Anda di halaman 1dari 17

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Penurunan Kesadaran


Kesadaran adalah suatu keadaan di mana seorang individu sepenuhnya
sadar akan diri dan hubungannya dengan lingkungan sekitar. Penilaian
kesadaran dapat terganggu apabila terdapat keadaan-keadaan di mana pasien
sadar namun tidak dapat merespons terhadap stimulus yang diberikan oleh
pemeriksa, seperti keadaan kerusakan input sensorik, kelumpuhan (locked in
states) atau gangguan psikiatrik (Posner JB,2007)
Penurunan kesadaran atau koma merupakan salah satu kegawatan
neurologi yang menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai
“final common pathway” dari gagal organ seperti kegagalan jantung, nafas
dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak dengan akibat kematian. Jadi,
bila terjadi penurunan kesadaran menjadi pertanda disregulasi dan disfungsi
otak dengan kecenderungan kegagalan seluruh fungsi tubuh. Dalam hal
menilai penurunan kesadaran, dikenal beberapa istilah yang digunakan di
klinik yaitu kompos mentis, somnolen, stupor atau sopor, soporokoma dan
koma. Terminologi tersebut bersifat kualitatif. Sementara itu, penurunan
kesadaran dapat pula dinilai secara kuantitatif, dengan menggunakan skala
koma Glasgow (Harsono, 2005)

2.2 Epidemiologi
Prevalensi dan insidensi dari koma dan gangguan kesadaran sulit untuk
ditentukan secara pasti, mengingat luas dan beragamnya faktor penyebab dari
koma. Laporan rawat inap nasional dari Inggris tahun 2002-2003 melaporkan
bahwa 0,02% (2.499) dari seluruh konsultasi rumah sakit disebabkan oleh
gangguan terkait dengan koma dan penurunan kesadaran, 82% dari kasus
tersebut memerlukan rawat inap di rumah sakit. Koma juga nampaknya lebih
banyak dialami oleh pasien usia paruh baya dan lanjut usia, dengan rata-rata
usia rawat inap untuk koma adalah 57 tahun pada laporan yang sama. Hasil
lain dilaporkan oleh dua rumah sakit daerah Boston, Amerika Serikat, di mana
koma diperkirakan menyebabkan hampir 3% dari seluruh diagnosis masuk
rumah sakit. Penyebab yang paling banyak dari laporan tersebut adalah
alkoholisme, trauma serebri dan stroke, di mana ketiga sebab tersebut
menyebabkan kurang lebih 82% dari semua admisi (England Department of
Health,2003)

2.3 Etiologi
Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni
gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan gangguan
isi (kualitas, awareness, alertness) kesadaran. Adanya lesi yang dapat
mengganggu interaksi ARAS dengan korteks serebri, apakah lesi
supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan menurunnya
kesadaran.
2.3.1 Gangguan Metabolik Toksik
Gangguan metabolik toksik merupakan salah satu etiologi dari
terjadinya gangguan kesadaran. Fungsi dan metabolisme otak sangat
bergantung pada tercukupinya penyediaan oksigen. Adanya penurunan
aliran darah otak (ADO), akan menyebabkan terjadinya kompensasi
dengan menaikkan ekstraksi oksigen (O2) dari aliran darah. Apabila ADO
turun lebih rendah lagi, maka akan terjadi penurunan konsumsi oksigen di
otak. Glukosa merupakan satu-satunya substrat yang digunakan otak dan
teroksidasi menjadi karbondioksida (CO2) dan air. Untuk memelihara
integritas neuronal, diperlukan penyediaan ATP yang konstan untuk
menjaga keseimbangan elektrolit.
O2 dan glukosa memegang peranan penting dalam memelihara
keutuhan kesadaran. Namun, meskipun penyediaan O2 dan glukosa tidak
terganggu, kesadaran individu tetap dapat terganggu oleh adanya
gangguan asam basa darah, elektrolit, osmolalitas, ataupun defisiensi
vitamin. Proses gangguan metabolik melibatkan batang otak dan kedua
hemisfer serebri. Penurunan kesadarah disini disebabkan kegagalan difus
dari metabolisme saraf. Adapun gangguan proses metabolisme dibagi
menjadi:
1. Ensefalopati metabolik primer. Disebabkan karena penyakit
degenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya metabolisme sel
saraf dan glia misalnya pada penyakt Alzheimer.
2. Ensefalopati metabolik sekunder. Penurunan kesadaran terjadi bila
penyakit ekstraserebral melibatkan metabolisme otak, yang
mengakibatkan kekurangan nutrisi, gangguan keseimbangan elektrolit
ataupun intoksikasi. Pada koma metabolik ini biasanya ditandai
dengan gangguan sistem motorik simetris, tetap utuhnya refleks pupil
dan utuhnya gerakan-gerakan ekstraokuler (Harsono, 2005)

2.3.2 Gangguan Struktur Intrakranial


Penurunan kesadaran akibat gangguan fungsi atau lesi struktural
formasio retikularis yang terjadi di daerah mesensefalon dan diensefalon
disebut koma diensefalik. Secara anatomik, koma diensefalik dibagi
menjadi dua bagian utama, ialah koma akibat lesi supratentorial dan lesi
infratentorial (Mardjono M, Sidharta P, 2012).
a. Koma supratentorial
1) Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri,
sedangkan batang otak tetap normal.
2) Lesi struktural supratentorial (hemisfer).
Adanya massa yang mengambil tempat di dalam kranium
(hemisfer serebri) beserta edema sekitarnya misalnya tumor otak,
abses dan hematom mengakibatkan dorongan dan pergeseran
struktur di sekitarnya, terjadilah herniasi girus singuli, herniasi
transtentorial sentral dan herniasi unkus.
a. Herniasi girus singuli
Herniasi girus singuli di bawah falx serebri ke arah
kontralateral menyebabkan tekanan pada pembuluh darah
serta jaringan otak, mengakibatkan iskemi dan edema.
b. Herniasi transtentorial atau sentral
Herniasi transtentorial atau sentral adalah hasil akhir dari
proses desak ruang rostrokaudal dari kedua hemisfer serebri
dan nukli basalis; secara berurutan menekan disensefalon,
mesensefalon, pons dan medulla oblongata melalui celah
tentorium.
c. Herniasi unkus
Herniasi unkus terjadi bila lesi menempati sisi lateral fossa
kranii media atau lobus temporalis; lobus temporalis mendesak
unkus dan girus hipokampus ke arah garis tengah dan ke atas
tepi bebas tentorium yang akhirnya menekan mesensefalon
(Mardjono M, Sidharta P. 2012)
2. Koma infratentorial
Ada dua macam lesi infratentorial yang menyebabkan koma.
1) Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau atau
serta merusak pembuluh darah yang mendarahinya dengan akibat
iskemi, perdarahan dan nekrosis. Misalnya pada stroke, tumor,
cedera kepala dan sebagainya.
2) Proses di luar batang otak yang menekan ARAS
a. Langsung menekan pons
b. Herniasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melalui
celah tentorium dan menekan tegmentum mesensefalon.
c. Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnum
dan menekan medulla oblongat ( Mardjono M, Sidharta P,
2012)

2.4 Klasifikasi Penurunan Kesadaran


Gangguan kesadaran dibagi 3, yaitu gangguan kesadaran tanpa disertai
kelainan fokal/ lateralisasi dan tanpa disertai kaku kuduk; gangguan
kesadaran tanpa disertai kelainan fokal/ lateralisasi disertai dengan kaku
kuduk; dan gangguan kesadaran disertai dengan kelainan fokal (Harris, S.
2004).
2.4.1 Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal dan kaku kuduk
1. Gangguan iskemik
2. Gangguan metabolik
3. Intoksikasi
4. Infeksi sistemis
5. Hipertermia
6. Epilepsi
2.4.2 Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal tapi disertai kaku kuduk
1. Perdarahan subarakhnoid
2. Radang selaput otak
3. Radang otak
2.4.3 Gangguan kesadaran dengan kelainan fokal
1. Tumor otak
2. Perdarahan otak
3. Infark otak
4. Abses otak

2.5 Patofisiologi
Penurunan kesadaran merupakan bentuk disfungsi otak yang melibatkan
hemisfer kiri ataupun kanan atau struktur-struktur lain dalam dari otak
(termasuk sistem reticular activating, yang mengatur tidur dan bangun siklus),
atau keduanya. Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada
korteks secara menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat
pula disebabkan oleh gangguan ARAS di batang otak, terhadap formasio
retikularis di thalamus, hipotalamus maupun mesensefalon.
Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni
gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan gangguan
isi (kualitas, awareness, alertness) kesadaran. Secara anatomik, letak lesi yang
menyebabkan penurunan kesadaran dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
supratentorial (15%), infratentorial (15%)., dan difus (70%) misalnya pada
intoksikasi obat dan gangguan metabolic ( Mardjono M, Sidharta P, 2012).

2.6 Menentukan penurunan kesadaran secara kualitatif


Tingkat kesadaran yang paling tinggi adalah kompos mentis yang berarti
kesadaran normal, menyadari seluruh asupan panca indera (aware atau awas)
dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan dari luar maupun
dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam keadaaan awas dan waspada.
Penurunan kesadaran dapat terjadi baik secara akut maupun secara kronik
(Harris, S. 2004). Terganggunya kesadaran secara akut, antara lain:
a) Clouding of consciousness (somnolen) merupakan penurunan tingkat
kesadaran yang minimal sehingga pasien terlihat mengantuk dan dapat
disertai dengan mood yang irritable serta respon yang berlebih terhadap
lingkungan sekitar. Pada umumnya keadaan mengantuk akan lebih
tampak di pagi dan siang hari, sedangkan saat malam harinya pasien akan
tampak gelisah.
b) Delirium merupakan keadaaan terganggunya kesadaran yang lebih
dikarenakan abnormalitas dari mental seseorang dimana pasien salah
menginterpretasikan stimulan sensorik dan terkadang terdapat halusinasi
pada pasien. Berdasarkan DSM-IV, delirium adalah gangguan kesadaran
yang disertai ketidakmampuan untuk fokus atau mudah terganggunya
perhatian. Pada delirium, gangguan hanya terjadi sementara dalam waktu
yang singkat (biasanya dalam hitungan jam atau hari) dan dapat timbul
fluaktif dalam 1 hari. Pasien dengan delirium biasanya mengalami
disorientasi, pertama adalah waktu, tempat, lalu lingkungan sekitar.
c) Obtundation (apatis)  kebanyakan pasien yang dalam keadaan apatis
memiliki penurunan kesadaran yang ringan sampai sedang diikuti dengan
penurunan minat terhadap lingkungan sekitar. Pasien biasanya merespon
lambat terhadap stimulan yang diberikan.
d) Stupor  kondisi dimana pasien mengalami tidur yang dalam atau tidak
merespon, respon hanya timbul pada stimulan yang kuat dan terus
menerus. Dalam keadaan ini dapat ditemukan gangguan kognitif.
e) Koma  keadaan dimana pasien tidak merespon sama sekali terhadap
stimulan, meskipun telah diberikan stimulan yang kuat dan terus menerus.
Pasien mungkin dapat tampak meringis atau gerakan tidak jelas pada kaki
dan tangan akibat rangsangan yang kuat, namun pasien tidak dapat
melokalisir atau menangkis daerah nyeri. Semakin dalam koma yang
dialami pasien, respon yang diberikan terhadap rangsangan yang kuat
sekalipun akan menurun.
f) Locked-in syndrome  keadaan dimana pasien tidak dapat meneruskan
impuls eferen sehingga tampak kelumpuhan pada keempat ektremitas dan
saraf cranial perifer. Dalam keadaan ini pasien bisa tampak sadar, namun
tidak dapat merespon rangsangan yang diberikan.
Terganggunya kesadaran secara akut lebih berbahaya dibandingkan
terganggunya kesadaran yang bersifat kronik. Terganggunya kesadaran secara
kronik, antara lain:
1) Dementia  penurunan mental secara progeresif yang dikarenakan
kelainan organik, namun tidak selalu diikuti penurunan kesadaran.
Penurunan mental yang tersering adalah penurunan fungsi kognitif
terutama dalam hal memori atau ingatan, namun dapat juga disertai
gangguan dalam berbahasa dan kendala dalam melakukan, menyelesaikan
atau menyusun suatu masalah.
2) Hypersomnia  keadaan dimana pasien tampak tidur secara normal
namun saat terbangun, kesadaran tampak menurun atau tidak sadar penuh.
3) Abulia  keadaan dimana pasien tampak acuh terhadap lingkungan
sekitar (lack of will) dan merespon secara lambat terhadap rangsangan
verbal. Sering kali respon tidak sesuai dengan percakapan atau gerakan
yang diperintahkan, namun tidak ada gangguan fungsi kognitif pada
pasien.
4) Akinetic mutism  merupakan keadaan dimana pasien lebih banyak diam
dan tidak awas terhadap diri sendiri (alert-appearing immobility).
5) The minimally conscious state (MCS)  keadaan dimana terdapat
penurunan kesadaran yang drastis atau berat tetapi pasien dapat mengenali
diri sendiri dan keadaaan sekitar. Keadaan ini biasanya timbul pada pasien
yang mengalami perbaikan dari keadaan koma atau perburukan dari
kelainan neurologis yang progresif.
6) Vegetative state (VS)  bukan merupakan tanda perbaikan dari pasien
yang mengalami penurunan kesadaran,meskipun tampak mata pasien
terbuka, namun pasien tetap dalam keadaan koma. Pada keadaan ini
regulasi pada batang otak dipertahankan oleh fungsi kardiopulmoner dan
saraf otonom, tidak seperti pada pasien koma dimana hemisfer cerebri dan
batang otak mengalami kegagalan fungsi. Keadaan ini dapat mengalami
perbaikan namun dapat juga menetap (persistent vegetative state).
Dikatakan persisten vegetative state jika keadaan vegetative menetap
selama lebih dari 30 hari.
7) Brain death  merupakan keadaan irreversible dimana semua fungsi otak
mengalami kegagalan, sehingga tubuh tidak mampu mempertahankan
fungsi jantung dan paru yang menyuplai oksigen dan nutrisi ke organ-
organ tubuh. Kematian otak tidak hanya terjadi pada hemisfer otak, namun
juga dapat terjadi pada batang otak. (Harris, S. 2004)

2.7 Menentukan penurunan kesadaran secara kuantitatif


Secara kuantitatif, kesadaran dapat dinilai dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale (GCS) yang meliputi pemeriksaan untuk Penglihatan
atau Mata (E), Pemeriksaan Motorik (M) dan Verbal (V). Pemeriksaan ini
mempunyai nilai terendah 3 dan nilai tertinggi 15. ( Harris, S. 2004.)
1) Pemeriksaan derajat kesadaran GCS untuk penglihatan (E):
E1 tidak membuka mata dengan rangsang nyeri
E2 membuka mata dengan rangsang nyeri
E3 membuka mata dengan rangsang suara
E4 membuka mata spontan
2) Motorik (M):
M1 tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeri
M2 reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeri
M3 reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeri
M4 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaran
M5 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaran
M6 reaksi motorik sesuai perintah
3) Verbal (V):
V1 tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none)
V2 respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds)
V3 respon kata dengan rangsang nyeri (words)
V4 bicara dengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (confused)
V5 bicara dengan kalimat dengan orientasi baik (orientated)
Penegakan diagnosis penurunan kesadaran

2.8 Penegakan diagnosis penurunan kesadaran


Pendekatan diagnostik pada penurunan kesadaran tidak berbeda dengan
kasus-kasus yang lainnya, yaitu melalui urutan anamnesa, pemeriksaan fisik
neurologik, dan pemeriksaan penunjang. Perbedaannya terletak pada tuntutan
kecepatan berpikir dan bertindak (Harris, S. 2004.)
1. Pada anamnesis tanyakan pada pasien atau pada pengantar tentang
lingkungan sekeliling saat awitan terjadi serta perjalanan penyakitnya.
Beberapa poin penting yang harus ditanyakan:
a. Awitan: waktu, lingkungan sekeliling.
b. Usia pasien merupakan bagian penting dari anamnesis. Pada pasien
yang sebelumnya sehat, usia muda, panurunan kesadarannya terjadi
tida-tiba, kemungkinan penyebabnya bisa keracunan obat, perdarahan
subarachnoid, atau trauma kepala. Sedangkan pada usia tua,
penurunan kesadaran yang tiba-tiba lebih mungkin disebabkan oleh
perdarahan serebral atau infark.
c. Gejala-gejala yang mendahului secara terperinci (bingung, nyeri
kepala, kelemahan, pusing, muntah, atau kejang), gejala-gejala fokal
seperti sulit bicara, tidak bisa membaca, perubahan memori,
disorientasi, baal atau nyeri, kelemahan motorik, berkurangnya
enciuman, perubahan penglihatan, sulit menelan, gangguan
pendengaran, gangguan melangkah atau keseimbangan, tremor.
d. Pemakaian obat-obatan atau alkohol.
e. Riwayat penyakit jantung, paru-paru, liver, ginjal, atau yang lainnya.
2. Pemeriksaan fisik
Dengan atau tanpa anamnesis, petunjuk penyebab koma dapat juga
ditegakkan melalui pemeriksaan fisik :
a. Tanda vital : Pemeriksaan tanda vital: perhatikan jalan nafas, tipe
pernafasannya dan perhatikan tentang sirkulasi yang meliputi:
tekanan darah, denyut nadi dan ada tidaknya aritmia. hipertensi yang
berat dapat disebabkan oleh lesi intrakranial dengan peningkatan TIK
atau ensefalopati karena hipertensi.
b. Kulit : tanda eksternal dari trauma, neddle track, rash, cherry redness
( keracunan CO), atau kuning
c. Nafas : alkohol, aseton, atau fetor hepaticus dapat menjadi petunjuk
d. Kepala : tanda fraktur, hematoma, dan laserasi
e. THT : otorea atau rhinorea CSF, hemotimpanum terjadi karena
robeknya duramater pada fraktur tengkorak, tanda gigitan pada lidah
menandakan serangan kejang.
f. Leher (jangan manipulasi bila ada kecurigaan fraktur dari cervival
spine) : kekakuan disebabkan oleh meningitis atau perdarahan
subarakhnoid.
g. Pemeriksaan neurologis : untuk menentukan dalamnya koma dan
lokalisasi dari penyebab koma.
3. Pemeriksaan saraf
a. Observasi, posisi tidur : alamiah atau posisi tertentu.
Menguap, menelan, berarti batang otak masih utuh. Mata terbuka dan
rahang tergantung (mulut terbuka) berarti gangguan kesadaran berat
b. Derajat kesadaran ditentukan dengan SKG.
c. Pola pemafasan.
1) Cheyne-Stokes dan central hyperventilation dapat dilihat pada
gangguan metabolik dan lesi struktural di beraneka ragam tempat
di otak dan tidak dapat menunjukkan tingkat anatomi lesi yang
menyebabkan koma.
2) Ataxia dan gasping paling sering dilihat pada lesi pontomeduler.
3) Apneustic breathing : kerusakan pons
4) Cluster breathing : kerusakan pons dan cerebelar
5) Depressed, pola pernafasan tidak efektif, dangkal dan lambat
disebabkan oleh lesi medula oblongata, atau diakibatkan obat-
obatan.
d. Posisi kepala dan mata. Pada lesi hemisfer, kepala dan kedua mata
melirik ke arah lesi dan menjauh dari hemiparesis, lesi di pons
kebalikannya. Pada Iesi di talamus dan mesensefalon bagian atas,
kedua mata melirik ke arah hidung.
e. Funduskopi, Papil edema menandakan peninggian tekanan
intrakranial. Perdarahan subhyaloid, biasanya menandakan rupture
aneurisma atau malformasi arteriovena.
f. Pupil.
Diperhatikan besar, bentuk dan refleks cahaya direk dan indirek.
1) Midposition (3--5 mm) dan refleks cahaya negatif -- kerusakan
mesensefalon (pusat refleks pupil di mesensefalon).
2) Refleks pupil normal, refleks kornea dan gerakan bola mata tidak
ada -- koma metabolik dan obat-obatan seperti barbiturat.
3) Dilatasi pupil unilateral dan refleks cahaya negatif menandakan
penekanan n.I1I oleh hernia unkus lobus temporalis serebri. Kedua
pupil dilatasi dan refleks cahaya negatif bisa juga oleh anoksi,
keracunan atropin dan glutethimide.
4) Pupil kecil dan refleks cahaya positif disebabkan kerusakan pons
seperti infark atau perdarahan. Opiat dan pilokarpin juga
menyebabkan pinpoint pupil dan refleks cahaya positif. Bila
dengan rangsang nyeri pads kuduk pupil berdilatasi, berarti bagian
bawah batang otak masih utuh.
g. Gerakan bola mata.
Khas untuk lesi batang otak.
1) Gerakan bola mata spontan.
1. Pada koma metabolik, kedua mata bergerak spontan dan
lambat dari satu sisi ke sisi lainnya. Ini berarti batang otak
masih utuh.
2. Retractory nystagmus-- ciri kerusakan tegmentum
mesensefalon.
3. Convergence nystagmus -- ciri kerusakan mesensefalon.
4. Ocular bobbing -- ciri kerusakan caudal pontin.
5. Nystagmoid jerking of a single eye -- ciri kerusakan
midpontine-lower pontine.
6. Seesaw nystagmus-- ciri lesi di regio ventrikel III dan bukan di
batang otak. Gejala tersebut dapat menunjukkan lokasi lesi
structural penyebab koma.
2) Gerakan bola mata refleks.
Tes-tes yang lazim dilakukan :
1. Doll’s head maneuver (refleks okulosefalik).
Bila refleks ini tidak normal, berarti ada lesi struktural
ditingkat mesensefalon-pons. Obat-obat ototoksik atau
barbiturate dapat menghalangi refleks ini.
2. Tes kalori (refleks okulovestibular).
Bila kedua mata melirik ke arah telinga yang diirigasi air
dingin, berarti batang otak masih utuh; bila kedua mata tidak
bergerak/tidak simetris berarti kerusakan struktural
mesensefalon-pons. Obat-obat ototoksik dapat menghalangi
refleks ini.

3) Gerakan bola mata saat istirahat.


i. Deviasi gaze menjauhi sisi yang hemiparesis menandakan
suatu lesi hemisper kontralateral dari sisi yang hemiparesis
ii. Deviasi gaze ke arah sisi yang hemiparesis menunjukkan :
1. lesi di pons kontralateral hemiparesis
2. lesi di thalamus kontralateral dari hemiparesis
3. aktivitas kejang pada hemisfer kontralateral dari
hemiparesis
iii. Deviasi mata kearah bawah menandakan suatu lesi di tectum
dari midbrain, disertai dengan gangguan reaktifitas pupil dan
nistagmus refrakter dikenal sebagai sindroma parinoud
iv. Slow roving eye movement yang dapat konjugasi atau
diskonjugae tidak menunjukkan lokalisasi lesi yang berarti,
berhubungan dengan disfungsi hemisfer bilateral dan aktifnya
refleks okulosefalik
v. Occular bobbing, yaitu terdapat reaksi cepat dari pergerakan
bola mata ke arah bawah yang kembali ke posisi semula
dengan lambat menunjukkan kerusakan bilateral dari pusat
gaze horisontal pada pons.
vi. Saccadic eye movement tidak terlihat pada pasien koma dan
menunjukkan suatu psikogenik unresponsive.
h. Refleks muntah : dapat dilakukan dengan memanipulasi endotrakheal
tube.
i. Refleks kornea : menandakan intaknya batang otak setinggi CN 5(
aferen) dan CN 7 (eferen)
j. Respons motoris.
a) Spontan.
1. Kejang, kejang fokal mempunyai arti lokasi dari proses patologi
struktural. Kejang umum tidak mempunyai arti lokasi. Kejang
multifokal berarti koma disebabkan proses metabolik.
2. Myoclonic jerk dan asterixis (flapping tremor) berartiensefalopati
metabolik.
b) Gerakan-gerakan refleks.
Ditimbulkan dengan rangsang nyeri (penekanan supraorbita).
1. Gerakan dekortikasi -- fleksi dan aduksi lengan dan ekstensi
tungkai. Bisa simetris, bisa tidak. Ini artinya lesi hemisfer difus
atau persis di batas dengan mesensefalon. (nilai 3 pada respons
motorik SKG).
2. Gerakan deserebrasi -- ekstensi, aduksi dan rotasi interns lengan
dan ekstensi tungkai. (nilai 2 pada respons motorik SKG).
k. Respon sensoris : respons asimetris dari stimulasi menandakan suatu
lateralisasi defisit sensoris.
l. Refleks :
a. Refleks tendon dalam : bila asimetris menunjukkan lateralisasi
defisit motoris yang disebabkan lesi struktural
b. Refleks plantar : respon bilateral Babinski’s menunjukkan coma
akibat struktural atau metabolik.

4. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium ada yang bersifat segera, ada yang
bersifat terencana. Pemeriksaan laboratorium yang bersifat segera
pada umumnya meliputi pemeriksaan glukosa darah, jumlah
leukosit, kadar hemoglobin, hematokrit, dan analisis gas darah. Pada
kasus tertentu (meningitis, ensefalitis, perdarahan suabarahnoid)
diperlukan tindakan pungsi lumbal dan kemudian dilakukan analisis
cairan serebrospinal.
b. Pemeriksaan elektrofisiologi pada kasus koma bersifat terbatas
kecuali pemeriksaan EKG. Pemeriksaan eko-ensefalografi bersifat
noninvasif, dapat dikerjakan dengan mudahj, tetapi manfaat
diagnostiknya terbatas. Apabila ada CT scan maka pemeriksaan
ekoensefalografi tidak perlu dikerjakan. Pemeriksaan
elektroensefalografi terutama dikerjakan pada kasus mati otak (brain
death).
c. Pemeriksaan radiologik dalam penanganan kasus koma tidak
selamanya mutlak perlu. CT scan akan sangat bermanfaat pada
kasus-0kasus GPDO, neoplasma, abses, trauma kapitis, dan
hidrosefalus. Koma metabolik pada umumnya tidak memerlukan
pemeriksaan CT scan kepala.

2.9 Tatalaksana Penurunan Kesadaran


Penatalaksanaan penderita penurunan kesadaran secara umum harus
dikelola menurut prinsip 5 B yaitu (Harsono. 2005):
1. Breathing. Jalan napas harus bebas dari obstruksi, posisi penderita miring
agar lidah tidak jatuh kebelakang, serta bila muntah tidak terjadi aspirasi.
Bila pernapasan berhenti segera lakukan resusitasi.
2. Blood. Usahakan tekanan darah cukup tinggi untuk mengalirkan darah ke
otak karena tekanan darah yang rendah berbahaya untuk susunan saraf
pusat. Komposisi kimiawi darah dipertahankan semaksimal mungkin,
karena perubahan-perubahan tersebut akan mengganggu perfusi dan
metabolisme otak.
3. Brain. Usahakan untuk mengurangi edema otak yang timbul. Bila
penderita kejang sebaiknya diberikan difenilhidantoin atau karbamezepin.
Bila perlu difenilhidantoin diberikan intravena secara perlahan.
4. Bladder. Harus diperhatikan fungsi ginjal, cairan, elektrolit, dan miksi.
Kateter harus dipasang kecuali terdapat inkontinensia urin ataupun
infeksi.
5. Bowel. Makanan penderita harus cukup mengandung kalori dan vitamin.
Pada penderita tua sering terjadi kekurangan albumin yang memperburuk
edema otak, hal ini harus cepat dikoreksi. Bila terdapat kesukaran menelan
dipasang sonde hidung. Perhatikan defekasinya dan hindari terjadi
obstipasi.
Penatalaksanaan berdasarkan etiologi, secara singkat akan diuraikan
berdasarkan urutan SEMENITE (Priguna Sidharta. 2003.), yaitu:
1. Pada gangguan sirkulasi:
a. Pada perdarahan subaranoidal diberikan Asam traneksamat 4 x 1 gr iv
perlahan-lahan selama 2 minggu, dilanjutkan peroral selama 1 minggu
untuk mencegah kemungkinan rebleeding dan diberikan pula
Nimodipin (ca blocker) untuk mencegah vasospasme. Setelah 3
minggu sebaiknya dilakukan arteriografi untuk mencari penyebab
perdarahan, dan bila mungkin diperbaiki dengan jalan operasi.
b. Pada perdarahan intraserebral prinsip pengobatan sama seperti diatas
dan dilakukan tindakan pembedahan hanya bila perdarahan terjadi di
lokasi tertentu, misalnya serebelum.
c. Pada infark otak dapat disebabkan oleh karena trombosis maupun
emboli. Pengobatan infark akut dapat dibagi dalam 3 kelompok berupa
pengobatan terhadap edema otak dengan mannitol; pengobatan untuk
memperbaiki metabolisme otak dengan citicholine; Pemberian obat
antiagregasi trombosit dan antikoagulan.
2. Pada gangguan metabolisme:
Koma karena gangguan metabolime harus diobati penyakit
primernya. Penatalaksanaannya tergantung pada keadaan yang
menyebabkan gangguan pada fungsi metabolisme di otak contohnya
seperti pada penyakit diabetes melitus yang menyebabkan ketoasidosis
metabolisme atau gagal ginjal yang menyebabkan ensefalopati uremikum.
DAFTAR PUSTAKA

England Department of Health. Hospital Episode Statistics 2002-2003. 2003

Harris, S. 2004. Penatalaksanaan Pada Kesadaran Menurun dalam Updates in


Neuroemergencies. FKUI. Jakarta. Hal.1-7

Harsono. 2005. Koma dalam Buku Ajar Neurologi. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.

Mardjono M, Sidharta P. 2012. Kesadaran dan fungsi luhur dalam neurologi


klinis dasar. Dian rakyat. Jakarta.

Posner JB, Saper CB, Schiff ND, Plum F. Plum and Posner's Diagnosis of Stupor
and Coma. New York : Oxford University Press, 2007. ISBN 978-0-19-
532131-9.

Priguna Sidharta. 2003. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, Dian Rakyat.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai