Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


LEPTOSPIROSIS

Disusun Oleh:
Siti Nurfadillah Raf’aldini / 01073210157

Pembimbing:
dr. Nata Pratama Lugito Hardjo, Sp.PD.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE
RUMAH SAKIT UMUM SILIAM
PERIODE JUNI – AGUSTUS 2023
TANGERANG
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................................................... 2


BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................... 4
2.1. Definisi ........................................................................................................................................ 4
2.2. Epidemiologi ............................................................................................................................... 4
2.3. Etiologi......................................................................................................................................... 4
2.4. Manifestasi Klinis....................................................................................................................... 5
2.5. Perjalanan penyakit ................................................................................................................... 6
2.6. Patofisiologi ................................................................................................................................ 8
2.7. Diagnosis ..................................................................................................................................... 9
2.8. Tatalaksana dan Pencegahan .................................................................................................. 10
2.9. Diagnosis Banding.................................................................................................................... 11
2.10. Prognosis ................................................................................................................................. 13
BAB III................................................................................................................................................. 14
KESIMPULAN ................................................................................................................................... 14
Daftar Pustaka .................................................................................................................................... 16

2
BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara dengan iklim tropis dan saat musim penghujan seringkali
terjadi banjir, terutama pada daerah-daerah dengan resapan air yang kurang. Pada saat banjir
banyak sekali kerugian yang dapat menimpa korban, mulai dari kerusakan dan kehilangan
barang hingga terjangkir berbagai penyakit. Salah satu penyakit yang seringkali menyerang
pada saat banjir adalah leptospirosis. Hal ini disebabkan penularan penyakit ini dapat melalui
air seni tikus yang mengandung bakteri penyakit tersebut dan masuk melalui luka seperti luka
lecet dan selaput-selaput lendir pada saat terendam banjir atau genangan-genangan seperti
lumpur hingga selokan.(1)

Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat mengenai baik manusia ataupun hewan
yang disebabkan oleh bakteri dari genus Leptospira. Gejala dari penyakit leptospirosis ini
seringkali menyebabkan kesalahan diagnosis dengan penyakit lain, akibat dari gejalanya yang
luas dan bervariasi. Bahkan dapat tidak menimbulkan gejala sama sekali pada beberapa
orang.(2) Gejeala yang dapat timbul pada orang yang mengalami leptospitosis dapat berupa
demam yang muncul secara mendadak, mata merah, nyeri kepala, nyeri otot, lemas, dan warna
kulit jadi nampak kekuningan (ikterik).(1)

Apabila terinfeksi oleh bakteri Leptospira dan menyebabkan penyakit leprosirosis,


maka perlu dilakukan pengobatan. Sebab, jika tidak dilakukan pengobatan, komplikasi dari
penyakit ini dapat menyerang organ lain dan menyebabkan kerusakan ginjal, distres napas,
meningitis, dan bahkan hingga kematian.(2)

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Leptospira.
Penyebaran penyakit ini biasanya melalui urin-urin hewan yang terinfeksi, dan menyebar
melalui kontak langsung maupun dari air atau tanah yang terkontaminasi oleh urin tersebut.
Beberapa hewan yang sering menjadi perantara adalah hewan-hewan liar seperti tikus, rakun,
anjing dan termasuk juga hewan ternak seperti kuda, babi, dan sapi. Pada hewan yang terinfeksi
biasanya tidak menunjukkan gejala, sedangkan pada manusia dapat bervariasi, mulai dari yang
tidak bergejala, bergejala namun dapat sembuh dengan sendirinya, hingga berkembang menjadi
komplikasi ke beberapa organ tubuh. Pada leptospirosis yang mengalami komplikasi ke
beberapa organ tubuh disebut sebagai penyakit Weil.(2,3)

2.2. Epidemiologi
Leptospirosis biasanya berkembang pada daerah-daerah dengan iklim yang sedang.
Pada negara-negara barat, penyakit ini biasanya muncul di akhir dari musim panas hingga awal
musim gugur, sedangkan pada negara-negara tropis biasanya muncul pada musim penghujan.
Jika dibandingkan antara negara barat dengan iklim sedang dan negara tropis di musim
penghujan, kejadian leptospirosis sepuluh kali lebih banyak di negara tropis. Menurut WHO di
dunia terdapat 873.000 kasus dengan lebih dari 40.000 kematian setiap tahunnya.(3)
Berdasarkan laporan mengenai leptospirosis pada tahun 2019 kepada WHO, di
Indonesia sendiri terdapat 920 kasus dengan 122 kematian. Laporan ini berdasarkan dari
laporan provinsi-provinsi Indonesia seperti Jakarta, Banten, Jogja, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Maluku, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Selatan.(4) Namun, kemungkinan masih banyak kasus
yang tidak dilaporkan karena penyakit ini memiliki banyak kemiripan dengan proses penyakit
lainnya.(3)

2.3. Etiologi
Penyakit Leptospirosis disebabkan oleh bakteri dengan bentuk spiral yang termasuk
dalam genus Leptospira, famili Leptospiraceae, dan ordo Spirochaetales. Spirochetes ini
melingkar halus, tipis, bergerak atau motil, obligat, aerob yang tumbuh lambat. Sistem
klasifikasi saat ini didasarkan pada homologi DNA dan heterogenitas leptospira klasik, yang
membagi L interrogans dan L biflexa menjadi 20 spesies. Dalam spesies ini, leptospira
selanjutnya dikelompokkan berdasarkan serogroup, serovar, dan strain berdasarkan pengujian
aglutinasi mikroskopis (MAT). Serovar tertentu dapat dikaitkan dengan manifestasi klinis

4
tertentu. Misalnya, ruam eritematosa pretibial yang khas terlihat pada pasien dengan infeksi L
autumnalis, dan gejala gastrointestinal mendominasi pada pasien yang terinfeksi L
grippotyphosa. Meskipun begitu, serovar dari leptospira apa pun dapat menyebabkan tanda dan
gejala yang terlihat pada penyakit leptospirosis. Misalnya, penyakit kuning terjadi pada 83%
pasien dengan infeksi L icterohaemorrhagiae dan pada 30% pasien yang terinfeksi L pomona.
Meningitis aseptik umumnya terjadi pada mereka yang terinfeksi L pomona atau L canicola.(5)
Penularan leptospira ke manusia biasanya terjadi dengan cara invasi melalui permukaan
mukosa atau kulit yang tidak utuh seperti pada kulit yang terluka. Infeksi dapat terjadi melalui
kontak secara langsung dengan hewan yang terinfeksi ataupun jaringan maupun urinnya atau
melalui kontak dengan air dan tanah yang telah terkontaminasi oleh bakteri Leptospira.(1-3,5)
Beberapa hewan yang sering menjadi perantara adalah hewan-hewan liar seperti tikus, rakun,
anjing dan termasuk juga hewan ternak seperti kuda, babi, dan sapi. Pada hewan yang terinfeksi
biasanya tidak menunjukkan gejala, sedangkan pada manusia dapat bervariasi, mulai dari yang
tidak bergejala, bergejala namun dapat sembuh dengan sendirinya, hingga berkembang menjadi
komplikasi ke beberapa organ tubuh.(2,3)

2.4. Manifestasi Klinis


Terdapat beragam manifestasi klinis dari leptospirosis, mulai dari leptospirosis dengan
gejala ringan, demam yang dapat sembuh sendiri sampai yang berat, kondisi yang mengancam
nyawa karena terdapat kegagalan organ multipel. Sebagian besar gejala klinis dari leptospirosis
mirip dengan berbagai penyakit dengan demam di negara tropis, seperti demam berdarah
dengue, penyakit ricket, malaria, dan sepsis bakterial. Kebanyakan kasus leptospirosis tidak
berkembang menjadi berat dan 10% dari kasus ini berkembang menjadi kasus berat.(6)
Secara klinis biasanya leptopsirosis dibagi menjadi ikterik dan anikterik. Pada pasien
anikterik, gejala yang dialami pasien biasanya ringan, mirip dengan flu, dan dapat sembuh
sendiri, sehingga biasanya pasien tidak mencari pertolongan medis. Sedangkan leptospirosis
ikterik menandakan adanya keterlibatan kerusakan multiorgan.(5) Pada leptospirosis anikterik
gejala dapat berupa menggigil, nyeri kepala, myalgia, konjungtiva bengkak, dan kulit
kemerahan (jarang). Kemerahan pada kulit biasanya bersifat sementara, kurang dari 24 jam.
Gejala anikterik ini biasanya bertahan kurang dari satu minggu, dan resolusinya berkaitan
dengan munculnya antibodi. Demam yang dialami bersifat bifasik, dapat muncul secara tiba-
tiba dengan suhu 38-400C selama sekitar satu minggu dan dapat muncul kembali setelah remisi
3-4 hari. Nyeri kepala yang dialami mirip dengan penderita dengue, yaitu nyeri pada bagian
retroorbital. Nyeri otot dirasakan lebih ke bagian punggung bawah, paha, dan betis.(7)

5
2.5. Perjalanan penyakit
Periode inkubasi dari penyakit ini dapat terjadi mulai dari 2-20 hari namun, biasanya
terjadi selama 7-12 hari. Pola penyakit bifasik dapat terlihat beberapa pasien. Manifestasi klinis
dari Leptospirosis biasanya dibagi menjadi fase leptospiraemik atau fase akut dan kemudian di
ikuti dengan fase imun.(6) Fase leptospiremik terjadi selama 3-9 hari dan muncul sebagai
penyakit febris akut yang tidak spesifik.(6)
Gejala yang dapat muncul pada fase ini adalah sebagai berikut:(6)
- Demam (38-40 0C)
- Myalgia → Dapat berupa myalgia berat dan biasanya muncul pada betis, abdomen
(mirip akut abdomen) dan otot paraspinal (menyebabkan meningism: nyeri kepala,
kaku leher, fotofobia, mual, muntah)
- Pembengkakan konjungtiva (hari ke 3-4)
- Menggigil
- Nyeri kepala

Setelah fase leptosipremik atau septisemik, maka akan di ikuti dengan fase imun,
dimana antibodi IgM muncul dalam darah. Pada fase ini, di perkirakan organisme berada dalam
jumlah konsentrasi yang lebih tinggi di tubulus proksimal ginjal serta organ lainnya juga.
Manifestasi yang muncul bergantung pada derajat keterlibatan organ dan virulensi dari
organisme leptospira. Namun, pada praktik nya, secara klinis fase-fase ini sulit dibedakan,
karena seringkali tumpang tindih. Contoh keterlibatan organ dan manifestasi klinis yang
didapatkan adalah sebagai berikut:(6)

• Ginjal
- Berkurangnya urin (oliguria)
- Hematuria, adanya sel darah atau casts dalam urin
- Kerusakan ginjal akut
• Liver
- Ikterik
- Hepatomegali dengan nyeri
- Peningkatan AST atau ALT tiga kali dari batas atas normal
- Peningkatan bilirubin, alkalin phosphatase atau gamma glutamyl transpeptidase
- Pemanjangan prothrombin time
• Paru-paru
- Batuk, sesak napas, hemoptisis

6
- Hipoksia (saturasi oksigen <94%)
- Laju napas > 30 x/menit
- Wheezing dan crackles saat auskultasi
- Adanya keterlibatan parenkim paru berdasarkan radiografi thoraks atau CT scan
- Sindrom gangguan pernapasan akut
• Jantung
- Sesak napas, nyeri dada, palpitasi, takikardia, crackles pada bagian basal
- Hipotensi
- Abnormalitas pada EKG: arithmia, perubahan ST/T, abnormalitas konduksi
- Abnormalitas pergerakan dinding pada echocardiografi
• Darah
- Perdarahan
- Trombositopenia <130 x 109 /L
- Koagulasi berat
- Koagulopati intravaskular diseminata
• Neurologi
- Berkurangnya tingkat kesadaran
- Meningism
- Tanda neurologis fokal

7
Gambar 2.1. Sifat bifasik leptospirosis dan penyelidikan yang relevan pada berbagai stadium
penyakit. Spesimen 1 dan 2 untuk serologi adalah spesimen fase akut, 3 adalah sampel fase
pemulihan yang dapat memfasilitasi deteksi respons imun yang tertunda, dan 4 dan 5 adalah
sampel tindak lanjut yang dapat memberikan informasi epidemiologis, seperti dugaan serogrup
yang menginfeksi.(7)

2.6. Patofisiologi
Leptospira dapat menginvasi kulit yang tidak utuh (luka terbuka) dan membran
mukosa. Leptospira ini dapat dibawa oleh urin atau jaringan tubuh binatang yang terinfeksi,
atau air dan tanah yang terkontaminasi. Ketika leptospira terdapat pada urin binatang yang
terinfeksi, maka dapat bertahan di air bersih selama 16 hari dan pada tanah selama hampir 24
hari. Kemudian, dapat memasuki manusia melalui luka terbuka, membran mukosa pada hidung
atau mulut apabila tertelan air yang terkontaminasi leptospira, atau bahkan paru-paru jika tidak
sengaja menghirup air yang terkontaminasi. Leptospira juga ditularkan melalui plasenta pada
manusia yang sedang hamil, menyebabkan keguguran pada dua trimester awal. Jika terinfeksi
pada trimester ketiga, maka dapat menyebabkan stillbirth atau kematian intrauterin. Setelah di
dalam tubuh, bakteri ini akan menuju ke saluran limfatik dan ke peredaran darah. Dari
peredaran darah, infeksinya dapat menyebar ke seluruh tubuh, tapi cenderung lebih banyak di

8
ginjal dan liver. Biasanya membutuhkan waktu 1-2 minggu untuk orang yang terinfeksi
memunculkan gejala, bahkan bisa sampai satu bulan.(3)

2.7. Diagnosis
Secara umum pemeriksaan untuk diagnosis leptospirosis dibagi menjadi pemeriksaan
yang dapat menujukkan bukti infeksi secara langsung (adanya leptospira atau DNA, atau
kultur) dan pemeriksaan yang menunjukkan bukti secara tidak langsung (menunjukkan
antibodi terhadap leptospirosis).(6)
• Isolasi leptospirosis
- Kultur darah → merupakan standar emas untuk diagnosis leptospitosis. Untuk
melakukan kultur ini membutuhkan sampel yang diambil selama minggu
pertama dari penyakit. Kultur ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi
serovar dan untuk menentukan sensitivitas terhadap antibiotik. Tetapi, meskipun
merupakan standar emas, kultur membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan
hasil.
- Polymerase-chain reaction (PCR) → berguna untuk diagnosis awal, yaitu pada
minggu pertama atau pada fase akut. Memiliki sensitivitas dan spesivisitas yang
tinggi. Berguna untuk klasifikasi genomik.
- Mikroskopi lapang gelap dari cairan tubuh → akan terlihat leptospira berbentuk
spiral bergerak berputar, namun pemeriksaan ini memiliki sensitivitas yang
rendah karena sering salah disalah artikan sebagai fibrin atau benang protein.

Gambar 2.2. Mikroskop lapang gelap.(3)


• Metode serologi
Antibodi biasanya terdeteksi pada hari ke 6-10 dan mencapai puncaknya dalam 3-
4 minggu. Dapat juga digunakan untuk identifikasi genus atau serogroup. Dapat

9
dengan menggunakan metode aglutinasi, tetapi memakan waktu lama dan
berbahaya karena menggunakan spesimen hidup untuk menemukan antigen.
Metode lainnya adalah dengan pemeriksaan IgM menggunakan enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA). Metode ini terdapat dimana-mana, tetapi
sensitivitas dan spesifisitasnya bergantung pada seropositivitas setempat.(6)
• Diagnosis lainnya dapat disesuaikan dengan kerusakan organ yang dialami
pasien.(6)
- Urin: Hematuria, sel darah atau casts dalam urin.
- Liver: Peningkatan AST atau ALT tiga kali dari batas atas normal, peningkatan
bilirubin, alkalin phosphatase atau gamma glutamyl transpeptidase,
pemanjangan prothrombin time.
- Paru-paru: Hipoksia (saturasi oksigen <94%), Wheezing dan crackles saat
auskultasi, Adanya keterlibatan parenkim paru berdasarkan radiografi thoraks
atau CT scan, sindrom gangguan pernapasan akut.
- Jantung: Abnormalitas pada EKG: arithmia, perubahan ST/T, abnormalitas
konduksi, abnormalitas pergerakan dinding pada echocardiografi.
- Darah: Trombositopenia <130 x 109 /L, Koagulasi berat, Koagulopati
intravaskular diseminata.

2.8. Tatalaksana dan Pencegahan


Pasien dengan kecurigaan atau terkonfirmasi leptospirosis dengan gejala klinis ringan
dan tidak ada komorbiditas dapat melakukan rawat jalan dengan pemeriksaan follow-up secara
rutin untuk mengidentifikasi komplikasi. Pasien dengan gejala klinis yang menunjukkan
adanya keterlibatan organ, atau pada pasien yang memiiliki komorbid maka dapat dilakukan
rawat inap di rumah sakit.(6)
Untuk gejala ringan tanpa keterlibatan organ:
- Pemberian doxycycline 100 mg dua kali sehari selama 7 hari
- Pemeriksaan darah lengkap, CRP, creatinine, urea, elektrolit, liver transaminase
- Bilirubin, laporan urin lengkap
- Pantau urin output
- Periksa kembali setiap 48 jam
- Masuk rumah sakit jika terdapat ikterik, berkurangnya urin, hematuria, batuk, atau
kesulitan bernapas, dan secara klinis sakit berat.

10
Untuk yang membutuhkan perawatan rumah sakit:
- Pemeriksaan darah lengkap, CRP, Creatinine, urea, elektrolit, liver transaminase,
bilirubin, laporan urin lengkap, pemeriksaan koagulasi dan gambaran darah (untuk
mengidentifikasi koagulopati intravaskular diseminata), EKG, dan rontgen dada.
- Lakukan pemberian antibiotik: Penicilin G 1.5 juta unit selama 6 jam, atau
ceftriaxone 1 gram dua kali sehari selama 7 hari. Untuk pasien dengan alergi
penicilin atau cephalosporin, dapat diberikan doxyxycline atau macrolide
(azithromycin atau clarythromycin).
- Pantau asupan cairan dan jumlah urin yang keluar. Asupan cairan pada dewasa
sekitar 2-2.5 liter per 24 jam.
- Jika oliguria, asupan harus sama dengan jumlah urin yang keluar di hari sebelumnya
ditambah insensible water loss (biasanya sekitar 500 ml). jika jumlah urin
sebelumnya tidak diketahui, asupan cairan per jam adalah sejumlah urin beberapa
jam sebelumnya ditambah 25 ml.
- Semua obat-obatan nefrotoksik dan hepatotoksik harus dihentikan. Obat
antikoagulan dan antiplatelet mungkin dapat dihentikan jika terdapat manifestasi
perdarahan .
- Pasien dengan kondisi kritis (hemodinamik tidak stabil, kompromi pernafasan,
hemoptisis, kesadaran berkurang, atau tanda disfungsi organ lainnya)
membutuhkan perawatan di HCU atau ICU

Pencegahan leptospirosis adalah dengan mencegah terjadinya paparan terhadap infeksi, dan
dapat juga diberikan obat profilaksis pada individu dengan risiko tinggi. Doxycycline 200 mg
per minggu, dimulai dari satu minggu sebelum paparan dan dilanjutkan selama terapapar.
Belum ada vaksin leptospirosis untuk manusia saat ini.(6)

2.9. Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari leptospirosis sangat luas. Jika gejalanya ringan dapat dibedakan
dengan influeenza dan infeksi virus lainnya. Sedangkan pada pasien dengan gejala cukup berat
dapat dibedakan dengan demam berdarah dengue, meningitis virus, hepatitis, malaria, demam
kuning, dan demam typhoid. Penyakit-penyakit tersebut memiliki kesamaan berupa demam,
myalgia, nyeri kepala, nyeri abdomen, mual, muntah, ikterik, hiperemis konjungtiva,
odynophagia, diare, arthralgia, dan pruritus. Perbedaan-perbedaan antara penyakit tersebut
dirangkum dalam Tabel 2.1.(8)

11
Tabel 2.1. Diagnosis banding leptospirosis.(8)

12
2.10. Prognosis
Sebagian besar kasus leptospirosis (90%) merupakan leptospirosis dengan gejala
ringan, dan pada kategori ini jarang sekali berkembang menjadi kejadian fatal. Tingkat
mortalitas dari leptospirosis berkisar antara 10-40% pada leptospirosis berat. Orangtua dan
individu dengan sistem imun yang rendah memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mortalitas.
Kebanyakan kematian diakibatkan oleh gagal ginjal, perdarahan masif, atau sindrom distres
pernafasan akut. Secara umum, penderita leptospirosis mengalami sedikit morbiditas jangka
panjang, terlepas dari tingkat keparahan penyakitnya. Fungsi hati dan ginjal kembali normal,
meskipun disfungsi parah selama penyakit akut, bahkan di antara pasien yang membutuhkan
dialisis.(5)

13
BAB III

KESIMPULAN

Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Leptospira.


Penyebaran penyakit ini biasanya melalui urin-urin hewan yang terinfeksi, dan menyebar
melalui kontak langsung maupun dari air atau tanah yang terkontaminasi oleh urin tersebut.(2,3)
Leptospirosis biasanya berkembang pada daerah-daerah dengan iklim yang sedang. Pada
negara-negara barat, penyakit ini biasanya muncul di akhir dari musim panas hingga awal
musim gugur, sedangkan pada negara-negara tropis biasanya muncul pada musim penghujan.(3)
Berdasarkan laporan mengenai leptospirosis pada tahun 2019 kepada WHO, di Indonesia
sendiri terdapat 920 kasus dengan 122 kematian.(4)
Penularan leptospira ke manusia biasanya terjadi dengan cara invasi melalui permukaan
mukosa atau kulit yang tidak utuh seperti pada kulit yang terluka. Infeksi dapat terjadi melalui
kontak secara langsung dengan hewan yang terinfeksi ataupun jaringan maupun urinnya atau
melalui kontak dengan air dan tanah yang telah terkontaminasi oleh bakteri Leptospira.(1-3,5)
Secara klinis biasanya leptopsirosis dibagi menjadi ikterik dan anikterik. Pada pasien anikterik,
gejala yang dialami pasien biasanya ringan, mirip dengan flu, dan dapat sembuh sendiri,
sehingga biasanya pasien tidak mencari pertolongan medis. Sedangkan leptospirosis ikterik
menandakan adanya keterlibatan kerusakan multiorgan.(5) Pada leptospirosis anikterik gejala
dapat berupa menggigil, nyeri kepala, myalgia, konjungtiva bengkak, dan kulit kemerahan
(jarang). Kemerahan pada kulit biasanya bersifat sementara, kurang dari 24 jam. Gejala
anikterik ini biasanya bertahan kurang dari satu minggu, dan resolusinya berkaitan dengan
munculnya antibodi. Demam yang dialami bersifat pifasik, dapat muncul secara tiba-tiba
dengan suhu 38-400C selama sekitar satu minggu dan dapat muncul kembali setelah remisi 3-
4 hari. Nyeri kepala yang dialami mirip dengan penderita dengue, yaitu nyeri pada bagian
retroorbital. Nyeri otot dirasakan lebih ke bagian punggung bawah, paha, dan betis.(7)
Secara umum pemeriksaan untuk diagnosis leptospirosis dibagi menjadi pemeriksaan
yang dapat menujukkan bukti infeksi secara langsung (adanya leptospira atau DNA, atau
kultur) dan pemeriksaan yang menunjukkan bukti secara tidak langsung (menunjukkan
antibodi terhadap leptospirosis). Pasien dengan kecurigaan atau terkonfirmasi leptospirosis
dengan gejala klinis ringan dan tidak ada komorbiditas dapat melakukan rawat jalan dengan
pemeriksaan follow-up secara rutin untuk mengidentifikasi komplikasi. Pasien dengan gejala
klinis yang menunjukkan adanya keterlibatan organ, atau pada pasien yang memiiliki komorbid

14
maka dapat dilakukan rawat inap di rumah sakit.(6) Diagnosis banding dari leptospirosis sangat
luas. Jika gejalanya ringan dapat dibedakan dengan influeenza dan infeksi virus lainnya.
Sedangkan pada pasien dengan gejala cukup berat dapat dibedakan dengan demam berdarah
dengue, meningitis virus, hepatitis, malaria, demam kuning, dan demam typhoid. Penyakit-
penyakit tersebut memiliki kesamaan berupa demam, myalgia, nyeri kepala, nyeri abdomen,
mual, muntah, ikterik, hiperemis konjungtiva, odynophagia, diare, arthralgia, dan pruritus.(8)
Sebagian besar kasus leptospirosis (90%) merupakan leptospirosis dengan gejala ringan, dan
pada kategori ini jarang sekali berkembang menjadi kejadian fatal. Tingkat mortalitas dari
leptospirosis berkisar antara 10-40% pada leptospirosis berat. Orangtua dan individu dengan
sistem imun yang rendah memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mortalitas.(5)

15
Daftar Pustaka

1. Superadmin. Mengenal Gejala dan pencegahan leptospirosis [Internet]. [cited 2023 Jun
11]. Available from: https://upk.kemkes.go.id/new/mengenal-gejala-dan-pencegahan-
leptospirosis
2. Leptospirosis [Internet]. Centers for Disease Control and Prevention; 2019 [cited 2023
Jun 11]. Available from:
https://www.cdc.gov/leptospirosis/index.html#:~:text=Leptospirosis%20is%20a%20b
acterial%20disease,be%20mistaken%20for%20other%20diseases.
3. Wang S, Stobart Gallagher MA, Dunn N. Leptospirosis. [Updated 2022 Oct 17]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441858/
4. Wulandari E. Leptospirosis prevention and control in Indonesia [Internet]. World
Health Organization; [cited 2023 Jun 11]. Available from:
https://www.who.int/indonesia/news/detail/24-08-2020-leptospirosis-prevention-and-
control-in-indonesia
5. Gompf MD SG. Leptospirosis [Internet]. Medscape; 2021 [cited 2023 Jun 11].
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/220563-overview#a5
6. Rajapakse S. Leptospirosis: Clinical aspects. Clinical Medicine. 2022;22(1):14–7.
doi:10.7861/clinmed.2021-0784
7. Levett PN. Leptospirosis. Clinical Microbiology Reviews. 2001;14(2):296–326.
doi:10.1128/cmr.14.2.296-326.2001
8. Mattar S, Alvis N, Gonzalez M. Haemorrhagic fevers transmitted by vectors in the
Neotropics. Current Topics in Public Health. 2013; doi:10.5772/55420

16

Anda mungkin juga menyukai