PENDAHULUAN
1
infeksi pada fraktur terbuka didapatkan 78,7 % dari seluruh kasus fraktur terbuka
terkontaminasi oleh bakteri.
Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes
(1809-1894) berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani :An berarti tidak,
dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri. Secara harafiah berarti ketiadaan rasa atau
sensasi nyeri.6Anesthesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang memberikan
pelayanan medis terhadap pasien dalam hal-hal: pemberian anasthesia dan analgesia;
menjaga keselamatan pasien yang menjalani pembedahan atau tindakan medis lainnya;
bantuan resusitasi pasien gawat; mengelola unit perawatan/terapi intensif; memberi
pelayanan terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri serta berperan aktif mengelola
kedokteran gawat darurat serta tidak terlepas juga dari pelayanan sedasi.7
Ada tiga kategori utama anestesi yaitu anestesi umum, anestesi regional dan
anestesi lokal. Seorang ahli anestesi akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya
terbaik dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing
tindakannya tersebut. Anestesi regional biasanya digunakan untuk kasus bedah yang
pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang
lebih besar. Misalnya, pada persalinan caesar, operasi usus buntu, operasi pada lengan
dan tungkai. Caranya dengan menginjeksi obat-obat bius pada bagian utama pengantar
register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang belakang.
Sehingga, obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu. Sensasi nyeri
yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi akan terhambat dan tak dapat
diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi atau efek mati rasa akan lebih
luas dan lama dibanding anestesi lokal. Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari
perut ke bawah. Namun, oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat
atau otak, maka pasien yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu
berkomunikasi, walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi.
Anestesi regional dapat meliputi spinal, epidural dan caudal. Anestesi spinal juga
disebut sebagai subarachnoid block (SAB) umumnya digunakan pada operasi tubuh
bagian bawah, seperti ekstremitas bawah, perineum, maupun abdomen bagian bawah.
Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat
bahwa anestesia regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini
sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia.8
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
b. Anatomi
Tibia merupakan tulang medial tungkai bawah yang besar dan berfungsi
menyanggah berat badan. Tibia bersendi di atas dengan condylus femoris dan caput
fibulae, di bawah dengan talus dan ujung distal fibula. Tibia mempunyai ujung atas
yang melebar dan ujung bawah yang lebih kecil, serta sebuah corpus. Pada ujung
atas terdapat condyli lateralis dan medialis (kadang-kadang disebut plateau tibia
lateral dan medial), yang bersendi dengan condyli lateralis dan medialis femoris,
dan dipisahkan oleh menisci lateralis dan medialis. Permukaan atas facies
articulares condylorum tibiae terbagi atas area intercondylus anterior dan posterior;
di antara kedua area ini terdapat eminentia intercondylus. Pada aspek lateral
condylus lateralis terdapat facies articularis fibularis circularis yang kecil, dan
bersendi dengan caput fibulae. Pada aspek posterior condylus medialis terdapat
insertio m.semimembranosus. Corpus tibiae berbentuk segitiga pada potongan
melintangnya, dan mempunyai tiga margines dan tiga facies. Margines anterior dan
medial, serta facies medialis diantaranya terletak subkutan. Margo anterior
menonjol dan membentuk tulang kering.
3
Pada pertemuan antara margo anterior dan ujung atas tibia terdapat tuberositas,
yang merupakan tempat lekat ligamentum patellae. Margo anterior di bawah
membulat, dan melanjutkan diri sebagai malleolus medialis. Margo lateral atau
margo interosseus memberikan tempat perlekatan untuk membrane interossea.
Facies posterior dan corpus tibiae menunjukkan linea oblique, yang disebut linea
musculi solei, untuk tempatnya m.soleus. Ujung bawah tibia sedikit melebar dan
pada aspek inferiornya terdapat permukaan sendi berbentuk pelana untuk os.talus.
ujung bawah memanjang ke bawah dan medial untuk membentuk malleolus
medialis. Facies lateralis dari malleolus medialis bersendi dengan talus. Pada facies
lateral ujung bawahtibia terdapat lekukan yang lebar dan kasar untuk bersendi
dengan fibula. Musculi dan ligamenta penting yang melekat pada tibia.3
c. Klasifikasi
Menurut Gustilo dan Anderson, fraktur terbuka dibagi menjadi 3 kelompok :
Grade I : kulit terbuka < 1 cm, bersih, biasanya dari luar ke dalam;
kontusio otot minimal; fraktur simple transverse atar short
oblique.
Grade II : laserasi > 1 cm, dengan kerusakan jaringan lunak yang luas,
kerusakan komponen minimal hingga sedang; fraktur simple
transverse atau short oblique dengan kominutif yang minimal
Grade III : kerusakan jaringan lunak yang luas, termasuk otot, kulit,
struktur neurovaskular seringkali merupakan cidera oleh energi
yang besar dengan kerusakan komponen yang berat.
4
III A : laserasi jaringan lunak yang luas, tulang tertutup secara
adekuat; fraktur segmental, luka tembak, periosteal stripping
yang minimal
III B : cidera jaringan lunak yang luas dengan periosteal
stirpping dan tulang terekspos, membutuhkan penutupan flap
jaringan lunak; sering berhubungan dengan kontaminasi yang
massif
III C : cidera vaskuler yang membutuhkan perbaikan 1
5
Gambar 3. Klasifikasi fraktur diafisis tibia mengikut Orthopaedic Trauma
Association (OTA).
d. Etiologi
Fraktur terbuka disebabkan oleh energi tinggi trauma, paling sering dari pukulan
langsung, seperti dari jatuh atau tabrakan kendaraan bermotor. Dapat juga
disebabkan oleh luka tembak, maupun kecelakaan kerja. Tingkat keparahan cidera
fraktur terbuka berhubungan langsung dengan lokasi dan besarnya gaya yang
mengenai tubuh. Ukuran luka bisa hanya beberapa milimeter hingga terhitung
diameter. Tulang mungkin terlihat atau tidak terlihat pada luka. Fraktur terbuka
lainnya dapat mengekspos banyak tulang dan otot, dan dapat merusak saraf dan
pembuluh darah sekitarnya. Fraktur terbuka ini juga bisa terjadi secara tidak
langsung, seperti cidera tipe energi tinggi yang memutar. 2, 5
e. Patofisiologi
Ketika patah tulang, akan terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum
tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut adalah terjadi perdarahan,
kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematom pada
kanal medulla antara tepi tulang dibawah periosteum dan jaringan tulang yang
mengitari fraktur. Terjadinya respon inflamasi akibat sirkulasi jaringan nekrotik
adalah ditandai dengan vasodilatasi dari plasma dan leukosit.
6
Ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan
untuk memperbaiki cidera, tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang.
Hematom yang terbentuk bisa menyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum
tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan lemak
tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai organ-organ yang lain.
Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan
kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskhemik dan
menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini menyebabkan
terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung saraf, yang bila
berlangsung lama bisa menyebabkan syndrome compartment.
Compartment syndrome yaitu suatu keadaan peningkatan tekanan jaringan
dalam ruang anatomis yang berbatas menyebabkan penurunan aliran darah yang
menimbulkan iskemia disfungsi unsur mioneural yang ada di dalamnya, ditandai
dengan nyeri, kelemahan otot, hilangnya sensorik, dan ketegangan yang dapat
diraba pada ruang yang bersangkutan. Iskemia dapat menimbulkan nekrosis yang
mengakibatkan gangguan fungsi yang permanen. Gejala klinis yang terjadi pada
sindrom kompartemen dikenal dengan 5P, yaitu:
1) Pain (nyeri)
Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada
trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika
munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak
semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang
tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
2) Pallor (pucat)
Diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut.
3) Pulselessness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)
4) Parestesia (rasa kesemutan)
5) Paralysis: Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang
berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena sindrom kompartemen.
7
f. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala fraktur adalah sebagai berikut (Lukman & Ningsih, 2011):
1. Nyeri dan terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur yang merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian yang fraktur tidak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap regid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan
deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang dapat diketahui dengan
membandingkan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan
baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melekatnya otot.
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnya
terjadi karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
4. Saat tempat fraktur di periksa teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus
akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi sebagai
akibat trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa terjadi
setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cidera.
g. Diagnosis
1. Anamnesis
8
c. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis.
3. Pemeriksaan lokal
a. Inspeksi (Look)
Bandingkan dengan bagian yang sehat.
Perhatikan posisi anggota gerak.
Keadaan umum penderita secara keseluruhan.
Ekspresi wajah karena nyeri.
Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan.
Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau fraktur terbuka.
Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa
hari.
Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
kependekan.
Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada
organ-organ lain.
Perhatikan kondisi mental penderita.
Keadaan vaskularisasi.
b. Palpasi (Feel)
9
Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian
distal daerah trauma , temperatur kulit.
Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk
mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai.
c. Pergerakan (Move)
4. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan
motoris serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia,
aksonotmesis atau neurotmesis. Kelaianan saraf yang didapatkan harus
dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan masalah asuransi dan
tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk pengobatan
selanjutnya.
5. Pemeriksaan Radiologis
1. Pemeriksaan rotgen (sinar X) untuk menentukan lokasi atau luasnya
fraktur/trauma.
2. Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI untuk memperlihatkan fraktur.
Pemeriksaan penunjang ini juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram, dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
4. Hitung darah lengkap Hematokrit (Ht) mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur
atau organ jauh pada trauma multipel). Peningkatan jumlah sel darah putih
adalah respons stress normal setelah trauma.
5. Kreatinin Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
10
6. Profil koagulasi, Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multipel, atau cedera hati
h. Penanganan
Prinsip penanganan fraktur terbuka :
a. Semua fraktur terbuka dikelola secara emergensi.
b. Lakukan penilaian awal akan adanya cedera lain yang dapat mengancam
jiwa.
c. Pemberian antibiotik.
d. Lakukan debridement dan irigasi luka.
e. Lakukan stabilisasi fraktur.
f. Pencegahan tetanus.
g. Lakukan rehabilitasi ektremitas yang mengalami fraktur.
Debridement adalah pengangkatan jaringan yang rusak dan mati
sehingga luka menjadi bersih. Untuk melakukan debridement yang adekuat, luka
lama dapat diperluas, jika diperlukan dapat membentuk irisan yang berbentuk
elips untuk mengangkat kulit, fasia serta tendon ataupun jaringan yang sudah
mati. Debridement yang adekuat merupakan tahapan yang penting untuk
pengelolaan. Debridement harus dilakukan sistematis, komplit serta berulang.
Diperlukan cairan yang cukup untuk fraktur terbuka. Grade I diperlukan cairan
yang bejumlah 1-2 liter, sedangkan grade II dan grade III diperlukan cairan
sebanyak 5-10 liter, menggunakan cairan normal saline.
Pemberian antibiotika adalah efektif mencegah terjadinya infeksi pada
pada fraktur terbuka. Antibiotika yang diberikan sebaiknya dengan dosis yang
besar. Untuk fraktur terbuka antibiotika yang dianjurkan adalah golongan
cephalosporin dan dikombinasi dengan golongan aminoglikosida.
Perawatan lanjutan dan rehabilitasi fraktur terbuka :
1. Hilangkan nyeri.
2. Mendapatkan dan mempertahankan posisi yang memadai dan flagmen patah
tulang.
3. Mengusahakan terjadinya union.
11
4. Mengembalikan fungsi secara optimal dengan mempertahankan fungsi otot
dan sendi dan pencegahan komplikasi.
5. Mengembalikan fungsi secara maksimal dengan fisioterapi. 4, 5
Tindakan Pembedahan
Hal ini penting untuk menstabilkan patah tulang sesegera mungkin untuk
mencegah kerusakan jaringan yang lebih lunak. Tulang patah dalam fraktur
terbuka biasanya digunakan metode fiksasi eksternal atau internal. Metode ini
memerlukan operasi.
a. Fiksasi Internal
Selama operasi, fragmen tulang yang pertama direposisi (dikurangi) ke
posisi normal kemudian diikat dengan sekrup khusus atau dengan
melampirkan pelat logam ke permukaan luar tulang. Fragmen juga dapat
diselenggarakan bersama-sama dengan memasukkan batang bawah
melalui ruang sumsum di tengah tulang. Karena fraktur terbuka mungkin
termasuk kerusakan jaringan dan disertai dengan cedera tambahan,
mungkin diperlukan waktu sebelum operasi fiksasi internal dapat
dilakukan dengan aman.
b. Fiksasi Eksternal
Fiksasi eksternal tergantung pada cedera yang terjadi. Fiksasi ini
digunakan untuk menahan tulang tetap dalam garis lurus. Dalam fiksasi
eksternal, pin atau sekrup ditempatkan ke dalam tulang yang patah di atas
dan di bawah tempat fraktur. Kemudian fragmen tulang direposisi. Pin
atau sekrup dihubungkan ke sebuah lempengan logam di luar kulit.
Perangkat ini merupakan suatu kerangka stabilisasi yang menyangga
tulang dalam posisi yang tepat.
12
Jaringan otot dari ekstremitas yang terlibat diputar untuk menutupi fraktur.
Kemudian diambil sebagian kulit dari daerah lain dari tubuh (graft) dan
ditempatkan di atas luka.
b. Free Flap
Beberapa luka mungkin memerlukan transfer lengkap jaringan. Jaringan
ini sering diambil dari bagian punggung atau perut. Prosedur free flap
membutuhkan bantuan dari seorang ahli bedah mikrovaskuler untuk
memastikan pembuluh darah terhubung dan sirkulasi tetap berjalan. 5
i. Komplikasi
1. perdarahan, syok septik kematian
2. septikemi, toksemia oleh karena infeksi piogenik
3. tetanus
4. gangren
5. kekakuan sendi
6. osteomielitis kronik
7. delayed union
13
Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya
perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih
besar. Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah.Namun,
oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka
pasien yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu
berkomunikasi, walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi.
Tulang vertebra terdiri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang
torakal, 5 buah tuang lumbal, 5 buah tulang sakral. Kolumna vertebralis
mempunyai lima fungsi utama, yaitu : (1) menyangga berat kepala dan batang
14
tubuh, (2) melindungi medulla spinalis, (3) memungkinkan keluarnya nervi
spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk perlekatan otot-otot, dan (5)
memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh. Korpus vertebra selain
dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh suatu persendian synovial yang
memungkinkan fleksibilitas tulang punggung, selain itu berguna melindungi
struktur medulla spinalis yang ada di dalamnya.Stabilitas kolumna vertebralis
ditentukan oleh bentuk dan kekuatan masing-masing vertebra, diskus
intervertebralis, ligament dan otot- otot.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi subaraknoid
adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis. Medulla spinalis
berjalan mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus medularis
(segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda equina).Penting
diperhatikan bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara vertebra T12 hingga
L1.
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark
yang lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra,
diantaranya adalah:
a. Vertebra C7 : merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang paling
terlihat di daerah leher.
b. Papilla Mamae : lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 3-4
c. Epigastrium : lokasi ini kurang lebih berada disekitar vertebra torakal 5-6
d. Umbilikus : lokasi ini kurang lebih berada setinggi vertebra torakal 10
e. Krista iliaka : lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis 4-5
15
Gambar 6 Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna vertebralis
Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi
spinal
1. Kutis
2. Subkutis : ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah meraba ruang
invertebralis pada pasien yang memiliki laisan subkutis yang tipis.
3. Ligamentum supraspinosum : ligamentum yang menghubungkan ujung
procesus spinosus.
4. Ligamnetum interspinosum
5. Ligamentum flavum : ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm.
sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal dari
lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligament ini, akan terasa
sensasi mencengkeram dan berbeda.
6. Epidural : ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang
keluar dari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah
tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
7. Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi
spinal. Pada ruangan ini akan dijumpai likuor serebrospinalis (LCS) pada
penusukan.
16
Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat arteri
dan vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan.Terdapat arteri spinalis
posterior yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla. Arteri spinalis anterior
memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla.Terdapat juga arteri radikularis yang
memperdarahi medulla, berjalan di foramen intervertebralis.Sistem vena yang
terdapat di medulla ada 2 yaitu vena medularis anterior dan posterior.
b. Kontraindikasi
Kontraindikasi absolut:
- Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal menusuk
pembuluh darah, terjadi perdarahan hebat dan darah akan menekan
medulla spinalis.
- Sepsis, karena bisa terjadi meningitis.
- Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi pergeseran otak
bila terjadi kehilangan cairan serebrospinal.
- Bila pasien menolak.
17
- Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan ditusuk
jarum spinal.
- Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia
pernisiosa,neurosyphilys, dan porphiria.
- Hipotensi, sistolik di bawah 80 – 90 mmHg, syok hipovolemik
- Blok simpatis menyebabkan hilangnya mekanisme kompensasi utama.
18
b. Peralatan analgesia spinal
- Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri dan EKG.
- Peralatan resusitasi/anestesi umum
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quinckebacock)
atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point whitecare).
19
menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda
yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar
arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat
dimasukan kateter.
f. Posisi
Ada 2 macam posisi dalam melakukan anestesi spinal, yaitu:
1. Posisi Duduk
Dagu pasien menempel di dada, lengan bersandar di lutut dan menggunakan
tempat duduk yang memiliki sandaran kaki.
2. Posisi Lateral
Bahu pasien harus tegak lurus dengan tempat tidur, posisi pinggang di tepi
tempat tidur dan pasien memeluk bantal atau posisi lutut menempel di
dada.Pria cenderung mempunyai bahu yang lebih lebar daripada pinggang
sehingga harus menaikkan posisi kepala ketika berbaring.Wanita dengan
pinggang lebih lebar harus menurunkan posisi kepala.
20
Gambar 8. Posisi lateral dekubitus pada anestesi spinal
21
dengan efek obat mencapai 20 jam setelah operasi. Bupivakain dapat diberikan
bersamaan dengan obat lain untuk memperpanjang durasi efek obat seperti
misalnya epinefrin, glukosa, dan fentanil untuk analgesi epidural. Bupivakain
bekerja dengan cara berikatan secara intraselular dengan natrium dan memblok
influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi.
Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut
yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung mielin, maka bupivakain dapat
berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri dibandingkan dengan
serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai selubung mielin
dan ukuran serabut saraf lebih tebal.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
a. Lidokain (xylocain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20-
100 mg (2-5ml)
b. Lidokain (xylocain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003,
sifat hyperbaric, dosis 20-50 mg (1-2 ml)
c. Bupivakain (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis
5-20 mg
d. Bupivakain (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15 mg (1-3 ml)
22
1.6. Komplikasi Anestesi Spinal
Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi tindakan dan
komplikasi pasca tindakan.
a. Komplikasi tindakan
- Hipotensi berat
Efek samping penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah terjadinya
hipotensi. Kejadian hipotensi pada tindakan anestesi spinal merupakan
manifestasi fisiologis yang biasa terjadi. Hal ini terjadi karena: (1) Penurunan
darah balik, penurunan secara fungsional volume sirkulasi efektif karena
venodilatasi, dan penumpukan darah. (2) Penurunan tahanan pembuluh darah
sistemik karena vasodilatasi dan (3) Penurunan curah jantung karena
penurunan kontraktilitas dan denyut jantung.
Mekanisme utama penyebab hipotensi setelah anestesi spinal adalah blok
simpatis yang menyebabkan dilatasi arteri dan vena. Dilatasi arteri
menyebabkan penurunan tahanan perifer total dan tekanan darah sistolik
sampai 30%. Dilatasi vena dapat menyebabkan hipotensi yang berat sebagai
akibat penurunan aliran balik vena dan curah jantung. Tetapi sebetulnya hal ini
tidak boleh terjadi karena ketika terjadi hipotensi, perfusi organ menjadi tidak
adekuat sehingga oksigenasinya tidak adekuat. Hal ini sangat berbahaya pada
pasien dengan kelainan pembuluh coroner (misalnya pada geriatri). Dikatakan
hipotensi jika terjadi penurunan tekanan darah sistolik, biasanya 90 atau 100
mmhg, atau penurunan presentase 20% atau 30% dari biasanya. Dan lamanya
perubahan bervariasi dari 3 sampai 10 menit.Oleh karena itu kejadian hipotensi
harus dicegah.
Ada beberapa cara untuk mencegah atau mengatasi hipotensi akibat spinal
anestesi adalah dengan pemberian cairan prabeban yaitu Ringer Laktat (RL)
dan atau obat vasopressor salah satunya dengan pemberian efedrin. Efedrin
merupakan vasopresor pilihan yang digunakan pada anestesi obstetric sebagai
obat yang diberikan untuk mencegah hipotensi akibat anestesi spinal. Efedrin
adalah obat sintetik non katekolamin yang mempunyai aksi langsung yang
23
menstimuli reseptor β1, β2, α1 adrenergik dan aksi tak langsung dengan
melepaskan nor-epinefrin endogen.
Efedrin akan menyebabkan peningkatan cardiac output, denyut jantung dan
tekanan darah sistolik maupun diastolik. Menurunkan aliran darah splanikus
dan ginjal tetapi meningkatkan aliran darah ke otak dan otot. Pemberian efedrin
dapat secara subkutan, intra muskuler, bolus intravena, dan infus kontinyu dan
pada praktek sehari-hari, efedrin diberikan secara bolus IV 5-10mg bila terjadi
hipotensi akibat anestesi spinal. Jadi lebih bersifat simtomatik bukan
pencegahan.
- Bradikardia
Efek samping kardiovaskuler, terutama hipotensi dan bradikardi adalah
perubahan fisiologis yang paling penting dan sering pada anestesi spinal.
Pemahaman tentang mekanisme homeostasis yang bertujuan untuk mengontrol
tekanan darah dan denyut jantung penting untuk merawat perubahan
kardiovaskuler terkait dengan anestesi spinal.
Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu tanda vital pada
anestesi spinal. Frekuensi denyut nadi yang tidak stabil dapat menyebabkan
bradikardi apabila terdapat penurunan frekuensi denyut nadi yang berlebihan.
Karena itu pemilihan obat anestesi spinal merupakan hal yang penting
mengingat adanya efek-efek yang ditimbulkan. Apabila terjadi penurunan
tekanan darah dan frekuesi denyut nadi yang berlebihan dapat digunakan
efedrin yang berfungsi berdasarkan reseptor adrenergik yang menghasilkan
respon simpatis. Oleh karena efedrin dapat menyebabkan vasokonstriksi
perifer, sehingga pada penggunaan klinis efedrin meningkatkan tekanan darah
dan frekuensi denyut nadi.
- Hipoventilasi akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali
nafas
- Trauma pembuluh saraf
- Trauma saraf
- Mual-muntah
- Gangguan pendengaran
- Blok spinal tinggi atau spinal total
24
Faktor yang mempengaruhi tinggi blok anestesi spinal:
- Volume obat analgetik lokal makin besar maka makin tinggi daerah
analgesia
- Konsentrasi obat makin pekat maka makin tinggi batas daerah analgesia
- Barbotase penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas
daerah analgetik
- Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan : 3 detik untuk 1 ml larutan.
- Maneuver valsava : mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
- Tempat pungsi : pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul kekaudal (saddle block), pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
- Berat jenis larutan : hiper, iso atau hipo barik.
- Tekanan abdominal yang meningkat : dengan dosis yang sama didapat batas
analgesia yang lebih tinggi.
- Tinggi pasien : makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin
besar dosis yang diperlukan (berat badan tidak berpengaruh terhadap dosis
obat)
- Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik
sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan
posisi pasien.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motoris
dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi.
25
semakin besar kebocoran yang terjadi, dan semakin tinggi kemungkinan
terjadinya sakit kepala pascaspinal anestesi. Bila duramater terbuka bisa
terjadi kebocoran cairan serebrospinal 1-2 minggu. Kehilangan CSS
sebanyak 20 ml dapat menimbulkan terjadinya sakit kepala. Post spinal
headache (PSH) ini pada 90% pasien terlihat dalam 3 hari postspinal, dan
pada 80% kasus akan menghilang dalam 4 hari.
Supaya tidak terjadi postspinal headache dapat dilakukan pencegahan
dengan :
- Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no. 25,27,29).
- Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga
jarum tidak merobek dura tetapi menyisihkan duramater.
- Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3 hari,
hal ini akan menambah produksi CSF sebagai pengganti cairan yang
hilang.
26
- Memasang alat monitor standar: EKG, oksimetri, pengukur tekanandarah
arteri.
Tujuan utama kunjungan praanesthesia ialah untuk mengurangi angka
kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan.Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien
sebelum pasien menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan, dilakukan
wawancara (anamnesis) seperti menanyakan apakah pernah mendapat anestesi
sebelumnya, adakah penyakit-penyakit sistemik, saluran napas, dan alergi obat.
Kemudian pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi-geligi, tindakan
buka mulut, ukuran lidah, leher kaku dan pendek. Perhatikan juga hasil
pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan penyakit yang sedang
dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa pendarahan, masa
pembekuan), radiologi, EKG.
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan
dengan status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).
Kelas I : Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitasrutin
terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukanaktivitas
rutin dan penyakitnya merupakan ancamankehidupan setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpapembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat huruf E (E = EMERGENCY).
Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi
lambung karena regurgitasi atau muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan
lambung dilakukan dengan puasa : anak 4 – 6 jam, bayi 3 – 4 jam., dewasa 6-8
jam.Pada pembedahan darurat pengosongan lambung dapat dilakukan dengan
memasang pipa nasogastrik atau dengan cara lain yaitu menetralkan asam
lambung dengan memberikan antasida (magnesium trisilikat) atau antagonis
reseptor H2 (ranitidin). Kandung kemih juga harus dalam keadaan kosong
27
sehingga boleh perlu dipasang kateter. Sebelum pasien masuk dalam kamar
bedah, periksa ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi izin
pembedahan secara tertulis (informed concent).
a. Penilaian prabedah
Identitas setiap pasien harus lengkap dan harus dicocokan dengan gelang
identitas yang dikenakan pasien. Pasien ditanya lagi mengenai hari dan jenis
bagian tubuh yang akan dioperasi.
- Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapatkan anesthesia
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang
perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak napas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang
anesthesia berikutnya dengan lebih baik.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk
eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan
beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan dan 1-2
minggu untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum alcohol juga
harus dicurigai akan adanya penyakit hepar.
- Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relative
besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi.Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang
keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi,
perkusi, dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
- Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor,
misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, leukosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto toraks.
28
1.8. Mempertahankan Anestesi dan Mengakhiri Anestesi
a. Mempertahankan anestesi
Pemantauan yang minimal harus dilakukan selama operasi: EKG,
pengukuran tekanan darah yang tidak invasive, oksimetri, nadi,
kapnometri, gas napas, pengukuran gas anestesi.Pertahankan anestesi
sehingga tercapai keseimbangan anestesi dengan opioid dan gas anestesi
(misalnya 0,5 MAC Desfluran) atau sebagai anestesi intravena total
(TIVA) dengan opioid dan propofol. Segera rencanakan terapi nyeri pasca-
operasi, bila perlu pemberian analgetik non-steroid (misalnya 30 mg/kg
metamizol) dan pemberian opioid kerja lama (misalnya 0,1 mg/kg
piritramid).Tanda-tanda klinis untuk kedalaman anestesi yang tidak
memadai :
- Peningkatan tekanan darah.
- Peningkatan frekuensi denyut jantung.
- Pasien mengunyah/menelan dan menyeringai.
- Terdapat pergerakan.
- Berkeringat
b. Mengakhiri Anestesi
Pengakhiran pemberian anesthesia dilakukan sesaat sebelum operasi
berakhir, anestesi baru diakhiri setelah kulit dijahit.
- FiO2 100% dipasang selama beberapa menit sebelum rencana ekstubasi.
- Penyedotan secret yang terkumpul di dalam mulut dan faring.
- Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflex perlindungan
telah kembali (antagonisasi dari relaksasi otot).
- Pasien yang stabil secara hemodinamik dan respiratorik diletakkan di
dalam ruangan pasca-bedah.
2. TERAPI CAIRAN
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara dan mengganti cairan
fisiologis dengan cairan kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander)
secara intravena.Pembedahan dengan anestesia memerlukan puasa sebelum dan
sesudah pembedahan. Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit
29
cairan saat puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin
saat pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan yang
pindah ke rongga peritoneum dan ke luar tubuh.Cairan kristaloid (elektrolit)
digunakan sebagai cairan pemeliharaan bertujuan untuk mengganti kehilangan air
tubuh lewat urin, feses, paru dan keringat.
Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang peritoneum atau ke
luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan.
Pembedahan besar: 8 - 10 ml/KgBB, 6 - 8 ml/KgBB untuk pembedahan sedang,
dan 4 - 6 ml/KgBB untuk pembedahan kecil. Perdarahan pada pembedahan tidak
selalu perlu transfusi, untuk perdarahan di bawah 20% dari volume darah total
cukup diganti dengan cairan infus yang komposisi elektrolitnya kira-kira sama
dengan komposisi elektrolit serum misalnya dengan cairan Ringer Laktat. Volume
darah wanita dewasa ialah 65 ml/KgBB. Koloid atau plasma ekspander kalau
diberikan secara intravena dapat bertahan lama di sirkulasi, koloid dapat berupa
gelatin (gelofusin).
BAB III
LAPORAN KASUS
30
m. Nomor Rekam Medik : 45 52 83
31
- Riwayat alergi minuman : disangkal
- Riwayat alergi obat : disangkal
32
Auskultasi : BJ I=II reguler, murmur (-), S3 gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, Supel, Jejas (-)
Palpasi : Nyeri tekan regio abdomen (-)
Hepar/Lien : (tidak teraba membesar)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Bising usus (+) Normal 6x/menit
Ekstremitas : Akral hangat, capillary refill time <2 detik
Edema (+) pada tungkai bawah kanan, Ulkus (+),
Fraktur (+) pada tungkai bawah kanan
Genitalia : Tidak ada kelainan. Dalam batas normal.
33
No Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
34
Gambar 3. Foto rontgen cruris dextra
3.6 PENATALAKSANAAN
o IVFD Ringer Laktat 500 mg / 8 jam = 20 tpm
o Inj. Ketorolac 30 mg / 8 jam
o Inj. Ranitidin 50 mg / 12 jam
o Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
o Inj. ATS 1 amp IM
35
3.7 PROGNOSIS
a. Quo ad Vitam : Ad Bonam
b. Quo ad Fungtionam : Dubia Ad Bonam
c. Quo ad Sanationam : Ad Bonam
36
detik, BJ: I-II murni regular, murmur (-) gallop (-)
B3 Kesadaran Compos Mentis, GCS: (E4V5M6), riwayat
kejang (-), riwayat pingsan (-)
B4 Tidak Terpasang DC, BAK (+) warna kuning jernih
Ureum: - mg/dl; Kreatinin: - mg/dl
B5 Perut tampak cembung, palpasi: nyeri tekan (-),
perkusi: tympani, BU (+) normal
B6 Akral hangat (+), edema (+), fraktur (+), deformitas
(+)
Status Lokalis : Regio Cruris Dextra
Vulnus excoriatum ; ukuran 0,5x1 cm : bone exposed (+),
sisa darah (+), oedem (+)
37
- Ondansentron 4 mg
- Antrain 1 gram
38
120
100
80
Sistolic
60
Diastolic
40 Nadi
20
0
2. Replacement Output :
Perdarahan ± 250 cc Terpasang DC, Urin (+)
EBV = 70 cc x BB = 70 cc x 60 kg = 4200 cc Produksi 900 cc
*catatan : EBL = 10% x EBV = 420 cc ;
Suction : 150 cc
EBL = 250 cc, dapat diganti dengan cairan
koloid Total Perdarahan = 150 cc
Kasa kecil = 20 x 5 cc
=2-4 x EBL = 500 – 1000 cc =100 cc
39
3. Cairan yang terlokasi selama operasi bedah
sedang: BB x jenis operasi = 60 x 6-8 /jam =
360 – 480 cc / jam
= 360-480 x 2 jam = 720 – 960 cc
= 1340 cc – 2200 cc
1. Maintenance Input :
= BB x Kebutuhan cairan/ jam x 18 jam 5 Volume cairan:
menit RL 1500 cc / 24 jam
= 60 kg x 1-2 cc/kgbb/jam x 18 jam 5 menit Total input : 1500 cc/24 jam
= 1085 – 2170 cc
Elektrolit :
- Natrium : 2-4 mEq/kgBB/hari = 120 - 240
mEq/24 jam
- Kalium :1-3 mEq/kgBB/hari= 60 –180
mEq/24 jam
- Kalori : 25 mg/kgBB/hari = 1500 kkal/24
jam
40
TD:110/70 mmHg, Nadi 62x/m
B3: Kesadaran : Compos Mentis, Pupil bulat, Isokor 3 mm, Instruksi:
refleks cahaya (+/+) Foto kontrol post operasi hari ini
B4 : Buang air kecil spontan (+), Ureum: - mg/dl;
Kreatinin: - mg/dl
B5 : Datar, Supel, BU: 3x/15 Detik ; Hepar/Lien/Renal:
Tidak Teraba Tesar; Nyeri Ketok (-), Nyeri Tekan (-); ALT;
- U/L; AST: - U/L; BAB : (+)
B6 : Deformitas (+) Fraktur (+) Edema (+) crusris dextra
Assessment:
Open Fracture 1/3 Middle Right Tibia Et Fibula
14/3/2019 S : Keluhan Utama: Nyeri luka operasi di kaki kanan IVFD RL 500 cc / 8 jam
berkurang Inj Ceftriaxon 1gr tiap 12 jam
O: Inj. Rantidin 50 mg tiap 12 jam
B1 : Airway bebas, napas spontan, tidak terpasang O2, RR: Inj. Ketorolac 30 mg tiap 8 jam
19 x/m Hypobach 300 mg tiap 12 jam
B2:Perfusi hangat, kering, merah, anemis (-), CRT<2”,
TD:110/80 mmHg, Nadi 65x/m
B3 : Kesadaran : Compos Mentis, Pupil bulat, Isokor 3 mm,
refleks cahaya (+/+)
B4 : Buang air kecil spontan (+), Ureum: - mg/dl; Kreatinin:
- mg/dl
B5 : Datar, Supel, Bu 3x/15 Detik ; Hepar/Lien/Renal:
Tidak Teraba Tesar; Nyeri Ketok (-), Nyeri Tekan (-); ALT;
- U/L; AST: - U/L; BAB : (+)
B6 : Deformitas (+) Fraktur (+) Edema (+) cruris dextra
Assessment:
Open Fracture 1/3 Middle Right Tibia Et Fibula
15/3/2019 S : Keluhan Utama: Nyeri luka operasi dikaki kanan Obat pulang:
berkurang - Cefixime 200 mg 2x1
O:
- Calcitriol 0,5 mg 2x1
B1 : Airway bebas, napas spontan, tidak terpasang O2, RR:
- Meloxicam 75 mg 2x1
18 x/m
B2:Perfusi hangat, kering, merah, anemis (-), CRT<2”,
- Ranitinin 50 mg 2x1
41
B4 : Buang air kecil spontan (+), Ureum: 18,7 mg/dl;
Kreatinin: 1,0 mg/dl ; Urin/24 jam : 1.500 cc
B5 : Datar, Supel, Bu 3x/15 Detik ; Hepar/Lien/Renal:
Tidak Teraba Tesar; Nyeri Ketok (-), Nyeri Tekan (-); ALT;
- U/L; AST: - U/L; BAB : (+)
B6 : Deformitas (-) Fraktur (-) Edema (+) cruris dextra
Assessment:
Open Fracture 1/3 Middle Right Tibia Et Fibula
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, seorang pria 28 tahun dengan diagnosis open fracture 1/3 right
middle tibia et fibula. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan bahwa Pasien merupakan pasien rujukan dari RSUD
Bhayangkara datang ke IGD RSUD Dok 2 Jayapura dengan keluhan luka robek pada
tungkai kanan bawah sejak 1 hari SMRS, Pasien mengaku ditabrak oleh sebuah motor
saat hendak menyeberang. Pasien mengaku tidak mengingat kronologis kejadiaan
secara detail dikarenakan sedang dalam pengaruh alkohol. Pasien juga mengaku nyeri
(+) saat menggerakan tungkai kanan sehingga sulit digerakan. Pusing, mual, muntah,
demam disangkal.
Berdasarkan anamnesis pasien datang dengan riwayat kecelakanan lalu lintas
dan terdapat luka robek pada tungkai kanan bawah, didapatkan nyeri dan sulit untuk
digerakan maka dapat dipikirkan kemungkinan pasien mengalami fraktur terbuka. Hal
ini sesuai dengan teori menurut (sugiarto, 2010), Fraktur terbuka adalah fraktur dimana
terdapat hubungan fragmen fraktur dengan dunia luar, baik ujung fragmen fraktur
tersebut yang menembus dari dalam hingga ke permukaan kulit atau kulit dipermukaan
yang mengalami penetrasi suatu objek yang tajam dari luar hingga kedalam.
Pada pemeriksaan fisik, tanda vital dalam batas normal; status generalis yang
bermakna bagian ekstremitas bawah terdapat fraktur, edema pada tungkai bawah
sebelah kanan. Status lokalis S: Regio Cruris Dextra Vulnus excoriatum ; ukuran 0,5x1
42
cm : Bone Exposed (+), sisa darah (+), edem (+), deformitas (+), krepitasi (+),
gerakan terbatas akibat nyeri. Hal ini sesuai teori menurut (Lukman & Ningsih, 2011)
adanya Spasme otot yang menyertai fraktur yang merupakan bentuk bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen. Setelah terjadi fraktur, bagian
yang fraktur tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak. Pergeseran fragmen pada
fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas
yang dapat diketahui dengan membandingkan ekstremitas normal. Saat tempat fraktur di
periksa teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus akibat gesekan antara fragmen
satu dengan lainnya. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi
sebagai akibat trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa terjadi
setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cidera.
.Pada pemeriksaan laboratorium untuk pasien open fraktur perlu dilakukan
penilaian laboratorium mencakup darah lemgkap, PT, APTT. Pada pemeriksaan
laboratorium hasil lab yang bermakna yaitu leukosit 17.38 /uL. Hal ini mungkin terjadi
karena ada luka terbuka yang memungkinkan kuman masuk ke tulang. Hal ini sesuai
teori menurut Jonatan, 2013 mengatakan Karena diskontinuitas pada kulit, debris dan
infeksi dapat masuk ke lokasi fraktur dan mengakibatkan infeksi pada tulang. Fraktur
terbuka sering timbul komplikasi berupa infeksi. Infeksi bisa berasal dari flora normal
di kulit ataupun bakteri pathogen khususnya bakteri gram (-)
Penentuan PS ASA
Physical Status : American Society of Anesthesiologist adalah pemeriksaan fisik
yang dilakukan untuk menentukan prognosis pada pasien sebelum dilakukan tindakan
anestesi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui risiko apa yang bisa terjadi pada pasien
tersebut dan tindakan apa yang bisa dilakukan untuk mencegah hal tersebut. .
berdasarkan klasifikasi penilaian status fisik menurut The American Society of
Anesthesiologist:
PS ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sitemik.
PS ASA 2 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang.
PS ASA 3:pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang
disebabkankarena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam nyawa.
43
PS ASA IV : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang secara
langsung mengancam kehidupannya.
PS ASA V : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat yang
sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan
meninggal.
Pada kasus ini, Tn. MH 28 tahun klasifikasi status penderita digolongkan dalam
PS ASA 1, karena pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.
44
dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang
lebih tipis dan tidak memiliki selubung mielin, maka bupivakain dapat berdifusi dengan
cepat ke dalam serabut saraf nyeri dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa
proprioseptif yang mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.
Obat ini lebih kuat dan lebih lama kerjanya dibandingkan dengan Lidokain atau
Mepivakain. Bila diberikan dalam dosis ulangan, Salah satu sifat yang paling disukai
dari bupivakain selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat blockade motorisnya
yang lemah. Toksisitasnya lebih kurang sama dengan tetrakain. Bupivakain juga
mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lidokain karena mempunyai kemampuan
yang lebih besar untuk mengikat protein. Bupivakain memiliki onset yang lambat tidak
seperti Lidokain, namun durasinya panjang ± 8 jam sehingga dipilih sebagai agen
induksi pada kasus ini. Pemilihan jenis anestesi pada pasien ini dianggap sudah tepat
karena pengaruh sistemik minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan
mencegah respon stress.
Pasien juga diberikan ranitidin dan ondansentron. Ranitidin merupakan golongan
obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme kerja ranitidin adalah menghambat
reseptor histamin 2 secara selektif sehingga dapat menghambat sekresi cairan lambung.
Ranitidin mengurangi volume dan kadar ion hidrogen dari sel parietal sejalan dengan
penurunan volume cairan lambung. Ondansentron merupakam suatu antagonis reseptor
5HT3 pada otak yang bekerja secara selektif dan kompetitif dalam mencegah maupun
mengatasi mual dan muntah selain itu ondansentron juga mempercepat pengosongan
lambung.
45
-/-
Rehidrasi, Monitoring
B4 Terpasang DC (+) Retensi Urin
produksi urin
Terapi cairan
Selain penentuan pemilihan anestesi pada pasien ini, juga dipertimbangkan
mengenai terapi cairan selama masa perioperatif. Terapi cairan sendiri adalah tindakan
untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas fisiologis dengan cairan
infus kristaloid atau koloid secara intravena.
Kebutuhan cairan pre-operatif bertujuan untuk menggantikan kehilangan cairan
selama puasa dan untuk memenuhi kebutuhan maintenance-nya.
Cairan yang dibutuhkan Aktual
PRE OPERASI PRE OPERASI
= +100 cc
46
Selama preoperatif pasien diberikan cairan kristaloid Ringer Laktat (RL) yang
merupakan larutan isotonik yang komposisinya serupa dengan cairan ekstraseluler,
mengandung ion-ion yang terdistribusi kedalam cairan intravaskular sehingga
bermanfaat untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit. Pada beberapa penelitian
menganjurkan cairan kristaloid untuk digunakan sebagai preload pada tindakan anestesi
spinal. Hal ini dikarenakan cairan kristaloid ini mudah didapat, komposisi menyerupai
plasma (acetated ringer, lactated ringer), bebas reaksi anafilaksis. Pemberian kristaloid
saat dilakukan anestesi spinal lebih efektif dalam menurunkan insidensi terjadinya
hipotensi, karena dengan cara ini kristaloid masih dapat memberikan volume
intravaskuler tambahan (additional fluid) untuk mempertahankan venous return dan
curah jantung.
Kebutuhan cairan preoperatif pasien sebesar 720 cc – 1440 cc, aktualnya input
cairan yang diberikan sebelum tindakan operasi sebanyak 900 cc. Pada kasus ini
kebutuhan cairan pasien selama preoperatif terpenuhi/tercukupi.
Resusitasi cairan durante operatif bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
maintenance cairan menurut jenis operasi dan lama waktunya serta kebutuhan
replacement cairan yang hilang selama operatif dan perdarahan berdasarkan total
estimasi kehilangan darah selama operasi.
DURANTE OPERASI DURANTE OPERASI
Kebutuhan cairan selama operasi 120 menit
1. Maintenance Input :
60 kg x 1-2 cc/kgbb/jam = 60 – 120 cc/jam RL 500 cc
Untuk 120 menit = 2 x 60 – 120 cc/jam = Gelafusal 500 cc
120 – 240 cc/jam RL 400 cc
2. Replacement Output :
Perdarahan ± 250 cc Terpasang DC, Urin (+)
EBV = 70 cc x BB = 70 cc x 60 kg = 4200 cc Produksi 900 cc
*catatan : EBL = 10% x EBV = 420 cc ;
Suction : 150 cc
EBL = 250 cc, dapat diganti dengan cairan
koloid Total Perdarahan = 150 cc
Kasa kecil = 20 x 5 cc
=2-4 x EBL = 500 – 1000 cc =100 cc
47
sedang:
BB x jenis operasi = 60 x 6-8 /jam = 360 –
480 cc / jam
= 360-480 x 2 = 720 – 960 cc / 2 jam
= 1340 cc – 2200 cc
Cairan yang diberikan ini sudah cukup untuk menggantikan prediksi kehilangan
cairan pasien, dan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien selama
operasi 2 jam.
Selama durante operasi, perdarahan pada pasien ini yaitu ± 250 cc, dengan
Estimate Blood Loss (EBL)<10 % EBV, sehingga pada pasien ini tidak perlu dilakukan
transfusi. Perdarahan pada pembedahan tidak selalu perlu transfusi, untuk perdarahan di
bawah 20% dari volume darah total cukup diganti dengan cairan infus yang komposisi
elektrolitnya kira-kira sama dengan komposisi elektrolit serum misalnya dengan Ringer
Laktat. Dapat juga diberikan campuran cairan kristaloid + koloid. Pemberian koloid
adalah untuk mengatasi gejala defisit plasma pada pasien selama operatif berupa
hipotensi.
POST OPERASI POST OPERASI
12 Maret 2019 jam 13.55 s/d besok pagi 08.00 12 Maret 2019 jam 13.55 s/d besok
(18 jam 5 menit) pagi 08.00 (18 jam 5 menit)
2. Maintenance Input :
= BB x Kebutuhan cairan/ jam x 18 jam 5 Volume cairan:
menit RL 1500 cc / 24 jam
= 60 kg x 1-2 cc/kgbb/jam x 18 jam 5 menit Total input : 1500 cc/24 jam
= 1085 – 2170 cc
Elektrolit :
- Natrium : 2-4 mEq/kgBB/hari = 120 - 240
mEq/24 jam
- Kalium :1-3 mEq/kgBB/hari= 60 –180
mEq/24 jam
- Kalori : 25 mg/kgBB/hari = 1500 kkal/24
jam
48
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Pasien laki-laki 28 tahun dengan open fracture 1/3 middle right tibia fibula
diklasifikasikan PS ASA I.
2. Penentuan jenis anestesi yaitu spinal atau SAB pada kasus ini sudah tepat karena
mempertimbangkan lokasi pembedahan di bagian ektremitas bawah dan waktu
yang dibutuhkan untuk debridement dan ORIF membutuhkan waktu yang lama.
3. Agen anestesi yang digunakan adalah Bupivacain 0,5%
4. Critical point yang paling memungkinkan pada pasien ini adalah hipotensi dan
simdrom kompartemen
5. Terapi cairan perioperatif pada kasus ini sudah cukup tepat, karena pemberian
cairan kristaloid pada preoperatif dan koloid pada durante operatif cukup untuk
memenuhi kebutuhan cairan pasien dan menjaga normotensi pasien selama
operasi berlangsung.
5.2 Saran
1. Penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari persiapan pre
anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi, terutama menyangkut
resusitasi cairan yang akan sangat mempengaruhi kestabilan hemodinamik
perioperative.
49
DAFTAR PUSTAKA
50
51