Anda di halaman 1dari 16

MENGANALISIS TINGKAT KESADARAN PASIEN

A. Tingkat Kesadaran

1. Definisi Tingkat Kesadaran

Kesadaran merupakan keadaan kesadaran seseorang terjaga dan waspada,


dimna sebagain besar manusia berfungsi saat tidur atau salah satu tahap tidur
normal yang dikenali dari mana orang tersebut dapat segera dibangunkan
(O’Callaghan, 2016). Keadaan seseorang yang terhaga dan waspada disebut
juga dengan tingkat kesadaran dimana tingkat kesadaran menggambarkan
seseorang dapat melakukan aktivitas, komunikasi, dan mengidientifikasi
lingkungan sekitar (Dwiyanto, et al., 2022).
Tingkat kesadaran seseorang dapat menurun sehingga mengakibatkan
kewaspadaannya juga mengalami penurunan. Penurunan tingkat kesadaran
dapat mengakibatkan terjadinya hal yang dapat mengancam jiwa yang berujung
pada kematian. Tingkat kesadaran juga dapat menjadi tanda kegawatdaruratan
neurologis akut yang ditandai dengan kerusakan otak dan memerlukan
penanganan dan evaluasi yang sangat cepat (Reynolds et al., 2018).
Seseorang dikatakan mengalami penurunan tingkat kesadaran jika
kemampuan dalam merespon rangsangan hanya muncul ketika diberikan
stimulasi suara ataupun nyeri, tetapi seseorang itu tidak merespon rangsangan
yang telah diberikan. Hal ini akan mengakibatkan perburukan kondisi buruk
pada dirinya.

2. Fisiologi Pengaturan Kesadaran

Pusat pengaturan kesadaran pada manusia secara anatomi terletak pada


serabut transversal retikularis dari batang otak sampai thalamus dan dilanjutkan
dengan formasio activator reticularis, yang menghubungkan thalamus dengan
korteks cerebri. Formasio reticularis terletak di substansi grisea otak dari daerah
medulla oblongata sampai midbrain dan thalamus. Neuron formasio reticularis
menunjukkan hubungan yang menyebar. Perangsangan formasio reticularis
midbrain membangkitkan gelombang beta, individu menjadi dalam keadaan
bangun dan terjaga. Lesi pada formasio reticularis midbrain mengakibatkan
orang dalam stadium koma. Jadi formasio reticularis midbrain merangsang
ARAS (Ascending Reticular Activating System), suatu proyeksi serabut difus
yang menuju bagian area di forebrain. Nuklei reticular thalamus juga masuk
dalam ARAS, yang juga mengirimkan serabut difus ke semua area di korteks
cerebri (Snell, 2016).
Formasio reticularis secara difus menerima dan menyebarkan rangsang,
menerima input dari korteks cerebri, ganglia basalis, hipothalamus, sistem
limbik, cerebellum, medula spinalis dan semua sistem sensorik. Sedangkan
serabut efferens formasio retikularis yaitu ke medula spinalis, cerebellum,
hipothalamus, sistem limbik dan thalamus yang lalu akan berproyeksi ke
korteks cerebri dan ganglia basalis (Price & Wilson, 2012). ARAS juga
mempunyai proyeksi non spesifik dengan depolarisasi global di korteks,
sebagai kebalikan dari proyeksi sensasi spesifik dari thalamus yang mempunyai
efek eksitasi korteks secara khusus untuk tempat tertentu. Eksitasi ARAS umum
memfasilitasi respon kortikal spesifik ke sinyal sensori spesifik dari thalamus.
Dalam keadaan normal, sewaktu perjalanan ke korteks, sinyal sensorik dari
serabut sensori aferens menstimulasi ARAS melalui cabang-cabang kolateral
akson. Jika sistem aferens terangsang seluruhna, proyeksi ARAS memicu
aktivasi kortikal umum dan terjaga (Snell, 2016).
Neurotransmitter yang berperan pada ARAS yaitu neurotransmitter
kolinergik, monoaminergik dan GABA. Korteks serebri merupakan bagian yang
terbesar dari susunan saraf pusat di mana korteks ini berperan dalam kesadaran
akan diri sendiri terhadap lingkungan atau input-input rangsang sensoris
(awareness). Jadi kesadaran akan bentuk tubuh, letak berbagai bagian tubuh,
sikap tubuh dan kesadaran diri sendiri merupakan funsi area asosiasi somestetik
(area 5 dan 7 brodmann) pada lobus parietalis superior meluas sampai
permukaan medial hemisfer. Jaras kesadarannya: masukan impuls dari pusat
sensorik pada korteks serebri menuju ARAS → diproyeksikan kembali ke
korteks cerebri → terjadi peningkatan aktivitas korteks dan kesadaran (Price &
Wilson, 2012).

B. Etiologi Penurunan Kesadaran

1. Gangguan Metabolik Toksik

Gangguan metabolik toksik adalah satu dari sekian banyaknya etiologi


dari terjadinya gangguan kesadaran. Fungsi dan metabolisme otak sangat
bergantung pada tercukupinya penyediaan oksigen. Adanya penurunan aliran
darah otak (ADO), akan menyebabkan terjadinya kompensasi dengan
menaikkan ekstraksi oksigen (O2) dari aliran darah. Apabila ADO turun lebih
rendah lagi, maka akan terjadi penurunan konsumsi oksigen di otak. Glukosa
merupakan satu-satunya substrat yang digunakan otak dan teroksidasi menjadi
karbondioksida (CO2) dan air. Untuk memelihara integritas neuronal,
diperlukan penyediaan Adenosin Tri Phosphate (ATP) yang konstan untuk
menjaga keseimbangan elektrolit. Oksigen dan glukosa memegang peranan
penting dalam memelihara keutuhan kesadaran. Namun, meskipun
penyediaan O2 dan glukosa tidak terganggu, kesadaran individu tetap dapat
terganggu oleh adanya gangguan asam basa darah, elektrolit, osmolalitas,
ataupun defisiensi vitamin (Maiese, 2017). Adapun gangguan proses
metabolisme dibagi menjadi:
a. Ensefalopati Metabolik Primer

Disebabkan karena penyakit degenerasi serebri yang menyebabkan


terganggunya metabolisme sel saraf dan glia misalnya pada penyakit
Alzheimer.
b. Ensefalopati Metabolik Sekunder
Penurunan kesadaran terjadi bila penyakit ekstraserebral melibatkan
metabolisme otak yang mengakibatkan kekurangan nutrisi, gangguan
keseimbangan elektrolit ataupun intoksikasi. Pada koma metabolik ini
biasanya ditandai dengan gangguan sistem motorik, tetapi ditandai dengan
tetap adanya refleks pupil dan gerakan-gerakan ekstraokuler (Maiese,
2017).

2. Injuri Serebral

Injuri serebral dapat terjadi primer atau terjadi sekunder saat kejadian.
Beberapa mekanisme injuri primer terjadi saat trauma kepala dan medulla
spinalis, iskemia umum seperti gagal jantung atau regional seperti pada stroke,
inflamasi (meningitis, ensefalitis) atau kompresi (tumor, abses, perdarahan
epidural, subdural) dan metabolisme seperti hipoglikemia. Sedangkan injuri
sekunder sebagai akibat proses injuri primer, meliputi hipoperfusi global seperti
syok, gagal jantung dan perdarahan subarakhnoid; serta hipoksia seperti gagal
nafas, anemia; perubahan elektrolit seperti hiponatremia atau hipernatremia atau
perubahan asam basa seperti asidosis berat. Selain itu injuri otak sekunder dapat
terjadi akibat injuri reperfusi dengan dilepasnya radikal bebas (Bustami dkk,
2015). Tanda Penentuan Pasien Kritis :
a. Kardiovaskular
 Henti jantung
 Denyut jantung < 40 atau > 140
 Hipoksia jaringan perfusi perifer jelek
 Asidosis metabolic
 Hiperlaktamia
 Respons buruk terhadap resusitasi cairan
 Oliguri < 0,5 ml/kg/jam
b. Pernafasan
 Ancaman jalan nafas
 Stridor, resesi interkostal
 Henti nafas
 Kecepatan pernafasan < 8 atau > 35 ×/ menit
 Gangguan pernafasan: penggunaan alat bantu otot pernafasan, tidak
bisa bicara lengkap
 SpO2 < 90%
 Meningkatnya paCO2 > 60 mmHg, atau > 15 mmHg diatas normal
dengan asidosis.
c. Neurologi
 Ancaman jalan nafas
 Refleks batuk atau gagal mempertahankan PaO2 dan PaCO2
 Gagal mematuhi perintah
 Glasgow Coma Scale < 10
 Kesadaran menurun tiba-tiba (GCS menurun > 2 poin)
 Kejang berulang (Bustami dkk, 2015).

C. Pemeriksaan Tingkat Kesadaran

Secara umum, pemeriksaan kesadaran dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu


observasi, stimulasi, dan dokumentasi. Tahap pertama adalah melakukan observasi
terhadap pasien mengenai keterjagaannya dan kewaspadaan terhadap lingkungan.
Pasien dengan kesadaran penuh akan terlihat membuka mata spontan,
memperhatikan objek disekitarnya, semua indera bekerja menerima input sensorik
dari luar, dapat melakukan gerakan volunter yang sesuai, dan mampu
berkomunikasi dengan orang lain. Apabila pasien tidak mampu melakukan hal
seperti ini, maka masuk ke dalam tahap kedua, yaitu stimulasi. Memasuki tahap ini,
pemeriksa memberikan rangsangan secara bertahap melalui suara (verbal) dan
selanjutnya rangsang nyeri. Pemeriksa memprhatikan semua respon pasien yang
muncul secara bersamaan saat diberi rangsangan. Jika pasien tidak menunjukkan
respon apapun setelah diberikan kedua rangsangan secara maksimal, maka hal
tersebut menunjukkan bahwa pasien berada pada kesadaran yang paling rendah.
Tahapan selanjutnya yaitu dokumentasikan hasil pemeriksaan dengan baik agar
dapat dijadiakn patokan (baseline) atau pantauan lanjut penanganan pasien
(Estiasari, Zairinal, & Islamiyah, 2018). Pemeriksaan tingkat kesadaran dapat dinilai
secara kualitatif dan kuantitatif menggunakan beberapa instrumen penilaian antara
lain;
1. Penilaian Tingkat Kesadaran Secara Kualitatif

Skala kualitatif sangat mudah dilakukan sehingga sebaiknya digunakan


oleh triase untuk menentukan tingkat kegawatdaruratan pasien. Karena siftanya
kualitatif, maka hasil pemeriksaan ini berupa kategori yang berkarakteristik
masing-masing. Salah satu pembagian kategori tingkat kesadaran yang sudah
lama berkembang di bidang neurologi adalah koma, stupor/sopor,
somnolen/letargi, dan kompos mentis (Estiasari, Zairinal, & Islamiyah, 2018).
Pemeriksaan kualitatif diawali dengan melakukan observasi untuk melihat
adanya gerakan atau respons spontan dari pasien. seorang psien dikatakan
memiliki tingkat kesadaran penuh atau normal. Penilaian tingkat kesadaran ini
sering digunakan pada kejadian kegawatdauratan yang membutuhkan respon
cepat kurang dari 10 detik (Dwiyanto, Aini, dan Rasmin, 2021).
Penilaian ini mencakup Alert, Voice, Pain, Unresponsive yang sering
disebut dengan AVPU. AVPU adalah skala langsung yang berguna untuk
menilai tingkat kesadaran, daya tanggap, atau status mental pasien dengan
cepat. Itu ikut bermain selama perawatan pra-rumah sakit, ruang gawat darurat,
bangsal rumah sakit umum, dan pengaturan unit perawatan intensif (ICU)
(Hoffmann et al., 2016; Trefan et al., 2016). Penelitian (Hoffmann et al., 2016)
tentang perbandingan skala AVPU dan Pediatric GCS dalam pra rumah sakit
menunjukan bahwa AVPU dapat mengidientifikasikan tingkat kesadaran dan
lebih mudah digunakan untuk keadaan kagawatdarurat dan untuk orang awam.
Selain AVPU penialain tingkat kesadaran secara kualitatif dapat
berdasarkan perubahan tingkat kesadaran dengan melihat karateristik yang ada
pada pasien tersebut seperti tabel berikut;
Tabel Tingkat Kesadaran Secara Kualitatif

No. Tingkat Kesadaran Karateristik


1 Composmentis Pasien tersebut sadar penuh, baik terhadap
dirinya ataupun lingkungannya, dan pasien dapat
menjawab semua pertanyaan yang
diberikan.
2 Apatis keadaan pasien tampak segan dan acuh tak acuh
terhadap lingkungan.

3 Delirium terjadi penurunan kesadaran disertai kekacauan


motorik dan siklus tidur bangunyang terganggu.
Pasien tampak gaduh
gelisah, kacau, disorientasi dan meronta-ronta.
4 Somnolen Keadaan mengantuk yang masih dapat pulih
penuh bila dirangsang, tetapi bila rangsangan
berhenti maka pasien akan kembali tertidur, hal ini
sering terjadi pada pasien dengan letargia,
obtundasi atau
hipersomnia.
5 Sopor keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih
dapat dibangunkan dengan rangsangan nyeri
yang kuat, tetapi pasien tidak terbangun sempurna
dan tidak memberikan jawaban verbal. Respon
pasien biasanya hanya membuka mata saja, tetapi
setelah rangsangan
nyeri hilang pasien teridur kembali.
7 Coma penurunan kesadaran yang sangat dalam dan
tidak memiliki respon apapun baik dengan
rangsangan
nyeri yang kuat sekalipun.
Sumber (Dwiyanto, et al., 2022)
Penilaian kualitatif sering dianggap kurang sensitif dan dinilai masih sangat
kasar dalam mendeteksi adanya perburukan atau penurunan klinis. Sehingga
pasien sering didapati dalam kondisi memburuk dan terlambat ditangani. Hal
tersebut menyebabkan penilian kesadaran secara kalitatif dirasa cukup
memiliki kelemahan. Penelitian selanjutnya dilakukan untuk menemukan
penilaian kesadaran yang dapat mendeteksi secara dini adanya perubahan
tingkat kesadaran pada pasien. Penilian ini harus valid, measurable (dapat
diukur), bedside assessment (mudah digunakan), serta good reliability (dapat
diandalkan). Saat ini terdapat dua penilian kesadaran secara kauntitatif yang
telah umum dilakukan, penilaian tersebut adalah Glasgow Coma Scale (GCS)
dan Full Outline of Unresponsive (FOUR) Score. Kedua penilaian tersebut
berkarakteristik masing – masing. Pada keadaan pasien tanpa penyulit,
penilaian GCS merupakan penilaian gold standard dalam penurunan kesadaran
dibandingkan dengan penilaian klinis, metabolisme, gambaran radiologi, dan
luaran (Estiasari, Zairinal, & Islamiyah, 2018).

a. Glasgow Coma Scale (GCS)

Penilaian GCS ditemukan tahun 1974 dan terdapat sedikit perubahan


pada tahun 2014. GCS pertama kali diperkenalkan oleh Graham Teasdale
dan Bryan J. Jennett, professor bedah saraf pada Institute of Neurological
Sciences. GCS kini sangat luas digunakan oleh dokter umum maupun para
medis karena kriteria yang lebih jelas dan sistematis. Terdapat 3 komponen
penilaian dalam GCS, yaitu respon buka mata (Eye) atau E, respon gerakan
(Motoric) atau M, dan respon verbal (Verbal) atau V. Masing – masing
komponen memiliki rentang nilai berbeda. Komponen E memiliki 4 tingkat
penilaian (1-4), komponen M dengan rentang tingkat penilaian (1-6), dan
komponen V dengan rentang tingkat penilaian (1-5). Maka dari itu, nilai
minimal yang dimiliki GCS adalah 3 (tidak ada respon) dan nilai maksimal
adalah 15 (respon normal). Niali GCS kurang dari 15 maka dianggap
sebagai penurunan kesadaran (Adeleye et al., 2012).
Tabel Glasgow Coma Scale (GCS) pada tahun 1974 dan 2014

Komponen Tahun 1974 Tahun 2014


Eye (respon buka 4 = Spontan 4 = Spontan
mata)
3 = terhadap suara 2 = 3 = terhadap suara
terhadap nyeri 1 = tidak
2 = terhadap tekanan kuku jari
ada respon
1 = tidak ada respon

Motoric (respon 6 = mematuhi perintah5 6 = mematuhi perintah5 =


gerakan) = melokalisir nyeri 4 = melokalisir nyeri 4 = fleksi
fleksor normal
3 = fleksi abnormal
2 = postur ekstensor 1 = (dekortikasi)
tidak ada respon 2 = ekstensi (deserebrasi)

1 = tidak ada respon


Verbal (respon 5 = orientasi baik4 = 5 = orientasi baik4 =
verbal) disorientasi disorientasi
3 = kata – kata inkoheren 3 = kata – kata inkoheren

2 = suara yang tidak 2 = suara yang tidak


berbentuk kata – kata berbentuk kata – kata
1 = tidak ada respon 1 = tidak ada respon
Sumber (Estiasari, Zairinal, & Islamiyah, 2018)

Setelah pemeriksaan survei primer, segera dilakukan pemeriksaan


GCS. Nilai GCS lebih valid apabila kondisi pasien sudah teratasi keadaan
emergensinya serta kelianan metabolisme sistemik seperti hipoksia,
hipovolemia, hipoglikemia, serta dihentikannya obat – oabatan sedasi.
Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan faktor – faktor atau kondisi
medis tertantu yang dapat mempengaruhi kemampuan pasien dalam
berespon membuka mata, gerakan motorik, dan berbicara. Pemeriksaan
GCS membagi respon pasien menjadi tiga hal, yaitu: reaksi membuka mata
(Eye), bicara (Verbal), serta gerakan (Motorik). Nilai maksimal yang akan
diperolah dalam pemeriksaan GCS adalah 15. Sedangkan nilai minimal
GCS adalah 3. Penjumlahan nilai respon merupakan penilaian tingkat
kesadaran pasien. Derajat penilaian GCS terbagi atas: Ringan : 13 sampai
15 poin; Sedang : 9 sampai 12 poin; Berat : 3 sampai 8 poin; Koma : Nilai
3 poin (Estiasari, Zairinal, & Islamiyah, 2018).
Adapun hasil nilai akan diakumulasi dari EMV, sehingga dapat dijelaskan
sebagai berikut :
 Composmentis

Nilai GCS (15-14) artinya pasien tersebut sadar penuh, baik terhadap
dirinya ataupun lingkungannya, dan pasien dapat menjawab semua
pertanyaan yang diberikan.
 Apatis

Nilai GCS (13-12) artinya keadaan pasien tampak segan dan acuh tak
acuh terhadap lingkungan.
 Delirium

Nilai GCS (11-10) artinya terjadi penurunan kesadaran disertai


kekacauan motorik dan siklus tidur bangunyang terganggu. Pasien
tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi dan meronta-ronta.
 Somnolen

Nilai GCS (9-7) artinya keadaan mengantuk yang masih dapat pulih
penuh bila dirangsang, tetapi bila rangsangan berhenti maka pasien akan
kembali tertidur, hal ini sering terjadi pada pasien dengan letargia,
obtundasi atau hipersomnia.
 Sopor

Nilai GCS (6-5) artinya keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih
dapat dibangunkan dengan rangsangan nyeri yang kuat, tetapi pasien
tidak terbangun sempurna dan tidak memberikan jawaban verbal.
Respon pasien biasanya hanya membuka mata saja, tetapi setelah
rangsangan nyeri hilang pasien teridur kembali.
 Semi Koma

Nilai GCS (4) artinya terjadi penurunan kesadaran yang tidak


memberikan respon terhadap rangsangan verbal dan tidak dapat
dibangunkan sama sekali, tetapi reflex kornea dan pupil masih baik.
Pasien juga tidak terangsang dengan nyeri.
 Coma

Nilai GCS (3) artinya penurunan kesadaran yang sangat dalam dan tidak
memiliki respon apapun baik dengan rangsangan nyeri yang kuat
sekalipun (Dwiyanto, et al., 2022).
1) Keunggulan Penilaian GCS

Keuntungan dengan menggunakan penilaian GCS menurut (Middleton,


2012), sebagai berikut :
 Bantuan dalam pengambilan keputusan klinis untuk intervensi
seperti manajemen jalan napas atau perawatan intensif.
 Menjelaskan kuantitas dan tambahan struktur pada penilaian koma.
 Memfasilitasi dan membakukan komunikasi antara dokter dan
perawat
 Memungkinkan pemantauan trend di kedua komponen dan di semua
skor, memungkinkan deteksi cepat komplikasi dan membedakan
antara resiko komplikasi tinggi atau rendah
 Menunjukkan keparahan cedera
 Memungkinkan triase mendeteksi pasien yang terluka
 Sebagai alat prognostic
 Memungkinkan standarisasi dan perbandingan pasien dan kelompok
untuk penelitian.
2) Kelemahan Penilaian GCS

Penilaian GCS memiliki masalah pada respons verbal yaitu


penilaian tidak dapat dinilai adekuat pada pasien yang diintubasi dan
tidak memungkinkan menilai buka mata jika terdapat edema periorbita.
Sebagian besar peneliti menyatakan penilaian skor komponen motorik
dapat diandalkan. Namun saat ini, penggunaan sedasi dan paralisis dini
sehari-hari menyulitkan klinisi untuk dapat memperoleh skor motorik
yang akurat. GCS juga diketahui memiliki kelemahan mendasar yaitu
tidak dapat mengevaluasi pasien-pasien yang terintubasi serta tidak
dapat mengevaluasi perubahan-perubahan pada refleks batang otak, pola
nafas dan perubahan kecil neurologis yang dapat memberikan gambaran
klinis yang penting (Khajeh et al., 2014).

Beberapa kondisi yang menyebabkan salah satu komponen GCS


tidak dapat diberikan penilaian (Not Testable), dalam hal ini pasien
dalam pengaruh obat sedatif atau anestetik, intoksikasi obat atau alkohol,
disfasia, demensia, gangguan kognitif atau psikiatrik, faktor perbedaan
bahasa dan budaya, serta paresis ekstremitas. Meskipun pasien dalam
kondisi tersebut tidak dapat memberikan respons terbaiknya, penilaian
tidak boleh diberikan nilai terendah
karena perbedaannya akan menjadi signifikan. Misalnya pada pasien
terintubasi atau terpasang trakeostomi namun dapat membuka mata
spontan, motorik dapat mematuhi perintah, maka dalam hal ini tidak
boleh dinilai sebagai E4M6V1 melainkan E4M6VETT (Estiasari,
Zairinal, & Islamiyah, 2018).
Sebuah tinjauan yang dilakukan oleh Hickisch dan Holmefur pada
tahun 2016, mengevaluasi sebagian besar penelitian mengenai GCS
selama empat dekade skala ini digunakan dan tersebar luas. Disebutkan
bahwa meskipun dengan keunggulan berupa kecepatan, kesederhanaan,
dan kemudahan evaluasi, kekurangan GCS sangatlah menonjol dan
mengganggu terutama bagi ahli saraf, intensivis, dan ahli gawat darurat
karena kesulitan dalam mengevaluasi pasien penurunan kesadaran yang
terintubasi, post operasi, danpenilaian pada anak-anak.

b. Full Outline of Unresponsiveness (FOUR) Score

Wijdicks et al. pada tahun 2005 melakukan sebuah penelitian dan


menerbitkan skala penilaian tingkat kesadaran baru, bernama Full Outline
of Unresponsiveness (FOUR) Score. Skala tersebut melibatkan penilaian
dari empat komponen yaitu respons mata, respons motorik, refleks batang
otak dan pernapasan. Nilai masing – masing pada komponen tersebut
maksimal diberi nilai 4. Skala penilaian ini mampu mendeteksi pasaien
dalam kondisi vegetatifyang tidak terdeteksi oleh GCS (Temiz et al., 2018).
Skala ini pertama kali divalidasi secara prospektif pada pasien ICU
(n=120) untuk evaluasi kehandalan antar penilai yaitu: Perawat
neuroscience, resident neurologi dan neurointensivis dengan cara
membandingkan penilaian FOUR Score dan GCS. Dari validasi awal
terbukti bahwa kehandalan antar penilai membandingkan antara FOUR
Score dan GCS adalah setara (nilai kappa 0,82; 95% CI) (Wijdicks et al.,
2005) (Dwiyanto, et al., 2022).
Penialian ini dapat digunakan pada pasien yang tidak mungkin
dilakukan pemeriksaan tingkat kesadaran dengan GCS. FOUR Score
memberikan banyak informasi pada pasien yang teritubasi. Praktisi
kesehatan banyak mengaplikasikan FOUR Score untuk menilai tingkat
kesadaran, memantau kemajuan dan menentukan pengobatan (Estiasari,
Zairinal, & Islamiyah, 2018) (Dwiyanto, et al., 2022).
FOUR Score terdiri dari empat kompnen, yaitu respons mata (E),
motorik (M), refleks batang otak (B) dan pernapasan (R). Setiap komponen
memniliki skala 0 sampai 4, dengan demikian jumlah minimal 0
(E0M0B0R0) dan maksimal pada angka 20 (E4M4B4R4). Berbeda dengan
GCS, penilaian pada FOUR Score dimulai dengan skala 0 dan tidak menilai
komponen respons verbal.

1) Deskripsi skor Full Outline of UnResponsivenes (FOUR)

Respon mata : E4 = kelopak mata terbuka atau terbuka, mengikuti,


atau berkedip untuk perintah; E3 = kelopak mata terbuka tetapi tidak
mengikuti; E2 = kelopak mata tertutup tetapi terbuka untuk suara keras;
E1 = kelopak mata tertutup tetapi terbuka untuk rasa sakit; E0 = kelopak
mata tetap tertutup karena nyeri.
Respon motorik : M4 = acungan jempol, tinju, atau tanda damai; M3
= lokalisasi nyeri; M2 = respon fleksi terhadap nyeri; M1 = respon
ekstensi terhadap nyeri; M0 = tidak ada respon terhadap nyeri atau
statusmioklonus umum.
Refleks batang otak : B4 = terdapat refleks pupil dan kornea; B3 =
satu pupil lebar dan tetap; B2 = tidak ada refleks pupil atau kornea; B1 =
tidak ada refleks pupil dan kornea; B0 = tidak ada pupil, kornea, dan
refleks batuk Pola pernapasan: R4 = tidak diintubasi, pola nafas teratur;
R3 = tidak diintubasi, pola pernapasan Cheyne-Stokes; R2 = tidak
diintubasi, pernapasan tidak teratur; R1 = bernafas di atas laju ventilasi;
R0 = bernafas dengan kecepatan ventilator atau apnea.

Hasil dari perhitungan FOUR Score menandakan bahwa nilai FOUR Score
yang lebih tinggi menghasilkan luaran yang lebih baik. Risiko kematian
(perburukan kondisi) tinggi (71%) pada total FOUR Score 0-7, risiko sedang
(20%) pada total skor 8-14 dan risiko rendah (0.8%) pada total skor 15-16
(Dwiyanto, et al., 2022).

Penilaian dengan menggunakan FOUR Score dikembangkan oleh


Dr. Eelco FM Wijdicks dan rekan dalam perawatan Neurocritical di Mayo
Clinic di Rochester, Minnesota dengan membuat aplikasi untuk
mempermudah dalam menghitung dan menyimpulkan FOUR Score.
Aplikasi tersebut diistilahkan dengan Kalkulator FOUR Score.
Kalkulator FOUR Score dapat kita gunakan dengan mengakses link
berikut ini : https://www.mdcalc.com/four-full-outline-
unresponsiveness-score

2) Keunggulan Penilaian FOUR Score

Keunggulan penilaian FOUR Score menurut Wijdicks sebagai berikut:

 Memenuhi kebutuhan akan skala penilaian tanda-tanda neurologis


yang cepat dan mudah digunakan pada pasien dengan penurunan
kesadaran. Skala ini mengabaikan disorientasi atau delirium pada
penilaian verbal, namun memberikan kemampuan penilaian yang baik
untuk pergerakan mata, refleks batang otak, dan usaha bernafas pada
pasien dengan ventilator.
 Dapat digunakan pada pasien dengan gangguan metabolik akut, syok,
atau kerusakan otak nonstruktural lain karena dapat mendeteksi
perubahan kesadaran lebih dini.
 Memiliki rentang penilaian yang sama pada tiap komponen yakni 0-4,
FOUR Score juga memiliki keunggulan lain dibandingkan GCS karena
menjadi lebih mudah diingat.
 Merupakan skala penilaian yang ideal karena bersifat linear (memiliki
bobot yang sama bagi setiap komponen), reliabel (mengukur yang
seharusnya diukur), valid (menghasilkan nilai yang sama pada
pemeriksaan berulang), dan mudah digunakan.
 Mampu memprediksi outcome walaupun angka kematian di ruang
rawat intensif dapat dipengaruhi dengan adanya bantuan hidup.
 Lebih mudah digunakan dan memberikan detail neurologis lebih
dibandingkan Glasgow Coma Scale, karena penilaian ini termasuk
menilai refleks batang otak.
 Mengidentifikasi berbagai tahap herniasi dan gangguan lainnya dalam
locked in syndrome dan keadaan vegetatif. Hal ini tidak termasuk
respons verbal karena itu memiliki nilai prediktif yang lebih tinggi
untuk pasien yang dirawat di ruang intensif care.

D. Definisi Perburukan Konidi


Perburukan kondisi merupakan istilah epidemiologi dan data statistik vital
untuk kematian. Dikalangan masyarakat kita, ada tiga hal umum yang
menyebabkan kematian yaitu degenerasi organ vital dan kondisi terkait, status
penyakit dan Sebagai akibat masyarakat atau lingkungan (bunuh diri,
kecelakaan, bencana alam, dan sebagainya). Penyebab dasar terjadinya suatu
kematian adalah penyakit atau trauma apa pun yang memulai serangkaian kejadian
seperti tindak kejahatan atau kecelakaan yang berakhir pada kematian (Thomas,
2014).
Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,
pasal 117 menyatakan: “Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung,
sirkulasi dan sistem pernapasan. Menurut Undang-undang Peraturan Menteri
Kesehatan Indonesia No.36 Tahun 2014, tentang penentuan kematian dan
pemanfaatan organ donor pada pasal 11, menyatakan bahwa prosedur pemeriksaan
batang otak dilakukan sebagai berikut:
1. Memastikan arefleksia batang otak yang meliputi tidak terdapat respon cahaya,
tidak terdapat reflex pada kornea, tidak terdapat reflex vestibule- okular, tidak
terdapat respon motorik pada proses distribusi saraf kranial terhadap stimulus
adekuat di area somatik, tidak terdapat reflex muntah (gag reflex) atau reflex
batuk terhadap stimulus oleh kateter isap yang dimasukan ke dalam bagian
trakea.
2. Memastikan kejadian henti nafas yang menetap yaitu dengan cara:
a) Sebelum oksigenasi dengan O2 100% dalam waktu 10 menit
b) Memastikan PCO2 dalam rentang 40-60 mmHg dengan menggunakan
kapnograf dan proses AGD atau analisis gas darah
c) Melepaskan alat ventilator dari pasien, insuflasi trakea dengan O2 100%, 6
liter/menit yang dilakukan melalui kateter intra trakeal melewati karina
d) Penilaian dalam waktu 10 menit, bila pasien masih tidak bernapas, tes
dikatakan positif yang berarti henti napas menetap
e) Jika tes arefleksia bagian batang otak dan tes henti napas seperti yang
dimaksud pada angka 1 dan 2 dinyatakan positif, tes harus diulang dalam
waktu 25 menit sampai waktu 24 jam
f) Jika tes ulangan seperti yang dimaksud angka 3 tetap menunjukan positif,
maka pasien diputuskan mengalami mati batang otak, walaupun jantungnya
masih berdetak
g) Jika tes henti napas menimbulkan aritmia jantung yang dapat
membahayakan nyawa, maka alat berupa ventilator harus dipasang lagi
agar tidak dapat dibuat suatu diagnosis kematian pada bagian batang otak.
E. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Perburukan Kondisi

Menurut WHO (2011), Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian dibagi


menjadi dua yaitu:
1. Faktor langsung (faktor dari dalam)
a) Umur
b) Jenis Kelamin
c) Penyakit
d) Kecelakaan, kekerasan dan bunuh diri
2. Faktor tidak langsung (faktor dari luar)
a) Tekanan, baik fisik maupun psikis
b) Kedudukan dalam status perkawinan
c) Kedudukan status sosial dan ekonomi
d) Tingkat pendidikan
e) Profesi
f) Jumlah anak yang dimiliki
g) Lingkungan dan tempat tinggal
h) Banyaknya pencemaran pada lingkungan
i) Pelayanan kesehatan dan kemampuan mencegah penyakit.

Anda mungkin juga menyukai