DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
PENURUNAN KESADARAN
Diajukan oleh:
Grevonds Austen
(112019028)
Pembimbing:
dr. Bambang Siswanto Sp.S
2.1 Definisi
Kesadaran diartikan sebagai:3
1. keadaan sadar; waspada, sadar, berorientasi, dan tanggap terhadap lingkungan.
2. kesadaran subjektif dari aspek pemrosesan kognitif dan isi pikiran.
3. totalitas pengalaman saat ini yang disadari oleh individu atau kelompok setiap
saat.
Koma adalah suatu keadaan tidak sadar total terhadap diri sendiri dan lingkungan
meskipun distimulasi dengan kuat. Diantara keadaan sadar dan koma terdapat berbagai
variasi keadaan atau status gangguan kesadaran yang secara klinis derajat kesadaran
tersebut dapat ditentukan dengan pemeriksaan bedside.2
2.3 Etiopatogenesis
Penurunan kesadaran disebabkan oleh kelainan struktural (lesi diskret pada bagian
atas batang otak dan bagian bawah diensefalon atau lesi yang mengenai kedua
hemisfer) dan kelainan metabolik (yang mengakibatkan gangguan aktivitas neuron).
1,4,5
Tingkat Deskripsi
Kesadaran
Sopor kesadaran hilang, tidak memberikan respon, hanya bisa bangun dengan
rangsang nyeri
Criteria Skor
Spontan 4
Eye Opening Terhadap perintah/pembicaraan 3
Terhadap rangsang nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Sesuai perintah 6
Mengetahui lokalisasi nyeri 5
Best Motor Reaksi menghindar 4
Response Reaksi fleksi-dekortikasi 3
Reaksi ekstensi-deserebrasi 2
Tidak berespons 1
Tabel 2. Glasgow Coma Scale (kuantitatif)7,8
Interpretasi Skor GCS7,8
13-15: Mild Head Injury
9-12: Moderate Head Injury
<9 : Severe Head Injury
atau
15-14: compos mentis
13-12: Apatis
11-10: Delirium
9-7 : Somnolen
6-5 : Sopor
4 : Semi-coma
3 : Coma
1. Meningitis
Definisi
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter
( lapisan dalam selaput otak) dan arachnoid
Epidemiologi
Insiden di perkirakan mencapai 2-5% per 100000 orang di wilayah barat, dan
asia tenggara sekitar 18,3 - 24,6% per 100000 orang.
Etologi
Meningitis dapat disebabkan oleh, virus, bakteri, jamur, cacing , dan protozoa
Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri. Meningitis bakterial lebih berakibat
fatal karena menyebabkan kerusakan dan gangguan otak yang berat.
Patogenesis
Meningitis pada umumnya terjadi akibat dari penyebaran penyakit di organ
atau jaringan tubuh yang lain. Virus/bakteri menyebar secara hematogen sampai ke
selaput otak. Pen yebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur
terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi kuman - kuman ke dalam subarachnoid
yang menyebabkan reaksi radang pada pia, araknoid, cs dan sistem ventrikulus. Proses
radang selain pada arteri juga bisa terjadi pada vena - vena di korteks dan dapat
menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak, dan degenerasi neuron - neuron.
Diagnosis
Anamnesis
Di dapatkan trias meningitis antara lain :
1. Sakit kepala
2. Demam
3. Meningeal Sign
Disertai beberapa gejala :
1. Fotofobia
2. Mual, muntah
3. Hemiparese dan defisit neurologis fokal
4. Kejangm bingung
5. Perubahan status mental
6. Penurunan kesadaran
Pemeriksaan Fisik
1. Rangsang meningeal positif seperti kaku kudukm tanda kernig, dan tanda brudzinski
2. Perubahan tingkat kesadaran
3. Kejang, peningkatan tekanan intrakranial, dan disfungsi saraf kranial
4. Terkadang disertai hemiparesis, demensia, dan paralisis
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan lab didapatkan :
1. Leukositosis
2. Peningkatan CRP
3. Peningkatan Prokalsitonin
2. Pemeriksaan LCS
3. Kultur CSF
4. CT Scan
Tatalaksana Meningitis9
Gambar 2.6 Tatalaksana Akut Bakterial Meningitis9
Gambar 2.7 Tatalaksana Meningitis Jamur 9
Prognosis
Angka mortalitas meningitis sebesar 21% dan 30 - 50% dari pasien yang
selamat memiliki gejala sisa neurologis permanen.
2. Ensefalitis
Definisi
Ensefalitis ialah proses infeksi dan inflamasi pada parenkim otak. Penyakit ini
juga sering dikarakteristikkan dengan adanya perubahan status mental, kejang, ataupun
tanda neurologik fokal.
Epidiemologi
Pelaporan mengenai kasus ensefalitis secara umum lebih mudah diperoleh di
negara maju. Insidens ensefalitis virus di seluruh dunia berkisar antara 3,5 dan 7,4 per
100.000 pasien per tahun, dan kejadiannya lebih tinggi pada anak. Meskipun kedua
gender dapat terkena, banyak penelitian menunjukkan bahwa penyakit ini lebih
dominan pada jenis kelamin laki-laki Pelaporan mengenai kasus ensefalitis secara
umum lebih mudah diperoleh di negara maju. Insidens ensefalitis virus di seluruh
dunia berkisar antara 3,5 dan 7,4 per 100.000 pasien per tahun, dan kejadiannya lebih
tinggi pada anak. Meskipun kedua gender dapat terkena, banyak penelitian
menunjukkan bahwa penyakit ini lebih dominan pada jenis kelamin laki-laki
Etiologi
Berbagai virus dapat menimbulkan ensefalitis, meskipun gejala klinisnya sama.
Sesuai dengan jenis virus serta epidemiologinya, diketahui berbagai macam ensefalitis
virus. Klasifikasi yang diajukan oleh Robin ialah:
1. Infeksi virus yang bersifat epidemik
a. Golongan enterovirus: Poliomyelitis, virus Coxsackie, virus Echo
b. Golongan virus Arbo: Western equine encephalitis, St. Louis
encephalitis, Eastern equine encephalitis, Japanese B encephalitis,
Russian spring summer encephalitis, Murray valley encephalitis.
2. Infeksi virus yang besifat sporadik: Rabies, Herpes simpleks, Herpes zoster,
Limfogranuloma, Mumps, Lymphocytic choriomeningitis dan jenis lain yang
dianggap disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.
Ensefalitis Pasca infeksi: pasca-morbili, pasca-varisela, pasca-rubela, pasca-vaksinia,
pasca-mononukleosis infeksiosa dan jenis-jenis yang mengikuti infeksi traktus
respiratorius yang tidak spesifik.
Patofisiologi
Virus dapat masuk ke otak melalui dua cara: melalui aliran darah (penyebaran
hematogen) dan melalui serabut saraf tepi (penyebaran neuronal). Terkadang jalur
penyebaran yang dilakukan oleh virus tidak hanya pada satu metode. Akses darah
dapat terjadi melalui pertumbuhan melalui endotel pembuluh darah kecil otak, melalui
transpor pasif melewati endotel vaskular, dengan jalur pleksus koroid ke cairan
serebrospinalis, maupun transpor dalam monosit, leukosit, atau limfosit yang
terinfeksi. Setelah sawar otak-darah ditembus, penyebaran lebih luas di seluruh otak
dan medula spinalis mungkin terjadi, Ada kecenderungan hubungan antara tingkat
viremia yang dicapai oleh virus neurotropik yang ditularkan melalui darah dan
neuroinvasivitasnya. Penyebaran hematogen sekunder ialah apabila virus berkembang
biak di daerah pertamakali masuk (permukaan selaput lendir) dan masuk ke organ lain.
Gejala klinis
Dapat difus ataupun fokal berupa
1. Penurunan Kesadaran
2. Gangguan fokal seperti hemiparesis, kejang fokal, dan gangguan otonom
3. Perubahan tingkah laku
4. Ataksia
5. Gangguan saraf kranial
6. Disfagia
7. Meningismus
8. Gangguan sensorik dan motorik unilateral
Pemeriksaaan penunjang
1. Pemeriksaan darah
2. CSS
3. CT scan
4. EEG
Tatalaksana
Tatalaksana terapi suportif berupa tata laksana hiperpireksia, keseimbangan
cairan dan elektrolit, peningkatan tekanan intrakranial (TIK), serta tata laksana kejang.
Pasien sebaiknya dirawat di ruang rawat intensif1.
Pemberian pengobatan dapat berupa antipiretik, cairan intravena, obat anti epilepsi,
kadang diberikan kortikosteroid. Untuk mencegah kejang berulang dapat diberikan
fenitoin atau fenobarbital sesuai standar terapi. Peningkatan TIK dapat diatasi dengan
pemberian diuretik osmotik manitol 0,5-1 gram/kg/kali atau furosemid 1 mg/kg/kali
3. SOL
Definisi
Sol dapat didefinisikan sebagai tumor yang jinak atau ganas baik
bersifat primer atau sekunder, dan juga sebagai massa inflamatorik maupun
parasitic yang berletak pada rongga cranium. Sol juga berupa hematoma, berbagai
jenis kista dan malformasi vaskuler.
Epidiemologi
Patofisiologi
Gejala klinis
Nyeri kepala, edema papil dan muntah secara umum dianggap
sebagai karakteristik peninggian TIK. Demikian juga , dua pertiga pasien
SOL memiliki semua gambaran tersebut. Walau demikian, tidak satupun dari
ketiganya khas untuk peninggian tekanan, kecuali edema papil, banyak
penyebab lain yang menyebabkan masing-masing berdiri sendiri dan bila
mereka timbul bersama akan memperkuat dugaan adanya peninggian TIK.
1. Gejala klinik umum timbul:
1. Nyeri kepala
2. Nausea atau muntah
3. Papil edema
C. Lobus Parietal
dapat menimbulkan gejala modalitas sensori, kortikal hemianoksi
homonym
G. Tumor Serebellar
Muntah Berulang dan sakit kepala dibagian oksiput merupakan
gejala yang sering ditemukan pada tumor serebellar.
H. Tumor Hipotalamus
Gangguan perkembangan seksual pada anak-anak, gangguan
cairan cerebrospinal. Gangguan berjalan nyeri kepala dan muntah
disertai dengan nistagmus.
Pemeriksaan penunjang
1. Foto polos
Hiperostosis, kalsifikasi dan lesi litik pada tulang tengkorak
2. Ct dengan kontras
Terdapat pola enhancement yang homogen tajam dan berbatas tegas
3. MRI
Dapat ditentukan karakteristik suatu tumor, apakah tumor tersebut padat, kistik,
ada perdarahan, kalsifikasi, nekrosis maupun lemak.
Penatalaksanaan
Tergantung dari lokasi dan ukuran tumor itu sendiri. Modalitas terapi reseksi operatif
sebagai pilihan pertama, bila perlu dilakukan, radioasi stereotaktik dan kemoterapi.
Prognosis
SOL intrakranial tergantung pada penyebabnya. Berdasarkan data di negara-
negara maju, dengan diagnosis dini dan juga penanganan yang tepat melalui
pembedahan dilanjutkan dengan radioterapi, angka ketahanan hidup 5 tahun berkisar
50-60 % dan angka ketahanan hidup 10 tahun berkisar 30-40 %. Terapi SOL yang
disebabkan oleh tumor intrakranial di Indonesia secara umum prognosisnya masih
buruk, berdasarkan tindakan operatif yang dilakukan pada beberapa rumah sakit di
Jakarta.
4. Epidural Hematome
Hematom yang terbentuk karena perdarahan yg terjadi antara tulang tengkorak (tabula
interna) dan duramater (duramater meningealis), waktunya lebih singkat ( 3 jam) dibanding
hematom subdural.
Patofisiologi
Perdarahan di sini paling sering disebabkan pecahnya a.meningea media akibat trauma
kepala area temporoparietal yg biasanya disertai fraktur linier horizontal. Perdarahan tsb
berlangsung cepat sekali sehingga defisit neurologis yg timbul sangat progresif dan bila tidak
teratasi maka penderita akan meninggal akibat herniasi.
Diagnosa
1. Riwayat trauma kepala
2. Setelah trauma didapat suatu periode bebas gejala yg disebut lucid interval, beberapa
jam/hari (tidak lebih dari 3 hari)
3. Lalu disusul dg penurunan kesadaran dan timbul gejala fokal serebral progresif/gejala
lateralisasi spt papil anisokor (midriasis homolateral), kejang, defisit neurologis spt
hemipharese kontralateral dan refleks patologis (+)
4. Dilanjutkan dg peninggian tekanan intrakranial dg tanda-tanda : cephalgia, mual,
muntah, pharese n.VI dupleks, papil edema.
Pemeriksaan Penunjang
1. LCS jernih dg tekanan meninggi
2. EEG normal, tampak perlambatan fokal sampai difus
3. Rontgen kepala sering ditemui fraktur linier pada sisi hematom
4. Arteriografi karotis terlihat hematom berupa area avaskuler berbentuk
konveks/semilunair/bulan sabit antara jaringan otak dan tulang kranium
5. Ct-scan otak tampak hematom berupa area hiperdens
Tata Laksana
Begitu diagnosa ditegakkan segera kirim ke bagian bedah syaraf untuk tindakan operatif
segera.
Komplikasi
Bila tidak segera dioperasi, edema serebri akan bertambah hebat, tekanan intrakranial
makin meningkat. Selanjutnya terjadi herniasi yang disusul dengan kematian penderita.
Prognosa
Mortalitas hampir 100% dan lebih dari 50% pada kasus yang diobati disebabkan
keterlambatan dalam menegakkan diagnosa dan sebagian lagi karena beratnya kerusakan
jaringan otak yg terjadi.
6. Subdural Hematome
Definisi
Hematom yang terbentuk karena perdarahan yg terjadi antara duramater dan arakhnoid
(di dalam ruang sub arakhnoid).
Patofisiologi
Hematom terbentuk secara perlahan-lahan bahkan dapat lama disebabkan robeknya
bridging veins (vena) akibat trauma kepala terutama daerah frontoparietal, yang bisa meluas ke
daerah temporal atau oksipital. Gejala klinik timbul bila hematom cukup besar dan telah terjadi
pendesakan di otak.
Bentuk Klinik
1. Hematom subdural akut (lucid interval 1-3 hari)
2. Hematom subdural subakut (lucid interval 1-2 minggu)
3. Hematom subdural kronis (lucid interval > 2 minggu)
Diagnosa
Mirip dengan epidural. Bedanya perjalanan penyakitnya lebih lama, dapat beberapa hari,
minggu, bulan atau lebih lama.
Pemeriksaan Penunjang
1. LCS jernih dengan tekanan meninggi mengandung darah/xantochrom
2. EEG abnormal, tampak perlambatan fokal sampai difus
3. Rontgen kepala adanya pergeseran dari glandula Pincalis
4. Arteriografi karotis terlihat hematom berupa area avaskuler berbentuk bikonveks
antara jaringan otak dan tulang kranium
Komplikasi
Jika diagnosa dapat segera ditegakkan dan tindakan operatif cepat dilakukan maka
komplikasi tidak akan terjadi.
Prognosa
1. Hematom subdural akut : mortalitas 90%
2. Hematom subdural subakut : mortalitas 20% dan kasus post operatif 75% sembuh
dengan baik
3. Hematom subdural kronis : biasanya post operatif bisa sembuh dengan baik
7. Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan ruang subarakhnoid yg terjadi karena :
1. Pecahnya pembuluh darah di daerah subarakhnoid
2. Pecahnya pembuluh darah di luar subarakhnoid yg kemudian mengisi ruang
subarakhnoid, mis : contusio cerebri, perdarahan intraserebral.
Etiologi
1. Non traumatik
Spontan, akibat pecahnya aneurisma. Disebut perdarahan subarakhnoid primer.
2. Traumatik
Akibat trauma kepala. Disebut perdarahan subarakhnoid sekunder.
Patofisiologi
Perdarahan yg mengisi ruang subarakhnoid akan mengiritasi selaput otak. Sedangkan
pembuluh darah yang pecah akan menimbulkan daerah bagian distalnya mengalami iskemik atau
infark sehingga dijumpai defisit neurologis.
Diagnosa
Gejala dijumpai dari tingkat yg paling ringan sampai yang paling berat, tergantung
beratnya perdarahan yang terjadi.
1. Dimulai dengan keluhan sakit kepala ringan yang makin lama makin hebat
2. Kemudian disertai Tanda Rangsang Meningeal (TRM) : kaku kuduk, kernig sign (+)
3. Selanjutnya pada keadaan berat akan dijumpai :
- Gangguan kesadaran sampai koma
- Defisit neurologis : hemipharese, refleks patologis
- Kejang : rigiditas deserebrasi, gangguan pernapasan dan dilatasi pupil
Pemeriksaan Penunjang
LCS mengandung darah/xanthochrom
Tata Laksana
1. Perawatan
Bed rest total
2. Medikamentosa
Hemostatistika : karbosokrom Na-sulfonat (adona AC), asam treksamat
Metabolic activator : citicholine (nicholin), pyritinol mesylate (hidrogin)
Neurotonika : vit. B1, B6, B12, E tab/injeksi
3. Fisioterapi
Bila ada gejala sisa neurofisik seperti hemipharese dapat dilakukan fisioterapi
Prognosa
Pada bentuk ringan, prognosa lebih baik daripada bentuk yang berat. Bahkan pada
bentuk yang berat sekali dapat menyebabkan kematian.
8. Stroke hemoragik
Definisi
Stroke hemoragik adalah stroke akibat perdarahan intrakranial, di mana perdarahan
intrakranial dibagi menjadi 2 lokasi utama yaitu perdarahan intraserebral dan perdarahan
subaraknoid.
Epidiemologi
Perdarahan intraserebral menduduki 10 - 15% dari total kasus stroke dengan 20/100000
insiden. Lebih sering pada pria. Sedangkan perdarahan subaraknoid terjadi 6 - 9 per 100000
kasus pertahunnnya dan lebih sering pada wanita.
Etiologi
Perdarahan intraserebral paling sering terjadi akibat hipertensi kronik, muncul tiba - tiba
dan biasanya setelah aktivitas. Pada usia tua penyebab tersering adalah angiopati amiloid
serebral. Sedangkan, pada usia muda biasanya akibat penggunaan alkohol berlebihan, merokok,
hipertensi, terapi antikoagulan.
Perdarahan subaraknoid biasanya terjadi akibat trauma kepala, ruptur aneurisma dan
AVM serta perdarahan oleh tumor, vaskulitis, diseksi arteri serebral, penyalahgunaan kokain,
dan koagulopati.11
Patofisiologi
Otak sendiri merupakan 2% dari berat tubuh total. Dalam keadaan istirahat otak
menerima seperenam dari curah jantung. Otak mempergunakan 20% dari oksigen tubuh. Otak
sangat tergantung kepada oksigen, bila terjadi anoksia seperti yang terjadi pada CVA di otak
mengalami perubahan metabolik, kematian sel dan kerusakan permanen yang terjadi dalam 3
sampai dengan 10 menit (non aktif total). Pembuluh darah yang paling sering terkena ialah arteri
serebral dan arteri karotis Interna.
Adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau cedera pada otak
melalui empat mekanisme, yaitu :
1. Penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan atau
penyumbatan lumen sehingga aliran darah dan suplainya ke sebagian otak tidak
adekuat, selanjutnya akan mengakibatkan perubahan-perubahan iskemik otak. Bila
hal ini terjadi sedemikian hebatnya, dapat menimbulkan nekrosis.
2. Pecahnya dinding arteri serebral akan menyebabkan bocornya darah ke kejaringan
(hemorrhage).
3. Pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang menekan jaringan otak.
4. Edema serebri yang merupakan pengumpulan cairan di ruang interstitial jaringan
otak.
Konstriksi lokal sebuah arteri mula-mula menyebabkan sedikit perubahan pada
aliran darah dan baru setelah stenosis cukup hebat dan melampaui batas kritis terjadi
pengurangan darah secara drastis dan cepat. Oklusi suatu arteri otak akan menimbulkan
reduksi suatu area dimana jaringan otak normal sekitarnya yang masih mempunyai
pendarahan yang baik berusaha membantu suplai darah melalui jalur-jalur anastomosis
yang ada. Perubahan awal yang terjadi pada korteks akibat oklusi pembuluh darah
adalah gelapnya warna darah vena, penurunan kecepatan aliran darah dan sedikit
dilatasi arteri serta arteriole. Selanjutnya akan terjadi edema pada daerah ini. Selama
berlangsungnya perisriwa ini, otoregulasi sudah tidak berfungsi sehingga aliran darah
mengikuti secara pasif segala perubahan tekanan darah arteri. Di samping itu
reaktivitas serebrovaskuler terhadap PCO2 terganggu. Berkurangnya aliran darah
serebral sampai ambang tertentu akan memulai serangkaian gangguan fungsi neural
dan terjadi kerusakan jaringan secara permanen12
Skema :
Perdarahan arteri / oklusi
Penurunan tekanan perfusi vaskularisasi distal
Iskemia Pelebaran kontara lateral
Anoksia Aktivitas elektrik terhenti
Metabolisme Anaerob Pompa natrium dan kalium gagal
Metabolisme Asam Natrium dan air masuk ke sel
Asidosis lokal Edema intra sel
Pompa natrium gagal Edema ekstra sel
Edema dan nekrosis jaringan Perfusi jaringan serebral
Sel mati secara progresif (defisit fungsi otak)
Gejala klinis
a. Vertebro basilaris, sirkulasi posterior, manifestasi biasanya bilateral :
Kelemahan salah satu dari empat anggota gerak tubuh
Peningkatan refleks tendon
Ataksia
Tanda babinski
Tanda-tanda serebral
Disfagia
Disartria
Sincope, stupor, koma, pusing, gangguan ingatan.
Gangguan penglihatan (diplopia, nistagmus, ptosis, paralysis satu mata).
Muka terasa baal.
b. Arteri Karotis Interna
Kebutaan Monokular disebabkan karena insufisiensi aliran darah arteri ke retina
Terasa baal pada ekstremitas atas dan juga mungkin menyerang wajah.
c. Arteri Serebri Anterior
Gejala paling primer adalah kebingungan
Rasa kontralateral lebih besar pada tungkai
Lengan bagian proksimal mungkin ikut terserang
Timbul gerakan volunter pada tungkai terganggu
Gangguan sensorik kontra lateral
Dimensi reflek mencengkeram dan refleks patologis
d. Arteri Serebri Posterior
Koma
Hemiparesis kontralateral
Afasia visual atau buta kata (aleksia)
Kelumpuhan saraf kranial ketiga – hemianopsia, koreo – athetosis
e. Arteri Serebri Media
Mono paresis atau hemiparesis kontra lateral (biasanya mengenai lengan)
Kadang-kadang heminopsia kontralateral (kebutaan)
Afasia global (kalau hemisfer dominan yang terkena)
Gangguan semua fungsi yang ada hubungannya dengan percakapan dan
komunikasi
Disfagia
Tatalaksana
a. Penatalaksanaan umum 5 B dengan penurunan kesadaran :
1. Breathing (Pernapasan)
- Usahakan jalan napas lancar.
- Lakukan penghisapan lendir jika sesak.
- Posisi kepala harus baik, jangan sampai saluran napas tertekuk.
- Oksigenisasi terutama pada pasien tidak sadar.
2. Blood (Tekanan Darah)
- Usahakan otak mendapat cukup darah.
- Jangan terlalu cepat menurunkan tekanan darah pada masa akut.
3. Brain (Fungsi otak)
- Atasi kejang yang timbul.
- Kurangi edema otak dan tekanan intra cranial yang tinggi.
4. Bladder (Kandung Kemih)
- Pasang katheter bila terjadi retensi urine
5. Bowel (Pencernaan)
- Defekasi supaya lancar.
- Bila tidak bisa makan per-oral pasang NGT/Sonde.
b. Menurunkan kerusakan sistemik.
Dengan infark serebral terdapat kehilangan irreversible inti sentral jaringan otak. Di
sekitar zona jaringan yang mati mungkin ada jaringan yang masih harus
diselamatkan. Tindakan awal yang harus difokuskan untuk menyelamatkan
sebanyak mungkin area iskemik. Tiga unsur yang paling penting untuk area
tersebut adalah oksigen, glukosa dan aliran darah yang adekuat. Kadar oksigen
dapat dipantau melalui gas-gas arteri dan oksigen dapat diberikan pada pasien jika
ada indikasi. Hypoglikemia dapat dievaluasi dengan serangkaian pemeriksaan
glukosa darah.13
d. Terapi Farmakologi
Antikoagulasi dapat diberikan pada stroke non haemoragik, meskipun heparinisasi
pada pasien stroke iskemik akut mempunyai potensi untuk menyebabkan
komplikasi haemoragik. Heparinoid dengan berat molekul rendah (HBMR)
menawarkan alternatif pada penggunaan heparin dan dapat menurunkan
kecendrungan perdarahan pada penggunaannya. Jika pasien tidak mengalami
stroke, sebaliknya mengalami TIA, maka dapat diberikan obat anti platelet. Obat-
obat untuk mengurangi perlekatan platelet dapat diberikan dengan harapan dapat
mencegah peristiwa trombotik atau embolitik di masa mendatang. Obat-obat
antiplatelet merupakan kontraindikasi dalam keadaan adanya stroke hemoragi
seperti pada halnya heparin.15
e. Pembedahan
Beberapa tindakan pembedahan kini dilakukan untuk menangani penderita stroke.
Sulit sekali untuk menentukan penderita mana yang menguntungkan untuk dibedah.
Tujuan utama pembedahan adalah untuk memperbaiki aliran darah serebral.
Endarterektomi karotis dilakukan untuk memperbaiki peredaran darah otak.
Penderita yang menjalani tindakan ini seringkali juga menderita beberapa penyulit
seperti hypertensi, diabetes dan penyakit kardiovaskuler yang luas.
Etiologi
Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering disebabkan oleh
emboli ekstrakranial atau trombosis intrakranial. Selain itu, stroke non hemoragik juga dapat
diakibatkan oleh penurunan aliran serebral. Pada tingkatan seluler, setiap proses yang
mengganggu aliran darah menuju otak menyebabkan timbulnya kaskade iskemik yang
berujung pada terjadinya kematian neuron dan infark serebri.7
Emboli
Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis akan tetapi
dapat juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik.8
a. Embolus yang dilepaskan oleh arteria karotis atau vertebralis, dapat berasal
dari plaque athersclerotique yang berulserasi atau dari trombus yang melekat
pada intima arteri akibat trauma tumpul pada daerah leher.
b. Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:
1) Penyakit jantung dengan shunt yang menghubungkan bagian kanan
dengan bagian kiri atrium atau ventrikel;
2) Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang meninggalkan
gangguan pada katup mitralis;
3) Fibralisi atrium;
4) Infarksio kordis akut;
5) Embolus yang berasal dari vena pulmonalis;
6) Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial, jantung
miksomatosus sistemik;
c. Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai:
1) Emboli septik, misalnya dari abses paru atau
2) Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru bronkiektasis.
3) Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti penyakit caisson).
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-sided
circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli kardiogenik adalah
trombi valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup buatan), trombi mural
(seperti infark miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung kongestif) dan
atrial miksoma. Sebanyak 2-3 persen stroke emboli diakibatkan oleh infark miokard
dan 85 persen diantaranya terjadi pada bulan pertama setelah terjadinya infark
miokard.7
Trombosis
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar
(termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus Willisi
dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang paling sering adalah titik
percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri karotis interna.
Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah
(sehingga meningkatkan resiko pembentukan trombus aterosklerosis (ulserasi plak),
dan perlengketan platelet.7
Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisitemia, anemia sickle sel,
defisiensi protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan vasokonstriksi
yang berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap proses yang menyebabkan
diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan terjadinya stroke trombotik (contohnya
trauma, diseksi aorta thorasik, arteritis)
Patofisiologi
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal
sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah
neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara berbagi neuron berbeda-beda.
Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (1200-1400 gram) dari berat tubuh
total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah
arterial. Dalam jumlah normal darah yang mengalir ke otak sebanyak 50-60 ml per 100
gram jaringan otak per menit. Jumlah darah yang diperlukan untuk seluruh otak adalah 700-
840 ml/menit, dari jumlah darah itu di salurkan melalui arteri karotis interna yang terdiri
dari arteri karotis dekstra dan sinistra, yang menyalurkan darah ke bagian depan otak
disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior, yang kedua adalah vertebrobasiler, yang
memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum posterior,
selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri serebrum
posterior membentuk suatu sirkulus Willisi.4,8
Gangguan pasokan darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-arteri yang
membentuk sirkulus willisi serta cabang-cabangnya. Secara umum, apabila aliran darah ke
jaringan otak terputus 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan. Perlu
diingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang di
perdarahi oleh arteri tersebut dikarenakan masih terdapat sirkulasi kolateral yang memadai
ke daerah tersebut. Proses patologik yang sering mendasari dari berbagi proses yang terjadi
di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak diantaranya dapat berupa:6
1. Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan
thrombosis.
2. Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau
hiperviskositas darah.
3. Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung
atau pembuluh ekstrakranium.
Dari gangguan pasokan darah yang ada di otak tersebut dapat menjadikan terjadinya
kelainan-kelainan neurologi tergantung bagian otak mana yang tidak mendapat suplai
darah, yang diantaranya dapat terjadi kelainan di sistem motorik, sensorik, fungsi luhur,
yang lebih jelasnya tergantung saraf bagian mana yang terkena.
Gejala Klinis
Gambaran klinis utama yang berkaitan dengan insufisiensi arteri ke otak mungkin
berkaitan dengan pengelompokan gejala dan tanda berikut yang tercantum dan disebut
sindrom neurovaskular :6
1. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior: gejala biasanya unilateral)
a. Dapat terjadi kebutaan satu mata di sisi arteria karotis yang terkena, akibat
insufisiensi arteri retinalis
b. Gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena insufisiensi
arteria serebri media
c. Lesi dapat terjadi di daerah antara arteria serebri anterior dan media atau arteria
serebri media. Gejala mula-mula timbul di ekstremitas atas dan mungkin
mengenai wajah. Apabila lesi di hemisfer dominan, maka terjadi afasia ekspresif
karena keterlibatan daerah bicara motorik Broca.
2. Arteri serebri media (tersering).
a. Hemiparese atau monoparese kontralateral (biasanya mengenai lengan)
b. Kadang-kadang hemianopsia (kebutaan) kontralateral
c. Afasia global (apabila hemisfer dominan terkena): gangguan semua fungsi yang
berkaitan dengan bicara dan komunikasi
d. Disfasia
3. Arteri serebri anterior (kebingungan adalah gejala utama)
a. Kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di tungkai
b. Defisit sensorik kontralateral
c. Demensia, gerakan menggenggam, reflek patologis
4. Sistem vertebrobasilaris (sirkulasi posterior: manifestasi biasanya bilateral)
a. Kelumpuhan di satu atau empat ekstremitas
b. Meningkatnya reflek tendon
c. Ataksia
d. Tanda Babinski bilateral
e. Gejala-gejala serebelum, seperti tremor intention, vertigo
f. Disfagia
g. Disartria
h. Rasa baal di wajah, mulut, atau lidah
i. Sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat, disorientasi
j. Gangguan penglihatan dan pendengaran
5. Arteri serebri posterior
a. Koma
b. Hemiparese kontralateral
c. Afasia visual atau buta kata (aleksia)
d. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga: hemianopsia, koreoatetosis.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan lab : Darah lengkap, elektrolit, LED, fungsi liver dan ginjal
2. Pemeriksaan EEG
3. Ct scan kepala
4. MRI
Tatalaksana
a. Memulihkan iskemik akut yang sedang berlangsung (3-6 jam pertama)
menggunakan trombolisis dengan rt-PA (recombinan tissue-plasminogen
activator). Ini hanya boleh di berikan dengan waktu onset <3 jam dan hasil CT
scan normal, tetapi obat ini sangat mahal dan hanya dapat di lakukan di rumah
sakit yang fasilitasnya lengkap.
b. Mencegah perburukan neurologis dengan jeda waktu sampai 72 jam yang
diantaranya yaitu :
i. Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark. Terapi dengan
manitol dan hindari cairan hipotonik.
ii. Ekstensi teritori infark, terapinya dengan heparin yang dapat mencegah
trombosis yang progresif dan optimalisasi volume dan tekanan darah yang
dapat menyerupai kegagalan perfusi.
iii. Konversi hemoragis, msalah ini dapat di lihat dari CT scan, tiga faktor
utama adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan hipertensi akut, ini
tak boleh di beri antikoagulan selama 43-72 jam pertama, bila ada
hipertensi beri obat antihipertensi.
c. Mencegah stroke berulang dini dalam 30 hari sejak onset gejala stroke terapi
dengan heparin.
Protokol penatalaksanaan stroke non hemoragik akut
a. Pertimbangan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB (dosis maksimum 90 mg) 10% di
berikan bolus intravena sisanya diberikan per drip dalam waktu 1 jam jika onset
di pastikan <3 jam dan hasil CT scan tidak memperlihatkan infrak yang luas.
b. Pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung atau iskemia
miokard, bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat maka dapat diberikan
digoksin 0,125-0,5 mg intravena atau verapamil 5-10 mg intravena atau
amiodaron 200 mg drips dalam 12 jam.
c. Tekanan darah tidak boleh cepat-cepat diturunkan sebab dapat memperluas infrak
dan perburukan neurologis. Pedoman penatalaksanaan hipertensi bila terdapat
salah satu hal berikut :
i. Hipertensi diobati jika terdapat kegawat daruratan hipertensi neurologis
seperti, iskemia miokard akut, edema paru kardiogenik, hipertensi
maligna (retinopati), nefropati hipertensif, diseksi aorta.
ii. Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada tiga kali
pengukuran selang 15 menit dimana sistolik >220 mmHg, diastolik >120
mmHg, tekanan arteri rata-rata >140 mmHg.
iii. Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA dimana
tekanan darah sistolik >180 mmHg dan diastolik >110 mmHg.
Dengan obat-obat antihipertensi labetalol, ACE, nifedipin. Nifedifin sublingual
harus dipantau ketat setiap 15 menit karena penurunan darahnya sangat drastis.
Pengobatan lain jika tekanan darah masih sulit di turunkan maka harus diberikan
nitroprusid intravena, 50 mg/250 ml dekstrosa 5% dalam air (200 mg/ml) dengan
kecepatan 3 ml/jam (10 mg/menit) dan dititrasi sampai tekanan darah yang di
inginkan. Alternatif lain dapat diberikan nitrogliserin drip 10-20 mg/menit, bila di
jumpai tekanan darah yang rendah pada stroke maka harus dinaikkan dengan
dopamin atau debutamin drips.
d. Pertimbangkan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan tanda klinis
atau radiologis adanya infrak yang masif, kesadaran menurun, gangguan
pernafasan atau stroke dalam evolusi.
e. Pertimbangkan konsul ke bedah saraf untuk infrak yang luas.
f. Pertimbangkan sken resonasi magnetik pada pasien dengan stroke vetebrobasiler
atau sirkulasi posterior atau infrak yang tidak nyata pada CT scan.
g. Pertimbangkan pemberian heparin intravena di mulai dosis 800 unit/jam, 20.000
unit dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan 20 ml/jam, sampai masa
tromboplastin parsial mendekati 1,5 kontrol pada kondisi:
iv. Kemungkinan besar stroke kardioemboli
v. TIA atau infrak karena stenosis arteri karotis
vi. Stroke dalam evolusi
vii. Diseksi arteri
viii. Trombosis sinus dura
Heparin merupakan kontraindikasi relatif pada infrak yang luas. Pasien stroke non
hemoragik dengan infrak miokard baru, fibrilasi atrium, penyakit katup jantung atau trombus
intrakardiak harus diberikan antikoagulan oral (warfarin) sampai minimal satu tahun.6,8,9
10. Epilepsi
Definisi
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan berulang sebagai akibat
adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik
yang abnormal dan berlebih.14
Epidiemologi
Prevalensinya antara 0.5 - 4%. insiden epilepsi di negara berkembang mencapai 50 - 70
kasus per 100000 penduduk. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak cukup tinggi.
Etiologi
1. Idiopatik
Tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologik.
2. Kriptogenik
Dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum di ketahui
3. Simptomatik
Didapat kelainan/lesi struktural pada otak, misalnya cedera kepala, infeksi SSP,
kelainan congenital, dan tumor
Klasifikasi
Dibagi menjadi 2 bagian :
1. Epilepsi fokal
- Bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang terlokalisir di otak
- Saat serangan tidak terdapat penurunan kesadaran.
2. Epilepsi General
- Terjadi pada daerah yang lebih luas pada kedua bagian otak
- saat serangan terdapat gangguan kesadaran14
Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang
atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.
Ada 2 mekanisme :14
1. Meningkatnya faktor eksitasi
2. Menurunnya faktor inhibisi
Proses terjadinya kejang memperlihatkan beberapa proses biokimiawi yaitu :
1. Instabilitas membran sel saraf sehingga sel saraf mudah mengalami pengaktifan
2. Neuron - neuron hipersensitif dengan ambang kemampuan untuk melepaskan muatan
menurun dan aoabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan
3. Kelainan polarisasi ( polarisasi berlebihan, hipolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi GABA
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbanan asam basa atau elektrolit yang
mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelaian pada depolarisasi
neuron. Gangguan ini menyebabkan neurotransmitter eksitatorik berlebihan atau
penurunan neurotransmitter inhibitorik.
Pemeriksaan penunjang
5. Pemeriksaan lab : Darah lengkap, elektrolit, LED, fungsi liver dan ginjal
6. Pemeriksaan EEG
7. Ct scan kepala
8. MRI
Tatalaksana
11. Intosikasi
Definisi
Intoksikasi adalah masuknya zat ke dalam tubuh yang dapat mengakibatkan gangguan
kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian. Semua zat dapat menjadi racun bila diberikan
dalam dosis yang tidak seharusnya.9
Etiologi
Ada berbagai macam kelompok bahan yang dapat menyebabkan keracunan, antara lain :
1. Bahan kimia umum ( Chemical toxicants ) yang terdiri dari berbagai golongan seperti
pestisida ( organoklorin, organofosfat, karbamat ), golongan gas (nitrogen metana,
karbon monoksida, klor ), golongan logam (timbal, posfor, air raksa,arsen) ,golongan
bahan organik ( akrilamida, anilin, benzena toluene, vinil klorida fenol ).
2. Racun yang dihasilkan oleh makluk hidup ( Biological toxicants ) mis : sengatan
serangga, gigitan ular berbisa , anjing dll
3. Racun yang dihasilkan oleh jenis bakteri ( Bacterial toxicants ) mis : Bacillus cereus,
Compilobacter jejuni, Clostridium botulinum, Escherichia coli dll
Racun yang dihasilkan oleh tumbuh tumbuhan ( Botanical toxicants ) mis : jamur
amnita, jamur psilosibin, oleander, kecubung.13
Patofisiologi
Mekanisme cara terjadinya keracunan dibagi menjadi 4, yaitu:
Self Poisoning: Pada keadaan ini pasien makan obat dengan dosis berlebihan
tetapi dengan pengetahuan bahwa dosis ini tidak akan membahayakan. Jadi
pasien tidak bermaksdu untuk bunuh diri, biasanya hanya untuk menarik
perhatian lingkungan sekitarnya. Pada anak muda kadang-kadang dilakukan
untuk coba-coba tanpa disadari bahwa tindakan ini dapat membahayakan dirinya.
Attemted suicide: dalam hal ini, pasien memang bermaksud untuk bunuh diri,
tetapi bisa berakhir dengan kematian atau pasien sembuh kembali bila ia salah
tafsir tentang dosis yang dimakanya.
Accidental poisoning: ini jelas merupakan kecelakaan, tanpa factor sengaja sama
sekali.
Homicidal poisoning: keracunan ini akibat tindakan criminal yaitu seseorang
dengan sengaja meracuni orang lain.
Klasifikasi menurut mula waktu terjadinya keracunan di bagi menjadi yang bersifat akut
dan kronik. Untuk akut lebih mudah dikenal daripada keracunan kronik, biasanya terjadi
mendadak setelah makan sesuatu. Ciri lain ialah sering mengenai orang banyak, misalnya pada
kercunan makanan, dapat mengenai seluruh keluarga atau warga sekampung. Gejala keracunan
akut dapat menyerupai setiap sindrom penyakit, karena itu harus selalu diingat kemungkinan
keracunan pada keadaan sakit mendadak dengan gejala seperti muntah, kejang, diare, koma, dan
sebagainya.
Untuk diagnosis keracunan kronik sulit dibuat karena gejala yang timbul perlahan dan
lama sesudah pajanan. Gejala dapat timbul akut sesudah pajanan berkali-kali dalam waktu yang
cukup lama dan dengan dosis yang kecil. Suatu ciri khas ialah bahwa zat penyebab dieksresi
lebih lama dari 24 jam, waktu paruhnya panjang, sehingga terjadi akumulasi.13
Gejala klinis
Talaksana
Tindakan dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu: tindangan ABC dan Usaha Terapetik
lain-nya, serta pemberian antidot. Tindakan Umum adalah tindakan Airway, Breathing,
Circulation, Usaha Terapetik lain (Mempertahankan Keseimbangan elektrolit, air, asam dan
basa; Decontamination; dan Eliminasi). Sedangkan Tindakan pemberian antidot adalah
spesifik tergantung dari penyebab keracunannya
3.Hipokalemia
Nilai normal Kalium plasma adalah 3,5-4,5 mEq/L. Disebut hipokalemia apabila
kadar kalium <3,5mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari cairan
ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium tubuh. Tanda
dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS segmen
melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi
glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis,
hipomagnesemia, obat- obatan), infuse potasium klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mild
hipokalemia >2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring
oleh EKG (untuk hipokalemia berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang
hebat).1,4,5,6,7
4.Hiperkalemia
Kalium (K+) memainkan peran utama dalam elektrofisiologi dari membran sel serta
karbohidrat dan protein sintesis. Potensial membran sel istirahat biasanya tergantung pada
rasio intraseluler dan ekstraseluler konsentrasi kalium. Konsentrasi kalium intraseluler
diperkirakan 140 mEq / L, sedangkan konsentrasi kalium ekstraseluler biasanya sekitar 4
mEq / L. Dalam beberapa kondisi, redistribusi K+ antara cairan ekstraselular dan
kompartemen cairan intraselular dapat mengakibatkan perubahan yang nyata dalam
ekstraseluler K+ tanpa perubahan total konten kalium tubuh.1 Hiperkalemia adalah jika kadar
kalium > 5 mEq/L. Hiperkalemia sering terjadi karena insufisiensi renal atau obat yang
membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dan
gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sistem
kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG).3 Efek paling penting dari hiperkalemia berada
di otot rangka dan jantung. Kelemahan otot rangkapada umumnya tidak terlihat sampai
plasma [K +] lebih besar dari 8 mEq / L, dan karena depolarisasi berkelanjutan spontan dan
inaktivasi kanal Na + membran otot, akhirnya mengakibatkan kelumpuhan.3 Perubahan EKG
berlaku secara berurutan dari simetris memuncak gelombang T (sering dengan interval QT
memendek) → pelebaran kompleks QRS → perpanjangan interval P-R → hilangnya
gelombang P → hilangnya amplitudo R-gelombang → depresi segmen ST (kadang-kadang
elevasi) → EKG yang menyerupai gelombang sinus, sebelum perkembangan fibrilasi
ventrikel dan detak jantung. Kontraktilitas dapat relatif baik dipertahankan sampai akhir
dalam perjalanan hiperkalemia progresif. Hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis
menonjolkan efek jantung hiperkalemia.1
5.Hipokalsemia
Meskipun 98% dari total kalsium tubuh dalam tulang, pemeliharaan konsentrasi
kalsium ekstraseluler normal adalah penting untuk homeostasis. Ion kalsium terlibat dalam
fungsi biologis hampir semua penting, termasuk kontraksi otot, pelepasan neurotransmitter
dan hormon, pembekuan darah, dan metabolisme tulang, dan kelainan pada keseimbangan
kalsium dapat mengakibatkan derangements fisiologis yang mendalam.
Asupan kalsium pada orang dewasa rata-rata 600-800 mg / d. Penyerapan kalsium
terjadi di usus terutama di usus kecil proksimal tetapi adalah variabel. Kalsium juga disekresi
ke dalam saluran usus, dimana sekresi ini tampaknya konstan dan independen dari
penyerapan. Hingga 80% dari asupan kalsium harian biasanya hilang dalam feses. Ginjal
bertanggung jawab untuk sebagian besar ekskresi kalsium. Rata-rata ekskresi kalsium ginjal
100 mg / d namun dapat bervariasi dari serendah 50 mg / d ke lebih dari 300 mg / d.
Biasanya, 98% dari kalsium disaring dan diserap kembali. Reabsorpsi kalsium paralel dengan
natrium dalam tubulus ginjal proksimal dan loop menaik Henle. Di tubulus distal,
bagaimanapun, reabsorpsi kalsium tergantung pada hormon paratiroid (PTH) sekresi,
sedangkan reabsorpsi natrium tergantung pada sekresi aldosteron. tingkat PTH meningkat
meningkatkan reabsorpsi kalsium distal dan dengan demikian menurunkan ekskresi kalsium
urin.1
90% kalsium terikat dalam albumin, sehingga kondisi hipokalsemia biasanya terjadi
pada pasien dengan hipoalbuminemia. Hipokalsemia disebabkan karena hipoparatiroidism,
kongenital, idiopatik, defisiensi vit D, defisiensi 125(OH)2D3 pada gagal ginjal kronik, dan
hiperfosfatemia.3 Manifestasi dari hipokalsemia termasuk kulit kering, parestesia, gelisah dan
kebingungan, gangguan irama jantung, laring stridor (spasme laring), tetani dengan spasme
karpopedal (tanda Trousseau), masseter spasme (Tanda Chvostek), dan kejang. kolik bilier
dan bronkospasme.1,3 EKG dapat mengungkapkan irritasi jantung atau interval QT
perpanjangan yang mungkin tidak berkorelasi antara tingkat keparahan dengan tingkat
hipokalsemia. Penurunan kontraktilitas jantung dapat mengakibatkan gagal jantung,
hipotensi, atau keduanya. Penurunan respon terhadap digoxin dan β-adrenergik agonis juga
dapat terjadi.1
Seperti yang diketahui, hipokalsemia adalah suatu kondisi yang gawat darurat karena
menyebabkan kejang umum dan henti jantung. Dapat diberikan 20-30 ml preparat kalsium
glukonas 10% atau CaCl 10% dapat diulang 30-60 menit kemudian sampai tercapai kadar
kalsium plasma yang optimal. Pada kasus kronik, dapat dilanjutkan dengan terapi per
oral.1,5,6,7
13. Hiperglikemik
Definisi
Hiperglikemia didefinisikan bila nilai glukosa darah melebihi 140 mg/dl (>7,8
mmol/L)2.
Epidiemologi
Di Amerika Serikat saja, ada sekitar 1,6 juta kasus baru diabetes setiap tahun, dengan
prevalensi keseluruhan 23,6 juta orang (7,8% dari populasi, dengan 1/4 kasus yang tersisa tidak
terdiagnosis)
Etiologi
Etiologi dari hiperglikemia adalah adanya autoimunitas antibodi pada sel islet dari
pankreas sehingga mengganggu produksi insulin, kombinasi faktor genetik yang berhubungan
dengan sekresi gangguan insulin, resistensi insulin dan faktor lingkungan seperti obesitas,
makan berlebihan, kurang olahraga, dan stres serta penuaan 5
Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari hiperglikemia yang kompleks tapi meliputi berikut ini.
1. Resistensi insulin perifer dan hati.
2. Peningkatan produksi glukosa ginjal dan hati.
3. Beban glukosa tinggi dari makanan dan infus intravena
Gejala klinis
Gejala khas hiperglikemia pada diabetes mellitus (DM) adalah poliuri, polidipsi,
polifagi, dan berat badan menurun dengan cepat. Untuk diagnosis kasus DM menggunakan tes
glukosa darah berupa glukosa darah sewaktu, glukosa darah puasa, dan A1C. Pasien terdiagnosis
menderita DM apabila konsentrasi glukosa darah sewaktunya mencapai ≥ 200 mg/dl, glukosa
darah puasanya mencapai > 126 mg/dl atau A1C ≥ 6,5% 6, 7 .
Proses HHS biasanya berkembang selama beberapa hari sampai minggu, sedangkan
perubahan episode DKA akut pada diabetes tipe 1 atau bahkan pada diabetes tipe 2 cenderung
jauh lebih pendek. Meskipun gejala diabetes yang tidak terkontrol dapat hadir selama beberapa
hari, perubahan metabolik yang khas dari ketoasidosis biasanya berkembang dalam waktu yang
singkat (biasanya < 24 jam). Baik DKA dan HHS, gambaran klinis klasik mencakup riwayat
poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, muntah, dehidrasi, kelemahan, dan perubahan status
mental. Temuan fisik mungkin termasuk turgor kulit buruk, pernapasan Kussmaul (di DKA),
takikardia, dan hipotensi. status mental dapat bervariasi dari kewaspadaan penuh ke penurunan
kesadaran atau koma, dengan yang terakhir lebih sering di HHS. Tanda-tanda neurologis fokal
(hemianopia dan hemiparesis) dan kejang (focal atau umum) juga dapat menjadi ciri HHS. Mual,
muntah, nyeri perut difus sering pada pasien dengan DKA (> 50%), tetapi jarang terjadi di HHS
3
Kriteria diagnostik DKA adalah kadar glukosa darah > 250 mg %, pH < 7,35, HCO 3 rendah,
anion gap yang tinggi, dan keton serum positif 6. Sedangkan kriteria diagnostik pada HHS
meliputi tingkat glukosa plasma > 600 mg / dL, osmolaritas plasma efektif > 320 mOsm / L,
dan tidak adanya ketoasidosis signifikan 4
Tatalaksana
infus insulin harus digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia pada sebagian
besar pasien sakit kritis dalam pengaturan ICU, dengan batas mulai dari tidak lebih dari 180 mg /
dL (10,0 mmol / L). Setelah terapi insulin IV telah dimulai, tingkat glukosa harus dipertahankan
antara 140 dan 180 mg / dL (7,8 dan 10,0 mmol / L). Untuk sebagian besar pasien yang non
sakit kritis diobati dengan insulin, target glukosa pra-makan umumnya harus <140 mg / dL (<7.8
mmol / L) bersamaan dengan nilai-nilai glukosa darah acak <180 mg / dL (<10,0 mmol / L),
selama target tersebut dapat dengan aman dicapai. Untuk menghindari hipoglikemia,
pertimbangan harus diberikan untuk menilai kembali regimen insulin jika kadar glukosa darah
menurun di bawah 100 mg / dL (5,6 mmol / L). Modifikasi rejimen diperlukan bila nilai-nilai
glukosa darah adalah <70 mg / dL (<3,9 mmol / L) 2.
Intervensi gaya hidup perlu dilakukan karena obesitas dan gaya hidup adalah faktor lingkungan
yang paling mempengaruhi munculnya DM.
14. Hipoglikemik
Definisi
Hipoglikemia adalah keadaan yang menunjukkan kadar glukosa darah di bawah normal
Biasanya pada penderita hipoglikemia terjadi kadar glukosa yangrendah yaitu kurang dari 50
mg/dl(2,8 mmol/L) atau bahkan kurang dari 40 mg/dl (2,2 mmol/L). Kadar glukosa darah
keseluruhan (whole blood) lebih rendah 10% dibandingkan dengan kadar glukosa plasma
dikarenakan eritrosit memiliki kadar glukosa yang relatif rendah.
Epidiemologi
Hipoglikemia biasanya ditemukan pada pasien diabetes melitus. Sekitar 90% dari semua
pasien yang menerima insulin mengalami episode hipoglikemia. Kejadian hipoglikemia sangat
bervariasi, namun pada umumnya penderita diabetes mellitus tipe 1 memiliki rata-rata episode
hipoglikemia simtomatik per minggu dan per tahun. Diperkirakan 2-4% dari mortalitas akibat
diabetes melitus dikaitkan dengan hipoglikemia.
Etiologi
Hipoglikemia biasanya dibagi menjadi hipoglikemia pasa-makan (reaktif), hipoglikemia
puasa, dan hipoglikemia pada pasien rawat inap
Hipoglikemia pasca-makan dapat disebabkan oleh hiperinsulinisme pencernaan. Pasien yang
menjalani gastrektomi, gastrojejunostomi, piloroplasti atau vagotomi dapat mengalami
hipoglikemia pasca-makan. Hal ini disebabkan karena pengosongan lambung yang cepat dengan
penyerapan singkat glukosa turun lebih cepat dibanding insulin
Hipoglikemia puasa dapat disebabkan oleh kurangnya produksi atau penggunaan glukosa, defek
enzim, defisiensi substrat, penyakit hati kongenital, ataupun obat-obatan. Defisiensi hormon
penyebab hipoglikemia puasa karena kurangnya glukosa dapat terjadi pada hipohipofisisme,
insufisiensi adrenal, defisiensi katekolamin, dan defisiensi glukagon. Adapun defek enzim yang
menyebabkan hipoglikemia puasa karena kurangnya glukosa adalah defek enzim Glucose-6-
fosfatase, fosforilase hati, piruvat karboksilase, fosfoenolpiruvat karboksikinase, fructose-1,6-
difosfatase, dan glikogen sintetase
Pasien rawat inap yang mengalami hipoglikemia paling lazim disebabkan oleh pengunaan obat-
obatan yang diberikan. Tiga obat yang paling sering menyebabkan hipoglikemia pada pasien
rawat inap adalah insulin, sulfonylurea, dan alkohol. Diperkirakan 60% kasus ketiga obat ini
terlibat dalam diagnosis hipoglikemia.
Hiperinsulinm
Patogenesis Turunnya produksi
Contohnya insulin,
ia glukosa dan
alkohol, dan
sulfonylurea penggunaan
glukosa yang
Pengososngan berlebih
lambung yang
cepat
Produksi glukosa
Pengeluaran insulin yang tidak seimbang
berlebihan dan dengan kebutuhan
penyerapan glukosa yang
kurang
Tatalaksana
Adapun terapi medika mentosa hipoglikemia yang dapat diberikan adalah:
1. Glukosa Oral.
2. Glukosa Intravena.
3. Glukagon (SC/IM).
4. Thiamine 100 mg (SC/IM) pada pasien alkoholisme.
5. Monitoring
3. Seseorang menyalahgunakan obat dengan memanfaatkan efek samping seperti yang telah
disebutkan di atas. Bisa jadi penggunanya sendiri tidak tahu, hanya mengikuti saja apa
yang diresepkan dokter. Obatnya bukan obat-obat yang dapat menyebabkan toleransi dan
ketagihan. Penggunaannya juga mungkin tidak dalam jangka waktu lama yang
menyebabkan ketergantungan.
Tatalaksana
Pengatasan penyalah-gunaan obat memerlukan upaya-upaya yang terintegrasi, yang
melibatkan pendekatan psikologis, sosial, hukum, dan medis. Pada tulisan kali ini hanya akan
dibahas mengenai farmakoterapi (terapi menggunakan obat) bagi keadaan yang terkait dengan
ketergantungan obat.
Kondisi yang perlu diatasi secara farmakoterapi pada keadaan ketergantungan obat ada
dua, yaitu kondisi intoksikasi dan kejadian munculnya gejala putus obat (“sakaw”). Dengan
demikian, sasaran terapinya bervariasi tergantung tujuannya:
2. Terapi pada gejala putus obat tujuannya untuk mencegah perkembangan gejala supaya
tidak semakin parah, sehingga pasien tetap nyaman dalam menjalani program
penghentian obat
Tentunya masing-masing golongan obat memiliki cara penanganan yang berbeda, sesuai
dengan gejala klinis yang terjadi. Di bawah ini disajikan tabel ringkasan terapi intoksikasi pada
berbagai jenis obat yang sering disalahgunakan.
2.7 Prognosis
Secara keseluruhan, penurunan kesadaran harus ditatalaksana sesegera mungkin. Lesi di
otak terutama pada batang otak memiliki prognosis lebih buruk yang mana resiko mortalitas
akan meningkat.
Daftar Pustaka
1. Aninditha T., Wiratman W. Buku Ajar Neurologi FK UI. Jakarta: Penerbit
Kedokteran Indonesia. 2017
2. PERDOSSI. Advance Neurology Life Support. Jakarta: Kelompok Studi
Neurointensif PERDOSSI; 2017.
3. Consciousness. 2012. Available from: https://medical-
dictionary.thefreedictionary.com/Psychological+consciousness.
4. Teasdale G. Jennet В. Assessment of coma and impaired consciousness. A
practical scale. 1974. Lancet II.:81-4.
5. Khan T, Stecker M, Stecker M. Evaluating the patient with loss of
consciousness. Surgical neurology international. 2015;6(Suppl 6):S262.
6. Tindall SC. Level of consciousness.2011.3rd edition.Boston
7. Royal College of Physicians and Surgeons of Glasgow. Glasgow Coma Scale.
2015. Available from: https://www.glasgowcomascale.org
8. Huff JS, Tadi P. Coma. 2017.StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing.
Available from: https://europepmc.org/article/nbk/nbk430722
9. Simon RP., Aminoff MJ, Greenberg DA. Clinical Neurology 10th Ed. New
York: McGraw-Hill; 2018.
10. Louis ED, Mayer SA, Rowland LP. Merritt’s neurology. 13 ed. New York:
Lippincott Williams & Wilkins; 2016.
11. 1Traub SJ, Wijdicks EF. Initial diagnosis and management of coma. Emergency
Medicine Clinics. 2016 Nov 1;34(4):777-93.
12. PERDOSSI. Guideline Stroke Tahun 2011. Jakarta: Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI); 2011.
13. Claassen J,Hirsch LJ,Emerson RG,Mayer SA.Treatment of refractory status
epilepticus with pentobarbital, propofol, ormidazolam: Asystematic review. Epilepsia.
2002;43(2):146–53.
14. Prasetyo A, Prasetyo BH. Tatalaksana Status Epileptikus di Instalasi Gawat
Darurat. Cermin Dunia Kedokteran. 2018 Nov 1;45(11):866-8.
15. PERDOSSI. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma
Spinal. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI); 2006.