lebih muda dari 2 tahun.3

Pasien berisiko tinggi adalah mereka dengan salah satu kondisi berikut:
temuan neurologis fokal, pasien dengan derajat kesadaran berdasarkan
GCS dengan skor 8 atau kurang, dipastikannya terdapat penetrasi
tengkorak, gangguan metabolik, keadaan postictal, atau penurunan atau
depresi tingkat kesadaran (tidak berhubungan dengan narkoba, alkohol ,
atau obat-obatan depresan pada system saraf pusat lainnya). Jika terdapat
cedera sedang atau berat dan pasien dengan kondisi neurologis yang tidak
stabil, CT scan harus dilakukan untuk menyingkirkan adanya hematoma.
Jika pasien dengan kondisi neurologis yang stabil, MR scan lebih
digunakan untuk mencari cedera dengan penekanan parenkim. Dalam
cedera kepala ringan (tanpa kehilangan kesadaran atau defisit neurologis),
pasien dapat hanya diobservasi. Jika sakit kepala terus-menerus terjadi
setelah trauma, CT scan harus dilakukan.5

Foto Polos Kepala

Foto polos kepala hanya menunjukkan ada tidaknya patah tulang, dan
tidak mampu menghasilkan visibilitas yang baik pada otak atau adanya
darah untuk menunjukkan cedera intrakranial. Adanya patah tulang
tengkorak tanpa kelainan neurologis tidak begitu signifikan. Patah tulang
tengkorak yang ditentukan berdasarkan pemeriksaan foto polos kepala
pada pasien dengan cedera kepala ringan telah dilaporkan dengan angka
sangat rendah, mulai dari 1,9% hingga 4,3%. Patah tulang tengkorak tidak
selalu berarti cedera intrakranial yang signifikan, meskipun tidak adanya
patah tulang tengkorak, pasien dapat memiliki kelainan patologis yang
signifikan pada intrakranialnya.5

Foto polos kepala sangat membantu pada pasien yang dicurigai tidak
cedera akibat kecelakaan, patah tulang tengkorak depresi, cedera kepala
akibat penetrasi oleh benda asing, atau trauma kepala pada anak-anak
kurang dari 2 tahun,walaupun tanpa gejala neurologis.4

Fraktur pada Tulang Tengkorak dengan Foto Polos

Fraktur tulang kepala atau tengkorak dapat terjadi pada atap maupun dasar
tengkorak, dapat berbentuk garis atau bintang, dan dapat pula terbuka
ataupun tertutup. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak
menjadikan petunjuk kecurigaan kita untuk melakukan pemeriksaan lebih
rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eyes
sign), ekimosis retroaurikular (battle’s sign), kebocoran cairan
serebrospinal dari hidung (rhinorrhea) atau dari telinga (otorrhea) dan
gangguan fungsi saraf kranialis VII (fasialis) dan VII (gangguan
pendengaran) yang mungkin timbul segera atau beberapa hari paska
trauma kepala.12

Pemeriksaan foto polos kepala untuk melihat pergeseran (displacement)


fraktur tulang tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya
perdarahan intrakranial. Fraktur pada tengkorak dapat berupa fraktur
impresi (depressedfracture), fraktur linear, dan fraktur diastasis (traumatic
suture separation). Fraktur impresi biasanya disertai kerusakan jaringan
otak dan pada foto terlihat sebagai garis atau dua garis sejajar dengan
densitas tinggi pada tulang tengkorak (Gambar 7.a).Fraktur linear harus
dibedakan dari gambaran pembuluh darah normal atau dengan garis sutura
interna, yang tidak bergerigi seperti sutura eksterna. Garis sutura interna
bersifat superimposisi pada sutura yang bergerigi, sedangkan fraktur akan
menyimpang dari itu di beberapa titik.Selain itu, pada foto polos kepala,
fraktur ini terlihat sebagai garis radiolusen, paling sering di daerah parietal
(Gambar 7.a). Garis fraktur biasanya lebih radiolusen daripada pembuluh
darah dan arahnya tidak teratur. Fraktur diastasis lebih sering pada anak-
anak dan terkihat sebagai pelebaran sutura (Gambar 7.a).12
A
B C

Gambar 7.a Gambaran Fraktur Impresi (kiri), Fraktur Linear (tengah),


dan Fraktur Diastasis (kanan) pada Foto Polos Kepala.

Indikasi CT scan pada Trauma Kepala

Dengan CT scanisi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada
trauma kepala, fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas
baik bentuk maupun ukurannya. Indikasi pemeriksaan CT scanpada kasus
trauma kepala adalah seperti berikut:

1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan


berat.

2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.

3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.

4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan


kesadaran.

5. Sakit kepala yang hebat.

6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi


jaringan otak.

7. Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.


Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat seluruh struktur anatomis kepala,
dan merupakan alat yang paling baik untuk mengetahui, menentukan
lokasi dan ukuran dari perdarahan intrakranial.13

Fraktur Tulang Kepala dengan CT scan

Fraktur pada dasar tengkorak seringkali sukar dilihat. Fraktur dasar


tengkorak (basis kranii) biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan teknik “Jendela Tulang” (bone window) untuk mengidentifikasi
garis frakturnya. Fraktur dasar tengkorak yang melintang kanalis karotikus
dapat mencederai arteri karotis (diseksi, pseuoaneurisma ataupun
trombosis) perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan
angiography cerebral.12

Pada Gambar 8, memperlihatkan gambaran fraktur tulang temporal petrous


kiri, yang melibatkan telinga tengah (panah kecil). Dapat dilihat juga
adanya gambaran sedikit udara pada fossa posterior dari tulang tengkorak
(panah terbuka).12

Gambar 8. Gambaran Fraktur Basis Kranii pada CT Scan Kepala


Perdarahan Epidural

Perdarahan epidural adalah perdarahan antara tulang kranial dan


duramater, yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea
media.Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda.
Baru setetelah hematoma bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan
dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami mual dan
muntah diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala perdarahan epidural
yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin menurun
(biasanya somnolen), disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi dan
mungkin terjadi hemiparese kontralateral.13

Hematoma epidural didefinisikan sebagai perdarahan ke dalam ruang


antara duramater, yang tidak dapat dipisahkan dari periosteumtengkorak
dan tulang yang berdekatan Hematoma epidural biasanya dapat dibedakan
dari hematoma subdural dengan bentuk bikonveks dibandingkan dengan
crescent-shape dari hematoma subdural. Selain itu, tidak seperti hematoma
subdural, hematoma epidural biasanya tidak melewati sutura. Hematoma
epidural sangat sulit dibedakan dengan hematoma subdural jika ukurannya
kecil. Dengan bentuk bikonveks yang khas,elips, gambaran CT scan pada
hematoma epidural tergantung pada sumber perdarahan, waktu berlalu
sejak cedera, dan tingkat keparahan perdarahan. Karena dibutuhkan
diagnosis yang akurat dan perawatan yang cepat, diperlukan pemeriksaan
CT scan dengan cepat dan intervensi bedah saraf.13

Pada Gambar 9, pasien mengalami kecelakaan kendaraan bermotor,


terlihat peningkatan kepadatan (hiperdens) di daerah lenticular pada CT
Scan aksial non kontras di wilayah parietalis kanan. Ini biasanya terjadi
akibat pecahnya arteri meningeal media. Sedikit perdarahan juga terlihat di
lobus frontal kiri (perdarahan intraserebral).4
Gambar 9. Gambaran Perdarahan Epidural pada CT scan Kepala Non
Kontras.

Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terletak diantara duramater


dan arakhnoid. Perdarahan subdural merupakan perdarahan intrakranial
yang paling sering terjadi. Karakteristik perdarahan subdural biasanya
dibagi berdasarkan ukuran, lokasi dan lama kejadian.5

a. Perdarahan subdural akut

Secara umum perdarahan subdural akut terjadi dibawah 72 jam dan


biasanya pasien dalam keadaan koma. Gejala klinis perdarahan subdural
akut dapat berupa pusing, mual, bingung, penurunan kesadaran, sulit
berbicara, henti napas dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan
darah.

b. Perdarahan subdural subakut

Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi dari hari ketiga hingga


minggu ketiga setelah cedera.

c. Perdarahan subdural kronis

Perdarahan subdural kronis biasanya terjadi setelah 21 hari atau lebih. 25


hingga 50 persen dari pasien yang menderita perdarahan subdural kronis
tidak memiliki riwayat trauma kepala, biasanya trauma kepala yang terjadi
adalah trauma kepala ringan. Gejala klinis dari perdarahan ini dapat berupa
penurunan kesadaran, pusing, kesulitan berjalan atau keseimbangan,
disfungsi kognitif atau hilang ingatan, perubahan kepribadian, defisit
motorik, kejang, dan inkontinensia.

Sebelum CT scan dan teknologi pencitraan magnetic (MRI), hematoma


subdural didiagnosis hanya berdasarkan efek masa, yang digambarkan
sebagai perpindahan dari pembuluh darah pada angiogram atau sebagai
klasifikasi elenjar hipofisis pada foto polos kepala. Munculnya CT Scan
dan MRI telah menjadi pilihan diagnostic rutin bahkan untuk perdarahan
kecil.3

Temuan CT scan dalam hematoma subdural tergantung pada lamanya


perdarahan pada gambar 10. Pada fase akut , hematoma subdural muncul
berbentuk bulan sabit, ketika cukup besar, hematoma subdural
menyebabkan pergeseran garis tengah. Pergeseran dari gray matter-white
matter junction merupakan tanda penting yang menunjukkan adanya lesi.2

Jika ditemukan hematoma subdural pada CT scan, penting untuk


memeriksa adanya cedera terkait lainnya, seperti patah tulang tengkorak
(Gambar 11), kontusio intra parenkimal, dan darah pada subaraknoid
(Gambar 11). Adanya cedera parenkim pada pasien dengan hematoma
subdural adalah faktor yang paling penting dalam memprediksi hasil klinis
mereka.13

Gambar 10. Gambaran Perdarahan Subdural pada CT Scan


Gamar 11. Gambaran Perdarahan Subdural dengan Fraktur Tengkorak
(kiri) dan Perdarahan Subdural disertai Perdarahan Subarakhnoid (kanan)

Perdarahan Subaraknoid

Perdarahan subarachnoid adalah ekstravasasi darah ke dalam rongga


subaraknoid yang terdapat di antara lapisan piamater dan membran
araknoid. Etiologi yang paling sering dari perdarahan subaraknoid non
traumatik adalah pecahnya aneurisma intrakranial (berry aneurism).
Gejala klinisnya biasanya tampak sepuluh hingga dua puluh hari setelah
terjadinya ruptur. Gejala yang paling sering berupa sakit kepala, nyeri
daerah orbital, diplopia, gangguan penglihatan, gangguan sensorik dan
motorik, kejang, ptosis, disfasia.4

Pada CT scan, perdarahan subaraknoid (SAH) terlihat mengisi ruangan


subaraknoidyang biasanya terlihat gelap dan terisi CSF di sekitar otak.
Rongga subaraknoid yang biasanya hitam mungkin tampak putih di
perdarahan akut. Temuan ini paling jelas terlihat dalam rongga
subaraknoidyang besar. Ketika CT scan dilakukan beberapa hari atau
minggu setelah perdarahan awal, temuan akan tampak lebih halus.
Gambaran putih darah dan bekuan cenderung menurun, dan tampak
sebagai abu-abu. Sebagai tambahan dalam mendeteksi SAH, CT scan
berguna untuk melokalisir sumber perdarahan.14
Gambar 12. Gambaran Perdarahan Subarakhnoid pada CT Scan Kepala

Perdarahan Intraserebral

Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak


yang semakin lama semakin banyak dan menimbulkan tekanan pada
jaringan otak sekitar. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial yang dapat menyebabkan konfusi dan letargi. Gejala klinis
biasanya timbul dengan cepat bergantung pada lokasi perdarahan. Gejala
yang paling sering adalah sakit kepala, nausea, muntah, letargi atau
konfusi, kelemahan mendadak atau kebas pada wajah, tangan atau kaki
yang biasanya pada satu sisi, hilangnya kesadaran, hilang penglihatan
sementara, dan kejang

Perdarahan intraserebral biasanya disebabkan oleh trauma terhadap


pembuluh darah, timbul hematoma intraparenkim dalam waktu ½-6 jam
setelah terjadinya trauma. Hematoma ini bisa timbul pada area
kontralateral trauma. Pada CT scan sesudah beberapa jam akan tampak
daerah hematoma (hiperdens), dengan tepi yang tidak rata.15

Gambar 13.Gambaran Perdarahan Intraserebral pada CT Scan Kepala.


Perdarahan Intraventrikular

Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel


otak. Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan
intraserebral.

Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel


otak. Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan
intraserebral (Gambar 14).Pada perdarahan intraventrikular akan terlihat
peningkatan densitas dari gambaran CT scan kepala. Jika terlambat
ditangani, perdarahan intraventrikular akan menyebabkan terjadinya
ventrikulomegali pada sistem ventrikel (hidrosefalus) dari gambaran CT
scan.15
Gambar 14. Gambaran Perdarahan Intraventrikular pada CT Scan Kepala

BAB III
KESIMPULAN

Trauma kepala adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur
kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak. Berdasarkan Skala Koma Glasgow, trauma kepala
dibagi atas trauma kepala ringan (SKG 14-15), sedang (SKG 9-13) dan berat
(SKG 3-8). Trauma kepala dapat menimbulkan perdarahan intrakranial berupa
fraktur yulang kepala, perdarahan epidural, perdarahan subdural, perdarahan
subarakhnoid, perdarahan intraventrikular, dan perdarahan intraserebral.
Pemeriksaan foto polos kepala digunakan untuk melihat pergeseran
(displacement) fraktur tulang tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada
tidaknya perdarahan intrakranial.
Pemeriksaan tomografi komputer(CT Scan) kepala sangat berguna pada
trauma kepala karena isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada
trauma kepala, fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik
bentuk maupun ukurannya.
DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeons. Advance Trauma Life Support For Doctor.


7th ed. 2004. USA: First Impression.

2. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Radiologi Diagnostik. Edisi 7. 2001.


Balai Penerbit FKUI

3. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke -6.


2006.Jakarta: EGC.

4. Irwan O. Trauma Kepala. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2006.

5. Mansjoer A., Suprohaita, Wardhani WI., SetiowulanW. Kapita Selekta


Kedokteran. Edisi Ketiga. 2000. Jakarta: Media Aesculapius.

6. Wahjoepramono EJ. Cedera Kepala. Lippo Karawaci : Fakultas Kedokteran


Universitas Pelita Harapan; p. 1-6
7. Doherty GM. Current Dignosis & Treatment: Surgery. 13th ed. McGraw-Hill;
2010. p.814.
8. Awaloei AC, Mallo NTS, Tomuka D. Gambaran cedera kepala yang
menyebabkan kematian di Bagian Forensik dan Medikolegal RSUP Prof Dr.
R. P. Kandou periode Juni 2015-2016. Jurnal eCl. 2016 Des. 4(2). p.1-5 6.
9. Hasil Utama Riskesdas 2018. Kementrian Kesehatan Badan Peneliti dan
Pengembangan Kesehatan.; 2018. p.115-6

10. Hudak & Gallo, 2012. Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistic Vol
1. Jakarta: EGC.

11. Fearnside MR, Simpson DA. Epidemiology. In : Head Injury


Pathophysiology and Management. London : Hodder Arnold. 2005 : 3-25.

12. Malueka R. G. Radiologi Diagnostik.Edisi 2. 2007. Yogyakarta: Pustaka


Cendekia Press Yogyakarta

13. Becske T, Jallo GI, Lutsep HL, Berman SA, Kirshner HS, Tavalera F.
Subarachnoid hemorrhage. Diunduh dari Medscape for iPad. 26 Juli 2015.
14. Liebeskind DS, Hogan EL, Talavera F, Kirshner HS, Benbasid SR, Lutsep
HL. Epidural hematoma. Diunduh dari Medscape for iPad. 26 Juli 2015.

15. Annibale DJ, MacGilvray SS, Windle ML, Carter BS, Wagner CL,
Rosenkrantz T. Periventricular hemorrhage-intraventricular hemorrhage.
Diunduh dari Medscape for iPad. 26 Juli 2015.

Anda mungkin juga menyukai