Anda di halaman 1dari 7

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Pendahuluan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Anatomi Tibia
Tibia merupakan tulang medial tungkai bawah yang besar dan berfungsi
menyanggah berat badan. Di proksimal, tibia bersendi dengan condylus femoris
dan caput fibulae dan di distal dengan talus dan ujung distal fibula. Tibia
mempunyai ujung atas yang melebar dan ujung bawah yang lebih kecil, serta
sebuah korpus.
Pada ujung atas terdapat condylus lateralis dan medialis (kadang-kadang
disebut tibial plateu lateral dan medial), yang bersendi dengan condylus lateralis
dan medialis femoris, dan dipisahkan oleh meniscus lateralis dan medialis.
Permukaan atas facies articularis condylus tibiae terbagi atas area intercondylaris
anterior dan posterior, di antara kedua area ini terdapat eminentia intercondylaris.
Pada aspek lateral condylus lateralis terdapat facies articularis fibularis yang
kecil dan melingkar, dan bersendi dengan caput fibulae. Pada aspek posterior
condylus medialis tedapat insersi musculus semimembraneous.
Corpus tibiae berbentuk segitiga pada potongan melintangnya, dan
mempunyai tiga margo dan tiga facies. Margo anterior dan medial, serta facies
medialis di antaranya terletak subkutan. Margo anterior menonjol dan
membentuk tulang kering. Pada pertemuan antara margo anterior dan ujung atas
tibia terdapat tuberositas, yang merupakan tempat lekat ligamentum patellae.
Margo anterior di bawah membulat, dan melanjutkan diri sebagai malleolus
medialis. Margo lateral atau margo interosseus memberikan tempat perlekatan
untuk membrana interossea.
Permukaan posterior corpus tibiae mempunyai linea obliqua, yang disebut
linea musculi solei, untuk tempat lekatnya musculus soleus.
Ujung bawah tibia sedikit melebar pada aspek inferiornya terdapat
permukaan sendi berbentuk pelana untuk talus. Ujung bawah memanjang ke
bawah dan medial untuk membentuk malleolus medialis. Facies lateralis
malleolus medialis bersendi dengan talus. Pada permukaan lateral ujung bawah
tibia terdapat lekukan yang lebar dan kasar untuk bersendi dengan fibula.
2.2. Epidemiologi
Fraktur tibia merupakan fraktur tulang panjang yang paling sering terjadi
dimana menyumbang sekitar 17% dari seluruh kasus fraktur tungkai bawah.
Lokasi fraktur yang sering terjadi adalah fraktur proksimal 1/3 tibia sekitar 5-
10%. Fraktur terbuka pada tibia sering terjadi sekitar 12-47% dikarekan letak
tulang dengan berada di subcutaneus. Secara demografis, fraktur tibia paling
sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan. Pada pasien usia muda (<30
tahun) terjadi dikarenakan mekanisme high-energy dan fraktur komunikans,
sedangkan pada usia tua (>50 tahun) disebabkan oleh terjatuh dan mekanisme
low-energy.

2.3. Etiologi
Fraktur tibia dapat terjadi karena adanya mekanisme low and high energy.
Pada mekanisme low energy diakibatkan oleh cedera torsional tidak langsung
sehingga mengarah ke pola fraktur spiral dengan fraktur fibula pada tingkat yang
berbeda. Fraktur low energy berhubungan dengan farktur malleolus posterior
dengan fraktur spiral distal tibia dan juga lebih sering dikaitkan dengan tingkat
cedera jaringan lunak yang lebih rendah.

Mekanisme high energy pada fraktur tibia diakibatkan oleh kekuatan


langsung sehingga menyebabkan fraktur pada baju atau fraktur oblik yang
mungkin memiliki kominusi signifikan dengan fraktur fibula pada tingkat yang
sama. Mekanisme high energy pada fraktur tibia lebih mungkin dikaitkan dengan
cedera jaringan lunak yang lebih parah. Hal ini dapat terlihat dengan Oestern and
Tscherne II/III dan fraktur terbuka.

2.4. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur bersifat deskriptif berdasarkan pola dan lokasi fraktur.
Adapun beberapa klasifikasi pada fraktur tibia yaitu AO/OTA, Oestern and
Tscerne pada fraktur tertutup, dan Gustilo-Anderson untuk fraktur terbuka.
a. Klasifikasi AO/OTA
Klasifikasi ini didasarkan oleh morfologi fraktur. Pengelompokkan A,
B, C digunakan untuk mendeskripsikan morfologi fraktur. Klasifikasi ini
tidak menilai cedera pada jaringan lunak.

b. Klasifikasi Oestern and Tscerne


Klasifikasi ini digunakan untuk menilai derajat keparahan pada fraktur
terbuka
Grade Identifikasi
Grade 0 Cedera akibat tekanan tidak langsung dengan keruskaan
jraingan lunak yang dapat diabaikan
Grade I Kontusio/abrasi superfisial, fraktur sederhana
Grade II Abrasi dalam, memar oto.kulit, trauma langsung,
sindrom kompartemen akan muncul.
Grade III Memar kulit yang berlebihan, kulit hacur atau kerusakan
otot, degloving subkutan, sindrom kompartemen akut,
dan pecahnya pembuluh darah atau saraf utama

c. Klasifikasi Gustilo-Anderson
Klasifikasi ini digunakan untuk menilai derajat keparahan pada fraktur
terbuka dan paling sering digunakan. Tipe pada klasifikasi ini ditentukan
intraoperatif setelah debridemen
Tipe Identifikasi Gambar
Type I Pengelupasan periosteal
terbatas, luka bersih <1
cm.
Type II Pengelupasan periosteal
minimal, panjang luka >1
cm tanpa kerusakan
jaringan lunak yang luas.

Type IIIA Cederan jaringan lunak


yang signifikan (sering
dibuktikan dengan fraktur
segmental atau
komunikans),
pengelupasan periosteal
yang signifikan, panjang
luka biasanya >5 cm, tidak
diperlukan flap.
Type IIIB Pengelupasan periosteal
yang signifikan dan cedera
jaringan lunak, diperlukan
flap karena cakupan
jaringan lunak yang tidak
memadai.
Type IIIC Cedera jaringan lunak
yang signifikan (sering
dibuktikan dengan fraktur
segmental atau
komunikas(, cedera
vaskular yang memerlukan
perbaikan untuk
mempertahankan viabilitas
ekstermitas.
2.5. Diagnosis
a. Anamnesis
Pada pasien yang sadar maka fraktur tibia jelas dapat dikenali. Adanya
nyeri dan deformitas tampak jelas. Hal yang perlu diperhatian adalah adanya
pembengkakkan jaringan lunak pada tempat fraktur. Pada pasien yang tidak
sara dan mempunyai riwayat trauma maka tibia perlu diperiksa secara
menyeluruh. Pada anamnesis juga perlu ditanyakan mekanisme terjadinya
cedera. Anamnesa dilakukan untuk mengetahui penyebab fratur dan
memperkirakan kerusakan jaringan lunak akibat fraktur tersebut.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada permeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan terhadapt derajat nyeri
dan status neurovaskular. Perhatian khusus diberikan untuk mengenali tanda-
tanda sinroma kompartemen. Pada fraktur tibia dapat terjadi kerusakan
nervus peroneal komunis dan percabangannya seperti nervus tibialis
posterior, nervus sural, dan nervus saphenous. Pulsasi arteri dan capillary
refill time perlu dinilai. Jika terdapat luka terbuka maka perlu dideskripsikan
tentang ukuran dan derajat kontaminasinya.
c. Pemeriksaan Penunjang
a) Radiologis
Pada kasus fraktur tibia dilakukan pengambilan foto x-ray
anteroposterior dan lateral. Padangan AP, lateral dan oblique dari lutut
dan pergelangan kaki ipsilateral untuk melihat luas fraktur. Pemerikaan
radiografi dapat diulangi untuk evaluasi setelah pemasangan splint atau
manipulasi fraktur.
b) CT scan

2.6. Tatalaksana
Non operatif
Operatif

2.7. Komplikasi
Nyeri kaki depan
Malunion
Nonunion
Malrotasi
Sindroma Kompartmen
Gangguan Saraf
Infeksi

2.8. Prognosis
Prognosis pada fraktur tibia dipengaruhi oleh derajat keparahan serta penanganan
yang tepat. Pada penelitian follow up jangka panjang pada 568 pasien dengan
fraktur shaft tibia dimana 90,7% menyatu kembali, 46% bebas nyeri, 75%
kembali ke pekerjaan sebelum cedera, 9% kembali ke pekerjaan yang tidak
terlalu menuntut fisik, 20,1% tidak dapat kembali bekerja dikarenakan cacat.

BAB 3 KESIMPULAN
Fraktur tibia diafisis adalah fraktur tulang panjang yang paling umum. Diagnosis
dikonfirmasi dengan radiografi polos tibia dan sendi yang berdekatan. Perawatan
umumnya operatif dengan intramedullary nailing. Dalam kasus yang jarang terjadi,
fiksasi eksternal atau ORIF lebih tepat tergantung pada lokasi dan orientasi fraktur.

Anda mungkin juga menyukai