Anda di halaman 1dari 39

KELOMPOK 8

DIABTES MELITUS TIPE 2 DENGAN KOMPLIKASI

KETOASIDOSIS DIABETIK

Pembimbing Tutor : dr. Asro Hayani

Oktovia Rezka N. G1A113030

Salsabila Ariefani G1A113031

Maya Sari Rahayu G1A113032

Intan Mustika G1A113034

Juzaini Dika N. G1A113035

Fithrya Dian Sari G1A113036

Weny Astika Dewi G1A113037

Maisarah G1A113038

Argius Tumanggor G1A113053

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2015/2016
SKENARIO

Tn.A 56 tahun dibawa ke IGD dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 3 jam sebelum
masuk rumah sakit. Pasien mengeluhkan sesak nafas dan panas tinggi sehari sebelumnya.
Pasien juga mengeluh luka pada telapak kaki disertai bagian tungkai bawah yang bengkak,
merah dan nyeri sejak 3 hari sebelumnya. Dari alloanamnesis kepada keluarganya didapatkan
Tn. A sering kencing, selalu merasa haus disertai lapar. Enam bulan yang lalu pasien pernah
dirawat karena merasa lemas dan gula darahnya mencapai > 600 mg/dl, tetapi tidak sesak
seperti ini.. Ketika pulang dari RS pasien diberikan obat minum tetapi tidak diminum teratur
karena lebih memilih obat herbal.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tampak sakit berat, sekujur tubuh berkeringat dingin,
kesadaran somnolen, tanda rangsang meningeal tidak ditemukan, Tensi 90/60 mmHg, Nadi
100 x/menit kecil halus, RR 36 x/menit nafas Kusmaull, T: 39,5 C. Konjungtiva tak pucat,
jantung dalam batas normal, pulmo ronki tak ada, abdomen supel hepar dan lien tak teraba,
plantar pedis sinistra bengkak +, merah +, nanah +, tak ada hemiparese. Pada pemeriksaan
gula darah 450 mg, leukosit 20.000, reduksi +4, Urin keton+. Anda sebagai dokter jaga IGD,
bagaimana menangani kasus demikian?

Keyword: Hiperglikemia, penurunan kesadaran, luka infeksi di kaki, gula darah tinggi tanpa
sesak.
KLARIFIKASI ISTILAH

1. Alloanamnesis : Anamnesis yang dilakukan kepada orang lain selain pasien mengenai
suatu keadaan kesehatan pasien.
2. Somnolen : Keadaan menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah
tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang.
3. Rangsang Meningeal Sign: Rangsangan yang timbul bila ada iritasi pada
meningen/selaput otak (otak & medulla spinalis), biasanya muncul pada meningitis &
stroke hemorrhage
4. Nafas Kusmaull : Pernapasan yang sangat dalam, bisa cepat, normal, lambat
5. Hemiparase : Terjadi kelemahan pada sebagian ekstremitas
6. Abdomen supel : apabila dilakukan palpasi terasa lembek pada abdomen
IDENTIFIKASI MASALAH

1. Apa yang menyebabkan terjadi penurunan kesadaran?

2.Apa saja tingkat kesadaran?

3.Bagaimana mekanisme penurunan kesadaran?

4. Bagaiman mekanisme dan apa makna klinis sesak napas dan panas tinggi?

5.Apa hubungan tungkai yang luka dengan keluhan pasien?

6.Bagaimana mekanisme dan apa makna klinis sering kencing, haus, dan lapar, serta
hubungannya dengan keluhan?

7. Apa hubungan riwayat penyakit dulu dgn keluhan sekarang?

8.Apa makna klinis gula darah >600mg/dl dan berapa nilai normalnya?

9.Apa makna klinis dari keluhan terdahulu(lemas, gula darah>600 mg/dl, tidak sesak napas)?

10. Apa saja obat yang mungkin diberikan saat pulang dari RS 6 bulan lalu?

11. Apa hubungan obat diminum tidak teratur dengan keluhan sekarang?

12.Apa makna klinis dari pemeriksaan fisik & pemeriksaan penunjang?

13. Bagaimana alur penegakan diagnosis?

14.Apa saja diagnosis banding dari keluhan Tn. A?

15. Apa yang terjadi pada Tn. A?

16. Apa definisi & klasifikasi penyakit Tn. A?

17. Bagaimana epidemiologi penyakit Tn. A?

18. Bagaimana etiologi penyakit Tn. A?

19. Bagaimana patofisiologi penyakit Tn. A?

20.Apa manifestasi klinis penyakit Tn. A?

21. Bagaimana alur diagnosis dari penyakit Tn. A?

22.Bagaimana tata laksana dari penyakit Tn. A?

23. Bagaimana komplikasi dari penyakit Tn. A?

24.Bagaimana prognosis dari penyakit Tn. A?


ANALISIS MASALAH

1. Apa yang menyebabkan terjadi penurunan kesadaran?

Secara garis besar dapat disingkat/dibuat jembatan keledai menjadi kalimat


SEMENITE. Selain itu ada juga beberapa buku yang menggunakan jembatan keledai yang
berbeda tetapi memiliki pengertian yang sama. Dari jembatan keledai ini kita juga dapat
membedakan manakah yang termasuk ke dalam koma bihemisferik ataupun koma
diensefalik.1,2

S ; Sirkulasi gangguan pembuluh darah otak (perdarahan maupun infark)

E ; Ensefalitis akibat infeksi baik oleh bakteri, virus, jamur, dll

M ; Metabolik akibat gangguan metabolic yang menekan/mengganggu kinerja otak.


(gangguan hepar, uremia, hipoglikemia, koma diabetikum, dsb).

E ; Elektrolit gangguan keseimbangan elektrolit (seperti kalium, natrium).

N ; Neoplasma tumor baik primer ataupun sekunder yang menyebabkan penekanan


intracranial. Biasanya dengan gejala TIK meningkat (papiledema, bradikardi, muntah).

I ; Intoksikasi keracunan.

T ; Trauma kecelakaan.

E ; Epilepsi

Macam-macam penyakit yang berhubungan dengan penurunan kesadaran3

1. Intracranial cause
Anoxic brain injury/head trauma
Ischemic stroke intracerebral hemorrhage
Subarachnoid hemorrhage
Meningitis/encephalitis
2. Metabolic cause
Hipoglikemia
Ketoasidosi Diabetikum (KAD)
Hiperglikemia HIperosmolar Non Keton (HHNK)
Hipernatremia/Hiponatremia
Hiperkalemia
Heat Stroke
Myxedema
Carbon Monoxide Poisoning
2.Apa saja tingkat kesadaran?4

a) Kompos mentis : sadar sepenuhnya


b) Apatis : pasien tampak acuh tak acuh terhadap sekitar
c) Delirium : penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus
tidur terganggu. Pasien tampak gelisah
d) Somnolen (letargi) : keadaan mengantuk, sadar apabila dirangsang tetapi apabila
rangsangan berhenti akan tertidur kembali
e) Stupor : keadaan mengantuk yang dalam. Pasien bisa dibangunkan
dengan rangsangan yang kuat/nyeri tapi tidak terbangun sempurna, tidak bisa
memberikan jawaban verbal yang baik
f) Semi koma : penuruanan kesadaran yang tidak memberikan respon terhadap
rangsang verbal, dan tidak bisa dibangunkan sama sekali tetapi refleks kornea dan
pupil masih baik. Respon terhadap rangsang nyeri juga tidak adekuat
g) Koma : penurunan kesadaran yang sangat dalam tidak ada gerakan
spontan dan tidak ada respon terhadap rangsang nyeri.

3.Bagaimana mekanisme penurunan kesadaran?5

Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua hemisfer
serebri dan Ascending Reticular Activating System (ARAS). Jika terjadi kelainan pada kedua
sistem ini, baik yang melibatkan sistem anatomi maupun fungsional akan mengakibatkan
terjadinya penurunan kesadaran dengan berbagai tingkatan. Ascending Reticular Activating
System merupakan suatu rangkaian atau network system yang dari kaudal berasal dari
medulla spinalis menuju rostral yaitu diensefalon melalui brain stem sehingga kelainan yang
mengenai lintasan ARAS tersebut berada diantara medulla, pons, mesencephalon menuju ke
subthalamus, hipothalamus, thalamus dan akan menimbulkan penurunan derajat kesadaran.
Neurotransmiter yang berperan pada ARAS antara lain neurotransmiter kolinergik,
monoaminergik dan gamma aminobutyric acid (GABA). Kesadaran ditentukan oleh interaksi
kontinu antara fungsi korteks serebri termasuk ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas),
dengan ascending reticular activating system (ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari
pertengahan bagian atas pons. ARAS menerima serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras
sensoris dan melalui thalamic relay nuclei dipancarkan secara difus ke kedua korteks serebri.
ARAS bertindak sebagai suatu off-on switch, untuk menjaga korteks serebri tetap sadar
(awake).

Respon gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan kelainan yang
berpengaruh kepada sistem arousal yaitu respon primitif yang merupakan manifestasi
rangkaian inti-inti di batang otak dan serabut-serabut saraf pada susunan saraf. Korteks
serebri merupakan bagian yang terbesar dari susunan saraf pusat di mana kedua korteks ini
berperan dalam kesadaran akan diri terhadap lingkungan atau input-input rangsangan sensoris,
hal ini disebut juga sebagai awareness. Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada
korteks secara menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan
oleh gangguan ARAS di batang otak, terhadap formasio retikularis di thalamus, hipotalamus
maupun mesensefalon Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni
gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan gangguan isi (kualitas,
awareness, alertness) kesadaran. Adanya lesi yang dapat mengganggu interaksi ARAS dengan
korteks serebri, apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan
menurunnya kesadaran.

Gambar 1.Etiologi Penurunan Kesadaran


Gambar 2. Mekanisme Penurunan Kesadaran

4. Bagaiman mekanisme dan apa makna klinis sesak napas dan panas tinggi? 3, 6, 7

Mekanisme dan makna klinis sesak nafas

Defisiensi/Resistensi Hormon Insulin

Hiperglikemi (Peningkatan Glukosa Darah)

Kadar glukosa dalam sel menurun

Tubuh mengkompensasi dengan glukoneogenesis dari lemak dan protein

Peningkatan jumlah asam lemak dan asam amino

Asidosis metabolik
Tubuh mengkompensasi dengan menurunkan kadar CO2 di dalam tubuh untuk menurunkan pH darah

Kebutuhan O2 tubuh meningkat

Tubuh harus menghirup O2 lebih banyak dengan bernafas

Takipnea

SESAK NAFAS
Mekanisme panas tinggi

Hiperglikemia

Trauma pada kaki

Luka jadi sumber infeksi dan tempat perkembangbiakan bakteri gram positif

Pirogen endogen

Merangsang termoset hipotalamus

Prostaglandin E2 akan melintasi barrier darah-otak dan menyebar ke dalam pusat pengaturan suhu di hipota

peningkatan suhu diatas suhu normal (Demam)

5.Apa hubungan tungkai yang luka dengan keluhan pasien?3

Adanya luka pada telapak kaki dan sebagian tungkai bawah yang bengkak, merah dan
nyeri, menandak telah terjadinya proses inflamasi akibat infeksi pada tungkai dan kaki pasien.
Hal ini cukup sering dialami oleh pasien- pasien hiperglikemi (DM). Hiperglikemi dapat
menyebabkan kelainan pada pembuluh darah dan neuropati. Neuropati , baik sensorik maupun
motorik dan autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang
selanjutnya akan menyebabkan kelainan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya
akan mempermudah terjadinya ulkus. Keruskan pada srah perifer kaki, mengakibatkan
menurunnya sensibilitas ujung saraf, sehingga apsien tidak dapat merasakan ada luka
dikakinya.

Pada pederita hiperglikemia, dapat menyebabkan luka menjadi sumber infeksi karena
darah yang mengandung gula yang tinggi dapat menjadi tempat perkembang biakan yang baik
bagi bakteri gram positif. Dan juga mengganggu fungsi kerja dari sel neutrophil dan monosit.
Luka yg tidak diketahui oleh pasien tentu tidak akan mendapat perawatan sehingga luka
rentan terhadap infeksi. Hal ini umumnya akan disadari pasien jika telah terjadi demam atau
perdarahan pda kakinya. Sehingga infeksi padah luka sudah menyebar kedaerah yg lain
disekitar luka. Hal ini juga diperberat dengan nberkurangnya kemampuan tubuh dalam proses
penyembuhan luka, dikarnakan akibat kersakan pembuluh darahsehingga aliran darah kurang
kekaki, menyebabkan sel- sel darah yang berperan untuk mencegah infeksi tidak cukup
sehingga memmperberat kondisi luka pada kaki pasien.

6. Bagaimana mekanisme dan apa makna klinis sering kencing, haus, dan lapar, serta
hubungannya dengan keluhan?3, 8

Pada pasien telah diketahui mengalami hiperglikemia, akibat dari keadaan tersebut:
Sering kencing (poliuri) -> ketika glukosa darah meningkat dimana glokusa yang tersaring
di urin melebihi kemampuan tubulus ginjal melalukan reabsorpsi maka glukosa muncul di
dalam urin (glukosuria). Glukosa dalam urin menimbulkan efek osmotik yang menarik
H2O bersamanya, menyebabkan dieresis osmotic sehingga lebih sering kencing (poliuria).
Poliuri juga dapat terjadi akibat adanya defisiensi insulin absolut atau relatif dan
peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol, hormon
pertumbuhan, dan somatostatin) akan menyebabkan akselerasi kondisi katabolik dan
inflamasi berat sehingga meningkatkan produksi glukosa oleh hati dan ginjal (via
glikogenolisis dan glukoneogenesis) dan gangguan utilisasi glukosa di perifer, akibatnya
terjadilah hiperglikemia dan hiperosmolaritas. Adanya hiperglikemia menyebabkan
reabsorsi ginjal terhadap glukosa terganggu (di luar ambang batas) sehingga terjadilah
glikosuria melalui poliuria.

Rasa haus berlebih (polidipsi) -> akibat seringnya kencing menyebabkan besarnya cairan
yang keluar dari tubuh menyebabkan dehidrasi. Dehidrasi ini merangsang osmoreseptor
dan timbullah rasa haus untuk mencukupi kembali cairan tubuh yang berkurang. Poliuria
yang terjadi pada pasien ini akan menyebabkan banyak keluarnya air dan elektrolit
sehingga cenderung mengurangi air di intrasel akibatnya terjadilah hiperosmotik,
hiperosmotik inilah yang merangsang osmoreseptor dipusat haus otak (polidipsi).

Rasa lapar atau asupan makanan berlebih (polifagi) -> hal ini karena berkurangnya kadar
glokusa intrasel akibat berkurangnya kadar insulin ataupun terjadi kesalahan pada reseptor
insulin yang membuat kadar glokusa intrasel minimal sampai tidak ada. Sehingga tubuh
merespon untuk mencukupi kebutuhan energi sel dengan meningkatkan nafsu makan.
Akibat terjadinya defisiensi insulin baik absolut maupun relatif itu meningkatakan
epinefrin sehingga mengaktifkan hormon lipase sensitif pada jaringan lemak
mengakibatkan peningkatan lipolisis, hal ini juga yang menjadi kekurangan sumber energi
cadangan intra sel. Polifagia atau sering merasa lapar menandakan bahwa tubuh
kekurangan bahan makanan utuk dapatmenghasilkan energi. Pasien mengalamai polifagi
sedangkan kadar glukosa darah tinggi, menandakan bahwa sumber makanan/ energi bagi
sel-sel tubuh ada bahkan banyak. Kemungkinan yang bisa terjadi adalah glukosa dalam
darah tidak dapat sampai ke sel untuk dimetabolisme menjadi energi, hal ini dapat terjadi
karna adanya gangguan pada transporter dari glukosa, yaitu hormon insulin. Gangguan
pada insulin baik dari produksi maupun fungsi insulin menyebabkan glukosa dalam darah
tidak dapat dibawa kedalam sel. Sehingga sel tidak mendapat bahan makanan yang akan
diolah menjadi energi. Hal ini menyebab kan sel memberikan singnal bada sistem saraf
bahwa tubuh kekurang energi sehingga membutuhka makan, sehingga pasien dengan
gangguan insulin akan sering merasa lapar(polifagia) .

7. Apa makna klinis gula darah >600mg/dl?

Makna klinis gula darah >600 mg/dL berarti Tn. A mengalami hyperglikemia. Sedangkan
nilai normal dari gula darah sewaktu adalah <100 mg/dL dan gula darah puasa adalah <100
mg/dL.

8. Makna klinis dari keluhan terdahulu(lemas, gula darah>600 mg/dl, tidak sesak napas)?
Pada pasien didapatkan gula darah >600 mg/dl menandakan bahwa pasien mengalami
hiperglikemia, hal ini dapat disebabkan karena terjadinya defisiensi hormon insulin. Individu
dengan defisiensi insulin akan mengalami suatukondisi yang disebut dengan Hiperglikemia
(banyaknya kadar glukosa dalam darah) dikarenakan penurunana ambilan glukosa oleh
jaringan otot dan adiposa, dan peningkatan pengeluaranglukosa oleh hati. Akibat dari
defisiensi atau resistensi insulin makakadar gula darah tetap tinggi cukup lama sekitar 6 8
jam sesudah makan, pada orang normal sekitar 1 2 jam. Kadar ini diperiksa oleh GTT
(Glukosa Tolerence test) Akibat dari resistensi insulin, otot tidak dapat memperoleh energi
dari glukosa dan membuat alternatif dengan mengoksidasi lemak dan protein, keadaan inilah
yang menjadikan otot lemah.9
Pada keluhan terdahulu pasien tidak menderita sesak napas karena mungkin pada
kelainan terdahulu pasien menderitas Diabetes Melitus Tipe II dengan komplikasi Status
Hiperosmolar Hiperglikemia, pada keluhan sekarang kemungkinan pasien menderita Diabetes
Melitus Tipe II dengan komplikasi ketoasidosis diabetikum. Sesak napas yang ditimbulkan,
karena adanya asidosis metabolic, sedangkan pada pasien dengan Status Hiperosmolar
Hiperglikemia tidak terjadi asidosis metabolic yang menyebabkan terjadinya sesak nafas.10

9. Apa obat yang diberikan saat pulang dari RS 6 bulan lalu?3


Kemungkinan obat yang diberikan kepada pasien

1. SULFONILUREA

Contoh : klorpropamid, tolbutamid, tolazamid, glimepirid, glibenklamid, glipizid, gliklazid.

2. BIGUANID

Contoh : metformin, fenformin dan buformin.

3. MEGLITINID

Contoh : Repaglinid

4. ALFA GLUKOSIDASE INHIBITOR

contoh : akarbose, miglitol

5. THIAZOLIDINDION

contoh : rosiglitazon, pioglitazon

10. Apa hubungan obat diminum tidak teratur dengan keluhan sekarang?

Karena pasien tidak minum obat untuk menurunkan hiperglikemianya menyebabkan


kadar gula dalam darahnya tidak terkontrol dan menyebabkan kadar gula nya tinggi. Akibat
kadar gula darah yang tinggi menimbulkan keluhan yang dialami oleh pasien sekarang ini.

11. .Apa makna klinis dari pemeriksaan fisik & pemeriksaan penunjang?
Makna klinis pemeriksaan fisik:

Tampak sakit berat : karena terjadi penurunan kesadaran, sesak nafas


Sekujur tubuh keringat dingin: karena terjadi hipotensiTD 90/60 mmHg
Kesadaran somnolen: kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah
tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan)tetapi
jatuh tertidur lagi, mampu member jawaban verbal.
Tanda rangsang meningeal tidak ditemukan: menyingkirkan diagnosis terjadinya
meningitis, ensefalitis, atau stroke hemorage.
Tekanan Draah : 90/60 mmHgHipotensi
Nadi 100x/menit : Normal
RR 36x/menitnafas kusmaul: Takipneusesak
Suhu 39,5C : suhu diatas nilai normaldemam
Konjungtiva tak pucat: menyingkirkan diagnosis anemia
Jantung dalam batas normal: tidak ada gangguan sistem kardiovaskular
Pulmo ronki tak ada : tidak ada gangguan pada sistem respirasi
Abdomen supel, hepar&lien tidak teraba: Tidak ada gangguan pada abdomen
Plantar pedis sinistra bengkak(+), merah (+), Nanah (+): bisa terjadi karena akibat
trauma, penyakit kelainan metabolik seperti diabetes mellitus, hipotiroid, atau dapat
juga karena malnutrisi.
Tidak ada hemiparese : tidak ada gangguan neurologi

Makna klinis pemeriksaan penunjang:

Pemeriksaan gula darah 450 mg: Hiperglikemia


Leukosit 20.000 : infeksi
Reduksi+4 : glukosa urin +4
Urin Keton (+) : ditemukan benda keton di dalam urin

12. Alur penegakan diagnosis?

a) Anamnesis :
identitas pasien (nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan), tanyakan status nutrisi seperti
adanya asupan makanan yang meningkat dan berat badan menurun, tanyakan riwayat
keluarga: ada yang mengalami obesitas atau tidak? Ada yang menderita DM atau
tidak?, tanyakan kebisaan yang beresiko terhadap cardiovascular: apakah anda
meroko? Apakah ada hypertensi atau hyperlipidemia tidak?
b) Pemeriksaan Fisik
Periksa head to toe. Dimulai dari cek berat badan, tinggi badan, nadi, tekanan darah,
kalau obesitas lihat distribusi lemaknya (hitung ratio waist to hip). Cek tanda ada
tidaknya atreosceloris. Cek syaraf dan mata. Ada neurovascularization di retina tidak?
Ada stocking/ glove sensory loss (kebas) di ekstrimitas tidak?
c) Pemeriksaan Penunjang
Cek gula darah.

Normal Belom bisa DM


dipastikan DM
Gula Darah Plasma <100 100-199 200
Sewaktu Vena
Kapiler <90 90-99 100
Gula Darah Puasa Plasma <100 100-125 126
Vena
Kapiler <90 90-99 100

Cek urine dan serum keton, cek TTGO, Cek level insulin, cek TTIG (tes toleransi
glukosa intravena), HBA1c, profil lipid, elektrolit, serum albumin.

13.Apa saja diagnosis banding dari keluhan Tn. A?

DM Tipe II dengan komplikasi ketoasidosis diabetik


Status Hiperosmolar Hiperglikemia

Neuropati diabetik
Gangren

14. Apa yang terjadi pada Tn. A?

Tn. A mengalami DM Tipe II dengan komplikasi ketoasidosis diabetik

15. Apa definisi & klasifikasi penyakit Tn. A?3, 11

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.
DM tipe gestasional

Adalah tipe DM yang terjadi pada saat kehamilan. Hal ini terjadi karena resistensi
insulin fisiologis akibat peningkatan hormon-hormon kehamilan seperti HPL (Human
Placental Lactogen), progesteron, kortisol dan prolaktin yang mencapai puncaknya pada
trimester ketiga kehamilan.

16. Bagaimana epidemiologi penyakit Tn. A?3

Penelitian antara tahun 2001 dan 2005 di daerah depok didapatkan prevalensi DM tipe
2 sebesar 14.7 %. Demikian juga makassar prevalensi diabetes taahun 2005 yang mencapai
12.5 %. Pada tahun 2006, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia bekerja sama dengan Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan
melakukan Surveilance Faktor Risiko Tidak Menular dijakarta yang melibatkan subjek,
terdiri dari 640 laki-laki dan 951 perempuan. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui
bahwa kejadian DM yang belum terdiagnosis masih cukup tinggi, hampir 3 X lipat dari
jumlah DM yang sudah terdeteksi.

17. Bagaimana etiologi penyakit Tn. A?3

a. DM type 1, disebabkan oleh gangguan produksi insulin oleh sel B pulau pulau
Langerhans, atau bisa juga akibat infeksi virus cocksakie, rubella, CMvirus, herpes
dan lain sebagainya.

b. DM type 2, multifaktor yang belum jelas. Namun, faktor genetik dan pengaruh
likungan seperti obesitas,diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurangnya gerak
badan dapat juga menjadi penyebab dari DM type 2.

Faktor resiko :

Bertmabahnya usia
Lebih banyak dan lebih lamanya obesitas
Distribusi lemak tubuh
Kurangnya aktivitas jasmani

Faktor-faktor resiko ini kemudian berinterakso dengan faktor genetik akan mengkatkat
resiko DM tipe 2

18. Bagaimana patofisiologi penyakit Tn. A?3,8

Terjadi jika terdapat sedikit atau tidak ada sama sekali insulin sehingga terjadi
hiperglikemia. Telah diketahui bahwa fungsi adanya hormone insulin adalah untuk
menghantarkan glukosa, asam lemak, dan protein ke dalam sel untuk disimpan. Tidak adanya
hormone insulin berarti kadar glokosa, asam lemak, dan protein hanya sedikit atau bahkan
tidak ada di dalam sel, ditambah lagi meningkatnya hormone kontraregulator (glucagon,
katekolamin, kortisol, dan GH) menyebabkan keadaan hiperglikemia semakin berat.
Kadar glukosa di sel berkurang dan tidak menerima cukup energi di sel, maka tubuh
mengkompensasi dengan terjadinya pemecahan lemak di hepar dan otot (glukoneogenesis dan
lipolisis) sehingga terbentuk asam lemak bebas di hepar yang menghasilkan badan keton
(ketosis) menimbulkan ketoasidosis diabetik. Dengan adanya badan keton didarah, maka
meningkatkan kadar ion H+ dan CO2 sehingga pH darah menjadi lebih asam (asidosis
metabolic). Sebagai kompensasi asidosis metabolil, maka terjadi peningkatan ventilasi oleh
paru untuk mengeluarkan lebih banyak CO2 sebagai pembentuk asam.
19. Apa manifestasi klinis penyakit Tn. A?12,13,14

Gejala umum yang dirasakan bagi penderita diabetes yaitu :

Banyak kencing (poliuria) terutama pada malam hari


Gampang haus dan banyak minum (polidipsia)
Mudah lapar dan banyak makan (polifagia)
Mudah lelah dan sering mengantuk
Penglihatan kabur
Sering pusing dan mual
Koordinasi gerak anggota tubuh terganggu
Berat badan menurun terus
Sering kesemutan dan gatal-gatal pada tangan dan kaki
Rasa lemas, lelah dan tidak bugar
Bila ada luka sukar sembuh
Pada DM type 2, penderita lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya
penglihatan makin buruk dan disertai dengan hipertensi, hyperlipidemia, obesitas, dan
juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.

a. Gejala Akut Penyakit Diabetes mellitus.

1) Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (Poli), yaitu:

a) Banyak makan (poliphagia).

b) Banyak minum (polidipsia).

c) Banyak kencing (poliuria).

Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala:

a. Banyak minum.

b. Banyak kencing.

c. Nafsu makan mulai berkurang/ berat badan turun dengan cepat (turun 5 10 kg dalam
waktu 2 4 minggu).

d. Mudah lelah.

e. Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan jatuh koma yang
disebut dengan koma diabetiK.

b. Gejala Kronik Diabetes mellitus

Kesemutan.

Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum.

Rasa tebal di kulit.

Kram.

Lelah

Mudah mengantuk.

Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata.

Gatal di sekitar kemaluan terutama wanita.

Gigi mudah goyah dan mudah lepas

kemampuan seksual menurun, bahkan impotensi.


Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan, atau
dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg.

20. Bagaimana alur diagnosis dari penyakit Tn. A?13

a. Cara menegakkan Diagnosis


Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam
menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Dapat
juga digunakan darah utuh.
b. Uji diagnostic DM
Dilakukan pada mereka yang menunjukan gejala dan tanda DM. serangkaian uji
diagnostic kemudian dilakukan jika hasil pemeriksaan penyaring positf.
c. Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menyaring pasien DM, toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

Kriteria diagnosa

1. Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa
darah seaktu adalah hasil pemeriksaan sesaat pada satu waktu tanpa memperhatikan
waktu makan terakhir.
2. Gejala klasik DM + glukosa darah puasa > 126 mg/dL (7 mmol/L). Puasa berarti tidak
ada asupan kalori setidaknya 8 jam.
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO dilakukan
sesuai standar WHO dengan 75 g glukosa anhidrat yang dilarutkan dalam air.
4. Pemeriksaan HbA1c ( 6,5%)
Cara pemeriksaan TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral) :

Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (KH cukup). Kegiatan jasmani
seperti yang biasa dilakukan
Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih
diperbolehkan
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gr (oranmg dewasa) atau 1,75 gr/ kg BB (anak-anak), dilarutkan
dalam air 250 ml dan dimunum dalam waktu 5 menit
Diperiksa kadar glikosa darah 2 (Dua) jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok

21.Bagaimana tata laksana dari penyakit Tn. A?3,13

PILAR PENATALAKSANAAN DM
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan
perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
2. Terapi Gizi Medis
Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh
dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas
kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri).
Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah
makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin.
A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain
Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)
Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau
makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak
jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole
milk).
Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari.
Protein
Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.
Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan,
tahu, tempe.
Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai
biologik tinggi.
Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7
g (1 sendok teh) garam dapur.
Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur.
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral,
serat dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/1000 kkal/hari.
Pemanis alternatif
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis bergizi dan pemanis tak bergizi.
Termasuk pemanis bergizi adalah gula alkohol dan fruktosa.
Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol.
Dalam penggunaannya, pemanis bergizi perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek
samping pada lemak darah.
Pemanis tak bergizi termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame potassium,
sukralose, neotame.
Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted
Daily Intake / ADI )
B. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkanpenyandang
diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal
yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada
beberapa faktor yai tu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang
dimodifikasi adalah sbb:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh.
Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/
TB(m2)
Klasifikasi IMT*
BB Kurang <18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih >23,0
Dengan risiko 23,0-24,9
Obes I 25,0-29,9
Obes II >30

* : WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:


RedeningObesity and its Treatment

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :


1. Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan Kalori
wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.
2. Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk
dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk usia 60 s/d 69 tahun dan
dikurangi 20%, di atas 70 tahun.
3. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik
penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada istirahat,
20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan
50% dengan aktivitas sangat berat.
4. Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% ber-gantung kepada tingkat
kegemukan
Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan BB.
Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling
sedikit 1000 - 1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200 - 1600 kkal perhari
untuk pria.

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3
porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi
makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien,
sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang
diabetes yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan
penyakit penyertanya.

5. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM
tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga,
berkebun harus tetap dilakukan (lihat tabel 4). Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,
sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani
yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat,
intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat
komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalasmalasan.

6. Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai
dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.

1. Obat hipoglikemik oral (OHO)


Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:
A. pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
B. penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
C. penghambat glukoneogenesis (metformin)
D. penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.

A. Pemicu Sekresi Insulin

1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal
dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti
orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular,
tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.

2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari
2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati.

B. Penambah sensitivitas terhadap insulin


Tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di
perifer. dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan hati secara berkala.

C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama
dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta
pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-
vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek
samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau
sesudah makan.

D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)


Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.

Mekanisme kerja OHO, efek samping utama, serta pengaruh obat terhadap
penurunan A1C dapat dilihat pada tabel 5, sedangkan nama obat, berat bahan aktif
(mg) per tablet, dosis harian, lama kerja, dan waktu pemberian dapat dilihat pada
lampiran 2.

Cara Pemberian OHO, terdiri dari:


OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir
maksimal
Sulfonilurea generasi I & II : 15 30 menit sebelum makan
Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan
Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
Penghambat glukosidase (Acarbose) : bersama makan suapan pertama
Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan

2. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin


Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
insulin kerja pendek (short acting insulin)
insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
insulin kerja panjang (long acting insulin)

Efek samping terapi insulin


Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bab komplikasi akut DM.
Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

Dasar pemikiran terapi insulin:


Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi
insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau
keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia
pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan
menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap
defisiensi yang terjadi.
Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal (satu macam) berupa: insulin
kerja cepat (rapid insulin), kerja pendek (short acting), kerja menengah
(intermediate acting), kerja panjang (long acting) atau insulin campuran tetap
(premixed insulin).
Pemberian dapat pula secara kombinasi antara jenis insulin kerja cepat atau
insulin kerja pendek untuk koreksi defisiensi insulin prandial, dengan kerja
menengah atau kerja panjang untuk koreksi defisiensi insulin basal. Juga
dapat dilakukan kombinasi dengan OHO.
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien
dan respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah harian.
Penyesuaian dosis insulin dapat dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap
3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai

Cara Penyuntikan Insulin


Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan
arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.
Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena bolus atau drip.
Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek
dan kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak
terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan
dosis yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenis
insulin tersebut. Teknik pencampuran dapat dilihat dalam buku panduan
tentang insulin.
Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara penyimpanan insulin
harus dilakukan dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.
Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dan
jarumnya dapat dipakai lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yang
sama.
Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin (jumlah unit/mL) dengan
semprit yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit). Dianjurkan dipakai
konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100.

3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan
dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang
mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum
tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHOdari kelompok yang berbeda atau
kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinik di
mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai dipilih terapi dengan kombinasi tiga
OHO. (lihat bagan 2 tentang algoritma pengelolaan DM tipe-2).
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang)
yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut
pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis
insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang
diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan
menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya.
Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih
tidak terkendali, maka obat hipoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja.
Tatalaksana ketoasidosis diabeticum

Tatalaksana umum
Penatalaksanaan KAD dan KHH yang baik memerlukan koreksi dehidrasi,
hiperglikemia dan gangguan elektrolit, dilanjutkan dengan identifikasi kejadian
komorbid pencetus dan di atas semuanya pemantauan pasien rutin. Panduan
tatalaksana pasien dengan KAD dan KHH dapat dilihat pada gambar 6 dan tabel 13
memberikan ringkasan rekomendasi utama dan penderajatan bukti.

Terapi cairan

Pasien dewasa (>20 tahun)


Terapi cairan awal ditujukan kepada ekspansi cairan intravskular dan
ekstravaskular serta perbaikan perfusi ginjal. Pada keadaan tanpa gangguan
kardiak, salin isotonik (0,9%) dapat diberikan dengan laju 15-20 ml/kgBB/jam atau
lebih selama satu jam pertama (total 1 sampai 1,5 liter cairan pada dewasa rata-
rata). Pemlihan cairan pengganti selanjutnya bergantung kepada status hidrasi,
kadar elektrolit serum dan keluaran urin. Secara umum NaCl 0,45% dengan laju 4
sampai 14 ml/kgBB/jam mencukupi apabila kadar natrium serum terkoreksi normal
atau meningkat. Salin isotonik dengan laju yang sama dapat diberikan apabila kadar
natrium serum terkoreksi rendah.
Setelah fungsi ginjal telah terjaga dengan baik, cairan infus harus ditambahkan
20-30 mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai keadaan pasien stabil dan
dapat menerima suplementasi oral. Kemajuan yang baik untuk terapi pergantian
cairan dinilai dengan pemantauan parameter hemodinamik (perbaikan tekanan
darah), pengukuran masukan/keluaran cairan dan pemeriksaan klinis. Pergantian
cairan harus memperbaiki defisit perkiraan dalam waktu 24 jam pertama. Perubahan
osmolalitas serum akibat terapi tidak boleh melebihi 3 mOsm/kg H2O/jam. Pada
pasien dengan gangguan ginjal atau jantung, pemantauan osmolalitas serum dan
penilaian rutin status jantung, ginjal serta mental harus dilakukan bersamaan dengan
resusitasi cairan untuk menghindari overloading iatrogenik.
Pasien anak dan remaja (<20 tahun)
Terapi cairan awal ditujukan kepada ekspansi cairan intravskular dan
ekstravaskular serta perbaikan perfusi ginjal. Namun kebutuhan ekspansi volume
vaskular harus diimbangkan dengan risiko edema serebral yang dikaitkan terhadap
pemberian cairan cepat. Cairan dalam satu jam pertama harus salin isotonik (0,9%)
dengan laju 10 sampai 20 ml/kgBB/jam. Pada pasien dengan dehidrasi berat,
protokol ini dapat diulang, namun re-ekspansi awal tidak boleh melebihi 50 ml/kgBB
dalam 4 jam pertama terapi. Terapi cairan lanjutan dihitung untuk menggantikan
defisit cairan secara seimbang dalam waktu 48 jam. Secara umum, NaCl 0,45 -0,9%
(tergantung kadar natrium serum) dapat diberikan dengan laju 1,5 kali kebutuhan
maintenance 24 jam (kurang lebih 5 ml/kgBB/jam) dan akan memberikan rehidrasi
yang mulus dengan penurunan osmolalitas tidak melebihi 3 mOsm/kg H2O/jam.
Setelah fungsi ginjal terjaga dan kalium serum diketahui kadarnya, maka cairan
infus harus ditambahkan 20 30 mEq/L kalium (2/3 KCl atau kalium-asetat dan 1/3
KPO4). Segera setelah kadar glukosa serum mencapai 250 mg/dL, cairan harus
digantikan dengan dekstrosa 5% dan 0,45 0,75% NaCl dengan kalium
sebagaimana digambarkan di atas. Terapi harus disertai dengan pemantauan status
mental untuk mendektsi secara cepat perubahan-perubahan yang dapat
mengindikasikan kelebihan cairan, dengan potensi menyebabkan edema serebral
simptomatik
Farmakoterapi
Insulin
Kecuali episode KAD ringan, insulin regular dengan infus intravena kontinu
merupakan pilihan terapi. Pada pasien dewasa, setelah hipokalemia (K+ <3,3
mEq/L) disingkirkan, bolus insulin regular intravena 0,15 unit/kgBB diikuti dengan
infus kontinu insulin regular 0,1 unit/kgBB/jam (5-7 unit/jam pada dewasa) harus
diberikan. Insulin bolus inisial tidak direkomendasikan untuk pasien anak dan remaja;
infus insulin regular kontinu 0,1 unit/kgBB/jam dapat dimulai pada kelompok pasien
ini. Insulin dosis rendah ini biasanya dapat menurunkan kadar glukosa plasma
dengan laju 50-75 mg/dL/jam sama dengan regimen insulin dosis lebih tinggi. Bila
glukosa plasma tidak turun 50 mg/dL dari kadar awal dalam 1 jam pertama, periksa
status hidrasi; apabila memungkinkan infus insulin dapat digandakan setiap jam
sampai penurunan glukosa stabil antara 50-75 mg/dL.
Pada saat kadar glukosa plasma mencapai 250 mg/dL di KAD dan 300 mg/dL
di KHH maka dimungkinkan untuk menurunkan laju infus insulin menjadi 0,05-0,1
unit/kgBB/jam (3-6 unit/jam) dan ditambahkan dektrosa (5-10%) ke dalam cairan
infus. Selanjutnya, laju pemberian insulin atau konsentrasi dekstrosa perlu
disesuaikan untuk mempertahakan kadar glukosa di atas sampai asidosis di KAD
atau perubahan kesadaran dan hiperosmolaritas di KHH membaik.
Ketonemia secara khas membutuhkan waktu lebih lama untuk membaik
dibandingkan dengan hiperglikemia. Pengukuran beta-hidroksibutirat langsung pada
darah merupakan metode yang disarankan untuk memantau KAD. Metode
nitroprusida hanya mengukur asam asetoasetat dan aseton serta tidak mengukur
beta-hidroksibutirat yang merupakan asam keton terkuat dan terbanyak. Selama
terapi, beta-hidroksibutirat diubah menjadi asam asetoasetat, sehingga dapat
memberikan kesan ketoasidosis memburuk bila dilakukan penilaian dengan metode
nitroprusida. Oleh karena itu, penilaian keton serum atau urin dengan metode
nitroprusida jangan digunakan sebagai indikator respons terapi.

Selama terapi untuk KAD atau KHH, sampel darah hendaknya diambil setiap 2-
4 jam untuk mengukur elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, osmolalitas dan pH vena
serum (terutama KAD). Secara umum, pemeriksaan analisa gas darah arterial tidak
diperlukan, pH vena (yang biasanya lebih rendah 0,03 unit dibandingkan pH arterial)
dan gap anion dapat diikuti untuk mengukur perbaikan asidosis. Pada KAD ringan,
insulin regular baik diberikan subkutan maupun intramuskular setiap jam, nampaknya
sama efektif dengan insulin intravena untuk menurunkan kadar glukosa dan badan
keton. Pasien dengan KAD ringan pertama kali disarankan menerima dosis priming
insulin regular 0,4-0,6 unit/kgBB, separuh sebagai bolus intravena dan separuh
sebagai injeksi subkutan atau intravena. Setelah itu, injeksi insulin regular 0,1
unit/kgBB/jam secara subkutan ataupun intramuskular dapat diberikan.
Kriteria perbaikan KAD diantaranya adalah: kadar glukosa <200 mg/dL, serum
bikarbonat 18 mEq/L dan pH vena >7,3. Setelah KAD membaik, bila pasien masih
dipuasakan maka insulin dan penggantian cairan intravena ditambah suplementasi
insulin regular subkutan setiap 4 jam sesuai keperluan dapat diberikan. Pada pasien
dewasa, suplementasi ini dapat diberikan dengan kelipatan 5 unit insulin regular
setiap peningkatan 50 mg/dL glukosa darah di atas 150 mg/dL, dosis maksimal 20
unit untuk kadar glukosa 300 mg/dL.

Bila pasien sudah dapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan
menggunakan kombinasi insulin kerja pendek/cepat dan kerja menengah atau
panjang sesuai keperluan untuk mengendalikan kadar glukosa. Lanjutkan insulin
intravena selama 1-2 jam setelah regimen campuran terpisah dimulai untuk
memastikan kadar insulin plasma yang adekuat. Penghentian tiba-tiba insulin
intravena disertai dengan awitan tertunda insulin subkutan dapat menyebabkan
kendali yang memburuk; oleh karena itu tumpang tindih antara terapi insulin
intravena dan inisiasi insulin subkutan harus diadakan.
Pasien dengan riwayat diabetes sebelum dapat diberikan insulin dengan dosis
yang mereka terima sebelumnya sebelum awitan KAD atau KHH dan disesuaikan
dengan kebutuhan kendali. Pasien-pasien dengan diagnosis diabetes baru, dosis
insulin inisial total berkisar antara 0,5-1,0 unit/kgBB terbagi paling tidak dalam dua
dosis dengan regimen yang mencakup insulin kerja pendek dan panjang sampai
dosis optimal dapat ditentukan. Pada akhirnya, beberapa pasien T2DM dapat
dipulangkan dengan antihiperglikemik oral dan terapi diet pada saat pulang.
Terapi dengan menggunakan insulin analog baru-baru ini mendapatkan
perhatian lebih untuk dapat menggantikan insulin manusia, hal ini dikarenakan profil
farmakokinetik yang lebih baik sehingga membuat terapi dengan insulin analog lebih
mudah diprediksikan. Suatu studi acak terkontrol yang memperbandingkan terapi
KAD pada 68 subyek menggunakan insulin analog dibandingkan dengan insulin
manusia, menunjukkan efek samping hipoglikemia yang lebih rendah secara
signifikan (41% vs. 15%, reduksi risiko absolut 26%, NNT=4, p=0,03). Studi ini
menunjukkan regimen insulin analog (glulisine dan glargine) memberikan efek terapi
dan dosis yang serupa dengan insulin manusia (regular dan NPH/regular).

Pemberian terapi insulin analog lewat jalur subkutan juga menjadi fokus
perhatian studi-studi terbaru, terutama untuk memfasilitasi penatalaksanaan KAD di
tempat dengan sumber daya terbatas. Penelitian acak terkontrol terhadap 40 subyek
KAD, 20 dirawat di bangsal biasa atau pengawasan ketat dengan insulin lispro
subkutan dan 20 dirawat di unit rawat intensif dengan insulin regular intravena,
menunjukkan efektivitas dan keamanan yang sama. Demikian juga percobaan
prosedur insulin aspart subkutan setiap 2 jam, untuk menyederhanakan terapi
subkutan, mampu memberikan efektivitas dan keamanan terapi yang serupa dengan
insulin intravena (tabel 14). Fakta ini menunjukkan bahwa, pada daerah-daerah
dengan keterbatasan sumber daya, terapi insulin subkutan mampu memberikan
alternatif terapi yang aman dan efektif. Keuntungan yang diperoleh dari regimen
subkutan ini adalah biaya total rawat inap yang secara signifikan lebih murah
dibandingkan dengan regimen intravena.

Kalium
Walaupun terjadi penurunan kadar kalium tubuh total, hiperkalemia ringan
sedang dapat terjadi pada pasien krisis hiperglikemik. Terapi insulin, koreksi asidosis
dan ekspansi volume menurunkan konsentrasi kalium serum. Untuk mencegah
hipokalemia, penggantian kalium dimulai apabila kadar kalium serum telah di bawah
5,5 mEq/L, dengan mengasumsikan terdapat keluaran urin adekuat. Biasanya 20-30
mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) untuk setiap liter cairan infus mencukupi untuk
mempertahankan kadar kalium serum antara 4-5 mEq/L. Pada keadaan tertentu,
pasien KAD dapat datang dengan hipokalemia signifikan. Pada kasus-kasus ini,
penggantian kalium harus dimulai bersamaan dengan terapi cairan dan pemberian
insulin ditunda sampai kadar kalium mencapai lebih dari 3,3 mEq/L dalam rangka
mencegah terjadinya aritmia atau henti jantung dan kelemahan otot pernapasan.

Koreksi asidosis metabolik


Penggunaan bikarbonat pada KAD tetap kontroversial, dengan pH >7,0
memperbaiki aktivitas insulin dapat menghambat lipolisis dan menghilangkan
ketoasidosis tanpa perlu tambahan bikarbonat. Penelitian acak terkontrol gagal
menunjukkan apakah pemberian bikarbonat pada pasien KAD dengan pH 6,9-7,0
memberikan perbaikan atau perburukan. Sedangkan untuk pasien KAD dengan pH
<6,9 belum pernah ada penelitian prospektif yang dilakukan.
Mempertimbangkan bahwa asidosis berat dapat menyebabkan berbagai efek
vaskular berat, nampaknya cukup beralasan untuk menatalaksana pasien dewasa
dengan pH <7,0 menggunakan 100 mmol natrium bikarbonat diencerkan dengan 400
ml aqua bidestilata dan dan diberikan dengan laju 200 ml/jam. Pada pasien dengan
pH 6,9 sampai 7,0, maka 50 mmol natrium bikarbonat dapat diberikan setelah
diencerkan dengan 200 ml aqua bidestilata dan diinfus dengan laju 200 ml/jam. Pada
pasien dengan pH di atas 7,0 maka tidak diperlukan pemberian natrium bikarbonat.
Insulin, sebagaimana terapi bikarbonat, menurunkan kalium serum, sehingga
suplementasi kalium harus diberikan di dalam cairan intravena sesuai protokol di
atas dan dilakukan pemantauan hati-hati. Setelah itu, pH vena harus dinilai setiap 2
jam sampai pH meningkat sampai 7,0 dan terapi diulang setiap 2 jam sesuai dengan
keperluan.
Pada pasien anak, tidak ada penelitian acak terhadap subyek dengan pH<6,9.
Bila pH tetap <7,0 setelah hidrasi dalam satu jam pertama, nampaknya pemberian
natrium bikarbonat 1-2 mEq/kg selama 1 jam dapat dibenarkan. Natrium bikarbonat
ini dapat ditambahkan ke dalam lauran NaCl dan kalium yang dibutuhkan untuk
membuat larutan dengan kadar natrium tidak melebihi 155 mEq/L. Terapi bikarbonat
tidak dibutuhkan bila pH 7,0.

Fosfat
Walaupun terdapat defisit fosfat tubuh total rata-rata 1 mmol/kgBB, namun
fosfat serum dapat normal ataupun meningkat saat presentasi. Konsentrasi fosfat
menurun dengan terapi insulin. Penelitian-penelitian acak prospektif gagal
menunjukkan adanya keuntungan terapi penggantian 25
fosfat terhadap keluaran klinis KAD, dan terapi fosfat berlebihan dapat
menyebabkan hipokalsemia berat tanpa tanda-tanda tetani. Meskipun demikian,
untuk mengindari kelemahan jantung dan otot skeletal serta depresi pernapasan
akibat hipofosfatemia, terapi penggantian fosfat secara hati-hati dapat diindikasikan
pada pasien dengan disfungsi jantung, anemia atau depresi pernapasan dan pada
pasien dengan konsentrasi serum fosfat <1,0 mg/dL. Pada saat dibutuhkan, kalium
fosfat 20-30 mEq/L dapat ditambahkan ke dalam cairan pengganti.

Tatalaksana lainnya
Pemantauan EKG kontinu direkomendasikan oleh karena adanya risiko hipo
atau hiperkalemia dan aritmia yang disebabkannya. Tabung nasogastrik harus
diberikan kepada pasien dengan penurunan kesadaran oleh karena risiko
gastroparesis dan aspirasi. Kateterisasi urin harus dipertimbangkan bila terdapat
gangguan kesadaran atau bila pasien tidak mengeluarkan urin setelah 4 jam terapi
dimulai. Kebutuhan pemantauan vena sentral harus dipertimbangkan perindividu,
namun diperlukan pada pasien tua atau dengan keadaan gagal jantung sebelumnya.
Pertimbangan harus diberikan kepada pemberian terapi antibiotika bila ada
bukti infeksi, namun hitung leukosit seringkali meningkat tajam pada KAD, dan tidak
mengkonfirmasi adanya infeksi. Anamnesa, pemeriksaan fisis, demam dan
peningkatan CRP merupakan biomarker yang lebih terpercaya.

22. Bagaimana komplikasi dari penyakit Tn. A?3,12

Inilah salah satu alasan yang penting mengapa pasien perlu mengontrol gula darahnya.
Karena dengan kontrol gula darah yang buruk, pasien akan mengalami komplikasi jangka
panjang, seperti stroke, penyakit jantung, kebutaan, gagal ginjal, penyakit pada pembuluh
darah dan kerusakan syaraf sehingga dapat menyebabkan amputasi pada anggota tubuh dan
pada pria dapat terjadi gangguan ereksi. Dari penelitian selama 10 tahun yang telah selesai
dilakukan, menunjukkan bahwa pasien yang menjaga gula darahnya tetap terkontrol, akan
menurunkan resiko komplikasi-komplikasi tersebut hingga 50% lebih.

Komplikasi akut

Hiperglikemia Koma (Gula terlalu tinggi)

Tanda bahaya : Polidipsia , Poliuria , Lemah , Mengantuk

Hipoglikemia Koma (Gula terlalu rendah)

Tanda bahaya : Poliphagia , Sakit kepala , Gemetaran , Tingkah laku agresif

Merupakan suatu kondisi dimana kadar glukosa dalam darah berada dalam keadaan
abnormal yakni terlalu rendah. Hal ini terjadi kalau kadar glukosa turun di bawah 50
hingga 60 mg/dl (2,7 hingga 3,3mmol/L). Keadaan ini dapat terjadi akibat suplay insulin
atau preparat oral yang terlalu berlebihan, Selain itu konsumsi makanan yang terlalu
sedikit atau juga disebabkan oleh aktivitas fisik yang berat.

Ketoasidosis

Merupakan salah satu komplikasi akut Diabetes Melitus yang terjadinya disebabkan
karena kadar glukosa dalam darah yang begitu tinggi. Gejala-gejala yang pertama kali
terjadi adalah sama seperti gejala Diabetes Melitus yang tidak diobati. Yaitu, mulut kering,
adanya rasa haus, lebih seringbuang air kecil (poliuria). Gejala lainnya yang juga timbul
seperti mual, muntah, dan adanya rasa nyeri pada perut.

Komplikasi Kronik

Retinopathy : 14.6% NIDDM > 40 thn

Terjadinya retinatopati diabetik disebabkan karena kerusakan pembuluh darah kecil


dibelakang mata sehingga terjadi kebocoran lemak dan darah pada retina. Retinopati
diabetik merupakan penyebab utama kebutaan pada penderita penyakit diabetes di
seluruh dunia, setelah itu disusul katarak. Apabila kerusakan retina sangat parah , maka
penderita diabetes akan mengalami kebutaan secara permanen meskipun dilakukan
usaha pengobatan.

Nephropathy : 10% selepas 25 thn DM

Nefropati diabetik adalah gangguan atau kelainan fungsi ginjal akibat kebocoran selaput
penyaring darah. seperti yang telah diketahui, ginjal terdiri dari jutaan unit filter
(glomerulus). Setiap unit penyaring memiliki membran/selaput penyaring. Kadar gula
dalam darah yang tinggi secara perlahan akan merusak selaput glomerulus ini.

Neurologi : 50% selepas 50 thn

Neuropati merupakan komplikasi dari penyakit diabetes yang paling umum dan sumber
terbesar dari morbiditas dan kematian pada penderita diabetes.

Arteriosklerosis

Merupakan pengerasan dan penebalan dinding arteri. Arteriosclerosis dapat terjadi karena
deposit lemak di lapisan dalam arteri atau penebalan otot dinding pembuluh darah dari
tekanan darah tinggi ( hipertensi ). Komplikasi semacam ini dapat terjadi pada pasien di
atas 50 tahun.

Microangiopati

Hal ini ditandai dengan penebalan membran basal pembuluh darah kecil dan kapiler dari
berbagai organ dan jaringan seperti mata, kulit, tulang, ginjal otot, dll.

Infeksi

Penderita diabetes mengalami peningkatan kerentanan terhadap berbagai infeksi, seperti


tuberkulosis, pneumonia, pielonefritis, carbuncles dan ulkus diabetes.

Hiperglikemia kronik

Penyakit jantung iskemik

Pasien dengan diabetes empat kali lebih rentan atau lebih berpotensi untuk terserang
penyakit jantung dibandingkan mereka yang tidak menderita diabetes. Faktor risiko untuk
penyakit jantung adalah obesitas, gaya hidup menetap, tekanan darah tinggi, kolesterol
tingkat tinggi , merokok , dll.

23.Bagaimana prognosis dari penyakit Tn. A?3

Prognosis pada penderita diabetes tipe 2 bervariasi. Prognosis baik jika dapat
meminimalkan risiko timbulnya komplikasi dengan baik.
Serangan jantung, stroke dan kerusakan saraf dapat terjadi pada beberapa orang dengan
diabetes mellitus tipe 2 tergantung pada hemodialisa akibat komplikasi gagal ginjal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono (ed.) 2005 buku ajar Neurologis klinis, cetakan ketiga. Penerbit Gajah Mada
University Press.

2. Prof. Dr. dr. B. Chandra, Neurologi Klinik, Kepala Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK.Unair /
RSUD Dr. Soetomo Surabaya,.

3. Sudoyo, Aru W, et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid II. Jakarta :
Interna Publishing

4. Guyton, A. C and Hall, J. E. 2007. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia,
PA, USA: Elsavier Saunders.

5. Plum, F. Posner, JB. Saper, CB. Schiff, ND. (2007). Plum and Posners Diagnosis of
Stupor and Coma. Oxford University Press. New York. Hal 5-9.
6. . 2015. Hiperglikemia [Diakses tanggal 22 November 2015 dari
http://mediskus.com/penyakit/hiperglikemia-gula-darah-tinggi].

7. . 2015. Asidosis Metabolik [Diakses tanggal 22 November 2015 dari


http://www.amazine.co/18430/asidosis-metabolik-penyebab-gejala-dan-pengobatannya/].
8. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem edisi 6. Jakarta: EGC, 2012
9. Mardiati, Ratna. 2000. Buku Kuliah : FAAL ENDOKRIN.Jakarta:C.V Sagung Seto.
10. Gardner, David G., Dolores Shoback. 2011. Greenspans Basic & Clinical Endrocinology,
Ninth Edition. United States: McGraw-Hill Companies.
11. Tanto, Chris, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi IV. Jakarta: Media
Aesculapius
12. Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Edisi : 6 Jilid : II. Jakarta : EGC.
13. Tjokroprawiro A. 1999. Diabetes Mellitus : Klasifikasi, diagnosis dan Terapi, Edisi ketiga.
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
14. Tjokroprawiro A. 1998. Diabetes Mellitus Aspek Klinik dan Epidemiologi. Surabaya :
Airlangga University Presss.

Anda mungkin juga menyukai