1. Pemeriksaan Kesadaran
1.1 Pemeriksaan Kesadaran Kualitatif
Secara kualitatif tingkat kesadaran dapat dibagi atas kesadaran normal (kompos
mentis), somnolen, sopor, koma-ringan, dan koma pembagian tingkat kesadaran kualitatif
merupakan pembagian dalam pengertian klinis, dan batas antara tingkatan ini tidak tegas.
Tidaklah mengherankan bila kita menjumpai penggunaan kata spoor-koma atau somnolen-
sopor.
Kompos mentis adalah keadaan dimana pasien sadar penuh. Sedangkan, somnolen
adalah keadaan mengantuk, dimana kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang.
Somnolen disebut juga sebagai letargi atau obtundasi. Tingkat kesadaran ini ditandai
oleh mudahnya penderita dibangunkan, mampu member jawaban verbal dan menangkis
rangsang nyeri. Sopor (stupor) adalah keadaan kantuk yang dalam. Penderita masih dapat
dibangunkan dengan rangsang yang kuat, namun kesadaranya segera menurun lagi. Pasien
masih dapat mengikuti perintah yang singkat, dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan
rangsang nyeri penderita tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak
konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari penderita. Gerakan motorik
untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.
Pada keadaan koma-ringan (semi-koma), tidak ada respons terhadap rangsang verbal.
Refleks (kornea, pupil, dan sebagainya) masih baik. gerakan terutama timbul sebagai respons
terhadap rangsang nyeri. Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi, merupakan
jawaban “primitif”’. Penderita sama sekali tidak dapat dibangunkan.
Pada keadaan koma (dalam atau komplit) tidak ada gerakan spontan. Tidak ada
jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.
b. Komponen Motorik
Kategori Nilai
Pasien dapat mengikuti perintah 6
Pasien dapat melokalisasi nyeri 5
Pasien tidak dapat melokalisasi nyeri (flexion withdrawal) 4
Dekortikasi 3
Deserebrasi 2
Tidak ada respons motorik 1
c. Komponen Verbal
Kategori Nilai
Pasien dapat berbicara spontan dan orientasi baik 5
Pasien dapat berbicara, namun disorientasi dan tampak bingung 4
Pasien mengluarkan kata-kata yang tidak sesuai 3
Pasien mengerang 2
Tidak ada respons verbal 1
2.2 Lasegue
Pemeriksaan lasegue dilakukan dengan cara dengan perlahan-lahan pemeriksa
mengangkat tungkai bawah dengan lutut dalam posisi ekstensi. Hasil positif bila terdapat
ketidakmampuan untuk melakukan ekstensi sendi panggul lebih dari 70°. Hal ini dapat
ditemukan pada inflamasi meningens.
Gambar 1. Pemeriksaan Lasegue
2.3 Kernig
Kernig adalah fleksi secara involunter pada lutut, ketika pemeriksa melakukan fleksi
pada sendi panggul dengan lutut yang ekstensi. Metode yang lebih umum adalah dengan
melakukan fleksi pada sendi panggul dan lutut 90°, dan kemudian secara pemeriksa
melakukan ekstensi pada lutut. Gerakan ini dapat menyebabkan nyeri, tahanan, dan
ketidakmampuan untuk ekstensi penuh pada lutut; atau dengan kata lain, tanda kernig adalah
ketidakmampuan untuk melakukan ekstensi lutut lebih dari 135° ketika sendi panggul dalam
keadaan fleksi. Tanda kernig dapat ditemukan positif pada meningitis karena adanya
inflamasi difus pada serabut saraf dan meningens.
2.5 Brudzinski II
Pemeriksaan dilakukan dengan melakukan fleksi pasif pada salah satu sendi panggul
dengan lutut dalam keadaan ekstensi, atau secara pasif lakukan ekstensi lutut setelah fleksi
90° pada sendi panggul. Pemeriksaan ini dianggap positif bila ditemukan fleksi pada sendi
panggul dan lutut kontralateral. Hal ini dapat ditemukan pada inflamasi meningens.
2.7 Brudzinski IV
Pemeriksaan dilakukan dengan pemeriksa memberikan tekanan pada simfisis pubis.
Kemudian bila hasil pemeriksaan ini positif akan didapatkan fleksi pada kedua ekstremitas
bawah. Hasil positif pada pemeriksaan ini dapat ditemukan pada inflamasi meningens.
2.8 Bikele
Pemeriksaan dilakukan pada pasien dalam keadaan fleksi sendi siku, selain itu sendi
bahu dalam keadaan abduksi, elevasi dan rotasi eksternal, pemeriksa melakukan ekstensi
pasif terhadap sendi siku pasien. Pemeriksaan dianggap positif bila ditemukan tahanan pada
saat ekstensi sendi siku. Pemeriksaan dapat ditemukan pada inflamasi meningens dan
branchial plexitis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Campbell W. De Jong’s The Neurologic Examination. 6 th ed. USA: Lippincott Williams
& Wilkins; 2005.
2. Darrof R, Jankovic J, Mazziotta J, Pomeroy S. Bradley’s Neurology in Clinical Practice.
7th ed. Philadelphia: Elsevier; 2012.
3. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.
Pemeriksaan Nervi Cranialis
1. Sebelum memulai, pastikan tidak ada obstruksi intranasal (ex: Rhinitis, sinusitis, polip dll)
2. Gunakan bahan yang baunya sudah dikenali oleh pasien sebelumnya. Jangan menggunakan bahan
yang iritatif (bila iritatif yang dirangsang adalah ujung bebas N. V yang banyak terdapat di lubang
hidung, contoh: ammonia)
3. Periksa masing-masing lubang hidung secara terpisah dan bergantian. Lubang hidung yang tidak
diperiksa ditutup. Pasien diminta untuk memejamkan mata.
4. Dekatkan bahan ke lubang hidung yang akan diperiksa, pasien diminta untuk membau. Tanyakan
apakah ia membau sesuatu? Bila iya, identifikasikan bahan apakah itu?
5. Lakukan pada lubang hidung yang lain dan bandingkan.
Interpretasi
Persepsi adanya bau lebih penting daripada identifikasi jenis sumber bau tersebut. Persepsi
menunjukkan jaras olfactorius yang masih intak, sedangkan identifikasi menunjukkan fungsi kortikal
yang masih intak.
Karena innervasi nya bilateral, lesi dari sentral sampai decussasio tidak menyebabkan kehilangan
pembauan total, dan lesi di di korteks olfactorius tidak menyebabkan kondisi anosmia. Bila masih bisa
mengetahui keberadaan sumber bau, walaupun tidak bisa mengenali jenisnya, bukan termasuk
anosmia.
Gangguan fungsi membau dapat disebabkan oleh banyak hal. Di bidang neurologi diantaranya oleh
trauma kepala, meningioma pada sphenoidalis ridge (tipikal: atrofi /papilledema unilateral, eksoftalmus,
dan anosmia ipsilateral), glioma lobus frontalis, giant anterior cerebral aneurysm, sindroma foster
kennedy (meningioma sulcus olfactorius anosmia, atrofi n. opticus ipsilateral, dan papilledema
kontralateral), Alzheimer, Parkinson dan multiple sclerosis. Uncinate fits adalah bangkitan parsial
kompleks atau bangkitan lobus temporal yang didahului aura pembauan dan pengecapan. Diikuti oleh
hilangnya kesadaran dan gerakan mengecap-ngecap bibir atau mengunyah. Bangkitan ini tipikal untuk
lesi di lobus temporal medial.
1. Tajam Penglihatan
Ketajaman Visus (Visual Aquity) diperiksa dengan Snellen Chart. Pemeriksaan dilakukan pada masing-
masing mata. Gangguan refraksi diperiksa dengan lensa atau pin hole. Ketajaman dinyatakan dalam
pecahan dengan penyebut adalah jarak antara pasien dengan daftar huruf, pembilang adalah huruf
terkecil yang dapat dibaca pasien dengan akurat. Jarak antara chart dan pasien adalah 6 m. pada
pasien normal nilai pemeriksaan ini adalah 6/6
2. Lapang pandang
Tes lapang pandang dilakukan dengan 3 teknik
1. Tes konfrontasi dengant tangan
2. Tes dengan kampimeter
3. Tes dengan perimeter
Pemeriksaan dilakukan dengan meminta pasien menutup mata kirinya untuk memeriksa mata kanan.
Pasien melihat hidung pemeriksa menderita menggerakkan tangannya dari luar kedala pada masing-
masing 4 kuadran. Minta pasien mengatakan bila melihat tangan pemeriksa.
Jenis kelainan:
Total blindness
Hemianopsia
Hemianopsia homonym
Quadrantanopsia homonym
3. Funduskopi
Pemeriksaan dengan oftalmoskop rutin tidak memerlukan pupil dilator. Kecuali jika ingin melihat
struktur yang lebih perifer, mengevaluasi macula, dan mencari lebih jauh penyebab penurunan
penglihatan
Pemerisaan oftalmoskop padan neurologi melihat area disk, macula, dan arteri. Disk biasanya normal
berbentuk bulat atau sedikit ova vertical. Batas nasal sedikit kabur dibandingkan temporal. Cup
fisiologis sedikit depresi dipusat dan sedikit pucat. Teknik untuk membantu menemukan disk adalah
dengan menemukan pembuluh darah retina, kemudian telusuri hingga menemukan cup. Central
retina memsuki mata dibagi menjadi cabang superior dan inferior. Macula merupakan daerah gelap
berukuran 2x cup dan berada temporal dari cupdan sedikit ke bawah. Makula lebih gelap dari sekitar
retina. Macula lebih mudah dilihat jika meminta pasien melihat cahaya. Pemberian midriatil
sebaiknya dihindari pada pasien dengan glaucoma sudut tertutup.
1. Motorik
Fungsi utama serabut motorik N. V adalah menginervasi otot-otot pengunyah (mastikasi) yaitu:
m. masseter : menutup dan protrusi rahang
m. temporalis : menutup dan retraksi rahang (slight)
m. pterigoideus medial : secara sinkron menutup dan protrusi rahang
m. pterigoideus lateral : secara sinkron membuka dan protrusi rahang
Pemeriksaan
a. Inspeksi: melihat ke daerah pipi, adakah atrofi dari m. masseter dan m. temporalis
b. Palpasi :
minta pasien utuk mengatupkan rahang secara kuat lalu palpasi dengan cara
meletakkan jari di sisi anterior m. masseter bilateral. Saat rahang dikatupkan, jari akan
ikut bergerak ke depan, gerakan ini seharusnya terjadi secara simetris bilateral.
Minta pasien untuk membuka rahang, bila terjadi kelemahan sesisi deviasi rahang ke
sisi yang lemah.
Bila dicurigain adanya deviasi, minta pasien untuk menggerakkan rahang ke kanan dan
ke kiri, jika terajadi kelemahan unilateral, pasien tidak dapat menggerakkan rahang ke
sisis kontralateral. Contoh kelemahan m. pterigoideus kanan deviasi rahang ke kanan
saat membuka, dan tidak mampu menggerakan rahang ke sisi kiri (kontralateral).
Cara lain untuk menidentifikasi adanya deviasi adalah minta pasien untuk melakukan
gerakan protrusi dan retraksi rahang, dan amati adanya deviasi.
Keterangan:
Lesi UMN : karena innervasinya bilateral, lesi UMN unilateral tidak menyebabkan paralisis unilateral
otot-otot mastikasi.
2. Sensorik
Pemeriksaan yang dilakukan sama dengan pemeriksaan fungsi sensorik umum. N. V terbagi menjadi 3
cabang yang menginervasi sensorik wajah yaitu V1 (oftalmikus), V2 (maksilaris), V3 (mandibularis)
pemeriksaan sensoris dilakukan pada daerah yang diinervasi masing-masing cabang N. V
Disfungsi sensoris
Lesi supranuklear, biasanya di lobus parietal meningkatkan ambang sensorik wajah
kontralateral
Lesi di talamik hipestesia dengan hiperpatia atau alodinia
Lesi nucleus di pons menghilangkan sensasi taktil di kesua sisi, dan mukosa membrane
disisi lesi
3. Refleks
Jaw reflex
Pasien diminta untuk rileks dan sedikit membuka mulut. Pemeriksa meletakkan jari telunjukknya
di dagu pasien, lalu ketuk jari dengan menggunakan palu refleks.
Respon positif berupa gerakan ke atas dari mandibular
Afferent: sensorik N. V nucleus mesensefalikus efferent: motorik N.V
Normal : minimal/ tidak ada
Positif pada : general hiperfleksia (ex: ALS)
Reflek kornea
Sentuh secara lembut kornea dengan menggunakan ujung kapas atau tisu. Karena tes ini untuk
menilai fungsi N. V1, idealnya stimulus dilakukan di kornea bagian atas karena pada beberapa
individu kornea bagian bawah diinervasi oleh N. V2. Stimulus dilakukan dari sisi bawah atau sisi
samping dari pasien sehingga pasien tidak melihat stimulus tersebut. Stimulus harus dilakukan di
kornea bukan sklera. Bila terdapat tanda- tanda infeksi, kapas yang digunakan harus berbeda
untuk masing-masing mata.
Respon dari reflek kornea adalah kedipan mata yang dapat berupa respon direk (ipsilateral) dan
konsensual (kontralateral).
Afferent: N. V1 ; Efferent: N. VII
1. Motorik
Pemeriksan fungsi motorik utama N. VII adalah dengan menilai otot-otot ekspresi wajah.
Amati simetrisitas dan tonus otot wajah. Apakah tampak adanya atrofi otot, fasikulasi atau
gerakan involunter lainnya?
Amati juga ketika pasien berkedip, lihat frekuensi dan simetrisitasnya.
Perhatikan kedalaman dan simterisitas lipatan nasolabial pasien, serta simetrisitas kerutan dahi
dan lebar fisura palpebra.
Bila terdapat lipatan nasolabial yang mendatar dan kerutan dahi yang simetris lesi UMN
Bila terdapat lipatan nasolabial yang mendatar diikuti hilangnya kerutan di dahi pada sisi yang
sama lesi LMN.
Bila terdapat satu sisi fisura palpebra yang lebih lebar, hal ini menunjukan lesi N VII yang
mengakibatkan kelemahan m. orbicularis occuli.
Perhatikan ekspresi wajah spontan pasien saat bicara, senyum atau merengut
Minta pasien untuk menyeringai (menunjukan gigi) amati simterisitas, apakah jumlah gigi
yang tampak kanan dan kiri seimbang
Menilai platysma: Minta pasien untuk bersiul amati simetrisitas.
minta pasien membuka mulut sambil memberikan tahanan.
Menilai m. orbicularis oris:
Minta pasien untuk menggembungkan pipi nilai simetrisitas.
Pemeriksa dapat menekan pipi yang digembungkan untuk mengidentifikasi lesi minimal
Menilai m. orbicularis occuli
Minta pasien untuk memejamkan mata kuat amati simterisitas
Minta pasien untuk mengangkat alis satu persatu atau serempak amati simtresitas kerutan
dahi
Untuk mendeteksi lesi minimal, tahan alis ke arah atas sambal minta pasien memejamkan mata
nilai adakah kesulitan
2. Sensorik
Dengan melakukan pemeriksaan fungsi
pengecapan.
N. VII menginervasi 2/3 anterior dari lidah.
Bahan yang digunakan biasaya gula (manis), garam (asin), kina (pahit), as sitrat (asam).
Cara Pemeriksaan
Pasien diminta untuk menjulurkan lidah. Pemeriksaan dilakukan di tiap sisi secara bergantian.
Pemeriksa lalu menaruh bahan yang sudah disediakan di permukaan lidah secara bergantian (lidah
harus dibersihkan diantara pemeriksaan suatu bahan dengan bahan lainnya), begitu bahan sudah
diletakan, pasien tidak boleh memasukkan lagi lidahnya kedalam karena bubuk akan menyebar ke
seluruh bagian. Bila perlu pemeriksa memegang ujung lidah dengan menggunakan kasa untuk
mencegahnya. Rasa pahit harus dilakukan terakhir.
Karena pada saat pemeriksaan pasien tidak dapat berbicara, intruksi yang diberikan sebelumnya
harus jelas dan dimengerti oleh pasien. Pasien dapat menggunakan isyarat tangan bila merasakan
sesuatu dan menuliskan rasa yang diidentifikasi. Umumnya pasien dapat menebak bahan tersebut
<10 detik. Tempat terbaik untuk melakukan tes ini adalah dengan meletakkan bahan pada
permukaan dorsal 2/3 anterior lidah.
Interpretasi
Ageusia adalah ketidakmampuan untuk menngecap rasa
Hipoageusia persepsi rasa tumpul atau terlambat
Parageusia adalah persepsi abnormal dari rasa
3. Sekretorik
Lakrimasi
Produksi air mata secara kualitatif dengan pengamatn langsung permukaan mata, basah atau
kering. Kuantitatif dengan schirmer test
Kerusakan N. VII pada atau di atas n. petrosus major berkurangnya produksi air mata
Salivasi
Pengamatan secara langsung membrane mukosa mulut
Lesi N. VII pada chorda timpani berkurangnya produksi salivasi (disimpulkan lewat anamnesis)
4. Refleks
Bebrapa refleks yang difasilitasi oleh N. VII antara lain R. kornea, R. orbicularis occuli (Myerson’s
sign), R. orbicularis oris (nasomental) dan Chovstek’s Sign.
Nervus Vestibulokoklearis (VIII)
Nervus vestibulokoklearis (CN VIII) memiliki dua komponen, yaitu vestibular dan koklear. Komponen
koklear bertanggung jawab terhadap pendengaran, dan komponen vestibular bertanggung jawab
terhadap keseimbangan, koordinasi dan orientasi ruang. Dua komponen diklasifikasikan sebagai nervus
aferen sensori khusus
NERVUS KOKLEARIS
Suara adalah bentuk energi yang dohasilkan oleh getaran yang menghasilkan perubahan kondensasi
gelombang sinusoid pada media konduksi seperti udara. Gelombang suara berkumpul di membran
timpani dan ditransmisikan oleh tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus, stapes) ke telinga dalam
(labirin). Labirin merupakan rongga penghubung, duktus dan kanal yang kompleks, yang terletak pada
pars petrosus tulang temporal.
Labirin berisi perilimph, yaitu cairan yang mirip dengan cairan serebrospinal. Membran labirin memiliki
dua komponen utama, yaitu aparatus vestibular dan duktus koklearis. Nervus akustikus melewati kanalis
auditori interna, dan berjalan pada bagian lateral dan inferior nervus fasialis. Nervus akustikus
menyilang sudut serebelopontin, melewati pedunkulus serebelar inferior dan memasuki medula spinalis
pada pertemuannya dengan pons, di dekat ventrikel empat.
Metode Pemeriksaan
Pemeriksaan fungsi pendengar dapat dilakukan dengan menggunakan alat yang tersedia yang mampu
menghasilkan suara. Kemampuan mendengar dan memahami pembicaraan adalah fungsi penting
pendengaran, sehingga suara berbisik lebih bermanfaat. Tes berbisik direkomendasikan sebagai metode
skrining yang baik. Metode yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan stetoskop yang
dipasangkan pada pasien, lalu pemeriksa berbisik, menggores dengan lembut atau menggetarkan garpu
tala dan meletakkannya pada bagian diafragma stetoskop. Pasien diminta untuk membandingkan suara
yang didengar.
Pada tes berbisik, nada-nada tertentu didengar lebih baik dan pada jarak yang lebih jauh, dibandingkan
dengan nada-nada lainnya. Huruf vokal a,e dan i dapat didengar pada jarak yang lebih jauh
dibandingakan dengan l, m, n, dan r serta huruf vokal o dan u.
Garpu tala frekuensi 128 Hz, 256 Hz dan 512 Hz, digunakan untuk memberi informasi yang lebih spesifik
dan menilai konduksi udara dan konduksi tulang. Untuk menilai konduksi udara, pasien diminta
membandingkan getaran garpu tala pada kedua telinga, dan pemeriksa yang dianggap pendengarannya
normal membandingkan konduksi tulang pasien terhadap dirinya (Tes Scwabach). Untuk menilai
konduksi tulang, yakinkan bahwa pasien mendengarkan suara getaran, bukan hanya merasakan getaran
garpu tala.
Tes Rinne digunakan untuk membandingkan konduksi udara dan konduksi tulang pada pasien.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu :
1. Garpu tala yang telah digetarkan diletakkan pada prosesus mastoideus dan dipindahkan dengan
cepat ke samping telinga (atau sebaliknya), dan pasien diminta untuk menyebutkan mana suara
yang lebih keras.
2. Garpu tala yang telah digetarkan diletakkan di prosesus mastoideus, bila suara yang tidak lagi
terdengar, maka garpu tala dipindahkan ke samping telinga.
Tes Rinne dikatakan normal atau posistif, bila konduksi udara lebih baik dari konduksi tulang, seperti
tampak pada tabel berikut :
Pada tes Weber, garpu tala yang digetarkan diletakkan pada bagian vertex tulang tengkorak, atau
dapat juga pada dahi dan maksila. Normalnya, suara dapat didengar pada kedua telinga tanpa
adanya lateralisasi.
Gangguan Fungsi
Gangguan pada nervus koklearis dapat menimbulkan gangguan pendengaran (hipakusis atau anakusis),
dengan atau tanpa tinnitus. Hiperakusis sering terjadi disertai paralisis muskulus stapedius dan
mengenai CN VII, namun dapat pula terjadi pada epilepsi dengan aura, migrain dan gangguan psikiatri.
Tinnitus adalah suara spontan yang mencul pada telinga, yang bersumber di dalam kepala. Tinnitus
umumnya behubungan dengan ketulian. Tinnitus lebih sering dirasakan pada malam hari saat di
lingkungan sekitar tidak ada kebisingan, dan dapat mengganggu tidur. Beberapa penyebab tinnitus
antara lain serumen plak, obat-obat ototoksik, penyakit Meniere’s, neuroma akustik, penyakit Paget’s,
anemia, labirintitis dan malformasi Arnold-Chiari. Tinnitus bersifat psikogenik, dan tipe ‘bizzare’
berhubungan dengan lesi di pons dan serebral, serta akibat obat. Tinnitus yang sifatnya unilateral, hilang
timbul dan berhubungan dengan vertigo umumnya merupakan kondisi yang serius.
NERVUS VESTIBULAR
Sistem vestibular terdiri dari labirin, nervus vestibular dan nuklei vestibularis di batang otak, dengan
koneksi sentralnya.
Sebagian besar serabut yang berasal dari nervus vestibularis menghantarkan impuls langsung ke lobus
flokulonodularis serebeli melalui traktus jukstarestiformis, yang terletak di depat pedunkulus serebelaris
inferior. Kemudian lobus flokulonodularis berproyeksi ke nukleus fastigialis dan melalui fasikulus
unsinatus, kembali ke nukleus vestibularis.
Semua nukleus vestibularis berproyeksi ke nuklei yang mempersarafi otot-otot ekstraokular melalui
fasikulus longitudinalis medialis. Kompleks struktur yang terdiri dari nukleus vestibularis dan lobus
flokulonodularis serebeli berperan penting untuk mempertahankan ekuilibrium dan tonus otot.
Metode Pemeriksaan
Pemeriksaan yang dilakukan untuk memeriksa fungsi vestibular adalah refleks vestibulospinal (past
pointing, Romberg, Unterberger-Fukuda stepping test), refleks vestibulookular (VOR) dan pemeriksaan
nistagmus.
1. Motorik
Pemeriksaan hanya untuk menilai N IX saja sulit dilakukan karena fungsinya bersamaan dengan
nervus lain dan struktur yang diinervasi sulit dijangkau untuk dilakukan pemeriksaan. Satu-satunya
otot yang hanya diinervasi oleh N. IX adalah m. stylopharingeus.
Pasien diminta untuk membuka mulut , amati arcus faringnya.
Bila terdapat lesi m. stylopharingeus penurunan arcus faring saat istirahat ipsilateral
2. Sensorik
N. IX menginervasi pengecapan 1/3 belakang lidah, karena letaknya yang sulit dijangkau, jarang
dilakukan.
3. Refleks
Reflex salivasi: mengalirnya saliva dari kelenjar parotids setelah stimulus gustatory
Gag reflex
Cara:
Pasien diminta untuk membuka mulut.
Dengan menggunakan spatel tounge, terdapat 3 cara untuk membangkitkan reflex
muntah:
Menyentuh dinding lateral orofaring pada regio arcus faring anterior
Menyentuh salah satu sisi palatum mole atau uvula
Menyentuh pangkal lidah atau dinding posterior orofaring
Respon motorik berupa: konstriksi dan elevasi orofaring midline raphe dari palatum dan
uvula terangkat.
Bila terjadi kelemahan faring unilateral (negatif) : midline raphe akan terdorong ke sisi yang
sehat
Gag reflex negatif unilateral lesi LMN (karena UMN innervasi nya bilateral)
indikasikan adanya kesulitan dalam menelan (disfagia)
Gag reflex yang hiperaktif dapat ditemui pada individu dengan lesi serebral bilateral, ALS.
1. Motorik
Bersama N. IX menginervasi palatum mole, faring dan laring cara pemeriksaan sama.
Pemeriksaan faring meliputi observasi kontraksi otot faring saat bersuara, mengamati gerakan
laring saat menelan dan pemeriksaan gag reflex
Cara pemeriksan
Minta pasien untuk membuka
mulut, untuk mempermudah
lapangan pandang dapat
menggunakan spatel tounge
Amati posisi palatum dan
uvula saat istirahat, bernapas
dan bersuara (aaa..aaaa)
Bila terdapat lesi unilateral palatum turun dan arcus faring
mendatar. Gag reflex negatif ipsilateral, saat pasien diminta
bersuara median raphe terdorong ke sisi normal.
Bila lesi bilateral palatum tidak terangkat saat bersuara
N. X juga menginervasi plica vokalis yang mempunya 3 fuungsi penting : bernapas, batuk dan
berbicara
Pemeriksaan plica vocalis denganmenggunakan laringoskop direk atau indirek.
Bila terjadi kelumpuhan plica vocalis unilateral: parau, bilateral: stridor inspirasi
2. Sensorik
Serabut visceral sensori: informasi sensorik visceral dari laring, esophagus, trakea, visceral
abdominal dan thorakal, serta membawa informasi dari reseptor tekanan dan kemoreseptor
aorta.
Serabut sensori umum: informasi sensoris dari kulit belakang daun telinga, MAE, permukaan luar
membran timpani dan faring.
Serabut sensori khusus: sensasi rasa di epigotis
Pemeriksaan sensoris N. X secara klinis kurang bermakna dan tidak dapat diperiksa secara
adekuat.
3. Otonom
N. X adalah saraf parasimpatis terpanjang di tubuh kita. Secara singkat pengaruh dari N. X
menyebabkan bradikardi, hipotensi, bronkokonstriksi, bronkorrhea, peningkatan peristaltik,
peningkatan sekresi gaster, dan menghambat fungsi adrenal.
4. Refleks
Sternutatory reflex (bersin). Cara pemeriksaan telah dijabarkan di pemeriksaan N.V
Oculocardiac reflex : terjadi nya bradikardia saat dilakukan penekanan pada bola mata
Aff: N. V ; Eff: N. X
Reflex batuk: stimulasi pada mukosa membran faring, laring, trakea dan bronchus
Aff: N. IX, X ; Eff: impulse diteruskan ke otot faring, lidah, palatum, laring, diafragma, otot dada
dan otot abdomen.
Carotid sinus reflex : stimulasi pada sinus carotis/ carotid body dengan cara melakukan penekanan
di bifurcation carotis. bradikardi, hipotensi, penurunan cardiac output, vasodilatasi perifer. Bila
responnya besar dapat menyebabkan syncope.
Aff N IX ; Eff: N.X
1. Minta pasien menengok ke satu arah secara maksimal, lalu pertahankan. Kemudian kembalikan
posisi kepala ke tengah. Bila normal tidak ada gangguan dalam melakukan manuver ini.
2. Pemeriksaan SCM kedua sisi secara simultan dapat dilakukan dengan cara meminta pasien
memfleksikan kepala, sementara pemeriksa memberi tahanan pada dahi. Cara lain dengan
meminta pasien menengok ke tiap sisi sambal diberikan tahanan.
Kelemahan unilateral deviasi kepala ke sisi yang paralisis
Pada sisi yang paralisis, otot yang terlibat akan tampak mendatar, tidak berkontraksi saat melawan
tahanan, saat melakukan gerakan fleksi atau saat menoleh.
Kelemahan bilateral kesulitan gerak anterofleksi leher, kepala tampak dalam kondisi ekstensi.
Reflex SCM: melakukan ketukan pada pada otot yang berorigo di clavicular tampak adanya
kontraksi.
REFLEKS PRIMITIF
Grasp Refleks
Reflek graps biasanya diklasifikasikan sebagai frontal release sign (FRS). Grasping adalah respon fleksi
involunter pada jari tangan setelah stimulasi. Pasien diinstruksikan tidak menahan tangan penguji.
Terdapat empat variasi dan modifikasi:
a. Jika tangan pemeriksa diletakkan pada tangan pasien, khususnya antara jari jempol dan telunjuk,
atau jika kulit palmar distimulasi secara gentel, terdapat fleksi ringan dari jari-jari. Ini adalah
reflex grasp sederhana.
b. Jika jari tangan pasien fleksi diekstensikan oleh jari pemeriksa, pasien akan memfleksikan jari
melawan jari pemeriksa dengn respon hooking atau traksi.
c. Dengan respon grasp yang berlebihan, kekuatan grasp akan meningkat dengan usaha menghindari
tangan pemeriksa atau mengekstensi tangan secara pasif dan terdapat kehilangan kemampuan
untuk relaks grasp secara volunteer atau pada perintah.
d. Pandangan tangan pemeriksa mendekat tapi tidak menyentuh tangan pasien, atau sentuhan yang
sangat ringan pada tangan pasien antara jari jempol dan telunjuk.
Palmar grasp normal pada bayi yang baru lahir. Respon mulai menghilang ketika berusia 2 sampai 4
bulan. Ini dapat muncul pada neoplasma atau lesi vaskular lobus frontal atau proses degenerasi, biasanya
kontralateral tapi kadang-kadang ipsilateral. Walaupun grasp reflex diklasifikasikan sebagai refleks
primitive, ini dapat muncul pada disfungsi traktus kortikospinal pada hemiplegia spastik. Ketika tanda
muncul unilateral, ini mendukung lesi frontal atau parietal kontralateral. Ketika muncul bilateral, tidak
mempunyai nilai lokalisasi.
Palmomental reflex
Palmoental reflex atau palm chin reflex adalah kontraksi otot mentalis dan orbicularis oris menyebabkan
pengerutan dengan retraksi rigan dan kadang-kadang elevasi sudut mulut dalam respon goresan palma
tagan ipsilateral. Refleks paling baik ditimbulkan dengan memukul titik tumpul diantara bukit tenar, baik
pergelangan tangan menuju ibu jari atau sebaliknya.
Snout refleks
Minta pasien untuk membuka mulut 2 cm, kemudian sentuh bibir dengan tounge blade, gerakkan dari
lateral aspek bibir ke medial dan ke lateral lagi. Respon adalah gerakkan menghisap bibir atas dan bawah.
Reflex ini mengindikasikan penyakitobus frontal. Namun dapat jug muncul pada lesi traktur kortikospinal
bilateral di atas midpons.
TES PROVOKASI NYERI
Lhermitte sign
Pemeriksaan dilakukan dengan meminta pasien untuk memfleksikan leher ke depan. Hasil positif apabila
dirasakan sensasiseperti tersentrum yang menjalar ke arah belakang Positif pada myelopathy cervical,
tumor medulla spinalis dan multiple sclerosis.
Nafziger
Tes Nafziger mengakibatkan naiknya tekanan intrakranial, yang dicetuskan disepanjang rongga
subarachnoid. Di sini, pemeriksa berdiri di belakang pasien duduk dan berikan tekanan untuk vena
jugularis selama 40 detik. Hal ini mencegah darah keluar dari kepala sementara jantung terus memompa
darah ke kepala. Hasilnya adalah peningkatan pembuluh darah dan tekanan intrakranial. Pada 35 detik
(jika pemeriksa kehilangan jejak waktu, 35 detik biasanya ditandai ketika wajah pasien merah dan mata
melotot), pemeriksa menginstruksikan pasien untuk batuk, memberikan dorongan akhir untuk tekanan di
intrakranial. nyeri ditulang belakang atau ekstremitas adalah hasil positif. Tidak ada rasa sakit di daerah
tersebut hasil negatif..
Kontrapatrik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk membangkitkan nyeri di sendi sakroiliaka. Tes kontra-patrick biasanya
dilakukan untuk menetukan lokasi patologik yang tepat apabila terdapat keluhan nyeri di daerah bokong.
Pasien diminta berbaring di tempat tidur. Dilakukan fleksi tungkai yang sakit ke sisi luar, kemudian
dilakukan fleksi tungai yang sakit kelauar, kemdiaan dilakukan endorotasi serta aduksi. Pemeriksa
melakukan penekanan sejenak pada lutut tungkai tersebut. Positif apabia timbul nyeri di garis sendi
sakroiliaka.
Lasegue, Braggard, Siccard
Tes Lasegue disebut juga tes Straight Leg Raising (SLR) test. Pemeriksaan dilakukan dengan membaringkan
pasien dan kemudian satu tungkai lurus di atas meja periksa dan satu tungkai diangkat keatas hingga mencapai
sudut 70 derajat. Pada keadaan seperti ini dikatakan tes Laseque positif bila tungkai kanan diangkat terasa
nyeri.
Interpretasi:
Nyeri hingga sudut 35 derajat diagnostik untuk prolaps diskus interveterbralis
Nyeri 35 hingga 70 derajat suggestive untuk prolaps diskus interveterbralis
Nyeri di atas 70 derajat dalam batas normal
Tes Braggard dilakukan dengan posisi sama seperti pada tes Laseque namun ketika tungkai diangkat maka
telapak kaki pasien di dorong kuat keatas (dorsofleksi maksimal), maka akan terasa nyeri sepanjang tungkai.
Tes Siccard dilakukan dengan posisi sama seperti pada tes Braggard namun dengan ibu jari di dorong
maksimal ke arah atas (dorsofleksi maksimal) dan akan terasa nyeri sepanjang tungkai.
PEMERIKSAAN PARKINSON
Myerson Sign/Glabellar Reflex
Merupakan refleks primitf, pemeriksaan dilakukan dengan mengetuk berulang pada dahi di antara kedua
alis mata. Pasien akan merspon dengan berkedip pada beberapa ketukan pertama. Namun jika tetap
persisten maka disebut tanda myerson positif merupakan keadaan abnormal pada penyakit Parkinson.
Retropulsion
Pemeriksa berdiri di belakang pasien, kemudian secara tiba-tiba menarik bahu pasien ke belakang.
Normalnya psien akan melangkah ke belakakng dan memfleksikan tubuh untuk mempertahankan pusat
gravitasi. Pada pasien Parkinson tidak dapat mengompensasi kemampuan tersebut.
Anteropulsion
Pemeriksan mendorong pasien ke depan, hasil positif maka pasien tampak kecenderungan terus jatuh dan
menyeret ke depan.
Tapping tes
Pasien diminta untuk menjentikka anatara jari telunjuk dan jempol dengan cepat baik kanan dan kiri.
Hasil positif akan tampak gerakan melambat. Dapat juga dilakukan dengan mengetuk telapak kaki ke
lantai, gerakan melambat (bradykinesia) khas untuk Parkinson.
Tremor
Tremor dapat diklasifikasikan menjadi beberpa cara: loakasi, kecepatan, amplitude, ritme, hubungan
dengan keadaan istirahat atau pergerakan, dan etiologi.
Termor dapat unilateral atau bilateral, dan sering mengenai ekstremitas distal seperti jari tangan.
Kecepatan tremor dapat cepat, sedang atau cepat. Osilasi 3-5 hz dianggap lambat, 10-20 hz dianggap
cepat.
Tremor dapat diklasifikasi berdasarkan rest dan activity. Resting tremor timbul selama relaksasi, ketika
tangan diletakkan di atas paha atau meja. Reting tremor sering terlihat pada sindro Parkinson. Tremor aks
tampak ketika melakuka aktivitas. Tremor aksi dapat dibagi menjadi: postural, kinetic, tugas spesifik, dan
isometrik. Postural tremor terlihat ketika pasien mempertahankan tangan melawan gravitasi. Tremor
kinetic muncul ketika melakukan gerakan volunter, contoh tersering pada finger to nose test.
Pada Parkinson dan penyakit gangia basalis, tremor bersifat resting, statik, nonintention. Tremor dapat
lambat dan kasar. Pemeriksaan lain pada Parkinson dapat dilakukan untuk meminta pasien menulis di atas
kertas.
Referensi
Campbell W. De Jong’s The Neurologic Examination. 7 th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins;
2013.
Kekuatan motorik menunjukkan kapasitas otot untuk mengerahkan kekuatan dan mengeluarkan energi.
Menurunnya kekuatan disebut sebagai kelemahan otot atau paresis, hilangnya kontraksi dari otot
disebut sebagai paralisis atau plegia. Kelemahan otot dapat diawali dengan kehilangan kecepatan,
kelincahan gerakan dan menurunnya rentang atau amplitudo dari gerakan sebelum munculnya gejala
hilangnya kekuatan otot pada pemeriksaan motorik. Gejala lain yang dapat muncul adalah kelelahan,
variasi kekuatan otot pada pemeriksaan yang berulang, hilangnya rentang dan jumlah dari suatu
gerakan, hilangnya koordinasi, gerakan yang irregular dan ceroboh, tremulousness (tremor), hilangnya
asosiasi gerakan, dan hilangnya kemampuan untuk melakukan gerakan yang membutuhkan
keterampilan.
Di dalam melalukan penilaian kekuatan otot, walaupun kriteria mayornya adalah kekuatan yang
keluar pada saat memulai ataupun mempertahankan gerakan, inspeksi dan palpasi kontraksi otot atau
pergerakan tendon dapat membantu dalam penilaian secara keseluruhan. Kontraksi pada otot yang
sangat lemah terkadang dapat dirasakan dengan palpasi ketika tidak terlihat ada gerakan pada saat
inspeksi. Selain itu kita juga harus berhati-hati, kelemahan dapat tersamar ketika seseorang dengan
kelemahan otot ikut mengkontraksikan otot-otot sekitar untuk mengkompensasi paresisnya. Daya tahan
(endurance) adalah suatu kemampuan untuk melakukan gerakan yang sama secara berulang-ulang.
Hilangnya endurance, atau kelelahan yang abnormal, dapat terjadi pada kasus myastenia gravis.
Sebaliknya, pasien dengan Lambert-Eaton myasthenic syndrome dapat menjadi lebih kuat sementara
saat diberikan kontraksi berulang-ulang.
Pemeriksaan kekuatan otot dinilai dengan gerakan volunter, atau aktif, kontraksi otot daripada
kontraksi yang disebabkan oleh refleks. Dapat diklasifikasikan sebagai kinetik (kekuatan yang muncul
saat merubah posisi) dan statik (kekuatan yang muncul pada saat mempertahankan gerakan dari fixed
position).
Kekuatan motorik pada umumnya dinilai menggunakan five-level MRC (Medical Research Council) scale.
Akan tetapi Skala MRC ini sebetulnya lebih condong untuk mengevaluasi otot yang sangat lemah. Pada
kasus cedera saraf perifer yang berat, peningkatan dari grade 0 (tidak ada kontraksi) menjadi grade 1
(ada kontraksi) sangat signifikan, karena hal ini menunjukkan tanda awal reinervasi. Pada pasien dengan
cedera saraf yang pulih ke grade 4 akan memiliki outcome yang sangat baik. Akan tetapi, pada pasien
dengan polimiositis yang memiliki grade 4 memiliki penyakit yang berat dan akan terus mengalami
perburukan. Oleh sebab itulah skala MRC ini sebetulnya memiliki keterbatasan dalam memeriksa
berbagai macam pasien.
tabel 1. Skala Kekuatan Otot Medical Research Council
Pemeriksaan Motorik
Palmaris Longus :C7-C8 (N. Medianus) Extensor Carpi Ulnaris : C7-C8 (N.
Radialis)
Flexor Carpi Ulnaris :C7-T1 (N. Ulnaris) Extensor Digitorum Communis : C7-C8 (N.
Radialis)
C8-T1 (N. Medianus dan ulnaris) C7-T1 (N. Medianus) C7-C8 (N.
Radialis)
C8-T1 (N. Ulnaris)
Gluteus Medius : L4-S1 (N. Gluteus Superior) Adductor longus : L2-L4 (N.
Obturator)
Adductor magnus
Ekstensor hallucis longus : L5 (N. Peroneus Profundus) Flexor hallucis brevis : S1-S2 (N.
Plantaris Medialis)
Pemeriksaan tonus
Tonus otot didefinisikan sebagai adanya tegangan pada otot yang rileks atau tahanan pada gerakan pasif
ketika tidak adanya kontraksi volunter. Karena adanya tonus istirahat, otot normal memiliki sedikit
tahanan pada gerakan pasif walaupun pada saat rileks.
Level istirahat suatu tonus otot tergantung kepada aktivitas segmen medulla spinalis yang
menginervasinya, terutama berasal dari motor neuron gamma. Impuls eferen yang berasal dari motor
neuron gamma akan menentukan kontraksi dari serat intrafusal spindel otot. Spindel afferen sebaliknya
membawa impuls ke segmen medulla spinalis untuk menyelesaikan lengkung gamma.
Tonus otot sulit untuk dinilai. Penentuan suatu tonus otot sangat subjektif dan tergantung kepada
variabilitas antar pemeriksa. Tidak terdapat metode pemeriksaan tonus otot yang bersifat kuantitatif.
Penentuan tonus lebih berdasarkan penilaian klinis dari pemeriksa, pemeriksaan tonus yang akurat
bergantung kepada pengalaman klinis.
Pemeriksaan tonus memerlukan kondisi pasien yang rileks dan kooperatif. Dapat didahului
dengan perbincangan santai kepada pasien untuk membantu tercapainya kondisi tersebut. Inspeksi
dapat menilai apakah terdapat postur yang abnormal atau posisi istirahat yang menunjukkan perubahan
tonus otot. Palpasi pada otot dapat membantu pemeriksaan, akan tetapi pada individu dengan otot
yang terlatih umumnya memiliki otot yang keras walaupun pada kondisi istirahat, dan terdapat
beberapa individu yang ototnya teraba lembek disaat kondisi hipertonus.
Lengan diabduksikan pada bahu, dan lengan bawah secara pasif difleksikan pada siku. Pada hipotonus,
dapat ditemukan adanya peningkatan fleksibilitas dan mobilitas, dan siku dapat ditekuk pada sudut yang
lebih tajam dari normal. Pada hipertonus, akan didapatkan penurunan fleksibilitas, dan pada fleksi pasif
tidak dapat dilakukan melebihi sudut tumpul.
Head-dropping test
Pasien berbaring posisi supinasi tanpa bantal, rileks, mata tertutup, dan perhatian dialihkan. Pemeriksa
meletakkan satu tangan dibawah oksiput pasien dan menggunakan tangan yang lain menaikkan kepala
dengan cepat, kemudian dilepas untuk jatuh. Normalnya kepala akan jatuh secara cepat ke tangan
pemeriksa, namun pada pasien dengan rigiditas ekstrapiramidal akan ada penundaan, kelambatan, dan
jatuhnnya kepala akan dengan perlahan-lahan karena adanya rigiditas pada otot fleksor di leher.
Pasien duduk pada pinggir meja, rileks dengan tungkai bawah tergantung. Pemeriksa dapat
mengekstensikan kedua tungkai pada posisi horizontal dan kemudian melepaskan secara bersamaan
(Wartenberg Pendulum Test) atau dapat memberikan kedua tungkai dorongan ke belakang yang sama
dan tiba-tiba. Apabila pasien benar-benar rileks maka akan didapatkan ayunan pada tungkai bawah yang
lama-lama akan menghilang (biasanya setelah enam atau tujuh kali ayunan). Pada rigiditas
ekstrapiramidal, terdapat penurunan jumlah ayunan namun biasanya tidak ditemukan perubahan
kualitatif dari gerakan. Pada spatisitas, dapat ditemukan sedikit atau tidak ada penurunan jumlah
ayunan, namun gerakan akan terhentak-hentak dan irregular, ayunan kedepan dapat lebih cepat
daripada ayunan kebelakang, dan gerakan dapat dianggap sebagai pola zigzag. Pada hipotonia, respon
akan meningkat pada jarak gerakan dan jumlah ayunan melewati batas normal. Pada manuver ini,
abnormalitas unilateral akan lebih terlihat.
Shoulder-shaking test
Pemeriksa meletakkan tangannya di pundak pasien dan menggoyangkan secara cepat ke depan dan
belakang, sambil menilai gerakan timbal-balik dari lengan. Pada penyakit ekstrapiramidal, akan
didapatkan penurunan jarak ayunan lengan pada sisi yang terkena. Dan pada hipotonia, khususnya yang
berkaitan dengan penyakit serebellum, pergerakan ayunan lengan akan lebih dari normal.
Arm-Dropping test
Lengan pasien diangkat setinggi pundak secara cepat dan kemudian dilepaskan. Pada spatisitas, akan
terdapat penundaan di dalam gerakan jatuh pada lengan yang terkena, menyebakan lengan akan
menggantung sesaat pada sisi yang terkena (Bechterew’s sign); pada hipotonia, jatuhnya lengan akan
lebih mendadak daripada normal.
Hand position
Hipotonus, khususnya yang berkaitan dengan penyakit serebellum atau sydenham’s chorea, dapat
menyebabkan tangan pada posisi yang khas. Pada posisi lengan dan tangan terulur, akan didapatkan
fleksi pada pergelangan tangan dan hiperekstensi dari jari-jari (spooning) yang diikuti dengan
overpronasi sedang. Pada saat lengan diangkat ke atas kepala, overpronasi akan berlebihan dengan
telapak tangan terputar keluar. Fenomena overpronasi ini berbeda dengan pronator drift sign, dimana
pada tanda tersebut overpronasi disebabkan oleh kelemahan otot yang diinervasi oleh jaras
kortikospinalis atau peningkatan tonus otot pronator.
Pemeriksaan klonus
Klonus didefinisikan sebagai kontraksi otot involunter yang memiliki ritme dan muncul apabila ada
peregangan tiba-tiba secara pasif pada otot dan tendon. Sering muncul pada pergelangan kaki, lutut,
dan pergelangan tangan. Jarang muncul pada daerah lain.
Klonus pada pergelangan kaki berupa gerakan ritmik fleksi dan ekstensi pergelangan kaki secara
bergantian. Sementara pada klonus patella akan didapatkan pergerakan patella yang ritmik ke atas dan
ke bawah.
Pemeriksaan klonus pada pergelangan kaki dapat dengan mudah didapatkan apabila pemeriksa
menopang kaki pasien menggunakan satu tangan di bawah lutut atau betis, dan dilanjutkan dengan
melakukan dorsofleksi pergelangan kaki menggunakan tangan lainnya sambil tetap mempertahankan
tekanan ringan pada akhir gerakan. Tungkai dan kaki harus di dalam posisi santai (rileks), lutut dan
pergelangan kaki fleksi moderate, dan kaki sedikit eversi.
Pemeriksaan klonus patella didapatkan dengan cara pemeriksa menggenggam patella diantara jari
telunjuk dan ibu jari dan diikuti dengan hentakan ke bawah secara tiba-tiba dan diakhiri dengan
mempertahankan tekanan yang diberikan pada akhir gerakan.
Pemeriksaan refleks fisiologis
Pemeriksaan refleks patologis
Refleks patologis merupakan respon yang umumnya tidak ditemukan pada orang normal. Pada
beberapa individu, refleks ini masih dapat ditemukan dengan respon yang minimal. Refleks patologis
seharusnya ditekan oleh karena adanya inhibisi serebral, namun muncul pada kondisi terdapat penyakit
dimana lower motor neuron terpisah dari pengaruh pusat di otak. Turunnya treshold dan ekstensi dari
zona refleks berperan banyak di dalam refleks patologis.
Refleks patologis sebagian besar berkaitan dengan penyakit yang merusak jaras kortikospinalis
dan jaras-jaras yang berhubungan. Refleks ini dapat juga muncul pada penyakit lobus frontal dan
terkadang muncul pada kelainan di sistem ekstrapiramidal.
Istilah Frontal Release Signs (FRS) dan primitif, fetal, developmental, atau refleks atavistic
merujuk kepada respon yang normalnya ada pada sistem saraf yang masih berkembang, namun hilang
seiring dengan maturasi sistem saraf. Oleh karena itu refleks patologis normal bila ditemukan pada
infant dan anak, namun bila ada pada orang dewasa hal ini menunjukkan adanya suatu penyakit
neurologis. Respon yang termasuk di dalam FRS adalah palmomental refleks, grasp refleks, snout,
sucking refleks, dan lain-lain. FSR sering muncul pada pasien dengan demensia berat, diffuse
encephalopaty (metabolic, toxic, postanoxic), setelah cedera kepala, dan kondisi lain yang patologisnya
difus namun berkaitan dengan lobus frontalis atau area asosiasi frontal.
Hoffman sign
Untuk memeriksa hoffman sign, tangan pasien harus santai (rileks) dan dipegang oleh pemeriksa dengan
posisi dorsofleksi pergelangan tangan diikuti dengan jari-jari tangan setengah fleksi. Menggunakan satu
tangan, pemeriksa memegang jari tengah pasien yang agak terekstensi dengan jari telunjuk dan ibu jari
atau jari tengah dan ibu jari. Kemudian pemeriksa men-snap kuku jari pasien, mengakibatkan fleksi
mendadak yang diikuti dengan pelepasan mendadak juga. Hoffman sign positif apabila terdapat fleksi
dan adduksi dari ibu jari dan fleksi dari jari telunjuk, hal ini terkadang juga diikuti dengan fleksi jari-jari
lainnya. Apabila hanya antara ibu jari atau jari telunjuk yang terdapat respon, maka tanda ini dikatakan
inkomplit.
Tromner sign
Pada pemeriksaan tromner sign, pemeriksa memegang jari tengah pasien yang terekstensi parsial, dan
tangan pasien menggantung. Dengan tangan yang lain pemeriksa menjentikkan ujung jari (finger pad).
Reaksi positif apabila didapatkan respon seperti pada pemeriksaan hoffman sign.
Refleks patologis pada ekstremitas bawah bersifat lebih konstan, lebih mudah ditemukan, dan lebih
dapat diandalkan untuk menentukan adanya kelainan neurologis apabila dibandingan dengan refleks
patologis di ekstremitas atas. Secara garis besar, refleks patologis pada ekstremitas bawah dibagi
menjadi dua bagian, yaitu (1) yang dikarakteristikan dengan adanya dorsofleksi jari kaki (2) yang
dikarakteristikan dengan adanya plantarfleksi jari kaki. Refleks patologis terpenting pada ekstremitas
bawah yaitu Babinski sign.
Babinski Group
Respon yang diharapkan pada Babinski grup yaitu berupa dorsofleksi ibu jari.
Rossolimo Sign
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengetuk (tapping) pada “ball of foot”, atau permukaan plantar
jari kaki; diikuti dengan jentikkan (snap) yang cepat ke ujung jari kaki. Reaksi yang diharapkan muncul
pada rossolimo sign yang positif adalah plantarfleksi jari-jari kaki, khususnya jari yang lebih kecil.
Mendel Bechterew
Pada pemeriksaan ini kita memberikan ketukan pada area lateral dari dorsum pedis pada regio tulang
cuboid, atau diantara metatarsal ke-4 dan ke-5. Reaksi yang diharapkan muncul pada mendel bechterew
yang positif sama seperti pemeriksaan rossolimo.