Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Kejadian kegawatan ortopedi (emergency orthopedics) banyak dijumpai.


Penanganan emergency orthopedics telah mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Teknologi dalam bidang kesehatan juga memberikan kontribusi yang sangat
untuk menunjang penanganan emergency orthopedics. Tenaga medis dituntut untuk
mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang adekuat terkait dengan proses
perawatan emergency orthopedics pertama kali di IGD yang komprehensif, yang
dimulai dari pengkajian yang komprehensif, perencanaan intervensi yang tepat,
implementasi tindakan, evaluasi hasil yang ditemukan selama perawatan serta
dokumentasi hasil yang sistematis. Kasus-kasus yang termasuk dalam emergency
orthopedics, yaitu open fracture, compartment syndrome, dislokasi dan fractur
dislokasi, lesi vascular besar, septic arthritis, acute osteomyelitis, unstable pelvis, fat
emboli, unstable cervical spine, dan traumatic amputasi.
Berdasar sifatnya emergency orthopedics dibedakan menjadi dua, yaitu
sifatnya yang mengancam jiwa (life threatening ) dan yang mengancam kelangsungan
ekstremitas ( limb threatening). Kejadian fraktur banyak ditemukan saat ini, begitu
juga kasus open fraktur di IGD. Kalau tidak ditangani akan menjadikannya infeksi
kronis yang berkepanjangan.Once osteomyelitis, forever : Appley. Jangan sampai
melewati Golden periode (0 s/d 6 jam) pada awalnya infestasi kuman masih melekat
secara fisik, sesudah itu akan melekat secara kimawi dan sulit dibersihkan dengan
pencucian saja.
Penanganan definitif fraktur ada yang perlu tindakan operatif ada yang tidak.
Fraktur yang harus di operasi : Fraktur yang gagal dengan tindakan konservatif, fraktur
intra artikuler, fraktur joint depressed lebih dari 5 mm, fraktur avulsi akibat tarikan
ligament, dan fraktur dengan atrioventriculer node disturbances. Kasus emengency
ortopedics lain adalah compartment syndrome .
Compartment syndrome adalah peningkatan tekanan intra compartement
(Osteofascial compartement) pada cruris atau pada Antebrachii akibat peningkatan
permeabilitas sesudah terjadinya trauma, menyebabkan odema dan menghalangi
aliran arteri yang menyebabkan ischemia jaringan yang diikuti gejala klinis 5 P
(Pulseless, Pale, Pain, Paraestesi, Paralyse). Bila tak segera dilakukan fasciotomi akan

1
menyebabkan nekrosis otot dan timbul cacat menetap volkmann ischemic
contracture.
Selain kasus open fraktur dan kompartemen sindrom, kejadian dislokasi dan
fractur dislokasi juga bisa ditemui di IGD. Pada keadaan normal cartilage mendapat
nutrisi dari cairan synovial yang berasal dari darah yang sudah tersaring eritrositnya,
terjadi diffusi masuk ke joint space bila terjadi mekanisme gerak sendi. Saat dislokasi
nutrisi terhenti. Cartilage yang mati sulit regenerasi. Penanganan dislokasi adalah
segera reposisi dan stabilisasi 2-3 minggu.
Selain kasus kasus di atas, lesi vasculer besar juga termasuk dalam emergency
orthopedics. Lesi vaskuler besar yang tersering adalah arteri poplitea dan arteri
radialis, juga plexus vein sacral pada sacro iliac disruption atau unstable pelvis atau
fractur malgaigne. Kasus emergency ortopedic lain adalah septic arthritis. Pasien akan
mengalami panas badan , nyeri sendi sangat hebat bila digerakkan. Area yang sering
terkena septic artritis adalah sendi panggul (coxitis) dan lutut (gonitis). Pus yang ada
dalam sendi akan merusak sendi, bila tidak segera ditangani, maka arthrotomi pilihan
terapi septic artritis pada sendi yang rusak.
Dan, acute osteomyelitis merupakan kasus emergency ortopedics. Osteomelitis
akut menunjukkan gejala panas, nyeri bila extremitas yang mengalami infeksi
dipegang, tanda radang ( rubor, color , dolor , palor, functio laesa). Komplikasi
osteomelitis akut adalah sepsis. Lalu, fat emboli, unstable cervical spine, dan
traumatic amputasi juga merupakan kasus emergency ortopedics.
Fraktur pelvis dapat bersifat unstable apabila cincin pelvis mengalami
kerusakan pada 2 tempat atau lebih, biasanya terjadi karena high energy injury. Pada
daerah pelvis terdapat plexus plexus vena, jika ada trauma seringkali menyebabkan
pecahnya pembuluh darah ini, dan pendarahan baru berhenti jika cavum pelvis terisi
penuh dengan darah. Pada fraktur unstable, pendarahan tidak berhenti karena pelvis
tidak terfiksasi dengan sempurna.
Fat emboly sering terjadi 3-5 hari sesudah fraktur tulang panjang (femur &
tibia). Fat globule dari sumsum tulang masuk sirkulasi dan bila masuk ke otak akan
mengganggu kesadaran, serta bila masuk paru mengakibatkan sesak. Pertolongan fat
emboli adalah oxygenasi dengan PEEP (positive expirasi end pressure) respirator dan
heparin atau antikoagulan. Diharapkan dengan mengetahui penanganan awal kasus
emergency ortopedic dapat menyelamatkan nyawa (life threatening ) dan yang
menyelamatkan extremitas (save the limb).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. OPEN FRACTURE

Dikatakan fraktur terbuka jika terdapat hubungan antara daerah yang fraktur
dengan dunia luar, biasanya karena kulit di atasnya sudah tidak intak. Fraktur
merupakan terbuka emergensi bedah ortopedi, karena risiko untuk terjadinya infeksi
pada tulang yang fraktur tinggi. Komplikasi jangka panjang adalah terancamnya
fungsi tungkai, dan dalam kasus infeksi sistemik dapat mengancam jiwa (Budiman,
2010).
Manajemen fraktur awal adalah untuk mengontrol perdarahan, mengurangi nyeri,
mencegah iskemia-reperfusi cedera, dan mencegah kontaminasi serta infeksi misal benda
asing dan jaringan nonviable. Hal ini akan meminimalkan komplikasi yang mungkin dapat
terjadi (Buckley, 2012).

a. Klasifikasi Fraktur Terbuka


Dibawah ini menjelaskan suatu klasifikasi fraktur terbuka menurut
Gustilo/Anderson (Rasjad, 2007):
Tipe Fraktur Deskripsi
I Kulit terbuka < 1 cm, bersih; paling mungkin lesi dalam daripada
luar; kontusio otot minimal, fraktur transversum atau oblique yang
sederhana
II Laserasi > 1 cm dengan kerusakan jaringan lunak luas, flap, atau
avulsi; kehancuran minimal sampai sedang; fraktur transversum
atau oblique pendek yang sederhana dengan kominutif minimal
III Kerusakan jaringan lunak luas, termasuk otot, kulit dan struktur
neurovaskular; seringnya cedera kecepatan-tinggi dengan
komponen kehancuran yang berat
III A Laserasi luas, mencakup tulang adekuat; fraktur segmental, cedera
tembak
III B Kerusakan jaringan lunak luas dengan terkupasnya periosteal dan
ekspos tulang, biasanya berhubungan dengan kontaminasi luas
III C Cedera vaskular membutuhkan perbaikan

b. Penatalaksanaan Fraktur Terbuka

3
Tantangan penatalaksanaan yang sulit pada fraktur terbuka telah dikenal
selama berabad-abad. Amputasi telah menjadi pengobatan menetap sampai
pertengahan abad ke 18, dimana teknik antiseptik mulai digunakan. Antiseptik,
bersama dengan debridement semua jaringan yang terkontaminasi dan
devitalisasi, membuktikan reduksi pertama pada mortalitas. Kemajuan serentak
pada profilaksis antibiotik, debridement agresif dan manajemen luka terbuka,
flap otot rotasional, transfer jaringan bebas, dan teknik cangkok tulang
memperlihatkan peningkatan yang dramatis pada kemampuan seorang dokter
untuk menangani fraktur terbuka berat sebagai akibat dari kecelakaan kendaraan
bermotor dan luka tembak. Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat
yang memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi risiko infeksi.
Selain mencegah infeksi juga diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan
restorasi fungsi anggota gerak (Rasjad, 2007).

Penangan fraktur terbuka di IGD:


1. ABCD
Nilai status kesadaran, bebaskan airway, breathing, resusitasi cairan,
dan hentikan perdarahan.
2. Cuci luka
Mencuci luka dengan larutan NaCl fisiologis bertujuan
menghilangkan kontaminasi makro dan bekuan darah yang dapat
meminimalkan kontaminasi serta kerusakan jaringan (Schaller,2012).
3. Debridement dalam golden period (6 jam) dengan general anestesia.
Adanya jaringan yang mati akan mengganggu proses penyembuhan
luka dan merupakan daerah tempat pembenihan bakteri sehingga diperlukan
eksisi secara operasi pada kulit, jaringan subkutaneus, lemak, fasia, otot dan
fragmen-fragmen yang lepas (Buckley, 2012).
4. Imobilisasi, luka ditutup kain bersih, fragmen jangan dimasukkan
Pembidaian dan imobilisasi fraktur penting pada emergensi ortopedi.
Fungsinya adalah untuk mengontrol nyeri dan pembengkakan, mengurangi
deformitas/dislokasi, dan imobilisasi fraktur atau cedera. Tujuan pembidaian
dan imobilisasi adalah membebaskan nyeri, meningkatkan penyembuhan,
stabilisasi fraktur, mencegah sehingga cedera lebih lanjut. Untuk fraktur
terbuka grade I-II dapat diberikan internal fixasi, gips dengan window.
Sedangkan untuk grade III yaitu external fixasi, gips dengan window hingga
amputasi apabila organ tidak viable/beresiko menimbulkan mortalitas.

4
Kebanyakan cedera ekstremitas atas dapat ditangani dengan menggunakan
belat posterior long arm. Cedera pada jari ditangani dengan belat jari busa
atau belat plastik kaku. Cedera bahu dapat ditangani dengan sebuah
selempang/balutan gendong, atau imobiliser bahu. Cedera ekstremitas bawah
dapat ditangani dengan imobiliser lutut atau bidai cetak posterior (Budiman,
2010).
5. Antibiotik dan analgetik
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. Antibiotik
diberikan dalam dosis yang adekuat sebelum, pada saat dan sesudah tindakan
operasi.
6. Pencegahan tetanus
Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan
tetanus. Pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan
pemberian toksoid tapi bagi yang belum,dapat diberikan 250 unit tetanus
imunoglobulin (manusia).

B. COMPARTMENT SYNDROME
Sindrom kompartemen akut terjadi ketika tekanan jaringan dalam
kompartemen otot tertutup melebihi tekanan perfusi dan menyebabkan otot dan
saraf iskemia. Ini biasanya terjadi setelah peristiwa traumatis, paling sering patah
tulang. Pilihan penanganan untuk sindrom kompartemen akut adalah dekompresi
dini (Rasul, 2012; Paula, 2011).
Berbagai sindroma kompartemen telah diuraikan untuk kedua ekstremitas
atas dan bawah. Uraian tersebut termasuk sindroma kompartemen pada bahu,
lengan atas, lengan bawah, tangan, bokong, paha, tungkai bawah, dan kaki.
Penyebab sindroma kompartemen beragam dan termasuk fraktur terbuka dan
fraktur tertutup, cedera arteri, luka tembak, gigitan ular, kompresi tungkai, dan
luka bakar (Paula, 2007).
Meningkatnya tekanan pada ruang fascia tertutup menyebabkan
menurunnya tekanan perfusi dan pada akhirnya cedera sel dan kematian neuron
dan jaringan otot. Mekanismenya sebagai berikut: hipoksia menyebabkan cedera
sel, melepaskan mediator, dan meningkatkan permeabilitas endotel yang
menyebabkan oedem, selanjutnya meningkatkan tekanan kompartemen, pH
jaringan menurun, lalu terjadi nekrosis, dan terlepasnya mioglobin. Tekanan
jaringan lebih besar dari tekanan kapiler; biasanya terlihat pada > 30 mmHg

5
tekanan intra-kompartemen. Waktu iskemik: nervus < 4 jam, otot < 4 jam
beberapa mengatakan sampai 6 jam (Paula R. 2007).
Gambaran Klinis yang biasa ditimbulkan pada seseorang dengan
Sindroma Kompartemen yakni :
a. Nyeri yang melebihi kapasitas cedera
b. Pemeriksaan fisik: bukti ketegangan kompartemen, menurunnya perfusi
(pengisian kembali kapiler, nyeri) dan kehilangan fungsi jaringan (mati rasa
dan lemah; nervus dan otot terlibat pada kompartemen yang terinfeksi)
c. Diagnosa pasti dengan mengukur tekanan kompartemen. (Paula R. 2007)

Penegakkan diagnosa pada Sindroma Kompartemen secara klasik yakni :


a. Misal : sekunder akibat luka bakar, pembengkakan jaringan lunak, balutan
ketat, iskemis reperfusi, kompresi berkepanjangan, infiltrasi intravena,
perdarahan, cedera vaskuler, kejang, dan trauma.
b. Kenali 6 P: Pain (nyeri), Pallor (pucat), Pulselessness (tidak ada pulsasi),
Parasthesia (tidak ada rasa), Paralysis (lumpuh) dan Poikilothermic.
c. Iskemia dan nekrosis dapat muncul bahkan jika masih terdapat pulsasi.
d. Nervus sensorik yang lebih dulu terkena, diikuti oleh motorik.
e. Waktu: gejala dapat muncul dalam beberapa jam sampai beberapa hari
setelah cedera. (Paula R. 2007)
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan Sindroma
Kompartemen yakni:
a. Singkirkan penyebab kompresi
b. O2
c. Pertahankan ekstremitas setinggi jantung
d. Konsultasi ortopedi atau bedah darurat
e. Fasciotomi:
o Indikasi: sindroma kompartemen akut: tekanan kompartemen > 30

mmHg
o Ahli bedah harus melakukan fasciotomi; bagaimanapun, pada tungkai
yang tekanannya meningkat atau terdapat penundaan pembedahan,
fasciotomi emergensi mungkin perlu dilakukan di departemen
emergensi.
o Pendekatan dua-insisi fasciotomi pada tungkai bawah merupakan
prosedur langsung dan dapat dipercaya, mengingat bahwa anatominya
mudah dipahami.
f. Prosedur pengukuran tekanan kompartemen, antara lain : (19)
a. Teknik injeksi.
Jarum ukuran 18 dihubungkan dengan spoit 20 cc melalui saluran salin dan udara.
Saluran ini kemudian dihubungkan dengan manometer air raksa standar. Setelah

6
jarum disuntikkan ke dalam kompartemen, tekanan udara dalam spoit akan meningkat
sehingga meniskus salin-udara tampak bergerak. Kemudian tekanan dalam
kompartemen dapat dibaca pada manometer air raksa.
b. Teknik Wick kateter.
Wick kateter dan sarung plastiknya dihubungkan ke transducer dan recorder. Kateter
dan tabungnya diisi oleh three-way yang dihubungkan dengan transducer. Sangat
perlu untuk memastikan bahwa tidak ada gelembung udara dalam sistem tersebut
karena memberi hasil yang rendah atau mengaburkan pengukuran. Ujung kateter
harus dapat menghentikan suatu meniskus air sehingga dapat dipastikan dan diketahui
bahwa dalam jaringan tersebut dilewati suatu trocar besar, kemudian jarumnya ditarik
dan kateter dibalut ke kulit.

TERAPI
Penanganan sindroma kompartemen meliputi :
1. Terapi medikal / non bedah. (11)
Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian
kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran darah
dan akan lebih memperberat iskemia.
Pada kasus penurunan volume kompartemen, gips harus dibuka dan pembalut
kontriksi dilepas.
Mengoreksi hipoperfusi dengan cara kristaloid dan produk darah.
Pemberian mannitol, vasodilator atau obat golongan penghambat simpatetik.
2. Terapi pembedahan / operatif.
Fasciotomi adalah pengobatan operatif pada sindroma kompartemen dengan
stabilisasi fraktur dan perbaikan pembuluh darah. Keberhasilan dekompresi untuk
perbaikan perfusi adalah 6 jam. (11)
Terapi untuk sindroma kompartemen akut maupun kronik biasanya adalah operasi.
Insisi panjang dibuat pada fascia untuk menghilangkan tekanan yang meningkat di
dalamnya. Luka tersebut dibiarkan terbuka (ditutup dengan pembalut steril) dan
ditutup pada operasi kedua, biasanya 5 hari kemudian. kalau terdapat nekrosis otot,
dapat dilakukan debridemen, kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit (tanpa
regangan ), atau skin graft mungkin diperlukan untuk menutup luka ini.(8,20)
Adapun indikasi untuk melakukan fasciotomi adalah : (21)
1. Ada tanda-tanda klinis dari sindroma kompartemen.

7
2. Tekanan intrakompartemen melebihi 30 mmHg.

FASCIOTOMI PADA REGIO CRURIS


Ada 3 pendekatan fasciotomi untuk kompartemen regio cruris : fibulektomy,
fasciotomi insisi tunggal perifibular, dan fasciotomi insisi ganda. Fibulektomi adalah
prosedur radikan dan jarang dilakukan, dan jika ada, termasuk indikasi pada sindrom
kompartemen akut. Insisi tunggal dapat digunakan untuk jaringan lunak pada
ektremitas. Teknik insisi ganda lebih aman dan efektif. (1,19)
Fasciotomi insisi tunggal (davey, Rorabeck, dan Fowler) :
Dibuat insisi lateral, longitudinal pada garis fibula, sepanjang mulai dari distal caput
fibula sampai 3-4 cm proksimal malleolus lateralis. Kulit dibuka pada bagian anterior
dan jangan sampai melukai nervus peroneal superficial. Dibuat fasciotomy
longitudinal pada kompartemen anterior dan lateral. Berikutnya kulit dibuka ke
bagian posterior dan dilakukan fasciotomi kompartemen posterior superficial. Batas
antara kompartemen superficial dan lateral dan interval ini diperluas ke atas dengan
memotong soleus dari fibula. Otot dan pembuluh darah peroneal ditarik ke belakang.
Kemudian diidentifikasi fascia otot tibialis posterior ke fibula dan dilakukan inisisi
secara longitudinal. (1,19)

Fasciotomi insisi ganda (Mubarak dan Hargens) :


Insisi sepanjang 20-25 cm dibuat pada kompartemen anterior, setengah antara fibula
dan caput tibia. Diseksi subkutaneus digunakan untuk mengekspos fascia
kompartemen. Insisi tranversal dibuat pada septum intermuskular lateral dan
identifikasi nervus peroneal superficial pada bagian posterior septum. Buka
kompartemen anterior kearah proksimal dan distal pada garis tibialis anterior.
Kemudian dilakukan fasciotomi pada kompartemen lateral ke arah proksimal dan
distal pada garis tubulus fibula.
Insisi kedua dibuat secara longiotudinal 1 cm dibelakang garis posterior tibia.
Digunakan diseksi subkutaneus yang luas untuk mengidentifikasi fascia. Vena dan
nervus saphenus ditarik ke anterior. Dibuat insisi tranversal untuk mengidentifikasi
septum antara kompartemen posterior profunda dan superficial. Kemudian dibuka
fascia gastrocsoleus sepanjang kompartemen. Dibuat insisi lain pada otot fleksor
digitorum longus dan dibebaskan seluruh kompartemen posterior profunda. Setelah
kompartemen posterior dibuka, identifikasi kompartemen otot tibialis posterior. Jika

8
terjadi peningkatan tekanan pada kompartemen ini, segera dibuka.(1,19)

FASCIOTOMI PADA REGIO ANTEBRACHIUM


Pendekatan volar (Henry)
Dekompresi kompartemen fleksor volar profunda dan superficial dapat dilakukan
dengan insisi tunggal. Insisi kulit dimulai dari proksimal ke fossa antecubiti sampai ke
palmar pada daerah tunnel carpal. Tekanan kompartemen dapat diukur selama operasi
untuk mengkonfirmasi dekompresi. Tidak ada penggunaan torniket. Insisi kulit mulai
dari medial ke tendon bicep, bersebelahan dengan siku kemudian ke sisi radial tangan
dan diperpanjang kea rah distal sepenjang brachioradialis, dilanjutkan ke palmar.
Kemudian kompartemen fleksor superficial diinsisi, mulai pada titik 1 atau 2 cm di
atas siku kearah bawah sampai di pergelangan.(1,19)
Kemudian nervus radialis diidentifikasi dibawah brachioradialis, keduanya kemudian
ditarik ke arah radial, kemudian fleksor carpi radialis dan arteri radialis ditarik ke sisi
ulnar yang akan mengekspos fleksor digitorum profundus fleksor pollicis longus,
pronatus quadratus, dan pronatus teres. Karena sindrom kompartemen biasanya
melibatkan kompartemen fleksor profunda, harus dilakukan dekompresi fascia
disekitar otot tersebut untuk memastikan bahwa dekompresi yang adekuat telah
dilakukan.(1,19)

Pendekatan Volar Ulnar


Pendekatan volar ulnar dilakukan dengan cara yang sama dengan pendekatan Henry.
Lengan disupinasikan dan insisi mulai dari medial bagian atas tendon bisep, melewati
lipat siku, terus ke bawah melewati garis ulnar lengan bawah, dan sampai ke carpal
tunnel sepanjang lipat thenar. Fascia superficial pada fleksor carpi ulnaris diinsisi ke
atas sampai ke aponeurosis siku dan ke carpal tunnel ke arah distal. Kemudian dicari
batas antara fleksor carpi ulnaris dan fleksor digitorum sublimis. Pada dasar fleksor
digitorum sublimis terdapat arteri dan nervus ulnaris, yang harus dicari dan
dilindungi. Fascia pada kompartemen fleksor profunda kemudian diinsisi.(1,19)

Pendekatan Dorsal
Setelah kompartemen superficial dan fleksor profunda lengan bawah didekompresi,
harus diputuskan apakah perlu dilakukan fasciotomi dorsal (ekstensor). Hal ini lebih
baik ditentukan dengan pengukuran tekanan kompartemen intraoperatif setelah

9
dilakukan fasciotomi kompartemen fleksor. Jika terjadi peningktan tekanan pada
kompartemen dorsal yang terus meningkat, fasciotomi harus dilakukan dengan posisi
lengan bawah pronasi. Insisi lurus dari epikondilus lateral sampai garis tengah
pergelangan. Batas antara ekstensor carpi radialis brevis dan ekstensor digitorum
komunis diidentifikasi kemudian dilakukan fasciotomi.(1,19)

DIAGNOSIS BANDING
Diferensial diagnosis dari sindroma kompartemen meliputi tendinitis, fatigue fraktur
dan shin splints. Keadaan ini dihubungkan berdasarkan nyeri pada tungkai bawah
akibat latihan. Namun memberikan gejala yang sama dengan sindroma kompartemen.
(22,23)
Gejala pada tendinitis biasanya muncul setelah latihan, nyeri sering diakibatkan oleh
regangan pada tendo. Pada fatigue fraktur, daerah tulang yang diserang meluas dari
satu sisi tulang ke tulang yang lain. Pada shin splints, nyeri biasanya hanya pada
puncak belakang tibia medial, sering pada pertemuan setengah dan sepertiga distal
tibia. (22,23)

KOMPLIKASI (21,24)
Kegagalan dalam mengurangi tekanan intrakompartemen dapat menyebabkan
nekrosis jaringan, selama perfusi kapiler masih kurang dan menyebabkan hipoksia
pada jaringan tersebut.
Kontraktur volkmann adalah deformitas pada tungkai dan lengan yang merupakan
kelanjutan dari sindroma kompartemen akut yang tidak mendapat terapi selama lebih
dari beberapa minggu atau bulan.
Infeksi.
Hipestesia dan nyeri.
Komplikasi sistemik yang dapat timbul dari sindroma kompartemen meliputi gagal
ginjal akut, sepsis, dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) yang fatal jika
terjadi sepsis kegagalan organ secara multisistem.

PROGNOSIS
Sindroma kompartemen akut cenderung memiliki hasil akhir yang jelek. Toleransi
otot untuk terjadinya iskemia adalah 4 jam. Kerusakan irreversibel terjadi bila lebih
dari 8 jam. Jika diagnosa terlambat, dapat menyebabkan trauma saraf dan hilangnya

10
fungsi otot. Walaupun fasciotomi dilakukan dengan cepat dan awal, hampir 20%
pasien mengalami defisit motorik dan sensorik yang persisten. (11)

DAFTAR PUSTAKA

1. Azar Frederick. Compartment syndrome in Campbell`s operative orthopaedics. Ed


10th. Vol 3. Mosby. USA. 2003. p : 2449-57

2. DeLee C Jesse, Drez David. Compartment syndrome in DeLee & Drez`s


orthopaedic sports medicine. Ed 2nd. Vol 1. Saunders. USA. 2003. p : 13-4

3. Argenta C Louis. Compartment syndromes in Basic sciense for surgeons. Saunders.


Philadelphia. 2004. p : 143-4

4. Paula Richard. Compartment syndrome, extremity. Available at


http://www.emedicine.com. Accessed on May 28th 2007.

5. Rasul Abraham. Compartment syndrome. Available at http://www.emedicine.com.


Accessed on May 29th 2007.

6. Cameron Peter, Jelinek George. Compartment syndrome in Textbook of adult


emergency medicine. Ed 2nd. Churchill Livingstone. New York. 2004. p : 84-5

7. Anonym. Compartment syndrome. Available at http://www.AAOS.com. Accessed


on May 28th 2007.

8. Andrew L, Chen. Compartment syndrome. Available at


http://www.medlineplus.com. Accessed on May 28th 2007.

9. Marc F Swiontkowski. Compartmental syndromes in Manual of orthopaedics. Ed


5th. Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2001. p : 20-8

10. Preston R Miller, John M Kane. Compartment syndrome and rhabdomyolysis in


The trauma manual. Ed 2nd. Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2002. p : 335-7

11
11. Wallace Stephen. Compartment syndrome, lower extremity. Available at
http://www.emedicine.com. Accessed on June 4th 2007.

12. Anglen J, Banovetz. Pathophysiology of compartment syndrome in The well leg


resulting from fracture table positioning. Clinical Orthopaedics & Related Research.
1994. p : 239-42

13. Kearns, Daly, Sheehan, Murray. Oral vitamin C reduces the injury to skeletal
muscle caused by compartment syndrome. Journal of Bone and Joint Surgery. Aug
2004.

14. Solomon Louis, Warwick David. Compartment syndrome in Appley`s system of


orthopaedics and fractures. Ed 8th. Oxford University Press. New York. 2001. p : 563-
4

15. Townsend M Courtney, Beau Champ. Acute compartment syndrome in Textbook


of surgery. Ed 17th. Elsevier Saunders. USA. 2004. p : 554-7

16. Pink P Mitchell, Abraham Edward. Compartment syndrome in Textbook of critical


care. Ed 5th. Elsevier Saunders. USA. 2005. p : 2099

17. McRae Ronald, Esser Max. Compartment syndromes in Practical fracture


treatment. Churchill Livingstone. New York. 2002. p : 99

18. Flandry Fred. Compartment syndrome : swelling out of control. Available at


http://www.hughston.com. Accessed on May 28th 2007.

19. Amendola, Bruce Twaddle. Compartment syndromes in Skeletal trauma basic


science, management, and reconstruction. Vol 1. Ed 3rd. Saunders. 2003. p : 268-92

20. Brian J Awbrey, Shingo Tanabe. Chronic exercise-induced compartment syndrome


of the leg. Harvard Orthopaedic Journal.

12
21. Kalb L Robert. Compartment syndrome evaluation in Procedures for primary care.
Mosby. USA. 2003. p : 1419-29

22. Frederick A. Compartmental syndromes. Available at http://www.wikipedia.org.


Accessed on June 4th 2007.

23. Braver Richard. Surgical pearls : How to test and treat exertional compartment
syndrome. American College of Foot and Ankle Surgeons. May 2002. p : 22-4

24. Anonym. Compartment syndrome. Available at http://www.wikipedia.org.


Accessed on May 29th 2007.

C. DISRUPSI CINCIN PELVIS DENGAN PERDARAHAN

Disrupsi cincin pelvis merupakan penyebab utama mortalitas dan


morbiditas pada pasien cedera multipel. Dimana kefatalannya disebabkan oleh
perdarahan retroperitoneal dan cedera-cedera lain sehubungan dengannya. Fraktur
bisa jadi sangat mematikan jika muncul dalam kombinasinya bersama dengan
cedera penting pada sistem organ mayor. Karena daya yang tinggi penting untuk
disrupsi cincin pelvis pada pasien dewasa muda, tidaklah mengejutkan kalau
sampai 80% pasien ini juga mendapat cedera muskuloskeletal. Angka mortalitas
pada pasien cedera cincin pelvis berkekuatan-tinggi rata-rata 15-20%. Kematian
ini umumnya disebabkan oleh cedera yang umumnya sehubungan dengan pola
cedera. Mortalitas meningkat hampir 13 kali jika pasien mengalami hipotensi.
Ketika berkombinasi dengan cedera kepala atau cedera abdomen yang
membutuhkan intervensi bedah, mortalitas meningkat sampai 50%. Jika kedua
prosedur diperlukan, mortalitas meningkat sampai 90% (Guthrie et al., 2010).
Ahli bedah ortopedi dan ahli traumatologi secara luas mengklasifikasikan
disrupsi cincin pelvis kedalam dua kelompok mayor : stabil dan tidak stabil.
Pelvis yang stabil didefenisikan sebagai sesuatu yang dapat tetap bertahan dari
gaya fisiologis tanpa dislokasi. Stabilitas ini bergantung pada integritas struktur
ligamen dan tulang (Guthrie et al., 2010).
Dislokasi ini dapat dinilai pada screening radiografi AP awal. Cedera stabil
termasuk fraktur non-dislokasi cincin pelvis dan dislokasi anterior < 2,5 cm.

13
Instabilitas rotasional ditandai dengan melebarnya simfisis pubis atau dislokasi
fraktur rami pubis > 2,5 cm. Dasar instabilitas vertikal adalah pemindahan
superior hemipelvis melalui fraktur sacrum atau ilium dan disrupsi sendi
sacroiliaca > 1 cm. Karena pelvis merupakan struktur cincin sebenarnya, dislokasi
anterior penting harus dibarengi dengan disrupsi posterior yang bersesuaian.
Disrupsi cincin pelvis biasanya merupakan sebuah kombinasi fraktur dan cedera
ligament (Guthrie et al., 2010).
Biasanya penyebab perdarahan pada fraktur pelvis adalah dari pleksus
vena pelvis posterior dan perdarahan yang menghapus permukaan tulang. Sekitar
< 10% kasus perdarahan, disebabkan dari perdarahan arteri yang cukup dikenal.
Pengobatan awal harus berfokus pada kontrol perdarahan vena. Reduksi dan
stabilisasi pada dislokasi cincin pelvis membantu mencapai pengontrolan tersebut.
Reduksi akan mengurangi volume pelvis dan lakukan tampon pembuluh darah
yang mengalami perdarahan dengan cara kompresi viscera dan hematom pelvis.
Stabilisasi mempertahankan reduksi dan mencegah pergerakan hemipelvis,
mengurangi nyeri dan membatasi disrupsi gumpalan terorganisir. Reduksi dan
stabilisasi saja biasanya mengontrol perdarahan vena, maka pasien yang tidak
merespon manuver ini lebih mungkin mendapat perdarahan arteri (Guthrie et al.,
2010).
Penatalaksanaan disrupsi cincin pelvis dengan perdarahan:
a. Resusitasi cairan
b. Hentikan perdarahan, dengan
1) Direct pressure
2) Pemasangan stagen, pelvic sling, PASG
3) Terapi definitif:
c. Terapi definitif, pemasangan C-CLAMP.
d. Rujuk

D. DISLOKASI

Dislokasi adalah cedera yang terisolasi, melumpuhkan anggota badan dan


segera pasien diangkut. Kontrol perdarahan dengan tekanan langsung dan
mencakup dislokasi terbuka dengan kasa steril. Setiap dislokasi terbuka terkait
dengan atau tanpa fraktur biasanya tidak boleh direduksi IGD. Antibiotik
profilaksis yang tepat harus diberikan, dan status tetanus pasien harus diperbarui.
Dressing steril harus diterapkan.

14
Menilai status neurovaskular dari kaki sebagai bagian dari survei sekunder.
Pertimbangkan pengurangan mendesak setiap dislokasi yang menyebabkan
kompromi neurovaskular signifikan.
Di IGD, perawatan biasanya melibatkan analgesia yang tepat, es, dan
elevasi. Dislokasi dari jari-jari kaki sering dapat dikurangi dengan anestesi lokal
(blok digital) di UGD dengan traksi longitudinal yang sederhana. Dislokasi dari
kaki pertama mungkin sulit untuk direduksi. Selain itu, metatarsophalangeal
pertama (MTP) dan dislokasi interphalangeal (IP) yang terbuka atau tidak dapat
direduksi memerlukan konsultasi ortopedi. Sebagian lainnya MTP dan IP dislokasi
mudah dikelola oleh dokter IGD.

E. TRAUMATIC AMPUTATION
Amputasi traumatik adalah hilangnya bagian tubuh biasanya jari, jari kaki,
lengan, atau kaki yang terjadi sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma. Sebuah
amputasi traumatik dapat melibatkan bagian tubuh, termasuk lengan, tangan, jari
tangan, kaki, jari kaki, telinga, hidung, kelopak mata dan alat kelamin. Anggota
tubuh bagian atas termasuk jari-jari (falang), tangan (metakarpal), pergelangan
tangan (carpals), lengan (radius/ulna), lengan atas (humerus), tulang belikat
(tulang belikat) dan tulang kerah (klavikula). Amputasi ekstremitas lebih dari 65%
dari traumatik amputasi, sementara orang yang dapat terlibat dalam amputasi
korban kebanyakan antara usia 15 dan sebagian besar korban 80% adalah laki-laki
utama (Pike, 2001).
Yang paling penting di sini adalah meminimalkan perdarahan, shock, dan
infeksi. Hasil jangka panjang untuk diamputasi telah meningkat karena
pemahaman yang lebih baik dari manajemen amputasi traumatik, darurat awal dan
manajemen perawatan kritis, teknik bedah baru, rehabilitasi awal, dan prostetik
baru. Teknik ekstremitas replantation baru telah cukup berhasil, tapi regenerasi
saraf tidak lengkap tetap menjadi faktor pembatas utama (Pike, 2001).

F. TRAUMA VASKULER BESAR


Lesi vaskuler besar yang tersering adalah arteri poplitea dan arteri radialis,
arteri inguinalis, arteri brachialis dan arteri femoralis. Diagnosis umumnya
ditegakkan dengan arteriografi atau Dopler, dan pengukuran saturasi O2 jari
distal. Penanganan cedera vena diligasi dan berikan resusitasi cairan. Kontrol

15
pendarahan dengan penekanan untuk pembuluh darah proksimal dari cedera
(misalnya, tekanan femoralis di luka ekstremitas bawah) (Scott, 2011).

G. SEPTIC ARTHRITIS

Septic artritis adalah suatu proses inflamasi yang steril biasanya hasil dari
proses ekstra-artikular. Septic arthritis biasanya menyebabkan ketidaknyamanan
dan kesulitan menggerakkan sendi yang terkena (Yuliasih, 2009).
Tanda dan gejalanya antara lain:
a. Demam
b. Nyeri parah pada sendi yang terkena, terutama ketika menggerakkan sendi
c. Pembengkakan sendi yang terkena
d. Hangat di daerah sendi yang terkena
Penanganan awal yang dapat dilakukan pada pasien dengan arthrititis
septik yakni:

1. Drainase
Manajemen medis arthritis infektif berfokus pada drainase yang
memadai dan tepat waktu dari cairan sinovial yang terinfeksi, pemberian
terapi antimikroba yang tepat, dan imobilisasi sendi untuk mengontrol rasa
sakit (Brusch, 2011).
2. Antibiotik
Dokter harus mengidentifikasi bakteri yang menyebabkan infeksi
terlebih dahulu, baru kemudian memilih antibiotik yang paling efektif untuk
menargetkan bakteri. Antibiotik biasanya diberikan melalui pembuluh darah
vena di lengan pada awalnya. Pasien kemudian bisa beralih ke antibiotik oral.
Lama pengobatan antibiotik tergantung pada kesehatan, jenis bakteri yang
menginfeksi dan sejauh mana infeksinya. Biasanya, pengobatan berlangsung
sekitar dua sampai enam minggu (Brusch, 2011).
3. Mobilisasi sendi secara lembut
Setelah infeksi dapat dikontrol, dokter biasanya merekomendasikan
pasien melakukan gerakan lembut untuk menjaga fungsi sendi. Pergerakan
sendi dapat menjaga tubuh dari kekakuan sendi dan otot-otot. Gerakan juga
mendorong aliran darah dan sirkulasi yang membantu proses penyembuhan
tubuh (Yuliasih, 2009).

16
H. OSTEOMIELITIS AKUT
Osteomyelitis adalah proses inflamasi akut atau kronik pada tulang dan
struktur sekundernya karena infeksi oleh bakteri piogenik. Begitu diagnosis secara
klinis ditegakkan, ekstremitas yang terkena diistirahatkan dan segera berikan
antibiotik. Bila dengan terapi intensif selama 24 jam tidak didapati perbaikan,
dianjurkan untuk mengebor tulang yang terkena. Bila ada cairan yang keluar perlu
dibor dibeberapa tampat untuk mengurang tekanan intraostal. Cairan tersebut
perlu dibiakkan untuk menentuka jenis kuman dan resistensinya. Bila terdapat
perbaikan, antibiotik parenteral diteruskan sampai 2 minggu, kemudian diteruskan
secara oral paling sedikit empat minggu (Schwartz et al., 2000).
Penyulit berupa kekambuhan yang dapat mencapai 20%, cacat berupa
dekstruksi sendi, gangguan pertumbuhan karena kerusakan cakram epifisis, dan
osteomyelitis kronik (Schwartz et al., 2000).
Penanganan yang dilakukan di IGD antara lain:
1. Resusitasi cairan

2. Antibiotika.

Antibiotika yang efektif terhadap gram negatif maupun gram positi


diberikan langsung tanpa menunggu hasil biakan darah, dan dilakukan secara
parenteral selama 3-6 minggu.

3. Pemeriksaan biakan darah.

4. Imobilisasi anggota gerak yang terkena

5. Analgetik antipiretik

(Schwartz et al., 2000).

17
H. FAT EMBOLYSM SYNDROME

Fat embolism syndrome (FES) adalah suatu keadaan klinis diamana emboli
lemak atau fat macrobules dalam sirkulasi menyebabkan disfungsi multisistem
(Shaikh, 2009). Fat embolism sebenarnya terjadi pada semua pasien dengan
fraktur tulang panjang setelah dilakukan nailing. Biasanya bersifat asimptomatik,
namun pada beberapa pasien akan menunjukkan gejala disfungsi multi organ,
utamanya triad paru-paru, otak, dan kulit (Georgopoulos dan Bouros, 2003).
Diagnosis dari FES secara esensial adalah diagnosis klinis. Untuk
membantu diagnosis dapat dipakai kriteria dari Gurd (Gurds Criteria). Menurut
kriteria Gurd, diagnosis FES membutuhkan setidaknya 1 tanda dari kriteriamayor
dan setidaknya 4 tanda dari kriteria minor. Kriteria ini telah sedikit dimodifikasi
dari kriteria Gurd yang sebenarnya (Schwartz et al, 2000).
Kriteria mayor :
1. Petekhie axiler atau subkonjungtival.
2. Terjadi sebentar saja (4 6 jam).
3. Hipoksemia, PaO2 di bawah 60 mmHg.
4. Depresi saraf pusat yang tidak sesuai dengan hipokseminya, dan edema
pulmonal
Kriteria minor :
1. Takikardi lebih dari 110 bpm
2. Demam lebih dari 38,5C.
3. Emboli tampak pada retina pada pemeriksaan fundoskopi.
4. Lemak terdeteksi pada urine.
5. Penurunan hematokrit atau jumlah platelet yang mendadak dan tidak diketahui
penyebabnya.
6. Peningkatan LED atau viskositas plasma.
7. Gumpalan lemak tampak pada sputum.
Penatalaksanaan FES umumnya berupa oksigenasi dan ventilasi adekuat,
stabilisasi hemodinamik, rehidrasi, produk darah sesuai indikasi, serta profilaksis
trombosis vena dan profilaksis perdarahan intestinal, juga menjaga kebutuhan
nutrisi (Jain,2008). Sebenarnya tidak ada terapi khusus untuk FES; pencegahan
dan diagnosis dini, serta penanganan simptomatik merupakan hal yang paling
penting. FES merupakan self-limiting disease penatalaksanaan utamanya adalah
terapi suportif berupa:

1. Spontaneous ventilation

18
Penatalaksanaan awal hipoksia yang berkaitan dengan emboli lemak
adalah oksigenasi spontan. Oksigen diinhalasi menggunakan facemask dan
sistem aliran tingggi oksigen dapat digunakan untuk mendapatkan FIO2
(konsentrasi O2 yang diinpirasi) mencapai 50-80%.

2. CPAP dan ventilasi noninvasif


CPAP (continuous positive airway pressure) dapat ditambahkan untuk
meningkatkan PaO2 tanpa meningkatkan FIO2. Ventilasi mekanik dapat
digunakan menggunakan masker CPAP.

3. Mechanical ventilation and PEEP


Jika FIO2 of >60% and CPAP of > 10 cm diperlukan untuk mencapai
PaO2 > 60 mmHg, maka intubasi endotrakheal, ventilasi mekanis dengan PEEP
(positive end expiratory pressure) harus dipertimbangkan (Wofe dan De Vries,
1975).
PEEP dapat meningkatkan PaO2, namun kadang dapat menurunkan
PaO2 karena terjadinya peningkatan tekanan atrium kanan dan menurunnya
cardiac output. Oleh karena itu, monitoring analisis gas darah harus
dilaksanakan bila menggunakan PEEP atau ventilasi mekanik.
4. Resusitasi cairan
Mengembalikan volume intravaskuler juga penting, karena shock dapat
dapat menyebabkan lesi pada paru-paru akibat FES. Albumin
direkomendasikan untuk resusitasi cairan karena selain mengembalikan volume
darah albumin juga dapat berikatan dengan asam lemak, sehingga menurunkan
kemungkinan lesi paru-paru (Jawed dan Naseem, 2005).

I. UNSTABLE CERVICAL SPINE

19
Pengangkutan pasien cedera cervical dengan papan juga kerah semirigid,
dengan leher stabil pada sisi kepala dengan kantong pasir atau blok busa
diletakkan sisi kanan dan kiri leher.
Jika malalignment tulang belakang diidentifikasi, pasien di traksi skeletal sesegera
mungkin (dengan sangat sedikit pengecualian), bahkan jika tidak ada bukti defisit
neurologis ada. Cedera tertentu yang terlibat dan kemampuan manajemen
konsultasi staf ahli lebih lanjut (Moira Davenport,2008).
Penanganan pasien fraktur cervical di IGD:
1. Ambulasi, seperti 4 orang mengangkat balok.
o 1 orang memegang kepala dengan ekstensi dan traksi leher
o 1 orang mengangkat punggung
o 1 orang mengangkat pinggang dan paha
o 1 orang mengangkat tungkai bawah.
2. Di atas bed dengan alas datar dan keras
o Pasien diposisikan telentang.
o Pasang collar brace
o Letakkan kantong pasir bila perlu, untuk memfiksasi posisi pasien di bed.
o Ekstensi leher
3. Infus RL, beri analgetik, dan puasakan pasien
4. Lakukan prosedur diagnostik, misal rontgen.
5. Crutchfild, Glisson Traction 3-5 kg
6. Pindahkan ke bangsal.

BAB III

20
PENUTUP

Kesimpulan

Emergensi ortopedi merupakan suatu keadaan yang dapat mengancam jiwa dan
hilangnya fungsi dari organ tertentu di bidang ortopedi, seperti ekstremitas dan
persendian. Emergensi ortopedi disampaikan sekitar 20% pasien yang datang ke rumah
sakit membutuhkan suatu penanganan atau tindakan awal yang cepat serta dibutuhkan
keterampilan seseorang dokter.
Pengetahuan dasar mengenai cedera ortopedi, pola fraktur, dislokasi, teknik
reduksi, dan teknik bidai, dibutuhkan untuk mengelola cedera serta pemahaman tentang
pembacaan radiologi, membuat dan menginterpretasikan suatu hasil radiologi yang
dibutuhkan dalam penanganan terhadap kasus emergensi ortopedi.
Beberapa emergensi ortopedi dalam lingkup dunia kedokteran yang menjadi
prioritas dan penanganan khusus, yaitu : open fracture, dislokasi, fraktur pelvic yang
tidak stabil, osteomyelitis akut, compartement syndrome, fraktur dengan cidera
vaskuler, traumatik amputasi, dan fat embolism syndrome
DAFTAR PUSTAKA

Budiman C. 2010. Patah Tulang dan Pembidaian. Bandung: KORPS Sukarela


PMI UNPAD.
xa.yimg.com/kq/groups/.../Patah+Tulang+dan+Pembidaian.pptx (10
Desember 2012)

Georgopoulos D, Bouros D. 2003. Fat embolism syndrome clinical examination


is still the preferable diagnostic method. Chest. 2003;123:9823.

Guthrie HC, Owens R, Bircher MD, 2010. Focus On Pelvic Fractures. The
journal of bone and joint
surgery.http://www.jbjs.org.uk/media/29777/focuson_pelvic.pdf (29
Januari 2013)

Jawed M, Naseem M. 2005. An update on fat embolism syndrome. Pak J Med


Sci. 2005;21:26.

John L Brusch. 2011. Septic Arthritis.


http://emedicine.medscape.com/article/236299-treatment#showall
Diakses tanggal 30 Januari 2013.

21
Moira Davenport. Spine serviks Fraktur di Pengobatan Darurat.2008.
http://emedicine.medscape.com/article/824380-overview#showall
Diakses tanggal 30 Januari 2013

Paula R. 2007. Compartment syndrome, extremity. http://www.emedicine.com


(29 Januari 2013)

Pike, Rockville. 2001. Amputation- Traumatic.


http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000006.html (30
Januari 2012)

Rasjad, C. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi ed. III. Yarsif Watampone.
Makassar: 2007. pp. 352-489

Richard Buckley. 2012. TREATMENT FRACTURE.


http://emedicine.medscape.com/article/1270717-treatment#showall
Diakses tanggal 29 Januari 2013

Schwartz.SI; Shires.GT; Spencer.FC. 2000. Intisari Prinsip Prinsip Ilmu Bedah.


EGC: Jakarta.

Scott H Bjerke. 2011. Ekstremitas Vascular Trauma Perawatan & Manajemen.


http://emedicine.medscape.com/article/462752-workup#showall
Diakses tanggal 30 Januari 2013

Shaikh, Nissar. 2009. Emergency management of fat embolism syndrome. J


Emerg Trauma Shock. 2009 Jan-Apr; 2(1): 2933. doi: 10.4103/0974-
2700.44680

Thomas M Schaller. 2012. Open fracture.


http://emedicine.medscape.com/article/1269242-overview#showall
Diakses tanggal 29 Januari 2013

Wofe WG, De Vries WC. 1975. Oxygen toxicity. Annu Rev Med 1975;26:203-
14.

Yuliasih. 2009. Artritis Septik.


http://penelitian.unair.ac.id/artikel/879a293390a8508635485ed7e5b2e45
f_Unair.pdf (10 Desember 2012)

22
23

Anda mungkin juga menyukai