Anda di halaman 1dari 48

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesadaran dapat didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan


pengintegrasian impus eferen dan aderen. Semua impuls aferen dapat disebut input
dan semua impuls aferen dapat dinamakan output susunan saraf pusat. Keadaan yang
sehat dan adekuat dikenal sebaai komposmentis, di mana aksi dan reaksi terhadap
impuls bersifat adekuat yaitu tepat dan sesuai.

Kesadaran dapat dikenal derajat dan kualitasnya. Derajat kesadaran yang


paling rendah kita jumpai pada koma, yaitu kesadaran yang sangat terganggu, yang
tidak terdapat aksi dan reaksi kendatipun dirangsang secara kasar. Sebelum derajat
kesadaran menurun sampai tingkat yang paling rendah, daya untuk bereaksi masih
ada. Seberapa rendahnya derajat kesadaran itu, dapat dinilai. Penilaian ini tidak
mempunyai arti pokok. Hanya untuk menentukan perbaikan, kemunduran dan
prognosis.

Semua gangguan yang dapat menimbulkan koma dapat tercakup dalam


gangguan di substansia retikularis bagian batang otak yang paling rostral dan
gangguan difus pada kedua hemisferium. Bagian rostral batang otak merupakan
bagian batang otak yang sebagian terletak infratentorial dan sebagian supratentorial.
Hemisferium kedua sisi dapat terganggu secara menyeluruh jika sel-sel yang
menyusun korteks serebri kedua sisi mengalami gangguan metabolic, baik akibat
racun endogenic atau eksogenik. Maka dari itu koma dapat dibagi dalam:

(1) Koma supratentorial diensefalik

(2) Koma infratentorial diensefalik

(3) Koma bihemisferik difus

1
Koma diensefalik biasanya terjadi karena proses desak ruang, sementara
koma bihemsiferik dapat terjadi karena bermacam sebab. Koma bihemisferik akibat
proses patologik itu disebabkan oleh 2 golongan penyakit, yaitu ensefalopati
metabolik primer dan ensefalopati metabolik sekunder.

1.2 Batasan Masalah


Pembatasan pada case report ini akan dibatasi pada definisi, epidemiologi,
etiologi, gejala, klasifikasi, diagnosis banding, pengobatan, komplikasi, prognosis
dan laporan kasus ensefalopati.
1.3 Tujuan penulisan
Tujuan penulisan case report ini yaitu untuk mengetahui definisi,
epidemiologi, etiologi, gejala, klasifikasi, diagnosis banding, pengobatan,
komplikasi, prognosis dan laporan kasus ensefalopati.
1.4 Metode penulisan
Metode yang dipakai pada penulisan case report ini adalah tinjauan
kepustakaan yang merujuk dari beberapa literatur dan laporan kasus.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan


fungsi otak menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis.
Ensefalopati adalah disfungsi kortikal umum yang memiliki karakteristik
perjalanan akut hingga sub akut (jam hingga beberapa hari), secara nyata terdapat
fluktuasi dari tingkat kesadaran, atensi minimal, halusinasi dan delusi yang sering
dan perubahan tingkat aktifitas psikomotor (secara umum meingkat, akan tetapi
dapat menurun). Penggunaan istilah ensefalopati menggambarkan perubahan
umum pada fungsi otak, yang bermanifestasi pada gangguan atensi baik berupa
agitasi hiperalert hingga koma. 1

Kesadaran dapat didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan


pengintegrasian impus eferen dan aderen. Semua impuls aferen dapat disebut
input dan semua impuls aferen dapat dinamakan output susunan saraf pusat.
Keadaan yang sehat dan adekuat dikenal sebagai komposmentis, di mana aksi dan
reaksi terhadap impuls bersifat adekuat yaitu tepat dan sesuai. Kesadaran yang
sangat terganggu, ialah kesadaran yang mana tidak terdapat aksi dan reaksi,
meskipun dirangsang secara kasar. Keadaan tersebut dinamakan koma. 1

Kesadaran dapat dikenal derajat dan kualitasnya. Jika derajat kesadaran


menurun, dengan sendirinya kualitas kesadaran akan menurun pula. Derajat
kesadaran yang paling rendah kita jumpai pada koma. Stimulasi dengan rangsang
kasar apapun, reaksi terhadap stimulasi tersebut tidak akan didapatkan. Sebelum
derajat kesadaran menurun sampai tingkat yang paling rendah, daya untuk
bereaksi masih ada. Seberapa rendahnya derajat kesadaran itu, dapat dinilai.
Penilaian ini tidak mempunyai arti pokok. Hanya untuk menentukan perbaikan,
kemunduran dan prognosis. 1

3
Semua gangguan yang dapat menimbulkan koma dapat tercakup dalam
gangguan di substansia retikularis bagian batang otak yang paling rostral dan
gangguan difus pada kedua hemisferium. Bagian rostral batang otak merupakan
bagian batang otak yang sebagian terletak infratentorial dan sebagian supratentorial.
Hemisferium kedua sisi dapat terganggu secara menyeluruh jika sel-sel yang
menyusun korteks serebri kedua sisi mengalami gangguan metabolic, baik akibat
racun endogenic atau eksogenik. Maka dari itu koma dapat dibagi dalam:

(1) Koma supratentorial diensefalik

(2) Koma infratentorial diensefalik

(3) Koma bihemisferik difus

Koma diensefalik biasanya terjadi karena proses desak ruang, sementara koma
bihemsiferik dapat terjadi karena bermacam sebab. Koma bihemisferik akibat proses
patologik itu disebabkan oleh 2 golongan penyakit, yaitu ensefalopati metabolik
primer dan ensefalopati metabolik sekunder. 1

2.2 Epidemiologi

Angka kejadian ensefalopati secara umum belum banyak diteliti, penelitian


dilakukan pada masing masing jenis ensefalopati. Ensefalopati hepatik terjadi
sebagai komplikasi penyakit hati lanjut (mis. 30-45% pasien dengan sirosis) - yang
mungkin akut atau kronis. Ada sekitar 7-11 juta kasus HE yang lazim di Amerika
Serikat, dengan sekitar 150.000 pasien baru didiagnosis setiap tahun. Di antara
pasien yang baru didiagnosis, sekitar 20% hadir dengan sirosis, dan hampir 60%
kasus terjadi di hadapan hepatitis C kronis baik sendiri atau dalam kombinasi dengan
penyakit hati terkait alkohol.7 Berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), hipertensi adalah penyebab 62% penyakit serebrovaskular (CVA), termasuk
ensefalopati hipertensif. Untuk setiap peningkatan 5 mmHg dalam TD diastolik,
masing-masing ada peningkatan 35% risiko CVA.8 Insiden ensefalopati HIV yang
dilaporkan setiap tahun per 100.000 populasi berusia 20 hingga 59 tahun adalah 1,4

4
pada tahun 1988, 1,5 pada tahun 1989, dan 1,9 pada tahun 1990. Analisis ini paling
baik memberikan perkiraan untuk ensefalopati HIV sebagai manifestasi awal AIDS
karena sistem pelaporan CDC AIDS sering kali tidak memastikan diagnosa setelah
laporan AIDS awal. Data ini menunjukkan bahwa usia (sangat muda atau tua)
dikaitkan dengan pengembangan ensefalopati HIV dan bahwa ensefalopati HIV
adalah penyebab umum demensia pada orang dewasa <60 tahun di Amerika Serikat.9

2.3 Etiologi

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, ensefalopati dapat dibagi menjadi akut


dan kronik. Ensefalopati akut dicirikan dengan perubahan status mental global
yang akut atau subakut. Ensefalopati akut dapat dikenali sebagai ensefalopati
toksik, metabolic, atau toksik-metabolik. Ensefalopati toksik dapat disebabkan
oleh pengobatan, penyalahggunaan obat-obatan terlarang, atau zat kimia beracun.
Ensefalopati metabolik disebabkan gangguan metabolic dalam kadar yang besar.
Toksik-metabolik ensefalopati dideskripsikan sebagai kombinasi dari faktor
metabolic dan toksik, termasuk di dalamnya kegagalan organ seperti gagal ginjal,
gagal hati, alcohol, dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, demam, hipertensi,
hipoksemia, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, infeksi termasuk sepsis. 2

Ensefalopati kronik ditandai dengan perubahan status mental yang pada


sebagian besar kasus terjadi secara perlahan (ensefalopati anoksia mendapat
pengecualian), sebagai hasil dari perubahan structural yang biasanya permanen
dari otak itu sendiri. Sebagiannya mungkin dapat dihentikan atau dikembalikan
dengan deteksi dan penanganan dini. Contoh ensefalopati kronik termasuk anoxia
brain injury, chronic traumatic encephalopathy, ensefalopati akibat logam berat,
ensefalopati yang berhubungan dengan HIV, defisiensi enzim bawaan, Korsakoff,
dan spongiform.2

5
2.4 Gambaran Klinis

Ensefalopati menggambarkan fungsi otak yang tidak normal karena masalah


dengan jaringan otak. Gejala ensefalopati dapat digeneralisasi yang menyebabkan
penurunan tingkat kesadaran dari kelesuan minimal menjadi koma. Ensefalopati
dapat menyebabkan proses berpikir abnormal termasuk kebingungan, ingatan
buruk, halusinasi, dan bahkan pemikiran psikotik. 3

Gejala-gejalanya mungkin jelas karena bagian-bagian tubuh yang dikontrol


otak mungkin tidak bekerja dengan baik. Mungkin ada koordinasi dan kesulitan
berjalan (ataksia) atau mungkin ada kelainan dengan penglihatan dan gerakan
mata. Ensefalopati dapat meniru stroke dengan kelemahan dan mati rasa pada satu
sisi tubuh, termasuk masalah droop pada wajah dan masalah bicara. Kelainan ini
tidak hanya mempengaruhi fungsi motorik tetapi juga sensasi. Itu semua
tergantung pada bagian otak mana yang tidak berfungsi.3

Pada beberapa pasien, ensefalopati sangat mendalam sehingga memengaruhi


fungsi otak dasar yang mengontrol terjaga, bernafas, detak jantung, dan suhu..
Gejala-gejalanya tergantung pada penyebab dasar ensefalopati dan potensi
pembalikan penyebabnya. Gejala mungkin ada dan tetap konstan atau mereka
mungkin bertambah dan menyusut. Gejala dapat muncul sekali dan tidak pernah
kambuh atau mereka dapat menjadi progresif dan mengarah pada kematian.
Sebagai contoh, glukosa darah rendah (hipoglikemia) dapat dengan mudah dibalik
tanpa kerusakan otak, sementara anoksia yang dalam mungkin sebagian reversibel
atau mengakibatkan kecacatan atau kematian. 3

2.5 Klasifikasi
Istilah ensefalopati biasanya diikuti oleh kata lain yang menunjukkan
penyebab dari kelainan otak tersebut. Beberapa jenis ensefalopati berdasarkan
penyebabnya: 1

a) Ensefalopati metabolik primer

6
Yang tergolong dalam ensefalopati metabolic primer ialah penyakit-penyakit yang
memperlihatkan
1. Degenerasi di substansia grisea otak, yaitu:
- Penyakit Jacob-Creutzfeldt
- Penyakit Pick
- Penyakit Alzheimer
- Korea Huntington
- Epilepsi mioklonik progresiva
2. Degenerasi di substansia alba otak, yaitu:
- Penyakit Schilder dan berbagai jenis leukodistrofia
b) Ensefalopati sekunder
Sebab-sebab ensefalopati metabolik sekunder banyak sekali, sehingga dapat
diadakan klasifikasi menurut sebab pokoknya.
1. Kekurangan zat asam, glukosa, dan kofaktor-kofaktor yang diperlukan untuk
metabolisme sel.
i. Hipoksia, yang bisa timbul karena:
- Penyakit paru,
- Anemia,
- Intoksikasi karbon monoksida,
- Methemoglobinemia,
- Keadaan setelah insult epileptic berhenti.
ii. Iskemia, yang bisa berkembang karena:
- Cereberal Blood Flow (CBF) yang menurun akibat penurunan cardiac
output seperti pada Sindrom Stoker-Adams, aritmia, infark jantung,
dekompensasio kordis dan stenosis aorta. CBF menurun akibat penurunan
resistensi vascular perifer, seperti pada sinkope ortostatik atau vasovagal,
hipersensitivitas sinus karotikus dan volume darah yang rendah.
- CBF menurun akibat resistensi vascular yang meningkat, seperti pada
ensefalopati hipertensif, sindrom hiperventilasi dan sindrom hiperviskositas.
iii. Hipoglikemia, yang bisa timbul karena:

7
- Pemberian insulin atau pembuatan insulin endogen yang meningkat.
iv. Defisiensi kofaktor thiamin, niacin, pyridoksin, dan vitamin B1
2. Penyakit-penyakit organik di luar susunan saraf
i. Penyakit non-endokrinologik seperti:
- Penyakit hepar, ginjal, jantung, dan paru
ii. Penyakit endokrinologik: M. Addison, M. Cushing, tumor pankreas
miksedema, feokomositoma dan tirotoksikosis.
3. Intoksikasi eksogenik:
i. Sedativa, seperti barbiturate, opiate, obat antikolinergik, ethanol, dan
penenang
ii. Racun yang menghasilkan banyak katabolic asid, seperti paraldehyde,
methylalkohol,dan ethylene.
4. Gangguan balans air dan elektrolit
i. Hipo dan hypernatremia
ii. Asidosis respiratorik dan metabolic
iii. Alkalosis respiratorik dan metabolic
iv. Hipo dan hiperkalemia
5. Penyakit-penyakit yang membuat toksin atau menghambat fungsi eznim-
enzim serebral, seperti meningitis, ensefalitis, dan perdarahan subaraknoidal
6. Trauma kapitis yang menimbulkan gangguan difus tanpa perubahan
morfologik, seperti pada komosio.

2.6 Patofisiologi

Kondisi sadar berpengaruh pada hemisfer serebri yang intak, yang


berinteraksi dengan ascending reticular activating system (ARAS) pada batang
otak, midbrain, hipotalamus dan thalamus. Lesi-lesi secara menyebar berdampak
pada hemisfer serebral, atau secara langsung berdampak pada RAS menyebabkan
penurunan tingkat kesadaran.15

8
Gambar 1: Patofisiologi penurunan kesadaran pada ensefalopati15

Dalam sejumlah penyakit yang mengganggu kesadaran, ada gangguan


langsung dengan aktivitas metabolisme sel-sel saraf di korteks serebral dan inti
pusat otak. Hipoksia, iskemia global, hipoglikemia, keadaan hiper dan
hipoosmolar, asidosis, alkalosis, hipokalemia, hiperamonemia, hiperkalsemia,
hiperkarbia, keracunan obat, dan defisiensi vitamin berat adalah contoh-contoh
yang sudah dikenal. Secara umum, hilangnya kesadaran dalam kondisi ini
sejajar dengan pengurangan metabolisme otak. Misalnya, dalam kasus iskemia
global, di mana oksigen dan glukosa dikeluarkan dari otak, penurunan akut
aliran darah otak (CBF) ke 25 mL / menit / 100 g jaringan otak dari normal 55
mL / menit / 100 g menyebabkan perlambatan EEG dan sinkop atau gangguan
kesadaran; penurunan CBF di bawah 12 hingga 15 mL / mnt / 100 g
menyebabkan keheningan, koma, dan penghentian sebagian besar fungsi
metabolisme dan sinaptik neuronal. Tingkat iskemia yang lebih rendah
ditoleransi jika diperoleh lebih lambat, tetapi neuron tidak dapat bertahan hidup
ketika aliran berkurang di bawah 8 hingga 10 mL / menit / 100 g. Konsumsi
oksigen 2 mg / mnt / 100 g (kira-kira setengah dari normal) tidak sesuai dengan

9
keadaan siaga. Pada tipe lain dari ensefalopati metabolik, atau dengan
kerusakan anatomis yang luas pada hemisfer, aliran darah mungkin tetap
mendekati normal sementara metabolisme sangat berkurang. Pengecualian
untuk pernyataan ini adalah koma yang muncul dari kejang, di mana
metabolisme dan aliran darah sangat meningkat. Suhu ekstrem tubuh (di atas
41 ° C [105,8 ° F] atau di bawah 30 ° C [86 ° F]) juga memicu koma melalui
efek tidak spesifik pada aktivitas metabolisme neuron. Beberapa perubahan
metabolisme ini mungkin mencerminkan epifenomena, pada setiap ensefalopati
tertentu, tipe disfungsi spesifik pada neuron dan sel-sel pendukungnya.4

Toksin metabolik endogen yang bertanggung jawab atas koma tidak selalu
dapat diidentifikasi. Pada diabetes, badan aseton (asam asetoasetat, asam-
hidroksibutirat, dan aseton) hadir dalam konsentrasi tinggi; pada uremia,
mungkin ada akumulasi racun molekuler kecil yang dapat dialyzable, terutama
turunan fenolik dari asam amino aromatik. Pada koma hepatik, peningkatan
darah NH3 (ammonia) menjadi 5 hingga 6 kali tingkat normal secara kasar
sesuai dengan tingkat koma. Asidosis laktat dapat mempengaruhi otak dengan
menurunkan pH darah arteri menjadi kurang dari 7,0. Gangguan kesadaran
yang menyertai insufisiensi paru terkait terutama dengan hiperkapnia. Ini
bukan untuk mengatakan bahwa efek toksik dari molekul-molekul ini telah
dikonfirmasi atau dipahami dengan baik, sebagaimana dicatat di bawah ini.
Pada hiponatremia akut (Na <120 mEq / L) apa pun penyebabnya, disfungsi
neuron mungkin merupakan akibat dari pergerakan air intraseluler, yang
menyebabkan pembengkakan neuron dan hilangnya kalium klorida dari sel.
Cara kerja racun bakteri tidak sepenuhnya dipahami.4

Gegar otak memberi contoh mekanisme patofisiologis khusus lain dari


koma. Dalam cedera kepala tertutup, telah ditunjukkan bahwa pada saat cedera
konkusif ada peningkatan besar dalam tekanan intrakranial, pada urutan 200
hingga 700 lb / in2, yang berlangsung sepersekian ribu detik. Getaran yang
terjadi di tengkorak dan ditransmisikan ke otak selama bertahun-tahun

10
dianggap sebagai dasar dari kelumpuhan fungsi saraf yang tiba-tiba yang
mencirikan cedera kepala konkusif (commotio cerebri). Lebih mungkin bahwa
gerakan berputar-putar otak yang disebabkan oleh percepatan atau perlambatan
dari pukulan ke kepala menghasilkan rotasi (torsi) belahan otak di sekitar poros
batang otak bagian atas. Gangguan fungsi neuron dalam beberapa cara yang
tidak diketahui adalah penyebab langsung hilangnya kesadaran. Kekuatan fisik
yang sama ini, ketika ekstrem, menyebabkan lesi robek multipel atau
perdarahan di diencephalon dan batang otak bagian atas. 4

Pada ensefalopati hipertensi, dapat terjadi dua mekanisme patofisiologi,


yang pertama, terjadi reaksi autoregulasi yang berlebihan. Kenaikan tekanan
darah yang mendadak menimbulkan reaksi vasospasme hebat arteriol disertai
penurunan aliran darah otak dan iskemik. Vasospasme dan iskemik ini
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, nekrosis, fibrinoid, dan
pendarahan kapiler yang selanjutnya mengakibatkan kegagalan sawar darah
otak sehingga dapat menimbulkan edema otak. 5

Mekanisme kedua justru kegagalan autoregulasi, yakni tekanan darah tinggi


yang melampaui batas regulasi dan mendadak mnyebabkan kegagalan
autoregulasi, sehingga alih-alih terjadi vasokonstriksi tetapi justru vasodilatasi.
Vasodilatasi awalnya terjadi secara segmental (sausage string pattern), tapi
akhirnya menjadi difus. Permeabilitas segmen edotel yang dilatasi terganggu
sehingga menyebabkan ekstravasasi komponen plasma yang akhirnya
menimbulkan edema otak. 5

Aliran darah ke otak pada penderita hipertensi kronis tidak mengalami


perubahan bila mean arterial preassure (MAP) 120-160mmHg, sedangkan
pada penderita hiperteni baru dengan MAP di antara 60-120mmHg. Pada
keadaan hiperkapnia, autoregulasi menjadi lebih sempit dengan batas tertinggi
125mmHg, sehingga perubahan yang sedikit saja dari tekanan darah
menyebabkan asidosis otak akan mempercepat timbulnyan edema otak. 5

11
2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding

1. Pendekatan Klinis kepada Pasien Dengan Penurunan Kesadaran

Penyelidikan kemudian dibuat mengenai kesehatan pasien sebelumnya,


apakah ada riwayat diabetes, cedera kepala, kejang-kejang, penggunaan
alkohol atau obat-obatan, atau episode koma sebelumnya atau percobaan bunuh
diri, dan keadaan di mana seseorang ditemukan. Orang yang menemani pasien
koma ke rumah sakit harus didorong untuk tetap tinggal sampai mereka
dianamnesa.4

Dalam menilai keadaan penurunan kesadaran pada pasien yang sudah


dirawat di rumah sakit, paling bermanfaat untuk meninjau obat-obatan pasien
dengan hati-hati. Sejumlah besar senyawa dapat mengurangi kewaspadaan ke
titik mengantuk atau pingsan yang mendalam, terutama jika ada masalah medis
yang mendasarinya (misalnya, gagal hati). Yang menonjol dalam daftar
intoksikasi obat iatrogenik adalah anestesi, sedatif, obat antiepilepsi, opiat,
antidepresan, dan senyawa antipsikosis. Dari survei awal, banyak penyebab
umum koma, seperti cedera kepala yang parah, alkohol atau bentuk keracunan
obat lainnya, dan pendarahan otak hipertensi, mudah dikenali. 4

2. Pemeriksaan Umum

Perubahan tanda-tanda vital (suhu, denyut jantung, laju pernapasan, dan


tekanan darah) adalah alat bantu penting dalam diagnosis. Demam paling
sering disebabkan oleh infeksi sistemik seperti pneumonia atau meningitis
bakteri atau ensefalitis virus. Temperatur tubuh yang terlalu tinggi (107,6 ° F)
atau 43,4 ° C yang dikaitkan dengan kulit kering harus menimbulkan
kecurigaan heat stroke atau keracunan oleh obat dengan aktivitas
antikolinergik. Demam tidak boleh dianggap berasal dari lesi otak yang telah
mengganggu pusat pengatur suhu, yang disebut demam pusat, yang jarang
terjadi. Hipotermia diamati pada pasien dengan keracunan alkohol atau

12
barbiturat, tenggelam, paparan dingin, kegagalan sirkulasi perifer, meningitis
tuberkulosis lanjut, dan miksedema. 4

Pernafasan lambat menunjukkan intoksikasi opiat atau barbiturat dan


kadang-kadang pada hipotiroidisme, sedangkan pernafasan yang dalam dan
cepat (pernapasan Kussmaul) harus menunjukkan adanya pneumonia, asidosis
diabetes atau uremik, edema paru, atau lebih jarangnya terjadi penyakit
intrakranial yang menyebabkan pusat. hiperventilasi neurogenik. Penyakit yang
meningkatkan tekanan intrakranial atau merusak otak sering menyebabkan
pernapasan Cheyne-Stokes lambat, tidak teratur, atau siklik. Berbagai pola
pernapasan yang tidak teratur dan signifikansi klinisnya harus mendapat
perhatian. Muntah pada awal koma mendadak, terutama jika dikombinasikan
dengan hipertensi yang diucapkan, adalah karakteristik yang sangat dari
pendarahan otak di dalam belahan otak, batang otak, otak kecil, atau ruang
subaraknoid. Denyut jantung, jika sangat lambat, menunjukkan blok jantung
dari obat-obatan seperti antidepresan trisiklik atau antikonvulsan, atau jika
dikombinasikan dengan pernapasan dan hipertensi berkala, peningkatan
tekanan intrakranial. Hipertensi yang mencolok diamati pada pasien dengan
pendarahan otak dan pada ensefalopati hipertensi dan pada anak-anak dengan
peningkatan tekanan intrakranial yang nyata. Hipotensi adalah penemuan biasa
dalam keadaan kesadaran yang tertekan karena diabetes, alkohol atau
intoksikasi barbiturat, perdarahan internal, infark miokard, pembedahan
aneurisma aorta, septikemia, penyakit Addison, atau trauma otak masif.4

Pemeriksaan kulit dapat menghasilkan informasi yang berharga. Sianosis


pada bibir dan kuku menunjukkan oksigenasi yang tidak adekuat. Warna merah
ceri adalah tipikal keracunan karbon monoksida. Memar multipel (terutama
memar atau daerah berawa di kulit kepala), perdarahan, kebocoran CSF dari
telinga atau hidung, atau perdarahan periorbital sangat meningkatkan
kemungkinan fraktur kranial dan trauma intrakranial. Telangiektase dan
hiperemia pada wajah dan konjungtiva adalah stigmata umum dari

13
alkoholisme; myxedema memberikan sifat bengkak pada wajah, dan
hypopituitarism memiliki karakteristik kulit yang sama. Pucat yang ditandai
menunjukkan pendarahan internal. Ruam makula-hemoragik menunjukkan
kemungkinan infeksi meningokokus, endokarditis stafilokokus, tipus, atau
demam Rocky Mountain. Keringat berlebihan menunjukkan hipoglikemia atau
syok, dan kulit terlalu kering, asidosis diabetikum atau uremia. Lepuh besar,
kadang-kadang berdarah, dapat terbentuk di atas titik-titik tekanan seperti
bokong jika pasien tidak bergerak selama beberapa waktu; tanda ini adalah ciri
khas dari keadaan barbiturat akut, alkohol, dan keracunan opiat yang sangat
tidak responsif dan berkepanjangan. Trombotik thrombocytopenic purpura
(TTP), koagulasi intravaskular diseminata, dan emboli lemak dapat
menyebabkan petekia difus atau purpura; yang terakhir ini sering dikumpulkan
dalam lipatan aksila anterior.4

Bau nafas dapat memberikan petunjuk etiologi koma. Alkohol mudah


dikenali (kecuali vodka, yang tidak berbau). Bau buah busuk dari koma
ketoasidotik diabetik, bau uriniferus dari uremia, bau musk dan sedikit bau
tinja dari koma hepatik, dan bau almond yang terbakar dari keracunan sianida
cukup khas untuk diidentifikasi oleh dokter yang memiliki indra penciuman
yang tajam. Bau khas melena memberi petunjuk untuk perdarahan
gastrointestinal yang cepat.4

3. Pemeriksaan Neurologis Pasien Stuporous atau Comatose

Meskipun terbatas dalam beberapa hal dibandingkan dengan pemeriksaan


pasien waspada, pemeriksaan neurologis pasien koma relatif sederhana dan
sangat penting. Cukup mengawasi pasien selama beberapa saat sering
menghasilkan informasi yang cukup. Postur tubuh yang dominan; ada atau
tidak adanya gerakan spontan di satu sisi; posisi kepala dan mata; dan
kecepatan, kedalaman, dan ritme pernapasan memberikan informasi penting.
Keadaan responsif kemudian diperkirakan dengan mencatat reaksi pasien untuk
memanggil namanya, dengan perintah sederhana, atau terhadap rangsangan

14
berbahaya seperti menggelitik nares, tekanan supraorbital atau stern, menjepit
sisi leher atau bagian dalam lengan atau paha, atau memberi tekanan pada
buku-buku jari. Dengan secara bertahap meningkatkan kekuatan rangsangan
ini, seseorang dapat memperkirakan secara kasar tingkat ketidaktanggapan dan
perubahan dari jam ke jam. Vokalisasi mungkin bertahan dalam keadaan stupor
dan merupakan respons pertama yang hilang saat koma muncul. Meringis dan
gerakan menghindar cekatan dari bagian tubuh yang terstimulasi dipertahankan
dalam keadaan pingsan; menandakan integritas kortikobulbar dan traktus
kortikospinalis. Menguap dan pergeseran posisi tubuh secara spontan
mengindikasikan tingkat ketidakresponsan yang minimal. Tanda-tanda ini telah
dirangkum secara elegan oleh Fisher berdasarkan pengamatannya sendiri.
Glasgow Coma Scale yang diadopsi secara luas, dibangun pada awalnya
sebagai cara cepat dan sederhana untuk mengukur respon pasien dengan
trauma otak, dapat digunakan dalam penilaian penyakit-penyakit penghasil
koma akut lainnya. Beberapa skala lain telah dirancang dan digunakan di
berbagai unit.4

Biasanya mungkin untuk menentukan apakah penurunan kesadaran


dikaitkan dengan iritasi meningeal. Pada semua kecuali tahap koma yang
paling dalam, iritasi meningeal dari meningitis bakteri atau perdarahan
subaraknoid akan menyebabkan resistensi terhadap fleksi leher secara pasif
tetapi tidak pada ekstensi, putaran, atau memiringkan kepala. Ini adalah tanda
iritasi meningeal yang agak spesifik tetapi agak tidak sensitif. Resistensi
terhadap pergerakan leher ke segala arah dapat menjadi bagian dari kekakuan
otot umum (seperti pada keracunan fenotiazin) atau mengindikasikan penyakit
tulang belakang leher. Pada bayi, penonjolan fontanel anterior kadang-kadang
merupakan tanda meningitis yang lebih andal daripada leher kaku. Lobus
temporal atau herni serebelar atau kekakuan dekerebrata juga dapat
menciptakan resistensi terhadap fleksi leher yang pasif dan dikacaukan dengan
iritasi meningeal.4

15
Lesi yang menyebabkan koma di belahan otak dapat dideteksi, meskipun
pasien koma, dengan pengamatan yang cermat terhadap gerakan spontan,
respons terhadap stimulasi, postur yang berlaku, dan dengan pemeriksaan saraf
kranial. Hemiplegia diungkapkan oleh kurangnya gerakan anggota badan yang
gelisah di satu sisi dan oleh gerakan perlindungan yang tidak memadai dalam
menanggapi rangsangan yang menyakitkan. Anggota tubuh yang lemah
biasanya kendur dan, jika diangkat dari tempat tidur, mereka "jatuh." Kaki
hemiplegik terletak pada posisi rotasi eksternal (ini mungkin juga disebabkan
oleh tulang paha yang patah), dan paha yang terkena tampak lebih luas dan
lebih rata daripada yang bukan cedera. Saat ekspirasi, pipi dan bibir
membengkak di sisi wajah yang lumpuh. Lesi di satu belahan otak
menyebabkan mata harus berpaling dari sisi yang lumpuh (menuju lesi, seperti
dijelaskan di bawah); sebaliknya terjadi pada lesi batang otak. Dalam
kebanyakan kasus, hemiplegia dan tanda Babinski yang menyertainya
merupakan indikasi lesi hemispheral kontralateral; tetapi dengan efek massa
lateral dan kompresi tangkai serebral yang berlawanan terhadap tentorium,
rigiditas ekstensor, tanda Babinski, dan kelemahan lengan dan tungkai dapat
tampak ipsilateral terhadap lesi (tanda Kernohan-Woltman yang disebutkan
sebelumnya). Erangan atau meringis dapat dipicu oleh rangsangan yang
menyakitkan diterapkan pada satu sisi tetapi tidak ke sisi lain, mencerminkan
hemianesthesia. Selama meringis sebagai respons terhadap rangsangan,
kelemahan wajah dapat dicatat.4

Dari berbagai indikator fungsi batang otak, yang paling berguna adalah
ukuran dan reaktivitas pupil, gerakan mata, refleks okulovestibular, dan, pada
tingkat lebih rendah, pola pernapasan. Fungsi-fungsi ini, seperti halnya
kesadaran itu sendiri, bergantung pada integritas struktur di otak tengah dan
rostral.4

16
Reaksi pupil sangat penting diagnostik pada pasien koma. Pupil yang
diperbesar secara unilateral (diameter 5,5 mm) adalah indikator awal
peregangan atau kompresi saraf ketiga dan mencerminkan adanya massa
hemispheral ipsilateral di atasnya seperti yang dijelaskan sebelumnya pada
bagian herniasi. Hilangnya reaksi cahaya biasanya mendahului pembesaran
pupil. Sebagai fenomena transisi, pupil dapat menjadi oval atau berbentuk buah
pir atau tampak tidak berpusat (corectopia) karena kehilangan persilangan
diferensial dari sebagian sfingter pupil. Pupil yang tidak reaktif terus membesar
hingga ukuran diameter 6 hingga 9 mm dan segera diikuti oleh sedikit deviasi
mata. Dalam kasus yang tidak biasa, pupil kontralateral terhadap massa dapat
membesar lebih dulu; ini dilaporkan terjadi pada 10 persen hematoma subdural
tetapi jauh lebih jarang dalam pengalaman kami. Ketika perpindahan otak
tengah berlanjut, kedua pupil membesar dan menjadi tidak reaktif terhadap
cahaya, mungkin sebagai akibat dari kompresi inti okulomotor di otak tengah
rostral. Langkah terakhir dalam evolusi kompresi batang otak cenderung
sedikit pengurangan ukuran pupil di kedua sisi, menjadi 5 mm atau lebih kecil.
Ukuran pupil normal, bentuk, dan refleks cahaya mengindikasikan integritas
struktur otak tengah dan perhatian langsung pada penyebab koma selain
massa.4
Lesi pontine tegmental menyebabkan pupil yang sangat miotik (diameter <1
mm) dengan reaksi yang hampir tidak terlihat terhadap cahaya yang kuat; ini
adalah karakteristik fase awal perdarahan pontine. Dilatasi pupil ipsilateral
karena menjepit sisi leher (refleks ciliospinal) biasanya hilang pada lesi batang
otak. Sindrom Horner (miosis, ptosis, dan berkurangnya keringat wajah) dapat
diamati ipsilateral hingga lesi batang otak atau hipotalamus atau sebagai tanda
diseksi arteri karotis interna.4

Dengan koma yang disebabkan oleh keracunan obat dan gangguan


metabolisme intrinsik, reaksi pupil biasanya terhindar, tetapi ada beberapa
pengecualian. Konsentrasi opiat serum yang cukup tinggi untuk menyebabkan
koma memiliki tanda yang menunjukkan pupil yang konsisten, dengan

17
penyempitan cahaya yang mungkin sangat kecil sehingga hanya dapat
dideteksi dengan kaca pembesar. Barbiturat dosis tinggi dapat bertindak
serupa, tetapi diameter pupil cenderung 1 mm atau lebih. Keracunan sistemik
dengan atropin atau dengan obat-obatan yang memiliki kualitas atropinik,
terutama antidepresan trisiklik, ditandai oleh dilatasi luas dan kekakuan pupil
murid. Hippus, atau ukuran pupil yang fluktuatif, kadang-kadang merupakan
karakteristik dari ensefalopati metabolic.4

Pergerakan gelisah dari kedua lengan dan kedua kaki serta gerakan
menggenggam dan memetik menandakan bahwa saluran kortikospinalis kurang
lebih intak. Perlawanan terhadap gerakan pasif (kekakuan paratonik), gerakan
penghindaran yang kompleks, dan gerakan perlindungan yang terpisah
memiliki arti yang sama; terutama jika mereka bilateral dan mereka
menandakan koma tidak dalam. Gerakan abduksi (jauh dari garis tengah)
memiliki signifikansi yang sama dan membedakan respons motorik dari postur,
dijelaskan di bawah ini. Epilepsi motorik fokal menunjukkan bahwa jalur
kortikospinalis ke sisi kejang masih utuh. Dengan kerusakan masif hemisfer
serebral, seperti yang terjadi pada perdarahan hipertensi atau oklusi arteri
serebral-karotid internal, aktivitas kejang dapat bermanifestasi semata-mata
pada tungkai ipsilateral, tungkai kontralateral dicegah untuk tidak
berpartisipasi dengan hemiplegia. Bentuk rumit gerakan semiivoluntary dapat
bermanifestasi pada sisi nonhemiparetik pada pasien dengan penyakit yang
luas di satu belahan; mereka mungkin mewakili beberapa jenis disinhibisi pola
pergerakan kortikal dan subkortikal. Gerakan koreore, athetotik, atau
hemiballistik menunjukkan adanya kelainan struktur ganglion dan subthalamik
basal, seperti yang terjadi pada pasien yang waspada.4

Hanya dalam bentuk paling lanjut dari keracunan dan koma metabolik,
seperti yang mungkin terjadi dengan nekrosis neuron anoksik di seluruh otak,
batuk, menelan, cegukan, dan pernapasan spontan semuanya dihapuskan.
Selanjutnya, refleks tendon dan plantar mungkin memberikan sedikit indikasi

18
tentang apa yang terjadi. Refleks tendon dipertahankan sampai tahap akhir
koma karena gangguan metabolisme dan intoksikasi. Dalam koma yang
disebabkan oleh infark otak besar atau perdarahan, refleks tendon mungkin
normal atau hanya berkurang pada sisi hemiplegia dan refleks plantar mungkin
awalnya tidak ada sebelum menjadi ekstensor. Respons fleksor plantar, respons
ekstensor yang berhasil, menandakan eter kembali ke keadaan normal atau,
dalam konteks memperdalam koma, transisi menuju kematian otak.4
Riwayat sakit kepala sebelum timbulnya koma, muntah, hipertensi berat,
bradikardia yang tidak dapat dijelaskan, dan perdarahan retina subhyaloid
(sindrom Terson) merupakan petunjuk langsung terhadap adanya peningkatan
tekanan intrakranial, biasanya dari salah satu jenis otak. pendarahan.
Papilledema berkembang dalam 12 hingga 24 jam dalam kasus trauma otak
dan perdarahan, dan jika terlihat ketika koma supervenes, biasanya
menandakan tumor otak atau abses, yaitu lesi dengan durasi lebih lama.
Peningkatan tekanan intrakranial menghasilkan koma dengan menghambat
aliran darah otak global; tetapi ini hanya terjadi pada tingkat tekanan yang
sangat tinggi. Tekanan yang meningkat dalam satu kompartemen
menggantikan struktur pusat dan menghasilkan serangkaian tanda "pelokalan
yang salah" karena distorsi lateral jaringan otak dalam dan herniasi.4

Sindrom hidrosefalus akut, paling sering dari perdarahan subaraknoid atau


dari obstruksi sistem ventrikel oleh tumor di fossa posterior, menginduksi
keadaan abulia (memperlambat responsif), diikuti oleh pingsan, dan kemudian
koma dengan tanda-tanda Babinski bilateral. Pupilnya kecil dan nada di
kakinya meningkat. Tanda-tanda hidrosefalus dapat disertai dengan sakit
kepala dan hipertensi sistemik, yang dimediasi melalui peningkatan tekanan
intrakranial.4

Kecuali jika penyebab koma ditegakkan segera oleh anamnesis dan


pemeriksaan fisik, menjadi perlu untuk melakukan sejumlah prosedur
laboratorium. Pada pasien dengan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial

19
atau indikasi perpindahan otak, CT scan atau MRI harus diperoleh sebagai
prosedur utama. Pungsi lumbal, walaupun membawa risiko kecil tertentu yang
menyebabkan herniasi lebih lanjut, tetap diperlukan dalam beberapa kasus
untuk menyingkirkan meningitis bakteri atau ensefalitis. Jika keracunan atau
overdosis obat dicurigai, aspirasi dan analisis isi lambung kadang-kadang
bermanfaat, tetapi ketergantungan yang lebih besar harus diberikan pada
analisis kromatografi darah dan urin ("skrining toksik"). Sarana yang akurat
tersedia untuk mengukur konsentrasi fenitoin dan obat antiepilepsi darah
lainnya, opiat, diazepine, barbiturat, alkohol, dan berbagai zat beracun lainnya.
Prosedur penyaringan ini sangat bervariasi antara rumah sakit dan racun
tertentu harus dicari secara spesifik. Spesimen urin diperoleh oleh kateter untuk
menentukan berat jenis dan untuk kadar glukosa, aseton, dan protein.
Proteinuria juga dapat ditemukan selama 2 atau 3 hari setelah perdarahan
subaraknoid atau dengan demam tinggi. Urin dengan gravitasi spesifik tinggi,
glikosuria, dan asetonuria terjadi hampir selalu pada koma diabetes; tetapi
glikosuria sementara dan hiperglikemia dapat diendapkan hanya oleh lesi
serebral yang masif. Hitungan darah harus diperoleh, dan di daerah endemik
malaria, apusan darah harus diperiksa untuk parasit. Leukositosis neutrofilik
terjadi pada infeksi bakteri dan peningkatan ringan dari jumlah sel darah putih
juga dengan pendarahan otak dan infark, meskipun jarang melebihi 12.000 /
mm3. Darah vena harus diperiksa untuk konsentrasi glukosa, urea, karbon
dioksida, bikarbonat, amonia, natrium, kalium, klorida, kalsium, dan AST
(aspartate serum transaminase); analisis gas darah dan karboksihemoglobin
harus diperoleh pada kasus anoksia yang sesuai atau pajanan terhadap karbon
monoksida.4
Harus diingat bahwa gangguan keseimbangan air dan natrium, tercermin
dalam hiper atau hiponatremia, mungkin merupakan akibat dari penyakit otak
(sekresi hormon antidiuretik [ADH] berlebih, diabetes insipidus, pelepasan
faktor natriuretik atrium), serta menjadi penyebab langsung koma.4

20
Tabel 1: Klasifikasi Penurunan Kesadaran dan Diagnosa Banding4

Kelompok Penyakit Temuan Temuan Penanda


Umum Spesifik Klinis Penunjang Penting
Penting
Penurunan Perdarahan Hemiplegia, CT scan + Timbulnya tiba-
kesadaran serebral hipertensi, tiba, sering
dengan pernapasan disertai sakit
tanda fokal siklik, tanda kepala, muntah;
atau okular riwayat
lateralisasi spesifik hipertensi kronis;
keterlambatan
pembesaran
pupil
Oklusi arteri Postur CT awal yang Subakut onset
basilar (trombotik ekstensor normal; MRI (trombosis), atau
atau emboli) dan tanda- menunjukkan mendadak
tanda serebelum dan (emboli basilar
Babinski batang otak atau rostral)
bilateral; infark thalamik;
hilangnya CSF normal
respons
okulosefalika
awal; ocular
bobbing
Infark besar- Hemiplegia, CT dan MRI Penurunan
besaran dan pupil menunjukkan kesadaran
edema di wilayah unilateral edema hemisfer didahului oleh
karotis responsif yang masif rasa kantuk
atau selama beberapa
membesar hari setelah
stroke
Subdural Respirasi CT scan; Tanda atau
hematoma lambat atau Xanthochromic riwayat trauma,
siklik, CSF dengan protein sakit kepala,
tekanan yang relatif rendah kebingungan,
darah naik, kantuk progresif
hemiparesis,
pupil
membesar
unilateral
Trauma Tanda-tanda CT dan MRI Tekanan darah

21
Kelompok Penyakit Temuan Temuan Penanda
Umum Spesifik Klinis Penunjang Penting
Penting
cedera menunjukkan tidak stabil,
kranial dan kontusio otak dan terkait cedera
wajah cedera lainnya sistemik
Abses otak Tanda-tanda CT scan and MRI + Infeksi sistemik
neurologis atau prosedur
tergantung bedah saraf,
pada lokasi demam
Ensefalopati Tekanan CT ±; Tekanan CSF Evolusi akut atau
hipertensi; darah> meningkat subakut,
eklampsia 210/110 mm penggunaan obat
Hg (lebih aminofilin atau
rendah pada katekolamin
eklampsia
dan pada
anak-anak),
sakit kepala,
kejang,
perubahan
retina
hipertensi
Thrombotic Petechiae, Beberapa infark Mirip dengan
thrombocytopenic kejang kortikal kecil; emboli lemak;
purpura (TTP) mengubah trombositopenia mikrovaskulopati
tanda fokus multifokal
Penurunan Meningitis dan Kaku kuduk, CT scan ±; Onset akut atau
kesadaran ensefalitis tanda Kernig, pleositosis, subakut
tanpa demam, sakit peningkatan protein,
tanda fokal kepala glukosa rendah pada
atau CSF
lateralisasi, Perdarahan Pernafasan CT scan dapat Onset tiba-tiba
dengan subaraknoid yang keras, menunjukkan darah dengan sakit
tanda- hipertensi, dan aneurisma; CSF kepala parah
tanda leher kaku, berdarah atau
iritasi tanda Kernig xanthochromic di
meningeal bawah tekanan yang
meningkat
Penurunan Keracunan Hipotermia, Alkohol darah Dapat
kesadaran alkohol hipotensi, tinggi dikombinasikan
tanpa kulit dengan cedera

22
Kelompok Penyakit Temuan Temuan Penanda
Umum Spesifik Klinis Penunjang Penting
Penting
tanda memerah, kepala, infeksi,
neurologis napas berbau atau gagal hati
fokal atau alkohol
iritasi Keracunan obat Hipotermia, Obat dalam urin dan Riwayat asupan
meningeal; penenang hipotensi darah; EEG sering obat; percobaan
CT scan menunjukkan bunuh diri
dan CSF aktivitas cepat
normal
Keracunan opioid Respirasi Administrasi
lambat, nalokson
sianosis, menyebabkan
pupil yang awakening and
menyempit withdrawal signs
Keracunan Kulit Carboxyhemoglobin Nekrosis pucat
karbon berwarna
monoksida merah ceri
Iskemia global- Kekakuan, CSF normal; EEG Onset mendadak
anoksia postur mungkin isoelektrik setelah henti
deserebrata, atau menunjukkan jantung-paru;
demam, delta tegangan kerusakan
kejang, tinggi permanen jika
mioklonus anoksia melebihi
3-5 menit
Hipoglikemia Sama seperti Glukosa darah dan Karakteristik
pada anokisa CSF rendah evolusi lambat
melalui tahap-
tahap gugup,
lapar,
berkeringat,
muka memerah;
lalu pucat,
pernapasan
dangkal, dan
kejang
Koma diabetes Tanda-tanda Glikosuria, Riwayat poliuria,
defisit cairan hiperglikemia, polidipsia,
ekstraseluler, asidosis; penurunan berat
hiperventilasi mengurangi badan, atau
dengan bikarbonat serum; diabetes
respirasi ketonemia dan

23
Kelompok Penyakit Temuan Temuan Penanda
Umum Spesifik Klinis Penunjang Penting
Penting
Kussmaul, ketonuria, atau
napas "buah" hiperosmolaritas
Uremia Hipertensi; Protein dan dicetak Apatis progresif,
pucat, kulit dalam urin; nitrogen kebingungan,
kering, napas urea darah tinggi dan asterixis
berbau urin, dan kreatinin serum; mendahului
sindrom anemia, asidosis, koma
kejang- hipokalsemia
kejang
Ensefalopati Penyakit Peningkatan kadar Onset selama
hepatikum kuning, NH3 darah; CSF beberapa hari
asites, dan kuning (bilirubin) atau setelah
tanda-tanda dengan protein parasentesis atau
lain normal atau sedikit perdarahan dari
hipertensi meningkat varises;
portal; kebingungan,
asteriks stupor, asterixis,
dan perubahan
EEG yang khas
mendahului
koma
Hiperkapnia Papilledema, Tekanan CSF Penyakit paru
difusi meningkat; PCO2 lanjut; Koma
mioklonus, dapat melebihi 75 yang parah dan
asterixis mm Hg; Aktivitas kerusakan otak
theta dan delta EEG jarang terjadi

Infeksi berat Hipertermia Bervariasi sesuai Bukti infeksi


(syok septik); ekstrem, sebab spesifik atau
heat stroke pernapasan pajanan terhadap
cepat panas ekstrem
Kejang Gangguan Perubahan Sejarah serangan
perilaku karakteristik EEG sebelumnya
episodik atau
gerakan
kejang

24
4. Masalah dalam Diagnosis Diferensial Koma

Dengan menggunakan kriteria klinis yang diuraikan di atas, orang biasanya


dapat memastikan apakah suatu kasus koma termasuk dalam salah satu dari
tiga kategori ini. Mengenai kelompok tanpa tanda fokal atau lateralisasi atau
meningeal (yang mencakup sebagian besar ensefalopati metabolik, intoksikasi,
gegar otak, dan keadaan postseizure), harus diingat bahwa residua dari
penyakit neurologis sebelumnya dapat membingungkan gambaran klinis.
Dengan demikian, hemiparesis sebelumnya dari penyakit pembuluh darah atau
trauma dapat menegaskan kembali dirinya dalam perjalanan koma uremik atau
hati dengan hipotensi, hipoglikemia, asidosis diabetes, atau mengikuti kejang.
Pada ensefalopati hipertensi, tanda-tanda fokal juga mungkin ada. Kadang-
kadang, tanpa alasan yang dapat dipahami, satu kaki mungkin tampak kurang
bergerak, satu refleks plantar mungkin ekstensor, atau kejang mungkin
sebagian besar atau seluruhnya unilateral dalam koma metabolik, terutama
dalam keadaan hiperglikemik-hiperosmolar. Tanda-tanda Babinski dan
kekakuan ekstensor, yang secara konvensional dianggap sebagai indikator
penyakit struktural, kadang-kadang terjadi pada keracunan mendalam dengan
sejumlah agen.4

Diagnosis gegar otak atau koma postiktal tergantung pada pengamatan


peristiwa pencetus atau bukti tidak langsung. Seringkali, kejang kejang
ditandai dengan lidah tergigit, inkontinensia urin, dan fraksi otot creatine
kinase-skeletal yang meningkat; mungkin diikuti oleh kejang lain atau ledakan
kejang. Kehadiran gerakan klonik atau mioklonik kecil tangan atau kaki atau
berkibar-kibar kelopak mata atau mata mengharuskan EEG dilakukan untuk
menentukan apakah status epilepticus adalah penyebab koma. Keadaan ini,
yang disebut status nonconvulsive atau stupor spike-wave dan harus
dipertimbangkan dalam diagnosis koma yang tidak dapat dijelaskan, terutama
pada penderita epilepsi yang diketahui.4

25
Sehubungan dengan kelompok kedua dalam klasifikasi di atas dengan
tanda-tanda terutama iritasi meningeal (retraksi kepala, kekakuan leher pada
tekukan ke depan, tanda Kernig dan Brudzinski) meningitis bakteri dan
perdarahan subaraknoid merupakan penyebab yang biasa. Namun, jika koma
sangat dalam, leher kaku mungkin tidak ada pada bayi dan orang dewasa.
Dalam kasus seperti itu, cairan tulang belakang harus diperiksa untuk
menegakkan diagnosis. Dalam kebanyakan kasus meningitis bakteri, tekanan
CSF meningkat tetapi tidak terlalu tinggi (biasanya kurang dari 400 mm H2O).
Namun, dalam kasus yang berhubungan dengan pembengkakan otak, tekanan
CSF sangat meningkat; pupil mata menjadi kaku dan melebar, dan mungkin
ada tanda-tanda kompresi batang otak dengan terhentinya pernapasan. Pasien
yang koma akibat aneurisma pecah juga memiliki tekanan CSF tinggi; CSF
secara jelas berdarah dan darah selalu terlihat dalam CT scan di seluruh tangki
basal dan ventrikel jika perdarahan sudah cukup parah untuk menyebabkan
koma.4

Pada kelompok ketiga pasien, fokus tanda sensorimotor dan refleks pupil
dan okular yang abnormal, keadaan postural, dan pola pernapasan yang
memberikan petunjuk untuk lesi struktural yang serius di belahan otak dan efek
tekanannya pada fungsi batang otak segmental. Ketika fitur batang otak
menjadi lebih menonjol, mereka mungkin mengaburkan tanda-tanda awal
penyakit otak.4
Perlu ditekankan sekali lagi bahwa keadaan hati, hipoglikemik,
hiperglikemik, dan hipoksia yang dalam mungkin menyerupai koma karena lesi
batang otak di mana tanda motorik asimetris, kejang fokal, dan postur
dekerebrasi muncul dan koma yang dalam akibat keracunan obat dapat
melemahkan pergerakan mata yang refleks. . Sebaliknya, lesi struktural tertentu
pada belahan otak sangat menyebar sehingga menghasilkan gambaran yang
mensimulasikan gangguan metabolisme; thrombotic thrombocytopenic purpura
(TTP), embolisme lemak, vaskulitis, limfoma intravaskular, ensefalomielitis

26
diseminata akut, dan efek akhir iskemia-anoksia global adalah contoh dari
keadaan tersebut. Di lain waktu, mereka menyebabkan ensefalopati difus
dengan tanda-tanda fokus superimposed.4
Infark serebral unilateral karena oklusi arteri serebral anterior, tengah, atau
posterior menghasilkan tidak lebih dari kantuk, biasanya; Namun, dengan
infark unilateral masif sebagai akibat dari oklusi arteri karotis, koma dapat
terjadi jika edema otak yang luas dan pergeseran jaringan sekunder
berkembang. Ada kasus luar biasa di mana hasil pingsan dari infark masif dari
belahan dominan (kiri). Edema tingkat ini jarang berkembang sebelum 12 atau
24 jam. Hidrosefalus yang berevolusi dengan cepat menyebabkan kecilnya
pupil, respirasi cepat, kekakuan ekstensor kaki, tanda-tanda Babinski, dan
terkadang kehilangan gerakan mata.4

Akhirnya, harus dinyatakan kembali bahwa diagnosis memiliki tujuan


utama arah terapi. Penyebab penurunan kesadaran yang dapat diobati adalah
keracunan obat dan alkohol, syok akibat infeksi, gagal jantung, atau perdarahan
sistemik, uremia, hematoma epidural dan subdural, abses otak, meningitis
bakteri dan jamur, asidosis diabetes atau keadaan hiperosmolar, hipoglikemia,
hipo- atau hipernatremia, koma hepatik, uremia, status epileptikus, penyakit
Wernicke, ensefalopati Hashimoto, dan ensefalopati hipertensi. Juga dapat
diobati dengan tingkat yang bervariasi adalah perdarahan putaminal dan
serebelar, yang dapat dievakuasi dengan sukses; edema akibat stroke masif,
yang dapat diperbaiki dengan hemikraniektomi; dan hidrosefalus dari penyebab
apa pun, yang mungkin merespons drainase ventrikel.4

2.8 Tata Laksana

Pengobatan untuk ensefalopati bervariasi sesuai dengan penyebab dasarnya;


misalnya, anoksia jangka pendek hanya memerlukan terapi oksigen, sedangkan
keracunan uremik mungkin memerlukan dialisis dan transplantasi ginjal.
Konsekuensinya, obat-obatan spesifik dan program-program perawatan akan

27
ditentukan berdasarkan penyakit yang mendasarinya. Episode pertama dari
ensefalopati harus dievaluasi segera oleh dokter untuk berpotensi mendiagnosis
dan mengobati penyebab dasar; tindakan tersebut dapat membalikkan atau
membatasi gejala dan memengaruhi prognosis untuk ensefalopati. 3

Ketika pasien penurunan kesadaran pertama kali terlihat, jalan napas pasien
dibersihkan dan tekanan darah pulih; jika trauma telah terjadi, harus diperiksa
perdarahan dari luka atau organ yang pecah (mis., limpa atau hati). Dengan
hipotensi, penempatan akses vena dan pemberian cairan dan agen pressor,
oksigen, darah, atau larutan glukosa (lebih disukai setelah darah diambil untuk
penentuan glukosa dan tiamin diberikan) diutamakan daripada prosedur
diagnostik. Jika respirasi dangkal atau berat, atau jika ada emesis dengan
ancaman aspirasi, intubasi trakea dan ventilasi mekanik dilembagakan. Jalan
napas orofaringeal biasanya adekuat pada pasien koma yang bernafas normal.
Pasien yang sangat koma dengan respirasi dangkal membutuhkan intubasi
endotrakeal. Pasien dengan cedera kepala mungkin juga mengalami fraktur
vertebra serviks, dalam hal ini harus hati-hati dalam menggerakkan kepala dan
leher serta dalam intubasi agar sumsum tulang belakang rusak secara tidak
sengaja. 4

Pernafasan yang dangkal dan tidak teratur, pernapasan stertorous


(mengindikasikan obstruksi inspirasi), dan sianosis membutuhkan manajemen
jalan napas dan pemberian oksigen. Pasien pada awalnya harus ditempatkan
dalam posisi lateral sehingga sekresi dan muntah tidak memasuki cabang
trakeobronkial. Sekresi harus dihilangkan dengan pengisapan segera setelah
menumpuk; jika tidak mereka akan menyebabkan atelektasis dan
bronkopneumonia. Gas darah arteri harus diukur dan diamati lebih lanjut
dengan memantau saturasi oksigen. Ketidakmampuan pasien untuk melindungi
terhadap aspirasi dan adanya hipoksia atau hipoventilasi menentukan
penggunaan intubasi endotrakeal dan respirator tekanan positif.4

28
Manajemen syok, jika ada, lebih diutamakan daripada semua tindakan
diagnostik dan terapeutik lainnya. Bersamaan dengan itu, jalur intravena dibuat
dan sampel darah diambil untuk penentuan glukosa, obat-obatan penyebab, dan
elektrolit dan untuk tes fungsi hati dan ginjal. Nalokson, 0,5 mg, harus
diberikan intravena jika ada kemungkinan overdosis narkotika. Hipoglikemia
yang menghasilkan keadaan pingsan atau koma menuntut pemasukan glukosa,
biasanya 25 hingga 50 mL larutan 50 persen diikuti oleh infus 5 persen; ini
harus ditambah dengan tiamin. Sampel urin diperoleh untuk pengujian obat dan
glukosa. Jika diagnosisnya tidak pasti, kombinasi nalokson dan glukosa-tiamin
harus diberikan.4

Dengan perkembangan tekanan intrakranial yang meningkat dari lesi massa,


manitol, 25 hingga 50 g dalam larutan 20 persen, harus diberikan secara
intravena lebih dari 10 hingga 20 menit dan hiperventilasi dilembagakan jika
kerusakan terjadi, sebagaimana dinilai oleh pembesaran pupil atau koma yang
dalam. Pemindaian CT yang berulang memungkinkan dokter untuk mengikuti
ukuran lesi dan derajat edema yang terlokalisasi dan untuk mendeteksi
perpindahan jaringan otak. Dengan lesi otak yang masif, mungkin tepat untuk
menempatkan alat pengukur tekanan dalam tempurung kepala pasien yang
dipilih. Dalam kasus meningitis, antibiotik spektrum luas yang menembus
meninges dapat dilembagakan, terutama jika pungsi lumbal tertunda. 4

Seperti ditunjukkan di atas, aspirasi lambung dan lavage dengan saline


normal dapat bermanfaat secara diagnostik dan terapeutik dalam beberapa
kasus koma karena konsumsi obat. Salisilat, opiat, dan obat antikolinergik
(antidepresan trisiklik, fenotiazin, skopolamin), yang semuanya menginduksi
atonia lambung, dapat dipulihkan beberapa jam setelah konsumsi. Bahan
kaustik tidak boleh dirusak karena bahaya perforasi gastrointestinal. Pemberian
arang aktif ditunjukkan dalam keracunan obat tertentu. Tindakan untuk
mencegah pendarahan lambung dan sekresi asam lambung yang berlebihan
biasanya dianjurkan.4

29
Mekanisme pengatur suhu dapat terganggu, dan hipotermia ekstrim atau
hipertermia harus diperbaiki. Pada hipertermia berat, tindakan pendinginan
evaporatif diindikasikan sebagai tambahan terhadap antipiretik.4

Kandung kemih seharusnya tidak diizinkan membesar; jika pasien tidak bisa
buang air, dekompresi harus dilakukan dengan kateter yang menetap. Tidak
perlu dikatakan, pasien tidak boleh berbaring di ranjang yang basah atau
kotor.4

Penyakit SSP dapat mengganggu kontrol air, glukosa, dan natrium. Pasien
yang tidak sadar tidak bisa lagi menyesuaikan asupan makanan dan cairan
dengan rasa lapar dan haus. Baik sindrom kehilangan garam dan penahan
garam telah dideskripsikan dengan penyakit otak. Keracunan air dan
hiponatremia berat terbukti merusak. Jika koma berkepanjangan, pemasangan
NGT akan memudahkan masalah memberi makan pasien dan menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit. Cukup diterima untuk membiarkan NGT di
tempat untuk waktu yang lama. Jika tidak, sekitar 35 mL / kg cairan isotonik
harus diberikan per 24 jam (5% dekstrosa dalam salin 0,45 persen dengan
suplementasi kalium kecuali ada edema otak, dalam hal ini ditunjukkan
penggunaan saline normal isotonik).4
Pneumonia aspirasi dihindari dengan mencegah muntah (NGT dan ETT),
posisi pasien yang tepat, dan pembatasan cairan oral. Jika pneumonia aspirasi
terjadi, diperlukan pengobatan dengan antibiotik yang sesuai dan terapi fisik
paru yang agresif.4
Trombosis vena tungkai, kejadian umum pada pasien koma dan hemiplegia,
sering tidak memanifestasikan dirinya dengan tanda-tanda klinis yang jelas.
Suatu upaya dapat dilakukan untuk mencegahnya dengan pemberian heparin
subkutan, 5.000 U q12 jam, atau heparin dengan berat molekul rendah, dan
dengan menggunakan sepatu kompresi pneumatik yang terputus-putus.4
Jika pasien mampu bergerak, pengekangan yang sesuai harus digunakan
untuk mencegahnya jatuh dari tempat tidur dan untuk mencegah cedera diri

30
dari kejang-kejang. Pelumasan konjungtiva dan pembersihan oral secara teratur
harus dilakukan.4
2.9 Komplikasi
Ensefalopati sendiri biasanya merupakan komplikasi dari perjalanan
penyakit yang diderita pasien. Perubahan status mental dan gagal ginjal akut
10
ditemui pada semua pasien yang keracunan ganja sintetis. PRES
(posterior reversible encephalopathy syndrome) didiagnosis pada 7%
pasien PSA yang menjalani terapi IH (induced hypertension), paling sering
ketika MAP dinaikkan jauh di atas garis dasar ke tingkat yang melebihi
ambang batas autoregulasi tradisional. Kecurigaan tinggi untuk gangguan
reversibel ini muncul dalam menghadapi kerusakan neurologis yang tidak
dapat dijelaskan selama IH agresif.11 Setelah jangka waktu yang lama dari
serangan jantung yang disertai ensefalopati hipoksik, perkembangan kondisi
vegetatif menghasilkan ketergantungan penuh dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari. Lebih sering, gangguan klinis individu seperti kejang, gangguan
gerakan, demensia, kebutaan kortikal, inkontinensia, dan kelainan
neurologis lainnya bertahan setelah terbangun dari koma hipoksik-iskemik.
Biasanya pasien ini tetap cacat berat akibat gangguan neurologis mereka. Di
antara pasien yang mendapatkan kembali kemandirian, disfungsi kognitif
12
dan gangguan memori sering membatasi pemulihan neurologis lengkap.
Meskipun jarang, ensefalopati hepatik dapat menyebabkan kejang, sehingga
harus dipertimbangkan kemungkinan ini pada pasien jika ada riwayat
penyakit hati yang diketahui. Sampai masalah hati yang mendasarinya
diatasi, pasien mungkin tidak respon terapi anti-kejang tradisional untuk
13
kejang mereka. Meskipun ensefalopati Wernicke bersifat reversibel,
komplikasi besar dapat timbul pada wanita hamil dan anaknya yang belum
lahir. Di pihak ibu, tanpa penatalaksanaan aktif, ensefalopati Wernicke
dapat menyebabkan lesi neurologis permanen dan sindrom Korsakoff, yang
berakibat fatal pada 10-20% kasus. Di sisi janin, ensefalopati Wernicke

31
dapat menyebabkan keguguran, kelahiran prematur, dan retardasi
14
pertumbuhan intrauterin.
2.10 Prognosis
Pemulihan dari ensefalopati metabolik dan toksik jauh lebih baik
daripada koma anoksik, dengan cedera kepala menempati posisi
prognostik menengah. Sebagian besar pasien yang koma akibat stroke
akan mati; perdarahan subaraknoid di mana koma merupakan akibat
hidrosefalus adalah pengecualian dan kasus-kasus di mana pergeseran
otak berkurang dengan kraniektomi juga merupakan pengecualian.
Sehubungan dengan semua bentuk koma, tetapi terutama setelah henti
jantung, jika tidak ada respons pupil, kornea, atau okulovestibular dalam
beberapa jam setelah koma, kemungkinan mendapatkan kembali fungsi
independen praktis nol. Tanda-tanda lain yang memprediksi hasil yang
buruk adalah tidak adanya refleks kornea, respons yang membuka mata,
atonia tungkai pada 1 dan 3 hari setelah timbulnya koma, dan tidak
adanya komponen kortikal dari somatosensori yang menimbulkan
respons di kedua. Adalah penyintas yang malang dari kelompok yang
terakhir ini yang mungkin tetap dalam keadaan vegetatif selama
berbulan-bulan atau bertahun-tahun, bernapas tanpa bantuan dan dengan
fungsi hipotalamopituitari yang dipertahankan. 4

32
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. Y
Umur : 74 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Alamat : Talang
Satus Perkawinan : Menikah
Negara Asal : Indonesia
Suku : Minang
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 25 Desember 2019

3.2. ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki usia 74 tahun datang ke IGD RSUD M. Natsir Solok
pada tanggal 25 Desember 2019 dengan:
1. Keluhan Utama:
Penurunan kesadaran sejak ± 5 jam SMRS.
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
- Penurunan kesadaran tiba-tiba (+).
- Kejang (+) seluruh tubuh, selama ± 45 menit, pasien tidak sadar
setelah kejang.
- Pasien mengeluhkan sakit kepala dan pusing sesaat sebelum kejang.
- Mual (-), muntah (-)
3. Riwayat penyakit Dahulu
- Riwayat hipertensi, DM, kejang, dan stroke disangkal.
4. Riwayat pengobatan:
Pasien tidak sedang dalam pengobatan.

33
5. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang miliki riwayat kejang.
6. Riwayat pekerjaan, sosial, ekonomi, kejiwaan, dan kebiasaan
- Pasien seorang pensiunan PNS
- Sehari-hari pasien beraktivitas ringan, dapat berkomunikasi dengan baik
dengan orang lain.
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
- Keadaan umum : Berat
- Kesadaran : Comatose E1M1V1
- Tekanan darah : 190/110 mmHg
- Nadi : 112
- Nafas : 30
- Suhu : 370 C
- Saturasi oksigen : 91%
- Mata : Konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, pupil
isokor +/+, reflex cahaya +/+
- Jantung : irama regular, bising (-)
- Paru : Suara nafas vesikuler, rhonki +/+, wheezing
-/-
- Abdomen : supel, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-),
nyeri lepas (-)
- Ekstrimitas : akral hangat, CRT < 2 detik
2. Status Neurologikus
Kesadaran koma, GCS 3 (E1M1V1)

1. Tanda Rangsangan Selaput Otak


Kaku kuduk : (-)
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : (-)
Tanda Kernig : (-)

34
1. Tanda Peningkatan Tekanan Intrakranial
Pupil : Isokor, Ø 3mm/3 mm, Refleks cahaya +/+ Reflek kornea +/+
2. Pemeriksaan Nervus Kranialis
Tidak dapat dilakukan karena pasien mengalami penurunan kesadaran
3. Sistem Refleks
A. Fisiologis Kanan Kiri
Biseps (++) (++)
Triseps (++) (++)
KPR (++) (++)
APR (++) (++)
B. Patologis Kanan Kiri
Lengan
Hofmann Tromner (-) (-)
Tungkai
Babinski (-) (-)
Chaddoks (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Klonus paha (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)

4. Fungsi Otonom
Miksi : baik
Defikasi : Tidak dilakukan
Keringat : baik

35
5. Fungsi Luhur
Kesadaran Tanda Demensia
Reaksi bicara Tidak dapat Refleks glabela (-)
dilakukan
reaksi intelek Tidak dapat Refleks Snout (-)
dilakukan
pemeriksaan
Reaksi emosi Tidak dapat Refleks (-)
dilakukan Menghisap
pemeriksaan
Refleks (-)
Memegang
Refleks (-)
palmomental

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Hematologi IGD 25/12/2019

Hb : 12,6 g/dl

Ht : 37,2%

Leukosit : 12700/mm3

Trombosit : 219.000/mm3

GDS : 135 mg/dl

Ureum : 26 mg/dl

Kreatinin : 1,19 mg/dl

Na/K/Cl : 124/3,6/111 Mmol/L

Kesan: Leukositosis, hiponatremia

36
EKG: sinus takikardi

3.5 DIAGNOSA KERJA

Diagnosis Klinis : Status convulsivus + acute symptom seizure

Diagnosis Topik : Hemisfer serebri

Diagnosis Etiologi : Metabolik

Diagnosis Sekunder : Hiponatremia + CAP

3.6 TATALAKSANA
1. O2 NRM 15 L/menit
2. IVFD NaCl 5cc cc 12 jam/ kolf
3. Inj. Diazepam 10 mg I.V. bila kejang, maks 3 ampul/ hari
4. Amlodipine 10 mg P.O.
5. Inj. Ceftriaxone 1x2 gr IV
6. Inj. Omeprazole 1x40 mg IV
7. Asam folat 2x5 mg P.O

37
3.7 PROGNOSIS
Quo ad sanam : dubia
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionum : dubia
3.8 FOLLOW UP

No Tanggal Ringkasan Penyakit Assesment Terapi

1 26/12/19 S: Gelisah (+) kejang (-) - Status - IVFD NaCl 3%


convulsivus 500cc /12 jam
O: + acute - Inj. Ceftriaxon 2
symptom gram/24 jam
KU: Berat Kes: E3 M4 V2 - Inj OMZ 1x40 mg
seizure
- Inj diazepam 10 mg
TD: 205/100 HR: 94x/menit bila kejang, maks 3
- Hiponatremi
kali per hari
RR: 20x/menit T : 37 C a - Amlodipin 1x10 mg
- Asam folat 2x5 mg
SaO2 : 100%

Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera


ikterik (-/-), pupil isokor (+/+), reflex
cahaya (+/+)

Leher: pembesaran KGB (-), Peningkatan


JVP (-)

Paru: simetris, sonor (+/+), SN vesikuler


(+/+), Ronki (+ /+), Wheezing (-/-)

Cor: BJ I-II normal, bising (-), murmur (-),


Gallop (-)

Abdomen: supel, BU (+) Normal, Timpani


(+), Nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan
lien tidak teraba.

Ekstremitas: Akral hangat (+), CRT


<2’’/<2’’

Refleks fisiologis: +/+//+/+

38
Refleks patologis: (-/-)

2 27/12/19 S: Gelisah (+) kejang (-) - Status - IVFD NaCl 0,9%


convulsivu 500cc /12 jam
O: s + acute - Inj. Ceftriaxon 2
symptom gram/24 jam
KU: Berat Kes: Delirium, E3 M5 V4 - Inj OMZ 1x40 mg
seizure
- Inj Fenitoin 3x100
TD: 205/140 HR: 140x/menit mg
- Hiponatre
- Amlodipin 1x10 mg
RR: 20x/menit T : 37 C mia - Captopril 3x25 mg
- Asam folat 2x5 mg
SaO2 : 100% - Haloperidol 2x 1,5
mg
- THP 2x3 mg
Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera - Cek elektrolit
ikterik (-/-), pupil isokor (+/+), reflex
cahaya (+/+)

Leher: pembesaran KGB (-), Peningkatan


JVP (-)

Paru: simetris, sonor (+/+), SN vesikuler


(+/+), Ronki (+ /+), Wheezing (-/-)

Cor: BJ I-II normal, bising (-), murmur (-),


Gallop (-)

Abdomen: supel, BU (+) Normal, Timpani


(+), Nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan
lien tidak teraba.

Ekstremitas: Akral hangat (+), CRT


<2’’/<2’’

Refleks fisiologis: +/+//+/+

Refleks patologis: (-/-)

39
Pemeriksaan Lab 27/12/2019

Trigliserida : 76 mg/dl

Kolesterol Total : 121 mg/dl

GDP : 97 mg/dl

GD2PP : 116 mg/dl

Asam urat : 5,59 mg/dl

Na/K/Cl : 151,9/4,3/115,1 Mmol/L

Kesan: Hipernatremia, hipercloriemia

3 28/12/19 S: Meracau (+) kejang (-) - Status - IVFD RL 500cc /12


convulsivus jam
O: + acute - Inj. Ceftriaxon 2
symptom gram/24 jam
KU: Berat Kes: Delirium E3 M5 V4 - Inj OMZ 1x40 mg
seizure
- Inj Fenitoin 3x100
TD: 176/70 HR: 81 x/ menit mg
- Hipernatremi
- Amlodipin 1x10 mg
RR: 22 x/menit T : 37 C a - Captopril 3x25 mg
- Asam folat 2x5 mg
SaO2 : 100% - Haloperidol 2x 1,5
mg
- THP 2x3 mg
Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), pupil isokor (+/+), reflex
cahaya (+/+)

Leher: pembesaran KGB (-), Peningkatan


JVP (-)

Paru: simetris, sonor (+/+), SN vesikuler


(+/+), Ronki (+ /+), Wheezing (-/-)

Cor: BJ I-II normal, bising (-), murmur (-),


Gallop (-)

40
Abdomen: supel, BU (+) Normal, Timpani
(+), Nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan
lien tidak teraba.

Ekstremitas: Akral hangat (+), CRT


<2’’/<2’’

Refleks fisiologis: +/+//+/+

Refleks patologis: (-/-)

4 29/12/19 S: Meracau (+) kejang (-) Status - IVFD RL 500cc /12


convulsivus jam
O: + acute - Inj. Ceftriaxon 2
symptom gram/24 jam
KU: Berat Kes: Delirium E3 M5 V4 - Inj OMZ 1x40 mg
seizure
- Inj Fenitoin 3x100
TD: 120/80 HR: 85 x/ menit mg
- Amlodipin 1x10 mg
RR: 21 x/menit T : 37 C - Captopril 3x25 mg
- Asam folat 2x5 mg
SaO2 : 100% - Haloperidol 2x 1,5
mg
- THP 2x3 mg
Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), pupil isokor (+/+), reflex
cahaya (+/+)

Leher: pembesaran KGB (-), Peningkatan


JVP (-)

Paru: simetris, sonor (+/+), SN vesikuler


(+/+), Ronki (+ /+), Wheezing (-/-)

Cor: BJ I-II normal, bising (-), murmur (-),


Gallop (-)

Abdomen: supel, BU (+) Normal, Timpani


(+), Nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan
lien tidak teraba.

Ekstremitas: Akral hangat (+), CRT

41
<2’’/<2’’

Refleks fisiologis: +/+//+/+

Refleks patologis: (-/-)

5 30/12/19 S: Meracau (+) kejang (-) - Ensefalopati - IVFD RL 500cc /12


hipertensi jam
O: - NGT aff
- Post koreksi - Diet MS
KU: Berat Kes: Delirium E3 M5 V4 hiponatremi - Inj. Ceftriaxon 2
gram/24 jam
TD: 160/70 HR: 85 x/ menit - Inj Fenitoin 3x100
mg
RR: 21 x/menit T : 37 C - Amlodipin 1x10 mg
- Haloperidol 2x 1,5
SaO2 : 100% mg
- THP 2x3 mg
- Pindah ruang biasa
Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera - Bladder training
ikterik (-/-), pupil isokor (+/+), reflex
cahaya (+/+)

Leher: pembesaran KGB (-), Peningkatan


JVP (-)

Paru: simetris, sonor (+/+), SN vesikuler


(+/+), Ronki (+ /+), Wheezing (-/-)

Cor: BJ I-II normal, bising (-), murmur (-),


Gallop (-)

Abdomen: supel, BU (+) Normal, Timpani


(+), Nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan
lien tidak teraba.

Ekstremitas: Akral hangat (+), CRT


<2’’/<2’’

Refleks fisiologis: +/+//+/+

Refleks patologis: (-/-)

42
6 31/12/19 S: meracau (-) - Ensefalopati - IVFD RL 500cc /12
hipertensi jam
O: - Diet MS
- Post koreksi - Inj. Ceftriaxon 2
KU: Berat Kes: Delirium E3 M5 V4 hiponatremi gram/24 jam
- Inj Fenitoin 3x100
TD: 140/70 HR: 83 x/ menit mg
- Amlodipin 1x10 mg
RR: 20 x/menit T : 37 C - Haloperidol 2x 1,5
mg
SaO2 : 100% - THP 2x3 mg
- Infus dan DC aff
- Boleh pulang
Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera
Obat pulang:
ikterik (-/-), pupil isokor (+/+), reflex
- Asam folat 2x1 tab
cahaya (+/+) - Piracetam 1x1200mg
Leher: pembesaran KGB (-), Peningkatan
JVP (-)

Paru: simetris, sonor (+/+), SN vesikuler


(+/+), Ronki (+ /+), Wheezing (-/-)

Cor: BJ I-II normal, bising (-), murmur (-),


Gallop (-)

Abdomen: supel, BU (+) Normal, Timpani


(+), Nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan
lien tidak teraba.

Ekstremitas: Akral hangat (+), CRT


<2’’/<2’’

Refleks fisiologis: +/+//+/+

Refleks patologis: (-/-)

43
BAB 4
DISKUSI

Telah diperiksa seorang pasien laki-laki usia 74 tahun di Instalasi Gawat


Darurat RSUP M Natsir Solok, dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak 5
jam SMRS. Dengan nilai triase merah, pasien dimasukkan ke ruang resusitasi IGD.
Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini.
Dari alloanamnesa, keluarga pasien menyatakan pasien mengalami penurunan
kesadaran secara tiba-tiba. Penurunan kesadaran secara tiba-tiba dapat disebabkan
oleh banyak sebab, seperti cedera kepala, stroke hemoragik ataupun ensefalopati
akut. Keluarga juga menyatakan pasien secara berurutan mengeluhkan pusing dan
sakit kepala yang bukan sakit kepala hebat, diikuti kejang selama ±45 menit, lalu
setelah kejang pasien tidak sadarkan diri. Kejang, pusing, dan sakit kepala masing-
masingnya memiliki penyebab yang sangat luas. Kejang dapat menandakan
bangkitan epilepsi, ketidakseimbangan elektrolit, tumor intracranial, hingga infeksi
SSP. Pusing dan sakit kepala bisa menjadi penanda peningkatan tekanan intracranial,
vertigo, hipoglikemia, hipoksia, perdarahan subaraknoid bila sakit kepala sangat
hebat dan belum pernah dirasakan sebelumnya, hingga bermacam jenis cephalgia
seperti tension type headache, migraine, dan cluster headache. Keluarga menyangkal
riwayat hipertensi, DM, kejang dan stroke, dan menyatakan pasien tidak sedang
menjalani pengobatan apapun.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan kesadaran coma GCS 3 (E1M1V1), tekanan
darah 190/110 mmHg, nadi 112 x/ menit, nafas 30 x/ menit, saturasi O2 91%, dan
terdapat rhonki di kedua lapangan paru. Sebagai penanganan awal, diberikan O2
melalui NRM 15 liter/ menit. GCS 3 menandakan suatu kondisi penurunan kesadaran
yang berat. Tekanan darah 190/110 merupakan suatu krisis hipertensi, dan pada
pasien ini karena diikuti dengan tanda target organ damage berupa penurunan
kesadaran, maka digolongkan kepada hipertensi emergensi. Hipertensi emergensi
membutuhkan penurunan tekanan darah 25% MAP dalam 1 jam. Pada pemeriksaan
neurologis, ditemukan refleks fisiologis baik dan tidak ditemukan reflex patologis,

44
tanda peningkatan tekanan intracranial, maupun tanda rangsang meningeal. Hal ini
membuat kemungkinan stroke, meningitis, dan PSA dapat disingkirkan untuk
sementara. Pasien sempat kejang di IGD sebanyak satu kali, selama kurang dari 5
menit.
Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan leukosit 12.700, natrium 124
mEq/L, klorida 111 mEq/L. Peningkatan leukosit di atas 10.000/mm3 menandakan
ada suatu proses infeksi. Natrium yang turun di bawah 135 mEq menunjukkan
kondisi hiponatremia; suatu kondisi yang juga dapat menyebabkan penurunan
kesadaran. EKG pasien menunjukkan gambaran sinus takikardi.
Pasien awalnya dikonsulkan ke bagian penyakit dalam karena ditemukan
gangguan elektrolitnya, namun jawaban konsul penyakit dalam menyarankan agar
pasien dikonsulkan ke bagian saraf karena hiponatremia di atas 120 mEq/L dianggap
bukan penyebab penurunan kesadaran pada pasien.
Diagnosis sementara yang ditegakkan kepada pasien adalah status convulsivus
+ acute symptomatic seizure + hyponatremia. Pasien ditatalaksana dengan O2 NRM
15L/ menit, IVFD RL 12 jam/ kolf, pasang NGT dan kateter urin, injeksi diazepam
yang hanya didapatkan 1 kali karena pasien hanya kejang sebanyak 1 kali di IGD,
dan amlodipine 10mg yang dimasukkan melalui NGT. Sebelum dipindahkan dari
IGD ke ruang rawat yaitu sekitar 12 jam setelah pasien diterima di IGD, kesadaran
pasien membaik menjadi GCS 9 E3M4V2, dengan tekanan darah 131/91 mmHg, nadi
97x/ menit, nafas 24x/ menit. Hasil konsultasi dengan DPJP bagian saraf, pasien
dirawat di HCU bagian saraf dan diberikan terapi IVFD NaCl 3% 500cc selama 12
jam, inj. Ceftriaxone 1x2 gr IV, inj omepraloze 1x1 amp IV, asam folat 2x1 tab per
oral, dan inj. Diazepam 1 amp bila kejang, maksimal 3 ampul/ hari. O2 diberikan
melalui NRM 15L/menit karena SaO2 pasien di bawah 95%, IVFD RL awalnya
untuk maintenance cairan lalu diganti NaCL 3% untuk koreksi hiponatremi. Pasien
diberikan antibiotic untuk mencegah infeksi dalam rawatan, PPI untuk mencegah
stress ulcer, dan asam folat untuk pemulihan otak. 6

45
Pasien dirawat selama 6 hari, dengan perkembangan yang berbeda setiap
harinya. Pada hari rawatan pertama, tekanan darah pasien kembali naik hingga
205/100 mmHg.
Hari rawatan kedua, kesadaran pasien E3M5V4, tekanan darah pasien 204/140
mmHg, terapi pasien ditambahkan fenitoin 3x100 mg untuk mencegah kejang,
captopril 3x25mg untuk menangani krisis hipertensi, haloperidol 2x1,5 mg untuk
mengatasi kegelisahan pasien, trihexyphenidyl 2x3 mg untuk mencegah sindroma
ekstrapiramidal atas pemberian haloperidol. Pasien diperiksa elektrolitnya untuk
mengevaluasi terapi NaCl 3% yang diberikan sehari sebelumnya, hasilnya natrium
pasien 151,9 mEq/L, kesan meningkat.
Hari rawatan ketiga, kesadaran E3M5V4 dengan tekanan darah pasien 176/70
mmHg. Tidak ada kejang. Tidak ada perubahan dalam pemberian terapi.
Hari rawatan keempat, kesadaran E3M5V4 dengan tekanan darah pasien 120/80
mmHg. Tidak ada kejang. Tidak ada perubahan dalam pemberian terapi.
Hari rawatan kelima, kesadaran pasien kesadaran E3M5V4 dengan tekanan
darah 160/70 mmHg. Tidak ada kejang. Pasien didiagnosis dengan ensefalopati
hipertensi + hiponatremia. NGT aff, diet diganti MS, pindah ke ruangan biasa, dan
mulai bladder training.
Hari rawatan keenam, kesadaran pasien composmentis non kooperatif GCS 15,
dengan tekanan darah 140/70. Pasien boleh pulang, dengan obat pulang asam folat
3x5 mg dan piracetam 1x1200 mg sebagai nootropik dan neurotropic.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono, Mahar dan Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian

Rakyat. 2009.

2. Pinson, Richard. Encephalopathy. Houston: American College of Physicians.

2015.

3. Wedro, Benjamin. Encephalopathy. Diakses dari www.emedicinehealth.com

pada tanggal 16 Januari 2020.

4. Ropper, A.H. dan Samuels, M.A.. Adams & Victor’s Principles of Neurology,

9th Edition. Boston. McGraw Hill Medical. 2009.

5. Munir, Badrul. Neurologi Dasar Edisi Kedua. Jakarta. Sagung Seto. 2017.

6. Vonder Haar C, Peterson TC, Martens KM, Hoane MR. Vitamins and nutrients

as primary treatments in experimental brain injury: Clinical implications for

nutraceutical therapies. Brain Res. 2016;1640(Pt A):114–129.

doi:10.1016/j.brainres.2015.12.030

7. Mandiga, P., Foris, L.A., Kassim, G., dan Bollu P.C. Hepatic Encephalopathy.

Diakses dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430869/ pada tanggal 5

Februari 2020.

8. Sharifian M. Hypertensive encephalopathy. Iran J Child Neurol. 2012;6(3):1–7.

9. Janssen, R.S., Nwanyanmu, O.C., Selik, R.M., dan Green, J.K.S. Epidemiology

of human immunodeficiency virus encephalopathy in the United States.

Neurology Aug 1992

47
10. Rodriguez, A.D., et al. Enchepatopathy and Kidney Injury as Unexpected

Complications of Recreational Drug Use: A Case Series. Am J Respir Crit Care

Med 2017; 195: A2063. 2017

11. Allen, M.L, Kulik, T., Keyrouz, S.G., dan Dhar, R. Posterior Reversible

Encephalopathy Syndrome as a Complication of Induced Hypertension in

Subarachnoid Hemorrhage: A Case-Control Study, Neurosurgery, Volume 85,

Issue 2, August 2019, Pages 223–230, https://doi.org/10.1093/neuros/nyy240

12. Khot, S. dan Tirschwell, D.L. Long Term Neurological Complications after

Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. Semin Neurol 2006; 26(4): 422-431

13. Chowdhury AR, Marcus EN. Seizure Disorder Exacerbated by Hepatic

Encephalopathy: A Case Report. Open Access Maced J Med Sci.2019 May 31;

7(10):1669-1671.https://doi.org/10.3889/oamjms.2019.458

14. Berdai, M.A., Labib, S., dan Harandou, M. Wernicke’s Encephalopathy

Complicating Hyperemesis during Pregnancy. Case Reports in Critical

CareVolume 2016, Article ID 8783932, 3

pageshttp://dx.doi.org/10.1155/2016/8783932. 2016

15. Lindsay, K.W., Bone, I., dan Callander, R. Neurology and Neurosurgery

Ilustrated Third Edition. Churchill Livingstone. 1997

48

Anda mungkin juga menyukai