Anda di halaman 1dari 3

Sadisnya Kudeta APRA di Kota Bandung 68 Tahun Lalu

Raymond Westerling
Liputan6.com, Jakarta - Bandung kala itu baru saja disapa mentari pagi. Warga beraktivitas rutin
seperti biasa di pasar-pasar. Mereka membuka toko-toko untuk menatap hari penuh sukacita. Suasana
tampak ramai.

Tak berselang lama, Bandung berubah bak kota mati. Pukul 08.00 WIB, Senin, 23 Januari 1950 silam,
sekitar 500 hingga 800 prajurit gabungan tentara Belanda KNIL-KL merangsek masuk ke sudut-sudut
strategis kota. Pasukan itu bergerak sejak pukul 04.30 WIB melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung.

Serdadu itu tergabung dalam Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di bawah kepemimpinan Kapten
KNIL Raymond Westerling.

Mereka bergerak menggunakan truk, jeep, motor, dan ada pula yang berjalan kaki. Semua berseragam
dan bersenjata lengkap. Sambil melepaskan tembakan ke atas, para perusuh itu meneror penduduk
sipil dengan merampas barang dan menyiksanya.

Akibatnya, warga ketakutan. Banyak toko-toko yang baru buka langsung ditutup kembali. Mereka
menyelamatkan diri masing-masing dari pasukan APRA.

Tak hanya itu, pos-pos polisi di sepanjang jalan raya seperti Cimindi, Cibereum, dan beberapa lainnya
mereka lucuti. Kondisi Jawa Barat saat itu masih belum kondusif karena tengah dilanda masalah
Negara Pasundan.

Dalam aksi biadabnya, mereka membunuh semua orang berseragam Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat (APRIS) yang dijumpai. Mereka juga menyergap beberapa personel yang tengah
bersiap-siap menuju markasnya masing-masing. Satu per satu anggota APRIS itu tewas dengan
kondisi mengenaskan.

Seperti yang terjadi di perempatan Jalan Banceuy Bandung. Seorang prajurit APRIS yang tengah
mengendarai Jeep Willys dihentikan. Dia disuruh turun lalu kepalanya ditembak. Tak hanya itu, di
sekitar Jalan Braga, tepat di muka Apotheek Rathkam mereka juga menghabisi seorang perwira
APRIS dengan dua pengawalnya yang tengah mengendarai sedan.
Keberingasan APRA Kian Menjadi

Raymond Westerling
Keberingasan pasukan APRA semakin menjadi-jadi. Di dekat Taman Sari, tiga prajurit APRIS yang
tertangkap diperintahkan berdiri di atas jembatan. Mereka kemudian ditembak mati. Jasadnya
langsung terjebur dan hanyut di Sungai Cikapundung yang membelah Kota Bandung.

Markas Divisi Siliwangi menjadi incaran pasukan APRA. Para tentara yang sebagian besar dari Korps
Speciale Troepen (KST, Kopassusnya Belanda) itu mengepung sasarannya. 15 Tentara dari regu jaga
tak mau kalah. Mereka melawan. Pasukan yang dipimpin Letkol Sutoko itu menghadang laju gerakan
tentara APRA yang jumlahnya mencapai 150 orang.

Ini mereka lakukan demi meloloskan para komandan dari kepungan pasukan APRA.

Lantaran kalah jumlah, pasukan APRIS Divisi Siliwangi pun tumbang. Satu per satu personelnya
gugur di tangan pasukan APRA. Hanya Letkol Sutoko, Letkol Abimanyu dan seorang opsir lainnya
yang selamat karena dapat meloloskan diri dari pengepungan. Alhasil, APRA menduduki markas
Divisi Siliwangi.

Kala markas telah diduduki APRA, Letkol Lembong dan ajudannya Leo Kailola masuk ke lokasi
tersebut. Keduanya langsung dihujani peluru oleh gerombolan tersebut dan dua prajurit itu pun gugur.

“Perdjurit TNI yang sedang berjalan-jalan di kota dengan tidak bersenjata, dibunuh seperti anjing dan
dicincang seperti terjadi dengan almarhum Overste Lembong,” kata RSoenario, Jaksa Penuntut
Jungschlager (Rekan Westerling).

Dalam catatannya, aksi biadab perusuh itu telah menewaskan 79 orang. Mereka terdiri atas 61 serdadu
TNI dan 18 sipil. Sedangkan di pihak APRA, tak ada seorang pun yang menjadi korban.

Ramai Pergolakan
Moh. Hatta
APRA menjadi pasukan pemberontak paling awal setelah Indonesia diakui kedaulatannya oleh
Belanda. Ini menyusul hasil Konferensi Meja Bundar menghasilkan suatu bentuk negara Federal
untuk Indonesia yang bernama Republik Indonesia Serikat (RIS).

Suatu bentuk negara ini merupakan suatu proses untuk kembali ke NKRI, karena memang hampir
semua masyarakat dan perangkat-perangkat pemerintahan di Indonesia tidak setuju dengan bentuk
negara federal. Namun, ada juga tidak sedikit yang tetap menginginkan Indonesia dengan bentuk
negara federal.

Kondisi ini menimbulkan banyak pemberontakan-pemberontakan atau kekacauan-kekacauan yang


terjadi saat itu. Ironisnya, pemberontakan yang dilakukan golongan tertentu itu mendapatkan
dukungan dari Belanda. Mereka takut jika Belanda meninggalkan Indonesia, hak-haknya atas
Indonesia akan hilang.

Ini yang dirasakan oleh Raymond Westerling. Mantan komandan Depot Speciale Troepen (Pasukan
Khusus) KNIL dari negeri Belanda ini menghimpun kekuatan militer untuk mempertahankan bentuk
negara federal di Indonesia. Dan akhirnya menyerang Bandung untuk melakukan pemberontakan.

Pemerintah RIS yang memiliki kekuatan militernya segera mengirimkan pasukan ke Kota Bandung
untuk menumpas pasukan APRA. Tak hanya itu, jalur diplomasi juga dilakukan. Perdana Menteri RIS
yang kala itu dipegang Mohammad Hatta menggelar perundingan dengan Komisaris Tinggi Belanda
di Jakarta.

Hasilnya, Westerling didesak meninggalkan Kota Bandung. Pasukan APRA, yang dipimpin
Westerling pun meninggalkan Kota Bandung pada sore harinya. Pasukan APRA semakin terdesak dan
terus dikejar pasukan APRIS bersama rakyat. Akhirnya Gerakan APRA berhasil dilumpuhkan.

Setelah diusut, dalang gerakan APRA adalah Sultan Hamid II, seorang Menteri Negara pada Kabinet
RIS. Rencana sebenarnya gerakan itu adalah menculik Menteri Pertahanan Keamanan, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX, Sekjen Pertahanan Mr Ali Budiardjo, dan pejabat Kepala Staf Angkatan
Perang, Kolonel TB Simatupang.

Dengan keberhasilan pasukan APRIS menumpas Gerakan APRA, maka keamanan di wilayah Jawa
Barat berhasil dipulihkan kembali.

Anda mungkin juga menyukai