Anda di halaman 1dari 53

Fakultas Kedokteran

Universitas Muhammadiyah Malang

KATA PENGANTAR

Mata kuliah pengantar klinik Ilmu Penyakit Dalam, merupakan inovasi pendidikan
yang diberikan kepada mahasiswa FK-UMM yang bertujuan untuk melatih keterampilan
mahasiswa dalam melakukan beberapa proses klinik (clinical proses) yaitu anamnesa,
pemeriksaan fisik, menegakkan diagnosa serta melakukan tindakan (skill) dibidang Ilmu
Penyakit Dalam.

Proses pembelajaran pengantar klinik Ilmu Penyakit Dalam, menggunakan pendekatan


pembelajaran keterampilan klinik (Skill Laboratorium) berupa demonstrasi keterampilan dan
tutorial yang menggunakan peralatan pemeriksaan keterampilan Ilmu Penyakit Dalam.

Buku pengantar klinik Ilmu Penyakit Dalam, ini memuat panduan kegiatan mahasiswa
atau tindakan sesuai dengan kompetensi yang harus dicapai oleh mahasiswa. Dalam buku ini
juga dilengkapi dengan teori praktis, check list dan status pasien

Terima kasih kami sampaikan kepada : Prof. Dr. dr. Djoni Djunaedi, SpPD-KPTI, Dr.
dr. Meddy Setiawan, SpPD, FINASIM; dr. Isbandiyah, SpPD; dr. Ardhi, SpPD atas ide, konsep
dan tulisannya serta sebagai penanggung jawab pengantar klinik Ilmu Penyakit Dalam. Tak
lupa kami mengucapkan terima kasih kepada : pimpinan FK-UMM, laboran, mahasiswa atas
dukungannya yang telah diberikan selama ini.

Mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa FK-UMM maupun


pembacanya. Kritik dan saran kami harapkan untuk perbaikan buku ini selanjutnya.

Kepala Laboratorium Klinik

dr. Dwi Nurwulan Pravitasari, SpKK


NIDN : 728048305

Kata Pengantar i
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

BAB II
PEMERIKSAAN UMUM

Tujuan Instruksional Umum


Mahasiswa mampu:
1. Menilai keadaan umum dari pasien
2. Melakukan pemeriksaan vital sign dengan benar.

Tujuan Instruksional Khusus


1.1 Mampu menilai kesan keadaan sakit pasien dengan benar
1.2 Mampu menilai/memeriksa kesadaran pasien dengan benar
1.3 Mampu menilai turgor pasien dengan benar
1.4 Mampu menilai status gizi dengan benar
2.1 Mampu melakukan pemeriksaan tekanan darah dengan teknik yang benar
2.2 Mampu mengukur nadi dengan teknik yang benar
2.3 Mampu menilai respirasi dengan teknik yang benar
2.4 Mampu mengukur suhu dengan teknik yang benar

Keadaan Umum
Pemeriksaan fisik harus selalu dimulai dengan penilaian keadaan umum pasien. Dengan penilaian keadaan umum ini
dapat diperoleh kesan apakah pasien dalam keadaan distress akut yang memerlukan pertolongan segera, ataukah pasien dalam
keadaan yang relatif stabil sehingga pertolongan dapat diberikan setelah dilakukan pemeriksaan fisik yang lebih lengkap

Kesan Keadaan Sakit


Hal pertama yang dinilai adalah kesan keadaan sakit, apakah pasien tidak tampak sakit atau tampak sakit dengan
kesan pucat, sesak, cyanosis (kebiruan), atau icterus (kekuningan). Deskripsi objektif untuk menarik kesimpulan kesan
keadaan sakit ini sulit dipaparkan; kesan diambil dengan menilai penampakan pasien secara keseluruhan, perlu ditekankan
bahwa kesan keadaan sakit tidak selalu identik dengan serius atau tidaknya penyakit yang diderita.

Kesadaran Pasien
Untuk mengukur tingkat kesadaran menggunakan GCS (Glascow Coma Scale), yang dinilai tiga kelompok gejala :

TINGKAT KESADARAN SCALA


1. Tanggapan dengan membuka mata (E)
- Spontan 4
- Terhadap panggilan 3
- Terhadap nyeri 2
- Tak ada tanggapan 1
2. Tanggapan verbal (V)
- Beorientasi 5
- Bicara kacau 4
- Kata-kata tak benar 3
- Bunyi tanpa arti 2
- Tak ada tanggapan 1
3. Tanggapan motorik (M)
- Menurut perintah 6
- Menunjukkan tempat 5
- Menarik ekstremitas 4
- Gerakan fleksi abnormal 3
- Gerakan ekstensi 2
- Tak ada gerakan 1

Kesadaran baru dapat dinilai bila pasien tidak tidur. Penilaian kesadaran dinyatakan sebagai:
- Composmentis : pasien sadar sepenuhnya dan memberi respons adekuat terhadap semua stimulus yang diberikan
- Apatis : pasien dalam keadaan sadar, tetapi tampak acuh tak acuh terhadap keadaan sekitarnya; ia akan memberi
respons yang adekuat bila diberikan stimulus
- Somnolen : tingkat kesadaran yang lebih rendah daripada apatis; pasien tampak mengantuk, selalu ingin tidur; ia
tidak responsive terhadap stimulus ringan, tetapi masih memberi respons terhadap stimulus yang agak keras,
kemudian tidur lagi
- Sopor: pada keadaan ini penderita tidak memberi respons ringan maupun sedang, tetapi masih memberi sedikit
respons terhadap terhadap stimulus yang kuat: refleks pupil terhadap cahaya masih positif
- Coma : pasien tidak dapat bereaksi terhadap stimulus apapun; refleks pupil terhadap cahaya tidak ada; ini adalah
tingkat kesadaran yang paling rendah
- Delirium : keadaan kesadaran yang menurun serta kacau, biasa disertai disorientasi, iritatif dan salah persepsi
terhadap rangsangan sensorik sehingga sering terjadi halusinasi

Pemeriksaan Umum 2
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Dalam praktek kadang-kadang sulit menilai kesadaran menjadi salah satu dari tingkat kesadaran tersebut diatas,
sehingga tingkat kesadaran dinyatakan dalam tingkat antara, missal apatik-somnolen, somnolen-sopor, spoor-koma
Cara memberikan rangsangan berupa stimulus yang dapat menelurkan perasaan nyeri dalam dengan menekan :
- prosesus stilomastoideus
- nervus supra-orbitalis
- pangkal kuku jari tangan
- periosteum tulang
- tendon atau lambung otot secara kuat

Turgor
Turgor kulit biasanya diperiksa pada kulit abdomen dengan mencubit kulit secara ringan dan membiarkannya kembali. Bila
turgor kulit buruk, maka bekas cubitan akan lama kembali.

Status Gizi
Status gizi pasien dinilai, apakah termasuk gizi baik, gizi kurang atau lebih. Penilaian terinci dilakukan dengan mengukur
berat badan, tinggi badan dan dihitung BMI (body mass index) dengan rumus sebagai berikut :

Rumus BMI = BB (kg)


TB2(m)2

Status gizi pasien dikelompokkan ;


• Malnutrisi : < 19
• Underweight : 20
• Normal : 20 – 25
• Overweight : 25 – 27
• Obesitas Ringan : 27 – 30
Sedang : 30 – 35
Berat : 35 – 40
Morbid : > 40

Tekanan Darah
Idealnya setiap pasien harus diukur tekanan darah pada ke 4 ekstremitasnya. Pemeriksaan pada satu ekstremitas saja
dapat dibenarkan, bila pada palpasi teraba denyut nadi yang normal pada ke 4 ekstremitas, atau bila terdapat hipertensi pada
pengukuran 1 ekstremitas, maka pengukuran tekanan darah harus dilakukan pada ke 4 ekstremitas. Yang biasa dipergunakan
ialah lengan atas kanan, untuk menghindari kesalahan akibat terdapatnya coartasio aorta proksimal dari arteri subclavia kiri.
Prinsip pemeriksaan :
 15 menit sebelum pemeriksaan pasien dalam kondisi istirahat (rileks), bebas rokok, kopi dan obat-obatan.
 Tanyakan riwayat tensi yang dulu
 Pengukuran minimal 2 kali dengan interval 5 – 10 menit
Cara pemeriksaan pasien duduk dengan lengan bawah diletakkan diatas meja, agar lengan atas berada setinggi jantung,
jika kondisi pasien tidak memungkinkan dapat ditensi dengan berbaring terlentang dengan lengan lurus disamping badan dan
tungkai
Alat yang dipakai sfigmomanometer air raksa. Lebar manset mencakup ½ sampai 2/3 panjang lengan atas atau panjang
tungkai atas. Manset yang terlalu sempit akan memberi hasil terlalu tinggi, sedangkan yang terlalu lebar akan memberi hasil
terlalu rendah. Panjang manset juga harus melingkari setidak-tidaknya 2/3 lingkaran lengan atas atau tungkai atas. Pasanglah
manset melingkari lengan atas atau tungkai atas dengan batas bawah lebih kurang 3 cm dari siku atau lipat lutut. Dengan cepat
manset dipompa sampai denyut nadi a. radialis atau dorsalis pedis tidak teraba lagi, kemudian teruskan pompa sampai 20 –
30 mmHg. Sambil mendengar dengan stetoskop pada a. brakialis di fosa kubiti atau a. poplitea di fosa poplitea, kosongkan
manometer perlahan-lahan dengan kecepatan 2 – 3 mm tiap detik. Pada penurunan air raksa akan terdengar bunyi-bunyi
Korotkoff :
Bunyi Korotkoff I : bunyi pertama yang terdengar, berupa bunyi detak yang perlahan
Bunyi Korotkoff II : seperti bunyi Korotkoff I tetapi disertai bunyi desis
Bunyi Korotkoff III : seperti bunyi Korotkoff II tetapi lebih keras
Bunyi Korotkoff IV : bunyi tiba-tiba melemah
Bunyi Korotkoff V : bunyi menghilang
Tekanan sistolik adalah saat mulai terdengarnya bunyi Korotkoff I, sedangkan tekanan diastolic adalah saat mulai
terdengarnya bunyi Korotkoff IV, hasil pemeriksaan ditulis keduanya, misalnya 100/70 mmHg.
Dalam keadaan normal, tekanan sistolik di lengan 10 –15 mmHg lebih rendah daripada tekanan darah di tungkai,
tekanan diastolic hampir sama baik di lengan maupun di tungkai.

Pemeriksaan Umum 3
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Classification of blood pressure for adults (ages 18 and older)

BP classification SBP DBP


mmHg mmHg
Normal < 120 and < 80
Prehypertension 120 - 139 or 80 – 89
Stage 1 140 - 159 or 90 - 99
Hypertension
Stage 2 ≥ 160 or ≥ 100
Hypertension
Sumber : JNC 7 Express

Nadi
Pemeriksaan nadi harus dilakukan pada keempat ekstremitas, yang dinilai ialah frekuensi, irama, kualitas serta
ekualitas nadi.
Frekuensi nadi ; dihitung dalam keadaan tenang dalam posisi berbaring atau duduk, dengan meraba a radialis, dengan
memakai jari II, III dan IV tangan kanan. Nadi dapat diraba ditempat-tempat lain yang letak arterinya superficial seperti a.
temporalis, a. karotis dan a. dorsalis pedis. Untuk menyingkirkan kemungkinan terdapat pulsus defisit, hendaknya setiap
penghitungan nadi dilakukan pula penghitungan denyut jantung. Semua penghitungan dilakukan satu menit penuh. Frekuensi
nadi normal tergantung pada umur.
Irama nadi ; dalam keadaan normal irama nadi adalah teratur, disritmia (aritmia) adalah jenis ketidakteraturan nadi yang
paling sering dijumpai
Kualitas nadi ; isi perabaan nadi yang normal disebut cukup.
Ekualitas nadi ; dalam keadaan normal isi nadi teraba sama pada keempat ekstremitas.
Frekuensi denyut nadi normal : 55 – 90 denyut/menit

Respirasi
Pernapasan pasien yang diukur frekuensi, tipe dan kedalaman pernapasan
Frekuensi pernapasan ; dapat dihitung dengan cara :
- Inspeksi : dengan melihat gerakan pernapasan dan menghitungnya; cara ini tidak praktis karena pemeriksa harus
melihat gerakan pernapasan dan detik jarum jam sekaligus
- Palpasi : tangan diletakkan pada dinding dada, kemudian dihitung gerakan pernapasan yang terasa pada tangan
tersebut
- Auskultasi : dengan stetoskop didengarkan dan dihitung bunyi pernapasan.
Semua penghitungan harus dilakukan satu menit penuh.
Frekuensi pernapasan normal per menit : 15 – 30 kali/menit
Suhu
Suhu diukur dengan menggunakan termometer badan. Pada umumnya yang diukur ialah suhu aksila. Sebelum
termometer dipakai permukaan air raksa harus diturunkan sampai dibawah 35 0C dengan jalan mengibaskan termometer.
Setelah itu termometer dikepitkan di aksila. Suhu dapat pula diukur di rectum atau lipat paha. Suhu rectum diukur dengan
termometer rectal, yang sebelum dipakai harus diolesi dengan vaselin terlebih dahulu. Pasien dalam posisi tidur miring dengan
lutut sedikit dibengkokkan, kemudian masukkan termometer ke dalam anus dengan arah sejajar dengan kolumna vertebralis,
sampai reservoar air raksa berada dibelakang sfingter, setelah itu lipatan bokong agak saling dirapatkan. Jangan mengukur
suhu rectum dalam posisi telentang terutama pada bayi, karena dapat menyebabkan termometer pecah atau menembus dinding
rectum. Jika terdapat peradangan pada rectum atau sekitarnya, pengukuran suhu sebaiknya dilakukan di tempat lain.
Suhu rectum adalah suhu yang menggambarkan suhu tubuh (core temperature) yang lebih tinggi daripada suhu yang
diukur ditempat lain. Semua pengukuran suhu dilakukan selama 3 menit. Pada umumnya suhu aksila 1 0C lebih rendah
daripada suhu rectum, sedangkan suhu mulut 0,5 0C lebih rendah daripada suhu rectum. Dalam keadaan normal suhu aksila
berkisar di antara 36 0 sampai 37 0C.

Pemeriksaan Umum 4
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Chek List Ketrampilan Vital Sign


Skor
No Kriteria
0 1 2
A. PENGUKURAN TEKANAN DARAH
1. Pemeriksa menempatkan diri di sebelah kanan pasien
2. Memberi penjelasan akan melakukan pemeriksaan
3 Menempatkan penderita dalam keadaan duduk dengan lengan rileks,
sedikit menekuk pada siku dan bebas dari tekanan oleh pakaian
4. Menempatkan tensimeter dengan membuka aliran air raksa, mengecek
saluran pipa dan meletakkan manometer vertikal
5. Memasang manset sedemikian rupa sehingga melingkari lengan atas
secara rapi dan tidak terlalu ketat (3 cm di atas siku) dan sejajar jantung
6. Dapat meraba pulsasi arteria brachialis di fossa cubiti sebelah medial
7. Mengambil stetoskop dan memasang corong beal pada tempat perabaan
pulsasi
8. Dengan satu jari meraba pulsasi a. radialis sambil memompa manset
dengan cepat sampai 30 mmHg di atas tekanan sistolik palpatoir
9. Mendengarkan melalui stetoskop, sambil menurunkan perlahan- lahan/3
mmHg per detik dan melaporkan saat mana mendengar bising pertama
sebagai tekanan sistolik
10. Melanjutkan penurunan tekanan manset sampai suara bising yang terakhir
sehingga setelah itu tidak terdengar bising lagi sebagai tekanan diastolik
Dapat melaporkan tekanan sistolik dan diastolik
11. Melepaskan manset dan mengembalikannya
12. PEMERIKSAAN NADI
Meletakkan lengan yang akan diperiksa dalam keadaan rileks
13. Menggunakan jari II, III, dan IV untuk meraba a. radialis
14. Menghitung frekuensi denyut nadi dalam 1 menit
15. Melaporkan hasil frekuensi nadi dalam satu menit
16 PEMERIKSAAN SUHU BADAN
B. Kibaskan termometer sampai permukaan air raksa menunjukkan di bawah
17. 35 oC.
Tempatkan ujung termometer yang berisi air raksa pada apex fossa
18. axillaris kiri dengan sendi bahu adduksi maksimal.
Tunggu sampai 3 – 5 menit, kemudian dilakukan pembacaan
19. Melaporkan hasil pemeriksaan nadi per menit.
20. PEMERIKSAAN FREKUENSI NAFAS
C Melakukan inspeksi atau melakukan palpasi dengan kedua tangan pada
21. punggung/ dada untuk menghitung gerakan pernafasan selama 1menit
Melaporkan hasil frekuensi nafas per menit.
22.

Keterangan :
0 : Tidak dilakukan
1 : dilakukan, tetapi kurang benar
2 : dilakukan dengan benar

Pemeriksaan Umum 5
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

BAB III
PEMERIKSAAN KEPALA

Tujuan Instruksional Umum


Mahasiswa mampu :
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan: Inspeksi, Palpasi, Perkusi dan Auskultasi kepala secara benar.

Tujuan Instruksional Khusus


Mahasiswa mampu :
1. Inspeksi kepala
Mampu menilai posisi dan gerakan kepala
Mampu menilai bentuk dan ukuran kepala
Mampu mendeteksi tumor di daerah kepala
Mampu mendeteksi perubahan warna pada kulit wajah
Mampu mendeteksi tanda-tanda patologis pada wajah
Mampu mendeteksi tanda-tanda patologis pada rambut
Mampu mendeteksi tanda-tanda patologis pada bibir
Mampu mendeteksi tanda-tanda patologis pada gigi dan gusi
Mampu mendeteksi tanda-tanda patologis pada lidah
Mampu mendeteksi tanda-tanda patologis pada mukosa mulut

2. Palpasi kepala
Mampu menilai konsistensi kepala
Mampu menilai suhu kulit pada kepala dan wajah
Mampu mendeteksi nyeri tekan pada kepala dan wajah
Mampu menilai ukuran dan permukaan tumor pada kepala dan wajah
Mampu mendeteksi tanda-tanda patologis pada gigi dan gusi

3. Perkusi kepala
3.1. Mampu melakukan pemeriksaan Chvostek’s sign

4. Auskultasi kepala
Mampu mendeteksi bunyi bruit di kranium

PEMERIKSAAN KEPALA
Pemeriksaan pada kepala dikerjakan dengan meminta pasien duduk di hadapan pemeriksa. Inspeksi dan palpasi
merupakan pemeriksaan yang biasa dikerjakan pada kepala dan leher. Sedangkan perkusi jarang dikerjakan.
Auskultasi kepala dikerjakan untuk memeriksa adanya lesi vaskuler.

Inspeksi
Pada saat melakukan inspeksi kepala, yang perlu diperhatikan adalah:
- Posisi kepala
- Gerakan kepala (tremor pada parkinson, de musset’s sign pada aorta insufisiensi)
- Bentuk dan ukuran kepala (hidrosefalus)
- Tumor di daerah frontal berupa osteoma, kista sebasea, kista dermoid
- Sinusistis frontalis

Palpasi
Ketika melakukan palpasi pada kepala, dikerjakan penilaian terhadap konsistensi dan suhu kulit kepala. Selain itu
juga dinilai mengenai adanya nyeri “tekan” pada saat dikerjakan palpasi. Ukuran dan permukaan tumor juga dinilai
dengan pemeriksaan palpasi.

Perkusi dan Auskultasi


Perkusi kepala jarang dikerjakan. Auskultasi dikerjakan untuk mengetahui adanya bruit di daerah kranium pada
kelainan berupa angioma dan aneurisma. Selain itu auskultasi juga dikerjakan untuk mengetahui adanya carotid
cavernosus fistula akibat fraktur kranium.

PEMERIKSAAN WAJAH
Inspeksi
Inspeksi wajah dikerjakan untuk menilai adanya:
- Warna pucat, sianosis dan ikterus
- Akromegali
- Fasies leontina pada lepra
- Wajah parkinson (poker face)

Pemeriksaan Abdomen 6
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

- Skleroderma
- Risus sardonikus pada tetatus
- Bell’s palsy akibat paralisis nervus fasialis perifer
- Pembesaran kelenjar parotis pada mumps, batu kelenjar parotis, tumor

Palpasi
Palpasi pada wajah dikerjakan untuk menilai konsistensi dan suhu kulit. Selain itu palpasi wajah juga dikerjakan
untuk menilai adanya nyeri sentuh, nyeri tekan dan untuk menilai ukuran dan permukaan tumor (tumor parotis).

Perkusi
Untuk mengetahui adanya Chvostek’s sign akibat hipokalsemia dilakukan perkusi dengan cara mengetuk daerah di
depan meatus akustikus eksterna.

PEMERIKSAAN RAMBUT
- Rambut mudah rontok ditemukan pada penyakit sifilis, diabetes melitus, demam tifoid, miksedema, insufisiensi
pituitari.
- Alopesia areata merupakan keadaan di mana rambut tiba-tiba rontok dalam jumlah banyak pada beberapa lokasi

PEMERIKSAAN BIBIR
- Bibir nampak edem akibat angioneurotik, penyakit ginjal (nefritis)
- Bibir nampak kering dijumpai pada diabetes melitus, demam tinggi dan dehidrasi
- Herpes labialis atau “cold sore” atau “fever blisters” ditandai oleh adanya vesikel di sekitar bibir, lubang hidung
dan terasa nyeri
- “rhagades” atau keadaan di mana sudut bibir nampak pecah-pecah akibat defisiensi riboflavin

PEMERIKSAAN GIGI DAN GUSI


Pada saat melakukan pemeriksaan gigi dan gusi, yang perlu diperhatikan adalah adanya:
- Hutchinson’s teeth yang ditandai oleh bentuk gigi yang khas, dijumpai pada penyakit sifilis kongenital. Biasanya
keadaan ini muncul dalam bentuk trias berupa kombinasi: Hutchinson’s teeth, keratitis dan tuli
- Garis hitam pada gigi akibat intoksikasi Pb (plumbum) dan Bi (bismuth)
- Pada keracunan air rasa (Hg), gusi menjadi spongius dan gigi mudah lepas
- Gusi melunak, nyeri dan spongius disertai gigi yang mudah lepas dijumpai pada keadaan defisiensi vitamin C
(scurvy)
- Hiperplasia gusi ditemukan pada penyakit leukemia monositik akut atau pada pemakaian dilantin dalam jumlah
berlebihan
- “epulis” atau giant-cell fibroma akibat radang dan biasanya jinak

PEMERIKSAAN LIDAH
Pada masa yang lalu, pemeriksaan lidah dipakai untuk menetapkan diagnosis berbagai penyakit.
- Typhoid tongue (lidah nampak ditutupi oleh lapisan berwarna kecoklatan atau brownish sores) dijumpai pada
penderita demam tifoid
- Anemia pernisiosa, sprue ditandai dengan lidah yang pucat, licin, halus dan atrofi
- Pada perokok berat dapat terjadi glositis ringan yang ditandai dengan lidah yang berwarna coklat abu-abu disertai
bau nafas perokok
- Makroglosia dijumpai pada miksedema dan kretinisme
- Adanya ulkus aftosa berbentuk kecil, nyeri dengan dasar yang meradang dihubungkan dengan kehadiran virus.
Ulkus semacam itu juga ditemukan pada pipi
- Sikatriks pada lidah sering terlihat pada penderita epilepsi

PEMERIKSAAN MULUT
Bau nafas (fetor)
Pemeriksaan bau nafas penting untuk mendeteksi beberapa jenis penyakit seperti:
- Intoksikasi alkohol
- Uremia
- Bau aseton pada diabetes melitus
- Fetor hepatikum dijumpai pada penderita gagal hati
- Bau-bau mulut yang lain sering dideskripsikan secara berbeda-beda seperti bau mulut pada penderita sepsis,
tifoid, difteria, demam rematik, abses paru
- Bau busuk biasanya disebabkan oleh keganasan dalam rongga mulut

Mukosa mulut
- Pada anemia, mukosa mulut nampak pucat
- Koplik’s spot merupakan tanda patognomonis untuk measles dengan lokasi pada pipi dekat dengan molar
- Kemerahan yang merata pada faring menunjukkan adanya faringitis, permulaan difteria atau infeksi yang lain
- Palatum yang nampak tinggi dan melengkung didapatkan pada sindroma Marfan dan sindroma Turner
- Tonsilitis folikuler akut atau difteria seringkali menyebabkan kelainan pada tonsil

Pemeriksaan Abdomen 7
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

- Tonsilitis akibat streptokokus nampak menyerupai difteria. Untuk membedakannya diperlukan pemeriksaan
kultur
- Abses peritonsiler merupakan komplikasi tonsilitis akuta sehingga menimbulkan gejala trismus yang menyerupai
tetanus
- Muller’s sign pada insufisiensi aorta ditandai dengan adanya pulsasi uvula sesuai dengan denyut jantung

BAB IV
PEMERIKSAAN LEHER

Tujuan Instruksional Umum


Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan: Inspeksi, Palpasi dan Auskultasi leher secara benar.

Tujuan Instruksional Khusus


Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan:
1. Inspeksi leher
Mampu menilai bentuk, posisi dan gerakan leher
Mampu mendeteksi tanda-tanda patologis pada leher

2. Palpasi leher
Mampu mendeteksi tanda-tanda patologis dari os hyoid, kartilago tiroid, kartilago krikoid, prosesus mastoideus
Mampu mendeteksi tanda-tanda patologis dari kelenjar tiroid
Mampu mendeteksi tanda-tanda patologis dari otot sternokleidomastoideus
Mampu mendeteksi tanda-tanda patologis dari arteri karotis dan vena jugularis

3. Auskultasi leher
Mampu mendeteksi bunyi bruit pada daerah kelenjar tiroid
Mampu mendeteksi bunyi bruit sistolik pada arteri karotis
Mampu mendeteksi penjalaran bunyi aorta pada arteri karotis

Pemeriksaan leher harus dikerjakan secara hati-hati dan tidak tergesa-gesa. Pemeriksaan leher ini dikerjakan
untuk mendeteksi adanya tanda-tanda patologis dari jaringan yang “menyusun” leher seperti tulang, tulang rawan,
otot, kelenjar di samping untuk mendeteksi tanda-tanda (bunyi, suara) patologis dari arteri atau vena, yang menjalar
ke daerah leher.

Inspeksi
- Ketika melakukan inspeksi perhatikan adanya bentuk asimetris, pulsasi tidak lazim, tumor dan gerakan terbatas
pada leher
- Pembersaran kelenjar tiroid, kelenjar limfe dan kelainan struktur vaskuler
- Bendungan atau pelebaran vena jugularis dan vena-vena lain di daerah leher

Palpasi
- Raba tulang hioid, kartilago tiroid, kelenjar tiroid, otot sternokleidomastoideus, kartilago krikoid dan arteri
karotis
- Meraba kelenjar dengan ujung jari serta melakukan penekanan secara lembut
- Tiroid dalam keadaan normal teraba sebagai massa yang lembek, rata dan ikut dalam gerakan menelan. Dalam
palpasi kemungkinan teraba tiroid yang noduler atau difus. Hasil akurat palpasi ini dapat dicapai apabila posisi
pemeriksa berada di belakang penderita
- Pada aorta insufisiensi dapat teraba pulsasi kuat dari arteri karotis
- Vena jugularis memegang peran penting untuk menilai tekanan dari vena sentralis. Pada penderita gagal jantung
kanan, vena jugularis terisi penuh. Untuk mengukurnya, leher diangkat tanpa bantuan penderita. Artinya,
penderita dinaikkan posisi lehernya sampai bendungan terletak di pertengahan otot sternokleidomastoideus.
Selanjutnya ditarik garis horisontal di atas angulus Ludovici. Tekanan vena sentralis adalah R + jarak garis
dengan angulus Ludovici. Dalam keadaan normal tekanan vena sentralis adalah R + 2cm. R adalah 5cm H2O.
- Sindroma vena cava superior akibat tumor di mediastinum juga ditandai bendungan V. Jugularis, tetapi juga
diikuti vene-vena di sekitar dada dan kepala.
- Perabaan kelenjar leher perlu dikerjakan dengan bertolak dari otot sternokleidomastoideus. Kelenjar yang teraba
di depan otot sternokleidomastoideus berasal dari tonsil atau farings akibat keradangan, metastase yang berasal
dari tumor nasofarings atau tonsil dll. Pembesaran kelenjar yang teraba di belakang otot sternokleidomastoideus
biasanya saling melekat dan berfluktuasi serta seringkali sudah ada yang “pecah” dan membentuk sikatrik
- “stiff neck” merupakan kekakuan leher yang nampak dalam bentuk keterbatasan gerakan leher akibat trauma otot,
miositis, meningitis ataupun tetanus

Pemeriksaan Abdomen 8
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Check List Pemeriksaan Leher

Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
Inspeksi
1. Melihat simetris/tidak
2. Melihat ada/tidaknya pulsasi abnormal
Palpasi
3. Identifikasi kelenjar limfe leher
4.. Identifikasi kelenjar gondok

Keterangan :
0 : Tidak dilakukan
1 : dilakukan, tetapi kurang benar
2 : dilakukan dengan benar

BAB V
PEMERIKSAAN DADA DAN PARU

Tujuan Instruksional Umum


Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi dada dan paru.

Tujuan Instruksional Khusus


Mahasiswa mampu :
1. Melakukan pemeriksaan inspeksi.
Melakukan inspeksi dari depan dan belakang.
2. Melakukan pemeriksaan palpasi.
Mampu merasakan perbandingan gerakan nafas kanan-kiri penderita.
Mampu membandingkan fremitus suara kanan dan kiri.
Mampu meraba ictus cordis dengan ke-4 jari tangan kanan.
3. Melakukan pemeriksaan perkusi
Mampu melakukan perkusi secara sistematis.
Mampu melakukan perkusi dalam didaerah supraklavikula.
Mampu melakukan perkusi untuk mencari batas paru dan hati.
Mampu melakukan perkusi thorax belakang:
Mampu melakukan perkusi dari atas ke bawah.
Mampu menentukan batas pengembangan paru.
4. Melakukan Auskultasi.
Mampu meminta penderita untuk menarik nafas pelan-pelan.
Melakukan pemeriksaan auskultasi secara sistematis.
Mampu mendengarkan inspirasi dan ekspirasi.
Mampu melakukan auskultasi pada sisi samping dada kanan dan kiri.
Mampu melakukan auskultasi pada dinding punggung.

Pendahuluan

Pemeriksaan fisik toraks sebenarnya terdiri dari 3 bagian, yaitu pemeriksaan fisik paru, pemeriksaan fisik mammae,
dan pemeriksaan fisik aksila, tetapi pada bab ini akan difokuskan pasa pemeriksaan paru dan mammae saja.
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik toraks, sebaiknya kita mengenal terlebih dahulu beberapa lokasi anatomis
yang dapat menolong kita dalam melakukan pemeriksaan fisik.

1. Menentukan letak sela iga (intercostal space = ICS)


1. Dinding dada depan
Pertama-tama temukan incisura jugularis sterni. Kemudian gerakkan jari 5cm atau lebih ke arah kaudal
sampai menemukan angulus sterni ludovici yang menghubungkan manubrium sterni dan korpus sterni.
Lalu gerakkan jari ke lateral untuk menemukan sela iga II. Dari sela iga II, gunakan 2 jari untuk menyusuri
sela iga berikutnya.

Pemeriksaan Abdomen 9
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

2. Dinding dada belakang


a. Dari daerah lumbal : dengan jari-jari pada satu tangan, tekan dan susuri ke kranial sampai teraba sisi
inferior iga XII. Dari sini, susuri dengan jari unntuk menentukan sela iga XI dan seterusnya.
b. Angulus inferior scapulae terletak sejajar dengan iga VII atau sela iga VII.

2. Menentukan Tinggi Vertebra :


Penderita memfleksikan kepala ke depan. Ujung prosesus spinosus yang paling menonjol adalah vertebra
C7. kadang-kadang terdapat dua buah prosesus spinosa yang kelihatannya sama-sama menonjol, yaitu C7 dan T1.
Vertebra berikutnya dapat ditentukan dengan meraba prosesus spinosusnya.

3. Menentukan garis-garis imajiner di dinding dada :


a. Garis midsternalis : garis vertikal yang terbentang ke bawah di sepanjang pertengahan sternum
b. Garis Sternal : garis vertikal sejajar midsternal pada tepi sternum
c. Garis parasternal : garis vertikal 1cm lateral dari garis sternal
d. Garis midklavikula : garis vertikal yang sejajar dengan garis midsternal dan terbentang ke bawah dari
pertengahan masing-masing tulang klavikula
e. Garis aksilaris anterior : garis vertikal yang melalui lipatan aksila anterior
f. Garis aksilaris posterior : garis vertikal yang melalui lipatan aksila posterior
g. Garis midaksilaris : garis vertikal yang dimulai dari puncak aksila atau garis vertikal yang terletak di
pertengahan antara garis aksilaris anterior dan aksilaris posterior
h. Garis midspinal : garis vertikal sepanjang prosesus spinosus vertebra
i. Garis midskapula : garis vertikal yang melalui angulus inferior skapula

Gambar Garis orientasi dinding dada


4. Beberapa daerah khusus di dinding dada
a. Daerah supraklavikula ; daerah yang terletak di atas klavikula pada dada depan
b. Daerah infraklavikula : daerah yang terletak di bawah klavikula pada dada depan
c. Daerah infraskapula : daerah yang terletak di bawah kedua skapula pada dada belakang
d. Daerah interskapula : daerah yang terletak di antaaa kedua skapula pada dada belakang
5. Proyeksi paru pada dinding toraks :
a. Apeks paru : terletak 2-4cm di atas 1/3 medial tulang klavvikula
b. Sisi inferior paru :
Anterior kanan : Pada garis midklavikula setinggi VI, dan garis midaksilaris setinggi iga VIII
Posterior : setinggi T10’ pada inspirasi dalam akan bergeser ke bawah setinggi T 12’

PEMERIKSAAN FISIK PARU

Inspeksi
Pemeriksaan ini berguna untuk mendapatkan gambaran tentang dinding dada, bentuk dan besar dada, simetri
dada pada keadaan statis dan dinamis, gerakan dada pada pernapasan, terdapatnya deformitas, penonjolan,
pembengkakan, penarikan, pemipihan, keadaan ICS serta kelainan-kelainan lokal lainnya. Diperhatikan pula adanya
jaringan parut dan sifat serta pola pembuluh darah subkutan. Hal ini kadang-kadang dapat memberi petunjuk adanya
sirkulasi kolateral pada penyumbatan vena kava superior.

Pemeriksaan Abdomen 10
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

a. Bentuk Dada
Beberapa macam bentuk dada:
1. Pektus ekskavatum ('funnel chest'=dada cerobong) sternum bagian bawah serta rawan iganya masuk ke dalam,
terutama pada inspirasi. Keadaan ini dapat merupakan kelainan kongenital, atau dapat pula disebabkan oleh
hipertrofi adenoid yang berat. Pektus ekskavatum juga dapat terlihat pada sindrom Marfan atau Noonan.

2. Pektus karinatum ('pigeon chest', dada burung): sternum menonjol ke luar, biasanya disertai depresi vertikal
daerah kostokondral; kelainan ini dapat terlibat pada rakitis, osteoporosis, sindrom Marfan, sindrom Noonan, dan
penyakit Morquio.

3. 'Barrel chest', toraks emfisematikus: dada berbentuk bulat seperti tong, ditandai oleh sternum yang terdorong ke
depan dengan iga-iga yang lebih horizontal; biasanya terdapat pada penyakit paru obstruktif kronik misalnya
asma, fibrosis kistika. dan emfisema.

Selanjutnya diperhatikan apakah terdapat tasbih ('rosary'), ialah penonjolan atau pembengkakan pada
persambungan tulang rawan dengan tulang iga. Juga diperhatikan posisi skapula; skapula alata terdapat pada
kelemahan otot-otot sekitar skapula, atau pada anomali kongenital misalnya tidak terbentuknya klavikula.
Hampir selalu dapat ditemukan depresi daerah iga VIII-X, sedangkan iga-iga di bawahnya seakan
mengambang; depresi horizontal ini disebabkan oleh melekatnya diafragma pada iga, dan terkenal sebagai celah
Harrison (Harrison ' s groove).
Diperhatikan terdapatnya asimetri dada, yang paling sering disebabkan oleh skoliosis. Penonjolan dada
sebelah kiri ('precordial bulging') dapat merupakan kelainan lokal iga-iga, atau disebabkan oleh defek septum atrium
dan kelainan jantung lain yang menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan. Pneumotoraks dan pneumomediastinum juga
dapat menyebabkan asimetri dada.

b. Pola Pernapasan
Penilaian pola pernafasan meliputi : frekuensi (rate0, irama (rhythm), kedalaman (depth), dan usaha bernafas (effort
of breathing). Frekuensi nafas adalah jumlah nafas inspirasi dan ekspirasi selama 1menit. Frekuensi nafas normal
pada orang dewasa adalah 8-16 kali/menit, sedangkan pada bayi dapat mencapai 44 kali/menit. Pada irama
pernafasan, kita menilaai apakah pernafasan penderita teratur (reguler) atau tidak teratur (irregular). Kedalaman
pernafasan adalah penilaian apakah penderita bernafas secara normal, dangkal, atau dalam. Usaha bernafas dinilaai
dari ada tidaknya otot-otot pernafasan tambahan yang digunakan pada waktu bernafas seperti otot
sternokleidomastoideus, otot skalllenus, dan otot trapesius, juga dilihat adakah retraksi pernafasan di daerah
supraklavikula

Pemeriksaan Abdomen 11
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Gambar: Retraksi pernapasan


Kelainan dalam pola pernafasan :
a. Pernafasan cepat dan dangkal (tachypneu)

Pernafasan cepat dan dangkal umumnya disebabkan oleh kelainan yang bersifat retriktif, misalnya penyakit
paru restriksi, nyeri dada pleuritik, dan diafragma letak tinggi (elevated diaphragm)

b. Pernafasan cepat dan dalam (hyperpnea), hyperventilation)

Pernafasan cepat dan dalam dapat dijumpai pada beberapa keadaan, misalnya : sehabis olahraga, cemas dan
asidosis metabolik. Pada pasien koma, infark, hipoksia, atau hipoglikemi yang mengenai midbrain
(mesencephalon) atau pons, pola pernafasan semacam ini dapat juga ditemukan. Pernafasan Kussmaul adalah
pernafasan cepat dan dalam yang berhubungan dengan asidosis metabolik misalnya pada koma hiperglikemi.

c. Pernafasan lambat (Bradypnea)

Dapat dijumpai pada koma diabetikum, deperesi pernafasan karena obat-obatan dan tekanan tinggi intra cranial

d. Pernafasan Cheynne Stokes

Pola pernafasan penderita meningkat dan berkurang secara bergantian sehingga terjadi periode pernafasan
dalaam dan dangkal secara bergantiaan yang diikuti dengan periode apnea. Pola pernafasan ini secara normal
didapatkan pada anak-anak dan orang tua pada saat tidur. Pada penderita gagal jantung, uremia, depresi,
pernafasan karena obat-obatan, dan kerusakan otak (khas pada kerusakan otak yang mengenai kedua hemiphare
otak atau diencephalon), pola pernafasan ini dapaat dijumpaai sebagai salah satu gejalanya.

e. Pernafasan Ataksik (pernafasan Biot)

Ciri-ciri pernafaasn ataksik adalaah ketidakteraturan yang tidak terduga. Pernafasan dapat dangkal ataupun
dalam dan berhenti dalam periode-periode yang singkat dalam pola yang tidak teratur. Penyebabnya antara lain
depresi pernafasan dan kerusakan otak (khususnya jika setinggi Medulla Oblongata)

f. Pernafasan Sigh (Sighing Respiration)

Normal dijumpai pada orang-orang yang berkeluh kesah dan frekuensinya 1-4 kali/menit. Jika frekuensinya
makin sering, maka harus diwaspadai sebagai gejala awal hiperpnea, yang merupakan penyebab umum dispnea
dan pusing (dizziness)

g. Pernafasan Obstruksi (obstruktive Breathing)

Pemeriksaan Abdomen 12
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Pada penderita penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) ekspirasi mmmemanjang karena peningkatan
resistensi atau tahanan jalan nafas. Jika frekuensi nafas meningkat, maka pasien tidak mempunyai cukup waktu
unnntuk ekspirasi penuh, sehingga udara ekspirasi tidak dapat kkeluar seluruhnya, sebagian akan terperangkap
di dalam paru (air trapping). Akumulasi udara yang terus menerus ini mengakibatkan pola pernafasaan
akhirnya mmenjadi lebih dangkal. Dalam keadaan normal, penderita dapat berbaring dalam posisi tidur
terlentang tanpa kesulitan bernafas dan tidak menggunakan otot-otot pernafasan tambahan. Jika pernafasan
terlihat berat (labored) dan terdengar wheezing, perhatikan apakah terjadi pada fase inspirasi atau ekspirasi.
Stridor merupakan suara pernafasan tambahan yang nyaring dan keras dan terutama terdengar pada saat
inspirasi. Hal ini menunjukkan obstruksi parsial di laring atau trakhea. Dengarkan juga nafas pasien. Pada
orang normal, suara nafas saat inspirasi tidak terdengar lagi pada jarak lebih dari beberapa cm dari mulut. Pada
asma dan bronkitis kronis, intensitas suara nafas pada saat inspirasi meningkat dan dapat terdengar dari jarak
yang cukup jauh. Pada saat inspirasi perhatikan apakah terdapat retraksi. Di anterior, retraksi dapat dilihat
sebagai cekungan di fosa supraklavikula dan intercostal. Di posterior, retrakksi dapat dilihat sebagai cekungan
di sela iga bagian bawah. Retrakksi dapat ditemukaan pada asmaa berat, PPOK, dan obtruksi trakeal/laringeal.

c. Pergerakan dinding dada


• Simetris/asimetris
Ada 2 cara untuk mmemeriksa simetris tidaknya pergerakaaan dinding dada, antara lain :
a. Penderita dalam posisi berbaring dan bernafas seperti biasa. Pemeriksa berdiri di sebelah kaki penderita dan
melihat pergerakan arcus costarum unntuk menilai simetris atau tidaknya pergerakan dinding dada.
b. Pada penderita yang gemuk, berperut besar, atau pada penderita yang karena sesaknya tidak dapat berbaring,
perhatikan gerakan tulang klavikulanya.
Perlu diperhatikan pengembangan dada dan gerakan celah iga pada pernapasan; demikian pula
kecepatan, kedalaman, simetri, serta pola gerakan pernapasan. Pada inspirasi normal, diafragma akan
bergerak ke arah bawah, sedangkan dinding dada akan bergerak ke atas dan ke luar. Ekspirasi terjadi bila
otot-otot pernapasan mengalami relaksasi, dan elastisitas jaringan paru akan mengembalikan dada dalam
keadaan istirahat.
Gerakan dinding dada yang tertinggal pada satu sisi menunjukkan suatu efusi pleura (yang dapat
disertai penonjolan sela iga), penebalan pleura unilateral, atelektesis, benda asing atau tumor dalam saluran
nafas, dan kelainan otot atau saraf dinding dada. Pada penderita yang mengalami peradangan pleura akut
akibat pneumonia, pleuritis, atau infark paru dapat menahan gerakan dinding toraks pada satu sisi untuk
mengurangi rasa nyeri. Retraksi suprasternal biasanya menunjukkan terdapatnya obstruksi tinggi seperti
sumbatan laring, sedangkan retraksi infrasternal ( subkostal) lebih mengarah pada obstruksi rendah, misalnya
bronkiolitis.
• Posisi paksa terbatas
Apabila karena suaaatu kelainaan penderita merasa tidak nyaman dengan posisi normal, makaa ia akan
menyesuaikan diri dalaam posisi paksa/terbatas. Hal tersebut dilakukan penderita agar merasa lebih nyaman
dan mengurangi rasa nyeri. Misalnya : penderita pleuritis akut akan terbaring pada sisi yang sakit untuk
mengurangi perasaan nyeri yang timbul pada gerakan nafas.

Palpasi

Palpasi pada pemeriksaan paru-paru sangat bermanfaat untuk menegaskan penemuan-penemuan pada
inspeksi. Setiap perubahan yang terjadi pada kedua sisi dada yang tampak pada inspeksi akan lebih jelas dengan
pemeriksaan palpasi. Palpasi dilakukan dengan meletakkan telapak tangan serta jari-jari pada seluruh dinding dada
dan punggung. Dengan palpasi dapat dinilai hal-hal sebagai berikut :
a. Trakhea
Posisi trakhea dapat ditentukan dengan menempatkan ujung jari II dan jari III yaang membentuk huruf V, atau
ujung jari II tangan kiri dan kanan di incisura suprasternalis dan kemudian menentukan kedudukan gelang-gelang
trakhea dalaam hubungannya dengan sternum. Pergeseran trakhea ke satu sisi merupakan petunjuk yang peka
pergeseran posisi struktur mediaastinum. Efusi pleura, pneumotoraks, empiema, dan tumor akan mendorong
struktur mediastinum/trakhea ke sisi yang berlawanan. Sebaliknya, pada atelektesis yang disebabkan oleh
sumbatan mukus, tumor, atau benda asing yang menyumbat bronkus, maka struktur mediastinum/trakhea akan
tertarik ke sisi yang sakit.

Gambar: Palpasi trakea

Pemeriksaan Abdomen 13
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

b. Pergerakan (ekspansi) dinding dada : simetris/asimetris


1. Anterior
Letakkan kedua ibu jari pemeriksa di pprosesus sifoideus penderita dan jari-jari lain di arcus costa.
Kemudian gerakkan kedua ibu jari sedikit ke arah medial agar terdapat lipatan kulit di antara ibu jari.
Mintalah penderita unntuk melakukan inspirasi maksimal. Perhatikan pergerakan kedua ibu jari yang
menjauhi garis tengah saat dinding dada mengembang dan lihat apakah pergerakannya simetris atau tidak.
2. Posterior
Letakkan kedua ibu jari pemeriksa digaris midspinal setinggi T10 (karena setinggi T10, paru-paru paling
mengembang) dan jari-jari lain di arcus costae. Kemudian gerakkan kedua ibu jari sedikit ke arah medial
agar terdapat lipatan kulit diantara kedua ibu jari. Mintalah penderita untuk melakukan inspirasi maksimal.
Perhatikan pergerakan kedua ibu jari yang menjauhi garis tengah saat dinding dada mengembang dan lihat
apakah pergerakannya simetris atau tidak.

c. Identifikasi daerah nyeri/lesi


Rabalah masing-masing iga dan semua bagiaan dinding dada dengan tekanan kuat. Pada saat yang sama,
tanyakan apakah terdapat perasaan nyeri dan perhatikan bukti adanya perasaan tidak nyaman. Perasaan nyeri
pada palpasi dalam di sela iga (ditandai dengan terdengarnya bunyi seperti gesekan rambut pada palpasi daerah
lesi)

d. Tanda-tanda abnormalitas
Pada palpasi, periksa juga apakah terdapat tumor (melekat di dinding dada aatau tidak, ukuran, konsistensi),
peradangan, abses (ditandai dengan fluktuasi), dan fraktur igaa (ditandai dengan terdengarnya bunyi seperti
gesekan rambut pada palpasi daerah lesi)

e. Fremitus taktil
Fremitus terjadi jika getaran suara yang berasal dari laring menjalar ke bronkus dan mengakibatkan paru dan
dinding dada ikut bergetar. Cara memeriksanya adalah dengan meletakkan kedua sisi ulnar tangan pemeriksa
secara simetris di sela iga dada penderita, kemudian mintalah penderita untuk mengucapkan kata-kata “satu-dua-
tiga” atau “tujuh puluh tujuh” dengan suara dalam dan kuat. Pindahkan tangan pemeriksaa dari atas kebagian
bawah dinding dada penderita, dan bandingkan getaran yang dihasilkan oleh suara tersebut. Secara normal
fremitus menurun atau menghilang di daerah precordial. Fremitus meningkat jika terjadi konsolidasi paru,
misalnya pada pneumonia, dimana fremitus pada sisi paru yang terkena lebih mudah dirasakan daripada sisi
lainnya. Fremitus yang menurun atau menghilang paling sering didapatkan pada efusi pleura dan penebalan
pleura. Sebab lainnya adalah PPOK, pneumotoraks, massa tumor, dan juga pada dinding dada yang sangat tebal.
Lokasi dimana taktil fremitus meningkat/menurun/menghilang harus digambarkan secara lengkap, misalnya :
fremitus mulai menurun setinggi sela iga VII posterior sebelah kiri bawah.

e. Krepitasi subkutis
Menunjukkan terdapatnya udara dibawah jaringan kulit. Kelainan ini dapat terjadi spontan, pasca trauma, atau
pasca tindakan (terutama trakeostomi). Perhatikan luasnya daerah krepitasi, dan pada pemeriksaan selanjutnya
perlu diteliti apakah daerah krepitasi menetap, meluas, atau berkurang.

Perkusi
a. Teknik Perkusi
Perkusi paru dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu :
a. perkusi langsung
Perkusi langsung dilakukan dengan mengetukkan ujung jari tengah (jari III) atau jari telunjuk (jari II) langsung
ke dinding dada. Cara ini cepat, lembut, tetapi memerlukan latihan banyak.
b. perkusi tidak langsung
Dilakukan dengan menggunakan jari ketiga tangan kiri dalam posisi hiperekstensi sebagai pleximeter. Tekan
sendi jari (artikulatio interphalangeal) distal dengan erat ke permukaan yang akan diperkusi. Hindari persentuhan
dengan jari laain tangan kiri karena akan mempengaruhi hasil perkusi. Selanjutnya, dengan ujung jari ketiga
tangan kanan sebagai pemukul (plexor) yang berada dalam posisi sedikit flleksi, pemeriksa mengetuk pangkal
ruas jari ketiga tangan kiri. Gerakan mengetuk menggunakan sendi pergelangan tangan sebagai poros, bukan
sendi siku.
Lakukan gerakan mengetuk secara cepat, tepat, namun rileks, dan ketukan dilakukan 2-3 kali setiap tempat yang
akan diperkusi. Lakukaan perkusi secara simetris pada sisi kirri dan kanan dada mulai dari apex sampai ke basal
paru-paru. Perkusi dinding dada bagioan posterior sebaiknya dilakukan paa peenderitaaa dalam posisi duduk
sambil menyilangkan kedua lengannya didepan dada.

Pemeriksaan Abdomen 14
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Pada bayi dan anak perkusi tidak boleh dilakukan terlalu keras, karena dinding dada anak masih tipis dan otot-
otot masih kecil, sehingga suara perkusi lebih resonans dibandingkan dengan suara perkusi pada orang dewasa.
b. Karakter Suara Utama Perkusi
a. Karakter suara utama perkusi
Nilailah apakah suara perkusi simetris antara sisi kirri dan sisi kanan.
Ada 5 jenis suara yaitu intensitas, tinggi suara, dan durasi.
Intensitas Tinggi Durasi Contoh
Pekak (Flatness) Lemah Tinggi Singkat Paha
Redup (dullness) Sedang Sedang Sedang Hepar
Sonor (Resonance) Kuat Rendah Panjang Paru normal
Hipersonor Sangat kuat Lebih Lebih Emfisema paru
(Hyperresonance) rendah panjang
Timpani (Tympani) Kuat tinggi Gaster yang
kosong, pipi yang
dikembungkan
Catatan : Meskipun secara teoritis terdapaat 5 jenis suara perkusi, akan tetapi dalam pemeriksaan klinis sehari-
hari cukuplah bila kita mampu mmembedakan 3 jenis suara perkusi saja yaitu redup (dull), sonor (resonance),
dan hipersonor (hypersonor).
Suara perkusi redup menggantikan suara perkusi sonor ketika jaringan padat atau cairan menggantikaan
jaringan paru yang normal misalnya pada pneumonia lobaris (dimana alveoli mmengalami konsolidasi oleh sel-
sel darah), efusi pleura (terkumpulnya cairaan serous pada rongga pleura), hematotoraaks (darah), empiema
(pus), jaringan fibrous, atau tumor. Hipersonor yang menyeluruh mungkin dapat didengar pada paru yang terlalu
banyak mengandung udara (hyperinflated) karena emfisema atau asma, namun hal ini tidak selalu ditemukan.
Hipersonor yang unilateral menandakan pneumotoraaks yang luas pada satu paru atau mungkin terdapat bulla
yang berisi udara pada paru. Hipersonor karena emfisema dapat menutupi seluruh daerah redup jantung. Jika
mammae seorang wanita menghalangi tindakan perkusi, geserlah mammae dengan hati-hati menggunakan
tangan kiri saat melakukan perkusi dengan tangan kanan. Hal ini penting dilakukan karena redup akibat pneumoni
lobaris pada lobus kanan medius biasanya terdapat dibawah mammae kanan. Jika pemerriksa tidak menggeser
mammae, maka suara perkusi yang normal mungkin tidak terdengar. Suara perkusi yang abnormal harus
diidentifikasi, dijelaskan, dan digambarkan lokasinya.
Biasanya perkusi dilakukan mulai dari daerah supraklavikular, kemudian turun ke bawah, setiap kali satu
sela iga, dan tiap kali dibandingkan sisi kanan dan kiri. Demikian pula perkusi punggung biasanya dilakukan dari
atas ke bawah, dan dibandingkan sisi kanan dan kiri.
Suara perkusi paru normal ialah sonor. Suara perkusi yang berkurang (redup atau pekak) pada keadaan normal
terdapat pada daerah skapula, diafragma, hati, dan jantung. Bunyi perkusi yang abnormal dapat berupa;
(1)hipersonor atau timpani, yang terjadi bila udara dalmn paru atau pleura bertambah, misalnya emfisema paru
atau pneumotoraks, dan (2) redup atau pekak bila terdapat konsolidasi jaringan paru (pneumonia lobaris,
atelektasis, tumor) dan cairan dalam rongga pleura. Bunyi perkusi timpani pada dada juga terdapat pada hernia
diafragmatika.

c. Peranjakan
Peranjakan yang dimaksud adalah peranjakan diafragma pada saat ekspirasi maksimal dan inspirasi maksimal.
Tujuannya adalah untuk menilai kemampuan gerak diafragma sekaligus untuk menilai ada
tidaknyahepatomegali. Pemeriksaan peranjakan dilakukan dengan melakukan perkusi pada dinding dada bagian
belakang tubuh penderita. Caranya adalah dengan menempatkan pleximeter sejajar dengan sela iga setinggi batas
suara sonor pada ekspirasi maksimal (posisi I). Kemudiaan mintalah penderita untuk mmelakukan inspirasi
maksimal, dan tentukan kembali batas bawah suara sonor paru yang baru (posisi II) dengan melakukan perkusi
kearah bawah. Normal, peranjakan ini berkisar antara 5-6cm dan simetris pada sisi kri dan kanan dada. Jika
terdapat perlekatan pleura atau efusi pleura maka peranjakan dapat mengecil atau tidak ditemukan pada sisi yang
terkena. Pada kelumpuhan N. phrenicus pada satu sisi yang merupakan tanda paling sering pada penyakit
mediastinum, maka akan terdapat peranjakan yang paradoksal. Pada saat inspirasi maksimal, diafragma pada sisi
yang sehat akan bergerak ke bawah, sedangkan diafragma yang sakit akan bergerak keatas karena peningkataan
tekanan abdominal. Kemampuan pergerakan diafragma berkurang pada emfisema paru karena diafragma tertekan
dan terfiksasi pada kedua sisinya. Untuk menilai ada tidaknya hepatomegali, pemeriksaan peranjakan dilakukan
pada dinding dada anterior pada garis midklavikula kanan. Caranya seperti diatas.

Auskultasi
Auskultasi paru sangat berguna dalam menilai aliran udara yang melalui cabang trakeobronkial, mendeteksi
obstruksi, dan menilai keadaaan paru dan rongga pleura secara umum.

a. Teknik Auskultasi

Pemeriksaan Abdomen 15
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Auskultasi harus dilakukan pada seluruh dada dan punggung, termasuk daerah aksila. Sebaiknya
stetoskop ditekan cukup kuat pada sela iga untuk menghindarkan suara artefak (bunyi gesekan dengan kulit dan
rambut). Perlu diingat, bahwa karena tipisnya dinding suara napas pada bayi dan anak cenderung untuk lebih
keras daripada suara napas pada orang dewasa.
Auskultasi harus dilakukan pada seluruh dada dan punggung, termasuk daerah aksila. Sebaiknya
stetoskop ditekan cukup kuat pada sela iga untuk menghindarkan suara artefak (bunyi gesekan dengan kulit dan
rambut). Perlu diingat, bahwa karena tipisnya dinding suara napas pada bayi dan anak cenderung untuk lebih
keras daripada suara nafas pada orang dewasa.
Dengan menggunakan stetoskop, dengarkan suara penderita saat bernapas dalam (lebih dalam dari
normal) melalui mulut yang terbuka. Dengan menggunakan lokasi pemeriksaan yang sama seperti pada perkusi,
bandingkanlah sisi kiri dan kanan dada, dari atas ke bawah. Dengarkanlah minimal 1 kali inspirasi dan 1 kali
ekspirasi penuh di setiap lokasi. Waspadalah terhadap keadaan hiperventilasi pada saat pemeriksaan (misalnya :
mengingau atau pingsan, suruhlah penderita untuk beristirahat jika diperlukan)

b. Suara Napas
Perhatikanlah intensitas suara napas dan nilai apakah suara napas normal atau melemah. Sauar napas dapat
melemah pada orang yang tidak mampu bernapas cukup dalam, atau pada orang yang dinding dadanya terlalu
tebal, misalnya pada obesitas. Suara napas yang melemah didapatkan juga bila aliran udara menurun (pada PPOK
atau kelemahan otot-otot pernapasan), atau bila cairan atau udara dalam rongga pleura menghambat transmisi
udara (pada efusi pleura atau pneumotoraks). Dalam mendengarkan suara napas, perlu diperhatikan juga tinggi,
intensitas dan durasi suara napas saat inspirasi dan ekspirasi.

b.1 Suara Nafas Dasar/Utama


Berdasarkan hal tersebut, maka suara napas dibagi 3 golongan yaitu :
Suara Napas Durasi Tinggi suara Intensitas Lokasi
suara saat napas saat suara napas normal
inspirasi ekspirasi saat ekspirasi
dan
ekspirasi

Vesikular Inspirasi Rendah Lemah Di daerah


lebih perifer paru
panjang dan selain trakea
ekspirasi dan bronkus
besar
Bronkial / Ekspirasi tinggi keras Di daerah
trakeobronkial sama atau trakea dan
lebih bronkus besar
panjang dari (central
inspirasi airway), serta
diantara
skapula

Bronkovesikular Ekspirasi lebih rendah Lebih lemah Sedikit di distal


samaa dari suara nafas dari suara nafas bronkus besar
panjang bronkial bronkial (central airway)
dengan
inspirasi

Catatan : Secara teoritis, dibedakan suara nafas bronkial dan bronkovesikuler, tetapi dalaam praktek sehari-hari
sulit untuk mmembedakannya karena tergantung interpretasi masing-masing pemeriksa. Oleh karena itu,
penggolongan yang umum digunakan di klinik adalah suara nafas vesikuler dan bronkovesikuler saja.

b.2 Suara Nafas Tambahan


Klafikasi tentang suara nafas tambahan yang banyak digunakan adalah yang direkomendasikan oleh ATS-
ACCP Pulmonary Nomenclature Committee, yaitu

Suara nafas tambahan Klasifikasi Istilah lain


Crakles : Diskontinyu Rales
Krepitasi
- Fine crakles Ronki basah :
- Coarse crakles - Ronki basah halus
- Ronki basah kasar
Wheezes Kontinyu, nada tinggi Sibilant Rales
Musical Rales
Sibilant Ronchus
Mengi
Ronchi Kontinyu, nada rendah Wheezes nada rendah

Pemeriksaan Abdomen 16
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Sonorus Rales
Ronki kering

Krepitasi ialah suara membukanya alveoli. Krepitasi normal terdengar di belakang bawah dan samping pada
waktu inspirasi yang dalam sesudah istirahat telentang beberapa waktu lamanya. Krepitasi patologik terdapat
pada pneumonia lobaris.
`Pleural friction rub' (bunyi gesekan pleura) terdapat pada pleuritis fibrinosa, karena pleura viserale dan
pleura parietale saling bergesekan dengan fibrin ditengahnya. Suara yang terdengar adalah suara gesekan kasar
seolah-olah dekat dengan telinga, baik pada fase inspirasi maupun ekspirasi (paling jelas pada akhir inspirasi).
Suara gesekan ini biasanya terdengar di bagian bawah belakang paru, jarang sekali di apeks.
Bronkofoni atau 'vocal resonance' adalah resonans yang bertambah akibat terdapatnya pengantaran suara
yang lebih baik daripada normal, misalnya pada konsolidasi. Sukusio Hippocrates terdapat pada
seropneumotoraks, yakni kalau dada pasien digerak-gerakkan akan terdengar suara kocokan; suara ini jarang
terdengar pada anak.
Egofoni merupakan suatu penyengauan. Cairan lebih senang menghantarkan nada tinggi dan akan
menyaringnya dari berbagai macam pola frekuensi. Ini dapat dipakai untuk tujuan diagnostik dengan meminta
pasien mengucapkan “e (bahasa Inggris ). Frekuensi yang lebih rendah diredam oleh jaringan yang mengalami
konsolidasi dan suara yang terdengar di bagian perifer menyerupai huruf “a”
(bahasa Inggris ). Ini sering terjadi di daerah yang mengalami konsolidasi.
Akhirnya perlu diingatkan kemungkinan terdapatnya bunyi peristaltik usus di daerah dada, yang
mengingatkan kita akan terdapatnya hernia diafragmatika.

Pemeriksaan Abdomen 17
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Check List Pemeriksaan Dada (Thorax)

No Aspek yang di nilai 0 1 2


1. Meminta pemderita melepaskan pakaian, mempersilakan duduk/ berbaring di
tempat tidur
2. Memberikan penjelasan tentang apa yang akan dilakukan inspeksi
3. Memeriksa/ melakukan inspeksi dari depan, samping dan dari belakang
penderita ( bentuk dada, deviasi, ruang intercostal, iktus cordis, bendungan
venosal)
Palpasi
4 Merasakan perbandingan gerakan nafas kanan - kiri dengan berdiri di depan
/ belakang penderita, meletakkan telapak tangan pada sisi kanan dan kiri
thorax penderita
5. Membandingkan fremitus suara kanan – kiri dengan meletakkan kedua
tangan pada punggung/ dada depan penderita di kanan dan kiri tulang
belakang.
Perkusi
6 Melakukan perkusi secara sistematis dari atas ke bawah, membandingkan
kanan- kiri.
7. Melakukan perkusi dalam di daerah- daerah supraklavikula.
8. Melakukan perkusi untuk mencari batas paru dan hati, dan memberi tanda
9. Melakukan perkusi untuk mencari batas paru dan jantung
Perkusi Punggung
10. Penderita diminta duduk tegak
11. Melakukan perkusi dari atas ke bawah, membandingkan kanan – kiri
12. Menentukan peranjakan
Auskultasi
13. Melakukan auskultasi dengan urutan benar.
14. Mendengarkan inspirasi dan ekspirasi pada tiap tempat yang diperiksa
15. Melakukan auskultasi pada sisi samping dada kanan dan kiri.
16 Melakukan auskultasi pada dinding punggung dengan urutan yang benar.
17. Melaporkan hasil yang didapat
Jumlah

Keterangan :
0 : Tidak dilakukan
1 : dilakukan, tetapi kurang benar
2 : dilakukan dengan benar

Pemeriksaan Abdomen 18
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

BAB VI
PEMERIKSAAN JANTUNG

Tujuan Instruksional Umum


Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan: Inspeksi, Palpasi, Perkusi dan Auskultasi jantung secara benar.

Tujuan Instruksional Khusus


Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan:
1. Inspeksi jantung.
1.1. Mampu mengenali bentuk-bentuk di dada
1.2. Mampu mengenali pulsasi precordial
1.3. Mampu mengenali posisi ictus cordis
2. Palpasi jantung.
2.1. Mampu meraba ictus cordis dengan menggunakan bagian volar ke-4 jari tangan kanan
2.2. Mampu menilai kuat angkat ictus cordis
2.3. Mampu meraba adanya thrill
3. Perkusi jantung
3.1. Mampu melakukan perkusi secara sistematis
3.2. Mampu melakukan perkusi untuk menentukan batas-batas jantung
4. Auskultasi jantung
4.1. Mampu melakukan auskultasi secara sistematis
4.2. Mampu mendengarkan bunyi jantung pertama, kedua dan ketiga (gallop)
4.3. Mampu mendengarkan suara tambahan (bising = murmur)
4.4. Mampu mengidentifikasi kelainan katup jantung
4.5. Mampu melakukan ukuran tekanan vena sentral (JVP) secara tidak langsung

INSPEKSI
Pemeriksaan jantung dilakukan dengan posisi pemeriksa berdiri di sebelah kanan pasien (pasien dalam posisi
tidur simetri). Dilakukan penilaian/pengamatan mengenai:
1. Apakah dada kanan dan kiri simetris
2. Adakah kelainan bentuk dada misalnya voussore cardiaque – suatu kelainan yang dimulai pada masa
pertumbuhan ketika dinding depan dada sebelah kiri dalam fase pertumbuhan. Keadaan semacam ini dapat
dijumpai pada atrial septal defect dan penyakit jantung rematik (mitral stenosis) yang cukup hebat.
3. Adakah pulsasi precordial (epigastrium). Bila terdapat pelebaran aorta torakalis dalam rongga dada (aneurysma
aorta) maka nampak pulsasi di kiri atau kanan bagian atas sternum. Pulsasi yang kuat di sela iga ke-3 kiri dapat
disebabkan oleh dilatasi arteri pulmonalis, sedangkan pulsasi epigastrium dapat dijumpai pada pasien cor
pulmonale chronicum (CPC).
4. Apakah posisi ictus (iktus) cordis normal. Iktus dapat tidak nampak pada: wanita dengan glandula mammae yang
menutupi lokasi iktus, emfisema pulmonum, kelainan mediastinum yang menyebabkan jantung tertarik ke
belakang, atau pada iktus dengan posisi di belakang costae. Iktus normal terletak pada sela iga ke-5 kiri di sebelah
medial (kurang lebih 2 cm sebelah medial) garis medioklavikuler. Apabila iktus tidak nampak, pasien diminta
untuk sedikit menggulingkan tubuhnya ke kiri sehingga apeks bersentuhan dengan dinding dada kiri. Jika melalui
inspeksi iktus tidak dapat dilihat, dapat dipakai cara palpasi untuk merasakan hentakan iktus pada fase sistolik.

PALPASI
Setelah ditemukan lokasi iktus, kemudian:
1. Iktus ditekan dengan menggunakan ujung jari telunjuk. Iktus normal tidak mampu mengangkat ujung jari
pemeriksa ke atas. Pada keadaan hipertrofi ventrikel kiri, iktus dapat mengangkat ujung jari (disebut iktus kuat
angkat), iktus juga melebar (dalam keadaan normal, lebar iktus 2-3 ujung jari), dan iktus juga bergeser ke arah
lateral kaudal. Pada hipertrofi ventrikel kanan, iktus bergeser ke anterior sehingga pulsasi nampak di daerah para-
sternal dan mid-sternal. Pulsasi para-sternal dapat dicari dengan cara pemeriksa meletakkan jari secara merata
pada tepi sternum kiri. Jika terasa adanya kuat angkat berarti didapatkan hipertrofi ventrikel kanan. Selain itu
pada hipertrofi ventrikel kanan dapat juga dijumpai sternal lift – suatu penekanan pada processus xyphoideus
pada saat sistole yang dapat dirasakan oleh tangan pemeriksa.
2. Diraba adanya thrill (fremissement) – suatu getaran pada dinding dada akibat penjalaran bising jantung yang
keras. Thrill dapat diraba pada daerah pulmonal (stenosis pulmonal), pada daerah aorta (stenosis aorta), pada
daerah apeks (stenosis mitral).

Pemeriksaan Abdomen 19
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

PERKUSI
Perkusi penting dilakukan untuk mengetahui besar jantung. Dengan perkusi dapat dicari batas kiri, kanan
dan atas jantung
1. Batas kiri jantung.
Dilakukan ketukan di mulai dari lateral ictus cordis kearah medial sampai didapatkan perubahan suara (sonor-
redup). Pada keadaan normal, batas ini berada di garis mid-klavikula kiri atau sedikit lebih medial. Batas ini
disebut batas jantung relatif. Perkusi dapat dilanjutkan dengan lebih perlahan sampai ditemukan suara flat yang
merupakan batas jantung absolut yang biasanya terletak satu jari medial dari batas jantung relatif.
2. Batas kanan jantung.
Setelah ditentukan batas paru-hepar di sela iga ke-5 kanan, naik satu sela iga, perkusi dilanjutkan sampai dijumpai
relative dullness pada sela iga ke-4 kanan, garis para sternal kanan.
3. Batas atas jantung.
Ditentukan dengan melakukan perkusi di ruang sela iga sternal line kiri dari atas ke bawah sampai terdengar
suara redup. Batas atas biasanya terletak setinggi sela iga ke-3 kiri. Pinggang jantung ditentukan dengan
melakukan perkusi dari lateral kiri ke medial dengan jari sejajar dengan pinggang jantung. (normal 3-4 cm dari
mid sternal line) .pinggang jantung menghilang pada pembesaran atrium kiri yang disebabkan stenosis mitral.
Pada penyakit jantung hipertensi atau insufisiensi mitral ditemukan pinggang jantung lebih melengkung kedalam
sehingga bentuk jantung seperti sepatu (booth shoe), hal ini terjadi karena hipertrofi ventrikel kiri.

AUSKULTASI
Stetoskop umumnya terdiri dari bentuk membran untuk mendengarkan bising dengan frekuensi tinggi (high
pitched) dan bentuk genta (bell) untuk mendengarkan bising dengan frekuensi rendah (low pitched). Sebelum
mendengarkan suara jantung lebih dahulu dilakukan penghitungan denyut jantung dalam satu menit dan irama jantung
(reguler atau ireguler).
Dikenal empat jenis suara jantung, yaitu:
1. Suara jantung I – suara ini terjadi akibat penutupan katup mitral bersama-sama katup tricuspidal. Pada daerah
apeks (M), suara jantung I terdengar lebih keras daripada suara jantung II.
2. Suara jantung II – terjadi akibat penutupan katup aorta dan pulmonal.
3. Suara jantung III – terjadi karena waktu permulaan diastolik katup mitral membuka dan darah membanjiri
ventrikel kiri yang sedang terisi penuh.
4. Suara jantung IV – terjadi akibat denyutan atrium pada akhir diastole.
Suara jantung III dan IV jika terdengar disebut gallop. Jika frekuensi jantung berlangsung cepat, disebut gallop
sumasi (seolah-olah suara jantung III dan IV bersatu).

Melatih diri sendiri untuk mendengarkan suara jantung dapat dilakukan dengan cara:
1. Identifikasi dan dengarkan bunyi jantung I, kemudian dengarkan bunyi jantung II, lanjutkan dengan
mendengarkan interval di antara bunyi jantung I dan II (bunyi sistolik), dan akhirnya dengarkan interval di antara
bunyi jantung II dan I. Perhatikan fase diastolik selalu lebih panjang daripada fase sistolik kecuali pada takhikardi
yang sama panjangnya.
2. Auskultasilah seluruh prekordium. Proyeksi katup pada dinding dada tidak sesuai dengan titik maksimum
auskultasi. Empat daerah penting mencerminkan bunyi dari ke-4 katup. Dada lateral (garis aksila anterior di sela
iga ke-4 dan ke-5) dan karotis di pangkal leher juga harus diauskultasi untuk menemukan kemungkinan bising
sistolik. Daerah mitral dan trikuspid biasanya menghantarkan suara-suara berfrekuensi rendah. Gunakan
stetoskop bentuk bell untuk daerah katup dengan meletakkan secara ringan bell di dada sehingga bell
berhubungan erat dengan kulit. Untuk daerah aorta dan pulmoner, bunyi frekuensi tinggi lebih baik didengarkan
dengan menggunakan stetoskop membran yang ditekankan kuat-kuat ke dada.
Manuver tertentu dapat mengubah bunyi jantung. Bunyi apeks dapat menjadi lebih jelas dengan cara
menggulingkan tubuh pasien ke dalam posisi dekubitus lateral kiri. Semua bunyi dari basis (daerah aorta dan
pulmoner) terdengar lebih jelas apabila pasien memiringkan tubuhnya ke depan atau berdiri di atas ke-4 anggota
tubuhnya. Pada akhir ekspirasi, jantung lebih dekat dengan dinding dada dan suara-suara yang sebelumnya tidak
terdengar dapat muncul. Dengan aspirasi dalam, sirkuit pulmoner memerlukan lebih banyak darah dan ventrikel kanan
memompakan lebih banyak darah. Untuk keperluan itu dibutuhkan waktu sedikit lebih lama. Sebaliknya, tindakan
valsava (ekspirasi paksa dengan glotis tertutup) menghambat pengisian ventrikel kanan. Ventrikel tersebut
memompakan volume darah lebih kecil dan lebih cepat. Tindakan ini membantu membedakan bunyi yang berasal
dari sisi kanan jantung dengan bunyi dari sisi kiri jantung.

Bising Jantung
Bising jantung terjadi akibat adanya arus turbulen ketika darah melalui daerah yang sempit atau alur
abnormal. Karakteristik bising jantung yang harus diperhatikan:
1. Fase bising. Harus ditentukan apakah bising yang terdengar termasuk bising sistolik (terdengar antara bunyi
jantung I dan II), bising diastolik (terdengar antara bunyi jantung II dan I), atau keduanya (bising sistolik dan
diastolik).
2. Kontur/bentuk bising.
 Bising sistolik dapat berupa bising pansistolik, bising sistolik dini, bising ejeksi sistolik, bising akhir sistolik
 Bising diastolik dapat berupa bising diastolik dini, bising mid-diastolik, bising akhir diastolik
 Bising sistolik dan diastolik dapat berupa bising kontinyu, bising “to” and “fro”
3. Derajat bising – intensitas bising dinyatakan dalam 6 derajat:

Pemeriksaan Abdomen 20
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

 Derajat 1/6: bising sangat lemah yang hanya dapat didengar oleh pemeriksa yang sudah berpengalaman
dalam ruangan yang tenang.
 Derajat 2/6: bising lemah tetapi mudah didengar dengan penjalaran yang minimal.
 Derajat 3/6: bising keras tetapi tanpa disertai getaran bising dengan penjalaran sedang.
 Derajat 4/6: bising keras disertai getaran bising dengan penjalaran luas.
 Derajat 5/6: bising sangat keras yang tetap dapat didengar meskipun stetoskop ditempelkan sebagian saja
pada dinding dada dengan penjalaran yang luas bila stetoscop dilepas dari kulit, bising tak terdengar.
 Derajat 6/6: bising paling keras yang tetap dapat didengar meskipun stetoskop diangkat dari dinding dada
dengan penjalaran yang sangat luas.
4. Titik maksimum (punctum maximum) bising – tempat di mana bising jantung dapat didengar paling keras (jelas).
5. Penjalaran bising – dicari ke arah mana bising menjalar. Penjalaran bising ini bersifat khas untuk masing-masing
jenis bising.
6. Kualitas bising. Bising dapat terdengar seperti suara meniup (blowing), atau menggenderang (rumbling). Bising
dengan nada tinggi disertai vibrasi dijumpai pada bising inosen (bising Still), bising burung camar (seagull
murmur) dijumpai pada ruptur korda tendinea.
7. Frekuensi atau nada bising. Bising dapat terdengar sebagai bising nada tinggi (high frequency murmur) atau
bising nada rendah (low frequency murmur). Bising sistolik dan bising diastolik dini sering terdengar sebagai
bising nada tinggi, sedangkan bising pulmonal dan bising aorta biasanya terdengar sebagai bising nada rendah.
8. Perubahan intensitas bising dengan perubahan posisi dan respirasi. Bising mitral terdengar mengeras bila pasien
miring ke kiri, bising pulmonal dan aorta terdengar mengeras bila pasien menunduk, bising pada jantung kanan
terdengar mengeras pada saat inspirasi.

Pericardial Friction Rub


Pericardial friction rub adalah suara tambahan yang terdengar sebagai gesekan – suara kasar seperti gesekan
rambut atau bahan kulit ini terjadi akibat gesekan antara perikardium viseral dan parietal yang mengalami fibrosis.
Suara ini terdengar di bagian basal jantung, misalnya pada perikarditis fibrinosa.

Suara Tambahan (murmurs)


Beberapa kelainan pada katup jantung mitral, aorta, pulmonal dalam bentuk stenosis maupun insufisiensi,
memberikan suara tambahan yang khas untuk kelainan tersebut.
1. Stenosis mitral
Kelainan ini pada umumnya terjadi sebagai sekuele dari penyakit demam rematik. Bising yang timbul pada
stenosis mitral disebabkan oleh pembukaan katup yang berlangsung secara tidak sempurna. Gejala lain yang
umumnya menyertai stenosis mitral adalah dispnea dan hemoptisis.
Pada auskultasi jantung ditemukan:
 Suara jantung I yang mengeras, opening snap, rumbling (menggenderang), low pitch decresendo
 Suara jantung II di daerah pulmonal mengeras disertai bising diastolik (Graham-Steell murmur), titik
maksimum di basis (ICS II kiri), fase diastolik, bising tidak menjalar ke daerah lain
 Komplikasi yang umumnya menyertai kelainan ini adalah fibrilasi atrial
2. Insufisiensi mitral
Bising yang timbul pada insufisiensi mitral disebabkan oleh penutupan katup mitral yang berlangsung secara
tidak sempurna
 Bising terdengar seperti suara meniup (blowing), kadang-kadang terdengar musical, high pitch cresendo, titik
maksimum terdengar di apeks, fase sistolik, penjalaran bising ke aksila dan ke punggung serta ke arah
sternum
 Iktus berpindah ke lateral-kaudal akibat hipertrofi ventrikel kiri
3. Stenosis aorta
 Fase sistolik, suara bising terdengar kasar (systolic ejection murmur), titik maksimum di ICS II kanan,
penjalaran ke arah leher dan sternum sebelah kanan, high pitch
 Gejala lain yang menyertai dan membantu diagnosis stenosis aorta adalah adanya syncope, angina pectoris,
dyspnea on effort, sudden death
4. Insufisiensi aorta
Kelainan ini umumnya terjadi akibat penyakit jantung rematik, seringkali disertai dengan kelainan stenosis mitral
 Bising terdengar sebagai suara blowing pada fase diastolik, titik maksimum di ICS III kiri, penjalaran bising
ke daerah sternum ke arah kaudal
 Gejala perifer lain yang membantu diagnosis insufisiensi aorta adalah:
- Kepala mengangguk-angguk mengikuti denyut jantung (de musset’s sign)
- Tubuh bergerak ritmik (homopulsan)
- Uvula bergerak sesuai dengan denyut jantung (muller’s sign)
- Kapiler di kuku berdenyut (quincke’s pulse)
- Pulsus celler
- Suara pistol shot terdengar di a. femoralis
5. Stenosis pulmonal
Kelainan ini umumnya terjadi kongenital
 Terdengar suara systolic ejection murmur dengan titik maksimum di ICS II kiri, menjalar ke precordium.
 Kelainan ini harus dibedakan dengan stenosis pulmonal relatif yang dijumpai pada atrial septal defect di
mana didapatkan hipertensi pulmonal (P 2 mengeras)
6. Insufisiensi pulmonal

Pemeriksaan Abdomen 21
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Kelainan ini bisa terjadi kongenital maupun didapat


 Terdengar bising diastolik meniup dengan splitting suara jantung II, titik maksimum di ICS II-III kiri, disebut
juga Graham-Steell murmur akibat stenosis mitral
 Klinis ditandai dengan hipertensi pulmonal, dyspnea, cough, hemoptisis, dan right ventricle failure.
7. Kelainan-kelaian jantung lain seperti steno-insufisiensi trikuspidal, atrial septal defect, ventricular septal defect,
patent ductus Botalli persistent, tetralogi Fallot, cor pulmonale dan pericardial effusion maupun pericarditis
constrictiva akan dibicarakan pada kesempatan lain yang lebih spesifik

PEMERIKSAAN FISIK LAIN YANG BERKAITAN DENGAN JANTUNG


Pemeriksaan Nadi
Palpasi nadi umumnya dikerjakan dengan memegang arteri radialis dengan menggunakan 3 jari dengan posisi
ibu jari ke arah pasien. Palpasi juga dapat dilakukan terhadap a. karotis, a. brakhialis, a. femoralis, a. poplitea, a.
tibialis posterior dan a. dorsalis pedis. Pada saat melakukan palpasi arteri ada 5 hal penting yang harus diperhatikan,
yaitu: rate (cepat atau lambat), size (besar atau kecil), rhythm (reguler atau ireguler), tension (keras atau lunak), dan
type of wave (cepat atau memanjang).
1. Rate
 Normal: 60 – 90 kali/menit
 Takhikardia: > 100 kali/menit, dijumpai pada keadaan:
- Panas badan (febris), kecepatan nadi meningkat 8 kali/menit setiap kenaikan 10C. Pada demam tifoid
didapatkan kenaikan yang tidak sesuai, disebut bradikardi relatif
- Dehidrasi, perdarahan akut, Grave’s disease, penyakit-penyakit miokard
 Takhikardi paroksismal: rate antara 140 – 200 kali/menit, dijumpai pada:
Grave’s disease, sindroma Wolff-Parkinson-White, atrial flutter, fibrilasi atrial
 Bradikardia: rate < 60 kali/menit, dijumpai pada:
- Fase konvalesen dari penyakit infeksi, miksedema, tekanan intrakranial yang meningkat (stimulasi n.
vagus).
- “Sick sinus syndrome” (SSS) dengan manifestasi takhi-bradi disritmia
- “Heart block” dengan rate < 40 kali/menit dapat menyebabkan gejala serangan Adam-Stokes (isi
semenit menurun, kesadaran menurun disertai kejang-kejang)
2. Size
 Berhubungan dengan tekanan nadi (pulse pressure). Contoh pada isufisiensi aorta – nadi cepat dan besar.
Sebaliknya pada stenosis aorta – nadi kecil dan melambat. Tekanan nadi yang tinggi didapatkan pada keadaan
isufisiensi aorta, anemia, fistula arteria-venus, “patent ductus arteriosus”, “Grave’s disease”
 Pulsus alternans: alternasi reguler dalam hal size dengan pukulan nadi bergantian antara nadi yang tinggi
(high pulse) diikuti nadi rendah (low pulse). Keadaan ini dijumpai pada penyakit miokard → gagal jantung,
dan seringkali diikuti oleh irama gallop
 Pulsus paradoksus: ditandai dengan penurunan size nadi pada waktu inspirasi, didapatkan pada perikarditis
konstriktiva, tumor mediastinum, efusi perikard, emfisema paru. Selain itu ditemukan juga peningkatan
tekanan vena jugularis (Kussmaul’s sign)
3. Rhythm – perlu diingat bahwa pasien dengan penyakit jantung berat menunjukkan irama yang reguler sedangkan
pasien dengan jantung normal menunjukkan irama yang ireguler. Misalnya pada atlet dengan rate 40 – 60
kali/menit dapat disertai irama yang ireguler
 Irregular sinus: the youthfull type of irregular. Ditemukan pada stimulasi vagal akut, berhubungan dengan
inspirasi kuat,
 Premature contraction (kontraksi prematur) dapat timbul pada ventrikuler atau supraventrikuler dan diduga
iskemia sebagai dasar timbulnya rangsangan tersebut
 Atrial fibrillation (fibrilasi atrial): pulsus ireguler perpetue, terjadi akibat: stenosis mitral, hipertiroidi,
penyakit jantung atherosklerotik, atrial septal defect, aritmia paroksismal idiopatik. Manifestasi klinik
berupa pulsus defisit di mana jumlah denyut nadi lebih kecil daripada denyut jantung.
 Heart block: derajat 1 – perpanjangan interval P – R; derajat 2 – partial heart block; derajat 3 – total heart
block →irama idiosinkrasi ----
 Pulsus bigeminus: dalam keadaan normal setiap 1 kontraksi diikuti oleh ekstrasistol dan fase kompensasi

Pemeriksaan Tekanan Vena Jugularis


Pada orang sehat dalam posisi berbaring, vena (v.) jugularis tidak terisi dan oleh karena itu tidak nampak.
Apabila ada peninggian tekanan maka v. jugularis nampak terisi. Peninggian tekanan v. jugularis merupakan salah
satu tanda gagal jantung kanan (decompensatio cordis dextra). Dalam posisi leher yang ditinggikan, nampak batas
atas pengisian v. jugularis. Pada decompensatio cordis dextra yang berat, bahkan dalam posisi duduk nampak v.
jugularis terisi penuh. V. jugularis yang penuh juga dijumpai pada pasien dengan vena cava superior syndrome.
Pengukuran tekanan vena dapat dikerjakan dengan:
1. Cara langsung (jarang digunakan) dengan patokan titik pengukuran: titik acuan – bidang horisontal melalui
tempat sambungan iga ke-2 dengan sternum; titik nol – titik setinggi tengah-tengah atrium kanan di mana tekanan
sama dengan nol; jarak titik acuan – titik nol pada orang dewasa adalah 5 cm (R), jarak ini konstan.
Teknik pengukuran: pasien berbaring dengan lengan diletakkan 5 cm di bawah titik acuan (setinggi atrium
kanan). Jarum dimasukkan ke dalam v. brakhialis dan dihubungkan dengan manometer air – tekanan dibaca pada
manometer (CVP meter).
2. Cara tidak langsung. Vena jugularis (biasanya dipakai v. jugularis kanan) dapat digunakan sebagai pengganti
manometer dengan prinsip vena jugularis terisi pada waktu inspirasi biasa (Lewis Borst, ----). Pasien dalam posisi

Pemeriksaan Abdomen 22
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

berbaring dan leher dalam keadaan lemas. Letak kepala atau posisi leher pasien harus sedemikian rupa sehingga
vena terisi sampai kira-kira di pertengahan antara mandibula dan klavikula. Pada keadaan gagal jantung hebat
dengan v. jugularis terisi penuh sampai mandibula, letak kepala pasien harus ditinggikan. Pada keadaan normal
dengan tekanan vena normal, kadang-kadang kepala pasien harus diturunkan agar vena dapat terisi sampai kira-
kira di pertengahan leher. Penurunan maupun peninggian letak kepala pasien tidak mengubah tekanan vena sebab
jarak R merupakan jari-jari suatu bola dengan titik pusat pada atrium kanan. Vena tidak boleh dikosongkan
dengan mengurutnya.
Mula-mula vena ditekan dengan 1 jari di sebelah bawah (proksimal) dekat klavikula kemudian ditekan di sebelah
atas (distal) dekat mandibula dengan jari lain diikuti oleh pelepasan tekanan yang pertama. Dilihat sampai di mana
vena terisi pada waktu inspirasi biasa. Tinggi tekanan diukur dari titik acuan. Misalnya pada pemeriksaan
ditemukan tekanan vena 2 cm lebih tinggi dari titik acuan, maka tekanan vena adalah R + 2 cm H 2O (sebab jarak
titik acuan dengan titik nol atau R adalah 5 cm). Sebaiknya tidak ditulis tekanan vena = 7 cm H 2O.

Check List Pemeriksaan Jantung

Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
1 Memberi penjelasan maksud pemeriksaan
2 Memberi instruksi berbaring dan membuka pakaian
Inspeksi
3 Berdiri di atas penderita/ berdiri di kaki penderita
4 Melakukan inspeksi pulsasi precordial
5 Melakukan inspeksi iktus
Palpasi
6 Meraba iktus kordis dengan ke 4 jari tangan kanan pada ruang interkostal 4 dan 5

7 Meraba ada/tidaknya thrill


Perkusi
8 Melakukan perkusi dengan teknik yang benar
9 Menentukan batas kiri jantung dengan melakukan perkusi dari sisi lateral kiri ke medial

10 Menentukan batas kanan jantung dengan melakukan perkusi dari sisi kanan ke kiri

11 Menentukan batas atas jantung dengan melakukan perkusi dari atas (fossa supraclaviculs)
ke bawah.
12 Selama perkusi dapat menghasilkan perubahan suara dari sonar ke redup jantung

13 Dapat menyebutkan batas – batas jantung sesuai dengan pemeriksaan di atas

Auskultasi
14 Melakukan auskultasi seluruh precordium
15 Menggunakan stetoskop bel untuk auskultasi katup mitral pada tempat yang benar

16 Menggunakan stetoskop bel untuk auskultasi katup trikuspid pada tempat yang benar

17 Menggunakan stetoskop diafragma untuk auskultasi katup aorta pada tempat yang benar

18 Menggunakan stetoskop diafragma untuk auskultasi katup pulmonal pada tempat yang
benar
19 Melaporkan hasilnya
Jumlah
Keterangan :
0 : Tidak dilakukan
1. Dilakukan tetapi tidak benar/ lengkap sempurna
2. Dilakukan dengan benar / lengkap/ sempurna

jumlah
Nilai = X 100%
2x

Check List Pemeriksaan Untuk Menentukan Kenaikan Vena Jugularis

Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
1 Mempersilakan penderita dalam posisi yang
benar (bersudut 300)
2 Mengamati batas atas vena jugularis
3 Menganjurkan penderita dalam keadaan santai
dan bernafas biasa
4 Mengukur batas vena dengan angulus ludovici
7 Mengamati dan melaporkan ada tidaknya
kenaikan batas vena jugularis.
Jumlah

Pemeriksaan Abdomen 23
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Keterangan :
0 : Tidak dilakukan
1 :Dilakukan tetapi tidak benar/ lengkap sempurna
2 : Dilakukan dengan benar / lengkap/ sempurna
jumlah
Nilai = X 100%
2x

Pemeriksaan Abdomen 24
Program Pendidikan Dokter
Universitas Muhammadiyah Malang

BAB VII
PEMERIKSAAN ABDOMEN

Tujuan Instruksional Umum


Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan: Inspeksi, Palpasi, Perkusi dan
Auskultasi abdomen secara benar.

Tujuan Instruksional Khusus


Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan:
1. Inspeksi abdomen
Mampu mengenali bentuk-bentuk abdomen
Mampu mengenali pulsasi abdomen
Mampu mengenali peristaltik abdomen
Mampu mengenali kelainan pada umbilikus
Mampu mengenali tanda-tanda patologis lain pada dinding abdomen
Mampu mengenali tumor atau massa pada abdomen
2. Palpasi abdomen
Mampu melakukan pemeriksaan palpasi abdomen secara benar
Mampu mengidentifikasi ketegangan dinding abdomen
Mampu melakukan tes undulasi
Mampu melakukan tes ballotement
Mampu mengidentifikasi kelainan hati (hepar)
Mampu mengidentifikasi kelainan limpa (lien)
Mampu mengidentifikasi kelainan kandung empedu (vesica fellea)
Mampu mengidentifikasi kelainan ginjal (ren)
Mampu mengidentifikasi adanya massa atau tumor daerah suprasympisis

3. Perkusi abdomen
Mampu melakukan pemeriksaan perkusi abdomen secara benar
Mampu mengidentifikasi kelainan hepar
Mampu mengidentifikasi kelainan limpa
Mampu mengidentifikasi cairan asites
Mampu mengidentifikasi massa solid atau massa berisi cairan
Mampu mengidentifikasi udara berlebihan dalam lambung/usus
Mampu mengidentifikasi udara bebas di bawah diafragma
Mampu mengidentifikasi rangsangan peritoneal

4. Auskultasi abdomen
Mampu melakukan auskultasi abdomen secara benar

Pemeriksaan Abdomen 115


Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Mampu mengidentifikasi berbagai suara bising usus


Mampu mengidentifikasi suara bising pembuluh darah

Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan posisi pemeriksa berdiri di


sebelah kanan pasien. Penempatan pasien yang paling memuaskan untuk
melakukan pemeriksaan abdomen adalah posisi berbaring terlentang simetris
dalam keadaan rileks, kedua lengan diletakkan pada sisi tubuhnya, sedang
kepala terletak datar diatas sebuah bantal yang kecil. Kedua lutut sedikit
difleksikan dengan seluruh permukaan abdomen dapat dilihat dengan jelas dan
vesika urinaria dalam keadaan kosong. Daerah abdomen dapat dibagi
berdasarkan regio atau berdasarkan kuadran sebagaimana nampak pada
gambar 01 dan 02:

Gambar 01: Pembagian abdomen berdasarkan regio

Gambar 02: Pembagian abdomen berdasarkan kuadran

Pemeriksaan Abdomen 26
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

INSPEKSI
Pada awalnya pasien diminta untuk inspirasi dalam ketika kita melakukan
pengamatan, terhentinya pernafasan secara mendadak pada saat inspirasi
maksimal merupakan petunjuk adanya infeksi pada pleura atau diafragma oleh
infeksi seperti abses subdiafragmatika atau kolesistitis akut.
Melalui inspeksi abdomen dilakukan pengamatan pada:
1. Bentuk abdomen
1.1. Apakah bentuk abdomen datar, bulat, menonjol, cekung (skapoid),
simetris, asimetris akibat adanya massa atau pembesaran organ
1.2. Adakah pelebaran abdomen – pelebaran samping-samping (frog
shape) ditemukan pada asites
1.3. Adakah penonjolan di daerah tertentu abdomen: penonjolan
suprapubik – ditemukan pada vesika urinaria yang penuh, keadaan
hamil, tumor ginaekologis; penonjolan femoral atau inguinal
ditemukan pada hernia
1.4. Adakah pembesaran organ dalam abdomen (hepar, limpa) yang
nampak lebih jelas seiring pergerakan napas
2. Adakah pulsasi pada dinding abdomen. Pada orang kurus nampak pulsasi
aorta abdominalis di regio epigastrium, pada aneurisma aorta nampak
massa disertai pulsasi di linea media
3. Apakah nampak peristaltik pada dinding abdomen. Pada orang kurus
dalam keadaan normal kadang-kadang nampak pergerakan usus. Pada
obstruksi instestinal, abdomen nampak cembung di samping nampak
gambaran dan gerak usus yang meningkat (darm steifung)
4. Adakah kelainan pada umbilikus – amati bentuk, benjolan, hernia, tanda
radang, discharge (pus, feses, cairan jernih, dan lain-lain). Apabila
dijumpai kolateral pada daerah umbilikus, tentukan arah aliran darah vena
di atas dan di bawah umbilikus. ditemukannya caput medusae akibat
dilatasi vena yang berasal dari umbilikus (arah sentrifugal) menunjukkan
adanya hipertensi portal
5. Adakah tanda-tanda patologis lain pada abdomen seperti cullen sign atau
grey sign (tanda kebiruan di sebelah kiri umbilikus akibat perdarahan pada
pankreatitis akuta). Strie (garis-garis) kulit pada dinding abdomen sering
terlihat selama kehamilan atau pada wanita yang pernah melahirkan. Pada
wanita hamil, garis-garis tersebut merupakan parit-parit berwarna merah
muda atau sedikit kebiru-biruan yang terdapat pada dinding abdomen
bawah sejajar dengan sumbu panjang tubuh. Pada wanita yang pernah
melahirkan garis-garis itu tampak berwarna putih perak dan mengkilat.
Strie ini terjadi akibat pecahnya serat-serat elastik kulit dan dapat juga
ditemukan pada orang yang perutnya membesar dengan cepat seperti pada
tumor abdomen, obesitas, atau sindroma Cushing.

Pemeriksaan Abdomen 27
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

6. Adakah tumor/massa
6.1. Tumor fisiologis: kehamilan
6.2. Tumor inflamatorik: divertikulitis kolon, pseudopankreas
6.3. Tumor vaskuler: aneurisma aorta abdominalis
6.4. Tumor neoplastik: mioma uteri, kista ovarii, tumor lambung, hati,
pankreas, ginjal, kelenjar limfe (limfoma, tbc, dll.)
6.5. Tumor obstruktif: hidrops vesika felea, retensio urine (vesika
urinaria penuh), invaginasi, volvulus, hernia umbilikalis

PALPASI
Palpasi abdomen dikerjakan secara pelan-pelan dengan menghindari
gerakan-gerakan yang menimbulkan rangsangan yang tidak perlu. Palpasi
untuk daerah yang sakit dilakukan terakhir. Pada saat palpasi, pasien diminta
untuk melakukan pernapasan abdominal dan palpasi dilakukan ketika
ekspirasi (perut dalam keadaan rileks). Apabila pasien tidak dapat melakukan
pernapasan abdominal, dapat dilakukan tes Nicholson (tangan kiri pemeriksa
menekan dada sementara palpasi abdomen dikerjakan dengan tangan kanan).
Selama palpasi berlangsung, perhatikan respon atau mimik pasien.
Palpasi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
1. Palpasi ringan atau palpasi halus – palpasi dilakukan secara ringan, halus
dengan gerakan dipping, menghindari gerakan tiba-tiba, dan berpindah
secara halus ke seluruh kuadran. Palpasi halus dilakukan untuk
mengidentifikasi tahanan otot dinding abdomen, nyeri tekan abdomen,
organ dalam abdomen, dan mengidentifikasi massa yang terletak
superfisial dalam dinding abdomen
2. Palpasi dalam – untuk menentukan batas-batas tumor. Palpasi dilakukan
dengan menggunakan permukaan palmar jari-jari tangan secara berurutan
pada seluruh kuadran. Identifikasi massa meliputi penentuan lokasi,
besar/ukuran, bentuk, konsistensi, nyeri tekan, pulsasi, mobilitas
(termasuk pergerakan massa pada saat pasien bernapas), temperatur,
fluktuasi dan ballotement. Apabila palpasi dengan menggunakan satu
tangan sulit dilakukan (misalnya pada pasien gemuk, ada tahanan otot
dinding perut) maka dapat dilakukan dengan menggunakan dua tangan –
tangan pertama menekan dan tangan kedua berada di ujung tangan
pertama untuk mengidentifikasi massa

Palpasi Dinding Perut


Dalam keadaan normal dan posisi pasien untuk menjalani
pemeriksaan sudah benar, dinding perut seharusnya dalam keadaan rileks.
Apabila dijumpai ketegangan (tahanan, defence muscular) dinding abdomen,
perlu dipastikan apakah tahanan tersebut disengaja (volunter) atau tak
disengaja (involunter) melalui cara: usahakan pasien dalam keadaan rileks,
rasakan relaksasi otot rektus abdominalis saat ekspirasi, kalau perlu lakukan

Pemeriksaan Abdomen 28
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

tes Nicholson. Apabila dengan cara tersebut tahanan abdomen tidak hilang
berarti dijumpai tahanan involunter yang mengindikasikan adanya peradangan
peritoneum.
Identifikasi peradangan peritoneum dapat dilakukan dengan:
1. Tes nyeri batuk – pasien diminta untuk batuk dan tanyakan apakah timbul
nyeri perut. Apabila timbul nyeri perut maka minta pasien untuk
menunjukkan lokasi nyeri tersebut
2. Tes nyeri ketok – dilakukan perkusi ringan dan apabila timbul nyeri berarti
ada peradangan peritoneum
3. Palpasi:
 Dirasakan adanya tahanan dinding abdomen pada saat dilakukan
palpasi
 Titik maksimum nyeri ditentukan melalui palpasi halus dengan
menggunakan satu jari – tentukan pemetaan daerah nyeri tekan
seakurat mungkin sehingga titik maksimum nyeri dapat diidentifikasi
secara tepat
 Tes nyeri tekan lepas (Blumberg test) – tekankan jari (pada satu titik)
secara pelan-pelan sampai dalam kemudian lepaskan secara
mendadak. Dinyatakan positif dan menunjukkan adanya radang
peritoneum jika timbul nyeri pada saat tekanan dilepas
 Dinding perut yang teraba sebagai adonan roti pada palpasi
menunjukkan adanya peritonitis kronis akibat tuberkulosis

Tes Gelombang Cairan (undulasi)


Abdomen yang menggelembung dapat disebabkan oleh dilatasi usus,
cairan dalam rongga abdomen, dan timbunan lemak. Di antara ke-3 kejadian
tersebut, hanya cairan yang dapat menghantarkan gelombang tekanan. Untuk
melakukan pemeriksaan tersebut, minta asisten untuk menekan abdomen di
linea mediana (garis tengah) dengan menggunakan tepi tangannya (tindakan
ini untuk mencegah transmisi gelombang melalui lemak). Kemudian letakkan
salah satu tangan pemeriksa di satu sisi area pinggang (flank area) dan
ketuklah secara tegas mulai dari daerah pinggang yang berlawanan dengan
menggunakan ujung jari tangan. Apabila ada cairan bebas, pada tangan yang
melakukan palpasi akan terasa benturan gelombang cairan. Hal yang sama
dilakukan pada sisi sebaliknya.

Ballotement Test
Tes ini dapat membantu menunjukkan adanya massa atau pembesaran
organ dalam abdomen yang tidak dapat diidentifikasi dengan cara palpasi
biasa terutama pada abdomen besar atau rongga abdomen penuh dengan
cairan. Teknik ballotement test adalah dengan menekankan unjung jari tangan
dengan gerak menusuk secara cepat ke dalam abdomen sehingga untuk
sementara dapat memindahkan cairan yang berada di atasnya.

Pemeriksaan Abdomen 29
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Palpasi Hepar
Pemeriksaan hepar melalui palpasi dapat dikerjakan dengan cara:
1. Meletakkan tangan kiri pemeriksa di belakang pasien sejajar dengan dan
menopang iga ke-11 dan 12 kanan (pasien harus dalam keadaan rileks).
Kemudian tekankan tangan kiri ke depan sehingga hepar lebih mudah
teraba dari depan (arah jari ke kepala pasien atau lebih oblique ke arah
bahu kanan pasien). Letakkan tangan kanan pemeriksa pada abdomen
kuadran kanan bawah, dengan ujung jari mendatar dan mengarah ke
pinggir iga kanan. Sementara penderita menarik dan mengeluarkan nafas,
gerakkan tangan pemeriksa ke atas, sambil menekan ke bawah, ulangi
gerakan tersebut dengan hati-hati, sambil tangan pemeriksa bergerak
menuju ke pinggir iga pada setiap gerakan inspirasi. Penurunan diafragma
selama inspirasi dalam akan menyebabkan hati ikut terdorong ke bawah,
raba tepi hepar yang turun ke bawah sehingga bersentuhan dengan jari
pemeriksa. Apabila telah teraba, kurangi tekanan jari sehingga tepi hepar
tergelincir di bawah jari pemeriksa dan permukaan depan hepar dapat
diraba. Identifikasi adanya rasa nyeri. Dalam keadaan normal, tepi hepar
teraba lunak, tajam dan teratur (reguler) dengan permukaan teraba rata.
Dalam keadaan patologis, hepar teraba kaku, keras dengan permukaan
berbenjol (tidak rata) dan tepi yang tumpul atau bulat dan tidak teratur.
Secara ringkas pada saat melakukan palpasi hepar tentukan berapa cm di
bawah arkus kosta, nyeri tekan +/-, tepi teraba tajam atau tumpul,
permukaan rata atau tak rata, konsistensi kenyal atau keras.
2. “Hooking technique”
teknik ini dilakukan dengan posisi pemeriksa di sisi kanan dada pasien.
kedua tangan pemeriksa diletakkan di perut kanan atas di bawah tepi
pekak hepar. Kemudian tekankan jari dan tarik ke arah kosta. Minta pasien
untuk melakukan inspirasi dalam dengan perut (napas perut) sehingga
membawa tepi hepar ke arah bawah.

Estimasi klinik pembesaran hepar didasarkan pada pemeriksaan


palpasi dan perkusi. Hepar yang teraba dapat diakibatkan oleh:
1. Pergeseran hepar ke bawah – keadaan ini sering dijumpai pada diafragma
letak rendah misalnya pada penderita emfisema, fusi pleura kanan. Tepi
hepar biasanya dapat diraba dengan mudah sedikit di bawah arcus costae.
Dengan bantuan perkusi dapat ditentukan batas atas dan bawah hepar
untuk menetapkan liver span.
2. Variasi normal bentuk hepar. Pada beberapa orang terutama orang kurus,
bentuk hepar cendrung sedikit memanjang sehingga lobus kanan hepar
mudah dipalpasi sebab lobus tersebut muncul ke bawah ke arah krista
iliaka. Pemanjangan lobus kanan ini dikenal dengan sebutan lobus Reidel
– mencerminkan variasi bentuk tanpa disertai peningkatan volume

Pemeriksaan Abdomen 30
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

maupun besar hepar. Variasi ini menimbulkan keterbatasan dalam


penilaian besar hepar – hanya dapat diperkirakan batas atas dan bawah
dari organ yang memiliki 3 dimensi sehingga beberapa kesalahan
interpretasi tak dapat dihindari.
3. Variasi pembesaran hepar:
 Hepar membesar lunak tanpa nyeri tekan dijumpai pada kondisi fatty
liver. Sirosis hati dapat menyebabkan hepar membesar dengan tepi
teraba agak kaku tanpa nyeri tekan.
 Hepar membesar lunak disertai nyeri tekan. Keadaan semacam ini
menunjukkan kemungkinan adanya inflamasi hepar akibat hepatitis,
abses hati akut oleh ameba atau kuman anaerob, kongesti hepar akibat
gagal ginjal kanan.
 Hepar membesar ireguler. Pembesaran hepar yang kaku atau keras
dengan atau tanpa nodul, dengan atau tanpa nyeri tekan, dan tepi yang
ireguler mencurigakan adanya keganasan, abses hati menahun.

Palpasi Limpa
1. Palpasi limpa dilakukan dengan cara melingkari pasien, tangan kiri
diletakkan di belakang kosta kiri bawah dan didorong ke depan. Palpasi
dimulai dengan meletakkan tangan kanan di bawah tempat dugaan tepi
limpa (diperoleh melalui perkusi) dan ditekankan ke arah limpa. Pasien
diminta untuk melakukan inspirasi dalam dan pemeriksa merasakan
tepi/ujung limpa yang akan turun dan menyentuh jari pemeriksa. Setelah
tepi limpa teraba, dilanjutkan dengan palpasi ke arah lateral dan medial
untuk meraba insisura. Yang perlu dicatat adalah: ada tidaknya nyeri,
kontur limpa, permukaan dan konsistensi limpa serta jarak titik terbawah
limpa dengan tepi arkus kosta.
2. Apabila dengan cara sebagaimana diuraikan di atas limpa tidak dapat
diraba, pemeriksaan dapat diulangi dengan cara yang sama dengan
meminta pasien miring ke kanan sehingga limpa turun dan bergeser ke
kanan (akibat gaya gravitasi). Dalam keadaan normal, limpa orang dewasa
tidak teraba atau “just palpable” pada pernapasan dalam.
3. Ukuran (besar) limpa – ditentukan dengan cara Schuffner. Jarak
maksimum dari pusat ke garis singgung pada arkus kosta kiri dibagi
menjadi 4 bagian yang sama, kemudian garis ini diteruskan ke bawah
sehingga memotong sias kanan dan garis dari pusat ke sias ini juga dibagi
menjadi 4 bagian yang sama. Pembesaran limpa dinyatakan dengan cara
memproyeksikannya ke dalam bagian-bagian ini. Limpa yang membesar
sampai pusat dinyatakan sebagai Schuffner IV, sampai sias kanan
dinyatakan sebagai Schuffner VIII. Besar limpa juga dinyatakan dalam
ukuran berapa centimeter (cm) dari arkus kosta.

Pemeriksaan Abdomen 31
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Palpasi Kandung Empedu


Pada keadaan di mana terdapat kecurigaan sesuatu penyakit akut pada
kandung empedu, dijumpainya nyeri tekan atau nyeri spontan dapat
memberikan petunjuk yang berguna. Untuk keperluan itu dilakukan pencarian
tanda Murphy (Murphy sign) dengan cara:
1. Dorongkan jari atau ibu jari tangan kanan di bawah arkus kosta kanan di
tepi lateral otot rektus
2. Minta pasien untuk melakukan inspirasi dalam – pada saat inspirasi
diafragma akan mendorong hepar dan kandung empedu ke arah bawah
sehingga terjadi kontak dengan jari
3. Perhatikan apakah pasien menghentikan atau tersendat-sendat
pernapasannya akibat nyeri ketika melakukan inspirasi. Perhatikan pula
reaksi nyeri pasien ketika ia melakukan inspirasi dalam dan pada saat yang
bersamaan pemeriksa menekan daerah limpa dengan menggunakan jari
sambil berusaha menjepit (di antara jari atau antara ibu jari dan margo
kosta) kandung empedu yang sedang meradang.
4. Pembesaran kandung empedu disertai dengan ikterus obstruktif
menunjukkan adanya tumor kaput pankreas (hukum Curvoisier).

Palpasi Ginjal
1. Palpasi ginjal kanan, dilakukan melalui cara sebagai berikut:
 Letakkan tangan kiri di belakang pasien tepat di bawah dan paralel
dengan kosta ke-12, ujung jari tepat di sudut kostovertebral kanan,
kemudian dorong ginjal ke arah depan
 Letakkan tangan kanan secara halus di kuadran kanan atas di sisi
lateral dan paralel terhadap tepi otot rektus sedikit di bawah arkus
kosta kanan
 Minta pasien menarik napas dalam dan pada saat akhir inspirasi
tekankan tangan kanan secara kuat dan dalam serta cobalah untuk
meraba (“menangkap”) ginjal kanan di antara 2 tangan.
 Kemudian minta pasien untuk menghembuskan napas dan bersamaan
dengan itu kurangi tekanan tangan secara pelan-pelan, rasakan ginjal
yang bergerak kembali ke arah posisi ekspirasi.
 Apabila ginjal teraba, perhatikan dan catat ukuran, kontur dan ada
tidaknya nyeri tekan pada ginjal. Dalam keadaan normal, ginjal kanan
dapat teraba terutama pada wanita kurus dengan perut dalam keadaan
rileks. Pembesaran ginjal dapat disebabkan oleh keadaan
hidronefrosis, kista (terutama bila dijumpai pembesaran ginjal
bilateral) atau tumor.
 Sangat penting untuk membedakan ginjal kanan dengan hepar. Letak
ginjal kanan lebih rendah dan ke depan dibandingkan dengan letak
hepar disertai dengan pole bawah yang teraba bulat tumpul. Hepar

Pemeriksaan Abdomen 32
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

memiliki tepi lebih tajam dan meluas ke arah medial dan lateral serta
tidak dapat ditangkap dengan menggunakan kedua tangan.
2. Palpasi ginjal kiri dilakukan dengan menggunakan prinsip dan prosedur
yang serupa dengan pemeriksaan ginjal kanan.
 Pemeriksaan ginjal kiri dapat dilakukan seperti meraba limpa. Tangan
kiri mendorong pinggang kiri, tangan kanan melakukan palpasi dalam
di kuadran kiri atas, minta pasien untuk melakukan inspirasi dalam
dan pada saat yang bersamaan pemeriksa mencoba meraba adanya
massa.
 Dalam keadaan normal, ginjal kiri tidak teraba. Bila ada pembesaran,
harus dibedakan dengan pembesaran limpa. Pada pembesaran ginjal
kiri, dengan perkusi masih terdengar suara timpani di perut kiri atas
(di atas massa), di samping masih ada celah antara massa dan arkus
kosta.

Nyeri tekan seringkali sudah terjadi pada saat palpasi abdomen atau
pada penekanan di daerah sudut kostovertebral. Bila perlu, dilakukan pukulan
pada sudut kostovertebral dengan cara:
1. Pasien diminta untuk duduk santai
2. Dari arah belakang pasien, tempelkan tangan kiri pemeriksa pada sudut
kostovertebral
3. Dengan tangan kanan menggenggam, pukulkan tangan kanan dengan
cukup keras ke sisi dorsal tangan kiri
4. Lakukan hal serupa pada sisi yang lain
Nyeri yang timbul pada palpasi, penekanan atau pukulan menunjukkan dugaan
adanya infeksi ginjal di samping penyebab muskuloskeletal.

PERKUSI
Perkusi dilakukan dengan cara meletakkan telapak tangan kiri di
daerah abdomen yang akan diperkusi, kemudian dengan menggunakan ujung
jari tangan kanan (umumnya digunakan ujung jari telunjuk atau jari tengah)
dilakukan ketukan dengan kekuatan sedang. Ketukan dapat juga dilakukan
dengan menggunakan palu khusus.

Perkusi Orientasi Abdomen


1. Perkusi ringan di seluruh kuadran abdomen untuk menilai distribusi suara
timpani (akibat gas berlebihan dalam usus) dan pekak (akibat cairan,
massa solid, feses).
2. Perkusi bagian samping perut kanan sampai ke belakang di daerah pekak
kemudian lakukan perkusi serupa di sisi kiri perut. Dijumpainya daerah
pekak yang meninggi mencurigakan adanya cairan asites dan perlu
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Pemeriksaan Abdomen 33
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

3. Perkusi suprapubik – suara pekak dapat diakibatkan oleh vesika urinaria


yang penuh atau akibat pembesaran uterus
4. Perkusi di bagian dada bawah depan antara paru (di atas) dan arkus kosta
(di bawah). Dalam kondisi normal didapatkan suara timpani pada sisi kiri
(lambung) dan suara pekak pada sisi kanan (hepar). Sebaliknya, dalam
kondisi patologis didapatkan suara timpani pada sisi kanan (udara bebas)
dan suara pekak pada sisi kiri (pembesaran hepar/limpa)

Perkusi Hepar
Teknik perkusi hepar dikerjakan sebagai berikut:
1. Dilakukan perkusi ringan pada dinding perut di bidang mid-inguinal
kanan di bawah level pusar ke arah hepar ( di daerah timpani), beri tanda
pada tempat di mana terjadi perubahan suara pekak – merupakan batas
bawah hepar.
2. Kemudian dilakukan perkusi mulai dari daerah redup paru ke arah bawah
pada bidang yang sama (pada wanita, sisihkan mamae ke arah atas), beri
tanda pada batas peralihan suara ke suara pekak.
3. Pengukuran jarak antara 2 tanda hasil perkusi pertama dan kedua
menunjukkan tinggi hati (liver span). Apabila terjadi pembesaran hepar,
lakukan perkusi sampai ditemukan batas hepar yang membesar tersebut.
Liver span normal antara 6 – 12 cm, liver span pada pria lebih besar
daripada wanita dan pada orang pendek ditemukan liver span lebih
sempit. Liver span ditemukan meluas/meninggi pada keadaan:
hepatomegali akibat hepatitis atau kegagalan jantung kongestif, dan pada
kondisi pleural efusi kanan atau terjadi konsolidasi paru (bila letaknya
dekat dengan hepar dapat memberikan gambaran seolah-olah terjadi
perluasan liver span, disebut liver span palsu). Liver span menyempit
ditemukan pada keadaan: pengecilan/pengerutan hepar (sirosis), adanya
udara bebas di bawah diafragma (liver span kadang dapat sampai
menghilang), adanya gas berlebihan dalam kolon.
4. Minta pasien untuk melakukan inspirasi maksimal kemudian beri tanda
tempat pekak hepar yang “baru” (lebih ke arah bawah/kaudal). Daerah ini
disebut peranjakan (excurtion), normal 2 jari atau 1 intercostal space (1
ICS).

Perkusi Limpa
Dalam kondisi normal, limpa berada di lengkung diafragma kiri
sedikit di belakang linea aksilaris media. Perkusi dapat memberikan informasi
mengenai adanya splenomegali. Limpa yang membesar akan mengarah ke
depan, bawah dan medial dan menggantikan daerah suara timpani lambung
dan kolon dengan daerah suara pekak.
1. Lakukan perkusi dengan daerah terendah di linea aksilaris anterior kiri.
Minta pasien melakukan inspirasi maksimal dan lakukan lagi perkusi di

Pemeriksaan Abdomen 34
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

tempat yang sama. Dalam kondisi normal, hasil kedua pemeriksaan


perkusi memberikan suara timpani. Apabila perkusi pada saat inspirasi
memberikan suara pekak (positive percution sign), perlu diduga adanya
pembesaran limpa. Interpretasi positive percution sign perlu dilakukan
secara cermat sebab limpa normal dapat juga memberikan hasil positif.
Suara pekak pada perkusi ruang Traube (Traube space) mengindikasikan
pembesaran limpa.
2. Lakukan perkusi dari berbagai arah mulai dari redup atau timpani ke arah
daerah pekak yang diduga limpa – dengan demikian diperoleh gambaran
batas-batas limpa.

Perkusi Untuk Menentukan Udara dan Cairan Dalam Abdomen


1. Perkusi yang menghasilkan suara timpani menyeluruh pada abdomen
menunjukkan adanya gas yang berlebihan dalam abdomen (meteorismus).
Kondisi ini dapat disertai dengan gambaran gerakan usus (dijumpai pada
ileus obstruktif). Pengecualian hal ini dapat terjadi di daerah hati, dimana
biasanya pekak, tetapi pekak menghilang, hal ini memberi petunjuk
adanya udara dalam rongga peritoneum dan paling sering disebabkan
perforasi ulkus peptikum.
2. Pekak alih (shifting dullness).
Perut yang membesar dengan penonjolan kearah samping menunjukkan
kemungkinan adanya asites. Prinsip cairan adalah mencari tempat
terendah akibat gaya gravitasi sementara usus akan terapung di atasnya.
Cara menentukan shifting dullness:
 Lakukan perkusi dari daerah depan (timpani) ke arah “flank” sampai
daerah redup, beri tanda pada perbatasan tersebut, kemudian lakukan
hal yang sama di daerah lain.
 Lakukan hal yang sama mulai dari daerah suprapubik, kemudian
hubungkan tanda-tanda yang telah dibuat
 Minta pasien untuk miring ke satu sisi (sisi yang berlawanan dengan
yang diberi tanda) dan perkusilah mulai dari tempat yang telah diberi
tanda ke tempat yang lebih rendah atau sampai terdengar suara pekak,
beri tanda batas antara timpani dan pekak.
 Jarak antara garis-garis yang dibuat saat pasien terlentang dan ketika
miring menunjukkan jumlah cairan (permukaan cairan selalu
berbentuk rata). Dalam keadaan normal, batas pekak-timpani relatif
tetap; pada asites pekak akan bergeser ke bawah dan timpani bergeser
ke atas.
Perpindahan usus yang relatif tidak mengandung udara kadang-
kadang memberikan hasil positif palsu, sedangkan cairan peritoneal yang
terlokalisir dapat memberikan hasil negatif palsu sebagaimana dijumpai
pada kista ovarium berukuran sangat besar sehingga nampak sebagai

Pemeriksaan Abdomen 35
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

distensi abdomen. Petunjuk yang dapat dipakai, pada kista ovarium


berukuran besar tidak didapatkan penonjolan umbilikus dan pekak cairan
tetap terlokalisir di bagian anterior (pada pasien dengan posisi berbaring)
di samping usus (resonan) terdorong ke bawah dan lateral tepat kebalikan
dengan asites bebas.
Pada kasus asites yang meragukan, usahakan untuk menemukan
puddle sign (tanda genangan) dengan cara meminta pasien untuk berdiri
dengan bertumpu pada ke-4 anggota tubuhnya. Posisi seperti itu akan
menyebabkan cairan tergenang di umbilikus dan memberikan daerah
pekak.

AUSKULTASI
Auskultasi abdomen dikerjakan melalui prosedur sebagai berikut:
 Letakkan bagian diafragma stetoskop secara halus di dinding abdomen.
Suara usus akan dihantarkan ke seluruh dinding abdomen, oleh karena itu
letakkan stetoskop di satu tempat saja (umumnya di sisi kanan bawah).
 Dengarkan suara usus, catat frekuensi dan karakter suara tersebut
 Suara gemerincing nada tinggi (metalic sound) menandakan adanya
geseran cairan dan udara dalam usus yang distended. Sedangkan suara
dengan nada rendah dan cepat yang muncul bersamaan dengan kram perut
menunjukkan adanya peristaltik usus yang meningkat (e.g. dijumpai pada
enteritis akuta/diare).

Peristaltik Usus
Dalam keadaan normal, peristaltik usus terdengar sebagai suata “klik”
dan seperti orang melakukan kumur, frekuensi antara 5 -34 per menit. Kadang
dalam kondisi normal juga terdengar borborygmi (suara peristaltik yang
memanjang) – dikenal sebagai “stomach growing” (suara menggeram).
Dalam keadaan abnormal terjadi gangguan suara usus sebagaimana ditemukan

Pemeriksaan Abdomen 36
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

pada keadaan diare, obstruksi intestinal (suara usus meningkat) dan ileus
paralitik peritonitis (suara usus menurun sampai menghilang).

Bising Pembuluh Darah


Pada pasien hipertensi, dengan meletakkan stetoskop di daerah
epigastrium dan kuadran kanan atas dan kiri dapat didengarkan suara bising
(bruit) akibat arteriolisasi hebat pada keganasan. Bising sistolik epigastrik
kemungkinan dapat didengar pada orang normal. Pada pasien hipertensi,
bising sistolik dan diastolik di daerah epigastrium sangat mencurigakan
stenosis arteri renalis. Bising pada vena kolateral disebut sebagai venous hum.

Check List Penilaian Pemeriksaan Abdomen

Nilai
No Aspek Ketrampilan dan medis yang dilakukan
0 1 2
1 Mempersilakan penderita untuk berbaring terlentang
2 Meminta penderita untuk membuka baju seperlunya agar
daerah pemeriksaan terbuka
3 Berusaha membuat penderita rileks dengan menekuk
lutut saat mengajak berbicara
4 Meminta penderita untuk memberikan respons terhadap
pemeriksaan ( rasa sakit, dll)
5 Berdiri atau duduk di sebelah kanan penderita
INSPEKSI
6 Melakukan inspeksi abdomen sebelum perkusi dan
palpasi
7 Melakukan inspeksi terhadap peristaltic dengan
membungkuk atau duduk
AUSKULTASI
8 Melakukan auskultasi sebelum perkusi dan palpasi
9 Melakukan auskultasi pada tempat-tempat yang benar
PERKUSI
10 Melakukan perkusi sebagai orientasi pada ke empat
kuadran abdomen
11 Melakukan perkusi untuk menentukan batas bawah
hepar pada garis midklavikula
12 Melakukan perkusi untuk menentukan batas atas hepar
pada garis midklavikula
13 Mengukur daerah pekak hepar pada garis midklavikula
14 Melakukan perkusi lien di spatium interkosta di bawah
garis axillaris anterior kiri
15 Meminta penderita menarik nafas, kemudian
mengulangi perkusi yang sama

PALPASI

Pemeriksaan Abdomen 37
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

16 Melakukan palpasi superficial secara menyeluruh


17 Melakukan palpasi hepar
18 Melakukan palpasi lien
19 Melakukan palpasi ginjal kanan
20 Melakukan palpasi ginjal kiri
21 Melaporkan hasil
PEMERIKSAAN KHUSUS
22. Murphy sign
23. Tes undulasi
24. Shifting dullness
Keterangan :
0 : Tidak dilakukan jumlah
1 :Dilakukan tetapi tidak benar/ lengkap sempurna Nilai = X 100%
2 : Dilakukan dengan benar / lengkap/ sempurna 2x

Pemeriksaan Abdomen 38
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Pemeriksaan Genetalia 39
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Daftar Pustaka 40
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Daftar Pustaka 41
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Daftar Pustaka 42
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Daftar Pustaka 43
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Daftar Pustaka 44
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Daftar Pustaka 45
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Daftar Pustaka 46
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Daftar Pustaka 47
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Daftar Pustaka 48
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Daftar Pustaka 49
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Daftar Pustaka 50
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Daftar Pustaka 51
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

Daftar Pustaka 52
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang

DAFTAR PUSTAKA

Bakri N dkk, Aplikasi Prilaku Islami Bagi Petugas Kesehatan di Rumah Sakit,
2005, Rumah Sakit Islam Jakarta
Becker W et al. Larynx, Hypopharynx, and Trachea. Georg Thieme Verlag.
Stuttgart. p 386 – 411. 1989.
Burnside, Glynn Mc. Diagnostik Fisik. Edisi XVII. Jakarta: EGC; 1995.
Delph MH, Manning RT. Major Diagnostik Fisik. Edisi IX. Jakarta: EGC;
1996.
Hagen M, Pauly R, Communication Skills, 2006, Essentials of Patient Care 06
University of Florida
Kelly S, et al, Breaking Bad News : Regional Guidelines, 2006
Knutson D, Post D, Case Teaching Notes for “To Tell the Truth” 2006,
Department of Family medicine The Ohio State University
Lehmaan W, Pidoux JM, Widmann JJ. Larynx. Inpharzam Medical
Publications. Groningen. p 1-16. 1980.
Markum, HMS Penuntun Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Pusat Informasi
dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2000.
Nadkarni V, Cunningham M, Delivering Bad News A Pilot Program, 1998,
Christiana Care Health Services.
Prasetya Edhiawan dan Widjaja J. Teguh (ed). Buku Panduan Diagnosis Fisik
di Klinik. Bandung : PT. DanamarTha Sejahtera Utama-Grafika. 2004.
Swartz, H. Mark. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC; 1995.
Swartz. Intisari Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC; 1997.
WHO, 2002, Guide To Good Prescribing

Daftar Pustaka 53

Anda mungkin juga menyukai