Anda di halaman 1dari 61

REFERAT

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
PENURUNAN KESADARAN

Diajukan oleh:
Grevonds Austen
(112019028)

Pembimbing:
dr. Bambang Siswanto Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


PERIODE 24 MEI 2021 - 05 JUNI 2021
RSPAD GATOT SOEBROTO JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penurunan kesadaran seringkali dijumpai ke dalam praktek sehari-hari di ruang
gawat darurat maupun di ruang perawatan; merupakan kasus yang harus segera
ditatalaksana karena dapat menyebabkan gangguan pada otak dan sekitar atau adanya
pengaruh metabolik. Penurunan kesadaran sendiri bervariasi, dari penurunan kesadaran
ringan hingga tidak sadar (koma). Penyebab dari penurunan kesadaran juga beragam,
dari trauma maupun non trauma. 1
Sehingga, mengetahui riwayat penyakit pasien dengan penurunan kesadaran
sangatlah penting. Pemeriksaan tanda vital dapat memberikan banyak informasi dalam
mencari penyebab penurunan kesadaran. Bila ditemukan tekanan darah yang sangat
tinggi, perlu dipikirkan suatu hipertensi ensefalopati dan juga stroke perdarahan.
Sedangkan tekanan darah yang rendah dapat diakibatkan oleh terganggunya perfusi ke
sistim saraf pusat yang diakibatkan oleh proses sistemik. Pasien dengan riwayat sakit
kepala dan demam sebelum penurunan kesadaran mengarahkan kita pada suatu infeksi
intrakranial. Sedangkan riwayat sakit kepala dan defisit neurologik fokal seperti
hemiparesis atau paresis N. kranialis yang terjadi tiba-tiba lebih mendukung suatu
diagnosis stroke. Cedera kepala harus disingkirikan pada setiap kasus dengan
penurunan kesadaran. Anamnesis tentang riwayat trauma kepala sebelumnya sangat
diperlukan. Perhatikan juga jejas-jejas di seluruh tubuh pasien. Trauma cervical harus
selalu dipertimbangkan. Leher sebaiknya tidak dimanipulasi dan gunakan collar neck
sampai fraktur cervical dapat disingkirkan.2
Mengingat pentingnya pengetahuan mengenai tatalaksana awal, pemeriksaan fisik,
serta neurologi yang menjurus pada diagnosa serta diagnosa banding terjadinya
penurunan kesadaran, maka penulis membuat karya tulis ilmiah mengenai penurunan
kesadaran.
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai penurunan kesadaran.
1.2.2. Tujuan Khusus
Memahami definisi, etiopatogenesis, manifestasi klinis, penegakan diagnosis, diagnosa
banding, dan tatalaksana pada penurunan kesadaran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kesadaran diartikan sebagai:3
1. keadaan sadar; waspada, sadar, berorientasi, dan tanggap terhadap lingkungan.
2. kesadaran subjektif dari aspek pemrosesan kognitif dan isi pikiran.
3. totalitas pengalaman saat ini yang disadari oleh individu atau kelompok setiap
saat.
Koma adalah suatu keadaan tidak sadar total terhadap diri sendiri dan lingkungan
meskipun distimulasi dengan kuat. Diantara keadaan sadar dan koma terdapat berbagai
variasi keadaan atau status gangguan kesadaran yang secara klinis derajat kesadaran
tersebut dapat ditentukan dengan pemeriksaan bedside.2

2.2 Anatomi dan Fisiologi


Terdapat dua struktur anatomi yang mempengaruhi derajat kesadaran, yaitu kedua
hemisfer otak dan brainstem reticular activating system (RAS). Kedua struktur ini
berperan dalam proyeksi dan penerimaan impuls aferen. Ada dua lintasan yang
digunakan untuk menyampaikan impuls aferen ke korteks serebri, yaitu :1,4
1) Lintasan sensorik spesifik, menghantarkan impuls dari reseptor ke satu titik di
korteks sensorik primer. Lintasan ini melalui traktus spinotalamikus, lemniskus
medialis, lemniskus lateralis, atau radiasio optika.1
2) Lintasan sensorik non spesifik, terdiri dari serabut-serabut yang ada pada
formasio retikularis. Serabut ini memanjang di sepanjang batang otak.
Formasio retikularis menerima serabut aferen, lalu memproyeksikan serabut
aferen dari dan ke korda spinalis, nukleus saraf kranial, serebelum, dan
hemisfer serebri. beberapa nukleus yang ada di formasio retikularis, khususnya
yang ada di midbrain, diproyeksikan ke pusat yang lebih tinggi (kedua hemisfer
otak) dan menerima input kolateral dari berbagai serabut ascending (seperti
traktus spinotalamikus, traktus spinalis nervus trigeminal, traktus solitarius, dan
serabut dari nukleus vestibular seperti koklear). Sistem ini memiliki peran
mengatur derajat kesadaran pada manusia dan menjaga siklus tidur-bangun
(sleep-wake cycle). Selanjutnya sistem tersebut dikenal dengan nama
ascending reticular activating system (ARAS).1

Gambar 2.1 Skema Ascending Arousal System 1

2.3 Etiopatogenesis
Penurunan kesadaran disebabkan oleh kelainan struktural (lesi diskret pada bagian
atas batang otak dan bagian bawah diensefalon atau lesi yang mengenai kedua
hemisfer) dan kelainan metabolik (yang mengakibatkan gangguan aktivitas neuron).
1,4,5

Berdasarkan lokasi lesi, penurunan kesadaran dapat terjadi akibat :1,4,5


a) lesi difus kedua hemisfer
b) kelainan metabolik
c) lesi di diensefalon atau hipotalamus di mesensefalon (midbrain) atas
d) pons atas seperti pada emboli di arteri basilar
e) pons
Berdasarkan karakteristik lesi, penurunan kesadaran juga dapat disebabkan oleh
lesi kompresi dan lesi destruksi. Penurunan kesadaran akibat lesi kompresi yaitu, lesi
secara langsung yang mengakibatkan distorsi ARAS, lesi yang menyebabkan
peningkatan TIK secara difus sehingga mengakibatkan terganggunya aliran darah ke
otak, lesi menyebabkan iskemia lokal, lesi menyebabkan edema otak, dan lesi
menyebabkan herniasi. Contoh lesi kompresi adalah tumor, hematoma, dan abses. Lesi
kompresi umumnya hanya mengenai satu bagian korteks atau substansia alba, namun
sering menyebabkan kerusakan struktur lebih dalam. kerusakan struktur umumnya
diakibatkan oleh pergeseran salah satu atau beberapa bagian otak akibat efek desak
ruang. pergeseran ini menyebabkan herniasi dan kompresi pada mesensefalon dan
RAS. Lesi kompresi pada kasus penurunan kesadaran sering berhubungan dengan
trauma (perdarahan epidural).1,4
Sementara, penurunan kesadaran pada lesi destruksi disebabkan oleh kerusakan
langsung struktur RAS, seperti lesi pada diensefalon atau batang otak, atau bisa juga
fokal namun mengenai mesensefalon atau medial diensefalon. Lesi destruksi kortikal
dan subkortikal harus bersifat bilateral dan difus untuk dapat mengakibatkan
penurunan kesadaran, misalnya lesi akibat gangguan metabolik, infeksi, dan trauma.1,4,5
Pada kasus iskemia, penurunan akut aliran darah ke otak hingga 25
mL/menit/100g jaringan otak (normal: 55mL/menit/100g jaringan otak)
mengakibatkan perlambatan gelombang EEG, sinkop, atau penurunan kesadaran.
Penurunan aliran darah hingga 12-15 mL/menit/100g jaringan otak dapat
mengakibatkan electrocerebral silence, koma, dan perlambatan proses metabolik
neuron serta fungsi sinaps. Neuron tidak akan bertahan jika aliran darah otak
berkurang dibawah 8-10 mL/menit/100g jaringan otak.1,2,5
Pada pasien dengan epilepsi dengan bangkitan fokal, umumnya tidak
menyebabkan hilangnya kesadaran, kecuali bangkitan kejang menyebar dari satu
hemisfer ke hemisfer lain. Sementara, pada bangkitan umum (kesadaran menurun
sejak awal kejang), sumber bangkitan diduga dari diensefalon.
Penurunan kesadaran pada kasus infeksi intrakranial terjadi karena lesi yang
difus pada seluruh hemisfer baik akibat inflamasi maupun edema yang
disebabkannya.2,5
Pada cedera kepala tumpul, getaran akibat benturan pada tengkorak
ditransmisikan ke otak dan beberapa benturan mengakibatkan gerakan rotasi pada
hemisfer di sekitar medula oblongata bagian atas, sehingga menyebabkan hilangnya
kesadaran. Sedangkan pada cedera kepala tajam, hilangnya kesadaran terjadi jika
mengenai diensefalon dan medula oblongata bagian atas.2,5

2.4 Tanda dan Gejala


a. Anamnesis
Pada pasien dengan penurunan kesadaran, anamnesis umumnya hanya dapat
dilakukan secara alloanamnesis. Gejala yang sering dikeluhkan pasien adalah
nyeri kepala yang semakin lama semakin memberat. Onset gradual merupakan
ciri khas kasus penurunan kesadaran oleh gangguan metabolik. Keluhan
lainnya seperti riwayat gejala kelemahan tubuh atau gangguan sensoris
unilateral atau diplopia yang umumnya mengarah ke lesi pada serebral atau
batang otak. Jika tanpa riwayat penyakit sebelumnya, penurunan kesadaran
tiba-tiba umumnya disebabkan keracunan obat, perdarahan subaraknoid, atau
trauma kepala. Pada pasien lansia, penurunan kesadaran tiba-tiba sering karena
perdarahan serebral atau infark.1
b. Pemeriksaan Fisik2
- Pemeriksaan Airway, memastikan jalan nafas pasien terbuka
- Pemeriksaan Breathing, menilai pernapasan spontan dan pola napas
pasien
- Cheyne-stokes : ensefalopati metabolik atau lesi yang
mengganggu fungsi otak depan atau diensefalon
- hiperventilasi neurogenik sentral: ensefalopati metabolik
- apneusis: lesi di pons bilateral
- klaster dan ataxic: lesi di pontomedullary junction
- Apneu: lesi di medula sisi ventrolateral bilateral
- Pemeriksaan Circulation, memastikan ada tidaknya hubungan
penurunan kesadaran pasien dengan perfusi darah ke jaringan dengan
melihat warna kulit pasien dan dengan pulse oximetry.
- Pemeriksaan umum dilakukan setelah pasien stabil dari segi
pemeriksaan ABC, untuk mencari tanda dan gejala kemungkinan
penyebab terjadinya penurunan kesadaran.
- Tekanan darah tinggi berhubungan dengan peningkatan TIK
- Suhu hipotermia dapat terjadi pada penurunan kesadaran akibat
intoksikasi obat, hipoglikemik, ensefalopati wernicke.
Hipertermia umumnya karena stroke, status epileptikus, atau lesi
hipotalamus.
- Pernapasan, memastikan nafas adekuat untuk memasok oksigen
jaringan terutama otak.
- Tanda trauma: racoon eyes, tanda battle, rinorea atau otorea,
fraktur tulang tengkorak atau tulang belakang, edema jaringan
lunak pada sisi trauma.
c. Pemeriksaan Neurologi2
Pemeriksaan ini penting untuk mencari ada tidaknya tanda herniasi sebagai
kegawatdaruratan, serta defisit neuro untuk menentukan lesi penyebabnya.
- Pemeriksaan derajat kesadaran, baik kualitatif maupun kuantitatif (skala
koma glasgow). Jika pasien tidak berespon terhadap stimulus suara atau
guncangan yang keras, selanjutnya diberikan rangsangan nyeri pertama
di permukaan kuku atau supraorbita atau sendi temporomandibular pada
satu sisi dahulu disusul posisi lainnya untuk menilai kemungkinan
lateralisasi respon motorik. Jika tidak berespon, beri rangsang nyeri di
sternum.

Tingkat Deskripsi
Kesadaran

Kompos Mentis Sadar penuh, dapat menjawab sesuai


Apatis tidak peduli, acuh tak acuh, segan berhubungan dengan sekitar

Somnolen keadaan mengantuk dan tertidur, masih dapat dibangunkan dengan


rangsangan; mampu menjawab secara verbal kemudian kembali tidur.

Sopor kesadaran hilang, tidak memberikan respon, hanya bisa bangun dengan
rangsang nyeri

Koma kesadaran hilang, tidak ada reaksi dengan semua rangsangan


Tabel 1. Penilaian Tingkat Kesadaran (kualitatif)6

Criteria Skor

Spontan 4
Eye Opening Terhadap perintah/pembicaraan 3
Terhadap rangsang nyeri 2
Tidak membuka mata 1

Dapat berbicara dan orientasi baik 5


Dapat berbicara namun disorientasi 4
Verbal Response Berkata-kata tidak tepat dan tidak 3
jelas 2
Mengeluarkan suara tidak jelas 1
Tidak bersuara

Sesuai perintah 6
Mengetahui lokalisasi nyeri 5
Best Motor Reaksi menghindar 4
Response Reaksi fleksi-dekortikasi 3
Reaksi ekstensi-deserebrasi 2
Tidak berespons 1
Tabel 2. Glasgow Coma Scale (kuantitatif)7,8
Interpretasi Skor GCS7,8
13-15: Mild Head Injury
9-12: Moderate Head Injury
<9 : Severe Head Injury
atau
15-14: compos mentis
13-12: Apatis
11-10: Delirium
9-7 : Somnolen
6-5 : Sopor
4 : Semi-coma
3 : Coma

d. Tanda rangsang meningeal 1


Positif jika terjadi iritasi pada meningen, berupa kaku kuduk dan brudzinski,
seperti pada meningitis atau perdarahan subarachnoid. Tanda ini biasa muncul
dalam waktu 12 - 24 jam sejak onset penurunan kesadaran dan menghilang
pada keadaan koma dalam
e. Pemeriksaan saraf kranial 1,
Berdasarkan Lokasi/ Topis :
Midbrain : bagian yang paling pendek dari batang otak terletak antara hemisfer
serebri dan pons, bagian atas midbrain disebut tectum, keluar nerve kranialis 3,
dan 4.
Pons : bagian dari batang otak (brain stem) dimana keluar nerve kranialis 5, 6,
7, dan 8.
Medula Oblongata : bagian brain stem yang menghubungkan otak dgn medula
spinalis, dari tempat ini, keluar nerve kranialis 9, 10, 11, dan 12.
f. Pemeriksaan pupil1
- Pupil normal dan reaktif saat diberi rangsang cahaya, umumnya
berhubungan dengan gangguan metabolik
- Thalamic pupils, ukuran <2mm namun masih reaktif terhadap cahaya
dapat ditemui pada kompresi talamus
- Fixed, dilated pupils (>7mm) ditemukan pada kompresi saraf kranial III
(N. Okulomotor) atau intoksikasi anti kolinergik, namun penyebab
tersering adalah akibat herniasi transtentorium oleh massa
supratentorial.
- Fixed, mid sized pupil (sekitar 5cm) umumnya pada kerusakan batang
otak di level midbrain. kerusakan ini mengganggu fungsi simpatis,
pupilodilator, dan parasimpatis, serta serat saraf pupilokonstriktor.
- Pin point pupil : overdosis opiat atau lesi struktural fokal pada pons
(disertai gangguan pergerakan bola mata). Nalokson memberi perbaikan
pada overdosis opiat tetapi tidak pada lesi di pons

Gambar 2.2 Pupil berdasarkan Lesi di Batang Otak

g. Pemeriksaan pergerakan bola mata1


Pemeriksaan ini penting untuk mengetahui lesi di batang otak. Pemeriksaan
dilakukan dengan menstimulasi sistem vestibular, yaitu merotasi kepala secara
pasif (doll’s head maneuver atau oculocephalic reflex) atau memberi stimulasi
kuat berupa irigasi air dingin pada membran timpani (refleks okulovestibular
atau tes kalori air dingin).
Pasien penurunan kesadaran dengan fungsi batang otak yang intak akan
memiliki pergerakan horizontal bola mata yang terkonjugasi yang muncul
spontan atau dengan induksi doll’s head maneuver. Pada test kalori, deviasi
bola mata yang terkonjugasi ke sisi irigasi merupakan tanda fungsi batang otak
intak. Jika terdapat pergerakan bola mata horizontal kemungkinan
penyebabnya bukan akibat lesi struktural di batang otak namun nonstruktural
atau lesi bilateral hemisfer.
Pada test kalori dengan air dingin, jika bola mata ipsilateral tidak bergerak
aduksi, sementara bola mata kontralateral melakukan gerakan abduksi, perlu
dicurigai lesi N.III. Jika bola mata tidak berespon perlu dicurigai adanya lesi
struktural di pons atau kelainan metabolik yang mengenai batang otak
(intoksikasi obat sedatif). Deviasi bola mata ke bawah pada salah satu atau
kedua mata pada test ini umumnya terjadi pada intoksikasi obat sedatif.

Gambar 2.3 Doll’s Head Maneuver atau Oculocephalic Reflex

h. Pemeriksaan respons motorik terhadap nyeri1


Pemeriksaan ini dilakukan dengan memberi tekanan pada kuku, sternum, atau
supraorbita dan dapat mengindikasikan penyebab penurunan kesadaran di
hemisfer simetris atau tidak serta membantu lokalisasi letak disfungsi serebral.
Respon unilateral asimetris mengindikasikan lesi pada 1 hemisfer atau batang
otak kontralateral, lesi di pons bawah dan medula tidak ada respon hanya
refleks spinal dalam bentuk fleksi lutut. Jika lesi di 1 hemisfer luas atau
mesensefalon, respon berupa dekortikasi. Lesi di pons atas berupa deserebrasi.
i. Funduskopi 2
Papiledem atau perdarahan retina biasa pada hipertensi atau peningkatan TIK.
Perdarahan subhialoid (superficial retina) tanda kuat perdarahan subarachnoid.

2.5 Pemeriksaan Penunjang 1


a. CT Scan atau MRI pada pasien dengan tanda dan gejala lesi struktural atau
peningkatan TIK
b. Pungsi lumbal jika curiga infeksi intrakranial
c. Aspirasi dan analisis isi lambung, jika curiga intoksikasi zat tertentu
d. Spesimen urin: kadar glukosa, keton, dan protein urin
e. Laboratorium darah : glukosa, ureum kreatinin, amonia, elektrolit, SGOT,
SGPT untuk mengeksklusi kemungkinan akibat gangguan metabolik
f. Apusan darah tebal-tipis, jika pasien riwayat bepergian ke daerah endemik
malaria
g. EEG, untuk menegakan status epileptikus non konvulsif yang dapat
menyebabkan penurunan kesadaran

Gambar 2.4 Gambaran hasil pemeriksaan LCS pada penurunan kesadaran 9

2.6 Diagnosa Banding


Berdasarkan pembahasan tentang penurunan kesadaran diatas , berikut ini
adalah beberapa differential diagnosis dari penurunan kesadaran, yaitu :
1. infeksi : Menigitis, ensefalitis.
2. Tumor otak : SOL
3. Trauma kapitis : epidural hematome, subdural hematome, subarachnoid hematome
4. Stroke : Stroke hemoragik, stroke non hemoragik
5. Epilepsi
6. Intoksikasi
7. Gangguan elektrolit
8. Gangguan metabolik : hiperglikemik, hipoglikemik
9. Drug abuse

1. Meningitis

Definisi
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter
( lapisan dalam selaput otak) dan arachnoid

Epidemiologi
Insiden di perkirakan mencapai 2-5% per 100000 orang di wilayah barat, dan
asia tenggara sekitar 18,3 - 24,6% per 100000 orang.

Etologi
Meningitis dapat disebabkan oleh, virus, bakteri, jamur, cacing , dan protozoa
Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri. Meningitis bakterial lebih berakibat
fatal karena menyebabkan kerusakan dan gangguan otak yang berat.

Patogenesis
Meningitis pada umumnya terjadi akibat dari penyebaran penyakit di organ
atau jaringan tubuh yang lain. Virus/bakteri menyebar secara hematogen sampai ke
selaput otak. Pen yebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur
terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi kuman - kuman ke dalam subarachnoid
yang menyebabkan reaksi radang pada pia, araknoid, cs dan sistem ventrikulus. Proses
radang selain pada arteri juga bisa terjadi pada vena - vena di korteks dan dapat
menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak, dan degenerasi neuron - neuron.

Diagnosis

Anamnesis
Di dapatkan trias meningitis antara lain :
1. Sakit kepala
2. Demam
3. Meningeal Sign
Disertai beberapa gejala :
1. Fotofobia
2. Mual, muntah
3. Hemiparese dan defisit neurologis fokal
4. Kejangm bingung
5. Perubahan status mental
6. Penurunan kesadaran

Pemeriksaan Fisik
1. Rangsang meningeal positif seperti kaku kudukm tanda kernig, dan tanda brudzinski
2. Perubahan tingkat kesadaran
3. Kejang, peningkatan tekanan intrakranial, dan disfungsi saraf kranial
4. Terkadang disertai hemiparesis, demensia, dan paralisis

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan lab didapatkan :
1. Leukositosis
2. Peningkatan CRP
3. Peningkatan Prokalsitonin
2. Pemeriksaan LCS
3. Kultur CSF
4. CT Scan

Tatalaksana Meningitis9
Gambar 2.6 Tatalaksana Akut Bakterial Meningitis9
Gambar 2.7 Tatalaksana Meningitis Jamur 9

Prognosis
Angka mortalitas meningitis sebesar 21% dan 30 - 50% dari pasien yang
selamat memiliki gejala sisa neurologis permanen.

2. Ensefalitis
Definisi
Ensefalitis ialah proses infeksi dan inflamasi pada parenkim otak. Penyakit ini
juga sering dikarakteristikkan dengan adanya perubahan status mental, kejang, ataupun
tanda neurologik fokal.

Epidiemologi
Pelaporan mengenai kasus ensefalitis secara umum lebih mudah diperoleh di
negara maju. Insidens ensefalitis virus di seluruh dunia berkisar antara 3,5 dan 7,4 per
100.000 pasien per tahun, dan kejadiannya lebih tinggi pada anak. Meskipun kedua
gender dapat terkena, banyak penelitian menunjukkan bahwa penyakit ini lebih
dominan pada jenis kelamin laki-laki Pelaporan mengenai kasus ensefalitis secara
umum lebih mudah diperoleh di negara maju. Insidens ensefalitis virus di seluruh
dunia berkisar antara 3,5 dan 7,4 per 100.000 pasien per tahun, dan kejadiannya lebih
tinggi pada anak. Meskipun kedua gender dapat terkena, banyak penelitian
menunjukkan bahwa penyakit ini lebih dominan pada jenis kelamin laki-laki

Etiologi
Berbagai virus dapat menimbulkan ensefalitis, meskipun gejala klinisnya sama.
Sesuai dengan jenis virus serta epidemiologinya, diketahui berbagai macam ensefalitis
virus. Klasifikasi yang diajukan oleh Robin ialah:
1. Infeksi virus yang bersifat epidemik
a. Golongan enterovirus: Poliomyelitis, virus Coxsackie, virus Echo
b. Golongan virus Arbo: Western equine encephalitis, St. Louis
encephalitis, Eastern equine encephalitis, Japanese B encephalitis,
Russian spring summer encephalitis, Murray valley encephalitis.
2. Infeksi virus yang besifat sporadik: Rabies, Herpes simpleks, Herpes zoster,
Limfogranuloma, Mumps, Lymphocytic choriomeningitis dan jenis lain yang
dianggap disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.
Ensefalitis Pasca infeksi: pasca-morbili, pasca-varisela, pasca-rubela, pasca-vaksinia,
pasca-mononukleosis infeksiosa dan jenis-jenis yang mengikuti infeksi traktus
respiratorius yang tidak spesifik.

Patofisiologi
Virus dapat masuk ke otak melalui dua cara: melalui aliran darah (penyebaran
hematogen) dan melalui serabut saraf tepi (penyebaran neuronal). Terkadang jalur
penyebaran yang dilakukan oleh virus tidak hanya pada satu metode. Akses darah
dapat terjadi melalui pertumbuhan melalui endotel pembuluh darah kecil otak, melalui
transpor pasif melewati endotel vaskular, dengan jalur pleksus koroid ke cairan
serebrospinalis, maupun transpor dalam monosit, leukosit, atau limfosit yang
terinfeksi. Setelah sawar otak-darah ditembus, penyebaran lebih luas di seluruh otak
dan medula spinalis mungkin terjadi, Ada kecenderungan hubungan antara tingkat
viremia yang dicapai oleh virus neurotropik yang ditularkan melalui darah dan
neuroinvasivitasnya. Penyebaran hematogen sekunder ialah apabila virus berkembang
biak di daerah pertamakali masuk (permukaan selaput lendir) dan masuk ke organ lain.

Gejala klinis
Dapat difus ataupun fokal berupa
1. Penurunan Kesadaran
2. Gangguan fokal seperti hemiparesis, kejang fokal, dan gangguan otonom
3. Perubahan tingkah laku
4. Ataksia
5. Gangguan saraf kranial
6. Disfagia
7. Meningismus
8. Gangguan sensorik dan motorik unilateral

Pemeriksaaan penunjang
1. Pemeriksaan darah
2. CSS
3. CT scan
4. EEG

Tatalaksana
Tatalaksana terapi suportif berupa tata laksana hiperpireksia, keseimbangan
cairan dan elektrolit, peningkatan tekanan intrakranial (TIK), serta tata laksana kejang.
Pasien sebaiknya dirawat di ruang rawat intensif1.
Pemberian pengobatan dapat berupa antipiretik, cairan intravena, obat anti epilepsi,
kadang diberikan kortikosteroid. Untuk mencegah kejang berulang dapat diberikan
fenitoin atau fenobarbital sesuai standar terapi. Peningkatan TIK dapat diatasi dengan
pemberian diuretik osmotik manitol 0,5-1 gram/kg/kali atau furosemid 1 mg/kg/kali
3. SOL
Definisi
Sol dapat didefinisikan sebagai tumor yang jinak atau ganas baik
bersifat primer atau sekunder, dan juga sebagai massa inflamatorik maupun
parasitic yang berletak pada rongga cranium. Sol juga berupa hematoma, berbagai
jenis kista dan malformasi vaskuler.

Epidiemologi

Berdasarkan penelitian terdapat 42 kasus SOL mempengaruhi rongga


intrakranial dan tulang belakang. 39 kasus berasal dari otak dan selaput-
selaput otak dan 3 berasal dari lumbar spinalis. Dari 39 kasus, 26 (67%)
adalah akibat tumor dan 13(33%) adalah akibat infeksi, terutama
tuberculosis. Dari data tersebut terdapat 6 kasus astrocytoma dan 3 kasus
meningioma. Dalam kasus tersebut masing-masing terdapat 2 kasus lagi
yakni,  pilocytic astrocytoma  and medulloblastoma. Selain itu juga terdapat
kasus  pineal tumour, craniopharyngioma,pituitary adenoma, vestibular
schwannoma  dan oligodendroglioma dan 6 kasus indeterminate . ada 3
kasus SOL yang mengenai spinal yakni arachnoiditis, subdural abscess dan
tuberculoma.2

Patofisiologi

Peningkatan tekanan intracranial adalah suatu mekanisme yang


diakibatkan oleh beberapa kondisi neurologi. Isi dari cranial adalah jaringan
otak, pembuluh darah dan cairan serebrospinal. Bila terjadi peningkatan satu
dari isi cranial mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial, sebab ruang
cranial keras, tertutup tidak bisa berkembang. Peningkatan satu dari beberapa
isi cranial biasanya disertai dengan pertukaran timbal balik dalam satu
volume yang satu dengan yang lain. Jaringan otak tidak dapat berkembang,
tanpa berepengaruh serius pada aliran dan jumlah cairan serebrospinal dan
sirkulasi serebral. Space Occupaying Lesion (SOL) menggantikan dan
merubah jaringan otak sebagai suatu peningkatan tekanan. Peningkatan
tekanan dapat secara lambat (sehari/seminggu) atau secara cepat, hal ini
tergantung pada penyebabnya. Pada pertama kali satu hemisphere akan
dipengaruhi.
Peningkatan tekanan intracranial dalam ruang kranial pada
pertama kali dapat dikompensasi dengan menekan vena dan pemindahan
cairan serebrospinal. Bila tekanan makin lama makin meningkat,
aliran darah ke serebral akan menurun dan perfusi menjadi tidak
adekuat, maka akan meningkatkan PCO2 dan menurunkan PO2 dan PH.
Hal ini akan mnyebabkan vasodilatasi dan edema serebri. Edema lebih
lanjut akan meningkatkan tekanan intracranial yang lebih berat dan akan
meyebabkan kompresi jaringan saraf.
Pada saat tekanan melampaui kemampuan otak untuk
berkompensasi, maka untuk meringankan tekanan, otak memindahkan
ke bagian kaudal atau herniasi kebawah. Sebagian akibat dari herniasi,
batang otak akan terkena pada berbagai tingkat, yang mana
penekanannya bisa mengenai pusat vasomotor, arteri serebral posterior,
saraf okulomotorik, traktus kortikospinal, dan serabut-serabut saraf
ascending reticular activating system. Akibatnya akan mengganggu
mekanisme kesadaran, pengaturan tekanan darah, denyut nadi
pernafasan dan temperatur.

Gejala klinis
Nyeri kepala, edema papil dan muntah secara umum dianggap
sebagai karakteristik peninggian TIK. Demikian juga , dua pertiga pasien
SOL memiliki semua gambaran tersebut. Walau demikian, tidak satupun dari
ketiganya khas untuk peninggian tekanan, kecuali edema papil, banyak
penyebab lain yang menyebabkan masing-masing berdiri sendiri dan bila
mereka timbul bersama akan memperkuat dugaan adanya peninggian TIK.
1. Gejala klinik umum timbul:
1. Nyeri kepala
2. Nausea atau muntah
3. Papil edema

2.  False localizing signs dan tanda lateralisasi

False localizing signs ini melibatkan neuroaksis kecil dari lokasi


tumor yang sebenarnya. Sering disebabkan karena peningkatan tekanan
intrakaranial, peregeseran dari struktur-struktur intracranial atau iskemi.
Lesi pada salah satu kompartemen otak dapat menginduksi pergeseran
dan kompresi dibagian otak yang jauh dari lesi primer. Suatu tumor intra
cranial dpat menimbulkan manifestasi yang tidak sesuai dengan fungsi
area yang ditempatinya. Tanda tersebut adalah:
a. Kelumpuhan saraf otak. Karena desakan tumor, saraf dapat
tertarik atau tertekan. Desakan itu tidak harus langsung
terhadap saraf otak. Saraf yang sering terkena tidak langsung
adalah saraf III dan IV
b. Refleks patologis yang positif pada kedua sisi, dapat
ditemukan pada tumor yang terdapat di dalam salah satu
hemisfer saja.
c. Gangguan mental
d. Gangguan endokrin dapat juga timbul SOL di daerah
hipofise.
3. Gejala klinik local
Manifestasi local terjadi pada tumor yang meneyebabkan destruksi
parenkim, infark atau edema.
A. Tumor Lobus Frontal
Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum yang
diikuti paralisis pos- iktal.

B. Tumor Lobus Temporalis


Gejala tumor lobus temporalis antara lain disfungsi traktus kortikospinal
kontralateral, deficit lapangan pandang homonim perubahan kepribadian,
disfungsi memori dan kejang parsial kompleks

C. Lobus Parietal
dapat menimbulkan gejala modalitas sensori, kortikal hemianoksi
homonym

D. Tumor Lobus Oksipital Tumor lobus oksipital


sering menyebabkan hemianopsia homonym yang kongruen.

E. Tumor pada Ventrikel Tiga


Tumor didalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga
menghambat ventrikel atau aquaduktus dan menyebabkan hidrosepalus.

F. Tumor Batang Otak


terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek lapangan
pandang, nistagmus, ataksia dan kelemahan ekstremitas

G. Tumor Serebellar
Muntah Berulang dan sakit kepala dibagian oksiput merupakan
gejala yang sering ditemukan pada tumor serebellar.
H. Tumor Hipotalamus
Gangguan perkembangan seksual pada anak-anak, gangguan
cairan cerebrospinal. Gangguan berjalan nyeri kepala dan muntah
disertai dengan nistagmus.

Pemeriksaan penunjang
1. Foto polos
Hiperostosis, kalsifikasi dan lesi litik pada tulang tengkorak

2. Ct dengan kontras
Terdapat pola enhancement yang homogen tajam dan berbatas tegas

3. MRI
Dapat ditentukan karakteristik suatu tumor, apakah tumor tersebut padat, kistik,
ada perdarahan, kalsifikasi, nekrosis maupun lemak.

Penatalaksanaan
Tergantung dari lokasi dan ukuran tumor itu sendiri. Modalitas terapi reseksi operatif
sebagai pilihan pertama, bila perlu dilakukan, radioasi stereotaktik dan kemoterapi.

Prognosis
SOL intrakranial tergantung pada penyebabnya. Berdasarkan data di negara-
negara maju, dengan diagnosis dini dan juga penanganan yang tepat melalui
pembedahan dilanjutkan dengan radioterapi, angka ketahanan hidup 5 tahun berkisar
50-60 % dan angka ketahanan hidup 10 tahun berkisar 30-40 %. Terapi SOL yang
disebabkan oleh tumor intrakranial di Indonesia secara umum prognosisnya masih
buruk, berdasarkan tindakan operatif yang dilakukan pada beberapa rumah sakit di
Jakarta.
4. Epidural Hematome
Hematom yang terbentuk karena perdarahan yg terjadi antara tulang tengkorak (tabula
interna) dan duramater (duramater meningealis), waktunya lebih singkat ( 3 jam) dibanding
hematom subdural.

Patofisiologi
Perdarahan di sini paling sering disebabkan pecahnya a.meningea media akibat trauma
kepala area temporoparietal yg biasanya disertai fraktur linier horizontal. Perdarahan tsb
berlangsung cepat sekali sehingga defisit neurologis yg timbul sangat progresif dan bila tidak
teratasi maka penderita akan meninggal akibat herniasi.

Diagnosa
1. Riwayat trauma kepala
2. Setelah trauma didapat suatu periode bebas gejala yg disebut lucid interval, beberapa
jam/hari (tidak lebih dari 3 hari)
3. Lalu disusul dg penurunan kesadaran dan timbul gejala fokal serebral progresif/gejala
lateralisasi spt papil anisokor (midriasis homolateral), kejang, defisit neurologis spt
hemipharese kontralateral dan refleks patologis (+)
4. Dilanjutkan dg peninggian tekanan intrakranial dg tanda-tanda : cephalgia, mual,
muntah, pharese n.VI dupleks, papil edema.

Pemeriksaan Penunjang
1. LCS jernih dg tekanan meninggi
2. EEG normal, tampak perlambatan fokal sampai difus
3. Rontgen kepala sering ditemui fraktur linier pada sisi hematom
4. Arteriografi karotis terlihat hematom berupa area avaskuler berbentuk
konveks/semilunair/bulan sabit antara jaringan otak dan tulang kranium
5. Ct-scan otak tampak hematom berupa area hiperdens

Tata Laksana
Begitu diagnosa ditegakkan segera kirim ke bagian bedah syaraf untuk tindakan operatif
segera.

Komplikasi
Bila tidak segera dioperasi, edema serebri akan bertambah hebat, tekanan intrakranial
makin meningkat. Selanjutnya terjadi herniasi yang disusul dengan kematian penderita.
Prognosa
Mortalitas hampir 100% dan lebih dari 50% pada kasus yang diobati disebabkan
keterlambatan dalam menegakkan diagnosa dan sebagian lagi karena beratnya kerusakan
jaringan otak yg terjadi.

6. Subdural Hematome
Definisi
Hematom yang terbentuk karena perdarahan yg terjadi antara duramater dan arakhnoid
(di dalam ruang sub arakhnoid).

Patofisiologi
Hematom terbentuk secara perlahan-lahan bahkan dapat lama disebabkan robeknya
bridging veins (vena) akibat trauma kepala terutama daerah frontoparietal, yang bisa meluas ke
daerah temporal atau oksipital. Gejala klinik timbul bila hematom cukup besar dan telah terjadi
pendesakan di otak.

Bentuk Klinik
1. Hematom subdural akut (lucid interval 1-3 hari)
2. Hematom subdural subakut (lucid interval 1-2 minggu)
3. Hematom subdural kronis (lucid interval > 2 minggu)

Diagnosa
Mirip dengan epidural. Bedanya perjalanan penyakitnya lebih lama, dapat beberapa hari,
minggu, bulan atau lebih lama.

Pemeriksaan Penunjang
1. LCS jernih dengan tekanan meninggi mengandung darah/xantochrom
2. EEG abnormal, tampak perlambatan fokal sampai difus
3. Rontgen kepala adanya pergeseran dari glandula Pincalis
4. Arteriografi karotis terlihat hematom berupa area avaskuler berbentuk bikonveks
antara jaringan otak dan tulang kranium

Komplikasi
Jika diagnosa dapat segera ditegakkan dan tindakan operatif cepat dilakukan maka
komplikasi tidak akan terjadi.
Prognosa
1. Hematom subdural akut : mortalitas 90%
2. Hematom subdural subakut : mortalitas 20% dan kasus post operatif 75% sembuh
dengan baik
3. Hematom subdural kronis : biasanya post operatif bisa sembuh dengan baik

7. Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan ruang subarakhnoid yg terjadi karena :
1. Pecahnya pembuluh darah di daerah subarakhnoid
2. Pecahnya pembuluh darah di luar subarakhnoid yg kemudian mengisi ruang
subarakhnoid, mis : contusio cerebri, perdarahan intraserebral.

Etiologi
1. Non traumatik
Spontan, akibat pecahnya aneurisma. Disebut perdarahan subarakhnoid primer.
2. Traumatik
Akibat trauma kepala. Disebut perdarahan subarakhnoid sekunder.

Patofisiologi
Perdarahan yg mengisi ruang subarakhnoid akan mengiritasi selaput otak. Sedangkan
pembuluh darah yang pecah akan menimbulkan daerah bagian distalnya mengalami iskemik atau
infark sehingga dijumpai defisit neurologis.

Diagnosa
Gejala dijumpai dari tingkat yg paling ringan sampai yang paling berat, tergantung
beratnya perdarahan yang terjadi.
1. Dimulai dengan keluhan sakit kepala ringan yang makin lama makin hebat
2. Kemudian disertai Tanda Rangsang Meningeal (TRM) : kaku kuduk, kernig sign (+)
3. Selanjutnya pada keadaan berat akan dijumpai :
- Gangguan kesadaran sampai koma
- Defisit neurologis : hemipharese, refleks patologis
- Kejang : rigiditas deserebrasi, gangguan pernapasan dan dilatasi pupil
Pemeriksaan Penunjang
LCS mengandung darah/xanthochrom

Tata Laksana
1. Perawatan
Bed rest total
2. Medikamentosa
 Hemostatistika : karbosokrom Na-sulfonat (adona AC), asam treksamat
 Metabolic activator : citicholine (nicholin), pyritinol mesylate (hidrogin)
 Neurotonika : vit. B1, B6, B12, E tab/injeksi
3. Fisioterapi
Bila ada gejala sisa neurofisik seperti hemipharese dapat dilakukan fisioterapi

Prognosa
Pada bentuk ringan, prognosa lebih baik daripada bentuk yang berat. Bahkan pada
bentuk yang berat sekali dapat menyebabkan kematian.

8. Stroke hemoragik
Definisi
Stroke hemoragik adalah stroke akibat perdarahan intrakranial, di mana perdarahan
intrakranial dibagi menjadi 2 lokasi utama yaitu perdarahan intraserebral dan perdarahan
subaraknoid.

Epidiemologi
Perdarahan intraserebral menduduki 10 - 15% dari total kasus stroke dengan 20/100000
insiden. Lebih sering pada pria. Sedangkan perdarahan subaraknoid terjadi 6 - 9 per 100000
kasus pertahunnnya dan lebih sering pada wanita.

Etiologi
Perdarahan intraserebral paling sering terjadi akibat hipertensi kronik, muncul tiba - tiba
dan biasanya setelah aktivitas. Pada usia tua penyebab tersering adalah angiopati amiloid
serebral. Sedangkan, pada usia muda biasanya akibat penggunaan alkohol berlebihan, merokok,
hipertensi, terapi antikoagulan.
Perdarahan subaraknoid biasanya terjadi akibat trauma kepala, ruptur aneurisma dan
AVM serta perdarahan oleh tumor, vaskulitis, diseksi arteri serebral, penyalahgunaan kokain,
dan koagulopati.11

Patofisiologi
Otak sendiri merupakan 2% dari berat tubuh total. Dalam keadaan istirahat otak
menerima seperenam dari curah jantung. Otak mempergunakan 20% dari oksigen tubuh. Otak
sangat tergantung kepada oksigen, bila terjadi anoksia seperti yang terjadi pada CVA di otak
mengalami perubahan metabolik, kematian sel dan kerusakan permanen yang terjadi dalam 3
sampai dengan 10 menit (non aktif total). Pembuluh darah yang paling sering terkena ialah arteri
serebral dan arteri karotis Interna.
Adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau cedera pada otak
melalui empat mekanisme, yaitu :
1. Penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan atau
penyumbatan lumen sehingga aliran darah dan suplainya ke sebagian otak tidak
adekuat, selanjutnya akan mengakibatkan perubahan-perubahan iskemik otak. Bila
hal ini terjadi sedemikian hebatnya, dapat menimbulkan nekrosis.
2. Pecahnya dinding arteri serebral akan menyebabkan bocornya darah ke kejaringan
(hemorrhage).
3. Pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang menekan jaringan otak.
4. Edema serebri yang merupakan pengumpulan cairan di ruang interstitial jaringan
otak.
Konstriksi lokal sebuah arteri mula-mula menyebabkan sedikit perubahan pada
aliran darah dan baru setelah stenosis cukup hebat dan melampaui batas kritis terjadi
pengurangan darah secara drastis dan cepat. Oklusi suatu arteri otak akan menimbulkan
reduksi suatu area dimana jaringan otak normal sekitarnya yang masih mempunyai
pendarahan yang baik berusaha membantu suplai darah melalui jalur-jalur anastomosis
yang ada. Perubahan awal yang terjadi pada korteks akibat oklusi pembuluh darah
adalah gelapnya warna darah vena, penurunan kecepatan aliran darah dan sedikit
dilatasi arteri serta arteriole. Selanjutnya akan terjadi edema pada daerah ini. Selama
berlangsungnya perisriwa ini, otoregulasi sudah tidak berfungsi sehingga aliran darah
mengikuti secara pasif segala perubahan tekanan darah arteri. Di samping itu
reaktivitas serebrovaskuler terhadap PCO2 terganggu. Berkurangnya aliran darah
serebral sampai ambang tertentu akan memulai serangkaian gangguan fungsi neural
dan terjadi kerusakan jaringan secara permanen12
Skema :
 Perdarahan arteri / oklusi
 Penurunan tekanan perfusi vaskularisasi distal
 Iskemia Pelebaran kontara lateral
 Anoksia Aktivitas elektrik terhenti
 Metabolisme Anaerob Pompa natrium dan kalium gagal
 Metabolisme Asam Natrium dan air masuk ke sel
 Asidosis lokal Edema intra sel
 Pompa natrium gagal Edema ekstra sel
 Edema dan nekrosis jaringan Perfusi jaringan serebral
 Sel mati secara progresif (defisit fungsi otak)

Gejala klinis
a. Vertebro basilaris, sirkulasi posterior, manifestasi biasanya bilateral :
 Kelemahan salah satu dari empat anggota gerak tubuh
 Peningkatan refleks tendon
 Ataksia
 Tanda babinski
 Tanda-tanda serebral
 Disfagia
 Disartria
 Sincope, stupor, koma, pusing, gangguan ingatan.
 Gangguan penglihatan (diplopia, nistagmus, ptosis, paralysis satu mata).
 Muka terasa baal.
b. Arteri Karotis Interna
 Kebutaan Monokular disebabkan karena insufisiensi aliran darah arteri ke retina
 Terasa baal pada ekstremitas atas dan juga mungkin menyerang wajah.
c. Arteri Serebri Anterior
 Gejala paling primer adalah kebingungan
 Rasa kontralateral lebih besar pada tungkai
 Lengan bagian proksimal mungkin ikut terserang
 Timbul gerakan volunter pada tungkai terganggu
 Gangguan sensorik kontra lateral
 Dimensi reflek mencengkeram dan refleks patologis
d. Arteri Serebri Posterior
 Koma
 Hemiparesis kontralateral
 Afasia visual atau buta kata (aleksia)
 Kelumpuhan saraf kranial ketiga – hemianopsia, koreo – athetosis
e. Arteri Serebri Media
 Mono paresis atau hemiparesis kontra lateral (biasanya mengenai lengan)
 Kadang-kadang heminopsia kontralateral (kebutaan)
 Afasia global (kalau hemisfer dominan yang terkena)
 Gangguan semua fungsi yang ada hubungannya dengan percakapan dan
komunikasi
 Disfagia

Tatalaksana
a. Penatalaksanaan umum 5 B dengan penurunan kesadaran :
1. Breathing (Pernapasan)
- Usahakan jalan napas lancar.
- Lakukan penghisapan lendir jika sesak.
- Posisi kepala harus baik, jangan sampai saluran napas tertekuk.
- Oksigenisasi terutama pada pasien tidak sadar.
2. Blood (Tekanan Darah)
- Usahakan otak mendapat cukup darah.
- Jangan terlalu cepat menurunkan tekanan darah pada masa akut.
3. Brain (Fungsi otak)
- Atasi kejang yang timbul.
- Kurangi edema otak dan tekanan intra cranial yang tinggi.
4. Bladder (Kandung Kemih)
- Pasang katheter bila terjadi retensi urine

5. Bowel (Pencernaan)
- Defekasi supaya lancar.
- Bila tidak bisa makan per-oral pasang NGT/Sonde.
b. Menurunkan kerusakan sistemik.
Dengan infark serebral terdapat kehilangan irreversible inti sentral jaringan otak. Di
sekitar zona jaringan yang mati mungkin ada jaringan yang masih harus
diselamatkan. Tindakan awal yang harus difokuskan untuk menyelamatkan
sebanyak mungkin area iskemik. Tiga unsur yang paling penting untuk area
tersebut adalah oksigen, glukosa dan aliran darah yang adekuat. Kadar oksigen
dapat dipantau melalui gas-gas arteri dan oksigen dapat diberikan pada pasien jika
ada indikasi. Hypoglikemia dapat dievaluasi dengan serangkaian pemeriksaan
glukosa darah.13

c. Mengendalikan Hypertensi dan Peningkatan Tekanan Intra Kranial


Kontrol hypertensi, TIK dan perfusi serebral dapat membutuhkan upaya dokter
maupun perawat. Perawat harus mengkaji masalah-masalah ini, mengenalinya dan
memastikan bahwa tindakan medis telah dilakukan. Pasien dengan hypertensi
sedang biasanya tidak ditangani secara akut. Jika tekanan darah lebih rendah
setelah otak terbiasa dengan hypertensi karena perfusi yang adekuat, maka tekanan
perfusi otak akan turun sejalan dengan tekanan darah. Jika tekanan darah diastolic
diatas kira-kira 105 mmHg, maka tekanan tersebut harus diturunkan secara
bertahap. Tindakan ini harus disesuaikan dengan efektif menggunakan nitropusid.
Jika TIK meningkat pada pasien stroke, maka hal tersebut biasanya terjadi setelah
hari pertama. Meskipun ini merupakan respons alamiah otak terhadap beberapa lesi
serebrovaskular, namun hal ini merusak otak. Metoda yang lazim dalam
mengontrol PTIK mungkin dilakukan seperti hyperventilasi, retensi cairan,
meninggikan kepala, menghindari fleksi kepala, dan rotasi kepala yang berlebihan
yang dapat membahayakan aliran balik vena ke kepala. Gunakan diuretik osmotik
seperti manitol dan mungkin pemberian deksamethasone meskipun penggunaannya
masih merupakan kontroversial.

d. Terapi Farmakologi
Antikoagulasi dapat diberikan pada stroke non haemoragik, meskipun heparinisasi
pada pasien stroke iskemik akut mempunyai potensi untuk menyebabkan
komplikasi haemoragik. Heparinoid dengan berat molekul rendah (HBMR)
menawarkan alternatif pada penggunaan heparin dan dapat menurunkan
kecendrungan perdarahan pada penggunaannya. Jika pasien tidak mengalami
stroke, sebaliknya mengalami TIA, maka dapat diberikan obat anti platelet. Obat-
obat untuk mengurangi perlekatan platelet dapat diberikan dengan harapan dapat
mencegah peristiwa trombotik atau embolitik di masa mendatang. Obat-obat
antiplatelet merupakan kontraindikasi dalam keadaan adanya stroke hemoragi
seperti pada halnya heparin.15

e. Pembedahan
Beberapa tindakan pembedahan kini dilakukan untuk menangani penderita stroke.
Sulit sekali untuk menentukan penderita mana yang menguntungkan untuk dibedah.
Tujuan utama pembedahan adalah untuk memperbaiki aliran darah serebral.
Endarterektomi karotis dilakukan untuk memperbaiki peredaran darah otak.
Penderita yang menjalani tindakan ini seringkali juga menderita beberapa penyulit
seperti hypertensi, diabetes dan penyakit kardiovaskuler yang luas.

9. Stroke non Hemoragik


Definisi
sekumpulan tanda klinik yang berkembang oleh sebab vaskular. Gejala iniberlangsung
24 jam atau lebih pada umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak, yang
menyebabkan cacat atau kematian.5
Stroke non hemoragik sekitar 85%, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di
satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan
(trombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal.
Trombus yang terlepas dapat menjadi embolus.

Etiologi
Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering disebabkan oleh
emboli ekstrakranial atau trombosis intrakranial. Selain itu, stroke non hemoragik juga dapat
diakibatkan oleh penurunan aliran serebral. Pada tingkatan seluler, setiap proses yang
mengganggu aliran darah menuju otak menyebabkan timbulnya kaskade iskemik yang
berujung pada terjadinya kematian neuron dan infark serebri.7
Emboli
Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis akan tetapi
dapat juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik.8
a. Embolus yang dilepaskan oleh arteria karotis atau vertebralis, dapat berasal
dari plaque athersclerotique yang berulserasi atau dari trombus yang melekat
pada intima arteri akibat trauma tumpul pada daerah leher.
b. Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:
1) Penyakit jantung dengan shunt yang menghubungkan bagian kanan
dengan bagian kiri atrium atau ventrikel;
2) Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang meninggalkan
gangguan pada katup mitralis;
3) Fibralisi atrium;
4) Infarksio kordis akut;
5) Embolus yang berasal dari vena pulmonalis;
6) Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial, jantung
miksomatosus sistemik;
c. Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai:
1) Emboli septik, misalnya dari abses paru atau
2) Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru bronkiektasis.
3) Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti penyakit caisson).
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-sided
circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli kardiogenik adalah
trombi valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup buatan), trombi mural
(seperti infark miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung kongestif) dan
atrial miksoma. Sebanyak 2-3 persen stroke emboli diakibatkan oleh infark miokard
dan 85 persen diantaranya terjadi pada bulan pertama setelah terjadinya infark
miokard.7

Trombosis
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar
(termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus Willisi
dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang paling sering adalah titik
percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri karotis interna.
Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah
(sehingga meningkatkan resiko pembentukan trombus aterosklerosis (ulserasi plak),
dan perlengketan platelet.7
Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisitemia, anemia sickle sel,
defisiensi protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan vasokonstriksi
yang berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap proses yang menyebabkan
diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan terjadinya stroke trombotik (contohnya
trauma, diseksi aorta thorasik, arteritis)

Patofisiologi
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal
sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah
neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara berbagi neuron berbeda-beda.
Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (1200-1400 gram) dari berat tubuh
total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah
arterial. Dalam jumlah normal darah yang mengalir ke otak sebanyak 50-60 ml per 100
gram jaringan otak per menit. Jumlah darah yang diperlukan untuk seluruh otak  adalah 700-
840 ml/menit, dari jumlah darah itu di salurkan melalui arteri karotis interna yang terdiri
dari arteri karotis dekstra dan sinistra, yang menyalurkan darah ke bagian depan otak
disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior, yang kedua adalah vertebrobasiler, yang
memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum posterior,
selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri serebrum
posterior membentuk suatu sirkulus Willisi.4,8
Gangguan pasokan darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-arteri yang
membentuk sirkulus willisi serta cabang-cabangnya. Secara umum, apabila aliran darah ke
jaringan otak terputus 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan. Perlu
diingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang di
perdarahi oleh arteri tersebut dikarenakan masih  terdapat sirkulasi kolateral yang memadai
ke daerah tersebut. Proses patologik yang sering mendasari dari berbagi proses yang terjadi
di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak diantaranya dapat berupa:6
1. Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan
thrombosis.
2. Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau
hiperviskositas darah.
3. Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung
atau pembuluh ekstrakranium.
Dari gangguan pasokan darah yang ada di otak tersebut dapat menjadikan terjadinya
kelainan-kelainan neurologi tergantung bagian otak mana yang tidak mendapat suplai
darah, yang diantaranya dapat terjadi kelainan di sistem motorik, sensorik, fungsi luhur,
yang lebih jelasnya tergantung saraf bagian mana yang terkena.

Gejala Klinis
Gambaran klinis utama yang berkaitan dengan insufisiensi arteri ke otak mungkin
berkaitan dengan pengelompokan gejala dan tanda berikut yang tercantum dan disebut
sindrom neurovaskular :6
1. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior: gejala biasanya unilateral)
a. Dapat terjadi kebutaan satu mata di sisi arteria karotis yang terkena, akibat
insufisiensi arteri retinalis
b. Gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena insufisiensi
arteria serebri media
c. Lesi dapat terjadi di daerah antara arteria serebri anterior dan media atau arteria
serebri media. Gejala mula-mula timbul di ekstremitas atas dan mungkin
mengenai wajah. Apabila lesi di hemisfer dominan, maka terjadi afasia ekspresif
karena keterlibatan daerah bicara motorik Broca.
2. Arteri serebri media (tersering).
a. Hemiparese atau monoparese kontralateral (biasanya mengenai lengan)
b. Kadang-kadang hemianopsia (kebutaan) kontralateral
c. Afasia global (apabila hemisfer dominan terkena): gangguan semua fungsi yang
berkaitan dengan bicara dan komunikasi
d. Disfasia
3. Arteri serebri anterior (kebingungan adalah gejala utama)
a. Kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di tungkai
b. Defisit sensorik kontralateral
c. Demensia, gerakan menggenggam, reflek patologis
4. Sistem vertebrobasilaris (sirkulasi posterior: manifestasi biasanya bilateral)
a. Kelumpuhan di satu atau empat ekstremitas
b. Meningkatnya reflek tendon
c. Ataksia
d. Tanda Babinski bilateral
e. Gejala-gejala serebelum, seperti tremor intention, vertigo
f. Disfagia
g. Disartria
h. Rasa baal di wajah, mulut, atau lidah
i. Sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat, disorientasi
j. Gangguan penglihatan dan pendengaran
5. Arteri serebri posterior
a. Koma
b. Hemiparese kontralateral
c. Afasia visual atau buta kata (aleksia)
d. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga: hemianopsia, koreoatetosis.

Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan lab : Darah lengkap, elektrolit, LED, fungsi liver dan ginjal
2. Pemeriksaan EEG
3. Ct scan kepala
4. MRI

Tatalaksana
a. Memulihkan iskemik akut yang sedang berlangsung (3-6 jam pertama)
menggunakan trombolisis dengan rt-PA (recombinan tissue-plasminogen
activator). Ini hanya boleh di berikan dengan waktu onset <3 jam dan hasil CT
scan normal, tetapi obat ini sangat mahal dan hanya dapat di lakukan di rumah
sakit yang fasilitasnya lengkap.
b. Mencegah perburukan neurologis dengan jeda waktu sampai 72 jam yang
diantaranya yaitu :
i. Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark. Terapi dengan
manitol dan hindari cairan hipotonik.
ii. Ekstensi teritori infark, terapinya dengan heparin yang dapat mencegah
trombosis yang progresif dan optimalisasi volume dan tekanan darah yang
dapat menyerupai kegagalan perfusi.
iii. Konversi hemoragis, msalah ini dapat di lihat dari CT scan, tiga faktor
utama adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan hipertensi akut, ini
tak boleh di beri antikoagulan selama 43-72 jam pertama, bila ada
hipertensi beri obat antihipertensi.
c. Mencegah stroke berulang dini dalam 30 hari sejak onset gejala stroke terapi
dengan heparin.
Protokol penatalaksanaan stroke non hemoragik akut
a. Pertimbangan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB (dosis maksimum 90 mg) 10% di
berikan bolus intravena sisanya diberikan per drip dalam waktu 1 jam jika onset
di pastikan <3 jam dan hasil CT scan tidak memperlihatkan infrak yang luas.
b. Pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung atau iskemia
miokard, bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat maka dapat diberikan
digoksin 0,125-0,5 mg intravena atau verapamil 5-10 mg intravena atau
amiodaron 200 mg drips dalam 12 jam.
c. Tekanan darah tidak boleh cepat-cepat diturunkan sebab dapat memperluas infrak
dan perburukan neurologis. Pedoman penatalaksanaan hipertensi bila terdapat
salah satu hal berikut :
i. Hipertensi diobati jika terdapat kegawat daruratan hipertensi neurologis
seperti, iskemia miokard akut, edema paru kardiogenik, hipertensi
maligna (retinopati), nefropati hipertensif, diseksi aorta.
ii. Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada tiga kali
pengukuran selang 15 menit dimana sistolik >220 mmHg, diastolik >120
mmHg, tekanan arteri rata-rata >140 mmHg.
iii. Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA dimana
tekanan darah sistolik >180 mmHg dan diastolik >110 mmHg.
Dengan obat-obat antihipertensi labetalol, ACE, nifedipin. Nifedifin sublingual
harus dipantau ketat setiap 15 menit karena penurunan darahnya sangat drastis.
Pengobatan lain jika tekanan darah masih sulit di turunkan maka harus diberikan
nitroprusid intravena, 50 mg/250 ml dekstrosa 5% dalam air (200 mg/ml) dengan
kecepatan 3 ml/jam (10 mg/menit) dan dititrasi sampai tekanan darah yang di
inginkan. Alternatif lain dapat diberikan nitrogliserin drip 10-20 mg/menit, bila di
jumpai tekanan darah yang rendah pada stroke maka harus dinaikkan dengan
dopamin atau debutamin drips.
d. Pertimbangkan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan tanda klinis
atau radiologis adanya infrak yang masif, kesadaran menurun, gangguan
pernafasan atau stroke dalam evolusi.
e. Pertimbangkan konsul ke bedah saraf untuk infrak yang luas.
f. Pertimbangkan sken resonasi magnetik pada pasien dengan stroke vetebrobasiler
atau sirkulasi posterior atau infrak yang tidak nyata pada CT scan.
g. Pertimbangkan pemberian heparin intravena di mulai dosis 800 unit/jam, 20.000
unit dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan 20 ml/jam, sampai masa
tromboplastin parsial mendekati 1,5 kontrol pada kondisi:
iv. Kemungkinan besar stroke kardioemboli
v. TIA atau infrak karena stenosis arteri karotis
vi. Stroke dalam evolusi
vii. Diseksi arteri
viii. Trombosis sinus dura
Heparin merupakan kontraindikasi relatif pada infrak yang luas. Pasien stroke non
hemoragik dengan infrak miokard baru, fibrilasi atrium, penyakit katup jantung atau trombus
intrakardiak harus diberikan antikoagulan oral (warfarin) sampai minimal satu tahun.6,8,9

10. Epilepsi
Definisi
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan berulang sebagai akibat
adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik
yang abnormal dan berlebih.14

Epidiemologi
Prevalensinya antara 0.5 - 4%. insiden epilepsi di negara berkembang mencapai 50 - 70
kasus per 100000 penduduk. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak cukup tinggi.

Etiologi
1. Idiopatik
Tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologik.
2. Kriptogenik
Dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum di ketahui
3. Simptomatik
Didapat kelainan/lesi struktural pada otak, misalnya cedera kepala, infeksi SSP,
kelainan congenital, dan tumor

Klasifikasi
Dibagi menjadi 2 bagian :
1. Epilepsi fokal
- Bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang terlokalisir di otak
- Saat serangan tidak terdapat penurunan kesadaran.

2. Epilepsi General
- Terjadi pada daerah yang lebih luas pada kedua bagian otak
- saat serangan terdapat gangguan kesadaran14

Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang
atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.
Ada 2 mekanisme :14
1. Meningkatnya faktor eksitasi
2. Menurunnya faktor inhibisi
Proses terjadinya kejang memperlihatkan beberapa proses biokimiawi yaitu :
1. Instabilitas membran sel saraf sehingga sel saraf mudah mengalami pengaktifan
2. Neuron - neuron hipersensitif dengan ambang kemampuan untuk melepaskan muatan
menurun dan aoabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan
3. Kelainan polarisasi ( polarisasi berlebihan, hipolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi GABA
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbanan asam basa atau elektrolit yang
mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelaian pada depolarisasi
neuron. Gangguan ini menyebabkan neurotransmitter eksitatorik berlebihan atau
penurunan neurotransmitter inhibitorik.

Pemeriksaan penunjang
5. Pemeriksaan lab : Darah lengkap, elektrolit, LED, fungsi liver dan ginjal
6. Pemeriksaan EEG
7. Ct scan kepala
8. MRI

Tatalaksana
11. Intosikasi
Definisi
Intoksikasi adalah masuknya zat ke dalam tubuh yang dapat mengakibatkan gangguan
kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian. Semua zat dapat menjadi racun bila diberikan
dalam dosis yang tidak seharusnya.9

Etiologi
Ada berbagai macam kelompok bahan yang dapat menyebabkan keracunan, antara lain :
1. Bahan kimia umum ( Chemical toxicants ) yang terdiri dari berbagai golongan seperti
pestisida ( organoklorin, organofosfat, karbamat ), golongan gas (nitrogen metana,
karbon monoksida, klor ), golongan logam (timbal, posfor, air raksa,arsen) ,golongan
bahan organik ( akrilamida, anilin, benzena toluene, vinil klorida fenol ).
2. Racun yang dihasilkan oleh makluk hidup ( Biological toxicants ) mis : sengatan
serangga, gigitan ular berbisa , anjing dll
3. Racun yang dihasilkan oleh jenis bakteri ( Bacterial toxicants ) mis : Bacillus cereus,
Compilobacter jejuni, Clostridium botulinum, Escherichia coli dll

Racun yang dihasilkan oleh tumbuh tumbuhan ( Botanical toxicants ) mis : jamur
amnita, jamur psilosibin, oleander, kecubung.13
Patofisiologi
Mekanisme cara terjadinya keracunan dibagi menjadi 4, yaitu:
 Self Poisoning: Pada keadaan ini pasien makan obat dengan dosis berlebihan
tetapi dengan pengetahuan bahwa dosis ini tidak akan membahayakan. Jadi
pasien tidak bermaksdu untuk bunuh diri, biasanya hanya untuk menarik
perhatian lingkungan sekitarnya. Pada anak muda kadang-kadang dilakukan
untuk coba-coba tanpa disadari bahwa tindakan ini dapat membahayakan dirinya.
 Attemted suicide: dalam hal ini, pasien memang bermaksud untuk bunuh diri,
tetapi bisa berakhir dengan kematian atau pasien sembuh kembali bila ia salah
tafsir tentang dosis yang dimakanya.
 Accidental poisoning: ini jelas merupakan kecelakaan, tanpa factor sengaja sama
sekali.
 Homicidal poisoning: keracunan ini akibat tindakan criminal yaitu seseorang
dengan sengaja meracuni orang lain.
Klasifikasi menurut mula waktu terjadinya keracunan di bagi menjadi yang bersifat akut
dan kronik. Untuk akut lebih mudah dikenal daripada keracunan kronik, biasanya terjadi
mendadak setelah makan sesuatu. Ciri lain ialah sering mengenai orang banyak, misalnya pada
kercunan makanan, dapat mengenai seluruh keluarga atau warga sekampung. Gejala keracunan
akut dapat menyerupai setiap sindrom penyakit, karena itu harus selalu diingat kemungkinan
keracunan pada keadaan sakit mendadak dengan gejala seperti muntah, kejang, diare, koma, dan
sebagainya.
Untuk diagnosis keracunan kronik sulit dibuat karena gejala yang timbul perlahan dan
lama sesudah pajanan. Gejala dapat timbul akut sesudah pajanan berkali-kali dalam waktu yang
cukup lama dan dengan dosis yang kecil. Suatu ciri khas ialah bahwa zat penyebab dieksresi
lebih lama dari 24 jam, waktu paruhnya panjang, sehingga terjadi akumulasi.13

Gejala klinis

Gejala klinis Gangguan klinis dan penyebab keracunan


Penampilan secara Agitasi (amphetamine, cocaine, lysergic acid
Umum diethylamide,opiat withdrwal) Apathy, drowsiness, coma
(hypnotik, pelarut organik, lithium)
Gangguan system Electro-encephalogram (EEG) [central depresant], fungís
saraf motorik (alcohol, penyalah gunaan obat), gangguan
berjalan/gerak (hallucinogen, amfetamine, butyrophenon,
carbamazepin, lithium, cocaine), kejang
Tekanan darah Hipotensi (phenothiazine), Hipertensi (kortikosteroid, cocaine,
phenylpropanolamine, antikolinergik)
Jantung Pulse, Elektrokardiogram (EKG) [trisiklik antidepresant,
orphenadrine], Tidak teratur (phenothiazine, procainamide,
amiodarone, lidocaine), heart block ( calcoium bloker, beta
bloker, digitalis, cocaine, trisiklik antidepresant)
Temperatur Hipertermia (LSD, cocaine,
methylenedioxymethylamfetamin(mdma))
Respirasi Depresi pernapasan (opiat, barbiturat, benzodiazepine),
hipoventilasi (salisilat)
Otot Spasme dan Kram (Botulism, Crimidine, Striknin)
Kulit Kering ( Parasimpatolitik Trisiklik Antidepresant), Berwarna :
merah (carbon monoksida), biru (sianosis) , kuning (liver
damage: alkohol, jamur, rifampicin)
Mata Pinpoint (opiat, cholinesterase inhibitor), Dilatasi pupil
(atropin, amfetamin, cocaine), Kemerahan (cannabis)
Hidung Nasal Septum Komplikasi (cocaine)
Abdomen diare (laxative, organophosphat), Obstruksi (opiat, atropine),
Radiography (timbale, thalium)
Bau Bisa dilihat dari Keringat, Mulut, Pakaian, Sisa Muntah:
Alkohol (etanol, cleaner), Aceton/Nail Remover (Aceton,
Metabolic acidosis), Ammonia ( Ammonia), Almond (Sianida),

Talaksana
Tindakan dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu: tindangan ABC dan Usaha Terapetik
lain-nya, serta pemberian antidot. Tindakan Umum adalah tindakan Airway, Breathing,
Circulation, Usaha Terapetik lain (Mempertahankan Keseimbangan elektrolit, air, asam dan
basa; Decontamination; dan Eliminasi). Sedangkan Tindakan pemberian antidot adalah
spesifik tergantung dari penyebab keracunannya

12. Gangguan elektrolit


Gangguan keseimbangan elektrolit yang umum yang sering ditemukan pada kasus-
kasus di rumah sakit hanyalah beberapa sahaja. Keadaan-keadaan tersebut adalah3:
 Hiponatremia dan hypernatremia
 Hipokalemia dan hyperkalemia
 Hipokalsemia3
1. Hiponatremia
Hiponatremia selalu mencerminkan retensi air baik dari peningkatan mutlak dalam
jumlah berat badan (total body weight, TBW) atau hilangnya natrium dalam relatif lebih
hilangnya air. Kapasitas normal ginjal untuk menghasilkan urin encer dengan osmolalitas
serendah 40 mOsm / kg (berat jenis 1,001) memungkinkan mereka untuk mengeluarkan lebih
dari 10 L air gratis per hari jika diperlukan. Karena cadangan yang luar biasa ini,
hiponatremia hampir selalu merupakan efeknya dari akibat kapasitas pengenceran urin
tersebut (osmolalitas urin> 100 mOsm / kg atau spesifik c gravitasi> 1,003).1
Kondisi hiponatremia apabila kadar natrium plasma di bawah 130mEq/L. Jika < 120
mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan
henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan timbul gejala kejang, koma.
Antara penyebab terjadinya Hiponatremia adalah euvolemia (SIADH, polidipsi psikogenik),
hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah, third space losses, diuretika),
hipervolemia (sirosis, nefrosis). Terapi untuk mengkoreksi hiponatremia yang sudah
berlangsung lama dilakukan secara perlahan-lahan, sedangkan untuk hiponatremia akut lebih
agresif.2,3,4

Dosis NaCl yang harus diberikan, dihitung melalui rumus berikut:


NaCl = 0,6( N-n) x BB
N = Kadar Na yang diinginkan
n = Kadar Na sekarang
BB = berat badan dalam kg

Tabel 7. Gradasi Hiponatremia4

Gradasi Gejala Tanda


Ringan ( Na 105-118) Haus Mukosa kering
Sedang (Na 90-104) Sakit kepala, mual, vertigo Takikardi, hipotensi
Berat (Na <90) Apatis, koma Hipotermi
2. Hipernatremia
Hiperosmolalitas terjadi setiap kali total kandungan tubuh terlarut meningkatkan
relatif terhadap TBW dan biasanya, tapi tidak selalu, berhubungan dengan hipernatremia
([Na +]>145 mEq / L). Hiperosmolalitas tanpa hipernatremia dapat dilihat selama
hiperglikemia ditandai atau mengikuti akumulasi zat osmotik aktif normal dalam plasma.
Konsentrasi natrium plasma dapat benar-benar berkurang karena air diambil dari intraseluler
ke kompartemen ekstraseluler. Untuk setiap 100 mg peningkatan / dL pada konsentrasi
glukosa plasma, natrium plasma menurun sekitar 1,6 mEq / L. Hipernatremia hampir selalu
merupakan hasil dari baik kerugian relatif air lebih dari natrium (hipotonik cairan rugi) atau
retensi dalam jumlah besar natrium. Bahkan ketika kemampuan berkonsentrasi ginjal
terganggu, haus biasanya sangat efektif dalam mencegah hipernatremia. Hipernatremia
karena itu paling sering terlihat pada pasien lemah yang tidak dapat minum, sangat tua, yang
sangat muda, dan pasien dengan gangguan kesadaran. Pasien dengan hipernatremia mungkin
memiliki konten natrium tubuh total yang rendah, normal, atau tinggi.1
Jika kadar natrium > 150 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental,
letargi, kejang, koma, lemah.3 Manifestasi neurologis akan mendominasi dahulu pada pasien
dengan hipernatremia dan umumnya diduga hasil dari dehidrasi selular. Gelisah, lesu, dan
hyperreflexia dapat berkembang menjadi kejang, koma, dan akhirnya kematian. Gejala
berkorelasi lebih dekat dengan laju pergerakan air keluar dari sel-sel otak daripada tingkat
absolut hipernatremia. Cepat penurunan volume otak akan menyebabkan pembuluh darah
otak pecah dan mengakibatkan fokus perdarahan intraserebral atau subarachnoid. Kejang dan
kerusakan saraf serius yang umum, terutama pada anak-anak dengan hipernatremia akut
ketika plasma [Na +] melebihi 158 mEq / L. Hipernatremia kronis biasanya ditoleransi lebih
baik berbanding dengan bentuk akut.1
Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan (yang disebabkan oleh diare,
muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium
berlebihan.1,3,4,5,7 Pengobatan hipernatremia bertujuan untuk mengembalikan osmolalitas
plasma normal serta mengoreksi penyebab yang mendasari. Defisit air umumnya harus
diperbaiki dalam 48 jam dengan larutan hipotonik seperti 5% dextrose dalam air. Kelainan
pada volume ekstraseluler juga harus diperbaiki. Namun, koreksi yang cepat dari
hipernatremia dapat mengakibatkan kejang, edema otak, kerusakan saraf permanen, dan
bahkan kematian. Justeru pemberian serial Na + osmolalitas harus diperoleh selama
pengobatan. Secara umum, penurunan konsentrasi natrium plasma tidak harus melanjutkan
pada tingkat yang lebih cepat dari 0,5 mEq / L / jam.1 Terapi keadaan ini adalah penggantian
cairan dengan 5% dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) x BB x 0,6}: 140.1,3,4,5,7

3.Hipokalemia
Nilai normal Kalium plasma adalah 3,5-4,5 mEq/L. Disebut hipokalemia apabila
kadar kalium <3,5mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari cairan
ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium tubuh. Tanda
dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS segmen
melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi
glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis,
hipomagnesemia, obat- obatan), infuse potasium klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mild
hipokalemia >2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring
oleh EKG (untuk hipokalemia berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang
hebat).1,4,5,6,7

Rumus untuk menghitung defisit kalium:


K = K1 - (K0 x 0,25 x BB)
K = kalium yang dibutuhkan

K1 = serum kalium yang diinginkan

K0 = serum kalium yang terukur

BB = berat badan (kg)

4.Hiperkalemia
Kalium (K+) memainkan peran utama dalam elektrofisiologi dari membran sel serta
karbohidrat dan protein sintesis. Potensial membran sel istirahat biasanya tergantung pada
rasio intraseluler dan ekstraseluler konsentrasi kalium. Konsentrasi kalium intraseluler
diperkirakan 140 mEq / L, sedangkan konsentrasi kalium ekstraseluler biasanya sekitar 4
mEq / L. Dalam beberapa kondisi, redistribusi K+ antara cairan ekstraselular dan
kompartemen cairan intraselular dapat mengakibatkan perubahan yang nyata dalam
ekstraseluler K+ tanpa perubahan total konten kalium tubuh.1 Hiperkalemia adalah jika kadar
kalium > 5 mEq/L. Hiperkalemia sering terjadi karena insufisiensi renal atau obat yang
membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dan
gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sistem
kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG).3 Efek paling penting dari hiperkalemia berada
di otot rangka dan jantung. Kelemahan otot rangkapada umumnya tidak terlihat sampai
plasma [K +] lebih besar dari 8 mEq / L, dan karena depolarisasi berkelanjutan spontan dan
inaktivasi kanal Na + membran otot, akhirnya mengakibatkan kelumpuhan.3 Perubahan EKG
berlaku secara berurutan dari simetris memuncak gelombang T (sering dengan interval QT
memendek) → pelebaran kompleks QRS → perpanjangan interval P-R → hilangnya
gelombang P → hilangnya amplitudo R-gelombang → depresi segmen ST (kadang-kadang
elevasi) → EKG yang menyerupai gelombang sinus, sebelum perkembangan fibrilasi
ventrikel dan detak jantung. Kontraktilitas dapat relatif baik dipertahankan sampai akhir
dalam perjalanan hiperkalemia progresif. Hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis
menonjolkan efek jantung hiperkalemia.1

Tabel 8. Gambaran EKG berdasarkan Kadar K Plasma3

Kadar K plasma Gambaran EKG


5,5-6 mEq/L Gelombang T tinggi
6-7 mEq/L P-R memanjang dan QRS melebar
7-8 mEq/L P mengecil & takikardi ventrikel
>8 mEq/L Fibrilasi ventrikel

Bila kadar K plasma <6,5mEq/L diberikan: Diuretik, Natrium bikarbonat, Ca


glukonas, glukonas-insulin, Kayekselate. Bila dalam 6 jam belum tampak perbaikan,
dilakukan hemodialisis. Bila fungsi ginjal jelek, pertimbangkan hemodialisis lebih dini. Pada
kadar K plasma >6,5 mEq/L, segera lakukan dialisis.6,7

5.Hipokalsemia
Meskipun 98% dari total kalsium tubuh dalam tulang, pemeliharaan konsentrasi
kalsium ekstraseluler normal adalah penting untuk homeostasis. Ion kalsium terlibat dalam
fungsi biologis hampir semua penting, termasuk kontraksi otot, pelepasan neurotransmitter
dan hormon, pembekuan darah, dan metabolisme tulang, dan kelainan pada keseimbangan
kalsium dapat mengakibatkan derangements fisiologis yang mendalam.
Asupan kalsium pada orang dewasa rata-rata 600-800 mg / d. Penyerapan kalsium
terjadi di usus terutama di usus kecil proksimal tetapi adalah variabel. Kalsium juga disekresi
ke dalam saluran usus, dimana sekresi ini tampaknya konstan dan independen dari
penyerapan. Hingga 80% dari asupan kalsium harian biasanya hilang dalam feses. Ginjal
bertanggung jawab untuk sebagian besar ekskresi kalsium. Rata-rata ekskresi kalsium ginjal
100 mg / d namun dapat bervariasi dari serendah 50 mg / d ke lebih dari 300 mg / d.
Biasanya, 98% dari kalsium disaring dan diserap kembali. Reabsorpsi kalsium paralel dengan
natrium dalam tubulus ginjal proksimal dan loop menaik Henle. Di tubulus distal,
bagaimanapun, reabsorpsi kalsium tergantung pada hormon paratiroid (PTH) sekresi,
sedangkan reabsorpsi natrium tergantung pada sekresi aldosteron. tingkat PTH meningkat
meningkatkan reabsorpsi kalsium distal dan dengan demikian menurunkan ekskresi kalsium
urin.1
90% kalsium terikat dalam albumin, sehingga kondisi hipokalsemia biasanya terjadi
pada pasien dengan hipoalbuminemia. Hipokalsemia disebabkan karena hipoparatiroidism,
kongenital, idiopatik, defisiensi vit D, defisiensi 125(OH)2D3 pada gagal ginjal kronik, dan
hiperfosfatemia.3 Manifestasi dari hipokalsemia termasuk kulit kering, parestesia, gelisah dan
kebingungan, gangguan irama jantung, laring stridor (spasme laring), tetani dengan spasme
karpopedal (tanda Trousseau), masseter spasme (Tanda Chvostek), dan kejang. kolik bilier
dan bronkospasme.1,3 EKG dapat mengungkapkan irritasi jantung atau interval QT
perpanjangan yang mungkin tidak berkorelasi antara tingkat keparahan dengan tingkat
hipokalsemia. Penurunan kontraktilitas jantung dapat mengakibatkan gagal jantung,
hipotensi, atau keduanya. Penurunan respon terhadap digoxin dan β-adrenergik agonis juga
dapat terjadi.1
Seperti yang diketahui, hipokalsemia adalah suatu kondisi yang gawat darurat karena
menyebabkan kejang umum dan henti jantung. Dapat diberikan 20-30 ml preparat kalsium
glukonas 10% atau CaCl 10% dapat diulang 30-60 menit kemudian sampai tercapai kadar
kalsium plasma yang optimal. Pada kasus kronik, dapat dilanjutkan dengan terapi per
oral.1,5,6,7

13. Hiperglikemik
Definisi
Hiperglikemia didefinisikan bila nilai glukosa darah melebihi 140 mg/dl (>7,8
mmol/L)2.

Epidiemologi
Di Amerika Serikat saja, ada sekitar 1,6 juta kasus baru diabetes setiap tahun, dengan
prevalensi keseluruhan 23,6 juta orang (7,8% dari populasi, dengan 1/4 kasus yang tersisa tidak
terdiagnosis)
Etiologi
Etiologi dari hiperglikemia adalah adanya autoimunitas antibodi pada sel islet dari
pankreas sehingga mengganggu produksi insulin, kombinasi faktor genetik yang berhubungan
dengan sekresi gangguan insulin, resistensi insulin dan faktor lingkungan seperti obesitas,
makan berlebihan, kurang olahraga, dan stres serta penuaan 5

Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari hiperglikemia yang kompleks tapi meliputi berikut ini.
1. Resistensi insulin perifer dan hati.
2. Peningkatan produksi glukosa ginjal dan hati.
3. Beban glukosa tinggi dari makanan dan infus intravena

Gejala klinis
Gejala khas hiperglikemia pada diabetes mellitus (DM) adalah poliuri, polidipsi,
polifagi, dan berat badan menurun dengan cepat. Untuk diagnosis kasus DM menggunakan tes
glukosa darah berupa glukosa darah sewaktu, glukosa darah puasa, dan A1C. Pasien terdiagnosis
menderita DM apabila konsentrasi glukosa darah sewaktunya mencapai ≥ 200 mg/dl, glukosa
darah puasanya mencapai > 126 mg/dl atau A1C ≥ 6,5% 6, 7 .
Proses HHS biasanya berkembang selama beberapa hari sampai minggu, sedangkan
perubahan episode DKA akut pada diabetes tipe 1 atau bahkan pada diabetes tipe 2 cenderung
jauh lebih pendek. Meskipun gejala diabetes yang tidak terkontrol dapat hadir selama beberapa
hari, perubahan metabolik yang khas dari ketoasidosis biasanya berkembang dalam waktu yang
singkat (biasanya < 24 jam). Baik DKA dan HHS, gambaran klinis klasik mencakup riwayat
poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, muntah, dehidrasi, kelemahan, dan perubahan status
mental. Temuan fisik mungkin termasuk turgor kulit buruk, pernapasan Kussmaul (di DKA),
takikardia, dan hipotensi. status mental dapat bervariasi dari kewaspadaan penuh ke penurunan
kesadaran atau koma, dengan yang terakhir lebih sering di HHS. Tanda-tanda neurologis fokal
(hemianopia dan hemiparesis) dan kejang (focal atau umum) juga dapat menjadi ciri HHS. Mual,
muntah, nyeri perut difus sering pada pasien dengan DKA (> 50%), tetapi jarang terjadi di HHS
3

Kriteria diagnostik DKA adalah kadar glukosa darah > 250 mg %, pH < 7,35, HCO 3 rendah,
anion gap yang tinggi, dan keton serum positif 6. Sedangkan kriteria diagnostik pada HHS
meliputi tingkat glukosa plasma > 600 mg / dL, osmolaritas plasma efektif > 320 mOsm / L,
dan tidak adanya ketoasidosis signifikan 4

Tatalaksana
infus insulin harus digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia pada sebagian
besar pasien sakit kritis dalam pengaturan ICU, dengan batas mulai dari tidak lebih dari 180 mg /
dL (10,0 mmol / L). Setelah terapi insulin IV telah dimulai, tingkat glukosa harus dipertahankan
antara 140 dan 180 mg / dL (7,8 dan 10,0 mmol / L). Untuk sebagian besar pasien yang non
sakit kritis diobati dengan insulin, target glukosa pra-makan umumnya harus <140 mg / dL (<7.8
mmol / L) bersamaan dengan nilai-nilai glukosa darah acak <180 mg / dL (<10,0 mmol / L),
selama target tersebut dapat dengan aman dicapai. Untuk menghindari hipoglikemia,
pertimbangan harus diberikan untuk menilai kembali regimen insulin jika kadar glukosa darah
menurun di bawah 100 mg / dL (5,6 mmol / L). Modifikasi rejimen diperlukan bila nilai-nilai
glukosa darah adalah <70 mg / dL (<3,9 mmol / L) 2.
Intervensi gaya hidup perlu dilakukan karena obesitas dan gaya hidup adalah faktor lingkungan
yang paling mempengaruhi munculnya DM.

14. Hipoglikemik
Definisi
Hipoglikemia adalah keadaan yang menunjukkan kadar glukosa darah di bawah normal
Biasanya pada penderita hipoglikemia terjadi kadar glukosa yangrendah yaitu kurang dari 50
mg/dl(2,8 mmol/L) atau bahkan kurang dari 40 mg/dl (2,2 mmol/L). Kadar glukosa darah
keseluruhan (whole blood) lebih rendah 10% dibandingkan dengan kadar glukosa plasma
dikarenakan eritrosit memiliki kadar glukosa yang relatif rendah.

Epidiemologi
Hipoglikemia biasanya ditemukan pada pasien diabetes melitus. Sekitar 90% dari semua
pasien yang menerima insulin mengalami episode hipoglikemia. Kejadian hipoglikemia sangat
bervariasi, namun pada umumnya penderita diabetes mellitus tipe 1 memiliki rata-rata episode
hipoglikemia simtomatik per minggu dan per tahun. Diperkirakan 2-4% dari mortalitas akibat
diabetes melitus dikaitkan dengan hipoglikemia.

Etiologi
Hipoglikemia biasanya dibagi menjadi hipoglikemia pasa-makan (reaktif), hipoglikemia
puasa, dan hipoglikemia pada pasien rawat inap
Hipoglikemia pasca-makan dapat disebabkan oleh hiperinsulinisme pencernaan. Pasien yang
menjalani gastrektomi, gastrojejunostomi, piloroplasti atau vagotomi dapat mengalami
hipoglikemia pasca-makan. Hal ini disebabkan karena pengosongan lambung yang cepat dengan
penyerapan singkat glukosa turun lebih cepat dibanding insulin
Hipoglikemia puasa dapat disebabkan oleh kurangnya produksi atau penggunaan glukosa, defek
enzim, defisiensi substrat, penyakit hati kongenital, ataupun obat-obatan. Defisiensi hormon
penyebab hipoglikemia puasa karena kurangnya glukosa dapat terjadi pada hipohipofisisme,
insufisiensi adrenal, defisiensi katekolamin, dan defisiensi glukagon. Adapun defek enzim yang
menyebabkan hipoglikemia puasa karena kurangnya glukosa adalah defek enzim Glucose-6-
fosfatase, fosforilase hati, piruvat karboksilase, fosfoenolpiruvat karboksikinase, fructose-1,6-
difosfatase, dan glikogen sintetase
Pasien rawat inap yang mengalami hipoglikemia paling lazim disebabkan oleh pengunaan obat-
obatan yang diberikan. Tiga obat yang paling sering menyebabkan hipoglikemia pada pasien
rawat inap adalah insulin, sulfonylurea, dan alkohol. Diperkirakan 60% kasus ketiga obat ini
terlibat dalam diagnosis hipoglikemia.

Pasca Obat-obatan Puasa


Makan

Hiperinsulinm
Patogenesis Turunnya produksi
Contohnya insulin,
ia glukosa dan
alkohol, dan
sulfonylurea penggunaan
glukosa yang
Pengososngan berlebih
lambung yang
cepat

Produksi glukosa
Pengeluaran insulin yang tidak seimbang
berlebihan dan dengan kebutuhan
penyerapan glukosa yang
kurang

Tidak seimbang Hipoglikemia


insulin dan glukosa
Gejala klinis
1. Penurunan kesadaran
2. Mengantuk
3. Nyeri kepala
4. Pandangan kabur
5. Tangan tremor
6. Keringat dingin yang berlebihan

Tatalaksana
Adapun terapi medika mentosa hipoglikemia yang dapat diberikan adalah:
1. Glukosa Oral.
2. Glukosa Intravena.
3. Glukagon (SC/IM).
4. Thiamine 100 mg (SC/IM) pada pasien alkoholisme.
5. Monitoring

Kadar Glukosa (mg/dL) Terapi Hipoglikemia


< 30 mg/dl Injeksi IV dextrose 40 % (25 cc) bolus
3 flakon
30-60 mg/dl Injeksi IV dextrosa 40 % (25 cc) bolus
2 flakon
60-100 mg/dl Injeksi IV dextrosa 40 % (25 cc) bolus
1 flakon
Follow up :
1. Periksa kadar gula darah 30 menit setelah injeksi.
2.  Setelah 30 menit pemberian bolus 3 atau 2 atau 1 flakon dapat
diberikan 1 flakon lagi sampai 2-3 kali untuk mencapai kadar
glukosa darah 120 mg/dl.

15. Drug abuse


Definisi
penyalahgunaan obat dalam arti luas meliputi penyalahgunaan obat obatan seperti
alkohol, kokain, heroin, nikotin yang terdapat dalam tembakau, kafein yang terkandung dalam
kopi, minuman ringan.
Dalam hal penggunaan obat sehari-hari, terdapat istilah penyalahgunaan obat(drug
abuse) dan penggunasalahan obat (drug misuse). Istilah penyalahgunaan obat merujuk pada
keadaan di mana obat digunakan secara berlebihan tanpa tujuan medis atau indikasi tertentu.
Sedangkan, istilah pengguna-salahan obat adalah merujuk pada penggunaan obat secara tidak
tepat, yang biasanya disebabkan karena pengguna memang tidak tahu bagaimana penggunaan
obat yang benar

Proses Terjadinya Penyalahgunaan Obat


Ada tiga kemungkinan seorang memulai penyalahgunaan obat.
1. Seseorang awalnya memang sakit, misalnya nyeri kronis, kecemasan, insomnia, dll, yang
memang membutuhkan obat, dan mereka mendapatkan obat secara legal dengan resep
dokter. Namun selanjutnya, obat-obat tersebut menyebabkan toleransi, di mana
pasien memerlukan dosis yang semakin meningkat untuk mendapatkan efek yang sama.
Merekapun kemudian akan meningkatkan penggunaannya, mungkin tanpa berkonsultasi
dengan dokter. Selanjutnya, mereka akan mengalami gejala putus obat. Jika pengobatan
dihentikan, mereka akan menjadi kecanduan atau ketergantungan terhadap obat tersebut,
sehingga mereka berusaha untuk memperoleh obat-obat tersebut dengan segala cara.

2. Seseorang memulai penyalahgunaan obat memang untuk tujuan mendapatkan


euphoria. Artinya, sejak awal penggunaan obat memang tanpa tujuan medis yang jelas,
hanya untuk memperoleh efek-efek menyenangkan yang mungkin dapat diperoleh dari
obat tersebut. Kejadian ini umumnya erat kaitannya dengan penyalahgunaan obat yang
lain, termasuk yang bukan obat diresepkan, seperti kokain, heroin, ecstassy, alkohol, dll.

3. Seseorang menyalahgunakan obat dengan memanfaatkan efek samping seperti yang telah
disebutkan di atas. Bisa jadi penggunanya sendiri tidak tahu, hanya mengikuti saja apa
yang diresepkan dokter. Obatnya bukan obat-obat yang dapat menyebabkan toleransi dan
ketagihan. Penggunaannya juga mungkin tidak dalam jangka waktu lama yang
menyebabkan ketergantungan.

Obat- Obat yang Sering Disalahgunakan


Secara garis besar ada tiga golongan obat yang paling sering disalahgunakan, yaitu :
1. Golongan Analgesik Opiat / Narkotika
Menurut UU RI No 22 tahun 1997 Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapaqt
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.Contohnya adalah
codein, oxycodon, morfin.
2. Golongan depressan sistem saraf pusat untuk mengatasi kecemasan dan gangguan tidur.
Menurut UU RI No 5 tahun 1997 Psikotropika adalah suatu zat atau obat baik alamiah
atau sintesis, bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
SSP yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.Contohnya
barbiturat (luminal) dan golongan benzodiazepin (diazepam/valium, klordiazepoksid,
klonazepam, alprazolam, dll)

3. Golongan stimulan sistem saraf pusat.


Obat-obat ini bekerja pada sistem saraf, dan umumnya menyebabkan ketergantungan
atau kecanduan

Tatalaksana
Pengatasan penyalah-gunaan obat memerlukan upaya-upaya yang terintegrasi, yang
melibatkan pendekatan psikologis, sosial, hukum, dan medis. Pada tulisan kali ini hanya akan
dibahas mengenai farmakoterapi (terapi menggunakan obat) bagi keadaan yang terkait dengan
ketergantungan obat.
Kondisi yang perlu diatasi secara farmakoterapi pada keadaan ketergantungan obat ada
dua, yaitu kondisi intoksikasi dan kejadian munculnya gejala putus obat (“sakaw”). Dengan
demikian, sasaran terapinya bervariasi tergantung tujuannya:

1. Terapi pada intoksikasi/over dosis  tujuannya untuk mengeliminasi obat dari tubuh,


menjaga fungsi vital tubuh

2. Terapi pada gejala putus obat  tujuannya untuk mencegah perkembangan gejala supaya
tidak semakin parah, sehingga pasien tetap nyaman dalam menjalani program
penghentian obat

Tentunya masing-masing golongan obat memiliki cara penanganan yang berbeda, sesuai
dengan gejala klinis yang terjadi. Di bawah ini disajikan tabel ringkasan terapi intoksikasi pada
berbagai jenis obat yang sering disalahgunakan.

Klas obat Terapi obat Terapi non- Komentar


obat
Benzodiazepin Flumazenil 0,2 Support Kontraindikasi jika ada
mg/min IV, ulangi fungsi vital penggunaan
sampai max 3 mg TCA resiko kejang
Alkohol, barbiturat, Tidak ada Support  
sedatif hipnotik fungsi vital
non-benzodiazepin

Opiat Naloxone 0,4-2,0 mg Support Jika pasien tidak


IV setiap 3 min fungsi vital responsif sampai dosis
10 mg  mungkin ada
OD selain opiat
Kokain dan  Lorazepam 2-4 mg -Support – digunakan jika pasien
stimulan CNS lain IM setiap 30 min fungsi vital agitasi
sampai 6 jam jika – Monitor – digunakan jika pasien
perlu fungsi jantung psikotik
 Haloperidol 2-5 – komplikasi
mg (atau kardiovaskuler diatasi
antipsikotik lain) scr simptomatis
setiap 30 min
sampai 6 jam
Halusinogen, Sama dgn di atas Support  
marijuana fungsi vital,
„talk-down
therapy“

Tabel 1. Ringkasan tentang terapi intoksikasi

Obat Terapi obat Komentar


Benzodiazepin Klordiazepoksid 50 mg 3 x sehari atau  
(short acting) lorazepam 2 mg 3 x sehari, jaga dosis
utk 5 hari, kmdtappering
Long acting BZD Sama, tapi tambah 5-7 hari Alprazolam paling sulit
utktappering dan butuh wkt lebih lama
Opiat Methadon 20-80 mg p.o, taperdengan – jika metadon
5-10 mg sehari, atau klonidin 2 g/kg gagal metadon
tid x 7 hari, taperuntuk 3 hari maintanance program
berikutnya – Klonidin menyebabkan
hipotensi  pantau BP
Barbiturat Test toleransi pentobarbital, gunakan  
dosis pada batas atas test, turunkan
dosis 100 mg setiap 2-3 hari
Mixed-substance Lakukan spt pada long acting BZD  
Stimulan CNS Terapi supportif saja, bisa gunakan  
bromokriptin 2,5 mg jika pasien
benar-benar kecanduan, terutama pada
kokain
Tabel 2. Ringkasan tentang terapi untuk mengatasi gejala putus obat (withdrawal syndrome)
(DiPiro, 2008)

2.7 Prognosis
Secara keseluruhan, penurunan kesadaran harus ditatalaksana sesegera mungkin. Lesi di
otak terutama pada batang otak memiliki prognosis lebih buruk yang mana resiko mortalitas
akan meningkat.
Daftar Pustaka
1. Aninditha T., Wiratman W. Buku Ajar Neurologi FK UI. Jakarta: Penerbit
Kedokteran Indonesia. 2017
2. PERDOSSI. Advance Neurology Life Support. Jakarta: Kelompok Studi
Neurointensif PERDOSSI; 2017.
3. Consciousness. 2012. Available from: https://medical-
dictionary.thefreedictionary.com/Psychological+consciousness.
4. Teasdale G. Jennet В. Assessment of coma and impaired consciousness. A
practical scale. 1974. Lancet II.:81-4.
5. Khan T, Stecker M, Stecker M. Evaluating the patient with loss of
consciousness. Surgical neurology international. 2015;6(Suppl 6):S262.
6. Tindall SC. Level of consciousness.2011.3rd edition.Boston
7. Royal College of Physicians and Surgeons of Glasgow. Glasgow Coma Scale.
2015. Available from: https://www.glasgowcomascale.org
8. Huff JS, Tadi P. Coma. 2017.StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing.
Available from: https://europepmc.org/article/nbk/nbk430722
9. Simon RP., Aminoff MJ, Greenberg DA. Clinical Neurology 10th Ed. New
York: McGraw-Hill; 2018.
10. Louis ED, Mayer SA, Rowland LP. Merritt’s neurology. 13 ed. New York:
Lippincott Williams & Wilkins; 2016.
11. 1Traub SJ, Wijdicks EF. Initial diagnosis and management of coma. Emergency
Medicine Clinics. 2016 Nov 1;34(4):777-93.
12. PERDOSSI. Guideline Stroke Tahun 2011. Jakarta: Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI); 2011.
13. Claassen J,Hirsch LJ,Emerson RG,Mayer SA.Treatment of refractory status
epilepticus with pentobarbital, propofol, ormidazolam: Asystematic review. Epilepsia.
2002;43(2):146–53.
14. Prasetyo A, Prasetyo BH. Tatalaksana Status Epileptikus di Instalasi Gawat
Darurat. Cermin Dunia Kedokteran. 2018 Nov 1;45(11):866-8.
15. PERDOSSI. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma
Spinal. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI); 2006.

Anda mungkin juga menyukai