Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan


yang terstandar untuk mengurangi resiko infeksi. Selain mencegah infeksi juga
diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak. Beberapa
hal yang penting untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur terbuka yaitu operasi
yang dilakukan dengan segera, secara hati-hati, debridement yang berulang-ulang,
stabilisasi fraktur, penutupan kulit dan bone grafting yang dini serta pemberian
antibiotik yang adekuat. Sepertiga dari pasien fraktur terbuka biasanya mengalami
cidera multipel. 1
Fraktur terbuka terjadi dalam banyak cara, dan lokasi serta tingkat keparahan
cideranya berhubungan langsung dengan lokasi dan besarnya gaya yang mengenai
tubuh. Fraktur terbuka dapat disebabkan oleh luka tembak, trauma kecelakaan lalu
lintas, ataupun kecelakaan kerja yang berhubungan dengan himpitan pada jaringan
lunak dan devitalisasi. 2 Fraktur terbuka sering membutuhkan pembedahan segera untuk
membersihkan area mengalami cidera. Karena diskontinuitas pada kulit, debris dan
infeksi dapat masuk ke lokasi fraktur dan mengakibatkan infeksi pada tulang. Infeksi
pada tulang dapat menjadi masalah yang sulit ditangani. Gustilo dan Anderson
melaporkan bahwa 50,7 % dari pasien mereka memiliki hasil kultur yang positif pada
luka mereka pada evaluasi awal. Sementara 31% pasien yang memiliki hasil kultur
negatif pada awalnya, menjadi positif pada saat penutupan definitf. Oleh karena itu,
setiap upaya dilakukan untuk mencegah masalah potensial tersebut dengan penanganan
dini. Dengan demikian penanganan fraktur terbuka tidak hanya bertujuan untuk memicu
penyembuhan fraktur dan pengembalian fungsi, namun juga bertujuan untuk mencegah
infeksi maka dilakukan Debridement. Jaringan yang telah kehilangan suplai darahnya
dapat menghambat proses penyembuhan luka dan merupakan media yang baik untuk
tumbuhnya kuman. 2,3,5
Fraktur tibia dan fibula merupakan fraktur yang paling banyak dari fraktur tulang
panjang. Populasi rata-rata menunjukan bahwa sekitar 26 tibia diafisis mengalami
fraktur per 100.00 populasi per tahun. Pada sebuah penelitian prospektif mengenai

1
infeksi pada fraktur terbuka didapatkan 78,7 % dari seluruh kasus fraktur terbuka
terkontaminasi oleh bakteri.
Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes
(1809-1894) berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani :An berarti tidak,
dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri. Secara harafiah berarti ketiadaan rasa atau
sensasi nyeri.6Anesthesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang memberikan
pelayanan medis terhadap pasien dalam hal-hal: pemberian anasthesia dan analgesia;
menjaga keselamatan pasien yang menjalani pembedahan atau tindakan medis lainnya;
bantuan resusitasi pasien gawat; mengelola unit perawatan/terapi intensif; memberi
pelayanan terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri serta berperan aktif mengelola
kedokteran gawat darurat serta tidak terlepas juga dari pelayanan sedasi.7
Ada tiga kategori utama anestesi yaitu anestesi umum, anestesi regional dan
anestesi lokal. Seorang ahli anestesi akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya
terbaik dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing
tindakannya tersebut. Anestesi regional biasanya digunakan untuk kasus bedah yang
pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang
lebih besar. Misalnya, pada persalinan caesar, operasi usus buntu, operasi pada lengan
dan tungkai. Caranya dengan menginjeksi obat-obat bius pada bagian utama pengantar
register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang belakang.
Sehingga, obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu. Sensasi nyeri
yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi akan terhambat dan tak dapat
diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi atau efek mati rasa akan lebih
luas dan lama dibanding anestesi lokal. Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari
perut ke bawah. Namun, oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat
atau otak, maka pasien yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu
berkomunikasi, walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi.
Anestesi regional dapat meliputi spinal, epidural dan caudal. Anestesi spinal juga
disebut sebagai subarachnoid block (SAB) umumnya digunakan pada operasi tubuh
bagian bawah, seperti ekstremitas bawah, perineum, maupun abdomen bagian bawah.
Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat
bahwa anestesia regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini
sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia.8

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fraktur terbuka


a. Definisi
Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terdapat hubungan fragmen fraktur
dengan dunia luar, baik ujung fragmen fraktur tersebut yang menembus dari dalam
hingga ke permukaan kulit atau kulit dipermukaan yang mengalami penetrasi suatu
objek yang tajam dari luar hingga kedalam. Fraktur terbuka sering timbul
komplikasi berupa infeksi. Infeksi bisa berasal dari flora normal di kulit ataupun
bakteri pathogen khususnya bakteri gram (-). Golongan flora normal kulit, seperti
Staphylococus, Propionibacterium acne.Selain dari flora normal kulit, hasil juga
menunjukan gambaran bakteri yang bersifat pathogen , tergantung dari paparan
(kontaminasi) lingkungan pada saat terjadinya fraktur. 4 fraktur tibia fibula adalah
Terputusnya hubungan tulang tibia dan fibula bagian distal yang disebabkan oleh
cedera pada tungkai bawah, baik trauma langsung maupun trauma tidak langsung.

b. Anatomi
Tibia merupakan tulang medial tungkai bawah yang besar dan berfungsi
menyanggah berat badan. Tibia bersendi di atas dengan condylus femoris dan caput
fibulae, di bawah dengan talus dan ujung distal fibula. Tibia mempunyai ujung atas
yang melebar dan ujung bawah yang lebih kecil, serta sebuah corpus. Pada ujung
atas terdapat condyli lateralis dan medialis (kadang-kadang disebut plateau tibia
lateral dan medial), yang bersendi dengan condyli lateralis dan medialis femoris,
dan dipisahkan oleh menisci lateralis dan medialis. Permukaan atas facies
articulares condylorum tibiae terbagi atas area intercondylus anterior dan posterior;
di antara kedua area ini terdapat eminentia intercondylus. Pada aspek lateral
condylus lateralis terdapat facies articularis fibularis circularis yang kecil, dan
bersendi dengan caput fibulae. Pada aspek posterior condylus medialis terdapat
insertio m.semimembranosus. Corpus tibiae berbentuk segitiga pada potongan
melintangnya, dan mempunyai tiga margines dan tiga facies. Margines anterior dan
medial, serta facies medialis diantaranya terletak subkutan. Margo anterior
menonjol dan membentuk tulang kering.

3
Pada pertemuan antara margo anterior dan ujung atas tibia terdapat tuberositas,
yang merupakan tempat lekat ligamentum patellae. Margo anterior di bawah
membulat, dan melanjutkan diri sebagai malleolus medialis. Margo lateral atau
margo interosseus memberikan tempat perlekatan untuk membrane interossea.
Facies posterior dan corpus tibiae menunjukkan linea oblique, yang disebut linea
musculi solei, untuk tempatnya m.soleus. Ujung bawah tibia sedikit melebar dan
pada aspek inferiornya terdapat permukaan sendi berbentuk pelana untuk os.talus.
ujung bawah memanjang ke bawah dan medial untuk membentuk malleolus
medialis. Facies lateralis dari malleolus medialis bersendi dengan talus. Pada facies
lateral ujung bawahtibia terdapat lekukan yang lebar dan kasar untuk bersendi
dengan fibula. Musculi dan ligamenta penting yang melekat pada tibia.3

Gambar 1. Anatomi tibia dan fibula

c. Klasifikasi
Menurut Gustilo dan Anderson, fraktur terbuka dibagi menjadi 3 kelompok :
Grade I : kulit terbuka < 1 cm, bersih, biasanya dari luar ke dalam;
kontusio otot minimal; fraktur simple transverse atar short
oblique.
Grade II : laserasi > 1 cm, dengan kerusakan jaringan lunak yang luas,
kerusakan komponen minimal hingga sedang; fraktur simple
transverse atau short oblique dengan kominutif yang minimal
Grade III : kerusakan jaringan lunak yang luas, termasuk otot, kulit,
struktur neurovaskular seringkali merupakan cidera oleh energi
yang besar dengan kerusakan komponen yang berat.

4
III A : laserasi jaringan lunak yang luas, tulang tertutup secara
adekuat; fraktur segmental, luka tembak, periosteal stripping
yang minimal
III B : cidera jaringan lunak yang luas dengan periosteal
stirpping dan tulang terekspos, membutuhkan penutupan flap
jaringan lunak; sering berhubungan dengan kontaminasi yang
massif
III C : cidera vaskuler yang membutuhkan perbaikan 1

Gambar 2. Klasifikasi Fraktur Terbuka Berdasarkan Gustilo dan Anderson

Orthopaedic Trauma Association (OTA) membagi fraktur diafisis tibia


berdasarkan pemeriksaan radiografi, terbagi 3 grup, yaitu: simple, wedge dan
kompleks. Masing±masing grup terbagi lagi menjadi 3 yaitu:
A. Tipe simple, terbagi 3: spiral, oblik, tranversal.
B. Tipe wedge, terbagi 3: spiral, bending, dan fragmen.
C. Tipe kompleks, terbagi 3: spiral, segmen, dan iregular

5
Gambar 3. Klasifikasi fraktur diafisis tibia mengikut Orthopaedic Trauma
Association (OTA).

d. Etiologi
Fraktur terbuka disebabkan oleh energi tinggi trauma, paling sering dari pukulan
langsung, seperti dari jatuh atau tabrakan kendaraan bermotor. Dapat juga
disebabkan oleh luka tembak, maupun kecelakaan kerja. Tingkat keparahan cidera
fraktur terbuka berhubungan langsung dengan lokasi dan besarnya gaya yang
mengenai tubuh. Ukuran luka bisa hanya beberapa milimeter hingga terhitung
diameter. Tulang mungkin terlihat atau tidak terlihat pada luka. Fraktur terbuka
lainnya dapat mengekspos banyak tulang dan otot, dan dapat merusak saraf dan
pembuluh darah sekitarnya. Fraktur terbuka ini juga bisa terjadi secara tidak
langsung, seperti cidera tipe energi tinggi yang memutar. 2, 5

e. Patofisiologi
Ketika patah tulang, akan terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum
tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut adalah terjadi perdarahan,
kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematom pada
kanal medulla antara tepi tulang dibawah periosteum dan jaringan tulang yang
mengitari fraktur. Terjadinya respon inflamasi akibat sirkulasi jaringan nekrotik
adalah ditandai dengan vasodilatasi dari plasma dan leukosit.

6
Ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan
untuk memperbaiki cidera, tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang.
Hematom yang terbentuk bisa menyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum
tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan lemak
tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai organ-organ yang lain.
Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan
kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskhemik dan
menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini menyebabkan
terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung saraf, yang bila
berlangsung lama bisa menyebabkan syndrome compartment.
Compartment syndrome yaitu suatu keadaan peningkatan tekanan jaringan
dalam ruang anatomis yang berbatas menyebabkan penurunan aliran darah yang
menimbulkan iskemia disfungsi unsur mioneural yang ada di dalamnya, ditandai
dengan nyeri, kelemahan otot, hilangnya sensorik, dan ketegangan yang dapat
diraba pada ruang yang bersangkutan. Iskemia dapat menimbulkan nekrosis yang
mengakibatkan gangguan fungsi yang permanen. Gejala klinis yang terjadi pada
sindrom kompartemen dikenal dengan 5P, yaitu:
1) Pain (nyeri)
Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada
trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika
munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak
semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang
tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
2) Pallor (pucat)
Diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut.
3) Pulselessness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)
4) Parestesia (rasa kesemutan)
5) Paralysis: Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang
berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena sindrom kompartemen.

7
f. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala fraktur adalah sebagai berikut (Lukman & Ningsih, 2011):
1. Nyeri dan terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur yang merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian yang fraktur tidak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap regid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan
deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang dapat diketahui dengan
membandingkan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan
baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melekatnya otot.
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnya
terjadi karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
4. Saat tempat fraktur di periksa teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus
akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi sebagai
akibat trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa terjadi
setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cidera.

g. Diagnosis
1. Anamnesis

Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik


yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan
untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan
cermat karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan
mungkin fraktur terjadi pada daerah lain.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
a. Syok, anemia atau perdarahan.
b. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang
belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan
abdomen.

8
c. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis.
3. Pemeriksaan lokal
a. Inspeksi (Look)
 Bandingkan dengan bagian yang sehat.
 Perhatikan posisi anggota gerak.
 Keadaan umum penderita secara keseluruhan.
 Ekspresi wajah karena nyeri.
 Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan.
 Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau fraktur terbuka.
 Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa
hari.
 Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
kependekan.
 Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada
organ-organ lain.
 Perhatikan kondisi mental penderita.
 Keadaan vaskularisasi.
b. Palpasi (Feel)

Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya


mengeluh sangat nyeri.
 Temperatur setempat yang meningkat.
 Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya
disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat
fraktur pada tulang.
 Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan
secara hati-hati.
 Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi
arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai
dengan anggota gerak yang terkena.

9
 Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian
distal daerah trauma , temperatur kulit.
 Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk
mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai.
c. Pergerakan (Move)

Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara


aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami
trauma. Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan
menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh
dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.

4. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan
motoris serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia,
aksonotmesis atau neurotmesis. Kelaianan saraf yang didapatkan harus
dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan masalah asuransi dan
tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk pengobatan
selanjutnya.

5. Pemeriksaan Radiologis
1. Pemeriksaan rotgen (sinar X) untuk menentukan lokasi atau luasnya
fraktur/trauma.
2. Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI untuk memperlihatkan fraktur.
Pemeriksaan penunjang ini juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram, dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
4. Hitung darah lengkap Hematokrit (Ht) mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur
atau organ jauh pada trauma multipel). Peningkatan jumlah sel darah putih
adalah respons stress normal setelah trauma.
5. Kreatinin Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.

10
6. Profil koagulasi, Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multipel, atau cedera hati

h. Penanganan
Prinsip penanganan fraktur terbuka :
a. Semua fraktur terbuka dikelola secara emergensi.
b. Lakukan penilaian awal akan adanya cedera lain yang dapat mengancam
jiwa.
c. Pemberian antibiotik.
d. Lakukan debridement dan irigasi luka.
e. Lakukan stabilisasi fraktur.
f. Pencegahan tetanus.
g. Lakukan rehabilitasi ektremitas yang mengalami fraktur.
Debridement adalah pengangkatan jaringan yang rusak dan mati
sehingga luka menjadi bersih. Untuk melakukan debridement yang adekuat, luka
lama dapat diperluas, jika diperlukan dapat membentuk irisan yang berbentuk
elips untuk mengangkat kulit, fasia serta tendon ataupun jaringan yang sudah
mati. Debridement yang adekuat merupakan tahapan yang penting untuk
pengelolaan. Debridement harus dilakukan sistematis, komplit serta berulang.
Diperlukan cairan yang cukup untuk fraktur terbuka. Grade I diperlukan cairan
yang bejumlah 1-2 liter, sedangkan grade II dan grade III diperlukan cairan
sebanyak 5-10 liter, menggunakan cairan normal saline.
Pemberian antibiotika adalah efektif mencegah terjadinya infeksi pada
pada fraktur terbuka. Antibiotika yang diberikan sebaiknya dengan dosis yang
besar. Untuk fraktur terbuka antibiotika yang dianjurkan adalah golongan
cephalosporin dan dikombinasi dengan golongan aminoglikosida.
Perawatan lanjutan dan rehabilitasi fraktur terbuka :
1. Hilangkan nyeri.
2. Mendapatkan dan mempertahankan posisi yang memadai dan flagmen patah
tulang.
3. Mengusahakan terjadinya union.

11
4. Mengembalikan fungsi secara optimal dengan mempertahankan fungsi otot
dan sendi dan pencegahan komplikasi.
5. Mengembalikan fungsi secara maksimal dengan fisioterapi. 4, 5

Tindakan Pembedahan
Hal ini penting untuk menstabilkan patah tulang sesegera mungkin untuk
mencegah kerusakan jaringan yang lebih lunak. Tulang patah dalam fraktur
terbuka biasanya digunakan metode fiksasi eksternal atau internal. Metode ini
memerlukan operasi.
a. Fiksasi Internal
Selama operasi, fragmen tulang yang pertama direposisi (dikurangi) ke
posisi normal kemudian diikat dengan sekrup khusus atau dengan
melampirkan pelat logam ke permukaan luar tulang. Fragmen juga dapat
diselenggarakan bersama-sama dengan memasukkan batang bawah
melalui ruang sumsum di tengah tulang. Karena fraktur terbuka mungkin
termasuk kerusakan jaringan dan disertai dengan cedera tambahan,
mungkin diperlukan waktu sebelum operasi fiksasi internal dapat
dilakukan dengan aman.
b. Fiksasi Eksternal
Fiksasi eksternal tergantung pada cedera yang terjadi. Fiksasi ini
digunakan untuk menahan tulang tetap dalam garis lurus. Dalam fiksasi
eksternal, pin atau sekrup ditempatkan ke dalam tulang yang patah di atas
dan di bawah tempat fraktur. Kemudian fragmen tulang direposisi. Pin
atau sekrup dihubungkan ke sebuah lempengan logam di luar kulit.
Perangkat ini merupakan suatu kerangka stabilisasi yang menyangga
tulang dalam posisi yang tepat.

Luka Kompleks (Complex Wounds)


Berdasarkan jumlah jaringan lunak yang hilang, luka-luka kompleks
dapat ditutupi dengan menggunakan metode yang berbeda, yakni :
a. Lokal Flap

12
Jaringan otot dari ekstremitas yang terlibat diputar untuk menutupi fraktur.
Kemudian diambil sebagian kulit dari daerah lain dari tubuh (graft) dan
ditempatkan di atas luka.

b. Free Flap
Beberapa luka mungkin memerlukan transfer lengkap jaringan. Jaringan
ini sering diambil dari bagian punggung atau perut. Prosedur free flap
membutuhkan bantuan dari seorang ahli bedah mikrovaskuler untuk
memastikan pembuluh darah terhubung dan sirkulasi tetap berjalan. 5

i. Komplikasi
1. perdarahan, syok septik kematian
2. septikemi, toksemia oleh karena infeksi piogenik
3. tetanus
4. gangren
5. kekakuan sendi
6. osteomielitis kronik
7. delayed union

2.2 Anestesi spinal


1. ANESTESI BLOK SUBARACHNOID (SAB)
1.1 Definisi
Anestesi spinal (Subaraknoid Spinal Blok) adalah anestesi regional dengan
tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi
spinal atau subaraknoid disebut juga sebagai blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal
ke dalam ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau
L4-L5. Sehingga obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu.
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu
terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi
atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.

13
Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya
perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih
besar. Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah.Namun,
oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka
pasien yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu
berkomunikasi, walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi.

Gambar 4. Anestesi blok subarachnoid

1.1. Anatomi Vertebra

Gambar 5. Anatomi Os Vertebrae

Tulang vertebra terdiri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang
torakal, 5 buah tuang lumbal, 5 buah tulang sakral. Kolumna vertebralis
mempunyai lima fungsi utama, yaitu : (1) menyangga berat kepala dan batang

14
tubuh, (2) melindungi medulla spinalis, (3) memungkinkan keluarnya nervi
spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk perlekatan otot-otot, dan (5)
memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh. Korpus vertebra selain
dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh suatu persendian synovial yang
memungkinkan fleksibilitas tulang punggung, selain itu berguna melindungi
struktur medulla spinalis yang ada di dalamnya.Stabilitas kolumna vertebralis
ditentukan oleh bentuk dan kekuatan masing-masing vertebra, diskus
intervertebralis, ligament dan otot- otot.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi subaraknoid
adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis. Medulla spinalis
berjalan mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus medularis
(segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda equina).Penting
diperhatikan bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara vertebra T12 hingga
L1.
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark
yang lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra,
diantaranya adalah:
a. Vertebra C7 : merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang paling
terlihat di daerah leher.
b. Papilla Mamae : lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 3-4
c. Epigastrium : lokasi ini kurang lebih berada disekitar vertebra torakal 5-6
d. Umbilikus : lokasi ini kurang lebih berada setinggi vertebra torakal 10
e. Krista iliaka : lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis 4-5

15
Gambar 6 Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna vertebralis

Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi
spinal
1. Kutis
2. Subkutis : ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah meraba ruang
invertebralis pada pasien yang memiliki laisan subkutis yang tipis.
3. Ligamentum supraspinosum : ligamentum yang menghubungkan ujung
procesus spinosus.
4. Ligamnetum interspinosum
5. Ligamentum flavum : ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm.
sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal dari
lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligament ini, akan terasa
sensasi mencengkeram dan berbeda.
6. Epidural : ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang
keluar dari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah
tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
7. Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi
spinal. Pada ruangan ini akan dijumpai likuor serebrospinalis (LCS) pada
penusukan.

16
Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat arteri
dan vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan.Terdapat arteri spinalis
posterior yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla. Arteri spinalis anterior
memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla.Terdapat juga arteri radikularis yang
memperdarahi medulla, berjalan di foramen intervertebralis.Sistem vena yang
terdapat di medulla ada 2 yaitu vena medularis anterior dan posterior.

1.2. Indikasi dan Kontraindikasi


a. Indikasi
- Operasi ekstrimitas bawah, baik operasi jaringan lunak, tulang atau
pembuluh darah.
- Operasi di daerah perineal : Anal, rectum bagian bawah, vaginal, dan
urologi.
- Abdomen bagian bawah : Hernia, usus halus bagian distal, appendik,
rectosigmoid, kandung kencing, ureter distal, dan ginekologis
- Abdomen bagian atas : Kolesistektomi, gaster, kolostomi transversum.
Tetapi spinal anestesi untuk abdomen bagian atas tidak dapat dilakukan
pada semua pasien sebab dapat menimbulkan perubahan fisiologis yang
hebat.
- Seksio Sesarea (Caesarean Section).
- Prosedur diagnostik yang sakit, misalnya anoskopi, dan sistoskopi.

b. Kontraindikasi
Kontraindikasi absolut:
- Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal menusuk
pembuluh darah, terjadi perdarahan hebat dan darah akan menekan
medulla spinalis.
- Sepsis, karena bisa terjadi meningitis.
- Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi pergeseran otak
bila terjadi kehilangan cairan serebrospinal.
- Bila pasien menolak.

17
- Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan ditusuk
jarum spinal.
- Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia
pernisiosa,neurosyphilys, dan porphiria.
- Hipotensi, sistolik di bawah 80 – 90 mmHg, syok hipovolemik
- Blok simpatis menyebabkan hilangnya mekanisme kompensasi utama.

Kontra indikasi relatif:


- Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
- Infeksi sekitar tempat suntikan
- Kelainan neurologis
- Kelainan psikis
- Bedah lama
- Penyakit jantung
- Hipovolemia ringan
- Nyeri punggung kronik

1.3. Persiapan dan Peralatan Anestesi Spinal


a. Persiapan analgesia spinal
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau
pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu
perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
- Informed consent (izin dari pasien)
Tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal.
- Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung.
- Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, trombosit, PT (prothrombine time) dan APTT (activated
partial thromboplastine time)

18
b. Peralatan analgesia spinal
- Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri dan EKG.
- Peralatan resusitasi/anestesi umum
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quinckebacock)
atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point whitecare).

1.4. Teknik Anestesi Spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.
a. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala, selain nyaman untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk.
b. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis krista iliaka, misal
L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma
terhadap medulla spinalis.
c. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
d. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3
ml.
e. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit
10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi

19
menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda
yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar
arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat
dimasukan kateter.
f. Posisi
Ada 2 macam posisi dalam melakukan anestesi spinal, yaitu:
1. Posisi Duduk
Dagu pasien menempel di dada, lengan bersandar di lutut dan menggunakan
tempat duduk yang memiliki sandaran kaki.

Gambar 7. Posisi duduk pada anestesi spinal

2. Posisi Lateral
Bahu pasien harus tegak lurus dengan tempat tidur, posisi pinggang di tepi
tempat tidur dan pasien memeluk bantal atau posisi lutut menempel di
dada.Pria cenderung mempunyai bahu yang lebih lebar daripada pinggang
sehingga harus menaikkan posisi kepala ketika berbaring.Wanita dengan
pinggang lebih lebar harus menurunkan posisi kepala.

20
Gambar 8. Posisi lateral dekubitus pada anestesi spinal

1.5. Anestesi Lokal untuk Anestesi Spinal


Obat anestesi lokal yang biasa dipakai untuk spinal anestesi adalah lidokain,
bupivakain, levobupivakain, prokain, dan tetrakain.Berat jenis obat anestetik lokal
mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal
jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan
terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik),
obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan
berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan.
a. Lidokain adalah suatu obat anestesi lokal yang poten, yang dapat memblokade
otonom, sensoris dan motoris. Lidokain berupa larutan 5% dalam 7,5%
dextrose, merupakan larutan yang hiperbarik. Mula kerjanya 2 menit dan lama
kerjanya 1 - 2 jam. Dosis rata-rata 40-50mg untuk persalinan, 75-100mg untuk
operasi ekstrimitas bawah dan abdomen bagian bawah, 100-150mg untuk
spinal analgesia tinggi. Lama analgesi prokain <1 jam, lidokain ± 1-1,5 jam,
tetrakain 2 jam lebih.
b. Bupivakain konsentrasi 0,5% tanpa adrenalin, analgesiknya sampai 8 jam.
Volume yang digunakan < 20 ml.Bupivakain adalah obat anestetik lokal yang
termasuk dalam golongan amino amida. Bupivakain diindikasi pada
penggunaan anestesi lokal termasuk anestesi infiltrasi, blok serabut saraf,
anestesi epidural dan anestesi intratekal. Bupivakain kadang diberikan pada
injeksi epidural sebelum melakukan operasi athroplasty pinggul. Obat tersebut
juga biasa digunakan untuk luka bekas operasi untuk mengurangi rasa nyeri

21
dengan efek obat mencapai 20 jam setelah operasi. Bupivakain dapat diberikan
bersamaan dengan obat lain untuk memperpanjang durasi efek obat seperti
misalnya epinefrin, glukosa, dan fentanil untuk analgesi epidural. Bupivakain
bekerja dengan cara berikatan secara intraselular dengan natrium dan memblok
influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi.
Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut
yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung mielin, maka bupivakain dapat
berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri dibandingkan dengan
serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai selubung mielin
dan ukuran serabut saraf lebih tebal.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
a. Lidokain (xylocain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20-
100 mg (2-5ml)
b. Lidokain (xylocain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003,
sifat hyperbaric, dosis 20-50 mg (1-2 ml)
c. Bupivakain (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis
5-20 mg
d. Bupivakain (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15 mg (1-3 ml)

Tabel 1 . Perbedaan Lidokain dan Bupivakain

Nama Mulai Efek


Durasi
Obat Kerja Obat Samping
Kardiovaskuler:aritmia, bradikardi, spasme arteri,
kolaps kardiovaskuler, ambang defibrilasi meningkat,
udem, flushing, blok jantung, hipotensi, supresi simpul
SA, insufisiensi vaskuler (injeksi periartikuler). SSP:
agitasi, cemas, koma, bingung, disorientasi, pusing,
10 – 20 mengantuk, eforia, halusinasi, sakit kepala,
Lidokain Cepat
menit hiperestesia, letargi, kepala terasa ringan, cemas,
psikosis, seizure, bicara tidak jelas, somnolens, tidak
sadar. Dermatologi: angioedema, memar, dermatitis
kontak, depigmintasi, udem kulit, gatal, petekia,
pruritis, ruam, urtikaria.

Anxietas, gangguan pendengaran, visus turun, depresi


cardiovaskuler, sakit kepala, hipotensi, bradikardi,
Bupivakain Lambat 4 – 8 jam
mual dan muntah.

22
1.6. Komplikasi Anestesi Spinal
Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi tindakan dan
komplikasi pasca tindakan.
a. Komplikasi tindakan
- Hipotensi berat
Efek samping penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah terjadinya
hipotensi. Kejadian hipotensi pada tindakan anestesi spinal merupakan
manifestasi fisiologis yang biasa terjadi. Hal ini terjadi karena: (1) Penurunan
darah balik, penurunan secara fungsional volume sirkulasi efektif karena
venodilatasi, dan penumpukan darah. (2) Penurunan tahanan pembuluh darah
sistemik karena vasodilatasi dan (3) Penurunan curah jantung karena
penurunan kontraktilitas dan denyut jantung.
Mekanisme utama penyebab hipotensi setelah anestesi spinal adalah blok
simpatis yang menyebabkan dilatasi arteri dan vena. Dilatasi arteri
menyebabkan penurunan tahanan perifer total dan tekanan darah sistolik
sampai 30%. Dilatasi vena dapat menyebabkan hipotensi yang berat sebagai
akibat penurunan aliran balik vena dan curah jantung. Tetapi sebetulnya hal ini
tidak boleh terjadi karena ketika terjadi hipotensi, perfusi organ menjadi tidak
adekuat sehingga oksigenasinya tidak adekuat. Hal ini sangat berbahaya pada
pasien dengan kelainan pembuluh coroner (misalnya pada geriatri). Dikatakan
hipotensi jika terjadi penurunan tekanan darah sistolik, biasanya 90 atau 100
mmhg, atau penurunan presentase 20% atau 30% dari biasanya. Dan lamanya
perubahan bervariasi dari 3 sampai 10 menit.Oleh karena itu kejadian hipotensi
harus dicegah.
Ada beberapa cara untuk mencegah atau mengatasi hipotensi akibat spinal
anestesi adalah dengan pemberian cairan prabeban yaitu Ringer Laktat (RL)
dan atau obat vasopressor salah satunya dengan pemberian efedrin. Efedrin
merupakan vasopresor pilihan yang digunakan pada anestesi obstetric sebagai
obat yang diberikan untuk mencegah hipotensi akibat anestesi spinal. Efedrin
adalah obat sintetik non katekolamin yang mempunyai aksi langsung yang

23
menstimuli reseptor β1, β2, α1 adrenergik dan aksi tak langsung dengan
melepaskan nor-epinefrin endogen.
Efedrin akan menyebabkan peningkatan cardiac output, denyut jantung dan
tekanan darah sistolik maupun diastolik. Menurunkan aliran darah splanikus
dan ginjal tetapi meningkatkan aliran darah ke otak dan otot. Pemberian efedrin
dapat secara subkutan, intra muskuler, bolus intravena, dan infus kontinyu dan
pada praktek sehari-hari, efedrin diberikan secara bolus IV 5-10mg bila terjadi
hipotensi akibat anestesi spinal. Jadi lebih bersifat simtomatik bukan
pencegahan.
- Bradikardia
Efek samping kardiovaskuler, terutama hipotensi dan bradikardi adalah
perubahan fisiologis yang paling penting dan sering pada anestesi spinal.
Pemahaman tentang mekanisme homeostasis yang bertujuan untuk mengontrol
tekanan darah dan denyut jantung penting untuk merawat perubahan
kardiovaskuler terkait dengan anestesi spinal.
Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu tanda vital pada
anestesi spinal. Frekuensi denyut nadi yang tidak stabil dapat menyebabkan
bradikardi apabila terdapat penurunan frekuensi denyut nadi yang berlebihan.
Karena itu pemilihan obat anestesi spinal merupakan hal yang penting
mengingat adanya efek-efek yang ditimbulkan. Apabila terjadi penurunan
tekanan darah dan frekuesi denyut nadi yang berlebihan dapat digunakan
efedrin yang berfungsi berdasarkan reseptor adrenergik yang menghasilkan
respon simpatis. Oleh karena efedrin dapat menyebabkan vasokonstriksi
perifer, sehingga pada penggunaan klinis efedrin meningkatkan tekanan darah
dan frekuensi denyut nadi.
- Hipoventilasi akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali
nafas
- Trauma pembuluh saraf
- Trauma saraf
- Mual-muntah
- Gangguan pendengaran
- Blok spinal tinggi atau spinal total

24
Faktor yang mempengaruhi tinggi blok anestesi spinal:
- Volume obat analgetik lokal makin besar maka makin tinggi daerah
analgesia
- Konsentrasi obat makin pekat maka makin tinggi batas daerah analgesia
- Barbotase penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas
daerah analgetik
- Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan : 3 detik untuk 1 ml larutan.
- Maneuver valsava : mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
- Tempat pungsi : pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul kekaudal (saddle block), pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
- Berat jenis larutan : hiper, iso atau hipo barik.
- Tekanan abdominal yang meningkat : dengan dosis yang sama didapat batas
analgesia yang lebih tinggi.
- Tinggi pasien : makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin
besar dosis yang diperlukan (berat badan tidak berpengaruh terhadap dosis
obat)
- Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik
sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan
posisi pasien.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motoris
dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi.

b. Komplikasi Pasca Tindakan


- Nyeri tempat suntikan
- Nyeri punggung
- Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena adanya
kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang dipakai,

25
semakin besar kebocoran yang terjadi, dan semakin tinggi kemungkinan
terjadinya sakit kepala pascaspinal anestesi. Bila duramater terbuka bisa
terjadi kebocoran cairan serebrospinal 1-2 minggu. Kehilangan CSS
sebanyak 20 ml dapat menimbulkan terjadinya sakit kepala. Post spinal
headache (PSH) ini pada 90% pasien terlihat dalam 3 hari postspinal, dan
pada 80% kasus akan menghilang dalam 4 hari.
Supaya tidak terjadi postspinal headache dapat dilakukan pencegahan
dengan :
- Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no. 25,27,29).
- Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga
jarum tidak merobek dura tetapi menyisihkan duramater.
- Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3 hari,
hal ini akan menambah produksi CSF sebagai pengganti cairan yang
hilang.

Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan :


- Memakai abdominal binder
- Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di ruang
epidural tempat kebocoran.
- Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari.
Kejadian post spinal headache10-20% pada umur 20-40 tahun; >10% bila
dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai jarum no.22 ke atas.
Wanita lebih banyak yang mengalami sakit kepala dari pada laki-laki.

1.7. Persiapan dan Penilaian Pra Anestesi


Persiapan tindakan anestesi terdiri dari :
- Dokter anestesi memberi salam kepada pasien dan memperkenalkan dirinya.
- Memeriksa identitas pasien, bila perlu: tanggal lahir, jenis dan lokasi
operasi(misalnya, lutut kanan).
- Bertanya mengenai kapan pasien  makan terakhir kali
- Memeriksa mulut dan keadaan gigi (dalam keadaan terbuka).

26
- Memasang alat monitor standar: EKG, oksimetri, pengukur tekanandarah
arteri.
Tujuan utama kunjungan praanesthesia ialah untuk mengurangi angka
kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan.Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien
sebelum pasien menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan, dilakukan
wawancara (anamnesis) seperti menanyakan apakah pernah mendapat anestesi
sebelumnya, adakah penyakit-penyakit sistemik, saluran napas, dan alergi obat.
Kemudian pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi-geligi, tindakan
buka mulut, ukuran lidah, leher kaku dan pendek. Perhatikan juga hasil
pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan penyakit yang sedang
dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa pendarahan, masa
pembekuan), radiologi, EKG.
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan
dengan status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).
Kelas I : Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitasrutin
terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukanaktivitas
rutin dan penyakitnya merupakan ancamankehidupan setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpapembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat huruf E (E = EMERGENCY).
Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi
lambung karena regurgitasi  atau muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan
lambung dilakukan dengan puasa : anak 4 – 6 jam, bayi 3 – 4 jam., dewasa 6-8
jam.Pada pembedahan darurat pengosongan lambung dapat dilakukan dengan
memasang pipa nasogastrik atau dengan cara lain yaitu menetralkan asam
lambung dengan memberikan antasida (magnesium trisilikat) atau antagonis
reseptor H2 (ranitidin). Kandung kemih juga harus dalam keadaan kosong

27
sehingga boleh perlu dipasang kateter. Sebelum pasien masuk dalam kamar
bedah, periksa ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi izin
pembedahan secara tertulis (informed concent).
a. Penilaian prabedah
Identitas setiap pasien harus lengkap dan harus dicocokan dengan gelang
identitas yang dikenakan pasien. Pasien ditanya lagi mengenai hari dan jenis
bagian tubuh yang akan dioperasi.
- Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapatkan anesthesia
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang
perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak napas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang
anesthesia berikutnya dengan lebih baik.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk
eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan
beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan dan 1-2
minggu untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum alcohol juga
harus dicurigai akan adanya penyakit hepar.
- Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relative
besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi.Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang
keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi,
perkusi, dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
- Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor,
misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, leukosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto toraks.

28
1.8. Mempertahankan Anestesi dan Mengakhiri Anestesi
a. Mempertahankan anestesi
Pemantauan yang minimal harus dilakukan selama operasi: EKG,
pengukuran tekanan darah yang tidak invasive, oksimetri, nadi,
kapnometri, gas napas, pengukuran gas anestesi.Pertahankan anestesi
sehingga tercapai keseimbangan anestesi dengan opioid dan gas anestesi
(misalnya 0,5 MAC Desfluran) atau sebagai anestesi intravena total
(TIVA) dengan opioid dan propofol. Segera rencanakan terapi nyeri pasca-
operasi, bila perlu pemberian analgetik non-steroid (misalnya 30 mg/kg
metamizol) dan pemberian opioid kerja lama (misalnya 0,1 mg/kg
piritramid).Tanda-tanda klinis untuk kedalaman anestesi yang tidak
memadai :
- Peningkatan tekanan darah.
- Peningkatan frekuensi denyut jantung.
- Pasien mengunyah/menelan dan menyeringai.
- Terdapat pergerakan.
- Berkeringat
b. Mengakhiri Anestesi
Pengakhiran pemberian anesthesia dilakukan sesaat sebelum operasi
berakhir, anestesi baru diakhiri setelah kulit dijahit.
- FiO2 100% dipasang selama beberapa menit sebelum rencana ekstubasi.
- Penyedotan secret yang terkumpul di dalam mulut dan faring.
- Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflex perlindungan
telah kembali (antagonisasi dari relaksasi otot).
- Pasien yang stabil secara hemodinamik dan respiratorik diletakkan di
dalam ruangan pasca-bedah.

2. TERAPI CAIRAN
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara dan mengganti cairan
fisiologis dengan cairan kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander)
secara intravena.Pembedahan dengan anestesia memerlukan puasa sebelum dan
sesudah pembedahan. Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit

29
cairan saat puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin
saat pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan yang
pindah ke rongga peritoneum dan ke luar tubuh.Cairan kristaloid (elektrolit)
digunakan sebagai cairan pemeliharaan bertujuan untuk mengganti kehilangan air
tubuh lewat urin, feses, paru dan keringat.
Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang peritoneum atau ke
luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan.
Pembedahan besar: 8 - 10 ml/KgBB, 6 - 8 ml/KgBB untuk pembedahan sedang,
dan 4 - 6 ml/KgBB untuk pembedahan kecil. Perdarahan pada pembedahan tidak
selalu perlu transfusi, untuk perdarahan di bawah 20% dari volume darah total
cukup diganti dengan cairan infus yang komposisi elektrolitnya kira-kira sama
dengan komposisi elektrolit serum misalnya dengan cairan Ringer Laktat. Volume
darah wanita dewasa ialah 65 ml/KgBB. Koloid atau plasma ekspander kalau
diberikan secara intravena dapat bertahan lama di sirkulasi, koloid dapat berupa
gelatin (gelofusin).

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


a. Nama : Tn. M. H
b. Umur : 28 tahun
c. Tempat Tanggal Lahir : 10-05-1990
d. Jenis Kelamin : laki-laki
e. Suku : Papua
f. Pendidikan : SMA
g. Alamat : Kotaraja
h. Pekerjaan : -
i. Status marital : Belum menikah
j. Tinggi Badan : 165 cm
k. Berat Badan : 60 kg
l. Tanggal MRS : 11 Maret 2019

30
m. Nomor Rekam Medik : 45 52 83

3.2 ANAMNESIS (Autoanamnesis)


1) Keluhan Utama
Luka robek pada tungkai kanan bawah
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan pasien rujukan dari RSUD Bhayangkara datang ke
IGD RSUD Dok 2 Jayapura dengan keluhan luka robek pada tungkai kanan
bawah sejak 1 hari SMRS, Pasien mengaku ditabrak oleh sebuah motor saat
hendak menyeberang. Pasien mengaku tidak mengingat kronologis kejadiaan
secara detail dikarenakan sedang dalam pengaruh alkohol. Pasien juga
mengaku nyeri (+) saat menggerakan tungkai kanan sehingga sulit digerakan.
Pusing, mual, muntah, demam disangkal. Tidak ada keluhan pada bagian tubuh
lain.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat diabetes melitus : disangkal
- Riwayat Penyakit kardiovaskular : disangkal

- Riwayat Penyakit Pernapasan : disangkal


(Asma, TBC)
- Riwayat operasi sebelumnya : disangkal
- Riwayat Obat yang diminum : disangkal
- Riwayat Anestesi : disangkal
4) Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat diabetes mellitus : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat jantung : disangkal
- Riwyata hipertensi : disangkal
5) Riwayat sosioekonomi
- Kebiasaan minum alkohol(+)
- Kebiasaan merokok (+)
6) Riwayat Alergi
- Riwayat alergi makanan : disangkal

31
- Riwayat alergi minuman : disangkal
- Riwayat alergi obat : disangkal

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


1) Tanda Vital
a. Kesadaran : Compos Mentis E4V5M6
b. Tekanan Darah : 110/70 mmHg
c. Nadi : 92 x/menit
d. Respirasi : 22 x/menit
e. Suhu : 36,5oC
2) Status Generalis
a. Kepala
 Mata : Conjungtiva Anemis (-/-) ; Sklera Ikterik (-/-)
Sekret (-/-) Pupil isokor 3 mm dextra = sinistra
 Mulut : Oral Candidiasis (-) ;Faring tidak hiperemis;
Tonsil
(T1 = T1) ; Gigi Geligi: Caries dentis (-)
b. Leher : Pembesaran KGB (-/-)
c. Toraks
 Paru
Inspeksi : Datar, simetris, ikut gerak napas,
Retraksi interkostalis (-)
Palpasi : Taktil fremitus (Dextra = Sinistra) ;Vocal fremitus
(Dextra = Sinistra)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Sn. Vesikuler (+/+)Rhonki (-/-) ; Wheezing
(-/-)Pleural friction rub (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus Cordis tidak terlihat; Thrill (-)
Palpasi : Iktus Cordis teraba pada ICS V Midline
Clavicula sinistra
Perkusi : Pekak (Batas jantung dalam batas normal)

32
Auskultasi : BJ I=II reguler, murmur (-), S3 gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, Supel, Jejas (-)
Palpasi : Nyeri tekan regio abdomen (-)
Hepar/Lien : (tidak teraba membesar)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Bising usus (+) Normal 6x/menit
Ekstremitas : Akral hangat, capillary refill time <2 detik
Edema (+) pada tungkai bawah kanan, Ulkus (+),
Fraktur (+) pada tungkai bawah kanan
Genitalia : Tidak ada kelainan. Dalam batas normal.

3) Status Anestesi Pre Operasi


B1 Airway bebas, leher bergerak bebas, malampati score: I
Breathing: thorax simetris, ikut gerak napas, RR:22 x/m, palpasi: Vocal Fremitus
D=S, perkusi: sonor, suara napas vesikuler+/+, ronkhi-/-, wheezing -/-,
B2 Perfusi: hangat, kering, merah. Capilary Refill Time< 2 detik, BJ: I-II murni regular,
murmur (-) gallop (-) Nadi : 92 x/m; TD: 110/70 mmHg
B3 Kesadaran Compos Mentis, GCS: (E4V5M6), riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-)
B4 BAK (+) warna kuning jernih, DC (-)
B5 Simetris, Supel, Cembung, Bu 3x/15 Detik ; Hepar/Lien/Renal: Tidak Teraba Tesar;
Nyeri Ketok (-), Nyeri Tekan (-); ALT; - U/L; AST: - U/L-; BAB : (+)
GDS : 78 mg/dl
B6 Akral hangat (+), edema (+), fraktur (+), deformitas (+)
Status Lokalis : Regio Cruris Dextra
Vulnus excoriatum ; ukuran 0,5x1 cm : Bone Exposed (+), edem(+), sisa darah (+),

4) Status Lokalis: Regio Cruris Dextra


Look : Vulnus excoriatum ; ukuran 0,5x1 cm : Bone Exposed
(+), sisa darah (+), oedem (+)
Feel : Nyeri tekan (+), NVD baik
Movement : gerakan terbatas akibat nyeri, krepitasi (+)

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Hasil Uji Hematologi Rutin (10 Maret 2018)

33
No Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

1 Eritrosit 5,14 juta/ul 4,4 – 5,9 juta/ul


2 Leukosit 17,38 ribu/ul 3,8 – 10,6 ribu/ul
3 Hemoglobin 15,3 g/dl 12,2 – 14,3 g/dl
6 Hematokrit 42,0 40 – 52
7 Trombosit 36 150 – 400 ribu/ul
8 Gula Darah Sewaktu 78 mg/dL <200 mg/dl

b. Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik (10 Maret 2019)


N Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
o
1 Kreatinin - mg/dl 0,62 – 1,10 mg/dl
2 Ureum - mg/dl 17 – 39 mg/dl
3 PT 11,1 detik 10,2-12,1 detik
4 APTT 26,1 g/dl 24,8-34,4 detik
5 HbsAg (Rapid) Non Reaktif Non Reaktif
9 Malaria Negatif

c. Pemeriksaan Foto Rontgen Regio cruris Sinistra

34
Gambar 3. Foto rontgen cruris dextra

3.5 DIAGNOSIS KERJA


o Open Fraktur Tibia Et Fibula Dextra

3.6 PENATALAKSANAAN
o IVFD Ringer Laktat 500 mg / 8 jam = 20 tpm
o Inj. Ketorolac 30 mg / 8 jam
o Inj. Ranitidin 50 mg / 12 jam
o Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
o Inj. ATS 1 amp IM

35
3.7 PROGNOSIS
a. Quo ad Vitam : Ad Bonam
b. Quo ad Fungtionam : Dubia Ad Bonam
c. Quo ad Sanationam : Ad Bonam

3.8 KONSULTASI TERKAIT


A. Jawaban Konsul dr.RT.SpOT (10/03/2019)
 Pro Orif Elektif + Debridement
B. Jawaban Konsul dr.AC, SpAn (11/04/2019) :
 Informed consent
 Puasa mulai dari jam 24.00 WIT
 Infus RL 20 tpm

3.9 PENENTUAN PS ASA


PS ASA : I
Pasien dengan penyakit bedah tanpa penyakit sistemik

3.10 PERSIAPAN ANESTESI


PS. ASA I
Informed Consent Sudah dilakukan
Hari/Tanggal 11/03/2019
Diagnosa Pra Bedah Open Fraktur Tibia Fibula Dextra
Diagnosa Pasca Bedah Open Fracture 1/3 Middle Right Tibia Et Fibula
Grade II
Keadaan Pra Bedah
Keadaan Umum Tampak Sakit Sedang
Makan terakhir 24:00 WIT
BB 60 kg
TTV TD: 120/80mmHg N:62x/m
RR: 20x/m SB: 36,5°C
B1 Airway bebas, leher bergerak bebas, malampati score:
I; Breathing: thorax simetris, ikut gerak napas, RR:20
x/m, palpasi: Vocal Fremitus D=S, perkusi: sonor,
suara napas vesikuler+/+, ronkhi-/-, wheezing -/-,
B2 Perfusi: hangat, kering, merah. Capilary Refill Time< 2

36
detik, BJ: I-II murni regular, murmur (-) gallop (-)
B3 Kesadaran Compos Mentis, GCS: (E4V5M6), riwayat
kejang (-), riwayat pingsan (-)
B4 Tidak Terpasang DC, BAK (+) warna kuning jernih
Ureum: - mg/dl; Kreatinin: - mg/dl
B5 Perut tampak cembung, palpasi: nyeri tekan (-),
perkusi: tympani, BU (+) normal
B6 Akral hangat (+), edema (+), fraktur (+), deformitas
(+)
Status Lokalis : Regio Cruris Dextra
Vulnus excoriatum ; ukuran 0,5x1 cm : bone exposed (+),
sisa darah (+), oedem (+)

3.11 LAPORAN DURANTE OPERASI


Jenis Pembedahan Debridement
Lama Operasi 2 jam (11.55 – 13.55)
Jenis Anestesi Subarachnoid blok (SAB)
Anestesi Dengan Bupivakain 0,5% 15 mg
Teknik Anestesi Pasien duduk di meja operasi dan kepala menunduk,
dilakukan aseptic di sekitar daerah tusukan yaitu di
regio vertebra lumbal 3-4, dilakukan blok
subaraknoid (injeksi Bupivakain 0,5 %) dengan
jarum spinal pada regio vertebra antara lumbal 3-4,
Cairan serebro spinal keluar (+) jernih, dilakukan
blok.
Teknik Khusus Tidak dilakukan
Pernapasan Spontan + O2 nasal (3 lpm)
Posisi Supine (terlentang)
Infuse Tangan kiri, abocath 18 G, cairan RL
Penyulit pembedahan Tidak ada penyulit
Akhir Pembedahan TD : 107/65; N:60 x/m; RR: 17 x/m;
SB: 36,7°C Sp.O2 100%
Terapi Khusus Pasca Bedah Tidak dilakukan
Penyulit Pasca Bedah Tidak ada
Hipersensitivitas Tidak ada
Premedikasi Tidak ada
Medikasi - Bupivakain 0,5% 15 mg
- Ranitidine 50 mg

37
- Ondansentron 4 mg
- Antrain 1 gram

3.12 LAPORAN OPERASI


Nama Pasien :Tn. MH
Umur :28 tahun
Nomor DM :45 52 93
Nama Ahli Bedah : dr. Mervin, Sp.OT
Nama Asisten :
Nama Perawat :Br. Roy
Nama Ahli Anestesi :dr. Albinus Cobis, Sp.An., M.Kes
Jenis Anastesi : Subaracnoid Block
Diagnosis Pre Operatif : Open Fracture Tibia Fibula Dextra
Diagnosis Post Operatif : Open Fracture 1/3 Middle Right Tibia Et Fibula
Jaringan yang di Eksis/Insisi : Debridement + ORIF
Tanggal Operasi / Jam mulai : 12 Maret 2019 pukul 11.55 (Lama Operasi 2 jam)
Laporan Operasi:
1. Pasien berbaring supine dalam pengaruh anastesi
2. Dilakukan desinfeksi dan drapping
3. Dilakukan anterolateral approach, diperdalam sampai fraktur
4. Dilakukan open reduction internal fixation dengan narrow plate
5. Diperdalam lateal approach, diperdalam sampai fraktur site
6. Dilakukan open fraktur internal fixation menggunakan K-Wire 20 x 2,0
7. Luka dicuci hingga bersih
8. Luka dijahit
9. Operasi selesai

3.13 PESANAN POST OP


- Awasi Tanda-tanda vital
- IVFD RL 500 mg
- Ceftriaxone 2x1 gr (IV)
- Hypobac 2x 300 mg
- Ketorolac 3x1 amp (IV)
- Ranitidine 2x1 amp (IV)
- Foto kontrol right cruris AP/lateral

3.14 DIAGRAM OBSERVASI

38
120
100
80
Sistolic
60
Diastolic
40 Nadi
20
0

3.15 TERAPI CAIRAN


Cairan yang dibutuhkan Aktual
PRE OPERASI PRE OPERASI

1. Maintenance = BB x Kebutuhan cairan/jam Input : RL 900 cc


=60 kg x 1-2 cc/kgbb/jam = 60 cc – 120
cc/jam Output : Urine : + (500) cc
2. Replacement
Pengganti puasa 12 jam :
12 jam x kebutuhan cairan/jam=
12 x 60 – 120 cc/jam = 720 cc – 1440 cc

DURANTE OPERASI DURANTE OPERASI


Kebutuhan cairan selama operasi 120 menit
1. Maintenance Input :
60 kg x 1-2 cc/kgbb/jam = 60 – 120 cc/jam RL 500 cc
Untuk 120 menit = 2 x 60 – 120 cc/jam = Gelafusal 500 cc
120 – 240 cc/jam RL 400 cc

2. Replacement Output :
Perdarahan ± 250 cc Terpasang DC, Urin (+)
EBV = 70 cc x BB = 70 cc x 60 kg = 4200 cc Produksi 900 cc
*catatan : EBL = 10% x EBV = 420 cc ;
Suction : 150 cc
EBL = 250 cc, dapat diganti dengan cairan
koloid Total Perdarahan = 150 cc
Kasa kecil = 20 x 5 cc
=2-4 x EBL = 500 – 1000 cc =100 cc

39
3. Cairan yang terlokasi selama operasi bedah
sedang: BB x jenis operasi = 60 x 6-8 /jam =
360 – 480 cc / jam
= 360-480 x 2 jam = 720 – 960 cc

Total kebutuhan cairan durante operasi :

= (120 - 240 cc) + (500 - 1000) + (720-960 cc)

= 1340 cc – 2200 cc

POST OPERASI POST OPERASI


11 Maret 2019 jam 13.55 s/d besok pagi 08.00 11 Maret 2019 jam 13.55 s/d besok
(18 jam 5 menit) pagi 08.00 (18 jam 5 menit)

1. Maintenance Input :
= BB x Kebutuhan cairan/ jam x 18 jam 5 Volume cairan:
menit RL 1500 cc / 24 jam
= 60 kg x 1-2 cc/kgbb/jam x 18 jam 5 menit Total input : 1500 cc/24 jam
= 1085 – 2170 cc

Elektrolit :
- Natrium : 2-4 mEq/kgBB/hari = 120 - 240
mEq/24 jam
- Kalium :1-3 mEq/kgBB/hari= 60 –180
mEq/24 jam
- Kalori : 25 mg/kgBB/hari = 1500 kkal/24
jam

Follow Up Pasien Tn. MH (28 tahun)


Hari/ Follow Up Planning
Tanggal (Terapi Medikamentosa)
13/3/2019 S : Keluhan Utama: Nyeri pada luka bekas operasi kaki  IVFD RL 500 cc / 8 jam
kanan  Inj Ceftriaxon 1gr tiap 12 jam
O:  Inj. Rantidin 50 mg tiap 12 jam
B1: Airway bebas, napas spontan, tidak terpasang O2, RR:  Inj. Ketorolac 30 mg tiap 8 jam
20 x/m  Hypobach 300 mg tiap 12 jam
B2:Perfusi hangat, kering, merah, anemis (-), CRT<2”,
 Foto kontrol right cruris dextra

40
TD:110/70 mmHg, Nadi 62x/m
B3: Kesadaran : Compos Mentis, Pupil bulat, Isokor 3 mm, Instruksi:
refleks cahaya (+/+) Foto kontrol post operasi hari ini
B4 : Buang air kecil spontan (+), Ureum: - mg/dl;
Kreatinin: - mg/dl
B5 : Datar, Supel, BU: 3x/15 Detik ; Hepar/Lien/Renal:
Tidak Teraba Tesar; Nyeri Ketok (-), Nyeri Tekan (-); ALT;
- U/L; AST: - U/L; BAB : (+)
B6 : Deformitas (+) Fraktur (+) Edema (+) crusris dextra

Assessment:
Open Fracture 1/3 Middle Right Tibia Et Fibula
14/3/2019 S : Keluhan Utama: Nyeri luka operasi di kaki kanan  IVFD RL 500 cc / 8 jam
berkurang  Inj Ceftriaxon 1gr tiap 12 jam
O:  Inj. Rantidin 50 mg tiap 12 jam
B1 : Airway bebas, napas spontan, tidak terpasang O2, RR:  Inj. Ketorolac 30 mg tiap 8 jam
19 x/m  Hypobach 300 mg tiap 12 jam
B2:Perfusi hangat, kering, merah, anemis (-), CRT<2”,
TD:110/80 mmHg, Nadi 65x/m
B3 : Kesadaran : Compos Mentis, Pupil bulat, Isokor 3 mm,
refleks cahaya (+/+)
B4 : Buang air kecil spontan (+), Ureum: - mg/dl; Kreatinin:
- mg/dl
B5 : Datar, Supel, Bu 3x/15 Detik ; Hepar/Lien/Renal:
Tidak Teraba Tesar; Nyeri Ketok (-), Nyeri Tekan (-); ALT;
- U/L; AST: - U/L; BAB : (+)
B6 : Deformitas (+) Fraktur (+) Edema (+) cruris dextra

Assessment:
Open Fracture 1/3 Middle Right Tibia Et Fibula
15/3/2019 S : Keluhan Utama: Nyeri luka operasi dikaki kanan Obat pulang:
berkurang - Cefixime 200 mg 2x1
O:
- Calcitriol 0,5 mg 2x1
B1 : Airway bebas, napas spontan, tidak terpasang O2, RR:
- Meloxicam 75 mg 2x1
18 x/m
B2:Perfusi hangat, kering, merah, anemis (-), CRT<2”,
- Ranitinin 50 mg 2x1

TD:120/70 mmHg, Nadi 72x/m Instruksi:

B3 : Kesadaran : Compos Mentis, Pupil bulat, Isokor 3 mm, BPL

refleks cahaya (+/+)

41
B4 : Buang air kecil spontan (+), Ureum: 18,7 mg/dl;
Kreatinin: 1,0 mg/dl ; Urin/24 jam : 1.500 cc
B5 : Datar, Supel, Bu 3x/15 Detik ; Hepar/Lien/Renal:
Tidak Teraba Tesar; Nyeri Ketok (-), Nyeri Tekan (-); ALT;
- U/L; AST: - U/L; BAB : (+)
B6 : Deformitas (-) Fraktur (-) Edema (+) cruris dextra

Assessment:
Open Fracture 1/3 Middle Right Tibia Et Fibula

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, seorang pria 28 tahun dengan diagnosis open fracture 1/3 right
middle tibia et fibula. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan bahwa Pasien merupakan pasien rujukan dari RSUD
Bhayangkara datang ke IGD RSUD Dok 2 Jayapura dengan keluhan luka robek pada
tungkai kanan bawah sejak 1 hari SMRS, Pasien mengaku ditabrak oleh sebuah motor
saat hendak menyeberang. Pasien mengaku tidak mengingat kronologis kejadiaan
secara detail dikarenakan sedang dalam pengaruh alkohol. Pasien juga mengaku nyeri
(+) saat menggerakan tungkai kanan sehingga sulit digerakan. Pusing, mual, muntah,
demam disangkal.
Berdasarkan anamnesis pasien datang dengan riwayat kecelakanan lalu lintas
dan terdapat luka robek pada tungkai kanan bawah, didapatkan nyeri dan sulit untuk
digerakan maka dapat dipikirkan kemungkinan pasien mengalami fraktur terbuka. Hal
ini sesuai dengan teori menurut (sugiarto, 2010), Fraktur terbuka adalah fraktur dimana
terdapat hubungan fragmen fraktur dengan dunia luar, baik ujung fragmen fraktur
tersebut yang menembus dari dalam hingga ke permukaan kulit atau kulit dipermukaan
yang mengalami penetrasi suatu objek yang tajam dari luar hingga kedalam.
Pada pemeriksaan fisik, tanda vital dalam batas normal; status generalis yang
bermakna bagian ekstremitas bawah terdapat fraktur, edema pada tungkai bawah
sebelah kanan. Status lokalis S: Regio Cruris Dextra Vulnus excoriatum ; ukuran 0,5x1

42
cm : Bone Exposed (+), sisa darah (+), edem (+), deformitas (+), krepitasi (+),
gerakan terbatas akibat nyeri. Hal ini sesuai teori menurut (Lukman & Ningsih, 2011)
adanya Spasme otot yang menyertai fraktur yang merupakan bentuk bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen. Setelah terjadi fraktur, bagian
yang fraktur tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak. Pergeseran fragmen pada
fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas
yang dapat diketahui dengan membandingkan ekstremitas normal. Saat tempat fraktur di
periksa teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus akibat gesekan antara fragmen
satu dengan lainnya. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi
sebagai akibat trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa terjadi
setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cidera.
.Pada pemeriksaan laboratorium untuk pasien open fraktur perlu dilakukan
penilaian laboratorium mencakup darah lemgkap, PT, APTT. Pada pemeriksaan
laboratorium hasil lab yang bermakna yaitu leukosit 17.38 /uL. Hal ini mungkin terjadi
karena ada luka terbuka yang memungkinkan kuman masuk ke tulang. Hal ini sesuai
teori menurut Jonatan, 2013 mengatakan Karena diskontinuitas pada kulit, debris dan
infeksi dapat masuk ke lokasi fraktur dan mengakibatkan infeksi pada tulang. Fraktur
terbuka sering timbul komplikasi berupa infeksi. Infeksi bisa berasal dari flora normal
di kulit ataupun bakteri pathogen khususnya bakteri gram (-)

Penentuan PS ASA
Physical Status : American Society of Anesthesiologist adalah pemeriksaan fisik
yang dilakukan untuk menentukan prognosis pada pasien sebelum dilakukan tindakan
anestesi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui risiko apa yang bisa terjadi pada pasien
tersebut dan tindakan apa yang bisa dilakukan untuk mencegah hal tersebut. .
berdasarkan klasifikasi penilaian status fisik menurut The American Society of
Anesthesiologist:
PS ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sitemik.
PS ASA 2 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang.
PS ASA 3:pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang
disebabkankarena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam nyawa.

43
PS ASA IV : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang secara
langsung mengancam kehidupannya.
PS ASA V : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat yang
sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan
meninggal.
Pada kasus ini, Tn. MH 28 tahun klasifikasi status penderita digolongkan dalam
PS ASA 1, karena pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.

Pemilihan jenis anestesi


Pada kasus ini dilakukan jenis anestesi regional yaitu anestesi spinal atau
anestesi subarachnoid (SAB). Mengapa?. Pada teori dikatakan bahwa indikasi dilakukan
jenis anestesi spinal atau SAB adalah untuk pasien yang akan di bedah pada ekstremitas
bawah, bedah panggul, tindakan sekitar rektum-perineum, tindakan obstetri-ginekologi,
bedah urologi, bedah abdomen bawah dan anestesi spinal juga mudah untuk dikerjakan.
Pada pasien ini didiagnosis open fracture 1/3 right middle tibia fibula dextra dan akan
dilakukan tindakan pembedahan pada bagian ektremitas yaitu Debridement dan pro
ORIF hal ini sesuai dengan indikasi yang akan dilakukan operasi pada pasien ini.
Anestesi blok subaraknoid banyak digunakan karena relatif murah, pengaruh sistemik
minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon stress
lebih sempurna

Penentuan jenis obat


Pemilihan obat-obat anestesi pada pasien dalam kasus ini adalah pasien dianestesi
spinal dengan Bupivacain 0,5% 15 mg pada posisi duduk antara vertebra L3–L4.
Anestesi spinal dihasilkan apabila disuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang
subaraknoid di daerah antara vertebra L2 - L3 atau L3 - L4 atau L4 - L5. Jarum spinal
hanya dapat diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis. Hal ini
dikarenakan pada batas atas adanya ujung medula spinalis dan batas bawah dikarenakan
adanya penyatuan vertebra sakralis yang tidak memungkinkan dilakukan insersi.
Bupivakain merupakan golongan amida (-NHCO-), anestesi lokal isobarik yang
bekerja dengan cara berikatan secara intraselular dengan natrium dan memblok influks
natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Hal ini

44
dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang
lebih tipis dan tidak memiliki selubung mielin, maka bupivakain dapat berdifusi dengan
cepat ke dalam serabut saraf nyeri dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa
proprioseptif yang mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.
Obat ini lebih kuat dan lebih lama kerjanya dibandingkan dengan Lidokain atau
Mepivakain. Bila diberikan dalam dosis ulangan, Salah satu sifat yang paling disukai
dari bupivakain selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat blockade motorisnya
yang lemah. Toksisitasnya lebih kurang sama dengan tetrakain. Bupivakain juga
mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lidokain karena mempunyai kemampuan
yang lebih besar untuk mengikat protein. Bupivakain memiliki onset yang lambat tidak
seperti Lidokain, namun durasinya panjang ± 8 jam sehingga dipilih sebagai agen
induksi pada kasus ini. Pemilihan jenis anestesi pada pasien ini dianggap sudah tepat
karena pengaruh sistemik minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan
mencegah respon stress.
Pasien juga diberikan ranitidin dan ondansentron. Ranitidin merupakan golongan
obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme kerja ranitidin adalah menghambat
reseptor histamin 2 secara selektif sehingga dapat menghambat sekresi cairan lambung.
Ranitidin mengurangi volume dan kadar ion hidrogen dari sel parietal sejalan dengan
penurunan volume cairan lambung. Ondansentron merupakam suatu antagonis reseptor
5HT3 pada otak yang bekerja secara selektif dan kompetitif dalam mencegah maupun
mengatasi mual dan muntah selain itu ondansentron juga mempercepat pengosongan
lambung.

Critical Point perioperative pada kasus ini?


Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai critical point dalam tatalaksana
anestesi spinal pada pasien ini:
Problem
Actual Potensial Antisipasi
List

B1 Airway :bebas, malampati score : II, gigi Asidosis Observasi tanda-tanda


palsu (-) respiratorik vital

Breathing : thoraks simetris, ikut gerak


napas, RR: 20 x/m, perkusi: sonor, suara
napas vesikuler+/+, ronkhi-/-, wheezing

45
-/-

Perfusi: hangat, kering, merah. CRT < 2


Dehidrasi akibat
detik, BJ: I-II murni regular, konjungtiva - Resusitasi cairan,
puasa,
B2 anemis -/- monitoring vital sign,
bradikardia,
TD: 120/80 mmHg hipotensi,
N: 64x/menit
Kesadaran Compos Mentis,riwayat kejang Penurunan
B3 Observasi kesadaran
(-), riwayat pingsan (-) kesadaran

Rehidrasi, Monitoring
B4 Terpasang DC (+) Retensi Urin
produksi urin

Abdomen datar, supel, peristaltik usus (+), Risiko refluks


Pemberian Ranitidin dan
B5 hepar/lien tidak teraba, BAB (+), mual (-), gastroesofageal
Ondansentron
muntah (-). saat operasi.

Sindrom observasi tanda-tanda


Akral hangat (+), edema (+), fraktur (+), kompartemen, sindroma kompartemen,
B6
ulkus (+) regio cruris dextra sepsis, Edema pemberian antibiotik,
tungkai Posisikan pasien

Terapi cairan
Selain penentuan pemilihan anestesi pada pasien ini, juga dipertimbangkan
mengenai terapi cairan selama masa perioperatif. Terapi cairan sendiri adalah tindakan
untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas fisiologis dengan cairan
infus kristaloid atau koloid secara intravena.
Kebutuhan cairan pre-operatif bertujuan untuk menggantikan kehilangan cairan
selama puasa dan untuk memenuhi kebutuhan maintenance-nya.
Cairan yang dibutuhkan Aktual
PRE OPERASI PRE OPERASI

 Maintenance = BB x Kebutuhan cairan/jam Input : RL 900 cc


= 60 kg x 1-2 cc/kgbb/jam = 60 cc – 120
Output :
cc/jam
 Replacement - Urine : + (500cc)
Pengganti puasa 12 jam : - IWL = (10x60kg)/24 jam
12 jam x kebutuhan cairan/jam= = 25 cc / 24jam
12 x 60 – 120 cc/jam = 720 cc – 1440 cc = 25 x 12 jam = 300 cc

Balance = 900 – (500+300)

= +100 cc

46
Selama preoperatif pasien diberikan cairan kristaloid Ringer Laktat (RL) yang
merupakan larutan isotonik yang komposisinya serupa dengan cairan ekstraseluler,
mengandung ion-ion yang terdistribusi kedalam cairan intravaskular sehingga
bermanfaat untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit. Pada beberapa penelitian
menganjurkan cairan kristaloid untuk digunakan sebagai preload pada tindakan anestesi
spinal. Hal ini dikarenakan cairan kristaloid ini mudah didapat, komposisi menyerupai
plasma (acetated ringer, lactated ringer), bebas reaksi anafilaksis. Pemberian kristaloid
saat dilakukan anestesi spinal lebih efektif dalam menurunkan insidensi terjadinya
hipotensi, karena dengan cara ini kristaloid masih dapat memberikan volume
intravaskuler tambahan (additional fluid) untuk mempertahankan venous return dan
curah jantung.
Kebutuhan cairan preoperatif pasien sebesar 720 cc – 1440 cc, aktualnya input
cairan yang diberikan sebelum tindakan operasi sebanyak 900 cc. Pada kasus ini
kebutuhan cairan pasien selama preoperatif terpenuhi/tercukupi.
Resusitasi cairan durante operatif bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
maintenance cairan menurut jenis operasi dan lama waktunya serta kebutuhan
replacement cairan yang hilang selama operatif dan perdarahan berdasarkan total
estimasi kehilangan darah selama operasi.
DURANTE OPERASI DURANTE OPERASI
Kebutuhan cairan selama operasi 120 menit
1. Maintenance Input :
60 kg x 1-2 cc/kgbb/jam = 60 – 120 cc/jam RL 500 cc
Untuk 120 menit = 2 x 60 – 120 cc/jam = Gelafusal 500 cc
120 – 240 cc/jam RL 400 cc

2. Replacement Output :
Perdarahan ± 250 cc Terpasang DC, Urin (+)
EBV = 70 cc x BB = 70 cc x 60 kg = 4200 cc Produksi 900 cc
*catatan : EBL = 10% x EBV = 420 cc ;
Suction : 150 cc
EBL = 250 cc, dapat diganti dengan cairan
koloid Total Perdarahan = 150 cc
Kasa kecil = 20 x 5 cc
=2-4 x EBL = 500 – 1000 cc =100 cc

3. Cairan yang terlokasi selama operasi bedah

47
sedang:
BB x jenis operasi = 60 x 6-8 /jam = 360 –
480 cc / jam
= 360-480 x 2 = 720 – 960 cc / 2 jam

Total kebutuhan cairan durante operasi :

= (120 - 240 cc) + (500 - 1000) + (720-960 cc)

= 1340 cc – 2200 cc

Cairan yang diberikan ini sudah cukup untuk menggantikan prediksi kehilangan
cairan pasien, dan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien selama
operasi 2 jam.
Selama durante operasi, perdarahan pada pasien ini yaitu ± 250 cc, dengan
Estimate Blood Loss (EBL)<10 % EBV, sehingga pada pasien ini tidak perlu dilakukan
transfusi. Perdarahan pada pembedahan tidak selalu perlu transfusi, untuk perdarahan di
bawah 20% dari volume darah total cukup diganti dengan cairan infus yang komposisi
elektrolitnya kira-kira sama dengan komposisi elektrolit serum misalnya dengan Ringer
Laktat. Dapat juga diberikan campuran cairan kristaloid + koloid. Pemberian koloid
adalah untuk mengatasi gejala defisit plasma pada pasien selama operatif berupa
hipotensi.
POST OPERASI POST OPERASI
12 Maret 2019 jam 13.55 s/d besok pagi 08.00 12 Maret 2019 jam 13.55 s/d besok
(18 jam 5 menit) pagi 08.00 (18 jam 5 menit)

2. Maintenance Input :
= BB x Kebutuhan cairan/ jam x 18 jam 5 Volume cairan:
menit RL 1500 cc / 24 jam
= 60 kg x 1-2 cc/kgbb/jam x 18 jam 5 menit Total input : 1500 cc/24 jam
= 1085 – 2170 cc

Elektrolit :
- Natrium : 2-4 mEq/kgBB/hari = 120 - 240
mEq/24 jam
- Kalium :1-3 mEq/kgBB/hari= 60 –180
mEq/24 jam
- Kalori : 25 mg/kgBB/hari = 1500 kkal/24
jam

48
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Pasien laki-laki 28 tahun dengan open fracture 1/3 middle right tibia fibula
diklasifikasikan PS ASA I.
2. Penentuan jenis anestesi yaitu spinal atau SAB pada kasus ini sudah tepat karena
mempertimbangkan lokasi pembedahan di bagian ektremitas bawah dan waktu
yang dibutuhkan untuk debridement dan ORIF membutuhkan waktu yang lama.
3. Agen anestesi yang digunakan adalah Bupivacain 0,5%
4. Critical point yang paling memungkinkan pada pasien ini adalah hipotensi dan
simdrom kompartemen
5. Terapi cairan perioperatif pada kasus ini sudah cukup tepat, karena pemberian
cairan kristaloid pada preoperatif dan koloid pada durante operatif cukup untuk
memenuhi kebutuhan cairan pasien dan menjaga normotensi pasien selama
operasi berlangsung.

5.2 Saran
1. Penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari persiapan pre
anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi, terutama menyangkut
resusitasi cairan yang akan sangat mempengaruhi kestabilan hemodinamik
perioperative.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Kenneth J.K., Joseph D.Z. Handbook of Fractures, 3rd Edition. Pennsylvania.


2006.
2. Thomas M. S., Jason H.C. Open Fractures. Mescape Reference (update 2012,
May 21). Available from http://emedicine.medscape.com/article/1269242-
overview#aw2aab6b3. Accessed January 30, 2013.
3. Jonathan C. Open Fracture. Orthopedics (update 2012, May 27). Available from
http://orthopedics.about.com/cs/ brokenbones/g/openfracture.htm. Accessed
January 30, 2013.
4. Sugiarso. Pola Kuman Penderita Fraktur Terbuka. Universitas Sumatera Utara.
2010. Available from
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27630/6/Cover.pdf. Accessed
January 30, 2013.
5. American Academy of Orthopaedics Surgeons. 2011. Open Fractures. Available
from http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=A00582. Accessed January 30,
2013.
6. Latief, A. Said dkk. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
7. Panduan Pelayanan Anestesi. Jayapura : SMF Anestesi Dan Reanimasi Terapi
Intensif RSUD Jayapura
8. Soenarjo, et al. 2013. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FAkultas Kedokteran UNDIP dr. Kariadi Semarang.

50
51

Anda mungkin juga menyukai