Anda di halaman 1dari 44

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

BLOK KEDOKTERAN KOMUNITAS Makassar, 06 Oktober 2021

LAPORAN PBL MODUL 1

BLOK TRAUMA

“KESADARAN MENURUN”

TUTOR : dr. Eny Arlini Wello


KELOMPOK : 2B
Febriansyah 110 2018 0121
Shafirah Balqis Anugrah Harwis 110 2018 0138
Muh Andriadi Bin Arin 110 2018 0141
Nur Azizah Reski Amir 110 2018 0161
Lalibah Syafirah Mustika 110 2018 0165
Dwi Hikma 110 2018 0181
Eka Astri Amriani 110 2018 0182
Zulheril 110 2018 0186
Reza Eka Putra 110 2018 0203
Rezky Muchliza Darmadjid 110 2018 0207
Riska Yunisyah Zainal 110 2018 0232
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021
Skenario 2

Seorang laki-laki 46 tahun dibawa ke UGD dalam keadaan tidak sadar setelah
mengalami kecelakaan. Pada pemeriksaan fisis didapatkan tekanan darah 80/60
mmHg, nadi 126 x/menit, teraba lemah dan akral dingin, pernafasan 36x/menit,
temperatur 36,4oC. Muka kelihatan pucat. Ditemukan jejas pada daerah pelipis kanan
dan perdarahan aktif pada paha kanan. Evaluasi kesadaran penderita tidak
mengeluarkan suara dengan rangsang nyeri tidak mampu membuka mata dan
ekstremitas kesan fleksi setelah dirangsang nyeri.

Kata sulit : -

Kata kunci :

1. Laki - laki 46 tahun


2. Dibawa ke UGD dalam keadaan tidak sadar setelah mengalami kecelakaan
3. Pada pemeriksaan fisis didapatkan
- tekanan darah 80/60 mmHg, (hipotensi)
- nadi 126 x/menit, (takikardi)
- teraba lemah dan akral dingin,
- pernafasan 36x/menit, (takipneu)
- temperatur 36,4oC.
4. Muka terlihat pucat
5. Ditemukan jejas pada pelipis kanan dan pendarahan aktif pada paha kanan
6. Evaluasi kesadaran penderita tidak mengeluarkan suara dengan rangsang
nyeri tidak mampu membuka mata dan ekstremitas kesan fleksi setelah
dirangsang nyeri.

Pertanyaan
1. Bagaimana tingkat kesadaran pada pasien beserta tanda dan gejala penurunan
kesadaran ?
2. Apa yang bisa menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran sesuai dengan
skenario ?
3. Bagaimana patomekanisme kesadaran menurun ?
4. Bagaimana penganangan awal sesuai dengan skenario ?
5. Bagaimana tindak lanjut setelah penanganangan awal ?
6. Apa yang menjadi syarat – syarat transportasi dan rujukan ?
7. Apa prespektif islam ?

Jawaban

1. Bagaimana tingkat kesadaran pada pasien beserta tanda dan gejala


penurunan kesadaran ?

Tingkat penurunan kesadaran dapat dinilai secara kualitatif atau secara


kuantitatif.
A. Pemeriksaan derajat kesadaran secara kualitatif:
1) Compos Mentis yaitu, sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun
terhadap lingkungannya. pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa
dengan baik.
2) Apatis yaitu, keadaan dimana pasien tampak segan dan acuk tak acuh
terhadap lingkungannya.
3) Delirium yaitu, penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus
tidur bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh gelisah, kacau,
disorientasi dan meronta-ronta.
4) Somnolen (Letergia, Obtundasi, Hipersomnia) yaitu, keadaan mengantuk
yang masih dapat pulih bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti, pasien
akan tertidur kembali.
5) Stupor yaitu, keadaan mengantuk yang dalam, pasien masih dapat
dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi
pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban
verbal yang baik.
6) Semi-Koma (koma ringan) yaitu, penurunan kesadaran yang tidak
memberikan respons terhadap rangsang verbal, dan tidak dapat dibangunkan
sama sekali, tetapi refleks (kornea, pupil) masih baik. Respons terhadap
rangsang nyeri tidak adekuat.
7) Koma yaitu, penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan
spontan dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.

Berdasarkan skenario, interpretasi tingkat kesadaran pasien secara kualitatif


yaitu masuk dalam kategori Sopor (Stupor).

B. Pemeriksaan derajat kesadaran secara kuantitatif:


Secara kuantitatif dapat dengan menggunakan skala koma Glasgow (GCS).
Hal-hal yang dinilai pada pemeriksaan ini adalah reaksi membuka mata,
berbicara dan gerakan/motorik.
Skala Koma Glasgow

Eye Spontan 4

Mengikuti perintah panggilan 3

Reaksi terhadap rangsang nyeri 2

Tidak ada reaksi terhadap rangsang nyeri 1

Verbal Berorientasi baik 5

Disorientasi/bingung 4
Tidak sesuai/satu kata saja 3

Tidak dimengerti/suara saja 2

Tidak ada suara sama sekali 1

Motorik Mengikuti perintah/bertujuan 6

Menepis rangsang nyeri 5

Gerakan menghindari nyeri 4

Gerakan fleksi dekortikasi 3

Gerakan esktensi deserebrasi 2

Tidak ada gerakan sama sekali 1

INTERPRETASI - Composmentis 14-15


- Apatis 12-13
- Delirium 10-11
- Somnolen 7-9
- Sopor 5-6
- Semi Coma 4
- Coma 3
Berdasarkan scenario, interpretasi GCS pasien yaitu E 1V1M2 dengan jumlah 4.
Masuk dalam kategori penurunan kesadaran Semi Coma

C. Metode lain adalah menggunakan sistem AVPU, ini juga merupakan skala
yang digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien. Hal ini lebih
sederhana daripada GCS dan dapat digunakan oleh dokter, perawat, penolong
pertama dan kru ambulans. Skala AVPU adalah metode cepat untuk menilai
LOC (Level Of Consciousness). LOC pasien dilaporkan sebagai A, V, P, atau
U. Empat unsur yang diuji.
1) Alert – jika pasien spontan dan langsung merespon secara tepat terhadap
pertanyaan paramedis.
2) Verbal - jika pasien merespon terhadap perintah, yang mungkin hanya
berupa suara erangan.
3) Pain - jika pasien hanya berespon terhadap rangsang nyeri.
4) Unresponsive - jika pasien tidak memberi respon.
Referensi:
Pehimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Buku Ajar Neuorologi
Klinis. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. 2011.
Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik. Binarupa Aksara : Jakarta. 2011.

2. Apa yang bisa menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran sesuai


dengan skenario ?
Kesadaran menurun dapat disebabkan oleh berbagai faktor etiologic. Jika
dilihat dari lokasi pencetusnya, penyebab kesadaran menurun yaitu
intrakranial dan ekstrakranial. Selain itu, penurunan kesadaran juga dapat
disebabkan olehpenyebab traumatik dan non-traumatik.
a. Intrakranial
 Trauma susunan saraf pusat
 Gangguan perdarahan darah otak
 Infeksi susunan saraf pusat
 Tumor, Kejang, Epilepsy
 Penyakit degenerative susunan saraf pusat
b. Ekstrakranial
 Vaskuler: Syok, Payah jantung, hipertensi, hipotensi
 Metabolik: Hipoglikemi, Hiperglikemi, asidosis metabolic,
ketidak seimbangan elekrolit
 Toksik: Overdosis obat, alkohol abuse, keracunan CO, gas
anastesi
 Infeksi sistemik berat: pneumonia, malaria
c. Trauma

 Kecelakaan lalu lintas

 Kekerasan fisik, dan

 Jatuh

d. Non-trauma

 Gangguan metabolik

 Intoksikasi obat

 Hipoksia, stroke iskemik

 Perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid

 Infeksi sistem saraf pusat: meningitis, ensefalitis, dan

 Abses serta gangguan psikogenik.

Referensi :

1. Tallentire, V.R, Macmahon, MJ . Acute Medicine and Critical Illness. Davidson’s


Principles and Practice of Medicine.Edisi 23. 2018

2. PERDOSSI. 2011. Guideline Stroke. Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru. Fakultas kedokteran Universitas Riau.
3. Bagaimana patomekanisme kesadaran menurun ?

Patofisiologi Kesadaran Menurun

Patofisiologi menerangkan terjadinya kesadaran menurun sebagai akibat dari


berbagai macam gangguan atau penyakit yang masing-masing pada akhirnya
mengacaukan fungsi reticular activating system secara langsung maupun tidak
langsung. Dari studi kasus-kasus koma yang kemudian meninggal dapat dibuat
kesimpulan, bahwa ada tiga tipe lesi /mekanisme yang masing-masing merusak
fungsi reticular activating system, baik secara langsung maupun tidak langsung.7

a. Disfungsi otak difus

1. Proses metabolik atau submikroskopik yang menekan aktivitas neuronal.

2. Lesi yang disebabkan oleh abnormalitas metabolik atau toksik atau oleh
pelepasan general electric (kejang) diduga bersifat subseluler atau molekuler,
atau lesi-lesi mikroskopik yang tersebar.

3. Cedera korteks dan subkorteks bilateral yang luas atau ada kerusakan thalamus
yang berat yang mengakibatkan terputusnya impuls talamokortikal atau
destruksi neuron-neuron korteks bisa karena trauma (kontusio, cedera aksonal
difus), stroke (infark atau perdarahan otak bilateral).

4. Sejumlah penyakit mempunyai pengaruh langsung pada aktivitas metabolik sel-


sel neuron korteks serebri dan nuclei sentral otak seperti meningitis, viral
ensefalitis, hipoksia atau iskemia yang bisa terjadi pada kasus henti jantung.

5. Pada umumnya, kehilangan kesadaran pada kondisi ini setara dengan penurunan
aliran darah otak atau metabolisme otak.7
b. Efek langsung pada batang otak

1. Lesi di batang otak dan diensefalon bagian bawah yang merusak/menghambat


reticular activating system.

2. Lesi anatomik atau lesi destruktif terletak di talamus atau midbrain di mana
neuron-neuron ARAS terlibat langsung.

3. Lebih jarang terjadi.

4. Pola patoanatomik ini merupakan tanda khas stroke batang otak akibat oklusi
arteri basilaris, perdarahan talamus dan batang otak atas, dan traumatic injury.

c. Efek kompresi pada batang otak

1. Lesi masa yang bisa dilihat dengan mudah

2. Massa tumor, abses, infark dengan edema yang masif atau perdarahan
intraserebral, subdural maupun epidural. Biasanya lesi ini hanya mengenai
sebagian dari korteks serebri dan substansia alba dan sebagian besar serebrum
tetap utuh. Tetapi lesi ini mendistorsi struktur yang lebih dalam dan
menyebabkan koma karena efek pendesakan (kompresi) ke lateral dari
struktur tengah bagian dalam dan terjadi herniasi tentorial lobus temporal
yang berakibat kompresi mesensefalon dan area subthalamik reticular
activating system, atau adanya perubahan-perubahan yang lebih meluas di
seluruh hemisfer.

3. Lesi serebelar sebagai penyebab sekunder juga dapat menekan area retikular
batang otak atas dan menggesernya maju ke depan dan ke atas

4. Pada kasus prolonged coma, dijumpai perubahan patologik yang terkait lesi
seluruh bagian sistim saraf korteks dan diensefalon.
Penurunan fungsi fisiologik dengan adanya perubahan-perubahan patologik
yang terjadi pada koma yang berkepanjangan berhubungan erat dengan lesi-lesi
sistem neuron kortikal diensefalik. Jadi prinsipnya semua proses yang menyebabkan
destruksi baik morfologis (perdarahan, metastasis, infiltrasi), biokimia (metabolisme,
infeksi) dan kompresi pada substansia retikularis batang otak paling rostral (nuklei
intralaminaris) dan gangguan difus pada kedua hemisfer serebri menyebabkan
gangguan kesadaran hingga koma. Derajat kesadaran yang menurun secara patologik
bisa merupakan keadaan tidur secara berlebihan (hipersomnia) dan berbagai macam
keadaan yang menunjukkan daya bereaksi di bawah derajat awas-waspada. Keadaan-
keadaan tersebut dinamakan letargia, mutismus akinetik, stupor dan koma.

Bila tidak terdapat penjalaran impuls saraf yang kontinyu dari batang otak ke
serebrum maka kerja otak menjadi sangat terhambat. Hal ini bisa dilihat jika batang
otak mengalami kompresi berat pada sambungan antara mesensefalon dan serebrum
akibat tumor hipofisis biasanya menyebabkan koma yang ireversibel. Saraf kelima
adalah nervus tertinggi yang menjalarkan sejumlah besar sinyal somatosensoris ke
otak. Bila seluruh sinyal ini hilang, maka tingkat aktivitas pada area eksitatorik akan
menurun mendadak dan aktivitas otakpun dengan segera akan sangat menurun,
sampai hampir mendekati keadaan koma yang permanen.

Mekanisme penurunan berdasarkan skenario

Pada skenario menyatakan bahwa pasien mengalami kecelakaan melihat dari


gejala pada sekenario tidak terdapat pendarahan pada area kepala sehingga dapat
disimpulkan bahwa kepala pasien cedera kepala akibat trauma tumpul yang dapat
mengakbatkan fraktur pada kepala hal ini membuat kekuatan akselerasi dan
deselerasi menyebabkan bergeraknya isi dalam tengkorak sehingga memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dengan
benturan. Sehingga arteri meningen media otak rusak dan terjadi hematom epidural.
Bagian otak yang akan mengalami cedera yaitu bagian anterior lobus frontalis dan
temporalis, bagian posterior lobus oksipitalis, dan bagian atas mesonfalon. Dan
mengalami pembengkakan berakibat merusak otak dan herniasi. Jaringan otak yang
tergeser akan menghambat proses oksigen dan glukosa di otak tidak terpenuhi.
apabila proses oksidasi tersebut kurang dari 20 mg% akan menyebakan penurunan
kesadaran (koma).

Selain itu pada skenario disebutkan pasien mengami pendarahan aktif pada
paha kanan, pendarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-
rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung hal inilah yang menimbulkan
penurunan curah jantung. Ketika curah jantung turun, tahahan vaskular sistemik akan
berusaha untuk meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang
cukup bagi jantung dan otak melebihi jaringan lain. Kebutuhan energi untuk
penalaksanaan metabolisme dijantung dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ
itu tidak mampu menyimpan cadangan energi. Sehigga keduanya sangat bergantung
akan kesedian oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat
untuk waktu yang melebihi kemampuan tolenransi jantung dan otak. Ketika tekanann
aterial rata- rata jatuh hingga 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan
fungsi sel di semua organ akan terganggu sehingga dapat menyebabkan penurunan
kesadaran.

Referensi :

1. PERDOSSI. 2011. Guideline Stroke. Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD


Arifin Achmad Pekanbaru. Fakultas kedokteran Universitas Riau.
2. Tahir AM. Patofisiologi Kesadaran Menurun. UMI Med J. 2019;3(1):80–8.
3. Justhesya. Penurunan Kesadaran. Penurunan Kesadaran. 2015;
(September):0–15.
4. Dewi E, Rahayu S. Kegawatdaruratan Syok Hipovolemik. Ber Ilmu
Keperawatan ISSN 1979-2697 [Internet]. 2011;2(2):93–6. Available from:
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/xmlui/bitstream/handle/11617/2043/
BIK_Vol_2_No_2_8_Enita_Dewi.pdf?sequence=1&isAllowed=y
5. Iqbal Tafwid M. Tatalaksana Syok Hipovolemik Et Causa Suspek Intra
Abdominal Hemorrhagic Post Sectio Caesaria. J Agromed Unila.
2015;2(3):203–10.
6. Groeneveld ABJ. Hypovolemic Shock. Crit Care Med Princ Diagnosis
Manag Adult. 2015;2016(1602511171):485–520.
7. KEBUTUHAN AKP, HIDAYAH BS. Poltekkes Kemenkes Ri Padang.
PustakaPoltekkes-PdgAcId [Internet]. 2017; Available from:
http://pustaka.poltekkes-pdg.ac.id/repository/KTI_Bintang_Syarifatul_Hid
ayah_163110159_Poltekkes_Kemenkes2.pdf

4. Bagaimana penganangan awal sesuai dengan skenario ?

4.Penangan awal sesuai dengan scenario

Penanganan awal (Primary Survey)

Penilaian keadaan pasien dan prioritas terapi didasarkan jenis perlukaan, tanda-
tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada pasien yang terluka parah, terapi diberikan
berdasarkan prioritas. Tanda vital pasien harus dinilai secara cepat dan efisien.
Pengelolaan pasien berupa primary survey yang cepat dan kemudian resusitasi,
secondary survey, dan akhirnya terapi definitif. Proses ini merupakan ABCDE-nya
trauma, dan berusaha mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu,
dengan berpatokan pada urutan berikut:
A. Airway, menjaga airway dengan control servikal (cervical spine control)
B. Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
C. Circulation dengan control perdarahan (hemorrhage control)
D. Disability: status neurologis
E. Exposure/environmental control: buka baju pasien, tetapi cegah hipotermia
AIRWAY

Penilaian

Beberapa tanda objektif sumbatan airway dapat diketahui dengan langkah- langkah
berikut :

a. Lihat (look) apakah pasien mengalami agitasi atau kesadaran menurun, agitasi
member kesan adanya hipoksia, dan penurunan kesadaran member kesan adanya
hiperkarbia. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kurangya
oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku da sekitar mulut. Retraksi
dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang apabila ada, merupakan bukti
tambahan adanya gangguan airway.
b. Dengar (listen) adanya suara-suara abnormal pernapasan yang berbunyi (suara,
napas bisik) adalah pernapasan yang tersumbat. Suara mendengkur (snoring),
berkumur (gurgling), dan bersiul (crowing sound, stridor) mungkin berhubungan
dengan sumbatan parsial pada faring atau laring. Suara parau (hoarseness,
dysphonia) menunjukkan sumbatan pada laring. Pasien yang melawan ddan
berkata-kata kasar (gaduh, gelisah) mungkin mengalami hipoksia dan tidak boleh
dianggap karena keracunan/mabuk.
c. Raba (feel) lokasi trakea dan dengan cepat tentukan arah trakea berada di tengah.
Permasalahan

 Lidah yang jatuh ke belakang dan menyumbat orofaring dan glottis (stridor)
 Cairan atau benda semipadat atau benda asing yang menyumbat lumen saluran
pernapasan bagian atas.
 Penekanan saluran pernapasan dari luar.
 Terjadi sumbatan benda padat secara total.
Penanganan

Bila salah satu dari hal-hal tersebut kita temukan maka segeralah lakukan
pembebasan jalan napas. Jalan napas bebas dapat dicapai dengan ekstensi kepala
sehingga lidah terletak di depan dan tidak menutup hipofaring. Hal ini dapat dicapai
dengan menarik dagu ke depan. Bila ada kecurigaan terjadi fraktur tulang leher,
tindakan membebaskan jalan napas dilakukan tanpa ekstensi berlebihan kepala dan
posisi leher harus diimobilisasi. Umumya jalan napas harus terlebih dahulu dibuka,
dibebaskan, dan dibersihkan.

Bila pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin jatuh
ke belakang dan menghambat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat segera
diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver) atau dengan
mendorong rahang bawah kea rah depan (jaw-thrust maneuver), airway selanjutnya
dapat dipertahankan dengan oropharyngeal airway atau nasopharyngeal airway.
Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan atau
memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu, selama mengerjakan prosedur-prosedur
ini harus dilakukan imobilisasi segaris (inline immobilization).

a. Head tilt/chin lift maneuver


Berdasarkan AHA, head tilt/chin lift maneuver adalah teknik paling efektif untuk
membuka jalan napas korban yang tidak sadar. Teknik ini adalah satu-satunya
maneuver yang direkomendasikan untuk penolong awam dan penolong yang
berpengalaman ketika ada trauma kepala atau leher. Head tilt/chin lift maneuver
dilakukan dengan meletakkan satu tangan pada dahi pasien dan kepala
dimiringkan kebelakang. Jari pada tangan lain diletakkan dengan kuat di bawah
bagian tulang yang menonjol pada dagu, angkat dagu ke atas.
b. Jaw Trhust Manuever
Cara ini dilakukan pada korban dengan riwayat trauma servikal. Tindakan jaw-
thrust dilakukan dengan cara memegang sudut rahang bawah (angulus mandibula)
kiri dan kanan serta mendorong rahang bawah ke depan. Hal ini harus dilakukan
secara hati-hati untuk mencegah ekstensi kepala.

c. Heimlich Maneuver
Obstruksi jalan napas dapat disebabkan oleh corpus alienum misalnya karena
tersedak. Tersedak adalah respon fisiologis terhadap obstruksi saluran napas
mendadak. Benda asing obstruksi jalan napas menyebabkan asfiksia dan
merupakan kondisi yang mengkhawatirkan, yang terjadi sangat akut, pasien sering
tidak dapat menjelaskan apa yang terjadi kepada mereka. Jika parah, dapat
menyebabkan hilangnya cepat kesadaran dan kematian jika pertolongan pertama
tidak dilakukan dengan cepat dan berhasil. Jika benda asing tidak tampak di mulut
dan tidak dapat ditangkap dengan jari atau alat harus dilakukan Heimlich. Pasien
dipegang dari belakang setinggi ulu hati dengan kedua tangan : tangan yang satu
memegang tangan yang lain dengan cukup kuat, tangan ditekan sehingga
diafragma naik dan terjadi tekanan tinggi di rongga dada. Posisi tangan yang lebih
dominan mengepal dan tangan yang lain diletakkan di atasnya. Gerakan ini dapat
mengeluarkan benda asing.

d. Back Blows
Back blows adalah pukulan atau tepukan pada punggung pasien sebanyak lima kali
yang dapat dilakukan pada siapapun.

e. Finger sweep
Teknik untuk membersihkan obstruksi mekanik dari saluran napas bagian atas
pada pasien yang tidak sadar. Penyelamat membuka mulut korban dengan
memegang rahang bawah dan lidah antara ibu jari dan jari-jari. Penyelamat
kemudian mencoba untuk menyapu benda asing keluar dari mulut korban dengan
jari.

Apabila dengan cara-cara diatas pasien belum dapat bernapas maka lakukan
pertolongan dengan menggunakan alat seperti di bawah ini :

a. Oropharingeal Airway
Airway oral disisipkan ke dalam mulut dibalik lidah. Teknik yang dipilih adalah
dengan menggunakan spatula lidah untuk menekan lidah dan menyisipkan airway
tersebut ke belakang. Alat ini tidak boleh mendorong lidah kebelakang yang justru
akan membuat airway buntu. Alat ini tidak boleh digunakan pada pasien yang
sadar karena dapat menyebabkan sumbatan, muntah dan aspirasi. Pasien yang
dapat mentoleransi airway orofaringeal kemungkinan besar membutuhkan
intubasi.
b. Nasopharyngeal Airways
Airway nasofaringeal disisipkan pada salah satu lubang hidung dan dilewatkan
dengan hati-hati ke orofaring posterior dengan menggunakan jelly. Alat tersebut
sebaiknya dilumasi baik-baik kemudian disisipkan ke lubang hidung yang tampak
tidak tertutup. Bila hambatan dirasakan selama pemasangan airway, hentikan dan
coba melalui lubang hidung yang lainnya.

BREATHING

Menjamin terbukanya airway merupakan langkah penting pertama untuk


pemberian oksigen pada pasien, tapi itu baru merupakan langkah awal. Airway yang
terbuka tidak akan berguna bagi pasien terkecuali pasien juga mempunyai adekuat
ventilasi dan mencari tanda-tanda objektif dari ventilasi yang tidak adekuat.

Penilaian

Beberapa tanda objektif ventilasi yang tidak adekuat dapat diketahui dengan
mengambil langkah-langkah berikut:

a. Lihat (look) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan udara dinding dada
yang adekuat. Asimetris menunjukkan pembelatan (splinting) atau flail chest dan
tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored breathing) sebaiknya harus
dianggap sebagai ancaman terhadap ventilasi pasien.
b. Dengar (listen) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan atau
tidak terdengarnya suara napas pada satu atau kedua hemitoraks merupakan
adanya cedera dada. Hati-hati terhadap adanya laju pernapasan yang cepat,
takipneu mungkin menunjukkan adanya kekurangan oksigen (respiratory distress).
c. Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi tentang saturasi
oksigen dan perfusi perifer pasien, tetapi tidak memastikan adanya ventilasi yang
adekuat.
Permasalahan

Ventilasi mungkin terganggu oleh sumbatan airway tetapi juga oleh gangguan
pergerakan napas (ventilatory mechanics) atau depresi susunan saraf pusat. Apabila
pernapasan tidak membaik dengan terbukanya airway, penyebab lain harus dicari.
Trauma langsung pada dada, khususnya yang disertai trauma tulang iga,
menyebabkan rasa sakit setiap kali bernapas dan menyebabkan pernapasan yang
cepat, dangkal, dan hipoksemia. Pasien lanjut usia yang mengalami trauma toraks dan
menderita gangguan paru mempunyai resiko bermakna untuk mengalami gagal napas
pada keadaan ini.

Cedera intrakranial dapat menyebabkan pola pernapasan yang abnormal dan


mengganggu ventilasi. Cedera servikal dapat menyebabkan pernapasan diafragmatik
sehingga kemampuan penyesuaian untuk kebutuhan oksigen yang meningkat menjadi
terganggu. Transeksi total servikal, yang masih menyisakan nervus frenikus
menimbulkan pernapasan abdominal dan kelumpuhan otot-otot intercostal. Bantuan
ventilasi mungkin dibutuhkan.

Cedera dinding dada, rongga toraks, atau paru menyebabkan gagal napas. Pada
trauma majemuk, gagal napas dapat pula terjadi bila trauma mengenai abdomen atas.
Cadangan napas dapat menurun bila penderita telah menderita gangguan napas
sebelum terjadi trauma sehingga pertukaran gas tidak cukup. Sindrom gagal napas
pada orang dewasa (Adult respiratory distress syndrome, ARDS) adalah kegagalan
paru karena trauma, syok, sepsis.

Penanganan
Cara menanganinya adalah dengan melakukan ventilasi buatan dan oksigenasi
dengan inflasi tekanan positif secara intermitten dengan menggunakan udara
ekshalasi dari mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke alat (S- tube masker
atau bag valve mask). Ventilasi buatan dengan tekanan positif jangka panjang
sebainya dilakukan melalui intubasi dengan pipa endotrakeal atau dengan
trakeostomi.

a. Mouth to Mouth
Untuk memberikan bantuan pernapasan mulut ke mulut, jalan napas korban harus
terbuka. Tangan penolong masih tetap melakukan teknik membuka jalan napas
chin lift. Hidung korban harus ditutup bisa dengan tangan atau dengan menekan
pipi penolong pada hidung korban. Mulut penolong mencakup seluruh mulut
korban. Mata penolong melihat ke arah dada korban untuk melihat pengembangan
dada. Pemberian pernapasan buatan secara efektif dapat diketahui dengan melihat
pengembangan dada korban. Tiupkan napas dengan lambat, tiupkan setiap napas
lebih dari 2 detik, pastikan ada pengembangan dada korban. Bersiaplah untuk
memberikan sekitar 10 sampai 12 napas per menit (1 nafas setiap 4 sampai 5
detik).

b. Mouth to Nose
Memberikan napas dari mulut ke hidung direkomendasikan jika pemberian napas
buatan melalui mulut korban tidak dapat dilakukan misalnya terdapat luka yang
berat pada mulut korban, mulut tidak dapat dibuka, korban di dalam air atau mulut
penolong tidak dapat mencakup mulut korban.

c. Mouth to Mask
Sebuah masker transparan dengan atau tanpa katup yang digunakan dari mulut ke
masker pernapasan. Ventilasi mulut ke masker sangat efektif karena
memungkinkan penyelamat untuk menggunakan dua tangan untuk membuat
masker terpasang erat di daerah mulut pasien. Ada 2 teknik yang mungkin untuk
menggunakan masker mulut. Teknik pertama posisi penyelamat di atas kepala
korban (cephalic technique). Pada teknik kedua (lateral technique), penyelamat
adalah diposisikan di samping korban dan menggunakan head tilt– chin lift.

d. Bag Valve Mask


Pemberian nafas buatan dengan menggunakan alat dapat meggunakan Bag Valve
Mask (ambu bag). Ambu bag terdiri dari bag yang berfungsi untuk memompa O 2
bebas, valve atau pipa berkatup dan masker yang menutup mulut dan hidung
penderita. Ambu bag sangat efektif bila dilakukan oleh dua orang penolong yang
berpengalaman. Salah seorang penolong mebuka jalan napas dan menempelkan
sungkup di wajah korban dan penolong lain memegang bagging. Teknik ventilasi
bag v alv e mask membutuhkan instruksidan praktek. Penyelamat harus dapat
menggunaka npera lata n secara efektif dalam berbagai situasi.

CIRCULATION

Istilah henti jantung adalah istilah umum yang meliputi konsekuensi


hemodinamik pada asistol, fibrilasi ventrikel, dan disosiasi elektrodinamik.
Berhentinya kontraksi jantung tidak benar-benar terjadi pada dua dari tiga keadaan
ini. Bila curah jantung sangat rendah sehingga semua tanda-tanda henti jantung
muncul.

Penilaian

Yang dibicarakan adalah volume darah dan cardiac output serta, perdarahan.

Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan
mengakibatkan penurunan kesadaran (jangan dibalik: pasien yang sadar belum tentu
normo-volemik). Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Pasien trauma
yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang yang dalam
keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas
yang pucat, merupakan tanda hipovolemia.

Periksalah nadi yang besar seperti A. femoralis atau A. karotis (kiri-kanan),


untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur
biasanya merupakan tanda normovolemia (bila pasien tidak minum obat beta-
blocker). Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat
disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan bahwa
normo-volemia. Nadi yang tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung.
Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya
resusitasi segera untuk memperbaiki volume dan cardiac output.

Permasalahan

Kegagalan sirkulasi yang paling sering terjadi pada korban trauma adalah syok
dan henti jantung yang antara lain terjadi karena perdarahan yang terlalu banyak atau
karena cedera jantungnya sendiri. Tanda-tanda henti jantung adalah: tidak teraba nadi
yang sebelumnya teraba atau tidak ada denyut pembuluh darah besar karotis atau
femoralis. Salah satu atau kedua tanda utama ini berlaku pada semua situasi.

Perlu dibuat diagnosis dengan cepat dalam hitungan detik akan kejadian ini.
Dilatasi pupil terjadi pada henti sirkulasi dan merupakan tanda hipoksia. Hipoksia
dapat juga mendahului henti jantung sehingga sianosis serta midriasis telah ada
walaupun curah jantung tidak berkurang. Tidak ada cadangan nyata oksigen di dalam
tubuh tetapi pada setiap saat tersedia kurang lebih 1000 ml oksigen. Jelas bahwa tidak
semua oksigen ini tersedia sepenuhnya untuk keperluan metabolik. Jadi jika
penggunaan oksigen terus tidak berkurang, “cadangan” akan habis terpakai (paling
lama 3 menit). Secara umum, bila sirkulasi tidak mulai kembali secara spontan, atau
tidak ditambah secara buatan, dalam 3 menit sejak saat berhenti, mungkin tidak ada
gunanya kita memulai resusitasi. Oleh karena itu, henti jantung klinis harus ditangani
segera.

Penanganan

a. Syok
Perdarahan merupakan penyebab syok paling umum pada trauma dan hampir
semua pasien-pasien dengan trauma multipel terjadi hipovolemia. Sebagai
tambahan, kebanyakan pasien dengan syok nonhemoragik memberikan respon
yang singkat terhadap resusitasi cairan. Walaupun tidak lengkap (parsial).
Klasifikasi perdarahan (kehilangan darah) dibagi menjadi empat kelas berdasarkan
tanda-tanda klinis, merupakan perangkat yang penting untuk memperkirakan
presentasi hilangnya darah secara akut. Perubahan-perubahan ini dapat
menunjukkan adanya perdarahan yang sedang terjadidan sebagai pedoman terapi
awal. Penggantian volume darah hendaknya didasarkan atas respon pasien
terhadap terapi awal dan bukan klasifikasi kehilangan darah. Sistem klasifikasi
perdarahan ini berguna untuk menetukan tanda-tanda klinis awal patofisiologi
kodisi syok. Upaya diagnostik dan penangan syok harus dilaksanakan secara
simultan. Prinsip penanganan dasar syok adalah stop perdarahan dan penggantian
volume darah/cairan yang hilang.
Pemeriksaan fisik ditujukan langsung pada diagnosis segera atas cedera yang
mengancam jiwa dan meliputi penilaian ABCDE. Pencatatan data-data awal
penting untuk memonitor respon pasien terhadap terapi. Tanda-tanda vital,
produksi urin, dan tingkat kesadaran merupakan faktor penting. Bila kondisi
memungkinkan, pemeriksaan yang lebih detil perlu dilaksanakan.
Menjamin airway yang paten dengan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
merupakan prioritas pertama. Pemberian oksigen tambahan untuk
mempertahankan saturasi lebih dari 95%. Prioritas dalam sirkulasi meliputi control
perdarahan yang jekas terlihat, memperoleh akses intarvena yang cukup dan
menilai perfusi jaringan. Pendarahan dari luka-luka luar umumnya dapat dikontrol
dengan bebat tekan langsung pada perdarahan.
Terapi awal cairan larutan elektrolit istonik hangat, misalnya Ringer laktat,
digunakan untuk resusitasi awal. Cairan jenis ini mengisi volume vaskuler dengan
cara menggantikan kehilangan cairan penyerta yang hilang ke dalam ruang
itertisial dan intraseluler. Keputusan untuk memberikan transfuse darah didasarkan
pada respon pasien. Tujuan utama transfuse darah adalah untuk mengembalikan
kapasitas angkut oksigen di dalam volume intravaskuler.
b. Chest Compression
Jika korban juga bernapas tidak normal (terengah-engah), penolong harus
mengasumsikan korban mengalami henti jantung. Penyelamat awam harus
melakukan panggilan darurat saat penyelamat menemukan bahwa korban dalam
keadaan tidak responsif, operator harus mampu membimbing penolong awam
untuk memeriksa pernapasan pasien serta langkah-langkah CPR (cardiopulmonary
resuscitation), jika diperlukan. Setelah melakukan panggilan darurat, semua tim
penolong harus segera memulai CPR (lihat langkah-langkah di bawah ini) untuk
korban dewasa yang tidak responsif dengan tidak bernapas atau tidak bernapas
normal (terengah-engah).
Kompresi terdiri dari aplikasi irama dan tekanan yang kuat di pertengahan
sternum. Kompresi mengembalikan aliran darah dengan meningkatkan tekanan
intrathoracic dan langsung menekan jantung. ini menghasilkan aliran darah dan
pengiriman oksigen ke miokardium dan otak. Kompresi dada yang efektif sangat
penting untuk mengembalikan aliran darah selama CPR. Untuk alasan ini semua
pasien dalam. serangan jantung harus menerima kompresi dada. Tim penyelamat
harus berusaha untuk meminimalkan frekuensi dan durasi gangguan dalam
kompresi untuk memaksimalkan jumlah kompresi per menit. Rasio kompresi-
ventilasi 30:2 direkomendasikan dengan kedalaman kompresi 5 cm.
Pedoman AHA 2010 untuk CPR dan ECC merekomendasikan inisiasi
kompresi sebelum ventilasi. Sementara tidak ada bukti manusia atau hewan yang
dipublikasikan menunjukkan bahwa CPR dimulai dengan 30 kompresi lebih dari 2
ventilasi mengarah ke hasil yang lebih baik, jelas bahwa aliran darah bergantung
pada penekanan dada. Untuk memaksimalkan kompresi dada, tempatkan korban
pada permukaan keras bila memungkinkan, dalam terlentang posisi dengan
penyelamat berlutut di samping dada korban atau berdiri di samping tempat tidur.
Karena tempat tidur rumah sakit biasanya tidak keras. Kita merekomendasikan
penggunaan papan meski tidak cukup bukti terhadap penggunaan papan selama
CPR. Penyelamat harus menempatkan satu tangan di tengah (tengah) dari dada
korban dan tangan lainnya di atas tangan pertama sehingga tangan dapat tumpang
tindih dan paralel.
Untuk memberikan kompresi dada yang efektif, mendorong keras (push
hard) dan mendorong cepat (push fast). Hal ini wajar untuk orang awam dan
kesehatan penyedia untuk kompres dada dewasa pada tingkat minimal 100
kompresi per menit dengan kedalaman kompresi minimal 2 inci / 5 cm). Tim
penyelamat harus mengusahakan dada mengembang kembali ke posisi semula
(recoil) disetiap pemberian satu kali kompresi, untuk memungkinkan jantung
untuk mengisi sepenuhnya sebelum kompresi berikutnya.

Indikasi Pengakhiran Resusitasi

a. Tanda- tanda Keberhasilan Resusitasi


Suatu resusitasi yang baik dinilai atas 3 dasar, yaitu:
 Fungsi otak, pernapasan dan jantung dapat dipertahankan. Bila O2 yang
dibutuhkan oleh jaringan otak dapat mencegah terjadinya kerusakan cerebral,
maka ini dapat dinilai dari beberapa reaksi, antara lain:
 Berdasarkan diameter pupil. Bila miosis, menunjukkan hasil yang baik dan bila
midriasis menetap, menunjukkan hasil buruk.
 Refleks pupil
 Reflex air mata
 Struggling (meronta-ronta)
 Tonus otot meningkat
Bila hal di atas positif, maka hal tersebut menunjukkan indikasi ke arah perbaikan:

 Terjadi spontanitas respirasi


Penilaian terhadap respirasi dapat dibagi menjadi:
1) Pernapasan menjadi normal atau apneu, gasping (megap-megap) atau
pernapasan cheyne-stokes
2) Frekuensi pernapasan berkisar antara 16-20 kali/menit
3) Amplitudo pernapasan yang meninggiFungsi kardiovaskular
 Fungsi kardiovaskuler dapat diketahui dari denyut nadi yang teratur dan kuat
dan juga dari tekanan darah. Bila fungsi kardiovaskuler telah kembali normal,
maka dilakukan penilaian:
1) Monitoring dari organ-organ vital dalam, antara lain kardiovaskuler, ginjal,
dan keseimbangan asam dan basa.
2) Apakah terdapat fibrilasi ventrikuler dan takikardi ventrikuler yang berulang.
b. Tanda-tanda Kegagalan Resusitasi
Tanda- tanda dari kegagalan resusitasi dapat dibagi menjadi beberapa hal, yakni :
 Interval waktu yang terlalu lama antara fase cardiopulmonary arrest dengan
tindakan resusitasi yang dilakukan. Bila jarak ini lebih dari 3 menit, maka
kemungkinan besar kerusakan yang cerebral yang irreversible telah terjadi,
sehingga tindakan resusitasi tidak akan berhasil
 Progresivitas yang pasti dari keadaan ini dapat diketahui, akan tetapi secara
klinis terdapat perburukan dari fungsi respirasi atau fungsi kardiovaskular yang
dimanifestasikan pada perburukan fungsi serebral
 Teknik resusitasi yang salah

c. Penghentian Tindakan resusitasi


 Kematian klinis
Secara klinis tindakan resusitasi dapat dihentikan apabila setelah 1-1,5 jam
jantung berhenti dan pasien tetap tidak dapat menunjukkan kesadaran.
 Kematian jantung
Dapat dimulai dengan tandanya monitoring EKG dalam waktu paling sedikit 30
menit setelah tindakan resusitasi selama pemberian obat-obatan.
 Kematian otak
Secara total bila tidak terdapat aktivitas elektroensepalografi dan secara klinis
terjadi pelebaran pupil paling sedikit selama 1-2 jam maka dapat dianggap
sebagai indikasi untuk menghentikan resusitasi.
 Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif.
 Upaya resusitasi telah diambil alih orang yang bertanggung jawab.
 Penolong terlalu capek sehingga tak sanggup meneruskan resusitasi. Setelah
dimulai resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien berada dalam
stadium terminal suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan atau hampir dapat
dipastikan bahwa fungsi serebral akan pulih.

DISABILITY

a. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/AVPU


b. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, refleks cahaya dan awasi tanda-tanda
lateralisasi
c. Evaluasi dan re-evaluasi airway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.

EKSPOSURE

a. Buka pakaian penderita


b. Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup
hangat.
Obat yang digunakan

Pada scenario kemungkinan pasien mengalami syok hipovolemik. syok


hipovolemik merupakan syok yang terjadi akibat berkurangnya volume plasma di
intravascular. Penyebab utama syok hipovilemik adalah perdarahan, dimana
pernarahan menurunkan filling pressure sirkulasi dan kemudian juga menurunkan
venous return. Terapi cairan merupakan terapi yang paling penting pada syok
hipovolemik, disertai penghentian proses perdarahan pada syok hipovolemik
hemoragik.

Tatalaksana syok sejak dini berdampak sangat bermakna pada perbaikan


klinis dengan target utama mengembalikan tekanan darah, nadi, dan perfusi organ
secara optimal.

Cairan Infus (Isotonic Balanced Full Electrolyte Solutions)

Indikasi pemberiannya pada semua kasus syok, ketika cardiac preload berkurang
karena berkurangnya volume intravaskuler atau adanya obstruksi. Mekanisme
kerjanya dengan menggantikan cairan yang hilang karena imbalans elektrolit atau
volume shift, peningkatan stroke volume dengan meningkatkan cardiac preload.

Efek samping bisa terjadi volume overload, pulmonary edema, peripheral edema.
Dosis inisial diberikan dengan 10–20 mL/kg i. v. dapat diberikan terus-menerus
bergantung pada efek dan respon pasien.

Vasoconstrictors, Positive Inotropic Agents, and Vasodilators

Epinephrine
Indikasi pemberian epinefrin adalah pada semua tipe syok, ketika penggunaan 
katekolamin lainnya gagal mencapai keadaan vasokonstriksi yang diinginkan dan
meningkatkan inotropik: resusitasi jantung paru, syok anafilaktik. Mekanisme kerja
epinefrin menyebabkan konstriksi melalui  α1-Receptor-mediated vasoConstriction
dan β1-Receptor-mediated positive inotropia serta β2-Receptor-mediated
bronchodilation.

Efek samping yang dapat terjadi adalah iskemia miokard, stress cardiomyopathy,
tachyarrhythmias, oliguria/anuria.

Dosis epinefrin adalah 0.3–0.6 mg IM,dapat diberikan kontinyu berdasarkan efek dan


kebutuhan: 0.05 hingga 1.0 (hingga maksimum dosis 5.0) μg/kg/menit IV pemberian
saat resusitasi jantung paru: 1 mg secara IV. setiap 3–5 menit.

Dobutamine

Indikasi pemberian dobutamine pada semua jenis syok dengan insufisiensi fungsi
pompa ventrikel, mekanisme kerja dobutamine terutama β1-receptor mediated
positive inotropic effect, efek samping yang dapat terjadi adalah peningkatan heart
rate ≥ 30/menit, peningkatan tekanan darah ≥ 50 mmHg, nyeri kepala, cardiac
arrhythmias, kemungkinan terjadi penurunan tekanan darah disebabkan oleh β2-
receptor-mediated vasodilation.

Dosis dobutamine dapat diberikan secara kontinyu bergantung pada efek dan
kebutuhan tiap pasien yaitu: 2.5 hingga 5 (dengan dosis maksimum 10) μg/kg per min
i. v.

Norepinephrine

Indikasi norepinephrine diberikan pada semua jenis syok dengan penurunan resistensi
perifer . mekanisme kerja terutama α1-receptor mediated vasoconstriction, (low)
positive inotropic effects. Efek samping yang mungkin terjadi adalah iskemia perifer,
peningkatan tekanan darah, reflex bradycardia, dan cardiac arrhythmias.

Dosis kontinyu diberikan bergantung pada efek dan kebutuhan yaitu: 0.1–1.0
μg/kg/menit IV. pemberian dengan Bolus: 5–10 μg IV

Referensi:

Henry Sharon, MD, Karen Brasel, MD, Ronald M. Stewart, MD, FACS. 2018.
“ATLS : Advanced Trauma Life Support Tenth Edition” The Committee on Trauma:
American College of Surgeon

Standl, Thomas et al. The Nomenclature, Definition and Distinction of Types of


Shock. Dtsch Arztebl Int 2018; 115: 757–68. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6323133/pdf/Dtsch_Arztebl_Int-
115_0757.pdf

Leksana,Ery. Dehidrasi dan Syok. CDK-228/ vol. 42 no. 5, th. 2015. Available from :
https://kalbemed.com/DesktopModules/EasyDNNNews/DocumentDownload.ashx?
portalid=0&moduleid=471&articleid=1059&documentid=1706

5. Bagaimana tindak lanjut setelah penanganangan awal ?

5. Bagaimana tindak lanjut setelah penanganan awal ?

SECONDARY SURVEY
Secondary survey adalah pemeriksaan kepala-sampai-kaki (head to toe examination),
termasuk pemeriksaan tanda vital. Secondary survey baru dilaksanakan setelah
primary survey selesai, resusitasi sudah dilakukan, dan ABC-nya penderita dipastikan
membaik. Pada secondary surveyini dilakukan pemeriksaan neurologi lengkap,
termasuk mencatat skor GCS bila belum dilaksanakan dalam survey primer, pada
kasus ini perlu diperhatikan pula tanda lateralisasi, dan reaksi pupil untuk mendeteksi
kemunduran neurologi sedini mungkin . Pada secondary survey ini juga dilakukan
pemeriksaan radiologi yg diperlukan.. Evaluasi radiologis dan pemeriksaan
laboratorium juga dikerjakan pada kesempatan ini evaluasi lengkap dari penderita
memerlukan pemeriksaan berulang-ulang.

ANAMNESIS

A – Alergi
M – Medikasi (obat yang diminum saat ini)
P – Past Illness (penyakit penyerta)Pregnancy
L – Last Meal
E – Event / Environment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan
1) Trauma tumpul
2) Trauma tajam
3) Perlukaan karena suhu / panas
4) Bahan berbahaya (HAZMAT-Hazardous Material)

PEMERIKSAAN FISIK

1) Kepala
2) Maksilo-fasial
3) Vertebra Servikalis dan Leher
4) Thoraks
5) Abdomen
6) Perineum
7) Muskuloskeletal
8) Neurologis
a) Head
Observasi dan palpasi ukuran dan respon pupil, telinga, membran thympani diperiksa
untuk melihat adanya darah atau CSF, Battle’s sign (echymosis di mastoid) yang
menunjukkan adanya fraktur basis cranii. Serta diperiksa dan dicari cedera didaerah
maksillofacial dan cervical spine.
b) Neck
Harus diimobilisasi jika dicurigai ada cedera cervical. Rontgen cervical lateral (C1-
C7) harus dikerjakan.
c) Chest
Inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi serta foto thoraks. Diperiksa dan dicari
pelebaran mediastinum, fracture costa, flail segment, haemothoraks, pneumothoraks,
dan contusion paru
d) Abdomen
Fokus pada pemeriksaan untuk mencari kondisi akut yang membutuhkan intervensi
bedah. Keputusan untuk segera melaksanakan DPL, CT-Scan, atau laparatomi cito
harus segera diambil
e) Rectal
Adanya darah menunjukkan perforasi rectum, prostat letak tinggi menandakan
adanya ruptur uretra, terabanya fragmen tulang di dinding rectum menunjukkan
adanya fraktur pelvis.
f) Examination of Extremitas
Dicari adanya cedera vascular dan musculoskeletal. Hilangnya denyut nadi perifer
merupakan indikasi dilakukannya aortografi.
g) Neurologic Examination
Pemeriksaan untuk menentukan fungsi cerebral hemispheric, brainstem, dan spinal
levels.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan laboratorium ada yang bersifat segera (cito) dan ada pula yang
bersifat terencana (menunggu hasil pemeriksaan fisik lengkap, EKG, radiologi,
dan sebagainya). Pemeriksaan laboratorik yang bersifat segera pada umumnya
meliputi pemeriksaan glukosa darah, jumlah leukosit, kadar hemoglobin,
hematokrit. Dan analisis gas darah. Yang terakhir ini hanya dapat dikerjakan di
rumah sakit yang lengkap fasilitasnya. Secara umum, pemeriksaan darah
sehubungan dengan koma meliputi pemeriksaan rutin lengkap, kadar glukosa
darah, elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, gas darah. Pada kasus tertentu
(meningitis enscfalitis, perdarahan subaraknoidal) diperlukan tindakan pungsi
lumbal dan kemudian dilakukan analisis cairan serebrospinal.
2) Pemeriksaan elektrofisiologi pada kasus koma bersifat terbatas kecuali
pemeriksaan EKG. Pemeriksaan eko-ensefalografi bersifat noninvasif, dapat
dikerjakan dengan mudah, tetapl manfaat diagnostiknya terbatas. Apabila ada CT
Scan maka pemeriksaan ekoensefalografi tidak perlu dikerjakan. Pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG) terutama dikerjakan pada kasus mati otak (brain
death).
3) Pemeriksaan radiologik dalam penanganan kasus koma tidak selamanya mutlak
perlu. CT Scan akan sangat bermanfaat pada kasus-kasus lesi otak (GPDO),
neoplasma, abses, trauma kapitis, dan hidrosefalus. Koma metabolik pada
umumnya tidak memerlukan pemeriksaan CT Scan kepala. Dalam kasus
demikian ini justru pemeriksaan laboratorium patologi klinik lebih bermanfaat.
Foto dada bersifat selektif, bergantung pada situasi klinis dan riwayat
sebelumnya.

RE-EVALUASI
Penurunan kesadaran dapat dikenal apabila dilakukan evaluasi ulang terus
menerus, sehingga gejala yang baru timbul segera dapat dikenali dan dapat ditangani
secepatnya. Monitoring tanda vital dan produksi urin penting. Produksi urin orang
dewasa sebaiknya dijaga ½ cc/kgBB/jam, pada anak 1 cc/kgBB/jam. Bila penderita
dalam keadaan kritis dapat dipakai pulse oximeter dan end tidal CO 2 monitoring.
Penanganan rasa nyeri merupakan hal yang penting. Golongan opiate atau anxiolitika
harus diberikan secara intravena dan sebaiknya jangan intra muscular.

TERAPI DEFINITIF
Terapi definitif dimulai setelah primary dan secondary survey selesai. Untuk
keputusan merujuk penderita dapat dipakai Interhospital Triage Criteria. Apabila
keputusan merujuk penderita telah diambil, maka harus dipilih rumah sakit terdekat
yang cocok untuk penanganan pasien.

Referensi :
- Pehimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Buku Ajar
Neuorologi Klinis. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. 2011.
- American Collage Of Surgeons Committee On Trauma. Advanced Trauma
Life Support Untuk Dokter. United States Of America: Komisi ATLS Pusat.
2006.
- Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2009; 133-140.

6. Apa yang menjadi syarat – syarat transportasi dan rujukan ?

A. Syarat Korban Untuk Dapat di Evakuasi


a. Penilaian awal sudah dilakukan lengkap, dan keaadan umum korban dipantau
terus.
b. Denyut nadi dan napas korban stabil dan dalam batas normal.
c. Perdarahan yang sudah diatasi dan dikendalikan.
d. Patah tulang yang ada sudah ditangani.
e. Mutlak tidak ada cedera.
f. Rute yang dilalui memungkinkan dan tidak membahayakan penolong dan
korban.

B. Hal yang harus diperhatikan bagaimana posisi korban pada saat diberi tindakan
1). Korban duduk Pada kecelakaan lalu lintas sering terjadi pada korban yang
masih berada di dalam kendaraan. Sebelum melakukan evakuasi korban, penolong
harus menentukan apakah penolong dalam keadaan stabil atau tidak stabil, apakah
perlu evakuasi segera.
2). Korban berbaring Pada saat kejadian kecelakaan sehari-hari mungkin
didapatkan korban pada posisi berbaring, tetapi mungkin dalam posisi terlentang
atau mungkin juga dalam posisi tertutup. Pada saat melakukan pemindahan
perhatikan adakah kemungkinan cedera pada tulang belakang atau tidak. Bila
terdapat fraktur tulang atau dicurigai adanya fraktur lakukan immobilisasi dahulu
sebelum pengangkatan pasien.
3). Korban yang menggunakan helmet Pada kecelakaan lalu lintas terutama pasien
dengan kendaraan roda dua yang menggunakan helm. Bila dalam keadaan tidak
sadar dan menggunakan helm, maka helm harus dibuka terlebih dahulu. Helm
dengan bagian muka terbuka mungkin tidak ada masalah untuk membukanya,
tetapi jenis helm yang tertutup seluruhnya, perlu cara khusus untuk membukanya.
Pada saat membuka harus ditentukan adakah kemungkinan/dugaan fraktur pada
tulang leher, lakukan immobilisasi kepala pada saat membuka helm kemudian
pasang collar splint pada saat melakukan prosedur pemeriksaan lain.
C. Macam-macam situasi pemindahan penderita, Seberapa cepat anda harus
memindahkan penderita? Haruskah menyelesaikan masalah sebelum memindahkan
penderita? Berapa lama waktu yang harus dihabiskan dalam waktu perlindungan
spinal dan keamanan penderita lain? Jawabannya adalah tergantung pada situasi.
a. Pemindahan Darurat (Emergency) terdapat 3 situasi yang memerlukan
penerapan pemindahan darurat.
1). Tempat kejadian berbahaya. Bahaya mengharuskan untuk memindahkan
penderita dengan cepat untuk melindungi penolong dan penderita. Hal ini
dapat terjadi jika terdapat lalu lintas yang tidak terkontrol, api atau ancaman
api, kemungkinan ledakan, bahaya listrik, gas beracun atau radiasi.
2). Perawatan kondisi yang mengancam hidup memerlukan resusitasi.
Penolong mungkin harus memindahkan penderita ke permukaan yang keras
dan rata untuk melakukan RJP atau penolong mungkin harus memindahkan
penderita untuk menolong perdarahan yang mengancam hidup.
3) Penolong harus menolong penderita lain. Jika ada penderita lain pada
tempat kejadian yang memerlukan perawatan untuk masalah yang
mengancam hidup, penolong mungkin harus memindahkan penderita lain
untuk memeriksa penderita dengan kondisi yang mengancam hidup.
b. Pemindahan mendesak (urgency) Pemindahan mendesak diperlukan ketika
penderita harus dipindahkan dengan cepat untuk mengatasi bahaya yang
mengancam hidup, namun tidak seperti pemindahan darurat, pemindahan ini
dilakukan dengan tindakan pencegahan cedera tulang belakang. Contoh kondisi
dimana pemindahan mendesak diperlukan antara lain:
1). Perawatan kondisi penderita memerlukan pemindahan. Penderita harus
dipindahkan untuk memperbaiki pernafasan yang tidak adekuat atau
mengobati shock atau gangguan status kejiwaan.
2). Faktor faktor pada tempat kejadian menyebabkan kondisi penderita
menurun. Jika kondisi penderita menurun dengan cepat karena panas atau
dingin, misalnya, dia harus mungkin dipindahkan.
3). Memindahkan penderita ke papan spinal yang panjang, juga disebut papan
(longspineboard), merupakan pemindahan mendesak yang digunakan ketika
terdapat bahaya yang mengancam hidup dan kecurigaan cedera spinal. Jika
penderita telentang pada tanah, maneuver log roll (menggulingkan) harus
dilakukan untuk memindahkan penderita ke samping. Papan spinal kemudian
di tempatkan di dekat tubuh penderita lalu di gulingkan kembali ke papan.
Setelah penderita aman dan diimobilisasi ke papan spinal, papan dan penderita
diangkat bersamaan ke tandu dan dimasukkan ke ambulans.
c. Pemindahan tidak mendesak Ketika tidak ada bahaya yang mengancam hidup,
penderita harus dipindahkan ketika transportasi sudah tersedia, menggunakan
pemindahan tidak mendesak. Pemeriksaan pada tempat kejadian dan perawatan
pada tempat kejadian yang diperlukan, seperti pembidaian, harus dilakukan
terlebih dahulu. Pemindahan tidak mendesak harus dilakukan untuk mencegah
cedera atau cedera tambahan pada penderita dan untuk menghindari
ketidaknyamanan dan nyeri.

D. Evakuasi korban
Pada dasarnya syarat korban dievakuasi yaitu:
a. Penilaian awal sudah dilakukan lengkap, dan monitor terus
keadaan umum korban.
b. Denyut nadi dan napas korban stabil dan dalam batas
normal.
c. Perdarahan yang ada sudah diatasi dan dikendalikan.
d. Patah tulang yang ada sudah diatasi.
e. Mutlak tidak ada cedera spinal.
f. Rute yang dilalui memungkinan dan tidak membahayakan penolong
dan korban.

Penggunaan tubuh penolong dalam melakukan pengangkatan dan


pemindahan korban perlu mendapatkan perhatian yang serius. Jangan sampai
akibat cara melakukan yang salah mengakibatkan cedera atau keadaan korban
bertambah parah, atau bahkan penolong mengalami cedera. Untuk mencegah hal-hal
diatas ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu:
a) Pikirkan kesulitan memindahkan sebelum mencobanya.
b) Jangan coba angkat dan turunkan korban jika tidak dapat
mengendalikannya.
c) Selalu mulai dari posisi seimbang dan tetap jaga
keseimbangan.
d) Rencanakan pergerakan sebelum mengangkat.
e) Upayakan untuk memindahkan beban serapat mungkin dengan
tubuh penolong.
f) Lakukan gerakan secara menyeluruh, serentak dan upayakan agar
bagian tubuh saling menopang.
g) Bila dapat kurangi jaraj atau tinggi yang harus dilalui korban. h) Perbaiki
posisi dan angkat secara bertahap.
i) Punggung tegak waktu mengangkat korban atau menjaga kelurusan
tulang belakang.

1) Aturan umum tentang evakuasi:

 Perhatikan kondisi korban, apakah mengalami cedera atau trauma


yang membutuhkan he hati.
 Hati dalam keadaan pengevakuasian.
 Bila mungkin terangkan kepada korban apa yang dilakukan, agar
dapat bekerjasama.
 Jangan pindahkan korban sendiri kalau bantuan belum tersedia.
 Jika beberapa orang melakukan evakuasi, 1 orang memberikan
komando.
 Angkat dan bawa korban dengan benar agar tidak mengalami
cedera otot/sendi.
 Jangan abaikan keselamatan penolong sendiri

2) Aturan dalam mengangkat dan menurunkan korban:


 Tempatkan posisi kaki senyaman mungkin, salah satu kaki kedepan
guna menjaga keseimbangan.
 Pegang korban/balut dengan seluruh jari tangan.
 Tegakkan badan dan tekukkan lutut.
 Usahakan badan korban yang diangkat dekat dengan penolong
 Jika kehilangannkeseimbangan/pegangan, letakkan korban, atur posisi
kembali, lalu mulai kembali mengangkat.

3) Hal-hal yang harus diperhatikan bila membawa korban dengan


tandu:
 Tandu diperiksa dari kerusakan, dicoba apa mampu menahan berat
korban.
 Korban yang tidak sadar dibawa ketempat jauh, sebaiknya
selalu diikat.
 Penolong yang paling berpengalaman, memberi komando untuk
tiap gerakan.
 Kaki korban selalu didepan kecuali pada keadaan:
 Korban cedera tungkai berat menuruni tangga/turun di
tempat yang miring.
 Korban hipotermia menuruni tangga/turun di tempat yang miring.
 Korban dengan stroke/kompresi otak tidak boleh di angkat
dengan kepala lebih rendah dari kaki.

Referensi
Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik. Binarupa Aksara :
Jakarta. 2011.

7. Apa prespektif islam ?

Artinya :

“Barang siapa yang ketika keluar dari rumahnya membaca doa “Bismillahi
tawakkaltu ‘alallah laa haula wa laa quwwata illaa billah” (Dengan menyebut nama
Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan upaya kecuali dari Allah),
maka dikatakan kepadanya: kamu telah tercukup dan terlindungi, dan syetan pun
akan menjauh darinya.”

(HR. Tirmidzi; hasan shahih. Hadits senada diriwayatkan juga oleh Abu Daud)
"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman." (QS. Yunus: 57).

”Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku”

(QS Asy Syuara: 80)

Daftar pustaka

1. Pehimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Buku Ajar


Neuorologi Klinis. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. 2011.
2. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik. Binarupa Aksara : Jakarta.
2011.
3. Tallentire, V.R, Macmahon, MJ . Acute Medicine and Critical Illness.
Davidson’s Principles and Practice of Medicine.Edisi 23. 2018
4. PERDOSSI. 2011. Guideline Stroke. Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru. Fakultas kedokteran Universitas Riau.
5. Tahir AM. Patofisiologi Kesadaran Menurun. UMI Med J. 2019;3(1):80–8.
6. Justhesya. Penurunan Kesadaran. Penurunan Kesadaran. 2015;(September):0–15.
7. Dewi E, Rahayu S. Kegawatdaruratan Syok Hipovolemik. Ber Ilmu
Keperawatan ISSN 1979-2697 [Internet]. 2011;2(2):93–6. Available from:
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/xmlui/bitstream/handle/11617/2043/
BIK_Vol_2_No_2_8_Enita_Dewi.pdf?sequence=1&isAllowed=y
8. Iqbal Tafwid M. Tatalaksana Syok Hipovolemik Et Causa Suspek Intra
Abdominal Hemorrhagic Post Sectio Caesaria. J Agromed Unila. 2015;2(3):203–
10.
9. Groeneveld ABJ. Hypovolemic Shock. Crit Care Med Princ Diagnosis Manag
Adult. 2015;2016(1602511171):485–520.
10. KEBUTUHAN AKP, HIDAYAH BS. Poltekkes Kemenkes Ri Padang.
PustakaPoltekkes-PdgAcId [Internet]. 2017; Available from:
http://pustaka.poltekkes-pdg.ac.id/repository/KTI_Bintang_Syarifatul_Hidayah_
163110159_Poltekkes_Kemenkes2.pdf
11. Henry Sharon, MD, Karen Brasel, MD, Ronald M. Stewart, MD, FACS. 2018.
“ATLS : Advanced Trauma Life Support Tenth Edition” The Committee on
Trauma: American College of Surgeon
12. Standl, Thomas et al. The Nomenclature, Definition and Distinction of Types of
Shock. Dtsch Arztebl Int 2018; 115: 757–68. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6323133/pdf/Dtsch_Arztebl_Int
-115_0757.pdf
13. Leksana,Ery. Dehidrasi dan Syok. CDK-228/ vol. 42 no. 5, th. 2015. Available
from :
https://kalbemed.com/DesktopModules/EasyDNNNews/DocumentDownload.as
hx?portalid=0&moduleid=471&articleid=1059&documentid=1706
14. Pehimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Buku Ajar
Neuorologi Klinis. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. 2011.
15. American Collage Of Surgeons Committee On Trauma. Advanced Trauma Life
Support Untuk Dokter. United States Of America: Komisi ATLS Pusat. 2006.
16. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2009; 133-140.
17. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik. Binarupa Aksara :
Jakarta. 2011.
18.

Anda mungkin juga menyukai