Anda di halaman 1dari 66

PENDAHULUAN

Latar belakang

Cedera kepala adalah penyebab utama kematian, dan kecacatan. 1 Manfaat


dari tulang tengkorak untuk melindungi otak terhadap cedera. Selain dilindungi
oleh tulang, otak juga tertutup lapisan keras yang disebut meninges fibrosa, dan
juga terdapat cairan yang disebut cerebrospinal fuild (CSF).1 Trauma dapat
berpotensi menyebabkan fraktur tulang tengkorak, perdarahan di ruang sekitar
otak, memar pada jaringan otak, atau kerusakan saraf pada otak.1,2

Fraktur basis kranii adalah fraktur yang melibatkan struktur dari Fossa kranii
anterior, media, dan posterior. Insidensi terjadinya fraktur basis kranii terjadi pada
4% kejadian pada cedera kepala, dan 7-16% pada cedera kepala tertutup.1 Fossa
kranii anterior menjadi lokasi paling sering yaitu sekitar 50% dan selanjutnya yaitu
pada fossa kranii media (30%), dan terakhir fossa kranii posterior sebanyak
20%.1,2,3
Fraktur basis Cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat
benturan langsung di sekitar dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid,
supraorbita), transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau
mandibula, atau efek “remote” dari benturan pada kepala (“tekanan gelombang”
yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).1,2
Pasien dengan fraktur basis Cranii (fraktur pertrous os temporal) dijumpai
dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Penampakan fraktur basis
Cranii fossa anterior ditandai dengan adanya Rhinorrhea dan memar di sekitar
palpebra (raccoon eyes).Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat
bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial. Untuk penegakan
diagnosis fraktur basis Cranii, diawali dengan pemeriksaan neurologis lengkap,
1
analisis laboratorium dasar, diagnostic untuk fraktur dengan pemeriksaan
radiologis.1,2,3
Penanganan korban dengan cedera kepala diawali dengan memastikan
bahwa airway, breathing, circulation bebas dan aman. Banyak korban cedera
kepala disertai dengan multiple trauma dan penanganan pada pasien tersebut tidak
menempatkan penanganan kepala menjadi prioritas, resusisati awal dilakukan
secara menyeluruh.1,2

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi

Gambar 1

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis Craniii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang. Fosaa kranii ini dibentuk oleh 6
tulang yaitu, sepasang frontal, ethmoid, sphenoid.3,4
Basis cranii memiliki bentuk yang tidak rata sehingga dapat melukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Rogga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu : fossa cranii anterior, Fossa
cranii media, fossa cranii posterior. 3,4

3
Gambar 2

Sekitar 70% fraktur basis Cranii berada pada daerah anterior, meskipun
kalvaria tengah adalah bagian terlemah dari basis Cranii namun hanya 20%
fraktur yang ditemukan dan sekitar 5% fraktur pada daerah posterior. 3,4
Fossa crania anterior : Melindungi lobus frontal cerebri, dibatasi di
anterior oleh permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor
ossis spenoidalis. Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di
lateral dan oleh lamina cribiformis os etmoidalis di media. Permukaan atas
lamina cribiformis menyokong bulbus olfaktorius, dan lubang-lubang halus
pada lamini cribrosa dilalui oleh nervus olfaktorius. 3,4
Pada fraktur fossa Cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat
cedera. Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi
mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore
atau kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur yang
mengenai pars orbita os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva
(raccoon eyes atau periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda
klinis dari fraktur basis cranii fossa anterior. 3,4

Fossa Cranii media :Terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus
os sphenoidalis dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan
dan kiri yang menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh
ala minor os sphenoidalis dan terdapat canalis opticus yang dilalui oleh
n.opticus dan a.oftalmica, sementara bagian posterior dibatasi oleh batas atas
pars petrosa os temporal. Dilateral terdapat pars squamous pars os temporal.
Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan minor
os sphenoidalis dilalui oleh n.lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis,
n.occulomotorius dan n.abducens. Fraktur pada basis cranii fossa media
sering terjadi, karena daerah ini merupakan tempat yang paling lemah dari
basis Cranii. Secara anatomi kelemahan ini disebabkan oleh banyaknya
foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani dan sinus sphenoidalis
merupakan daerah yang paling sering terkena cedera. Bocornya CSF dan
keluarnya darah dari canalis acusticus externus sering terjadi (otorrhea). N.
craniais VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera pada pars
perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding

lateral sinus cavernosus robek. 2,3,4

Fossa Cranii posterior melindungi otak belakang, yaitu cerebellum, pons


dan medulla oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggir superior pars
petrosa os temporal dan di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars
squamosa os occipital. Dasar fossa Cranii posterior dibentuk oleh pars
basilaris, condylaris, dan squamosa os occipital dan pars mastoiddeus os
temporal. Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan
dilalui oleh medulla oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars
spinalis assendens n. accessories dan kedua a.vertebralis. Pada fraktur fossa
Cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di bawah otot-otot
postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan muncul di
otot otot trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa
atap nasofaring dapat robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang

mengenai foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera. 2,3,4

2.2. Definisi
Tengkorak adalah kerangka tulang kepala. Tengkorak terdiri dari dua
bagian yang terpisah: tengkorak dan rahang bawah. Mandibula adalah rahang
bawah atau rahang, dan tempurung kepala adalah sisa tengkorak. Mandibula
adalah satu-satunya bagian dari tengkorak yang tidak bergabung dengan
sutura.1,3
Tengkorak bertanggung jawab untuk berbagai macam fungsi penting
termasuk: mendukung struktur wajah (seperti hidung dan mata), membentuk
jarak antara mata, membentuk posisi telinga untuk membantu otak
menentukan arah dan jarak suara dan menjaga serta membentuk
rongga/cavitas otak. 1,3,6
Fraktur berarti bahwa telah ada kerusakan baik satu atau lebih tulang
pada tengkorak. Meskipun dalam hal ini sangat menyakitkan, ancaman yang
lebih besar adalah bahwa membran, pembuluh darah, dan bahkan otak, yang
berada di dalam tengkorak dapat terlindungi.Fragmen kecil dari tengkorak
juga bisa pecah dan menyebabkan kerusakan tambahan pada otak. Selain itu,
energi yang dipakai dalam benturan tengkorak bisa melukai jaringan otak. 7
Fraktur tulang tengkorak dapat diklasifikasikan dalam salah satu dari
dua cara, baik dengan jenis cedera yang diderita atau lokasi dari cederanya.
Sebuah fraktur tengkorak basilar terjadi di dasar tengkorak. Ini adalah cedera
yang sangat jarang terjadi hanya dalam 4% dari semua kasus fraktur. Fraktur
ini pada dasarnya adalah fraktur linear, atau retak garis lurus di dasar
tengkorak. Patah tulang tengkorak basilar bisa sangat berbahaya karena
batang otak dapat terluka, yang antara lain mengirimkan pesan dari otak ke
sumsum tulang belakang. Jika otak atau batang otak terluka maka kematian
seringkali sangat mungkin terjadi.8,9
Fraktur basis Cranii terjadi karena adanya trauma tumpul yang
menyebabkan kerusakan pada tulang dasar tengkorak. Ini sering dikaitkan
dengan perdarahan di sekitar mata (raccoon eyes) atau di belakang telinga
(Battle sign). Garis fraktur dapat meluas ke sinus wajah yang
memungkinkan bakteri dari hidung dan mulut untuk masuk keadalam dan
kontak dengan otak, menyebabkan infeksi yang potensial. 8,9
2.3. Epidemiologi

Fraktur basis Cranii merupakan salah satu fraktur pada area kepala dan
leher yang sulit untuk dievaluasi dan diobatai. Fraktur ini didefinisikan
sebagai fraktur linear dasar tengkorak, dan biasanya frakturnya banyak pada
wajah dan meluas kedasar tengkorak. Sinus sphenoid, foramen magnum, os
temporal dan sphenoidal adalah daerah yang paling umum terjadi patahan.
Sekitar 2 juta cedera kepala yang terjadi di Amerika Serikat. Kasus ini
adalah salah satu penyebeb utama kecacatan dan kematian pada anak.
Kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab utama dari trauma ini
yang ada dinegara-negara industri. Persentase cedera kepala dan leher yang
terjadi adalah 1/3 dari kecelakaan kendaraan bermotor, dengan 28% kasus
fraktur ada pada kepala dan leher. 1,8,9
Fraktur basis Cranii terjadi sekitar 20-24% dari semua kasus cedera
kepala. Pada studi retrospective yang dilakukan oleh Behbahani dkk pada
tahun 2013, mengatakan bahwa dalam hal ini kejadian fraktur basis Cranii
hanya terdapat 2% dari seluruh kasus kejadian trauma. Dalam sebuah studi
dari Behbahani et al in 2013, sebuah studi retrospektif tentang trauma
kepala. Mereka menemukan bahwa dari 1060 pasien dengan trauma kepala.
965 pasien mengalami fraktur tulang kepala dengan 220 diantaranya
frakturnya berada pada dasar tengkorak. Dari 220 fraktur ini diantaranya 78
fraktur os temporal, 47 orbital superior, 44 sphenoid, 30 os occipitalis, 21
ethmoidal, dan 2 clivus. 8,9

2.4. Patofisiologi
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada
daerah- daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita);
transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula, atau
efek “remote” dari benturan pada kepala (“gelombang tekanan” yang
dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak). 8,9,10
Tipe dari fraktur basis cranii yang parah adalah jenis ring fracture,
karena area ini mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak
di mana spinal cord lewat. Ring fracture komplit biasanya segera berakibat
fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering
dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena
cedera batang otak disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah
besar pada dasar tengkorak. 10
Fraktur basis Cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme
termasuk benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak,
atau akibat beban inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash).
Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor
berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek
misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan
gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh
foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring
fracture.Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada benturan
tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya
kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah
occiput atau mandibula.10,11
Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa
fraktur basis Cranii akibat hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus
benturan pada area kubah non-kranial, yang terjadi dalam berbagai jenis
kecelakaan kendaraan bermotor, telah didokumentasikan.Para peneliti
menemukan fraktur basis Cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada
area wajah saja. 10,11
Pada studi eksperimen berdasarkan pengujian mayat, Gott et al.(1983)
meneliti secara rinci tengkorak dari 146 subjek yang telah mengalami
benturan/ruda paksa pada area kepala. Dari 45 kasus fraktur tengkorak
diamati secara rinci, terdapat 22 BSF pada grup ini. Penyebab dari kasus
tersebut disebabkan oleh ruda paksa pada area frontal (5 kasus), daerah
Temporo-parietal tengkorak (1 kasus), seluruh wajah (2 kasus) dan berbagai
jenis ruda paksa kepala lainnya (14 kasus). 2,10,11
Saat memeriksa respon leher akibat beban daya regang aksia, Sances
et al. (1981) mengamati BSF tanpa kerusakan ligamen melalui analisa quo-
statistic didapatkan 1780N sementara dan 3780N tampak utuh pada area
leher, kepala dan tulang belakang. Beberapa peneliti mengamati complex
kepala-leher terhadap ruda paksa dari arah superior-inferior. Secara umum,
menunjukkan bahwa lokasi fraktur tengkorak hasil dari ruda paksa langsung.
Ketika area kepala terlindungi, leher menjadi wilayah yang paling rentan
terhadap cedera pada tingkat kekuatan di atas 4 kN (Alem et al 1984). Para
peneliti menguji 19 cadaver dalam posisi supine dan hanya mampu
menghasilkan BSF tunggal. Fraktur basis Cranii membutuhkan durasi yang
rendah (3 ms), energi tinggi (33 J) ruda paksa dengan kekuatan benturan dari
17 kN pada kecepatan ruda paksa 9 m /s. 3,10,11
Hopper et al. (1994) melakukan dua studi eksperimental pada mayat
bertujuan untuk memahami mekanisme biomekanik yang mengakibatkan
fraktur basis Cranii ketika kepala mandibula yang dikarenakan ruda paksa
Pada studi awal, cedera yang dapat ditoleransi oleh mandibula ketika
mengalami ruda paksa adalah pada area pertengahan simfisis atau area
mentalis (dagu). Enam dampak yang dinamis dengan jalur vertikal pada satu
tes dilakukan dengan menggunakan uji quasi-static. Suatu ruda paksa yang
bervariasi diberikan untuk menilai pengaruh yang terjadi. Ditemukan bahwa
toleransi energi ruda paksa untuk fraktur mandibula pada ke enam tes
tersebut adalah 5270 + 930N. Pada setiap tes, dijumpai fraktur mandibula
secara klinis namun tidak menghasilkan fraktur basis Cranii.1,2,3,11
Studi kedua menilai toleransi fraktur basis Cranii ketika beban
langsung diberikan kearah Temporo-mandibula joint yang secara tidak
langsung menghasilkan pembebanan secara lokal sekitar foramen magnum.
Kekuatan puncak dan energi untuk setiap kegagalan ditentukan dalam setiap
pengujian. Beban rata rata pada setiap fraktur ditemukan dengan kekuatan
energi 4300 +350. 11,12
Peneliti menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini mendukung
hipotesis bahwa ruda paksa pada mandibula saja biasanya hanya
menyebabkan fraktur mandubula. Selanjutnya, complete dan parsial ring tipe
BSF membutuhkan ruda paksa temporo-,amdibular yang secara tidak
langsung menghasilkan pembebanan pada daerah sekitar foramen magnum.
11,12

Pada jurnal lain disebutkan oleh Narasinga et al, Kerman et al. bahwa
terjadinya fraktur basis kranii ini akibat adanya “highvelociy impact” atau
kecelakaan dengan energi yang besar, seperti pada kecelakaan kendaraan
bermotor. Atau penyebab lain paling sering adalah trauma penetrasi
langsung ke dalam intracranial. 2
Fraktur Basis Kranii anterior

Fraktur ini memiliki beberapa jenis dari masing masing sumber, ada 2 tipe yang
mengelompokkan jenis fraktur ini. Yang pertama adalah modifikasi dari tipe lefort
yaitu type 1,2 dan 3. Kemudian Picirrili juga membagi lagi menjadi tipe A,B, dan
C.

Fraktur basis kranii anterior type I : adalah fraktur yang melibatkan dinding
anterior dan posterior dari sinus frontal, lamina cribrosa, dan menerus hingga
planum sphenoidale.1,2,3
Fraktur Basis Kranii Anterior Tipe II : Fraktur ini hamper sama dengan tipe I namun
sedikit lebih ke lateral, yaitu berbentuk linear dari frontal calvaria, berlanjut ke fossa
kranii anterior, dan meluas hingga 2/3 lateral dari rima supraorbital, pars squamosa
os tempora;, atap orbita, dinding lateral orbita, dan apeks orbita.1,2,3
Fraktur basis kranii fossa anterior tipe III : adalah kombinasi dari Tipe I dan II, yaitu
fraktur frontobasilar sentral dan lateral, sseringkali dengan kondisi kominutif dari os
frontal dan defek pada bagian lateral. 2

Fraktur Basis kranii tipe II dan III lebih sering terjadi bersamaan dengan adanya
trauma pada wajah 1/3 tengah. Dan tipe III adalah tipe yang paling sering terjadinya
manifestasi kebocoran LCS dilaporkan pada 25% kasus, selain LCS leakage, apabila
sudah terjadi hal tersebut maka akan dapat mendukung terbentuknya mucocele yang
berhubungan dengan adanya entrapment dari mukosa diantara patahan tulang. 1,2

Bila berdasarkan klasifikasi dari Picirrili, dibagi menjadi tipe A,B dan C. Tipe A
sendiri bila frantur hanya terbatas pada dinding anterior dari sinus frontal. Tipe B

bila melibatkan dinding posterior sinus frontal, dan Tipe C adalah segala fraktur
yang tidak melibatkan dinding sinus frontal. 1,2
Gejala pada Fraktur basis kranii anterior ini yaitu, : LCS rhnorrea, Rhinorraghia,
Periorbital ekimosis atau racoon eyes, disfungsi Nervus olfactory, Ganguan visus
atau lapang pandang secara tiba tiba setalah trauma. 1,2

Fraktur Basis kranii media

Biasanya terjadi akibat adanya trauma pada lateral aspek os frontal, zygoma,
temporal ataupun parietal.

Komplikasi paling sering yang muncul adalah

1. Kontusio lobus temporal


2. Anterior fossa kranii EDH (benign venosus EDH) yang diakibatkan dari injury
sinus sphenoparietal
3. Injuri dari ICA (aretri carotis communis) : yang dapat mengarahkan pada
kondisi CCF atau Carotioccavernosus fistula. Tanda klinisnya adalah
eksoptalmose, bruit, dan kemosis serta dapat terjadi ophtalmoplegia.
4. CSF othorrea dan otorrhagia
5. Fraktur yang melanjut hingga clinod dan aspek superior dari fissure orbital
superior dapat muncul bersamaan dengan gangguan nervus III, IV, dan IV.
Serta disfungsi dari nervus V1
6. Penurunan visual (orbital apex syndrome)
7. Injuri dari nervus VII dan VIII : fraktur transversal yang melalui os temporal
lebih sering berimbas terjadinya paresis dari N. VII disbanding dengan fraktur

longitudinal. Dimana injury biasanya tepat berada pada level canalis auditorius
interna atau segemen labirintine dari N.VII. Namun bila terjadi paresis pada
jenis longitudinal biasanya pada level ganglion geniculatum

Fraktur Temporal

Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis Cranii. Terdapat 3 suptipe dari
fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Tipe transversal
dari fraktur temporal dan type longitudinal fraktur temporal ditunjukkan di
bawah ini.

A B

(A) Transverse temporal bone fracture and (B) Longitudinal


temporal bone fracture (courtesy of Adam Flanders, MD, Thomas
Jefferson University, Philadelphia, Pennsylvania)

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan


bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus
externus dan tegmen timpani.Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu
bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule,
berakhir pada fossa Cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid
air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe
(70-90%). Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan
memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial
media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua fraktur
longitudinal dan transversal. Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os
temporal telah diusulkan. Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam
petrous fraktur dan nonpetrous fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang
melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut tidak disertai dengan deficit
nervus cranialis. 1,2

Fraktur Fossa Kranii Posterior


Fraktur condylar occipital (Posterior)

Adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi aksial,
lateral bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur
tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera.
Klasifikasi alternative membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable,
yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat
kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini
merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan
langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II
diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan
membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera
avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi
menjadi fraktur tidak stabil. 1,2
2.5. Manifestasi

Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea


dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis
Cranii fossa anterior adalah dengan rhinorrhea dan memar di sekitar
palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale
dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial. 1,2
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang
pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang
berlangsung lebih dari 6-7 minggu. Tuli sementara yang akan baik kembali
dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum dan
edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial
numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI,
VII.
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan
labirin, sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan
pendengaran permanen (permanent neural hearing loss). 1,2
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan
serius. Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama
dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang
belakang servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial
nerve dan hemiplegia atau guadriplegia. 1,2
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan
nervus cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan
kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis ipsilateral dari pita suara,
palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal constrictor,
sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur
condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.
1,2

2.6. Penananganan

A. Penananganan Khusus

Penanganan khusus dari fraktur basis Cranii terutama untuk mengatasi


komplikasi yang timbul, meliputi : fistula cairan serebrospinal, infeksi, dan
pneumocephalus dengan fistula. 1,2
a) Fistula cairan serebrospinal:

Mengakibatkan kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang


extraarachnoid, duramater, atau jaringan epitel. Yang terlihat sebagai rinore
dan otore. Sebagian besar rinore dan otore baru terlihat satu minggu setelah
terjadinya trauma. Kebocoran cairan ini membaik satu minggu setelah
dilakukan terapi konservatif. Penatalaksanaan secara konservatif dapat
dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk,
bersin, dan melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan obat- obatan seperti
laxantia, diuretic dan steroid. 85% kasus LCS leakage dapat secara spontan
mengalami perbaikan. 1,2

Namun bila kondisi LCS leakage ini bertahan hingga 7 hari maka
harus dilakukan diversi LCS yaitu dengan cara pemasangan Lumbar drain
atau EVD. Terapi medikamentosa juga dapat diberikan untuk mengurangi
produksi LCS agar meninges yang robek dapat diberikan waktu untuk
menyatu, yaitu menggunakan agen karbonik anhydrase seperti
asetazolamide. Pemberian antibiotic masih kontroversial, dari penelitian
Villalobis et al mengatakan bahwa dari 1241 pasien tidak menunjukkan
angka statistic yang signifikan untuk mencegah terjadinya meningitis pada
pasien yang diberikan terapi antibiotic. 1,2

Rinore

Terjadi pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis anterior.


CSS mungkin bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat
orbital dari tulang frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang melalui
klivus. Kadang-kadang pada fraktura bagian petrosa tulang temporal, CSS
mungkin memasuki tuba Eustachian dan bila membran timpani intak,
mengalir dari hidung. Pengaliran dimulai dalam 48 jam sejak cedera pada
hampir 80 persen kasus. 1,2
Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest
dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, meniup hidung dan
melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia,
diureticdan steroid. Dilakukan punksi lumbal secara serial dan pemasangan
kateter sub-rachnoid secara berkelanjutan. Disamping itu diberikan
antibiotik untuk mencegah infeksi. Pendekatan pembedahan dapat secara
intrakranial, ekstrakranial dan secara bedah sinus endoskopi. Pendekatan
intrakranial yaitu dengan melakukan craniotomi melalui daerah frontal
(frontal anterior fossa craniotomi), daerah temporal (temporal media fossa
craniotomi) atau daerah oksipital (ocsipital posterior fossa craniotomi)
tergantung dari lokasi kebocoran.3
Keuntungan teknik ini dapat melihat langsung robekan dari dura dan
jaringan sekitarnya. Bila dilakukan tampon pada kebocoran akan berhasil
baik dan berguna bagi pasien yang tidak dapat diketahui lokasi kebocoran
atau fistel yang abnormal. Kerugian teknik ini adalah angka kematian yang
tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti edema, hematoma dan perdarahan.
Disamping itu dapat terjadi anosmia yang permanen. Sering terjadi kebutaan
terutama pada pembedahan didaerah fossa Cranii anterior. Kerugian lain
adalah waktu operasi dan perawatan yang lama. Pendekatan Ekstra Cranial
dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus endoskopi.
Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior dengan
sayatan pada koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan
pendekatan eksternal etmoidektomi, trans- etmoidal sfenoidotomi, trans-
septal sfenoidotomi atau trans antral, tergantung dari lokasi kebocoran.
Keuntungan teknik ini adalah memiliki lapangan pandang yang baik, angka
kematian yang rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan 80%.
Kerugian teknik ini adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel
yang abnormal. Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan
sfenoid. 1,2

Pendekatan Bedah Sinus

Endoskopi merupakan tehnik operasi yang lebih disukai dengan angka


keberhasilan yang tinggi (83% - 94%) dan angka kematian yang rendah.
Pada fistel yang kecil (<3mm) dapat diperbaiki dengan free
graftmukoperikondrial yang diletakkan diatas fistel. Pada fistel yang besar
(>3mm) digunakan graft dari tulang rawan dan tulang yang diletakkan
dibawah fistel dan dilapisi dengan flap local atau free graft. Keuntungan
teknik ini adalah lapangan pandang yang jelas sehingga memberikan lokasi
kebocoran yang tepat. Mukosa dapat dibersihkan dari kerusakan tulang
tanpa memperbesar ukuran dan kerusakan dari tulang. Disamping itu graft
dapat ditempatkan lebih akurat pada kerusakannya.
Indikasi dilakukannya operasi pada kasus ini yaitu :

1. Injuri pada intracranial yang membutuhkan Tindakan dekompresi (ex : kontusio


frontal, depressed fraktur)

2. Pasien dengan LCS leakage persistent (>7hari) setelah diversi LCS

3. Injury cranial nerve

4. Fraktur yang melibatkan dinding posterior dari sinus Frontal

5. Defek basis kranii lebih dari 1,5 cm

6. Meningoencephalocele

Terapi pembedahannya meliputi beberapa point penting yaitu :

1. Frontal sinus obliterasi

2. Kranialisasi

3. duraplasti
Otore

Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater dibawahnya


serta arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktur tulang
petrosa diklasifikasikan menjadi longitudinal dan transversal, berdasar
hubungannya terhadap aksis memanjang dari piramid petrosa; namun
kebanyakan fraktur adalah campuran. Pasien dengan fraktur longitudinal
biasanya menunjukkan gejala klinis kehilangan pendengaran konduktif,
otore, dan perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan fraktur transversal
umumnya memiliki membran timpanik normal dan memperlihatkan
kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin, kokhlea,
atau saraf kedelapan didalam kanal auditori. Paresis fasial tampil hingga
pada 50 persen pasien. Fraktura longitudinal empat hingga enam kali lebih
sering dibanding yang transversal, namun kurang umum menyebabkan
cedera saraf fasial. Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien
dalam seminggu. Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar 4
persen, dibanding 17 persen pada rinore CSS. Pada kejadian jarang, dimana
ia tidak berhenti, diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi.

Infeksi

Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis Cranii.


Penyebab paling sering dari meningitis pada fraktur basis Cranii adalah S.
Pneumoniae. Profilaksis meningitis harus segera diberikan, mengingat
tingginya angka morbiditas dan mortalitas walaupun terapi antibiotik telah
digunakan. Pemberian antibiotik tidak perlu menunggu tes
diagnostic.Karena pemberian antinbiotik yang terlambat berkaitan erat
dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Profilaksis antibiotik
yang diberikan berupa kombinasi vancomycin dan ceftriaxone. Antiobiotik
golongan ini digunakan mengingat tingginya angka resistensi antibiotic
golongan penicillin, cloramfenikol, maupun meropenem.

Pnemocephalus

Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melalui


menings. Meningkatnya tekanan di nasofaring menyebabkan udara masuk
melalui cranial cavity melalui defek pada duramater dan menjadi
terperangkap. TIK yang meningkat dapat memperbesar defek yang ada dan
menekan otak dan udara yang terperangkap. Terapi dapat berupa kombinasi
dari: operasi untuk membebaskan udara intracranial, serta memperbaiki
defek yang ada, dan tredelenburg position.
Adapun penangannan umum dari trauma kepala sendiri,
meliputi: Penatalaksanaan :
1. Pengendalian Tekanan IntraCraniial
Manitol efektif untuk mengurangi edem serebral dan TIK. Selain
karena efek osmotik, manitol juga dapat mengurangi TIK dengan
meningkatkan arus microcirculatory otak dan pengiriman oksigen.
Efek pemberian bolus manitol

tampaknya sama selama rentang 0,25 sampai 1,0 g / kg.


2. Mengontrol tekanan perfusi otak
Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg,
baik dengan mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP.
Rehidrasi secara adekuat dan mendukung kardiovaskular dengan
vasopressors dan inotropik untuk
meningkatkan MAP dan mempertahankan tekanan perfusi otak > 70
mmHg.
3. Mengontrol hematokrit
Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematokrit. Viskositas darah
meningkat sebanding dengan semakin meningkatnya hematokrit dan
tingkat optimal sekitar 35%. Aliran darah otak berkurang jika
hematokrit meningkat lebih dari 50% dan
meningkat dengan tingkat hematokrit di bawah 30.
4. Obat obatan
Pemberian rutin obat sedasi, analgesik dan agen yang memblokir
neuromuscular. Propofol telah menjadi obat sedative pilihan. Fentanil
dan morfin sering diberikan untuk membatasi nyeri, memfasilitasi
ventilasi mekanis dan mempotensiasi efek sedasi. Obat yang
memblokir neuromuscular mencegah peningkatan TIK yang
dihasilkan oleh batuk dan penegangan pada
endotrachealtube.
5. Pengaturan suhu
Demam dapat memperberat defisit neurologis yang ada dan dapat
memperburuk kondisi pasien. Metabolisme otak akan oksigen
meningkat sebesar 6-9 % untuk setiap kenaikan derajat Celcius. Tiap
fase akut cedera kepala , hipertermia harus
diterapi karena akan memperburuk iskemik otak.
6. mengontrol bangkitan
Bangkitan terjadi terutama di mereka yang telah menderita hematoma,
menembus cedera, termasuk patah tulang tengkorak dengan penetrasi
dural, adanya tanda fokal neurologis dan sepsis. Antikonvulsan harus
diberikan apabila terjadi bangkitan.
7. Kontrol cairan
NaCl 0,9% , dengan osmolaritas 308 mosm / l, telah menjadi
kristaloid pilihan dalam manajemen dari cedera otak. Resusitasi
dengan 0,9 % saline membutuhkan
4 kali volume darah yang hilang untuk memulihkan parameter
hemodinamik.
8. Posisi kepala
Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-300 dapat menurunkan TIK
dan

meningkatkan venous return ke jantung.


9. merujuk ke dokter bedah saraf
Rujukan ke seorang ahli bedah
saraf:
• GCS kurang dari atau sama dengan setelah resusitasi awal
• Disorientasi yang berlangsung lebih dari 4 jam
• Penurunan skor GCS terutama respon motoric
• Tanda-tanda neurologis fokal progresif
• Kejang tanpa pemulihan penuh
• Cedera penetrasi
• Kebocoran cairan serebrospinal.

2.7. Komplikasi fraktur basis cranii

Komplikasi pertama yang sering terjadi pada fraktur Basis kranii


adalah kebocoran LCS, hal ini terjadi pada sekita 50% kasus.1,2,3 Dimana bila
kondisi ini tidak ditangani maka akan berimbas terjadinya kondisi menigitis.
Risiko terjadinya meningitis yaitu sebanyak 1% dalam 24 jam pertama, dan
meningkat menjadi 18% bila terjadi dalam 2 minggu.
Kebocoran LCS akibat trauma adalah kejadian tersering, 10% dari
30% kasus fraktur basis kranii. Rhinorrea adalah gejala paling sering yang
dapat terjadi yaitu pada sekitar 80% kasus. 80% kasus terjadi pada 48 jam
pertama setelah trauma, dan 20% selajutnya terjadi pada 3 bulan setalah

trauma.

Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang


disertai dengan rhinorrhea. Facial palsy dan gangguan ossicular yang
berhubungan dengan fraktur basis cranii dibahas di bagian klinis. Namun,
terutama, facial palsy yang terjadi pada hari ke 2- 3 pasca trauma adalah
akibat sekunder untuk neurapraxia dari nervus cranialis VII dan responsif
terhadap steroid, dengan prognosis yang baik. Onset facila palsy secara tiba
tiba pada saat bersamaan terjadinya fraktur biasanya akibat skunder dari
transeksi nervus, dengan prognosis buruk. Nervus cranialis lain mungkin
juga terlibat dalam fraktur basis cranii.

Fraktur pada ujung pertosus os temporale mungkin melibatkan


ganglion gasserian. Cedera nervus cranialis VI yang terisolasi bukanlah
akibat langsung dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena terjadinya
ketegangan pada nervus. Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi
nervus cranialis III, IV,dan VI dan juga dapat mengganggu arteri karotis
interna dan berpotensi menghasilkan pembentukan pseudoaneurysma dan
fistula caroticocavernous (jika melibatkan struktur vena). cedera carotid
diduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui kanal
karotid, dalam hal ini, CT angiografi dianjurkan.

2.8. Prognosis

Pada frakur basis Cranii fossa anterior dan media, prognosis baik
selama tanda tanda vital dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan
dilakukan tindakan sedini mungkin apabila ditemukan deficit neurologis serta
diberikan profilaksis antibiotik untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder, sedangkan pada fraktur basis Cranii
posterior, prognosis buruk dikarenakan fraktur pada fossa posterior dapat
mengakibatkan kompresi batang otak.
BAB III
KESIMPULAN

Fraktur basis Cranii terjadi karena adanya trauma tumpul yang


mengakibatykan kerusakan pada tulang dasar tengkorak. Terbagi atas 3
jenis: fraktur basis Cranii anterior yang mengenai lobus frontal yang ditandai
dengan adanya raccoon eyes, fraktur basis Cranii media yang mengenai
fossa Cranii media, dengan gejala khas berupa rinore dan otore serta battle
sign, dan fraktuir basis Cranii posterior yang mengenai fossa Cranii posterior
namun jarang memberikan gejala yang khas.
Penanganan fraktur basis Cranii ini meliputi konservatif dan operatif,
dengan tujuan utama mengurangi TIK, dan mengatasi fistula yang ada, serta
profilaksis infeksi meningitis. Prognosis fraktur basis Cranii tergantung pada
lokasi, apabila mengenai anterior dan media, umumnya prognosis baik,
namun apabila mengenai daerah posterior umumnya prognosis buruk.
DAFTAR
PUSTAKA

1. Skull Base Fractures: Pearls of Etiopathology, Approaches, Management,


and Outcome; K. V. L. Narasinga Rao et al
2. Kerman M, Cirak B, Dagtekin A. Management of skull base fractures.
Neurosurg Q 2002;12:23-41
3. Skull Base Fractures and Their Complications Kristen L. Baugnon, MD*,
Patricia A. Hudgins, MD
4. Rinorea cairan serebrospinal. USU. Departemen THT-KL FK USU. 2006
5. Nadeau K. Neurologic injury(chapter 29) in Jones and barlett
learning.com. 2004
6. Netter anatomy, neuroanatomi chapter, skullbase.
7. Bamberger D. Diagnosis, initial management and prevention of
meningitis, University of Missouri–Kansas City School of Medicine,
Kansas City, Missouri.
8. Pillai P, Sharma R,MacKenzie R, Reilly EF, Beery PR, Thomas,
Papadimos , Stawicki SPA. traumatic tension pneumocephalus: Two
cases and comprehensive review of literature. OPUS 12 Scientist
2010;4(1):6-11
9. Peter Reilly, text book of Head Injury, skulbase fracture.
10. Essential Neurosurgery Handbook Second Edition. 2006.
11. Advanced Trauma Life Support Student Course Manual ninth edition.
2012.
12. Greenbook, textbook neurosurgewry of neurotrauma chapter.
13. Buku Ajar Ilmu Bedah Syamsuhidayat – De Jong Edisi 3. 2010.
CASE REPORT
Nama : An. AL

Usia : 13 th

PRIMARY SURVEY

A + C-Spine: Nafas spontan (+), snoring (-), gargling (+), jejas dileher (-),
gerak seluruh ekstremitas (+)  Pasang ET  Airway clear, terpasang cervical
collar (+)

B : RR 26x/mnt, Hemitoraks kanan dan kiri simetris saat statis dan dinamis,
trachea di tengah, Retraksi (-), SpO2 100%  Adekuat on jackson reese 8 lpm

C : TD 130/80 HR : 110x/mnt, reguler, isi dan tegangan cukup, CRT < 2 detik,
akral hangat +/+, perdarahan eksternal (-) Circulation stabil

D : GCS E2M5Vet, pupil anisokor 4 mm/2 mm, RC (-/+), lateralisasi (+) sisi
kanan

E : hematom periorbita +/-

SECONDARY SURVEY

A: Alergi disangkal

M : riwayat pengobatan sebelumnya (-)

P : Riwayat penyakit sebelumnya disangkal

L : Makan terakhir 7 jam SMRS

E : Kecelakaan motor dengan motor


Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran pasca KLL

RPS :

6 jam SMRS pasien mengalami KLL saat mengendarai sepeda motor


bertabrakan dengan motor lain, pasien tidak memakai helm saat kejadian.
Mekanisme kecelakaan tidak diktahui. Pasca Kecelakaan pasien tidak sadar,
keluar darah dari telinga sebelah kiri, muntah (-), kejang (-). Oleh penolong
pasien dibawa ke IGD RSUD Sultan Fatah Demak, Karena keterbatasan
fasilitas pasien dirujuk ke IGD RSDK.

Batuk (-), pilek (-), kontak dengan keluarga dengan covid-19 tidak
diketahui.

RPD :

Riwayat kejang sebelumnya disangkal

Riwayat hipertensi disangkal

Tanda Vital:

TD : 130/80 mmHg HR :110x/mnt T : 36.70C

RR : 24x/m SpO2 : 100% on Jackson reese 8 lpm

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : GCS E2M5Vet

Kepala : Hematom di regio temporoparietal kiri 8cm x 8 cm

Mata : Pupil anisokor 4 mm / 2 mm, RC – (direk dan indirek) /+, hematoma


periorbita +/-

Telinga : Otorrhagia -/+, otorrhea -/+ (Halo sign +),(gd stick serum
147mg/dl, gd stick otthorea 75mg/dl) , batlle sign -/-
Hidung : rhinorrhea , rhinorrhagia +

N. cranialis : Paresis N. III kanan

Leher : jejas (-), stepoff deformity (-)

Ekstrimitas : Gerak : extremitas superior menurun/+

extremitas inferior menurun/+

Kesan hemiparesis dextra

Refleks fisiologis : ++/++++/++

Refleks patologis : -/- -/-

Tonus: Normotomus di keempat ekstrimitas

Trofi : E/E E/E

Klonus : -/-

Sensorik : respon terhadap nyeri (+) melokalisir nyeri

Autonom : terpasang DC, Produksi urin jernih 1,5 cc/KgBB /jam

KLINIS :
Wajah:

1/3 atas:

• I :pada frontal sisi dextra tampak diskontinuitas jaringan kulit, dasar


kutis, tampak bintik perdarahan.

• Pa : Krepitasi (-)

1/3 tengah:

• I: Hematoma pada periorbita dextra, Pada regio zygomaticum kanan


tampak, diskontinuitas jaringan dasar kutis, bintik perdarahan +

• Malar eminens simetris

• Nasal terpasang NGT,

• Pa: hematoma pada tempoparietal sinistra 8cm x 8cm

1/3 bawah

• Vulnus eksoriasi pada regio mandibula

• Intraoral: tampak avulsi gigi 1.1, 1.2, 1.3 , 2.1, 3.1, 4.1 serta prosesus
dentoalveolar maxilla

• Floating maxilla (-)

• Thoraks

• Pulmo :

• I : Jejas (-), gerak dinding dada simetris saat statis dan dinamis

• Pa : krepitasi (-), nyeri tekan (-), stem femitus tidak dapat dinilai

• Pe : sonor pada kedua hemithoraks

• Au : SDV kanan +/+ dbn , ST -/-, wheezing -/-, Rhonki -/-


• Cor :

• I : IC tak tampak

• Pa : IC teraba 2cm medial linea midclavicularis sinistra SIC IV

• Pe : konfigurasi jantung dalam batas normal

• Au : Bunyi jantung I > II, gallop (-), murmur (-)

• Abdomen

• I : datar, jejas –

• Au : BU (+) Normal

• Pa : Supel, nyeri tekan (-), undulasi (-), Hepar lien tak teraba

• Pe : Timpani seluruh abdomen, pekak sisi (+), pekak alih (-)

• Status Lokalis Regio Pelvis

• Inspeksi : Jejas –

• Palpasi : Tes kompresi stabil

• Status Lokalis regio genital

• Inspeksi : telah terpasang DC

Diagnosis kerja:

• Cedera Kepala Berat GCS E2M5Vet

• C/ Fraktur basis cranii fossa anterior

• C/ fraktur basis cranii fossa media sinistra

• Ec KLL sepeda motor vs sepeda motor 6 jam SMRS

Ip. Dx : S: -
O: Cek DR, GDS, elektrolit, ur, cr, PPT, PTTK, diff count, screening
covid, X-foto thorax AP, x-foto cervical AP/ Lat crosstable, MSCT kepala
polos

Tx :

• Head up 30 derajat

• Oksigenasi 8-10 lpm Jackson Reese

• Pertahankan Collar neck

• Parasetamol 500mg/8jam iv

Mx : KU, TV, GCS, tanda tanda peningkatan TIK

Ex : Edukasi kepada keluarga mengenai pemeriksaan penunjang yang akan


dilakukan

X-ray Thorax di RSDK 20 September 2020


X-ray Cervical AP/ Lat crosstable di RSDK 20 September 2020

CT Scan Kepala di RSDK 20 September 2020


Laboratorium RSDK 20 September 2020
Diagnosis kerja:

• CKB GCS E2M5Vet

• Diffuse injury grade III (SAH traumatika hemisfer kiri sinistra ( SAH
mengisi sisterna silvii, sisterna basalis, sisterna prepontine) + Contusio
serebri frontal kanan)

• Fraktur Basis kranii anterior Tipe II modifikasi lefort, Tipe III Piccirilli
(Fraktur dinding medial orbita kanan,fraktur planum sphenoid, fraktur
prosessus clinoid anterior kanan dan kiri)

• Fraktur basis cranii fossa media sinistra (dinding posterior sinus sphenoid
ke petrosus kiri)

• Subgaleal hematome parietotemporal sinistra

• Fraktur linier temporal kiri

• Fraktur zygoma kiri

• Panheamtosinus (Hematosinus maksilaris kanan dan kiri, sphenoid,


ethmoid)
• Anemia

Ip. Dx : S: -

O: -

Tx :

• Head up 30 derajat

• Oksigenasi 8-10 lpm Jackson Reese

• Lepas Collar neck

• Parasetamol 500mg/8jam IV

• Ranitidin 50mg/12 jam intravena

• Loading Manitol 200 cc bolus cepat, maintenance 100 cc/ 6 jam intravena

• Fenitoin 200 mg/ 24 jam intravena

• Pemasangan EVD untuk ICP Monitor

• Pro Transfusi PRC 1 kolf

• Rawat Bersama TS Bedah Plastik

• Rawat PICCU

Mx : KU, TV, GCS, tanda tanda peningkatan TIK, tanda-tanda meningitis

Ex : Edukasi kepada keluarga mengenai diagnosis, terapi yang akan


dilakukan, komplikasi dan prognosis
PROGRESS NOTE

(22/9/2020)

S: Kontak (-), post operasi pasang EVD ICP monitor 21/9/2020

O:

KU : tampak sakit berat

GCS : E1M5Vet

TD 123/76 mmhg HR 135 x/mntR

R 20 x/mntSpO2 : 100% on ventilator PEEP 5, Fi%O2 40, rate 20

ICP 12 mmhg

BB: 40 kg

Mata : pupil anisokor 5mm / 3mm, RC - / +, hematom periorbita +/-

N. Cranialis : kesan parese NIII kanan

Leher : kaku kuduk (-)

Motorik : gerak + menurun/+, +menurun/+ kesan hemiparese dekstra

Autonom : terpasang DC, prod urin jernih

Luka operasi : tertutup kassa, terpasang drain EVD terhubung dengan

ICP monitor : 12mmhg

Lab 21/9/2020

Hemoglobin 7.2

Elektrolit : Natrium 145, Kalium 4.5Chlorida 113

BGA pCO2 34.8, PO2 134.6, PF Ratio : 223 (Kesan ARDS sedang)
CKB GCS E2M5Vet

Diffuse injury grade III

SAH traumatika hemisfer kiri sinistra ( SAH mengisi sisterna silvii, sisterna
basalis, sisterna, sisterna prepontine)

Contusio serebri frontal kanan

Fraktur Basis kranii anterior Tipe III (Fraktur dinding medial orbita
kanan,fraktur planum sphenoid)

Fraktur basis cranii fossa media sinistra (dinding posterior sinus sphenoid ke
petrosus kiri)

Subgaleal hematome parietotemporal sinistra

Fraktur linier temporal kiri

Fraktur zygoma kiri

Panheamtosinus (Hematosinus maksilaris kanan dan kiri, sphenoid, ethmoid)

Anemia

Plan :

- Head Up 30 derajat

- Transfusi PRC 1 kolf

- Inf. manitol 100 ml/ 8 jam intravena

- Oksigenasi on et on venti dipertahankan

- Parasetamol 500mg/8jam IV- Ranitidin 50mg/12 jam intravena

- Fenitoin 100 mg/ 24 jam intravena


- Observasi ICP, tanda vital, GCS, dan pupil

- Pertahankan ICP tidak lebih dari 20mmhg

TS Pediatri :

- Inj Ceftriakson 2 g/24 jam (50 mg/kgbb.hari) H+2

24/9/2020

• S : Kontak (-), demam (-), post ekstubasi

• O:

GCS : E2M5V1 8

TD 123/88 mmhg HR 82x/mnt

RR 20x/mnt on NRM 10lpm

SpO2 : 100% ICP 12mmhg BB: 40 kg

Mata : pupil anisokor 4mm / 2mm, RC - / +, hematom periorbita +/-

N. Cranialis : kesan parese Nn. III kanan

Leher : kaku kuduk (-)

Motorik : gerak + menurun /+ + menurun / +

Sensorik : respon nyeri (+)

Autonom : terpasang DC, produksi 450cc/6 jam, diuresis 1.1cc/kg/jam

Luka operasi : tertutup kassa, terpasang drain EVD terhubung dengan ICP

lab 23/9/20

Hemoglobin 10.7 Hematokrit 31.6 Eritrosit 3.91

Leukosit 11.6 Trombosit 192


Natrium 147 Kalium 4.6 Chlorida 109

BGA 23/9/2020 post ekstubasi

Measured 37 C, pCO2 35.6, PO2 75.5

Calculated Temp 36.6, FIO2 35.0, A-aDO2 134.7, RI 1.8

PF Ratio : 214 (Kesan ARDS Sedang)

A:

CKB GCS E2M5Vet

Diffuse injury grade III

SAH traumatika hemisfer kiri sinistra ( SAH mengisi sisterna silvii, sisterna
basalis, sisterna, sisterna prepontine)

Contusio serebri frontal kanan

Fraktur Basis kranii anterior Tipe III (Fraktur dinding medial orbita
kanan,fraktur planum sphenoid)

Fraktur basis cranii fossa media sinistra (dinding posterior sinus sphenoid ke
petrosus kiri)

Subgaleal hematome parietotemporal sinistra

Fraktur linier temporal kiri

Fraktur zygoma kiri

Panheamtosinus (Hematosinus maksilaris kanan dan kiri, sphenoid, ethmoid)

ARDS Sedang

Plan :

- Head Up 30 derajat
- Oksigenasi on NRM coba weaning dengan 6lpm

- Inf. manitol 100 ml/ 8 jam intravena tap off /12 jam

- Inj. fenitoin 100 mg/24 jam intravena

- Inj. parasetamol 800 mg/6 jam intravena

- Observasi ICP, tanda vital, GCS, dan pupil-

- Pertahankan ICP tidak lebih dari 20mmhg

Terapi TS Pediatri :

- Inj. Ceftriakson 2 g/24 jam (50 mg/kgbb.hari) H+3

25/9/2020

• S : Kontak (-), demam (-), NGT kehitaman

• O:

GCS : E2M5V2 9

TD 115/78 mmhg HR 91x/mnt

RR 18x/mnt on nasal kanul 4lpm

SpO2 : 100%

ICP 10mmhg BB: 40 kg

Mata : pupil anisokor 4mm / 2mm, RC - / +, hematom periorbita +/- (kesan


berkurang)

Nn. Cranialis : kesan parese NIII kanan

Leher : kaku kuduk (-)

Motorik : gerak + /+ +/+


Sensorik : respon nyeri (+)

Autonom : NGT tampak kehitaman , terpasang DC produksi 370cc/6 jam,


diuresis 1,5cc/kg/jam

Luka operasi : tertutup kassa, terpasang drain EVD terhubung dengan ICP

A:

• CKB GCS E2M5Vet

• Diffuse injury grade III

• SAH traumatika hemisfer kiri sinistra ( SAH mengisi sisterna silvii,


sisterna basalis, sisterna, sisterna prepontine)

• Contusio serebri frontal kanan

• Fraktur Basis kranii anterior Tipe III (Fraktur dinding medial orbita
kanan,fraktur planum sphenoid)

• Fraktur basis cranii fossa media sinistra (dinding posterior sinus sphenoid
ke petrosus kiri)

• Subgaleal hematome parietotemporal sinistra

• Fraktur linier temporal kiri

• Fraktur zygoma kiri

• Panheamtosinus (Hematosinus maksilaris kanan dan kiri, sphenoid,


ethmoid)

• ARDS Sedang

• Hematemesis

Plan :

- Head Up 30 derajat
- Oksigenasi on nasal kanul 4lpm

- Inf. manitol 100 ml/ 12 jam tapoff /24jam

- Inj. fenitoin 100 mg/24 jam intravena

- Inj. parasetamol 800 mg/6 jam intravena

- Inj Omeprazole 20mg/12 jam intravena

- Observasi ICP, tanda vital, GCS, dan pupil

- Aff EVD ICP

- Cek BGA

Terapi TS Pediatri :

- Inj. Ceftriakson 2 g/24 jam (50mg/kgbb.hari) H+4

- Sucralfat syr 10cc/8 jam via NGT

Post aff EVD ICP H+2 27/9/2020

• S : Kontak minimal, demam (-), NGT masih kecoklatan (+), post aff evd
icp H+2

• O

GCS : GCS : E3M5V1 9

TD : 132/78 mmhg, HR 88x/mnt

RR 22x/mnt, SpO2 : 100%, BB: 40 kg

Mata : pupil anisokor 5mm / 2mm, RC - / +, hematom periorbita +/-, kesan


pstosis mata kanan

N. Cranialis : kesan parese NIII kanan


Leher : kaku kuduk (-)

Motorik : gerak + menurun/+ + menurun / +

Sensorik : respon nyeri (+)

Autonom : NGT tampak kecoklatan residu 200cc, terpasang DC diuresis


1,6cc/kg/jam

Luka operasi : tertutup kassa, sedikit rembes (+)

BGA 26/9/2020

Measured 37 C, pH 7.449, pCO2 27.3, PO2 108.9

Calculated Temp 37.5, FIO2 21, pH(T) 7.442

PCO2(T) 27.9, PO2(T) 112.0, HCO3- 18.5, TCO2 19.3

BEecf -5.5, BE (B) -4.5, SO2c 98.2, A-aDO2 3.4,RI 0.0

PF Ratio : 514

A:

• CKB GCS E2M5Vet

• Diffuse injury grade III

• SAH traumatika hemisfer kiri sinistra ( SAH mengisi sisterna silvii,


sisterna basalis, sisterna, sisterna prepontine)

• Contusio serebri frontal kanan

• Fraktur Basis kranii anterior Tipe III (Fraktur dinding medial orbita
kanan,fraktur planum sphenoid)

• Fraktur basis cranii fossa media sinistra (dinding posterior sinus sphenoid
ke petrosus kiri)

• Subgaleal hematome parietotemporal sinistra


• Fraktur linier temporal kiri

• Fraktur zygoma kiri

• Panheamtosinus (Hematosinus maksilaris kanan dan kiri, sphenoid,


ethmoid)

• ARDS Sedang perbaikan

• Hematemesis perbaikan

Plan :

- Inf. manitol 100 ml /24 jam intravena  STOP

- Inj. fenitoin 100 mg/24 jam intravena

- Inj. parasetamol 800 mg/8 jam intravena

- Inj Omeprazole 20mg/12 jam intravena

- Observasi tanda vital, GCS, produksi NGT

Terapi TS Pediatri :

Inf. D23% + elektrolit : terdiri dari D40% 239 ml + D10% 209 ml + NaCl
3%(2) 29 ml + KCL (2) 15 ml + ca glukonas 10 % (0.5) 8 ml dalam 500 ml
jalan 1008 ml/42 ml/jam

Lipid 20% 96 ml/4 ml/jam (0,5 gr/kgbb/hari)

Protein 10 % 400 ml/17 ml/ jam (1 gr/kgbb/hari)

Inj. Ceftriakson 2 g/24 jam (50 mg/kgbb.hari) H+6

Sucralfat syr 10cc/8 jam


29/9/2020

• S : Kontak minimal, NGT warna merah kehitaman, semalam sempat


muntah darah segar (+)

• O

GCS : GCS : E3M5V1 9

TD : 132/78 mmhg, HR 88x/mnt

RR 22x/mnt, SpO2 : 100%, BB: 40 kg

Mata : pupil anisokor 5mm / 2mm, RC - / +, hematom periorbita +/-, kesan


pstosis mata kanan

N. Cranialis : kesan parese NIII kanan

Leher : kaku kuduk (-)

Motorik : gerak + menurun/+ + menurun / +

Sensorik : respon nyeri (+)

Autonom : NGT tampak kecoklatan residu 200cc, terpasang DC diuresis


1,6cc/kg/jam

Luka operasi : tertutup kassa, rembes (-)

lab 29/9/2020

Hemoglobin 11.4 Hematokrit 34.7

Eritrosit 4.13 Leukosit 17.0 Trombosit 403

D-Dimer Kuantitatif 2730 (3)

Titer Fibrinogen / Fibrinogen Kuantitatif 589.7 (1)

Waktu Prothrombin 10.7, PPT Kontrol 11.4 (0)


Waktu Thromboplastin 42.1, APTT Kontrol 33.3 (1)

DIC Score : 5

A:

• CKB GCS E2M5Vet

• Diffuse injury grade III

• SAH traumatika hemisfer kiri sinistra ( SAH mengisi sisterna silvii,


sisterna basalis, sisterna, sisterna prepontine)

• Contusio serebri frontal kanan

• Fraktur Basis kranii anterior Tipe III (Fraktur dinding medial orbita
kanan,fraktur planum sphenoid)

• Fraktur basis cranii fossa media sinistra (dinding posterior sinus sphenoid
ke petrosus kiri)

• Subgaleal hematome parietotemporal sinistra

• Fraktur linier temporal kiri

• Fraktur zygoma kiri

• Panheamtosinus (Hematosinus maksilaris kanan dan kiri, sphenoid,


ethmoid)

• Obs Perdaraharan saluran cerna

• Suspek DIC

Plan :

- Inf. manitol 100 ml /24 jam intravena  STOP

- Inj. fenitoin 100 mg/24 jam intravena  STOP

- Inj. parasetamol 800 mg/8 jam intravena (bila demam >38 C)


- Inj Omeprazole 20mg/12 jam intravena

- Observasi tanda vital, GCS, produksi NGT

- Konsul Pediatric Sub Gastro : Terapi Omeprazol dan sucralfat


dilanjutkan dahulu

Terapi TS Pediatri :

• Inf. D23% + elektrolit : terdiri dari D40% 239 ml + D10% 209 ml + NaCl
3%(2) 29 ml + KCL (2) 15 ml + ca glukonas 10 % (0.5) 8 ml dalam 500
ml jalan 1008 ml/42 ml/jam

• Lipid 20% 96 ml/4 ml/jam (0,5 gr/kgbb/hari)

• Protein 10 % 400 ml/17 ml/ jam (1 gr/kgbb/hari)

• Inj. Ceftriakson 2 g/24 jam (50 mg/kgbb.hari) H+8

• Sucralfat syr 10cc/8 jam

• Inj Asam traneksamat 500mg/8 jam intravena

1/10/2020

• S : Kontak minimal, demam (-), NGT sedikit kecoklatan

• O

GCS : GCS : E3M5V1 9

TD : 123/68 mmhg, HR 77x/mnt

RR 20x/mnt, SpO2 : 100%, BB: 40 kg

Mata : pupil anisokor 5mm / 2mm, RC - / +, hematom periorbita +/-, kesan


pstosis mata kanan

N. Cranialis : kesan parese NIII kanan


Leher : kaku kuduk (-)

Motorik : gerak + menurun/+ + menurun / +

Sensorik : respon nyeri (+)

Autonom : NGT tampak kecoklatan residu 200cc, terpasang DC diuresis


1,6cc/kg/jam

Luka operasi : tertutup kassa, rembes (-)

lab 29/9/2020

Hemoglobin 11.4 Hematokrit 34.7

Eritrosit 4.13 Leukosit 17.0 Trombosit 403

D-Dimer Kuantitatif 2730 (3)

Titer Fibrinogen / Fibrinogen Kuantitatif 589.7 (1)

Waktu Prothrombin 10.7, PPT Kontrol 11.4 (0)

Waktu Thromboplastin 42.1, APTT Kontrol 33.3 (1)

DIC Score : 5

A:

• CKB GCS E2M5Vet

• Diffuse injury grade III

• SAH traumatika hemisfer kiri sinistra ( SAH mengisi sisterna silvii,


sisterna basalis, sisterna, sisterna prepontine)

• Contusio serebri frontal kanan

• Fraktur Basis kranii anterior Tipe III (Fraktur dinding medial orbita
kanan,fraktur planum sphenoid)
• Fraktur basis cranii fossa media sinistra (dinding posterior sinus sphenoid
ke petrosus kiri)

• Subgaleal hematome parietotemporal sinistra

• Fraktur linier temporal kiri

• Fraktur zygoma kiri

• Panheamtosinus (Hematosinus maksilaris kanan dan kiri, sphenoid,


ethmoid)

• Obs Perdaraharan saluran cerna (Perbaikan)

• Suspek DIC perbaikan

Plan :

- Inj. parasetamol 800 mg/8 jam intravena (bila demam >38 C)

- Inj Omeprazole 20mg/12 jam intravena

- Observasi tanda vital, GCS

Terapi TS Pediatri :

• Inf. D23% + elektrolit : terdiri dari D40% 239 ml + D10% 209 ml + NaCl
3%(2) 29 ml + KCL (2) 15 ml + ca glukonas 10 % (0.5) 8 ml dalam 500
ml jalan 1008 ml/42 ml/jam

• Lipid 20% 96 ml/4 ml/jam (0,5 gr/kgbb/hari)

• Protein 10 % 400 ml/17 ml/ jam (1 gr/kgbb/hari)

• Inj. Ceftriakson 2 g/24 jam (50 mg/kgbb.hari) H+8

• Sucralfat syr 10cc/8 jam

• Inj Asam traneksamat 500mg/8 jam intravena STOP


3/10/2020

S : Kontak minimal, demam (-), NGT produksi (-), BAB hitam (-)

GCS : GCS : E3M5V1 9

HR 99 x/mnt RR 24 x/mnt

TD: 124/75 mmhg SpO2: 100%

Nadi : reguler, isi/tegangan cukup

Mata : pupil anisokor 5mm / 2mm, RC - / +, hematom periorbita +/-, kesan


pstosis mata kanan

N. Cranialis : kesan parese NIII kanan

Leher : kaku kuduk (-)

Motorik : gerak + menurun/+ + menurun / +

Sensorik : respon nyeri (+)

Autonom : NGT produksi (-), terpasang DC produksi diuresis


1.1cc/kg/jam

Luka operasi : tertutup kassa, sedikit rembes (-)

lab 29/9/2020

Hemoglobin 11.4 Hematokrit 34.7

Eritrosit 4.13 Leukosit 17.0 Trombosit 403.000


• CKB GCS E2M5Vet

• Diffuse injury grade III

• SAH traumatika hemisfer kiri sinistra ( SAH mengisi sisterna silvii,


sisterna basalis, sisterna, sisterna prepontine)

• Contusio serebri frontal kanan

• Fraktur Basis kranii anterior Tipe III (Fraktur dinding medial orbita
kanan,fraktur planum sphenoid)

• Fraktur basis cranii fossa media sinistra (dinding posterior sinus sphenoid
ke petrosus kiri)

• Subgaleal hematome parietotemporal sinistra

• Fraktur linier temporal kiri

• Fraktur zygoma kiri

• Panheamtosinus (Hematosinus maksilaris kanan dan kiri, sphenoid,


ethmoid)

• Obs Perdaraharan saluran cerna (Perbaikan)

• Suspek DIC perbaikan

Plan :

- Inj. parasetamol 800 mg/8 jam intravena (bila demam >38 C)

- Inj Omeprazole 20mg/12 jam intravena

- Observasi tanda vital, GCS

- Edukasi Keluarga cara menggunakan NGT dan melatih mobilisasi


dengan kursi roda
- Rencana rawat jalan dengan terpasang NGT (Menunggu pemberian
ceftriaxone H14)

Terapi TS Pediatri :

• Inf. D23% + elektrolit : terdiri dari D40% 239 ml + D10% 209 ml + NaCl
3%(2) 29 ml + KCL (2) 15 ml + ca glukonas 10 % (0.5) 8 ml dalam 500
ml jalan 1008 ml/42 ml/jam

• Lipid 20% 96 ml/4 ml/jam (0,5 gr/kgbb/hari)

• Protein 10 % 400 ml/17 ml/ jam (1 gr/kgbb/hari)

• Inj. Ceftriakson 2 g/24 jam (50 mg/kgbb.hari) H+10

• Sucralfat syr 10cc/8 jam

• Dicoba diet enteral dengan susu pregestemil 8x100cc

07/10/2020

S : Kontak minimal, demam (-), NGT produksi kehitaman, BAB hitam (+)

GCS : GCS : E3M5V1 9

HR 99 x/mnt RR 24 x/mnt

TD: 124/75 mmhg SpO2: 100%

Nadi : reguler, isi/tegangan cukup

Mata : pupil anisokor 5mm / 2mm, RC - / +, hematom periorbita +/-, kesan


pstosis mata kanan

N. Cranialis : kesan parese NIII kanan


Leher : kaku kuduk (-)

Motorik : gerak + menurun/+ + menurun / +

Sensorik : respon nyeri (+)

Autonom : NGT produksi residu warna coklat kehitaman 150cc dalam


10 jam, terpasang DC produksi diuresis 1.2 cc/kg/jam

Luka operasi : baik, pus (-), darah (-)Truncal : ulkus (-), lecet kemerahan (-)

Lab 05/10/2020

Hemoglobin 10.6 L Hematokrit 32.5 Eritrosit 3.75

Leukosit 15.000 H Trombosit 695.000 H

Elektrolit Natrium 139 Kalium 5.4 Chlorida 96

- D-Dimer Kuantitatif 740 mcg/L ( score 3)-

- Waktu Prothrombin 13.1, PPT Kontrol 11.2 (2)-

- Titer Fibrinogen /Fibrinogen Kuantitatif 619 (0)

- total score DIC 5

• CKB GCS E2M5Vet

• Diffuse injury grade III

• SAH traumatika hemisfer kiri sinistra ( SAH mengisi sisterna silvii,


sisterna basalis, sisterna, sisterna prepontine)

• Contusio serebri frontal kanan

• Fraktur Basis kranii anterior Tipe III (Fraktur dinding medial orbita
kanan,fraktur planum sphenoid)
• Fraktur basis cranii fossa media sinistra (dinding posterior sinus sphenoid
ke petrosus kiri)

• Subgaleal hematome parietotemporal sinistra

• Fraktur linier temporal kiri

• Fraktur zygoma kiri

• Panheamtosinus (Hematosinus maksilaris kanan dan kiri, sphenoid,


ethmoid)

• Hematemesis

Plan :

- Inj. parasetamol 800 mg/8 jam intravena (bila demam >38 C)

- Inj Omeprazole 20mg/12 jam intravena

- Observasi tanda vital, GCS

- Tunda Rawat Jalan

Terapi TS Pediatri :

• Diet TPN

• Inf. D23% + elektrolit : terdiri dari D40% 239 ml + D10% 209 ml + NaCl
3%(2) 29 ml + KCL (2) 15 ml + ca glukonas 10 % (0.5) 8 ml dalam 500
ml jalan 1008 ml/42 ml/jam

• Lipid 20% 96 ml/4 ml/jam (0,5 gr/kgbb/hari)

• Protein 10 % 400 ml/17 ml/ jam (1 gr/kgbb/hari)

• Inj. Ceftriakson 2 g/24 jam (50 mg/kgbb.hari) H+14 STOP

• Sucralfat syr 10cc/8 jam


S : Kontak minimal, demam (-), NGT produksi jernih, BAB masih hitam
(+)

GCS : E4M5Vsusp afasia

HR 88 x/mnt

RR 20 x/mnt

Nadi isi dan tegangan cukup

Mata : pupil anisokor 5mm / 2mm, RC - / +, hematom periorbita -/-, kesan


pstosis mata kanan

N. Cranialis : kesan parese NIII kanan

Leher : kaku kuduk (-)

Motorik : gerak + menurun/+ + menurun / +

Sensorik : respon nyeri (+)

Autonom : NGT produksi residu jernih 50cc dalam 10 jam, terpasang


DC produksi diuresis 0.9 cc/kg/jam

Luka operasi : baik, pus (-), darah (-)

Truncal : ulkus (-), lecet kemerahan (-)

Lab 05/10/2020

Hemoglobin 10.6 L Hematokrit 32.5 Eritrosit 3.75

Leukosit 15.000 H Trombosit 695.000 H

Elektrolit Natrium 139 Kalium 5.4 Chlorida 96


- D-Dimer Kuantitatif 740 mcg/L ( score 3)-

- Waktu Prothrombin 13.1, PPT Kontrol 11.2 (2)-

- Titer Fibrinogen /Fibrinogen Kuantitatif 619 (0)

- total score DIC 5

• CKB GCS E2M5Vet

• Diffuse injury grade III

• SAH traumatika hemisfer kiri sinistra ( SAH mengisi sisterna silvii,


sisterna basalis, sisterna, sisterna prepontine)

• Contusio serebri frontal kanan

• Fraktur Basis kranii anterior Tipe III (Fraktur dinding medial orbita
kanan,fraktur planum sphenoid)

• Fraktur basis cranii fossa media sinistra (dinding posterior sinus sphenoid
ke petrosus kiri)

• Subgaleal hematome parietotemporal sinistra

• Fraktur linier temporal kiri

• Fraktur zygoma kiri

• Panheamtosinus (Hematosinus maksilaris kanan dan kiri, sphenoid,


ethmoid)

• Hematemesis, melena perbaikan

Plan :

- Inj Omeprazole 20mg/12 jam intravena  besok (9/10/2020) Stop 


Observasi bila baik rawat jalan

- Edukasi keluarga menggunakan NGT dan cara menyuapi perlahan


- Edukasi mobilisasi latihan menggunakan korsi roda

- Persiapan Rawat Jalan

 Pasien rawat jalan tanggal 11/10/2020

Anda mungkin juga menyukai