Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PBL MODUL 3

BLOK NEUROPSIKIATRI
“GANGGUAN TIDUR”

TUTOR : dr. Rachmat Faisal Syamsu, M.Kes

KELOMPOK 2

AISYAH PRIMAPUTRI 11020160009


SITTI PUTRI SRIYANTI ASIS 11020160037
ASYAFIRA ALIM 11020160057
MUTMAINNA 11020160076
MUH. AGUNG GUNADI 11020160096
A. SRI NURBIYANTI AB 11020160119
SITI AERISIA DEWI FORTUNA LESTARI 11020160130
RATRI AYU IMRAN 11020160144
NADYA MARCHYANTI YANIS 11020160153
MUH. HAMZAH RIZAL KUNU 11020160159
MARHAMAH 11020160177

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-
Nya sehingga laporan tutorial ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya, Aamiin.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan tutorial ini, karena itu
kritik dan saran yang sifatnya membangun senantiasa kami harapkan guna
memacu kami menciptakan karya-karya yang lebih bagus.
Akhir kata, kami ingin menghaturkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan karya tulis ini, terutama
kepada:
1. dr. Rachmat Faisal Syamsu, M.Kes selaku pembimbing tutorial kelompok kami
2. Teman-teman yang telah mendukung dan turut memberikan motivasi dalam
menyelesaikan laporan tutorial ini.
Semoga Allah SWT dapat memberikan balasan setimpal atas segala
kebaikan dan pengorbanan dengan limpahan rahmat dari-Nya.Aamiin yaa Robbal
A’lamiin.

Makassar, 5 Agustus 2018

Kelompok 2
SKENARIO 2
Seorang wanita 31 tahun, ibu rumah tangga datang ke poliklinik dengan
keluhan susah tidur, selain itu ia juga mengeluh sesak napas, jantung
berdebardebar serta leher tegang. Ia juga mengkhawatirkan banyak hal walaupun
sudah berusaha mengontrolnya ini dialami sejak beberapa tahun terakhir.

KATA/KALIMAT KUNCI
1. Wanita berusia 31 tahun
2. Keluhan susah tidur
3. Keluhan disertai sesak napas, jantung berdebar-debar, leher tegang
4. Mengkhawatirkan banyak hal sejak beberapa tahun lalu

PERTANYAAN
1. Apa yang menyebabkan pasien mengalami kesulitan susah tidur?
2. Apa hubungan keluhan penyerta dengan keluhan susah tidur?
3. Bagaimana klasifikasi gangguan tidur?
4. Bagaimana patofisiologi terjadinya gangguan tidur?
5. Bagaimana langkah-langkah diagnosis yang harus dilakukan sesuai skenario?
6. Apa saja diagnosis banding yang terkait dengan skenario?
7. Bagaimana penatalaksanaan yang harus dilakukan sesuai dengan skenario?
8. Bagaimana perspektif islam yang terkait dengan skenario?

JAWABAN

1. Sebelum mengetahui hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang kesulitan


tidur, kita harus mengetahui pengertian dari tidur dan gangguan tidur itu sendiri.
Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana seseorang masih
dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang
lainnya.1 Sedangkan gangguan tidur merupakan suatu keadaan yang dicirikan
dengan adanya gangguan dalam jumlah kualitas, atau waktu tidur pada seseorang.2
Terdapat banyak hal yang dapat membuat seseorang mengalami kesulitan tidur,
diantaranya3 :
a. Lingkungan: higine tidur yang buruk, perubahan zona waktu (change in time
zone), perubahan kebiasaan tidur (change in sleeping habits), shiftwork.
b. Psikologis: tidur singkat alami (natural short sleeper), kehamilan (pregnancy),
usia pertengahan (middle age).
c. Stress kehidupan: berkabung (bereavement), ujian (exams), pindah rumah
(house move).
d. Psikiatri: anxietas akut, depresi, mania, skizofrenia, sindroma otak organik.
e. Fisik: nyeri, cardiorespiratory distress, arthritis, nocturia, gangguan
pencernaan,tirotoksikosis.
f. Farmakologi: caffeine, alkohol, stimulansia (amphetamine, shabu),
penggunaan obat hipnotik kronik.
g. Parasomnia: sleep apnoe, sleep myoclonus.
h. Gangguan tidur primer.

2. Hubungan keluhan penyerta dengan keluhan susah tidur


A. Sistem Neurotransmitter

Tubuh manusia bereaksi terhadap cemas dan memberikan respon


yang bertujuan untuk mengurangi rasa cemas tersebut dan terciptanya
kembali suatu homestasis. Respon neurotransmitter terhadap perasaan
cemas mengaktivasi sistem noradrenergik di otak, tepatnya di locus
ceroleus, menyebabkan pelepasan katekolamin dari sistem saraf otonom.
Cemas juga mengaktivasi sistem serotonergik di otak. Demikian pula,
cemas berlebihan meningkatkan neurotransmisi dopaminergik pada jalur
mesofrontal. Respon terhadap cemas juga corticotropin-releasing factor
(CRF), glutamat dan gama-amino butiric acid (GABA).

B. Sistem Endokrin

Sebagai respon terhadap cemas berlebihan hipotalamus


mengeluarkan CRF kedalam sistem hypophysial-pituitary-portal. CRF
mencetuskan pelepasan ACTH yang merangsang pembuatan dan pelepasan
glukokortikoid di korteks adrenal. Efek glukokortikoid terhadap tubuh
sangat banyak, namun dapat digabung dalam waktu singkat menimbulkan
peningkatan penngunaan tenaga, meningkatan aktivitas kardiovaskuler
bermanifestasi sebagai palpitasi, dan menghambat beberapa fungsi seperti
pertumbuhan, reproduksi dan imunitas.4

3. Klasifikasi gangguan tidur terdiri dari5 :


a. Dissomnia
Adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami kesukaran
menjadi jatuh tidur (failling as sleep), mengalami gangguan selama
tidur (difficulty in staying assleep), bangun terlalu dini atau kombinasi
daintaranya.
 Gangguan tidur intrisik
Narkolepsi, gerakan anggota gerak periodik, sindroma kaki
gelisah,obstruksi saluran nafas, hipoventilasi, post traumatik
kepala, tidur berlebihan (hipersomnia), idiopatik.
 Gangguan tidur ekstrisik
Tidur yang tidak sehat, lingkungan, perubahan posisi tidur, toksik,
ketergantungan alkohol, obat hipnotik atau stimulant
 Gangguan tidur irama sirkadian
Jet-lag sindroma, perubahan jadwal kerja, sindroma fase terlambat
tidur,sindroma fase tidur belum waktunya, bangun tidur tidak
teratur, tidak tidur selama 24 jam.
b. Parasomnia
Yaitu merupakan kelompok heterogen yang terdiri dari kejadian-
kejadian episode yang berlangsung pada malam hari pada saat tidur
atau pada waktu antara bangun dan tidur. Kasus ini sering
berhubungan dengan gangguan perubahan tingkah laku danaksi
motorik potensial, sehingga sangat potensial menimbulkan angka
kesakitan dan kematian, Insidensi ini sering ditemukan pada usia anak
berumur 3-5 tahun (15%) dan mengalami perbaikan atau penurunan
insidensi pada usia dewasa (3%). Ada 3 faktor utama presipitasi
terjadinya parasomnia yaitu:
1. Peminum alkohol
2. Kurang tidur (sleep deprivation)
3. Stress psikososial
Parasomnia terdiri dari :
 Gangguan aurosal
Gangguan tidur berjalan, gangguan tidur teror, aurosal konfusional
 Gangguan antara bangun-tidur
Gerak tiba-tiba, tidur berbicara,kramkaki, gangguan gerak berirama
 Berhubungan dengan fase REM
Gangguan mimpi buruk, gangguan tingkah laku, gangguan sinus
 Parasomnia lain-lainnya
Bruxism (otot rahang mengeram), mengompol, sukar menelan,
dystonia parosismal.
c. Gangguan tidur berhubungan dengan gangguan kesehatan/psikiatri
 Gangguan mental
Psikosis, anxietas, gangguan afektif, panik (nyeri hebat), alcohol
 Berhubungan dengan kondisi kesehatan
Penyakit degeneratif (demensia, parkinson, multiple sklerosis),
epilepsi, status epilepsi, nyeri kepala, Huntington, post traumatik
kepala, stroke, Gilles de-la tourette sindroma.
 Berhubungan dengan kondisi kesehatan
Penyakit asma,penyakit jantung, ulkus peptikus, sindroma
fibrositis, refluks gastrointestinal, penyakit paru kronik (PPOK)

4. Fisiologis Tidur
Kesadaran merujuk pada keadaan sadar tentang dunia luar dan diri sendiri,
termasuk mengetahi alam pikirannya sendiri yaitu, kesadaran pikiran, persepsi ,
mimpi dan sebagainya. Teori ‘global work space’ baha pengalaman kesadaran
bergantung pada otak yang berfungsi sebagai ‘’jaringan otak’’, yaitu kondisi
ketika beberapa kepingan informasi yang tak disadari yang diproses seacra lokal
pada waktu yang bersamaan sehingga disiarkan ke seluruh otak.6
Siklus bangun-tidur, serta berbagai tahapan tidur, disebabkan oleh
hubungan siklik tiga sistem saraf 6:
a. Sistem ketejagaan yang melibatkan RAS di batang otak, yang diperintah
oleh neuron-neuron khusus dihipothalamus. Kelompok neuron ini
menyekresikan neurotransmitter eksitatorik hipokretin (juga dikenal
sebagai oreksin). Neuron penyekresi hipokretin ini melepaskan muatan
secara autonom dan terus menerus serta menjaga kita tetap sadar dan
waspada dengan merangsang RAS.
b. Pusat tidur gelombang-lambat di hipotalamus yang mengandung sleep-on
neuron, yang menginduksi tidur gelombang lambat. Pada pusat pengaturan
tidur ini, sepertinya bekerja menginduksi tidur dengan cara menghambat
neuro yang mencetuskan kesadaran dengan melepaskan neurotransmitter
inhiborik GABA.
c. Pusat tidur paradoks di batang otak yang mengandung REM sleep on
neuron, yang mengubah ke tidur paradoksal.
Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistim ARAS
(Ascending Reticulary Activity System). Bila aktifitas ARAS ini meningkat orang
tersebut dalam keadaan terjaga. Aktifitas ARAS menurun, orang tersebut akan
dalam keadaan tidur. Aktifitas ARAS ini sangat dipengaruhi oleh aktifitas
neurotransmiter seperti sistem serotoninergik, noradrenergik, kholonergik,
histaminergik7.
 Sistem serotonergik
Hasil serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisma asam amino
trypthopan. Dengan bertambahnya jumlah tryptopan, maka jumlah
serotonin yang terbentuk juga meningkat akan menyebabkan keadaan
mengantuk/tidur. Bila serotonin dari tryptopan terhambat
pembentukannya, maka terjadikeadaan tidak bisa tidur/jaga. Menurut
beberapa peneliti lokasi yang terbanyak sistem serotogenik ini terletak
pada nukleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana terdapat hubungan
aktifitas serotonis dinukleus raphe dorsalis dengan tidur REM.
 Sistem Adrenergik
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepineprin terletak di
badan sel nukleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada
lokus cereleus sangat mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur.
Obat-obatan yang mempengaruhi peningkatan aktifitas neuron
noradrenergic akan menyebabkan penurunan yang jelas pada tidur REM
dan peningkatan keadaan jaga.
 Sistem Kholinergik
Sitaram et al (1976) membuktikan dengan pemberian prostigimin intra
vena dapat mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur kholihergik
ini, mengakibatkan aktifitas gambaran EEG seperti dalam keadaan jaga.
Gangguan aktifitas kholinergik sentral yang berhubungan dengan
perubahan tidur ini terlihat pada orang depresi, sehingga terjadi
pemendekan latensi tidur REM. Pada obat antikolinergik (scopolamine)
yang menghambat pengeluaran kholinergik dari lokus sereleus maka
tamapk gangguan pada fase awal dan penurunan REM.
 Sistem histaminergik
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur
 Sistem hormon
Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa
hormone seperti ACTH, GH, TSH, dan LH. Hormon hormon ini masing-
masing disekresi secara teratur oleh kelenjar pituitary anterior melalui
hipotalamus pathway. Sistem ini secara teratur mempengaruhi pengeluaran
neurotransmitter norepinefrin, dopamin, serotonin yang bertugas mengatu
rmekanisme tidur dan bangun.
Tidur nornal memerlukan keadaan saling mempengaruhi dari beberapa
struktur otak, diantaranya 8:
1. Loci nucleus cereleus and sub cereleus (norepinephrin sebagai
neurotransmitternya) menyebabkan insomnia
2. Lesi pada Raphe nuclei atau anterior hipothalamus (serotonin),
menyebabkan transient insomnia
3. Lesi pada posterior hipothalamus menyebabkan narkolepsi
4. Eksitasi dari nukleus traktus solitarius menyebabkan kelelahan
5. nukleus Suprachiasmatik menyebabkan periode irreguler untuk menjadi
tidur dan kesulitan untuk bangun.

Depresi dan Gangguan Tidur.

Gangguan tidur pada orang depresi dapat berasal dari fungsi abnormal
region

yang berperan untuk memulai dan mempertahankan tahap non-REM. Selama


transisi antara sadar sampai tahap non-REM, aktivitas neuronal diturunkan pada
area yang menyebabkan arousal seperti locus coeruleus, raphe nuclei, dan
tuberomammilary nucleus. Selama tahap itu juga neuron thalamocortical
mengalami hiperpolarisasi. Area yang menyebabkan tidur terlokalisasi di preoptic
hypothalamus menunjukkan peningkatan aktivitas selama tahap itu. Pada orang
sehat, tahap non-REM ditandai dengan penurunan aktivitas metabolik dan aliran
darah ke mesencephalic brainstem, thalamus, dan basal forebrain. Pada orang
depresi gangguan tidur dikarenakan aktivitas abnormal pada struktur itu.9
Gangguan regulasi hormon dapat menyebabkan depresi yaitu Cortical
Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Cortical Axis (CHPA). Mekanisme normalnya
adalah adanya pengalaman buruk sehari-hari akan dicatat dalam korteks serebri
dan sistem limbik sebagai stresor. Bagian otak ini akan mengirim pesan ke tubuh
untuk mempersiapkan diri mengatasi stresor tersebut. Target organnya adalah
kelenjar adrenal. Kelenjar ini akan mensekresikan kortisol untuk mempertahankan
hidup. Kortisol berfungsi dalam mengatur tidur, nafsu makan, fungsi ginjal, sistem
imun, dan semua faktor penting dalam kehidupan. Kadar kortisol turun pada saat
malam sebelum tidur, sedangkan pada saat bangun pagi akan meningkat sehingga
kita bisa bangun dengan segar. Peningkatan kortisol akan menyebabkan
mekanisme umpan balik ke hipotalamus untuk mengurangi sekresi Corticotrophin
Releasing Hormone (CRH) dan ke kelenjar hipofisis anterior untuk mengurangi
sekresi Adenocorticotrophin Hormone (ACTH). Sistem CRH merupakan sistem
yang paling terpengaruh oleh stresor yang dialami seseorang pada awal
kehidupannya. Stresor yang berulang akan menyebabkan peningkatan sekresi
CRH dan penurunan sensitivitas reseptor CRH adenohipofisis. Sehingga pada
akhirnya sekresi kortisol juga terganggu. Stresor pada awal kehidupan ini dapat
menyebabkan perubahan yang menetap pada sistem neurobiologik atau dapat
membuat jejak pada sistem saraf yang berfungsi merespon stresor tersebut.
Akibatnya seseorang akan rentan terhadap stresor dan risiko penyakit yang
berkaitan dengan stresor menjadi meningkat. Salah satunya depresi pada saat
dewasa.9
5. Langkah-langkah diagnosis sesuai skenario
Untuk mendiagnosis pasien psikiatri dilakukan dengan 2 jenis anamnesi
yaitu alloanamnesis dan autoanamnesis. Alloanamnesis merupakan anamnesis
yang di dapat dari keluarga pasien tentang keluhan yang dirasakan pasien tersebut.
Sedangkan autoanamnesis ialah anamnesis yang didapat dari pasien itu sendiri.

Anamnesis10

Garis besar riwayat psikiatri, sebagai berikut:

 Data identitas
 Keluhan utama dan masalah
 Riwayat penyakit sekarang onset dan faktor presipitasi
 Riwayat penyakit dahulu psikiatri, medis, riwayat penggunaan zat dan atau
alkohol
 Riwayat pribadi (prenatal, masa kanak dini, pengahan dan akhir atau
remaja, masa dewasa, riwayat pekerjaan, perkawinan, pendidikan, agama,
aktivitas sosial, lingkungan tempat tinggal sekarang)
 Riwayat seksual: pernah mengalami traumadimasa muda/tidak (seperti
diperkosa), pernah melihat kekerasan seksual yang dilakukan ayahnya
pada ibunya/tidak.
Teknik umum pemeriksaan psikiatri, yaitu:

 Bina rapport sejak awal


 Tentukan keluhan utama
 Gunakan keluhan utama untuk DD (Differential Diagnosa)
 Singkirkan DD dengan pertanyaan fokus dan lebih rinci
 Lanjutkan jawaban pasien bila ada jawaban yang kurang jelas (samar-
samar)
 Biarkan pasien bicara bebas untuk mengetahui proses pikir
 Gunakan campuran pertanyaan terbuka dan tertutup
 Jangan takut bertanya hal yang sulit atau mungkin membuat pasien malu
 Tanya tentang ide suicide
 Berikan kesempatan pasien bertanya pada akhir wawancara

Setelah melakukan anamnesis, diagnosis ditegakkan berdasarkan


pengelompokan gejala klinik yang teramati. Diagnosis deskriptif (dengan
mengabaikan berbagai latar belakang teori yang menjelaskan mengapa gejala
tersebut muncul).
Diagnosis multiaksial mempunyai 5 aksis:
1. Aksis I: Diagnosis Klink
Merupakan gejala-gejala klinik yang terbukti dalam pemeriksaan ke
dalam kriteria diagnosis.
Contohnya: gangguan depresi (gejala utama adalah rasa sedih),
gangguan psikotik (gejala utamanya kehilangan kemampuan menilai
realitas), gangguan cemas (gejala utamanya adalah cemas).
2. Aksis II: Ciri/gangguan Kepribadian dan Retradasi Mental
Merupakan ciri atau gangguan kepribadian yaitu pola perilaku yang
menetap (kebiasaan,sifat) yang tampak dalam presepsitentang diri dan
lingkungan (yang akan ditampilkan dalam pola interaksi dengan orang
lain)
Contoh : gangguan kepribadian anankastik segala sesuatu yang dilihat
harus sempurna, orang lain harus mengikuti perkataanya sehingga
seringkali menimbulkan kekecewaan pada dirinya, sering terdapat
suatu yang mengakibatkan obsesif kompulsif.
3. Aksis III: Penyakit Fisik
Penyakit atau kondisi fisik, khususnya yang perlu diperhatikan pada
tatalaksanaan atau menjadi penyebab munculnya gangguan yang
dituliskan di aksis I.
4. Aksis IV: Stresor Psikososial
Merukapan stressor psikososial yaitu semua peristiwa yang
mencetuskan gangguan yang dituliskan di aksis I.
Contoh : Hubungan antara individu (bercerai, ditinggal meninggal).
5. Aksis V: Fungsi Penyesuaian
Fungsi penyesuaian yang dinilai dari:
- Fungsi sosial (hubungan sosial dengan keluarga dan masyarakat)
- Fungsi peran (yang dinilai mutu dan produktivitas peran yang
disandang subjek)
- Pemanfaatan waktu luang
- Fungsi perawatan diri

Pemeriksaan Psikiatri10

Bicara:

Kualitas dan kuantitas pembicaraan pasien dapat menginformasikan proses


pikirnya. Kualitasnya berupa relevansi, kepatuhan,koherensi, kejelasan, dan
volume suara. Kuantitas yaitu banyak dan cepatnya pembicaraan serta suasana.

Persepsi :

1) Halusinasi
Dapat berupa halusinasi auditorik, visual, gustatorik, taktil, olfaktorik,
kinestetik, viseral, hipnagonik, histerik dan formicatioon. Tanyakan
apakah pasien mendengar suara orang saat tidak ada orang disekitar,
apakah suara tersebut datang dari luar atau didalam kepala, apakah ada
halusinasi perintah dan apa reaksi pasien atas halusinasi tersebut.
2) Ilusi
Merupakan penilaian yang salah tentang pencerapan yang sungguh terjadi.
3) Depersonalisasi
Adalah perasaan aneh tentang dirinya bahwa dirinya telah berubah dan
tidak seperti biasa lagi. Contohnya pengalaman diluar tubuh (out of body
experience) dan sesuatu dari bagian tubuhnya bukan lagi kepunyaannya.
4) Derealisasi
Adalah perasaan aneh tentang lingkungannya berubah dan tidak sesuai
kenyataan.

Proses Pikir:

1. Bentuk Pikiran

Cara bagaimana buah pikir terhubungkan. Pikiran normal adalah bertujuan dan
terangkai berurutan dengan hubungan yang logis.

2. Isi Pikiran

Dapat terjadi gangguan isi pikiran seperti waham, fobia, fantasi, obsesi,
suicidal thoughts, dan lain-lain.

3. Mimpi atau Fantasi

4. Gangguan proses pikir

Pemeriksaan Status Mental10

Pemeriksaan status mental merupakan bagian dari pengkajian klinis yang


medeskripsikan keseluruhan observasi yang dilakukan oleh pemeriksaan dan
kesan didapatkan dari pasien psikiatri saat dilakukan wawancara. Walaupun
riwayat pasien tetap stabil, status mental pasien dapat berubah setiap hari atau
setiap jam. Pemeriksaan status mental adalah gambaran penampilan pasien, cara
bicara, tindakan, pikiran selama wawancara. Bahkan bila pasien membisu,
inkoheren, atau menolak jawaban pertanyaan, dokter dapat memperoleh segudang
informasi berdasarkan pengamataan yang cermat.

A. Deskripsi Umum
- Penampilan
- Perilaku dan psikomotor
- Sikap terhadap pemeriksa

B. Mood dan Afek

- Mood

- Afek

- Keserasian

C. Pembicaraan

D. Gangguan Persepsi

- Halusinasi Auditorik

- Halusinasi Visual

- Halusinasi Taktil

E. Pikiran

-Proses dan bentuk Pikiran

- Isi pikiran

F. Kesadaran dan Kognisi

- Taraf kesadaran

- Orientasi (waktu, tempat, orang)

- Daya Ingat (segera, janga pendek, jangka menengah, jangka panjang)

- Konsentrasi dan perhatian


- Kemampuan membaca dan menulis

- Kemampuan Visuospasial

G.Pengendalian Impuls

H. Daya Nilai dan Tilikan

- Daya nilai sosial

- Uji daya nilai

- Penilaian Realita

- Tilikan

I. Taraf Dapat Dipercaya

Pemeriksaan Penunjang11

Uji laboratorium dalam psikiatri

1. Uji Neuroendokrin Uji Fungsi Tiroid

Uji ini digunakan untuk menyingkirkan hipotiroidisme yang dapat muncul


dengan gejala depresi. Pada sejumlah studi, hingga 10 persen pasien yang
mengeluh depresi serta kelelahan terkait ternyata mengalami penyakit
hipotiroidisme insipien. Tanda dan gejala terkait lain yang umum terdapat pada
baik depresi maupun hipotiroidisme meliputi kelemahan, kekakuan, tidak nafsu
makan, konstipasi, menstruasi tidak teratur, bicara melambat. apati, memori
terganggu, dan bahkan halusinasi serta waham.

Litium dapat menyebabkan hipotiroidisme dan yang lebih jarang,


hipertiroidismemenguraikan pemantauan fungsi tiroid yang disarankan untuk
pasien yang mengonsumsi litium. Hipotiroidisme neonatorum mengakibatkan
retardasi mental dan dapat dicegah bila diagnosis ditegakkan saat lahir.

2. Uji perangsangan hormon pelepas tiroid (TRH)


Indikasikan untuk pasien dengan hasil uji tiroid yang berada di perbatasan
abnormal yang mengisyaratkan adanya hipotiroidisme subklinis, yang
mungkin menyebabkan depresi klinis. Uji ini juga dilakukan pada pasien dengan
kemungkinan hipotiroidisme yang terinduksi litium. Prosedur ini membutuhkan
injeksi TRH 500 mg intravena (IV), yang menghasilkan peningkatan tajam TSH
serum bila diukur dalam 15, 30, 60, dan 90 menit. Peningkatan TSH serum dari
5 sampai 25 nIU/ml di atas nilai dasar dianggap normal. Peningkatan kurang dari
7 pilU/ml dianggap respons menumpul, yang mungkin berkorelasi dengan
diagnosis gangguan depresif Delapan persen dari semua pasien dengan gangguan
depresif mengalami kelainan tiroid tertentu.

3. Uji Supresi Deksametason

Deksametason adalah glukokortikoid sintetik kerja lama dengan waktu


paruh yang panjang. Deksametason 1 mg kurang lebih setara dengan kortisol 25
mg. Uji supresi deksametason (DST) digunakan untuk membantu memastikan
kesan diagnostik gang-guan depresif mayor.

Prosedur :

Pasien diberikan deksametason 1 mg per oral pada pukul 11 malam dan kadar
kortisol plasma diukur pada pukul 8 pagi, 4 sore, dan 11 malam. Kadar kortisol
plasma di atas 5 ug/dl (disebut nomupresi) dianggap abnormal (yaitu positif).
Supresi kortisol mengindikasikan bahwa sumbu hipotalamus-adrenal-hipofisis
bekerja dengan baik. Sejak tahun 1930an, disfungsi pada sumbu ini diketahui
berkaitan dengan stres. DST dapat digunakan untuk menindaklanjuti respons
pasien depresif terhadap pengobatan. Meski demikian, normalisasi DST bukan
merupakan indikasi untuk menghentikan pengobatan antidepresan karena DST
dapat menjadi normal sebelum depresi sembuh.

Reliabilitasi

Masalah yang terkait dengan DST mencakup berbagai laporan mengenai


sensitivitas dan spesifisitasnya.Hasil positif palsu dan negatifpalsu sering
dijumpai. Sensitivitas DST dianggap sebesar 45 persen pada gangguan depresif
mayor dan 70 persen pada episode depresi mayor dengan ciri psikotik.
Spesifisitasnya 90 persen dibanding kontrol dan 77 persen bila dibandingkan
dengan diagnosis psikiatri lain. Sejumlah bukti mengisyaratkan bahwa pasien
dengan hasil DST positif (terutama 10 ug/dL) akan menunjukkan respons yang
baik terhadap pengobatan somatik. seperti terapi elektrokonvulsi atau terapi
antidepresan siklik.

4. Uji Endokrin Lain

Banyak hormon lain yang memengaruhi perilaku. Pemberian hormon secara


eksogen telah terbukti memengaruhi perilaku dan penyakit endokrin yang telah
dikenal menyebabkan gangguan mental. Selain hormon tiroid, hormon tersebut
meliputi hormon prolaktin hipofisis anterior, hormon pertumbuhan, somatostatin,
hormon pelepas gonadotropin, serta steroid seks—luteinizing hormone, follicle-
stimulating hormone, testosteron, dan estrogen. Melatonin dari kelenjar pineal
dianggap terlibat dalam gangguan afektif musiman (yang disebut gangguan mood
dengan pola musiman pada edisi revisi keempat DSM IV). Gejala ansietas atau
depresi dapat dijelaskan pada sejumlah pasien berdasarkan perubahan nonspesifik
pada fungsi atau homeostasis endokrin.

Katekolamin

Kadar metabolit serotonin asam 5-hidroksiindolasetat (5-HIAA) meningkat pada


urine pasien dengan tumor karsinoid. Peningkatan kadar kadang-kadang terlihat
pada pasien yang menjalani peng-obatan dengan fenotiazin dan pada mereka yang
mengonsumsi makanan tinggi serotonin (contohnya walnut, pisang. dan alpukat).
Jumlah 5-HIAA dalam cairan serebrospinal (LCS) rendah pada beberapa orang
dengan depresi yang mengarah ke bunuh diri serta studi posmortem pada mereka
yang melakukan bunuh diri, terutama dengan cara yang sangat kasar. Rendahnya
kadar 5-HIAA LCS secara umum dikaitkan dengan kekerasan. Norepi-nefrin dan
produk metaboliknya—metanefrin, normetanefrin, serta asam vanililmandelat—
dapat terlacak dalam urine, darah, dan plasma. Kadar katekolamin plasma sangat
meningkat pada feokromositoma, yang dikaitkan dengan ansietas, agitasi, dan
hipertensi. Beberapa kasus ansietas kronik menunjukkan pening- katan kadar
norepinefrin dan epinefrin darah. Sejumlah pasien depresi memiliki rasio
norepinefrin terhadap epinefrin urine yang rendah. Kadar norepinefrin dan
epinefrin urin yang tinggi ditemukan pada beberapa pasien dengan gangguan
stress pascatrauma. Kadar metabolik norepinefrin 3-metoksi-4-hidroksifenilglikol
menurun pada pasien dengan gangguan depresif berat, terutama pada pasien yang
mencoba bunuh diri.

5. Uji Fungsi Ginjal

Bersihan kreatinin mendeteksi kerusakan ginjal secara dini dan dapat dipantau
secara serial untuk mengikuti perjalanan penyakit ginjal. Nitrogen urea darah
(BUN) juga meningkat pada penyakit ginjal dan diekskresi melalui ginjal; BUN
dan kreatinin serum dipantau pada pasien yang mengonsumsi litium (Eskalith).
Bila BUN atau kreatinin serum abnormal, dilakukan uji bersihan kreatinin 2-jam
dan, pada akhirnya, bersihan kreatinin 24-jam. Tabel 4-2 merangkum pemeriksaan
laboratorium lain untuk pasien yang mengonsumsi litium.

6. Uji Fungsi Hati

Kadar bilirubin direk dan bilirubin total meningkat pada cedera hepatoselular dan
stasis empedu intrahepatik, yang dapat terjadi pada pengobatan dengan fenotiazin
atau trisiklik serta pada penyaiahgunaan alkohol dan zat lain. Obat tertentu—
contohnya fenobarbital (Luminal)—dapat menurunkan konsentrasi bilirubin
serum. Penyakit atau kerusakan hati, yang tercermin dari temuan abnormal pada
uji fungsi hati (LFT) dapat bermanifestasi dengan tanda dan gejala gangguan
kognitif, termasuk disorientasi dan delirium. Gangguan fungsi hati dapat
meningkatkan waktu paruh eliminasi obat tertentu, termasuk beberapa jenis
benzodiazepin, sehingga obat tersebut dapat tinggal lebih lama dalam sistem
tubuh dibanding pada keadaan normal. LFT harus dipantau secara rutin bila
menggunakan obat tertentu, seperti karbamazepin (Tegretol) dan valproat
(Depakene).
Pemeriksaan Penunjang yang lainnya ialah MRI, CT-Scan dan tes MMPI
merupakan pemeriksaan penunjang tambahan.11

6. Diagnosis banding sesuai skenario


a. Gangguan cemas menyeluruh

Definisi

Perasaan khawatir (cemas yg berat & menyeluruh & menetap (bertahan


lama) & disertai dengan gejala somatic (motorik & otonomik) yg menyebabkan
gangguan fungsi sosial dan/ fungsi pekerjaan atau perasaan nyeri hebat,
perasaan tak enak.

Epidemiologi

Prevalensi : 3% - 8% dari populasi umum. 50% penderita GAM juga


mempunyai ggn mental lain. Onset antara usia 20-30 tahun, ratio laki-laki
:perempuan = 2 :1. Kebanyakan pasien GAM pergi berobat pada dokter umum,
internist, cardiologist, pulmonolog, gastro-entrologist oleh karena gejala
somatiknya Komorbiditas gangguan anxietas menyeluruh 90% memiliki
setidaknya satu kali seumur hidup mengalami gangguan ini, 66% memiliki
gangguan saat Axis I lainnya.12

Pedoman diagnostik menurut PPDGJ III.13

a. Penderita harus menunjukkan kecemasan sebagai gejala primer yang


berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa
bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjolpada keadaan situasi khusus
tertentu saja (sifatnya “free floating” atau “mengambang”.
b. Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut :
1) Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung
tanduk, sulit konsentrasi, dsb)
2) Ketegangan motoric (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat
santai); dan
3) Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung
berdebar-debar, sesak nafas, keluhan kembung, pusing kepala,
mulut kering, tung berdebar-debar, sesak nafas, keluhan kembung,
pusing kepala, mulut kering, dsb).
c. Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk
ditenangkan (reassurance) serta keluhan-keluhan somatic berulang yang
menonjol.
d. Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari),
khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama. Gangguan
anxietas menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap
dari episode depresi (F32), gankap dari episode depresi (F32), gangguan
anxietas fobik (F40), gangguan panic (F41.0), gangguan obsesif kompulsif
(F42.)

Penatalaksanaan

Penanganan pasien GAM yang efektif adalah kombinasi antara psikoterapi


dan farmakoterapi.12

1. Psikoterapi : kognitif pelaku, suportif, berorientasi insight. Dengan


pasien, didiskusikan, problemnya → anxietas ↓↓ dgn penuh perhatian
& empati. Situasi stresful, kalau ada hrs dihilangkan.
2. Farmakoterapi :
- Pengobatan dgn obat perlu 6 - 12 bln atau lebih lama.
- 25% pasien relaps setelah 1 bln obat dihentikan.
- 60% - 80% penderita relaps dlm waktu 1 thn.

Benzodiazepine (Drugs of choice)

- Alprazolam, lorazepam, diazepam, clobazam

Non Benzodiazepine

- efektif 60% - 80%


- perlu waktu : 2-3minggu baru terlihat hasilnya
- Buspirone, Hydroxycine

Antidepressan

- Trisiklik: amitriptilin
- Tetrasiklik: maprotiline
- SSRI:fluoxetine,sertraline, paroxetine, fluvoxamine, escitalopram
- SSRE: tianeptine
- SNRI: mirtazapine, duloxetine, venlafaxine

Beta Bloker

Prognosis

- Sulit diramalkan
- Mungkin berlangsung selama hidup (kronik)
- 25% pasien akan mengalami gangguan panik
- % tinggi penderita akan mempunyai / menderita gangguan depresi berat12
b. Gangguan depresi

Pengertian dan Klasifikasi

Panduan Statistik Diagnostik Asosiasi Psikiatri Amerika tentang Gangguan


Mental, Edisi Kelima (DSM-5) mengklasifikasikan gangguan depresi sebagai
gangguan disregulasi suasana hati yang mengganggu, gangguan depresi mayor
(termasuk episode depresi mayor), gangguan depresi persisten (dysthymia),
gangguan dysphoric pramenstruasi, dan gangguan depresi karena kondisi medis
lain. Selain itu, gangguan depresi dapat dikategorikan lebih lanjut oleh
specifiers yang mencakup onset peripartum, pola musiman, fitur melankolis,
mood-congruent atau mood-incuneingent psychotic features, kecemasan cemas,
dan katatonia. Ciri umum dari gangguan depresi adalah adanya suasana hati
yang sedih, kosong, atau mudah tersinggung, disertai dengan perubahan
somatik dan kognitif yang secara signifikan mempengaruhi kapasitas individu
untuk berfungsi.14

Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari gangguan depresi mayor belum didefinisikan
secara jelas. Bukti saat ini menunjukkan interaksi kompleks antara ketersediaan
neurotransmitter dan regulasi reseptor dan sensitivitas yang mendasari gejala
afektif.

Uji klinis dan praklinis menunjukkan gangguan dalam aktivitas serotonin


sistem saraf pusat (5-HT) sebagai faktor penting. Neurotransmitter lain yang
terlibat termasuk norepinefrin (NE), dopamin (DA), glutamat, dan faktor
neurotropik yang diturunkan dari otak (BDNF). Namun, obat yang hanya
menghasilkan peningkatan akut dalam ketersediaan neurotransmitter, seperti
kokain atau amfetamin, tidak memiliki kemanjuran dari waktu ke waktu yang
dilakukan antidepresan.

Lesi vaskular dapat berkontribusi terhadap depresi dengan mengganggu


jaringan saraf yang terlibat dalam regulasi emosi - khususnya, jalur
frontostriatal yang menghubungkan korteks prefrontal dorsolateral, korteks
orbitofrontal, cingulate anterior, dan cingulate dorsal. Komponen lain dari
sirkuit limbik, khususnya hippocampus dan amygdala, telah terlibat dalam
depresi.15

Epidemiologi

Depresi lebih sering terjadi pada wanita dan orang berusia 40-59 tahun.
Dengan pengobatan yang tepat, 70-80% individu dengan gangguan depresi
mayor dapat mencapai pengurangan gejala yang signifikan.14

Tanda dan gejala

Sebagian besar pasien dengan gangguan depresi mayor datang dengan


penampilan normal. Pada pasien dengan gejala yang lebih berat, penurunan
dalam perawatan dan kebersihan dapat diamati, serta perubahan berat badan.
Pasien juga dapat menunjukkan hal-hal berikut16:

 Retardasi psikomotor
 Meratakan atau kehilangan reaktivitas dalam mempengaruhi pasien
(yaitu, ekspresi emosional)
 Agitasi psikomotor atau kegelisahan
 Gangguan depresi mayor

Di antara kriteria untuk gangguan depresi mayor, setidaknya 5 gejala


berikut harus muncul selama periode 2 minggu yang sama (dan setidaknya 1
gejala harus dikurangi minat / kesenangan atau perasaan depresi)16 :

 Depresi mood: Untuk anak-anak dan remaja, ini juga bisa menjadi
suasana hati yang mudah tersinggung
 Minat yang berkurang atau kehilangan kesenangan di hampir
semua kegiatan (anhedonia)
 Perubahan berat badan yang signifikan atau gangguan nafsu makan:
Untuk anak-anak, ini bisa menjadi kegagalan untuk mencapai berat
badan yang diharapkan
 Gangguan tidur (insomnia atau hypersomnia)
 Agitasi psikomotor atau keterbelakangan
 Kelelahan atau kehilangan energy
 Perasaan tidak berharga
 Kemampuan berpikir atau berkonsentrasi berkurang; keraguan
 Pikiran berulang tentang kematian, ide bunuh diri berulang tanpa
rencana spesifik, atau upaya bunuh diri atau rencana khusus untuk
melakukan bunuh diri.

Tatalaksana

Pada semua populasi pasien, kombinasi pengobatan dan psikoterapi


umumnya memberikan respons yang cepat dan berkelanjutan.17

1. Farmakoterapi
Obat-obatan yang digunakan untuk pengobatan depresi termasuk yang
berikut:
 Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
 Serotonin / norepinefrin reuptake inhibitor (SNRI)
 Antidepresan atipikal
 Antidepresan trisiklik (TCA)
 Penghambat monoamine oxidase (MAOIs)
2. Psikoterapi
Ada sejumlah perawatan psikoterapi berbasis bukti untuk orang dewasa
dengan gangguan depresi mayor. Berikut ini telah dianggap memiliki dukungan
penelitian yang kuat oleh Divisi 12 dari American Psychological Association:
 Terapi Perilaku / Aktivasi Perilaku
 Terapi Kognitif
 Sistem Analisis Perilaku Kognitif Psikoterapi
 Psikoterapi interpersonal (IPT)
 Terapi pemecahan masalah (PST)
 Terapi Self-Manajemen / Kontrol Diri

Perawatan psikoterapi berbasis bukti untuk anak-anak dan remaja dengan


gangguan depresi mayor termasuk yang berikut:

 Psikoterapi interpersonal (IPT)


 Terapi perilaku kognitif (CBT)
 Terapi perilaku (BT)

Banyak dari perawatan ini menggabungkan komponen orangtua / keluarga


ketika bekerja dengan anak-anak atau remaja.

3. Terapi elektrokonvulsif
Terapi Electroconvulsive (ECT) adalah pengobatan yang sangat efektif
untuk depresi. Indikasi untuk ECT termasuk yang berikut:
 Perlunya tanggapan antidepresan yang cepat
 Kegagalan terapi obat
 Sejarah tanggapan yang baik terhadap ECT
 Preferensi pasien
 Risiko tinggi untuk bunuh diri
 Risiko tinggi morbiditas dan mortalitas medis

Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk depresi termasuk gangguan kejiwaan lainnya,


penyakit CNS, gangguan endokrin, kondisi terkait obat, penyakit menular dan
inflamasi, dan gangguan terkait tidur.17

c. Insomnia
Definisi Insomnia
Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal
kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif
yang berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan
atau gangguan dalam fungsi individu. The International Classification of
Diseases mendefinisikan Insomnia sebagai kesulitan memulai atau
mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3 malam/minggu selama minimal
satu bulan. Menurut The International Classification of Sleep Disorders,
insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa
tidak nyaman setelah episode tidur tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala
kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau
mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk melakukannya.
Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala yang memiliki
berbagai penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik dan pemakaian
obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya tingkat energi dan
suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.18

Klasifikasi Insomnia

a. Insomnia Primer

Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau
susah tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita
insomnia. Pola tidur, kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur
seringkali menjadi penyebab dari jenis insomnia primer ini.

b. Insomnia Sekunder

Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya
kondisi medis. Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan
dementia dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10
orang. Selain itu masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri
juga dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan biasanya
mempengaruhi 1 dari 10 orang yang menderita insomnia atau susah tidur.
Insomnia sekunder juga dapat disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan
yang diminum untuk suatu penyakit tertentu, penggunaan obat-obatan yang
terlarang ataupun penyalahgunaan alkohol. Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2
dari 10 orang yang menderita insomnia.

Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu


International code of diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM) IV dan International Classification of Sleep Disorders
(ISD).19

Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu:

• Organik

• Non organik

- Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)

- Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mimpu
buruk, berjalan sambil tidur, dll)

Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder.


Insomnia disini adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1
bulan dan sudah menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.

Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
1. Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain

2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum

3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu

4. Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali


dengan kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini menetap
dan diderita minimal 1 bulan.

Berdasarkan International Classification of Sleep Disordes yang direvisi,


insomnia diklasifikasikan menjadi:

a. Acute insomnia

b. Psychophysiologic insomnia

c. Paradoxical insomnia (sleep-state misperception)

d. Idiopathic insomnia

e. Insomnia due to mental disorder

f. Inadequate sleep hygiene

g. Behavioral insomnia of childhood

h. Insomnia due to drug or substance

i. Insomnia due to medical condition

j. Insomnia not due to substance or known physiologic condition, unspecified


(nonorganic)

k. Physiologic insomnia, unspecified (organic)

Etiologi Insomnia

• Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga


dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk
tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit
dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat
menyebabkan insomnia.

• Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan


kimia dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.

• Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur,


termasuk beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat
alergi, stimulan (seperti Ritalin) dan kortikosteroid.

• Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang
mengandung kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan
stimulan yang dapat menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat penenang
yang dapat membantu seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih
dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah malam.

• Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan


bernapas dan sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami
insomnia lebih besar dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut.
Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung,
penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease (GERD), stroke,
penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.

• Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh


atau pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama
sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak
sebagai jam internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu
tubuh.

• 'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan
tentang tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh
tertidur. Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika
mereka berada jauh dari lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka
tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka menonton TV atau
membaca.19
Tanda dan Gejala Insomnia

• Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari

• Sering terbangun pada malam hari

• Bangun tidur terlalu awal

• Kelelahan atau mengantuk pada siang hari

• Iritabilitas, depresi atau kecemasan

• Konsentrasi dan perhatian berkurang

• Peningkatan kesalahan dan kecelakaan

• Ketegangan dan sakit kepala

• Gejala gastrointestinal

Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ 320

• Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:

a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau


kualitas tidur yang buruk

b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan

c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan
terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari

d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan


penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan
pekerjaan

• Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan
diagnosis insomnia diabaikan.

• Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya


gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak
memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”) tidak didiagnosis
di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau gangguan
penyesuaian (F43.2)

Tatalaksana

1. Non Farmakoterapi

a. Terapi Tingkah Laku

Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan
mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku
ini umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk
penderita insomnia.

Terapi tingkah laku meliputi21

- Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.

- Teknik Relaksasi.

Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat biofeedback, dan


latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi kecemasan saat
tidur. Strategi ini dapat membantu Anda mengontrol pernapasan, nadi, tonus
otot, dan mood.

- Terapi kognitif.

Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan pemikiran
yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling tatap muka atau
dalam grup.

- Restriksi Tidur.

Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di tempat


tidur yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.

- Kontrol stimulus
Terapi ini dimaksudkan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk
beraktivitas.

2. Farmakologi

Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu


benzodiazepine dan non-benzodiazepine.21

a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)

b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)

Prognosis

Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada
gangguan lain seperti depresi dan lain-lain. Lebih buruk jika gangguan ini
disertai skizophrenia.21

7. Penatalaksaan sesuai skenario


a. Pendekatan hubungan antara pasien dan dokter, tujuannya22:
• Untuk mencari penyebab dasarnya danpengobatan yang adekuat
• Sangat efektif untuk pasien gangguan tidur kronik
• Untuk mencegah komplikasi sekunder yang diakibatkan oleh
penggunaan obat hipnotik,alkohol, gangguan mental
• Untuk mengubah kebiasaan tidur yang jelek
b. Konseling dan Psikotherapi
Psikotherapi sangat membantu pada pasien dengan gangguan psikiatri
seperti (depressi, obsessi, kompulsi), gangguan tidur kronik. Dengan
psikoterapi ini kita dapat membantu mengatasi masalah-masalah gangguan
tidur yang dihadapi oleh penderita tanpa penggunaan obat hipnotik.
Sleep hygiene terdiri dari:
a. Tidur dan bangunlah secara reguler/kebiasaan
b. Hindari tidur pada siang hari/sambilan
c. Jangan mengkonsumsi kafein pada malam hari
d. Jangan menggunakan obat-obat stimulan seperti decongestan
e. Lakukan latihan/olahraga yang ringan sebelum tidur
f. Hindari makan pada saat mau tidur, tapi jangan tidur dengan perut
kosong
g. Segera bangun dari tempat bila tidak dapat tidur (15-30 menit)
h. Hindari rasa cemas atau frustasi
i. Buat suasana ruang tidur yang sejuk, sepi, aman dan enak

8. Perspektif Islam

“dan kami menjadikan tidurmu untuk istirahat, dan kami menjadikan


malam sebagai pakaian, dan Kami menjadikan siang untuk mencapai
penghidupan.” (QS. An-Naba’: 9-10)

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka tentram dengan


mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi
tentram.”(QS.Ar-Ra’d:28)
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton A.C., Hall. J. E.1998. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. 9.
Jakarta:EGC
2. Ayu, Saphira. 2013. Hubungan Gangguan Tidur dengan Perkembangan
pada Anak. FK UNDIP: Semarang
3. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA, : Synopsis of Psychiatry-Behavioral
Sciences Clinical Pshychiatry, 10th Edition, William & Wilkins, Baltimore,
2007, p749-753.
4. Kusumadewi, Irmia. 2017. Buku Ajar Psikiatri. Edisi ketiga. Jakarta. Badan
Penerbit Faklutas Kedokteran Universitas Indonesia
5. Jurnal “GANGGUAN TIDUR” Dr ISKANDAR JAPARD. Fakultas
Kedokteran Bagian Bedah-Universitas Sumatera Utara
6. Sherwood, Lauralee. 2013, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8,
Jakarta : ECG hal 148
7. Japardi, Iskandar. 2002. Gangguan Tidur, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Bagian Bedah
8. Fox, Stuart. 2002. Human Physiology. Boston, McGrawHill. Hal. 340
9. Radityo, eko.2012. Depresi dan Gangguan Tidur, Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana
10. W.F Maramis.2009.Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.Surabaya: Penerbit
Airlangga University Press
11. Kaplan, Sadock, 1997 Synopsis of Psychiatry. Ed7th. Binarupa Aksara,
Jakarta
12. Slide Kuliah dr. Irma Santy, Sp. KJ. Gangguan Non-Psikotik. 2018
13. Dr. dr. Rusdi Muslim SpKJ, m.Kes. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa.
Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM 5.
14. American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders, Fifth Edition. Washington, DC: American Psychiatric
Association
15. Pampallona S, Bollini P, Tibaldi G, Kupelnick B, Munizza C. 2004.
Combined pharmacotherapy and psychological treatment for depression: a
systematic review. Arch Gen Psychiatry. Hal:714-9.
16. Ishak WW, Ha K, Kapitanski N, Bagot K, Fathy H, Swanson B, et al. 2011.
The impact of psychotherapy, pharmacotherapy, and their combination on
quality of life in depression. Harv Rev Psychiatry. Hal:277-89.
17. Hollon SD, Ponniah K. 2010. A review of empirically supported
psychological therapies for mood disorders in adults. Depress Anxiety.
Hal:891-932
18. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed:
Wiguna, I Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher
19. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC
20. Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan
Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya.
21. Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
22. Japardi, dr Iskandar. 2002. Gangguan Tidur. Fakultas Kedokteran Bagian
Bedah Universitas Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai