Anda di halaman 1dari 81

PEMERIKSAAN FISIK NEUROLOGIS

Arthur H.P. Mawuntu


Departemen Neurologi
Fakultas kedokteran Universitas Sam Ratulangi/
BLU RS Prof. dr. R.D. Kandou Manado
2011
arthur_mawuntu@yahoo.com
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
• Kesadaran : Kualitatif & kuantitatif (GCS).
• Pemeriksaan neurobehaviour : non-kognitif & kognitif.
• Tanda rangsangan meningeal : kaku kuduk, kernig, Brudzinski I – IV.
• Nervus-nervus kranialis : n. I – XII.
• Sistem motorik : trofi otot, gerak & sikap, tonus otot, kekuatan otot.
• Refleks : fisiologis (superfisial dan tendon dalam), patologis.
• Sistem sensorik : eksteroseptif, proprioseptif.
• Sistem autonom : simpatik & parasimpatik.
• Sistem serebelum : nistagmus, disartria, tonus otot, ataksia trunkus,
ataksia ekstremitas, gait & station, disdiadokokinesis, dismetria,
rebound phenomenon.
• Pemeriksaan-pemeriksaan lain : tes-tes provokasi
PEMBAHASAN
• Anamnesis.
• Cara pemeriksaan Kesadaran.
• Cara pemeriksaan Tanda Rangsangan
Meningeal.
• Cara pemeriksaan Saraf Kranialis.
• Cara pemeriksaan Sistem Motorik.
• Cara pemeriksaan Refleks.
• Cara pemeriksaan Sistem Sensorik.
CARA MELAKUKAN ANAMNESIS
• ANAMNESIS yang baik membawa kita menempuh setengah jalan kearah
diagnosis yang tepat .
• Biasanya pengambilan anamnesis mengikuti 2 pola umum yaitu:
– Pasien dibiarkan secara bebas mengemukakan semua keluhan serta
kelainan yang dideritanya.
– Pemeriksa ( dokter ) membimbing pasien mengemukakan keluhannya
atau kelainannya dengan jalan mengajukan pertanyaan tertuju.
CARA MELAKUKAN ANAMNESIS
• “ Keluhan utamanya “ yaitu keluhan yang mendorong pasien datang
berobat ke dokter  satu kalimat pendek.
• Kemudian ditelusuri tiap keluhan dengan mencari “Riwayat penyakit
sekarang.”
– Lokalisasi keluhan atau kelainan.
– Bagaimana sifat keluhan atau kelainan?
– Seberapa hebatnya keluhan atau seberapa besarnya kelainan itu?
– Kapan timbulnya dan bagaimana perjalanan selanjutnya.
– Bagaimana mula timbulnya?
– Faktor-faktor apakah yang meringankan atau memperberat keluhan, gejala
atau kelainan?
– Gejala – gejala apa yang menyertai / mengiringinya?
CARA MELAKUKAN ANAMNESIS
• Riwayat penyakit dahulu.
• Terapi dan segala pemeriksaan yang telah dilakukan sebelumnya.
• Riwayat penyakit dlm keluarga  family tree.
• Riwayat pekerjaan, kebiasaan, dan kehidupan sosial.
• Bagaimana efek psikologi terhadap penyakitnya yang dideritanya.
CARA PEMERIKSAAN KESADARAN
• PEMERIKSAAN KESADARAN dapat dinyatakan secara kuantitatif maupun
kualitatif.
• Cara kuantitatif dengan menggunakan Glasgow Coma Scale dipandang
lebih baik karena beberapa hal :
 Dapat dipercaya.
 Sangat teliti dan dapat membedakan kelainannya hingga tidak terdapat
banyak perbedaan antara dua penilai (obyektif ).
 Dengan sedikit latihan dapat juga digunakan oleh perawat sehingga
observasi mereka lebih cermat.
• (GLASGOW COMA SCALE = SKALA KOMA GLASGOW)
 Membuka mata (E)
 Respons motorik (M)
 Respons verbal (V)
PENILAIAN GLASSGOW COMA SCALE
(GCS)
KOMPONEN REAKSI NILAI
MEMBUKA MATA SPONTAN 4
DIPANGGIL 3
DIRANGSANG NYERI 2
TIDAK ADA RESPONS 1
http://rmgh.net/wiki/index.php?title=Glasgow_Coma_S
cale
PENILAIAN GLASSGOW COMA SCALE
(GCS)
KOMPONEN REAKSI NILAI
VERBAL RESPONSE ORIENTASI BAIK 5
JAWABAN KACAU 4
KATA-KATA TIDAK
SESUAI 3
(INAPPROPIATE)
BUNYI TIDAK BERARTI
(INCOMPREHENSIBLE) 2

TIDAK BERSUARA 1
PENILAIAN GLASSGOW COMA SCALE
(GCS)
KOMPONEN REAKSI NILAI
MOTOR SESUAI PERINTAH 6
RESPONSE
LOKALISASI NYERI 5
REAKSI PADA NYERI 4
FLEKSI (DEKORTIKASI) 3
EKSTENSI 2
(DESEREBRASI)
TIDAK ADA RESPONSE 1
(DIAM)
• PITTSBURGH BRAIN STEM SCORE.
Cara ini dapat digunakan untuk menilai refleks brainstem pada pasien koma

Refleks Batang Otak


1. Refleks bulu mata positif kedua sisi 2
negatif 1
2. Refleks kornea positif kedua sisi 2
negatif 1
3. Doll’s eye movement/ice water calories positif kedua sisi 2
negatif 1
4. Reaksi pupil kanan terhadap cahaya positif 2
negatif 1
5. Reaksi pupil kiri terhadap cahaya positif 2
negatif 1
6. Refleks muntah atau batuk positif 2
negatif 1

Interpretasi: Nilai minimum : 6


Nilai maksimum : 12 ( nilai /skor makin tinggi makin baik )
• Cara Pemeriksaan Kualitatif
• Tingkat kesadaran dibagi menjadi beberapa yaitu:
Kompos mentis > Somnolen > Sopor > Koma – ringan > Koma.
• Somnolen : Keadaan mengantuk . Kesadaran dapat pulih penuh bila
dirangsang . Pasien mudah dibangunkan, mampu memberi jawaban
verbal dan menangkis rangsang nyeri.
• Sopor : Kantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsang
yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia masih dapat
mengikuti suruhan yang singkat dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan
rangsang nyeri pasien tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap
perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari
pasien. Gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.
• Koma-ringan. Pada keadaan ini tidak ada respons terhadap rangsang verbal.
Refleks (kornea, pupil dsb) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai
respons terhadap rangsang nyeri. Pasien tidak dapat dibangunkan.
• Koma/koma dalam. Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali
terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya
CARA PEMERIKSAAN TANDA RANGSANGAN
MENINGEAL
• KAKU KUDUK
Pemeriksaan kaku kuduk tidak dilakukan pada kecurigaan trauma servikal.
Cara periksa :
Singkirkan dulu adanya kekakuan leher karena sebab muskuloskeletal
dengan memalingkan kepala pasien ke kiri dan kanan. Bila ada tahanan
maka terdapat kekakuan leher. Jika ada kekakuan leher maka pemeriksaan
kakuk kuduk dapat positif palsu.
Salah satu tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang
sedang berbaring, kemudian kepala ditekukan (fleksi) dengan tangan yang
lain diletakkan di atas dada untuk menahan dada. Diusahakan agar dagu
mencapai dada. Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila
terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat
mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat.
Pada penurunan kesadaran yang dalam kaku kuduk bisa memberi hasil
negatif palsu.
CARA PEMERIKSAAN TANDA RANGSANGAN
MENINGEAL
• KERNIG SIGN
Pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada persendian
panggul sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai bawah
diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari
135 derajat terhadap paha. Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri pada
sudut <135 derajat , maka dikatakan Kernig sign positif.
CARA PEMERIKSAAN TANDA RANGSANGAN
MENINGEAL
• BRUDZINSKI SIGN
Ini meliputi :
Tanda leher menurut Brudzinski,
Tanda tungkai kontralateral menurut Brudzinski,
Tanda pipi menurut Brudzinski,
Tanda simfisis pubis menurut Brudzinski

• Tanda Leher menurut Brudzinski


Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan
di bawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang
satu lagi sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah
diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu
menyentuh dada.
Tes ini positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di
sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.
CARA PEMERIKSAAN TANDA RANGSANGAN
MENINGEAL
• Tanda tungkai kontra lateral menurut Brudzinski
Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan
pada sendi lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada sendi panggul.
Bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi tungkai kontralateral
pada sendi lutut dan panggul ini menandakan test ini postif.
CARA PEMERIKSAAN TANDA RANGSANGAN
MENINGEAL
• TANDA LASEGUE
Pasien yang berbaring berbaring dengan tungkai diluruskan
Salah satu tungkai diangkat lurus dengan fleksi di persendian panggulnya.
Tungkai yang satu lagi harus selalu berada dalam keadaan ekstensi (lurus).
Pada keadaan normal dapat dicapai sudut 70 derajat sebelum timbul rasa
sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum
mencapai 70 derajat maka disebut tanda Lasegue positif. Namun pada
pasien yang sudah lanjut usianya diambil patokan 60 derajat.
CARA PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS

SARAF OTAK I (NERVUS OLFAKTORIUS )


Tujuan pemeriksaan :
Untuk mendeteksi adanya gangguan menghidu, selain itu untuk mengetahui
apakah gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan saraf atau penyakit
hidung lokal.

• Cara pemeriksaan.
Salah satu hidung pasien ditutup, dan pasien diminta untuk mencium bau-
bauan tertentu yang tidak merangsang .Tiap lubang hidung diperiksa satu
persatu dengan jalan menutup lubang hidung yang lainnya dengan tangan.
Sebelumnya periksa lubang hidung apakah ada sumbatan atau kelainan
setempat, misalnya ingus atau polip. Contoh bahan yang sebaiknya dipakai
adalah : teh,kopi,tembakau,sabun, jeruk.
• Anosmia : hilangnya kemampuan menghidu.
• Hiposmia : berkurangnya kemampuan menghidu.
• Hiperosmia : kemampuan menghidu yang terlalu sensitif.
• Parosmia : gangguan penghiduan berupa menghidu bau yang tidak
sesuai misalnya minyak kayu putih tercium sebagai bau bawang
goreng.
• Jika parosmia dicirikan oleh modalitas olfaktorik yang tidak
menyenangkan atau yang memuakan seperti bacin , pesing dsb,
maka digunakan istilah lain yaitu kakosmia.
• Baik dalam hal parosmia maupun kakosmia adanya perangsangan
olfaktorik merupakan suatu kenyataan, hanya pengenalan nya saja
tidak sesuai, tetapi bila tercium suatu modalitas olfaktorik tanpa
adanya perangsangan maka kesadaran akan suatu jenis bau ini
adalah halusinasi, yaitu halusinasi olfaktorik.
CARA PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS
• SARAF OTAK II (NERVUS OPTIKUS)
Tujuan pemeriksaan :
– Untuk mengukur ketajaman penglihatan ( asies visus) dan menentukan
apakah kelainan pada penglihatan disebabkan oleh kelainan media
refraksi atau neurologis.
– Untuk memeriksa ada tidaknya gangguan lapangan pandang (kampus
visus).
Cara pemeriksaan :
Pemeriksaan ketajaman penglihatan (asies visus)
Asies Visus Kasar : Pasien diminta melihat benda yang letaknya jauh misal jam di
dinding, membaca huruf di buku atau koran.
Asies Visus Jauh : Melakukan pemeriksaan dengan menggunakan kartu Snellen 
Pasien diminta untuk melihat huruf-huruf/bentuk yang makin mengecil. Lakukan
untuk masing-masing mata
Asies Visus Dekat : Menggunakan kartu Jaeger  membaca huruf-huruf di kartu
Jaeger dari jarak sekitar 30 cm dengan masing-masing mata.
Bila pasien tidak dapat membaca di jarak tertentu  minta pasien membaca
menggunakan lempeng pinhole. Bila asies visus membaik maka penurunan asies visus
disebabkan oleh gangguan media refraksi dan bila tidak maka disebabkan oleh
gangguan neurologis.
Bila pasien tidak bisa membaca huruf/bentuk terbesar di kartu Snellen, gunakan :
Tes menghitung jari : Normal dapat terlihat dari jarak 60 m.
Tes melambaikan tangan : Normal dapat terlihat dari jarak 300 m.
Tes cahaya : Normal dapat terlihat dari jarak tidak terhingga.
Memeriksa asies visus dengan pinhole Tes konfrontasi

Lindsay (2005)
Schwartzman (2006)
Pemeriksaan lapang pandang
Yang paling mudah adalah dengan munggunakan metode Konfrontasi dari
Donder.
Dalam hal ini pasien duduk atau berdiri kurang lebih jarak 1 meter dengan
pemeriksa. Jika kita hendak memeriksa mata kanan maka mata kiri pasien
harus ditutup. Pasien disuruh melihat terus pada mata kiri pemeriksa dan
pemeriksa harus selalu melihat ke mata kanan pasien. Setelah pemeriksa
menggerakkan jari tangannya di bidang pertengahan antara pemeriksa
dan pasien dan gerakan dilakukan dari arah luar ke dalam. Jika pasien
mulai melihat gerakan jari-jari pemeriksa, ia harus memberitahu, dan hal
ini dibandingkan dengan pemeriksa, apakah iapun telah melihatnya. Bila
sekiranya ada gangguan lapangan pandang maka pemeriksa akan lebih
dahulu melihat gerakan tersebut.
Gerakan jari tangan ini dilakukan dari semua jurusan dan masing masing
mata harus diperiksa.
Macam macam gangguan lapangan pandang antara lain.
– Hemianopsia ( temporal; nasal ; bitemporalis ; binasal ).
– Homonymous hemianopsia.
– Homonymous quadrantanopsia.
– Total blindness dll.
• SARAF OTAK III,IV,VI
(NERVUS OKULOMOTORIUS, TROKLEARIS,
ABDUSENS)
Fungsi N III, IV, dan VI saling berkaitan dan diperiksa bersama-sama.
Fungsinya ialah menggerakkan otot mata ekstraokuler dan
mengangkat kelopak mata.
Serabut parasimpatik n. III berfungsi mengkonstriksikan pupil.
Cara Pemeriksaan
Terdiri dari:
– pemeriksaan gerakan bola mata
– pemeriksaan kelopak mata
– pemeriksaan pupil
1. Pemeriksaan gerakan bola mata
Lihat ada/tidaknya nistagmus (gerakan bola mata diluar kemauan pasien)
• Pasien diminta untuk mengikuti gerakan tangan pemeriksa yang
digerakkan ke segala jurusan. Lihat apakah ada hambatan pada pergerakan
matanya. Hambatan yang terjadi dapat pada satu atau dua bola mata.
• Pasien diminta untuk menggerakan sendiri bola matanya.

2. Pemeriksaan kelopak mata :


• Membandingkan celah mata/fisura palpebralis kiri dan kanan. Ptosis
adalah kelopak mata yang menutup.
3. Pemeriksaan pupil
Lihat diameter pupil, normal besarnya 3-4 mm.
– Bandingkan kiri dengan kanan (isokor atau anisokor).
– Lihat bentuk bulatan pupil teratur atau tidak.

Pemeriksaan refleks pupil :


Refleks cahaya.
– Direk/langsung : cahaya ditujukan ke arah pupil.
Normal, akibat adanya cahaya maka pupil akan mengecil
(miosis)
Perhatikan juga apakah pupil segera miosis, dan apakah ada
pelebaran kembali yang tidak terjadi dengan segera.
– Indirek/tidak langsung: refleks cahaya konsensuil.
Cahaya ditujukan pada satu pupil, dan perhatikan pupil sisi yang lain.
• Refleks akomodasi
Caranya : pasien diminta untuk melihat telunjuk pemeriksa pada jarak
yang cukup jauh, kemudian dengan dekatkan pada pasien lalu perhatikan
reflek konvergensi pasien. Dalam keadaan normal kedua bola mata
beraduksi/ bergerak ke arah nasal disertai miosis pupil.
Pemeriksaan gerak bola mata Pupil Marcus-Gunn

Baehr & Frotscher (2005)


Lindsay (1997)
CARA PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS

• SARAF OTAK V (NERVUS TRIGEMINUS)


Cara pemeriksaan
Pemeriksaan motorik :
- Pasien diminta merapatkan gigi sekuatnya, kemudian meraba m. masseter
dan m. temporalis
Normalnya kekuatan dan massa otot kiri dan kanan sama tanpa atrofi.
- Pasien diminta membuka mulut. Perhatikan apakah ada deviasi rahang
bawah, jika ada kelumpuhan maka dagu akan terdorong ke sisi lesi.
Sebagai pegangan diambil gigi seri atas dan bawah yang harus simetris.
- Bila terdapat paresis di sebelah kanan, rahang bawah tidak dapat
digerakkan ke samping kiri.
• Pemeriksaan sensorik
Dengan kapas yang dipuntir hingga runcing dan jarum dapat diperiksa rasa
raba halus dan nyeri. Totolkan ujung runcing kapas pada dahi, pipi dan
dagu kanan dan kiri. Selanjutnya ganti dengan jarum. Tanyakan lokasinya
pada pasien dan minta dia membandingkan rasa totolan di kanan dan kiri.
• Pemeriksaan refleks
Refleks kornea (Nervus V1)
Salah satu kornea disentuh dengan kapas bergantian.
Bila normal pasien akan mengedipkan kedua matanya matanya.
Refleks masseter / Jaw reflex (Nervus V3)
Dengan menempatkan satu jari pemeriksa melintang pada bagian tengah
dagu, lalu pasien dalam keadaan mulut setengah membuka dipukul
dengan palu refleks.
Normalnya didapatkan sedikit saja gerakan, malah kadang kadang tidak
ada. Bila ada gerakannya hebat yaitu kontraksi m.masseter, m. temporalis,
m. Pterygoideus medialis yang menyebabkan mulut menutup ini disebut
refleks meninggi.
CARA PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS
• PEMERIKSAAN SARAF OTAK VII (NERVUS FASIALIS)
Pemeriksaan fungsi motorik
Pasien diperiksa dalam keadaan istirahat. Perhatikan wajah pasien kiri dan
kanan apakah simetris atau tidak. Perhatikan juga lipatan dahi, tinggi alis,
lebarnya celah mata, lipatan kulit nasolabial dan sudut mulut.
Kemudian pasien diminta untuk menggerakan wajahnya antara lain:
 Mengerutkan dahi, dibagian yang lumpuh lipatannya tidak dalam
 Mengangkat alis
 Menutup mata dengan rapat dan coba buka dengan tangan pemeriksa
 Moncongkan bibir atau menyengir
 Suruh pasien bersiul,
 Dalam keadaan pipi mengembung tekan kiri dan kanan apakah sama kuat.
Bila ada kelumpuhan maka angin akan keluar kebagian sisi yang lumpuh.
• Pemeriksaan fungsi sensorik.
Dilakukan pada 2/3 bagian lidah depan. Pasien disuruh untuk menjulurkan
lidah , kemudian diletakkan gula, cuka, garam, lalu kina. Pasien diminta
mengatakan rasa yang dikecapnya. Setiap selesai satu bahan, kumur
dengan air.
Kelumpuhan nervus fasialis tipe UMN dan LMN.
A : Tipe UMN kanan; B : tipe LMN kanan.

Baehr & Frotscher (2005)


• SARAF OTAK VIII (NERVUS KOKHLEARIS,
NERVUS VESTIBULARIS)
Nervus Koklearis
Fungsi n. koklearis adalah untuk pendengaran  tes pendengaran
a. Tes Weber
Membandingkan transportasi getaran melalui tulang ke telinga
kanan dan kiri pasien.
Getarkan garpu tala 256/512 Hz lalu tempatkan di dahi pasien, pada
keadaan normal kiri dan kanan sama keras.
b. Tes Rinne.
Untuk membandingkan pendengaran melalui tulang dan udara.
Pada telinga yang sehat, pendengaran melalui udara terdengar lebih
lama dari pada melalui tulang.
getarkan garpu tala lalu tempatkan di planum mastoid sampai
pasien tidak dapat mendengarnya lagi. Kemudian garpu tala
dipindahkan ke depan meatus akustikus eksternus.
Jika pada posisi yang kedua ini masih terdengar dikatakan tes positif.
Tes Pendengaran dengan garputala 512 MHz

Pasien dengan penurunan pendengaran 

Jenis gangguan Tes Rinne di sisi yang tuli Tes Weber

Tuli konduktif Konduksi tulang > udara  Lateralisasi ke telinga


Rinne (-) tuli
Tuli sensorineural Konduksi udara > tulang  Lateralisasi ke telinga
Rinne (+) sehat
• Pemeriksaan N. Vestibularis
Pemeriksaan dengan test kalori.
– Bila telinga kiri didinginkan (diberi air dingin) timbul
nystagmus ke kanan. Bila telinga kiri dipanaskan (diberi
air panas) timbul nystagmus ke kiri.
– Nystagmus ini disebut sesuai dengan fasenya yaitu : fase
cepat dan fase pelan, misalnya nystagmus ke kiri berarti
fase cepat ke kiri.
– Bila ada gangguan keseimbangan maka perubahan
temperatur dingin dan panas memberikan reaksi.

Pemeriksaan “past pointing test”.


– Pasien diminta menyentuh ujung jari pemeriksa dengan
jari telunjuknya, kemudian dengan mata tertutup pasien
diminta untuk mengulangi. Normalnya pasien harus dapat
melakukannya.
• SARAF OTAK IX & X (NERVUS GLOSOFARINGEUS &
NERVUS VAGUS)

Nervus glosofaringeus (n. IX):


• Sensorik : pengecapan 1/3 posterior lidah, sensasi faring, dan telinga tengah.
• Motorik : stilofaringeus.
• Autonom : kelenjar saliva (parotis).
Nervus vagus:
• Sensorik : membran timpani, kanalis auditorik eksterna dan telinga luar.
• Motorik : otot-otot palatum, faring, dan laring (via nervus laringeus rekurens).
• Autonom : serat aferen dari baroreseptor karotis, suplai parasimpatetik untuk
rongga dada dan perut (aferen dan eferen).
Cara pemeriksaan :
Inspeksi palatum
•Pasang lampu kepala.
•Cuci tangan.
•Pasang sarung tangan periksa dan masker.
•Minta pasien membuka mulut dan arahkan lampu kepala ke dalam kavum oris.
•Identifikasi palatum durum, palatum mole, uvula, arkus faring anterior, tonsila
palatina, arkus faring posterior, lidah, dan dinding orofaring posterior.
•Amati kelainan-kelainan struktural kavum oris seperti jejas, disrafisme palatum,
pembesaran tonsil, peradangan, dll.
•Apabila uvula dan arkus faring terhalang lidah, gunakan spatula lidah untuk
menekan lidah.
•Perhatikan apakah arkus faring simetris atau tidak.
•Minta pasien mengucapkan “ahhh...”
•Normalnya, saat mengucapkan “ahhh..” palatum akan terangkat dan bergerak ke
belakang, uvula tetap di tengah, dan kedua arkus faring posterior berkontraksi
hingga saling mendekat di garis tengah. Jika palatum terangkat, amati apakah
terangkat secara simetris atau tidak. Amati pula kedua arkus faring posterior apakah
bergerak bersamaan atau tidak.
Pemeriksaan refleks muntah
•Jelaskan pada pasien bahwa Anda akan merangsang refleks muntahnya.
•Menggunakan aplikator, sentuh dinding posterior orofaring atau palatum sebelah
kanan lalu sebelah kiri.
•Perhatikan apakah uvula terangkat saat dinding posterior disentuh?
•Perhatikan pula apakah kedua arkus faring posterior saling mendekat ke garis tengah
saat pasien muntah (seperti tirai yang menutup dari kedua sisi) atau hanya salah satu
arkus posterior yang bergerak ke arah sisi kontralateralnya atau tidak ada gerakan
arkus faring posterior.
•Perhatikan pula apakah respons di kedua sisi setara atau ada yang menurun.
•Tanyakan pada pasien apakah sensasi di kanan sama dengan kiri?
Pemeriksaan kemampuan menelan
•Tes menelan tidak dilakukan pada pasien dengan penurunan kesadaran atau apabila
ada riwayat kesulitan menelan atau tersedak.
•Jelaskan pada pasien tentang tes yang akan Anda lakukan.
•Minta pasien meminum air putih sekitar 50 – 100 cc secara perlahan.
•Perhatikan apakah pasien tersedak. Bila tersedak hentikan tes segera.
•Amati apakah ada jeda saat minuman berada kavum oris sebelum didorong ke faring.
Amati pula gerakan leher saat menelan.
Penilaian
•Deviasi uvula yang tidak jelas atau tidak konsisten dapat diabaikan.
•Lesi unilateral UMN tidak akan menyebabkan gangguan bicara dan menelan yang
bermakna.
•Pada lesi UMN bilateral, palatum tidak dapat diangkat secara volunter (dengan
mengucapkan “ahhh...”) namun bergerak normal saat refleks muntah dirangsang.
•Jika gerak volunter dan refleks terganggu secara bilateral maka pasien mungkin
mengalami kelumpuhan bulbar bilateral.
•Jika palatum salah satu sisi tidak terangkat, lesinya hampir selalu bertipe LMN
unilateral. Pada kelumpuhan LMN unilateral juga dapat ditemukan fenomena Vernet-
Rideau yaitu bergeraknya arkus faring posterior sisi yang lumpuh ke sisi yang tidak
lumpuh karena tertarik ke sisi yang tidak lumpuh tersebut.
• SARAF OTAK XI (NERVUS AKSESORIUS)
Cara pemeriksaan
• Memeriksa kekuatan m. trapezius : menekan pundak pasien lalu
pasien diminta untuk mengangkat pundaknya.
• Memeriksa m. sternocleidomastoideus :
 Minta pasien memajukan kepalanya melawan tangan Anda.
 Dengan tangan yang lain, rasakan kontraksi kedua muskulus
sternokleidomastoideus.
 Selanjutnya minta pasien memiringkan kepala ke kanan (mis.
dengan perintah “dekatkan telinga kanan Anda ke bahu kanan!”)
sambil Anda meletakkan salah satu tangan Anda di pipi kanan
pasien untuk memberikan tahanan dan tangan lainnya di bahu
kanan pasien untuk memfiksasi bahu. Rasakan kontraksi muskulus
sternokleidomastoideus kanan.
 Berikutnya, minta pasien memalingkan wajahnya ke kiri sambil
salah satu tangan Anda masih berada di pipinya. Rasakan kontraksi
muskulus sternokleidomastoideus kanan.
• SARAF OTAK XII (NERVUS HIPOGLOSUS)
Cara pemeriksaan.
• Inspeksi lidah saat tidak bergerak
Di bawah penerangan yang cukup, inspeksi lidah untuk melihat massa
lidah, posisi, dan permukaannya. Perhatikan apakah ada atrofi lidah dan
bila ada, apakah mencakup seluruh lidah atau hanya salah satu sisi.
Sebagai tambahan, saat menginspeksi lidah juga kita dapat sekaligus
mengevaluasi manifestasi patologis lain seperti makroglosia, lidah kotor,
jejas, lidah geografis, hilangnya papila sirkumvalata di bagian posterior
lidah, dll.

• Pemeriksaan deviasi dan kekuatan lidah


Untuk memeriksa deviasi lidah, minta pasien untuk menjulurkan lidahnya
sejauh mungkin lalu tahan. Lihat apakah ada penyimpangan lidah ke kiri
atau ke kanan.
Selanjutnya, untuk memeriksa kekuatan lidah, minta pasien mendorong
pipi dengan lidah ke kiri dan ke kanan. Saat lidah mendorong pipi,
pemeriksa meletakkan jarinya di sisi luar pipi yang didorong dan
membandingkan kekuatan dorongan kiri dan kanan.
CARA PEMERIKSAAN SISTIM MOTORIK
Beberapa catatan :
• Pemeriksaan sistim motorik sebaiknya dilakukan dengan urutan urutan
tertentu untuk menjamin kelengkapan dan ketelitian pemeriksaan.
• Periksalah terlebih dulu jika ada kontraindiksi pemeriksaan seperti nyeri otot-
sendi atau fraktur.
• Pemeriksaan kekuatan ekstremitas dilakukan per segmen mulai dari yang
paling dekat dengan batang tubuh.
• Bandingkan kekuatan otot dengan otot pasangan di sisi kontralateralnya (mis.
biceps brachii kanan dan kiri).
• Lakukan pemeriksaan dengan tahanan dan tanpa tahanan.
• Berikan tahanan yang sesuai dengan fungsi otot yang diperiksa (mis. berikan
tahanan dengan telapak tangan Anda jika hendak memeriksa telapak tangan
pasien. Untuk memeriksa otot-otot tungkai bawah yang berfungsi untuk
melangkah, minta pasien untuk berdiri dan berjalan jika memungkinkan.)
1. Inspeksi
Gaya berjalan dan tingkah laku
Simetri tubuh dan ektremitas
Kelumpuhan badan dan anggota gerak, dll.

• Gerakan Volunter
Yang diperiksa adalah gerakan pasien atas permintaan pemeriksa,
misalnya :
– Mengangkat kedua tangan pada sendi bahu
– Fleksi dan ekstensi artikulus kubiti
– Mengepal dan membuka jari-jari tangan
– Mengangkat kedua tungkai pada sendi panggul
– Fleksi dan ekstensi artikulus genu
– Plantar fleksi dan dorso fleksi kaki
– Gerakan jari- jari kaki
3. Palpasi otot
– Pengukuran besar otot.
– Nyeri tekan.
– Kontraktur.
– Konsistensi ( kekenyalan ).
Konsistensi otot yang meningkat terdapat pada :
• Spasme otot akibat iritasi radiks saraf spinalis, misal : meningitis,
HNP.
• Kelumpuhan jenis UMN (spastisitas).
• Gangguan UMN ekstrapiramidal (rigiditas).
• Kontraktur otot.
Konsistensi otot yang menurun terdapat pada :
• Kelumpuhan jenis LMN akibat denervasi otot.
• Kelumpuhan jenis LMN akibat lesi di motor end plate.
4. Perkusi otot
• Normal : otot yang diperkusi akan berkontraksi yang bersifat setempat dan
berlangsung hanya 1 atau 2 detik saja.
• Mioedema : penimbunan sejenak tempat yang telah diperkusi (biasanya
terdapat pada pasien mixksdema, pasien dengan gizi buruk)
• Miotonik : tempat yang diperkusi menjadi cekung untuk beberapa detik
oleh karena kontraksi otot yang bersangkutan lebih lama dari pada biasa.
5. Tonus otot
• Pasien diminta melemaskan ekstremitas yang hendak diperiksa kemudian
ekstremitas tersebut kita gerak-gerakkan fleksi dan ekstensi pada sendi
siku dan lutut . Pada orang normal terdapat tahanan yang wajar.
• Flaksid : tidak ada tahanan sama sekali (dijumpai pada kelumpuhan LMN).
• Hipotoni : tahanan berkurang.
• Spastik : tahanan meningkat dan terdapat pada awal gerakan, ini dijumpai
pada kelumpuhan UMN.
• Rigid : tahanan kuat terus menerus selama gerakan misalnya pada
Parkinson.
6. Kekuatan otot
• Untuk memeriksa kekuatan otot ada dua cara:
– Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan
pemeriksa menahan gerakan ini.
– Pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan ia
disuruh menahan.
Cara menilai kekuatan otot

0 : Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot, lumpuh totaL


1 : Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan pada
persendiaan yang harus digerakkan oleh otot tersebut.
2 : Didapatkan gerakan,tetapi gerakan ini tidak mampu melawan gaya
berat ( gravitasi ).
3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat.
4 : Disamping dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi sedikit
tahanan yang diberikan.
5 : Tidak ada kelumpuhan ( normal ).
Beberapa miotom
• Ekstremitas Superior  M. deltoid ( C5,C5, saraf aksilaris ).
 M. oponens digiti kuinti ( C7,C8,T1,saraf  M. biseps ( C5,C6, saraf
ulnaris) muskulokutaneus ).
 M. triseps ( C6-C8, saraf radialis ).
 M. aduktor policis ( C8,T1 , saraf ulnaris ).
 M. interosei palmaris ( C8,T1,saraf ulnaris ).
 M. interosei dorsalis ( C8,T1, saraf ulnaris ). • Ekstremitas Inferior
 M. ekstensor digitorum (C7,8,saraf  M. kuadriseps femoris (L2-L4,saraf
radialis ). femoralis)
 M. pektoralis mayor bagian atas ( C5-C8).  M. aduktor (L2-L4, saraf
obturatorius)
 M. pektoralis mayor bagian bawah ( C5-C8).
 Otot kelompok ”hamstring”
 M. latisimus dorsi ( C5-C8, saraf
(L4,L5,S1,S2,saraf siatika)
subskapularis).
 M. gastroknemius (L5,S1, S2,saraf
 M. seratus aterior ( C5-C7,saraf torakalis ).
tibialis)
 M. fleksor digitorum longus (S1,
S2,saraf tibialis)
7. Gerakan involunter
Gerakan involunter ditimbulkan oleh gejala pelepasan (release
phenomenon) yang bersifat positif, yaitu dikeluarkan aktivitas oleh suatu
nukleus tertentu dalam susunan ekstrapiramidalis yang kehilangan kontrol
akibat lesi pada nukleus pengontrolnya.
• Tremor saat istirahat : disebut juga tremol striatal, disebabkan lesi pada
corpus striatum (nukleus kaudatus, putamen, globus pallidus dan lintasan
lintasan penghubungnya) misalnya kerusakan substansia nigra pada
sindroma Parkinson.
• Tremor saat bergerak (intensional) : disebut juga tremor serebelar,
disebabkan gangguan mekanisme umpan balik oleh serebelum terhadap
aktivitas kortes piramidalis dan ekstrapiramidal hingga timbul kekacauan
gerakan volunter.
• Korea : gerakan involunter pada ekstremitas, biasanya lengan atau tangan,
eksplosif, cepat berganti sifat dan arah gerakan secara tidak teratur, yang
hanya terhenti pada waktu tidur. Korea disebabkan oleh lesi di korpus
striatum, substansia nigra, dan nukleus subtalamus.
• Atetosis : gerakan involenter pada ektremitas, terutama lengan atau
tangan atau tangan yang agak lambat dan sering seperti gerakan melilit,
torsi ekstensi atau torsi fleksi pada sendi bahu, siku dan pergelangan
tangan. Gerakan ini dianggap sebagai manifestasi lesi di nukleus kaudatus.
• Balismus: gerakan involunter otot proksimal ekstremitas dan paravertebra,
hingga menyerupai gerakan seorang yang melemparkan cakram.
• Fasikulasi : kontrasi abnormal yang halus dan spontan pada sisa serabut
otot yang masih sehat pada otot yang mengalami kerusakan motor
neuron. Kontraksi nampak sebagai kedutan-kedutan di bawah kulit.
• Miokimia : fasikulasi benigna. Frekuensi kedutan tidak secepat fasikulasi
dan berlangsung lebih lama dari fasikulasi.
• Mioklonus : gerakan involunter yang timbul tiba-tiba, cepat, berlangsung
sejenak, aritmik, dan dapat timbul sekali saja atau berkali-kali di tiap
bagian otot skelet. Mioklonus dapat timbul setiap waktu, waktu bergerak
maupun waktu istirahat.
PEMERIKSAAN REFLEKS
• Hasil pemeriksaan refleks merupakan informasi penting yang sangat
menentukan. Penilaian refleks selalu berarti penilaian secara banding
antara sisi kiri dan sisi kanan. Respon terhadap suatu perangsangan tentu
tergantung pada intensitas. Oleh karena itu refleks kedua belah tubuh
yang dapat dibandingkan harus merupakan hasil perangsangan yang
berintensitas sama.

• Refleks fisiologis yang dibangkitkan untuk pemeriksaan klinis meliputi


refleks superfisial dan refleks tendon dalam atau periosteum. Pada
penderita penyakit tertentu dapat ditemukan refleks patologis atau juga
refleks primitif. Dari penilaian terhadap refleks fisiologis dan patologis ini
kita dapat memperkirakan letak / jenis lesi.
• Refleks Superfisial
Refleks dinding perut :
Stimulus : Goresan cepat di dinding perut daerah epigastrik,
supraumbilikal, infra umbilikal dari lateral ke medial.
Respons : kontraksi dinding perut ke arah goresan.
Aferen :
 n. intercostal T5 –T7 (epigastrik)
 n. intercostal T7–T9 (supra umbilikal)
 n. intercostal T9 – T11 (umbilikal)
 n. intercostal T11 – L1 (infra-umbilikal)
 n. iliohipogastrikus
 n. ilioinguinalis
Eferen: idem
Refleks kremaster :
Stimulus : goresan pada kulit paha sebelah medial dari atas ke bawah
Respons : elevasi testis ipsilateral
Aferen : n. ilioinguinal ( L 1-2 )
Eferen : n. genitofemoralis
Refleks superfisialis dinding perut
• Refleks Tendon Dalam
Refleks biseps :
Stimulus : ketokan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m.
biseps brachii, posisi lengan setengah ditekuk pada sendi siku.
Respons : fleksi lengan pada sendi siku
Aferen : n. musculokutaneus ( C5-6 )
Eferen : idem
Refleks triceps :
Stimulus : ketukan pada tendon otot triceps brachii, posisi lengan fleksi
pada sendi siku dan sedikit pronasi
Respons : ekstensi lengan bawah di sendi siku
Aferen : n. radialis ( C6-7-8 )
Eferen: idem
• Refleks brakioradialis :
Stimulus : ketukan pada periosteum ujung distal os radii, posisi lengan
setengah fleksi dan sedikit pronasi
Respons : fleksi lengan bawah di sendi siku dan supinasi karena kontraksi
m. brachioradialis
Aferen : n. radialis (C5-6 )
Eferen : idem

• Refleks ulnaris :
Stimulus : ketukan pada periosteum prosesus stiloideus ulna, posisi lengan
setengah fleksi dan antara pronasi – supinasi.
Respons : pronasi tangan akibat kontraksi m. pronator quadratus
Aferen : n. ulnaris ( C8-T1 )
Eferen : idem
Refleks patela (KPR)
– Stimulus : ketukan pada tendon patella
– Respons : ekstensi tungkai bawah karena kontraksi m. quadriceps femoris.
Aferen : n. femoralis ( L 2-3-4 ) Eferen : idem

Refleks Achilles (APR)


– Stimulus : ketukan pada tendon achilles
– Respons : plantar fleksi kaki karena kontraksi m. gastrocnemius
Aferen : n. tibialis ( L5,S1-2 ) Eferen : idem
• Klonus
Klonus lutut :
– Stimulus : pegang dan dorong os patela ke arah distal
– Respons : kontraksi reflektorik m. quadriceps femoris selama stimulus
berlangsung (klonus >2 kali, ≤2 = pseudoklonus)
Klonus kaki :
– Stimulus : dorsofleksikan kaki secara maksimal, posisi tungkai fleksi di
sendi lutut.
– Respons : kontraksi reflektorik otot betis selama stimulus berlangsung.
Membangkitkan refleks biseps Membangkitkan refleks triseps

Membangkitkan refleks patela Membangkitkan refleks Achilles


• Refleks Patologis
Tanda Babinsky  dorsofleksi ibu jari kaki dan pengembangan (fanning) keempat jari kaki
yang lain.
Tanda Babinsky dapat dibangkitkan dengan beberapa cara :

Cara Babinsky Cara Gordon


Stimulus : penggoresan telapak kaki bagian Stimulus : penekanan betis secara keras
lateral dari posterior ke anterior. Respons : tanda Babinsky.
Respons : tanda Babinsky. Cara Schaffer
Cara Chaddock Stimulus : memencet tendon Achilles
Stimulus : penggoresan kulit dorsum pedis secara keras
bagian lateral, sekitar malleolus lateralis Respons : seperti Babinsky
dari posterior ke anterior.
Respons : tanda Babinsky.
Cara Oppenheim
Stimulus : pengurutan margo anterior tibia
dari proksimal ke distal
Respons : tanda Babinsky.

Cara Babinsky
Tanda Rossolimo
– Stimulus : pengetukan pada telapak kaki
– Respons : fleksi jari-jari kaki pada sendi interfalangealnya
Tanda Mendel - Bechterew
– Stimulus : pengetukan dorsum pedis pada daerah os kuboideum
– Respons : seperti rossolimo

Tanda Hoffman
– Stimulus : goresan pada kuku jari tengah pasien
– Respons : fleksi ibu jari, telunjuk dan jari – jari lainnya
Tanda Tromner
– Stimulus : colekan pada ujung jari tengah pasien
– Respons : seperti Hoffman
• Refleks Primitif
Sucking reflex
– Stimulus : sentuhan pada bibir
– Respons : gerakan bibir, lidah dan rahang bawah seolah-olah menyusu
Snout reflex
– Stimulus : ketukan pada bibir atas
– Respons : kontraksi otot-otot disekitar bibir / di bawah hidung
(menyusu)
Grasp reflex
– Stimulus : penekanan / penempatan jari si pemeriksa pada telapak
tangan pasien.
– Respons : tangan pasien mengepal
Palmo – mental reflex
– Stimulus : goresan ujung pena terhadap kulit telapak tangan bagian
tenar.
– Respons : kontraksi otot mentalis dan orbicularis oris ipsilateral.
Refleks menghisap Refleks menggenggam
CARA PEMERIKSAAN SISTIM SENSORIK
Tujuan pemeriksaan sensorik
• Menetapkan adanya gangguan sensorik.
• Mengetahui modalitas yang terganggu.
• Menetapkan polanya.
• Menyimpulkan jenis dan lokasi lesi yang mendasari gangguan sensorik yang
akhirnya dinilai bersama sama dengan pemeriksaan neurologis lain.
Modalitas sensorik dan cara-cara pemeriksaan yang sering dipakai.
1. Sensibilitas eksteroseptif atau protopatis
– Pemeriksaan sensibilitas nyeri
– Pemeriksaan sensibilitas suhu
– Pemeriksaan sensibilitas raba halus
2. Sensibilitas proprioseptif
– Pemeriksaan sensibilitas posisi.
– Pemeriksaan sensibilitas getar.
3. Sensibilitas diskriminatif
– Pemeriksaan kemampuan mengenal bentuk/ukuran.
– Pemeriksaan kemampuan mengenal berat sesuatu benda dsb.
• Cara pemeriksaan
Pemeriksaan raba halus
Alat : kapas.
Cara :
– permukaan kulit ditotol dengan ujung kapas pada sesuai dermatom
kulit.
– Dibandingkan kanan dan kiri.
– Bila ada keluhan sensorik tertentu, lakukan pemeriksaan pemeriksaan
lebih teliti di daerah yang mengalami gangguan. Periksa mulai dari
daerah yang mengalami gangguan ke arah luar atau sebaliknya dan
tentukan batasnya.
Catatan:
– Daerah lateral kurang peka dari medial.
– Ada daerah-daerah erotogenik : leher, sekitar payudara, genitalia.
Pemeriksaan nyeri
Alat : jarum pentul steril.
Cara : jarum ditotol seperti pada pemeriksaan raba halus.

Pemeriksaan suhu
Alat :
– Botol/tabung berisi air panas : suhu 40-45 derajat celcius.
– Botol/tabung berisi air dingin : suhu 10-15 derajat celcius.

Cara pemeriksaan :
– Botol ditempatkan bergantian di permukaan kulit seperti pada
pemeriksaan raba halus.
– Botol botol tersebut harus kering betul.
– Bagian tubuh yang tertutup pakaian lebih sensitif dari bagian tubuh
yang terbuka.
– Pada orang tua sering dijumpai hipestesia yang fisiologik.
Pemeriksaan rasa gerak/posisi sendi
Alat : -
Cara pemeriksaan:
pegang ujung jari jempol kaki pasien dengan jari telunjuk dan jempol jari
tangan pemeriksa dan gerakkan keatas kebawah maupun kesamping
kanan dan kiri, kemudian pasien diminta untuk menjawab posisi ibu jari
jempol nya berada di atas atau di bawah atau di samping kanan/kiri.

Pemeriksaan rasa getar


Alat : garpu tala
Cara pemeriksaan:
Garpu tala digetarkan dulu/diketuk pada meja atau benda keras lalu
letakkan diatas ujung ibu jari kaki pasien dan mintalah pasien menjawab
untuk merasakan ada getaran atau tidak dari garputala tersebut.
Nomenklatur untuk pemeriksaan sensorik

• Rasa eksteroseptif
 Hilangnya rasa raba : ANESTESIA
 Berkurangnya rasa raba : HIPESTESIA/ HIPOESTESIA
 Berlebihnya rasa raba : HIPERTESIA
 Hilangnya rasa nyeri : ANALGESIA
 Berkurangnya rasa nyeri : HIPALGESIA/ HIPOALGESIA
 Berlebihnya rasa nyeri : HIPERALGESIA
 Hilangnya rasa suhu : TERMOANESTESIA
 Berkurangnya rasa suhu : TERMOHIPESTESIA/ TERMOHIPOESTESIA
 Berlebihnya rasa suhu : TERMOHIPERESTESIA
• Rasa PROPIOSEPTIF = RASA RABA DALAM
 rasa gerak : KINESTESIA
 rasa sikap : STATESTESIA
 rasa getar : PALESTESIA
 rasa tekan : BARESTESIA
Peta Dermatom
http://www.medicalcriteria.com/
http://appsbymj.com/som/complete-foot-dermatome/
PENUTUP
• Perhatikan identitas & penampakan awal.
• Anamnesis yang terarah  physical examination is what we do to prove
our hypothesis driven from history taking.
• PF Neuro 
– berdasarkan anamnesis & PF umum
– Kenali kontra indikasi pemeriksaan
• Gabungkan semua temuan  dx klinis
• Dx klinis + pengetahuan neuroanatomi & fisiologi  dx topis
• Dx klinis + dx topis + pengetahuan penyakit  dx etiologis, dx patologis
• Dx klinis + dx topis + dx etiologis + dx patologis + px penunjang yang sesuai
 dx pasti  penatalaksanaan.
• Berpikir secara komprehensif namun selalu memikirkan epidemiologi 
keep it simple and stupid
• Melihat, mengingat, dan berlatih
TAKE HOME NOTE

What I hear I will forget


What I see I may forget
What I do I will never forget

Anda mungkin juga menyukai