Anda di halaman 1dari 13

Pemeriksaan Fisik Sistem Persarafan

Tujuan: Mengevaluasi keadaan fisik pasien secara umum dan mengetahui apakah ada
indikasi kelainan neurologis dan penyakit lainnya
1. Wawancara

Selama wawancara perlu memperhatikan tehnik komunikasi terapeutik. Privasi pasien


merupakan hal yang vital, perawat perlu menyadari postur, bahasa tubuh, dan nada suara
selama berkomunikasi dengan pasien. Keluhan pasien dapat ditelusuri dengan menanyakan
sejak kapan mulai keluhan, sifat serta beratnya keluhan, lokasi serta penjalarannya,
hubungannya dengan waktu (pagi, siang, malam, sedang tidur, waktu haid, sehabis makan
dan sebagainya), keluhan lain yang ada hubungannya dengan keluhan tersebut, pengobatan
sebelumnya dan bagaimana hasilnya, faktor yang membuat keluhan lebih berat atau lebih
ringan, perjalanan keluhan (apakah menetap, bertambah berat, bertambah ringan, datang
dalam bentuk serangan, dan sebagainya).

Adapun data yang perlu diidentifikasi terkait sistem neurologik adalah adanya sakit kepala;
kesulitan dalam bicara; ketidakmampuan membaca atau menulis; perubahan dalam memori;
gangguan kesadaran; bingung atau perubahan dalam berpikir; disorientasi; penurunan sensasi,
perasaan geli, nyeri; kelemahan motorik atau adanya penurunan kekuatan otot; perubahan
dalam sensasi penciuman, pengecapan; perubahan dalam penglihatan, diplopia; kesulitan
menelan; gangguan berjalan atau gangguan keseimbangan; pusing; tremor, kedutan atau
peningkatan refleks (Wyckoff, 2009).

2. Pengkajian status mental


Evaluasi status mental pasien meliputi tingkat kesadaran, orientasi, dan memori.
Pengkajian tingkat kesadaran dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Pengkajian
tingkat kesadaran kualitatif dapat dilihat pada tabel berikut:
Tingkat Kesadaran Keterangan

ComposMentis (conscious) Kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat


menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya
Apatis Keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikap acuh tak acuh
Delirium Penurunan kesadaran disertai peningkatan yang
abnorml dari aktivitas psikomotor dan siklus tidur-
bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh-
gelisah, kacau, disorientasi, berteriak, aktivitas
motoriknya meningkat, memberontak.
Somnolen (obtundasi, Keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih bila
letargi) dirangsang. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh
mudahnya pasien dibangunkan, mampu memberi
jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.
Sopor (stupor) Kantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan
dengan rangsang yang kuat, namun kesadarannya
segera menurun lagi. Pasien masih dapat mengikuti
perintah yang singkat, dan masih terlihat gerakan
spontan. Melalui rangsang nyeri, pasien tidak dapat
dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah
tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh
jawaban verbal dari penderita. Gerak motorik untuk
menangkis rangsang nyeri masih baik.
Koma-ringan (semi-koma) Pada keadaan ini, tidak ada respons terhadap
rangsang nyeri. Refleks (kornea, pupil dan
sebagainya) masih baik. Gerakan terutama timbul
sebagai respons terhadap rangsang nyeri. Reaksi
terhdap rangsang nyeri tidak terorganisasi. Pasien
sama sekali tidak dapat dibangunkan.
Koma (dalam atau komplit) Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama
sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun
kuatnya. Tidak bisa dibangunkan, tidak ada respons
kornea maupun refleks muntah, mungkin juga tidak
ada respon pupil terhadap cahaya.

Cara kuantitatif yang sering digunakan adalah dengan menggunakan Glassgow Coma
Scale (GCS). Terdapat tiga parameter yang dilihat pada pemeriksaan kesadaran
menggunakan GCS, yaitu respon membuka mata, respon verbal, dan respon motorik.
Berikut adalah penilaian tingkat kesadaran menggunakan GCS.

Parameter yang Dinilai Nilai Skor

1. Membuka Mata / Eye (E)


- Klien dapat membuka mata spontan 4
- Klien dapat membuka mata dengan perintah 3
- Klien dapat membuka mata dengan rangsang nyeri 2
- Klien tidak berespon 1
2. Respon Motorik (M)
- Klien dapat melakukan gerakan sesuai instruksi 6
- Klien hanya mampu melokalisir nyeri 5
- Klien hanya mampu menghindar sumber nyeri 4
- Adanya gerakan fleksi abnormal (dekortikasi) 3
- Adanya gerakan ekstensi abnormal (deserebrasi) 2
- Klien tidak berespon 1
3. Respon Verbal
- Klien mampu menjawab dengan benar, orientasi sempurna 5
- Klien mengalami disorientasi, bingung 4
- Kata-kata tidak dapat diengerti, tidak bermakna 3
- Suara tidaka jelas, hanya mengerang 2
- Klien tidak berespon 1

3. Pemeriksaan Saraf Kranial


Saraf kranial terdiri atas 12 nervus.
Adapun pemeriksaannya adalah sebagai berikut:
Nervus Cara Pemeriksaan

N. I (Nervus Olfaktorius) Alat: kopi, minyak wangi, dll. Mitella untuk menutup
mata pasien.
Pasien dalam posisi duduk atau fowler
Periksa lubang hidung, apakah ada sumbatan atau kelainan
setempat, karena dapat mengurangi ketajaman penciuman.
Zat pengetes yang digunakan sebaiknya zat yang dikenal
sehari-hari seperti kopi, teh, jeruk. Jangan menggunakan
zat yang dapat merangsang mukosa hidung seperti mentol,
amoniak, alkohol, dan cuka. Zat pengetes didekatkan ke
hidung pasien dan diminta untuk menciumnya. Tiap
lubang hidung diperiksa satu per satu, dengan jalan
menutup lubang hidung yang lainnya dengan tangan (jari).
N. II (Nervus Optikus) Alat: Penlight
Pasien dalam posisi duduk atau fowler
- Ketajaman penglihatan: dapat dilakukan dengan
menggunakan gambar Snellen. Pasien membaca
gambar Snellen dari jarak 6 meter, kemudian
ditentukan sampai barisan mana yang dapat dibaca
pasien. Bila dapat membaca sampai barisan paling
bawah, maka ketajaman penglihatan normal (6/6).
Pasien yang sangat buruk visusnya diperiksa dengan
jalan menggerakkan tangan kita di depan mata pasien.
Jika kemampuan pasien hanya dapat membedakan
adanya gerakan, maka visusnya adalah 1/300. Tetapi
jika hanya dapat membedakan antara gelap dan terang
(cahaya) maka visusnya adalah 1/~
- Lapang pandang: dilakukan dengan jalan
membandingkan dengan kampus penglihatan
pemeriksa (yang dianggap normal) yaitu dengan
metode konfrontasi dari Donder. Pasien diminta duduk
atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa dengan jarak
kira-kira 1 meter. Jika mata kanan yang akan diperiksa
maka mata kiri pasien harus ditutup dengan tangan atau
kertas dan pemeriksa menutup mata kanannya.
Kemudian pasien diminta melihat terus pada mata kiri
pemeriksa dan pemeriksa melihat mata kanan pasien.
Pemeriksa menggerakkan jari tangannya dibidang
pertengahan antara pemeriksa dan pasien. Gerakan
dilakukan dari arah luar ke dalam. Jika pasien mulai
melihat gerakan jari-jari pemeriksa, ia harus
memberitahu dan pemeriksa pun telah melihatnya. Bila
sekiranya ada gangguan kampus penglihatan, maka
pemeriksa akan lebih dahulu melihat gerakan tersebut.
- Papil optik: pemeriksaan oftalmoskopik dengan
menggunakan oftalmoskop. Papil normal berbentuk
lonjong, warna jingga muda, di bagian temporal sedikit
pucat, batas dengan sekitarnya (retina) tegas, hanya
dibagian nasal agak kabur, terdapat lekukan fisiologis.
Pembuluh darah muncul ditengah, bercabang ke atas
dan ke bawah, jalannya arteri agak lurus, vena
berkelok-kelok, perbandingan besar vena : arteri ialah 3
: 2 sampai 5 : 4
N.III (Nervus Pemeriksaan N.III, N.IV, dan N.VI dilakukan secara
Okulomotorius) bersamaan. Saat wawancara perhatikan celah matanya,
apakah ada ptosis, eksoftalmus, enoftalmus, strabismus.
Perhatikan juga besar pupil, reaksi cahaya pupil, reaksi
N.IV (Nervus
akomodasi, kedudukan bola mata, gerakan bola mata, dan
Trokhlearis)
nistagmus.
Reaksi akomodasi: dilakukan dengan cara pasien diminta
N.VI (Nervus Abdusen) melihat jauh, kemudian melihat benda (misalnya jari) yang
ditempatkan dekat matanya. Reaksi akomodasi positif bila
terdapat terlihat pupil mengecil.
Kedudukan bola mata: perhatikan apakah bola mata
menonjol (eksoftalmus) dimana celah mata tampak lebih
besar atau bola mata seolah-olah masuk ke dalam
(enoftalmus) dimana celah mata tampak lebih kecil.
Gerakan bola mata: pasien diminta mengikuti jari-jari
pemeriksa yang digerakkan ke arah lateral, medial atas,
bawah, dan ke arah yang miring yaitu atas-lateral, bawah-
medial, atas-medial, dan bawah-lateral.

Nervus IV Memberi komando agar klien dapat


menggerakkan bola matanya ke atas dan ke bawah.
Pemeriksaan Nervus VI Memberi komando agar klien
dapat menggerakkan bola matanya kesamping kanan /kiri
N.V (Nervus Alat: Kapas
Trigeminus)
Pasien diminta merapatkan giginya sekuat mungkin
kemudian pemeriksa raba m.masseter dan m.temporalis.
perhatikan besarnya, tonus serta kontus (bentuk)nya.
Kemudian pasien diminta membuka mulut dan perhatikan
apakah ada deviasi rahang bawah. Bila ada parese, rahang
bawah akan berdiviasi ke arah yang lumpuh. Hal ini
ditentukan dengan menggunakan garis antara kedua gigi
insisivus (gigi seri) sebagai patokan. Kekuatan otot saat
menutup mulut dapat dinilai dengan cara meminta pasien
menggigit suatu benda (misalnya tong spatel) dan dinilai
tenaga gigitannya dengan cara menarik tong spatel
tersebut. Kemudian pasien diminta menggerakkkan rahang
bawahnya ke samping kanan dan kiri. Bila terdapat parese
disebelah kanan, maka rahang bawah tidak dapat
digerakkan ke samping kiri.
Pemeriksaan fungsi sensoris N.V dilakukan dengan cara
menyelidiki rasa raba, nyeri, dan suhu di daerah-daerah
yang disarafi wajah. Juga dilakukan pemeriksaan refleks
kornea: Pasien diminta menutup mata yang tidak diperiksa
dengan telapak tangan bila mampu, bila tidak mampu
dibantu perawat. Meminta klien untuk melirik ke arah
Latero Superior / ke mata yang tidak ditutup.
Menyentuhkan ujung kapas yang sudah dipilin pada
Limbus (pertemuan Kornea dan Sklera). Membandingkan
reflek kornea kedua mata.
N.VII (Nervus Fasialis) Alat: Garam, gula, kapas lidi/ cotton bud, air dingin
Motorik: perhatikan kesimetrisan muka, perhatikan
kerutan pada dahi, pejaman mata, plika nasolabialis, dan
sudut mulut. Pasien diminta mengangkat alis, mengerutkan
dahi, memejamkan mata, menyeringai (menunjukkan gigi
geligi), mencucurkan bibir, dan menggembungkan pipi.
Kaji juga adanya gejala Chvostek dengan cara mengetok
dibagian depan telinga. Bila positif ketokan menyebabkan
kontraksi otot yang disarafinya. Positif dapat ditemukan
pada pasien tetani dan orang normal.
Sensorik: pasien diminta menjulurkan lidah, kemudian
ditaruh bubuk gula, asam sitrat atau garam pada lidah.
Dapat dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat.
Pasien tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut saat
bahan tersebut ditaruh di lidah. Pasien memberi isarat
terhadap apa yang dirasakannya misalnya 1 untuk rasa
manis, 2 untuk pahit, 3 untuk asin, dan 4 untuk asam.
N.VIII (nervus vestibulo- Alat: garpu tala
kokhlearis) - Pemeriksaan saraf kokhlearis
Ketajaman penglihatan: minta pasien mendengarkan
suara bisikan pada jarak tertenu dan bandingkan dengan
orang yang normal. Bandingkan juga antara telinga
kanan dan kiri. Bila ketajaman pendengaran berkurang,
maka kita lakukan pemeriksaan Schwabach, Rinne,
Weber, dan audiogram
- Pemeriksaan saraf vestibularis
Dilakukan untuk menentukan adanya vertigo, nistagmus,
kehilangan keseimbangan, dan salah tunjuk. Untuk
mempertegas nistagmus dapat dilakukan manuver
Nylen-Baranylmanuver Halpike atau tes kalori. Untuk
menilai keseimbangan dapat dilakukan tes Romberg, tes
melangkah di tempat, dan salah tunjuk (past pointing)

N.IX (Nervus Alat: spatel


Glosofaringeus)
Pemeriksaan Nervus IX dan X dilakukan secara
bersamaan.
N.X (nervus Vagus)
Fungsi Motorik: perhatikan kualitas suara pasien, apakah
suaranya normal, serak (disfonia), atau tidak ada sama
sekali (afonia). Pasien diminta untuk menyebutkan
aaaaaaaa, pasien juga diminta memakan makanan padat,
lunak, dan menelan air. Perhatikan adanya disfagia.
Kemudian pasien diminta untuk membuka mulutnya,
perhatikan palatum mole, faring, dan uvula pada saat
istirahat dan bila digerakkan (misal saat pasien
menyebutkan aaaaaaa). Bila terdapat parese, maka palatum
mole, faring, dan uvula yang lumpuh letaknya lebih rendah
daripada yang sehat. Dan bila digerakkan uvula dan arkus
faring seolah-olah tertarik ke bagian yang sehat. Bila
terdapat parese di kedua belah pihak, maka tidak
didapatkan gerakan dan posisi uvula dan arkus faring lebih
rendah.
Sensorik: pengecapan pada 1/3 bagian posterior lidah
namun pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan.

N.XI (Nervus Pemeriksaan otot sterno kleidomastoideus diakukan


Aksesorius) dengan cara pasien kita minta untuk menoleh misalnya ke
kanan, kemudian pemeriksa menahan gerakan tersebut
dengan meletakkan tangan di dagu pasien. Gerakan
tersebut dilakukan untuk menilai kekuatan otot
sternokleidomastoideus kiri. Bandingkan kekuatan otot kiri
dengan kanan.
Pemeriksaan otot trapezius dilakukan untuk melihat
adanya atrofi atau fasikulasi. Pada kelumpuhan otot
trapezius bahu sisi yang sakit lebih rendah daripada sisi
yang sehat. Tenaga otot trapezius diperiksa dengan
menempatkan tangan pemeriksa dibahu pasien, kemudian
pasien mengangkat bahunya dan kita tahan. Nilai kekuatan
otot dan bandingkan kanan dan kiri. Juga dikaji kontur dan
perkembangan otot.
N.XII (Nervus Alat: spatel
Hipoglosus)
Minta pasien membuka mulut dan perhatikan lidah dalam
keadaan istirahat dan bergerak. Dalam keadaan istirahat,
perhatikan besarnya lidah, kesimetrisan kiri dan kanan, dan
adanya atrofi. Bila lidah digerakkan atau dijulurkan
perhatikan apakah julurnya mencong. Pada parese satu sisi,
lidah dijulurkan mencong ke sisi yang lumpuh. Jika
kelumpuhan dua sisi, maka lidah tidak dapat digerakkan
atau dijulurkan. Kaji juga adanya tremor pada lidah, hal ini
dapat dijumpai pada pasien sakit berat (lemah), demensia
paralitika, dan intoksikasi. Pengkajian juga dilakukan
untuk menilai tenaga lidah dengan cara pasien
menggerakkan lidahnya ke segala jurusan dan perhatikan
kekuatan geraknya. Pasien menekan lidahnya pada pipinya,
pemeriksa menilai daya tekannya dengan jalan
menekankan jari kita pada pipi sebelah luar. Jika terdapat
parese lidah bagian kiri, lidah tidak dapat ditekankan ke
pipi sebelah kanan.

4. Pemeriksaan Refleks
Refleks timbul karena adanya rangsangan pada kulit atau mukosa yang mengakibatkan
kontraksi otot yang ada di bawahnya atau disekitarnya. Jawaban refleks dapat dibagi atas
beberapa tingkat, yaitu:

0 Tidak ada respon

1+ Kurang, di bawah normal

2+ Rata-rata, normal

3+ Lebih cepat dari normal


4+ Sangat cepat, hiperaktif

Pada gangguan LMN, respon refleksnya berada pada tingkat 0 atau 1+, sedangkan pada
gangguan UMN berada pada tingkat 3+ atau 4+ .

Alat: refleks hammer, jarum tumpul

Pada pemeriksaan ini, penting juga membandingkan bagian-bagian yang simetris (kiri
dan kanan). Asimetri dapat menunjukkan adanya proses patologis. Refleks-refleks yang
perlu diperiksa antara lain:
Refleks Bisep. Pusat refleks ini terletak di C5 – C6. Refleks ini akan menimbulkan
jawaban berupa gerakan fleksi lengan bawah. Caranya: Mengetuk tendon otot biceps di
daerah Fossa Kubiti Hasil + jika : kontraksi otot biceps dan gerakan fleksi lengan bawah
Refleks Trisep. Pusat refleks ini terletak di C6 – C8. Jawaban refleks ini adalah ekstensi
lengan bawah. Caranya: Mengetuk tendon otot Triceps di daerah siku Hasil + jika :
kontraksi otot triceps dan gerakan extensi lengan bawah
Refleks Brakhioradialis (refleks radius). Lengkung refleks melalui nervus radialis,
yang pusatnya terletak di C5 – C6. Sebagai jawaban lengan bawah akan berfleksi dan
bersupinasi. Caranya: Mengetuk tendon otot Brachiioradialis di daerah proksimal
pergelangan tangan Hasil + jika kontraksi otot Brachiioradialis dan gerakan fleksi lengan
bawah
Refleks kuadriseps. Lengkung refleks ini melalui L2, L3, dan L4. Refleks ini
menimbulkan gerakan ekstensi tungkai bawah. Caranya: Mengetuk tendon otot
Quadriceps di daerah lutut Hasil + jika kontraksi otot Quadriceps di daerah Achilles dan
gerakan extensi tungkai bawah
Refleks Achilles. Lengkung refleks ini melalui S1 – S2. Refleks ini menimbulkan
kontraksi m. triseps dan gerakan plantar fleksi pada kaki.
Refleks Babinski. Jika reaksi positif, maka terlihat gerakan dorso fleksi ibu jari, yang
dapat disertai gerak mekarnya jari-jari lainnya. Caranya: Menggores bagian lateral
telapak kaki dari belakang ke depan Hasil + jika terdapat gerakan Horsoekstensi ibu jari
dan abduksi jari-jari lainnya
5. Pemeriksaan Fungsi serebral
Serebelum bertanggung jawab terhadap kontraksi otot dan keseimbangan pada sisi yang
sama. Terdapat beberapa tes yang dapat dilakukan untuk meniilai fungsi serebral, yaitu
sebagai berikut:
- Tes jari ke jari (posisi duduk atau tidur terlentang)
- Tes tunjuk hidung (posisi duduk atau tidur terlentang)
- Tandem walking (test tumit-lutut)
- Tes Romberg

Teknik pemeriksaan sistem koordinasi dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan koordinasi
keseimbangan dan nonkeseimbangan. Pemeriksaan koordinasi keseimbangan bertujuan untuk
menilai koordinasi seluruh tubuh secara utuh. Sedangkan, pemeriksaan koordinasi
nonkeseimbangan bertujuan untuk menilai kemampuan pasien menggerakkan ekstremitas
sesuai instruksi. Tidak ada persiapan khusus yang perlu dilakukan pasien sebelum
pemeriksaan.

Persiapan Pasien

Persiapan yang harus dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan sistem koordinasi antara
lain:

1. Melakukan anamnesis secara detail


2. Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan dengan bahasa yang mudah dimengerti
pasien
3. Memastikan keadaan ruangan pemeriksaan tertutup, sehingga menjamin privasi
pasien, serta memiliki penerangan yang baik.
4. Memberikan instruksi kepada pasien untuk mengatur posisi sesuai pemeriksaan yang
akan dilakukan

Peralatan

Pada pemeriksaan sistem koordinasi tidak dibutuhkan dan diperlukan peralatan apapun.

Posisi Pasien

Untuk melakukan pemeriksaan sistem koordinasi pasien dapat diposisikan berdiri, duduk,
atau berbaring, tergantung tipe pemeriksaan yang akan dilakukan. Namun, apabila pasien
tidak dapat berdiri atau duduk, maka pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara berbaring dan
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.

Prosedur

Pada pemeriksaan sistem koordinasi, pemeriksaan terbagi menjadi dua yaitu koordinasi
nonkeseimbangan dan keseimbangan.

Pemeriksaan Koordinasi Nonkeseimbangan


Pemeriksaan koordinasi nonkeseimbangan bertujuan untuk menilai kemampuan pasien
menggerakkan ekstremitas sesuai instruksi. Untuk dapat menguji fungsi koordinasi,
komponen sistem saraf lain harus baik.

 Uji Telunjuk-Hidung-Telunjuk:

Pemeriksaan dapat dilakukan dalam posisi pasien berdiri, duduk, maupun berbaring.
Kemudian, pasien diminta meluruskan tangan ke depan, lalu telunjuk pasien diminta
menyentuh ujung hidung pasien.

Awalnya, gerakan dilakukan secara perlahan dan lama-kelamaan semakin cepat. Pasien
diminta melakukan gerakan ini dalam posisi mata terbuka dan tertutup. Pemeriksa dapat
memindah-mindahkan posisi tangan yang lurus ke berbagai sudut atau posisi.

Pasien dapat juga diminta untuk menyentuh ujung hidung dengan jari telunjuk, kemudian
menyentuh telunjuk jari pemeriksa, dan kemudian menyentuh ujung hidung kembali. Jari
telunjuk pemeriksa dapat dipindah-pindahkan jarak dan posisinya. Posisi meluruskan tangan
seperti pada uji telunjuk-hidung-telunjuk dapat menyebabkan sedikit tremor.

Selama pemeriksaan ini, perhatikan kehalusan, keakuratan gerakan, serta temukan adanya
osilasi, hentakan, dan tremor. Tremor yang disengaja akan terlihat lebih jelas, kasar, dan
irreguler saat jari telunjuk pasien ingin mencapai target. Selama pelaksanaan, mungkin akan
ada tremor di tengah gerakan, namun akan hilang saat telunjuk mencapai hidung.

Pada dismetria, gerakan pasien dapat terhenti sebelum telunjuk mencapai ujung hidung
pasien. Kemudian, pasien akan melanjutkan gerakan secara perlahan dan tidak stabil, atau
akan menggerakkan telunjuk ke ujung hidung dengan sangat cepat dan sangat kuat.

Pada dissinergia, gerakan yang dibuat tidak halus dan tidak harmonis. Akan banyak hentian
ireguler, percepatan, dan defleksi pada gerakan, atau dapat dikatakan gerakan yang dihasilkan
tidak terintegrasi.

 Uji Tumit-Lutut-Kaki (Heel-Knee-Shin/Toe):

Uji tumit-lutut-kaki serupa dengan uji telunjuk-hidung-telunjuk, namun dilakukan pada


ekstremitas bawah. Pemeriksaan dilakukan dalam posisi pasien berbaring.

Pada uji ini pasien diminta untuk menempatkan tumit salah satu kaki pada lutut kaki
sebelahnya, lalu pasien diminta mendorong ujung tumit kaki sepanjang tibia menuju ibu jari
kaki. Kemudian, bawa kembali tumit ke posisi awal (di atas lutut).

Pasien dengan gangguan fungsi serebelum atau ataksia serebelum, akan mengangkat kaki
terlalu tinggi dan menekuk lutut. Pergerakan tumit sepanjang tibia akan penuh hentakan dan
tidak stabil. Pada ataksia sensorik, pasien mengalami kesulitan mencari lokasi lutut dengan
tumit, kesulitan menjaga tumit tetap di atas tibia, dan tumit dapat terpeleset ke bawah saat
melakukan gerakan di atas tibia.

 Uji Toe-Finger:
Pemeriksaan dilakukan dalam posisi pasien berbaring. Pada pemeriksaan ini pasien diminta
untuk menyentuh telunjuk pemeriksa dengan menggunakan ibu jari kaki dalam posisi lutut
ditekuk. Jika pasien mengalami dismetria, maka pasien akan melewati atau tidak dapat
mencapai telunjuk pemeriksa. Pasien juga dapat megalami tremor dan osilasi.

Pada pasien dengan ataksia, apabila diminta untuk menggambar lingkaran atau angka delapan
dengan kakinya, baik di lantai atau di udara, gerakan yang dihasilkan tidak stabil dan
berbentuk ireguler.

Pemeriksaan Koordinasi Keseimbangan

Pemeriksaan koordinasi keseimbangan merujuk pada kemampuan pasien menjaga


keseimbangan dan koordinasi tubuh secara keseluruhan. Pemeriksaan yang dilakukan terdiri
dari penilaian pasien berdiri dan berjalan. Pemeriksaan dilakukan dalam posisi pasien berdiri.

 Gaya Berdiri (Station)

Pemeriksa harus memperhatikan sikap dan postur saat pasien berdiri. Individu normal akan
berdiri tegak, kepala ke atas, dada dibusungkan, dan perut masuk ke dalam. Kelainan sikap
atau postur pasien saat berdiri dapat mengindikasikan kelainan neurologi.

Uji yang lebih teliti dapat dilakukan dengan cara meminta pasien berdiri dengan mata
tertutup dan terbuka, berdiri dengan satu kaki, jinjit menggunakan jari atau tumit, serta
tandem dengan tumit satu kaki berada di depan jari kaki sebelahnya. Kemudian, pemeriksa
memperhatikan kecenderungan pasien untuk jatuh ke satu sisi, ke depan, atau ke belakang.

Apabila pasien cenderung untuk jatuh saat berdiri, baik dalam mata terbuka atau tertutup,
maka ada kemungkinan kelainan fungsi koordinasi keseimbangan.

 Gaya Berjalan (Gait)

Langkah pertama dalam mengevaluasi gaya berjalan adalah memeriksa jarak antara kedua
kaki pasien. Semakin lebar dasarnya atau semakin jauh jarak antar kedua kaki, keseimbangan
pasien akan semakin baik. Maka, pada pasien dengan gangguan gaya berjalan, jarak antar
kedua kaki akan lebih jauh dibandingkan orang normal karena terjadi kompensasi untuk
menjaga keseimbangan tubuh.

Terdapat berbagai jenis uji gaya berjalan. Namun secara umum, pasien akan diminta untuk
berjalan ke ujung ruangan, kemudian kembali ke tempat semula. Saat pasien melakukan hal
ini, pemeriksa harus mengamati postur, keseimbangan, ayunan tangan, dan gerakan kaki
pasien. Setelah itu, pasien diminta untuk berjalan tandem yaitu dengan tumit salah satu
kaki berada di depan jari kaki sebelahnya. Selain uji jalan tandem, pasien juga dapat diminta
untuk melompat dengan satu kaki dan berjalan dengan menekuk lutut.

Sebelum melakukan uji ini, sebaiknya dilakukan anamnesis, pemeriksaan fungsi motorik, dan
sensorik. Sehingga, bila ditemukan kelainan gaya berjalan pada pasien, pemeriksa dapat
mengetahui kelainan disebabkan oleh gangguan fungsi motorik, sensorik, atau fungsi
serebelum.

Ada berbagai jenis gaya berjalan, yaitu :


 Spastic gait adalah gaya berjalan dimana pasien tidak mengangkat semua bagian
telapak kakinya saat berjalan
 High stepping gait adalah ketika pasien mengangkat kakinya tinggi-tinggi kemudian
menimbulkan suara saat menapakkan kakinya di tanah saat berjalan
 Waddling gait adalah cara berjalan dengan mengayunkan badan dari satu sisi ke sisi
lain agar pasien dapat berpindah tempat
 Parkinsonian gait merupakan gaya berjalan di mana pasien menekuk panggul dan
lutut ke depan, siku tangan menekuk, dan adduksi sendi bahu
 Drunken gait adalah gaya berjalan seperti orang mabuk, di mana jarak antar kedua
kaki lebih lebar dari biasanya dan saat berjalan tubuh pasien terguncang. Drunken
gait merupakan gaya berjalan yang dapat ditemukan pada orang dengan gangguan
fungsi serebelum.

Tingkat kekuatan otot

5 Kekuatan otot normal, dapat melawan grafitasi dan tahanan yang


diberikan
4 Terdapat sedikit kelemahan, dapat melawan grafitasi dan tahanan
dalam jumlah sedang. Kemampuan otot terhadap tahanan yang
ringan
3 Terdapat kelemahan otot ringan, hanya dapat melawan grafitasi
2 Terdapat kelemahan otot berat, tidak dapat melawan grafitasi,
hanya mampu melakukan pergerakan sendi.
1 Kelemahan otot sangat berat, kontraksi otot yang terjadi hanya
berupa perubahan dari tonus otot yang dapat diketahui dengan
palpasi dan tidak dapat menggerakkan sendi.
0 Paralisis komplit. Tidak ditemukan adanya kontraksi pada otot.

6. Pemeriksaan Rangsang Menigeal


Teknik pemeriksaan tanda rangsang meningeal terdiri atas 4 perasat, yaitu pemeriksaan kaku
kuduk (nuchal rigidity), tanda Brudzinski I, Brudzinski II, dan perasat Kernig. Pemeriksaan
ini mudah untuk dilakukan meskipun dalam keadaan gawat darurat.

Persiapan Pasien

a. Sebelum melakukan pemeriksaan, pastikan pasien diperiksa di ruangan yang privat dan
nyaman. Penjelasan lengkap mengenai indikasi, cara pemeriksaan, dan komplikasi harus
dijelaskan kepada pasien. Lepaskan aksesoris yang ada di leher seperti kalung atau syal.
b. Pada pasien dengan kecurigaan infeksi susunan saraf pusat, pasien mungkin dalam
keadaan penurunan kesadaran atau tidak kooperatif. Pastikan Anda telah mendapatkan
persetujuan untuk melakukan pemeriksaan dari keluarga yang berwenang.
Peralatan: Pemeriksaan tanda rangsang meningeal tidak memerlukan alat khusus.

Posisi Pasien: Pemeriksaan tanda rangsang meningeal dilakukan saat pasien dalam posisi
supinasi.

Prosedural

Pemeriksaan tanda rangsang meningeal terdiri dari 4 perasat, yaitu pemeriksaan kaku kuduk
(nuchal rigidity), tanda Brudzinski I, Brudzinski II, dan Kernig.

a. Kaku Kuduk

- Pasien dalam posisi terlentang. Posisikan satu tangan pemeriksa di bawah kepala
pasien dan tangan lain di atas dada. Lakukan fleksi pada leher pasien ke arah dada
secara pasif. Apabila terdapat tahanan sehingga dagu tidak menempel pada dada,
maka kaku kuduk dinyatakan positif.
- Pemeriksaan kaku kuduk dapat memberikan hasil positif pada kasus selain meningitis,
seperti pada tetanus, tumor korda spinalis, peningkatan tekanan intrakranial, bahkan
stroke.

b. Tanda Brudzinski I

- Pasien dalam posisi terlentang. Posisikan satu tangan pemeriksa di bawah kepala
pasien dan tangan lain di atas dada. Kemudian, fleksikan kepala pasien ke arah dada
secara pasif. Apabila kedua tungkai bawah fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut
saat kepala difleksikan, maka tanda Brudzinski I dinyatakan positif.

c. Tanda Brudzinski II

- Pasien dalam posisi terlentang. Tungkai kiri dalam keadaan lurus. Kemudian,
fleksikan tungkai kanan secara pasif pada sendi panggul. Apabila diikuti oleh fleksi
tungkai kiri, tanda Brudzinski II dinyatakan positif.

d. Tanda Kernig

- Pasien dalam posisi terlentang. Fleksikan tungkai bawah pada sendi panggul hingga
90 derajat (tegak lurus). Kemudian, ekstensikan tungkai bawah pada sendi lutut.
Dalam keadaan normal, sendi lutut dapat diekstensikan hingga sebesar 135˚. Apabila
saat ekstensi sendi lutut terdapat hambatan dan menyebabkan nyeri, tanda Kernig
dinyatakan positif.

Anda mungkin juga menyukai