Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

DERMATITIS SEBOROIK

Oleh :

DZAKIYAH NURUL ISRA


10542 0584 14

Pembimbing :
dr. H. A. Amal Alamsyah, M.Si, Sp.KK

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS
KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama / NIM : Dzakiyah Nurul Isra, S.Ked / 10542058414

Judul Lapsus : Dermatitis Seboroik

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan

klinik pada bagian Ilmu Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas

Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Juli 2018

Pembimbing

dr. H. A. Amal Alamsyah,M.Si, Sp.KK

2
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi ALLAH, atas rahmat dan karunia-Nya jualah,

akhirnya laporan kasus yang berjudul “Dermatitis Seboroik” ini dapat diselesaikan

dengan baik. Laporan Kasus ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk

mengikuti ujian kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya penulis sampaikan kepada dr. A.


Amal Alamsyah Makmur, Sp.KK selaku pembimbing dalam laporan kasus ini
yang telah memberikan bimbingan dan banyak kemudahan dalam penyusunan
referat ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki banyak

kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan

penulis demi kebaikan di masa yang akan datang. Harapan penulis semoga

laporan kasus ini bisa membawa manfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Makassar, Juli 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

Halaman Judul ........................................................................................................ 1

Halaman Pengesahan .............................................................................................. 2

Kata Pengantar ....................................................................................................... 3

Daftar Isi ................................................................................................................. 4

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 6

BAB II LAPORAN KASUS……………………………………………………..8

A. Identitas Pasien…………………………………………………………..8

B. Anamnesis……………………………………………………………….8

C. Pemeriksaan Fisik………………………………………………………..9

D. Diagnosis………………………………………………………………...9

E. Diagmosis Banding………………………………………………………9

F. Penatalaksanaan………………………………………………………….10

G. Resume…………………………………………………………………...10

H. Prognosis…………………………………………………………………10

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 11

A. DEFINISI ................................................................................................... 11

B. EPIDEMIOLOGI ........................................................................................ 11

C. ETIOLOGI .................................................................................................. 13

D. MANIFESTASI KLINIK ........................................................................... 13

E. PATOGENESIS .......................................................................................... 15

F. DIAGNOSIS .............................................................................................. 16

G. DIAGNOSIS BANDING ............................................................................ 19

4
H. PENATALAKSANAAN ............................................................................ 24

I. PROGNOSIS .............................................................................................. 27

J. EDUKASI ................................................................................................... 27

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 28

A. KESIMPULAN .......................................................................................... 28

Daftar Pustaka ........................................................................................................ 29

5
BAB I

PENDAHULUAN

Kelainan kulit pada kelenjar sebasea dapat meliputi milia,

hiperplasia kelenjar sebasea, akne neonatorum, dan dermatitis seboroik.

Kelainan yang terjadi pada dermatitis seboroik, ditandai kulit yang

kemerahan dan bersisik, mengenai wajah, telinga, leher, dapat meluas ke

dada dan daerah popok.1

Malassezia furfur (dahulu dikenal pityrosporum ovale) diduga

merupakan salah satu penyebab, abnormalitas imun dan kerentanan, dan

juga pengaruh kelenjar androgen yang menghasilkan peningkatan jumlah

dan aktivitas kelenjar sebum. Beberapa faktor lain turut sebagai pemicu

dermatitis seboroik adalah faktor fisik, gangguan nutrisi, obat, ketidak

seimbangan hormonal, proliferasi epidermal, genetika dan gangguan

sistem saraf yaitu abnormalitas neurotransmitter. 1

Insiden dermatitis seboroik umumnya terjadi pada segala usia,

namun sering pada 3 bulan pertama kehidupan mencapai 70%, dan dekade

keempat hingga ketujuh kehidupan, sedangkan insidensi pada bayi

dikaitkan dengan ukuran dan aktivitas kelenjar sebasea pada usianya. Bayi

baru lahir kelenjar sebaseanya besar dengan sekresi sebum yang tinggi

hampir sama orang dewasa. Saat usia dewasa, seboroik tidak lagi

berhubungan dengan dermatitis seboroik, karena aktifitas glandula sebasea

mencapai puncaknya pada awal pubertas, tetapi kelainan baru muncul

6
pada beberapa dekade kemudian.Diagnosis dermatitis seboroik umumnya

mudah ditegakkan secara klinis, dan tidak memerlukan alat bantu khusus.

Pemeriksaan tambahan lain berupa pemeriksaan laboratorium dan

pemakaian alat non invasif dapat membantu diagnosis dan terapi spesifik

yang diperlukan.1,9Beberapa kasus psoriasis sering sulit dibedakan dengan

DS, seperti pada psoriasis yang mengenai kulit kepala

(sebopsoriasis)sukar dibedakan dengan DS.Psoriasis inversa juga dapat

menyerupai DS Kedua kelainan tersebut sebenarnya dapat dibedakan,

namun pada beberapa kasus diperlukan pemeriksaan yang lebih teliti untuk

bisa membedakan keduanya. Selain dari gambaran klinis, histopatologi

antara DS dan psoriasis juga menunjukkan gambaran yang mirip,

didapatkan proliferasi epidermal psoriasiform dan spongiosis yang

bervariasi baik pada psoriasis maupun DS.3

7
BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Tn. A

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 54 Tahun

Pekerjaan : Buruh

Tanggal Periksa : 6 Juli 2018

Alamat : Makassar

B. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada pasien pada tanggal 06-

07-2018 di poli Kulit dan Kelamin RSK Dadi Prov. Sul-Sel.

1. Keluhan Utama :

Gatal pada seluruh badan disertai lesi kulit

Riwayat Penyakit

Pasien laki-laki berumur 64 tahun di poli kulit dan kelamin RSKD Sul-

Sel dengan keluhan gatal pada seluru badan, di sertai lesi kulit. Awal

lesi kulitnya berupa merah kemudian menjadi warna putih. Awalnya

muncul pada daerah kepala kemudian menjalar ke leher dan seluruh

badan. Pasien mengeluh kadang kulitnya terasa perih. Keluhan ini

sudah dialami bertahun-tahun.

2. Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat penyakit seperti ini : disangkal

8
 Riwayat Alergi : disangkal

3. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama

4. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien bekerja

C. Pemeriksaan Fisik

Status Dermatologis :

Lokasi : Thorax, Scalp, leher dan punggung

Effloresensi : papul, plak hipopigmentasi, skuama

D. Diagnosis

Dermatitis Seboroik

E. Diagnosis Banding

1. Psoriasis

2. Dermatitis Atopi

3. Ptiriasis Rossea

4. Tinea

F. Penatalaksanaan

1. Cetirizine

2. Elopro Gel

3. Ketomed

4. Dexametason

5. Myconazole

G. Resume

9
Pasien laki-laki berumur 54 tahun di poli kulit dan kelamin RSKD Sul-Sel

dengan keluhan gatal pada seluru badan, di sertai lesi kulit. Awal lesi

kulitnya berupa merah kemudian menjadi warna putih. Awalnya muncul

pada daerah kepala kemudian menjalar ke leher dan seluruh badan. Pasien

mengeluh kadang kulitnya terasa perih. Keluhan ini sudah dialami

bertahun-tahun. Riwayat penyakit dahulu (-), riwayat alergi (-)

H. Prognosis

1. Ad vitam : bonam

2. Ad Functionam : bonam

3. Ad sanationam : bonam

10
BAB III

PEMBAHASAN

A. Definisi

Dermatitis seboroik adalah kelainan papuloskuamosa, dengan

predileksi didaerah kaya kelenjar sebasea, scalp, wajah dan badan.

Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit pada daerah yang banyak

mengandung kelenjar sebasea. Dermatitis seboroik adalah penyakit kulit

dengan keradangan superfisial kronis yang mengalami remisi dengan

eksaserbasi dengan area seboroik sebagai tempat predileksi. Dermatitis

seboroik merupakan penyakit eritroskuamosa kronik, bisa ditemukan pada

usia anak dan dewasa.2,4,8,9 Dermatitis seboroik disebut juga sebagai

seborrhoeic eczema atau pityruasis simplex, dermatitis seboroik termasuk

dalam golongan chronic papulosquamous dermatosis yang dapat dengan

mudah dikenali. Dermatitis ini dikaitkan dengan malassezia, terjadi

gangguan imunologis mengikuti kelembapan lingkungan, perubahan cuaca

ataupun trauma, dengan penyebaran lesi dimulai dari derajat ringan,

misalnya ketombe sampai dengan bentuk eritroderma. Kadang-kadang

juga dapat mengenai daerah interskapular, umbilikus, perineum, dan

anogenital.1,2,9

B. Epidemiologi

Dermatitis seboroik mempunyai 2 masa puncak yaitu pada 2-10

minggu pertama kehidupan (bayi) dan pada dekade keempat sampai

ketujuh dari kehidupan 1(dewasa). Angka kejadian DS yang tinggi pada

11
bayi berhubungan dengan jumlah dan aktivitas dari kelenjar sebasea. DS

pada bayi terjadi antara minggu kedua hingga kesepuluh dan sering

didapatkan pada 3-8 minggu pertama kehidupan. Kelenjar sebasea aktif

pada bayi yang baru lahir akibat stimulasi hormon androgen dari ibunya,

kemudian kelenjar tersebut menjadi tidak aktif sampai pubertas. Dermatitis

seboroik pada usia dewasa tidak berhubungan dengan kelenjar sebasea,

karena aktivitas kelenjar sebasea mencapai puncaknya pada awal pubertas,

sedangkan dermatitis seboroik baru muncul beberapa dekade kemudian.3,9

Dermatitis seboroik lebih sering dijumpai pada laki-laki daripada

perempuan di semua kelompok umur. Menurut survei yang dilakukan oleh

Foley dan kawan-kawan terhadap 1.116 anak di Australia, didapatkan

prevalensi DS pada anak laki-laki sebesar 1110% dan 9,5% pada anak

perempuan. Insidensi tertinggi dilaporkan terjadi di Eropa, di Denmark

2,9% dan Kepulauan Faeroe 2,8%, dengan rata-rata di Eropa Utara sebesar

2%. Prevalensi antara 2,2% sampai 2.6% di Amerika Serikat, dengan

ditemukannya kasus baru sebesar 150.000 setiap tahun. Insidensi psoriasis

di Asia sebesar 0,4%.Sedangkan di Indonesia, data dari RSUP Cipto

Mangunkusumo Jakarta tahun 2000-2002 menunjukkan rata-rata

prevalensi dermatitis seboroik 8,3% dari jumlah kunjungan. Riset di RSUP

Prof. DR. R. D. Kandou membuktikan bahwa dari 12.236 pasien yang

datang, ke Poliklinik Kulit dan Kelamin pada periode Januari 2005-

Desember 2007, didapatkan 267 pasien (2,18%) dengan dermatitis

seboroik.Dermatitis seboroik dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi

12
imunosipresi (misalnya pasien dengan kondisi HIV/AIDS, transplantasi

organ), dan penyakit lain misalnya Parkinson, serta gangguan nutrisi dan

kelainan genetik.3,9,13

C. Etiologi

Penyebabnya belum diketahui pasti diduga akibat aktivitas kelenjar

sebasea yang meningkat. Beberapa faktor berperan dalam etiopatogenesis

penyakit ini yaitu spesies Malassezia. Aktivitas kelenjar sebasea,

kerentanan individu. Malassezia furfur (dahulu dikenal pityrosporum ovale)

diduga merupakan salah satu penyebab. Abnormalitas imun dan kerentanan, dan

juga pengaruh kelenjar androgen yang mpemicu menghasilkan peniingkatan

jumlah dan aktivitas kelenjar sebum. Beberapa faktor lain turut sebagai dermatitis

seboroik adalah fisik, gangguan nutrisi, obat, ketidakseimbangan hormonal,

proliferasi epidermal, genetik, dan gangguan sistim saraf yaitu abnormalitas

neurotransmitter. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit adalah

makanan yaitu pada orang-orang yang banyak memakan lemak dan minum

alkohol, iklim yang dingin, stress emosiunal, dan lingkungan yang menyebabkan

kulit yang menjadi lembab dan maserasi akan lebih mudah menimbulkan

penyakit.1,4,11

D. Manifestasi klinik

Dermatitis seboroik ini mempunyai predileksi pada daerah yang

berambut, karena banyak kelenjar sebasea, yaitu kulit kepala,

retroaurikula, alis mata, bulu mata, sulkus nasolabialis, telinga, leher,

dada, daerah lipatan, aksila, inguinal, glutea, dibawah buah dada. Dapat

juga mengenai cuping hidung, antara scapula dan daerah suprapubis.

13
Sedangkan tempat predileksi dermatitis seboroik infantile terutama

mengenai kulit kepala, alis, bulu mata, lipatan nasolabial, bibir, telinga,

dada, leher, lipatan paha, dan lipat bokong.1,4,5 Distribusi dermatitis

seboroik biasanya bilateral dan simetris berupa bercak ataupun plakat

dengan batas yang tidak jelas, eritem ringan dan sedang, skuama

berminyak dan kekuningan. Penderita akan mengeluh rasa gatal yang

hebat. Dermatitis seboroik jarang menyebabkan kerontokan rambut.

Terjadi perubahan komposis produk kelenjar sebasea, sehingga bakteri

komensal yang ada dipermukaan kulit dapat berkembang biak, seperti

pityrosporum ovale dan spesies pikok.4,5

Bentuk dermatitis seboroik yang berat ditandai dengan adanya

bercak-bercak berskuama dan berminyak disertai eksudasi dan krusta

tebal. Sering meluas ke dahi, glabela, postaurikular, dan leher. Pada bercak

yang lebih berat lagi, seluruh kepala tertutup oleh krusta kotor, dan berbau

tidak sedap. Sehingga berpengaruh terhadap kepercayaan diri penderita

penyakit ini. Pada dermatitis seboroik ringan, hanya didapati skuama pada

kulit kepala. Skuama berwarna putih dan merata tanpa eritem.5,13

Dermatitis seboroik pada bayi , lazim disebut dermatitis seboroik

infantile. Kelainan ini terjadi pada bulan keempat, biasanya minggu ketiga

dan keempat, tersering pada 3 bulan pertama dan akan menghilang dengan

sendirinya tanpa terapi pada usia 8-12 bulan. Pada bayi, skuama-skuama

yang kekuningan pada kulit kepala disebut cradle cap. Lesi-lesi dermatitis

seboroik dapat terjadi juga pada daerah supraorbital, disertai dengan

14
blefaritis, dan juga pada liang telinga luar, lipatan nasolabial, daerah

sterna, aerola mammae, dan daerah lipatan-lipatan tubuh.1,13

E. Patogenesis

Patogenesis dermatitis seboroik masih belum diketahui dengan

pasti, namun berhubungan erat dengan jamur Malassezia, kelainan

imunologis, aktivitas kelenjar sebasea dan kerentanan pasien.9Dengan

demikian penyakit ini lebih tepat disebut sebagai dermatitis didaerah

sebasea, namun demikian, pathogenesis dermatitis seboroik dapat

diuraikan sebagai berikut.2

Dermatitis seboroik dapat merupakan tanda awal infeksi HIV.

Dermatitis seboroik sering ditemukan pada pasien HIV/AIDS,

transplantasi organ, malignansi, pancreatitis alkoholik kronik, hepatitis C

juga pasien Parkinson. Terapi levodopa kadang kala memperbaiki

dermatits ini. Kelainan ini sering juga dijumpai pada pasien dengan

gangguan paralisis saraf.2

Meningkatnya lapisan sebum pada kulit, kualitas sebum, respons

imunologis terhadap pityrosporum, degradasi sebum dapat mengiritasi

kulit sehingga terjadi mekanisme eksema. Jumlah ragi genus malassezia

meningkat didalam epidermis yang terkelupas pada ketombe ataupun

dermatitis seboroik. Diduga hal ini terjadi akibat lingkungan yang

mendukung telah banyak bukti yang mengaitkan dermatitis seboroik

dengan malassezia. Pasien dengan ketombe menunjukkan peningkatan

titer antibodi terhadap malassezia kelenjar sebasea aktif pada saat bayi

15
dilahirkan, namun dengan menurunnya androgen ibu, kelenjar ini menjadi

tidak aktif selama 9-12 tahun. Di bawah ini adalah alur yang menunjukkan

peran Malassezia sp pada dermatitis seboroik. Koloni jamur mempunyai

kemampuan untuk berproliferasi di permukaan kulit hingga menimbulkan

reaksi inflamasi dan secara klinis nampak berupa skuama.2,9

9
Gambar 1. Peran jamur Malassezia pada dermatitis seboroik di kulit kepala.

F. Diagnosis

Anamnesis

Sebagai klinisi, diperlukan pendekatan klinis dengan melakukan

anamnesis secara seksama dan lengkap mencakup keluhan utama

(kuantitas dan kualitas), awitan sakit dan perjalanan penyakit, factor

eksogen yang mempengaruhi penyakit (perubahan suhu dan iklim), factor

16
pemicu/pencetus, factor predisposisi penyakit, dan riwayat penyakit dan

perkembangan terapi. Pasien datang dengan keluhan munculnya bercak

merah dan kulit kasar. Kelainan awal hanya berupa ketombe ringan pada

kulit kepala sampai keluhan lanjut berupa keropeng yang berbau tidak

sedap dan terasa gatal. Faktor resiko termasuk genetik, faktor kelelahan,

stress emosional, infeksi, defisiensi imun, jenis kelamin pria>wanita, usia

bayi bulan 1 dan usia 18-40 tahun, kurang tidur.1,14

Pemeriksaan Fisik

Tanda patognomonis :

1. Papul sampai plak eritema

2. Skuama berminyak agak kekuningan

3. Berbatas tidak tegas

Lokasi predileksi : kulit kepala, glabella, belakang telinga, belakang

leher, alis mata, kelopak mata, liang telinga luar, lipat nasolabial,

sternal, areola mamma, lipatan bawah mammae pada wanita,

interskapular, umbilicus, lipat paha, daerah angogenital. Bentuk klinis

lain berupa berta yang ditandai dengan seluruh kulit kepala tertutup

oleh krusta, kotor, dan berbau. Pada bayi, skuama-skuama yang

kekuningan pada kulit kepala disebut cradle cap. Lesi-lesi dermatitis

seboroik dapat terjadi juga pada daerah supraorbital, disertai dengan

blefaritis, dan juga pada liang telinga luar, lipatan nasolabial, daerah

sterna, aerola mammae, dan daerah lipatan-lipatan tubuh.1,14

17
Gambar 2. Manifestasi klinis dermatitis seboroik

Pemeriksaan Histopatologi

Gambaran histologik dermatitis seboroik tidak spesifik, bervariasi

sesuai dengan stadium penyakit. Biopsi kulit dibutuhkan untuk

membedakan dermatitis seboroik dengan beberapa kelainan yang serupa.

Gambaran histopatologi dermatitis seboroik bervariasi sesuai dengan

perjalanan penyakitnya: akut, sub-akut, dan kronis. Dermatitis seboroik

akut dan sub-akut, didapatkan sebaran infiltrat limfosit dan histiosit

perivaskuler superfisial, spongiosis ringan sampai sedang, hiperplasia

epidermis psoriasiform ringan, folikuler plugging dengan orthokeratosis

dan parakeratosis, skuama yang mengandung neutrofil pada ujung ostia

folikuler. Pada puncak stratum papilaris ditemukan monosit.3,4,5

Dermatitis seboroik kronis ditandai dengan dilatasi kapiler dan

vena pada pleksus superfisial ditambah dengan gambaran seperti pada

dermatitis seboroik akut/sub-akut. Lesi dermatitis seboroik kronis, secara

klinis dan histopatologi berbentuk psoriasiform dan sering sulit dibedakan

dengan psoriasis. Lesi dermatitis seboroik kadang mirip dengan bentuk

lesi psoriasis yang tidak khas, namun lesi psoriasis ini akan bertahan

dalam beberapa tahun yang pada akhirnya akan membentuk lesi psoriasis

18
yang khas. Tanda diagnostik yang paling penting dari dermatitis seboroik

adalah shoulder parakeratosis. Acrosyringia dan acroinfundibulum bisa

diisi oleh corneocyte-casts. Kasus dermatitis seboroik ringan pada stratum

korneum didapatkan parakeratosis fokal dengan predileksi pada ostia

folikuler, gambaran ini dikenal sebagai shoulder parakeratosis, eksositosis

fokal dari limfosit. Pada dermis tampak sebaran infiltrat sel-sel

mononuklear. Pada pasien HIV, epidermis mengandung keratinosit yang

mengalami apoptosis dan infiltrat di bagian atas dermis biasanya terdiri

dari sel plasma.3

Gambar 3. Gambaran histopatologi DS (terdapat akantosis dengan

spongiosis, parakeratosis perifolikuler, 16skuama, dan krusta).

G. Diagnosa Banding

1. Psoriasis

Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit kronik dengan dasar

genetik yang kuat dengan karakteristik perubahan pertumbuhan dan

diferensiasi sel epidermis disertai manifestasi vaskuler, juga diduga adanya

pengaruh sistem saraf. Patogenesis psoriasis digambarkan dengan

19
gangguan biokimiawi, dan imunologik yang menerbitkan berbagai

mediator perusak mekanisme fisiologik kulit dan memengaruhi gambaran

klinis.Psoriasis menyebar di seluruh dunia tetapi prevalensi usia psoriasis

bervariasi di setiap wilayah.2Psoriasis dilaporkan terdapat pada 2 sampai 5

juta orang Amerika.6

Gambaran klasik berupa plak eritematosa diliputi skuama putih

disertai titik-titik perdarahan bila skuama dilepas, berukuran dari seukuran

jarum sampai dengan plakat menutupi sebagian besar area tubuh,

umumnya simetris. Penyakit ini dapat menyerang kulit, kuku, mukosa dan

sendi, tetapi tidak mengganggu rambut. Penampilan berupa infiltrate

eritmatosa, eritema yang muncul bervariasi dari yang sangat cerah

biasanya diikuti gatal sampai merah pucat. Fenomena Koebner adalah

peristiwa munculnya lesi psoriasis setelah terjadi trauma maupun

mikotrauma pada kulit pasien psoriasis. Pada lidah dapat dikumpai plak

putih berkonfigurasi mirip peta yang disebut lidah geografik. Fenotip

psoriasis dapat berubah-ubah.2

Gambar 4. Gambaran psoriasis

20
2. Dermatitis Atopi Dewasa

Dermatitis Atopik (DA) adalah peradangan kulit berupa dermatitis

yang kronis residif, disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu,

terutama di wajah (infantil) dan bagian fleksural ekstremitas (pada fase

anak). Dermatitis atopik kerap terjadi pada bayi dan anak, sekitar 50%

menghilang pada saat remaja, kadang menetap, atau bahkan baru mulai

muncul saat dewasa. Sampai saat ini etiologi DA dianggap multifaktor.

Perjalanan penyakit bervariasi, dipengaruhi berbagai factor tersebut serta

berkaitan erat dengan penyakit atopi lainnya, yakni asma bronkial, rhinitis

alergik, urtikaria, dan hay fever.2

DA fase remaja dan dewasa (usia >13 tahun) dapat merupakan

kelanjutan dari fase infantil atau fase anak. Pada orang dewasa, lesi

dermatitis kurang karakteristik. Tempat predileksi mirip dengan fase anak,

dapat meluas mengenai kedua telapak tangan, jari, pergelangan tangan,

bibir, leher bagian anterior, skalp, dan putting susu. Manifestasi klinis

bersifat kronis, berupa plak hiperpigmentasi, hyperkeratosis, likenifikasi,

ekskoriasi dan skuamasi. Rasa gatal lebih hebat saat beristirahat, udara

panas, dan berkeringat. Terkadang dapat berkembang menjadi eritroderma.

Stress dapat menjadi faktor pencetus karena saat stress nilai ambang rasa

gatal menurun. Fase ini berlangsung kronik-residif sampai 30 tahun,

bahkan lebih.2,10

Dermatitis Atopik dapat disertai berbagai kelainan seperti

hiperlinearis palmaris, xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks, pitiriasis alba,

21
keratosis pilaris, tanda Hertoghe, keilitis, liken spinulosus, dan

keratokonus.10

Gambar 5. Gambaran Dermatitis Atopi Dewasa

3. Pitiriasuis Rosea

Pitiriasis rosea adalah ialah reaksi kulit akut yang sembuh sendiri,

dimulai dengan sebuah les inisial berbentuk eritem dan skuama halus.

Kemudian disusul lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan, dan tungkai

atas. Pada pitiriasis rosea skuamanya halus dan tak berminyak. Sumbu

panjang lesi sejajar garis kulit. Biasanya sembuh dalam waktu 3-8

minggu.2,5

22
Gambar 6. Pitiriasis rosea

4. Tinea

Pada tinea kapitis, dijumpai alopesia, kadang-kadang dijumpai

kerion. Pada tinea kapitis dan tinea kruris, eritem lebih menonjol di

pinggir dan pinggirnya lebih aktif disbandingkan tengahnya. Kadang-

kadang dengan dengan vesikel dan papul di tepi, biasanya juga terlihat

erosi dan krusta bekas garukan. Bentuk dengan tanda radang yang lebih

nyata, lebih sering dilihat pada anak-anak daripada orang dewasa karena

umumnya mendapat infeksi baru pertama kali.2,5

Gambar 7. Tinea corporis et capitis

H. Pengobatan

Tujuan terutama terapi dermatitis seboroik adalah mengontrol

gejala, sehingga pengobatan dermatitis seboroik cenderung focus pada

agen antiinflamasi. Tatalaksana medikamentosa dermatitis seboroik pada

skalp dan nonskalp meliputi pemakaian obat secara topikal dan sistemik,

dapat pula disertai pemakaian bahan lain yang dapat digunakan sebagai

terapi ajuvan ataupun terapi pencegahan. Prinsip utama tatalaksana

23
ketombe dan dermatitis seboroik di skalp adalah untuk mengontrol kondisi

kulit kepala agar nyaman dengan biaya seminimal mungkin. Prinsip

tatalaksana perawatan rambut pada ketombe dan dermatitis seboroik

adalah pengobatan harus dapat diterima secara estetik, yaitu dapat

digunakan bersama dengan bahan perawatan rambut harian yang akan

meningkatkan kepatuhan dan keberhasilan pengobatan. Pilihan pengobatan

medikamentosa untuk dermatitis seboroik umumnya berupa obat antijamur

, antiinflamasi, antikeratolitik, dan kalsineurin inhibitor. Laporan terbaru

menyatakan penambahan pilihan pengobatan pada dermatitis seboroik non

skalp berupa obat yang mengandung bahan nonsteroid bersifat

antiinflamasi berkhasiat antijamur (anti-inflamatory with antifungal

properties/AIAFp) dengan bukti keshahihan B (level of evidence).9

Pengobatan DS secara umum, yaitu:

1) Sampo yang mengandung obat anti Malassezia, misalnya selenium

sulfida, zinc pirithione, ketokonazol, berbagai sampo yang

mengandung ter dan solusio terbinafine 1%.Terbinafin termasuk

dalam golongan allylamineyang bersifat spectrum luas terhadap

dermatofit, molds, jamur dimorphic, dan yeast.2,8

2) Untuk menghilangkan skuama tebal dan mengandung sebum pada

kulit dapat dilakukan dengan mencuci wajah dengan sabun lunak.

Pertumbuhan jamur dapat dikurangi dengan krim imidazole dan

turunannya, bahan antimikotik di daerah lipatan bila ada gejala.2

24
3) Skuama dapat diperlunak dengan krim yang mengandung asam

salisilat atau sulfur.2

4) Pengobatan simptomatik dengan kortikosteroid topical potensi

sedang .2

5) Metronidazole topical, sikloproksolamin, talkasitol, benzoil

peroksida, dan salep litium suksinat 5%.Lithium succinate juga

dapat mengobati jamur dengan efeknya sebagai “booster” bagi

respon imun local terhadap infeksi. Pemakaian preparat ini dua kali

sehari tampaknya memberi efek yang lebih panjang setelah terapi

dihentikan, sehingga gejala klinis dermatitis seboroik tidak muncul

setelah terapi dihentikan.2,8

6) Pada kasus yang tidak membaik dengan terapi konvensional dapat

digunakan terapi sinar ultraviolet B (UVB) atau pemberian

itrakonazole 100mg/hari per oral selama 21 hari.2 Penggunaan

terapi narrow-band ultraviolet B merupakan pengobatan efektif

dan aman untuk kasus dermatitis seboroik yang berat, karena

narrow-band UVB akan diserap oleh Malassezia furfur yang

bersifat kromofor.8

7) Bila tidak membaik dengan semua modalitas terapi, pada

dermatitis seboroik luas dapat diberikan prednisolone 30 mg/hari

untuk respon cepat.2

25
8) Isotretinoin bisa diberikan dosis rendah 0,05-0,10 mg/kg BB setiap

hari selama beberapa bulan, khususnya untuk dermatitis seboroik

yang sukar sembuh.8

Dermatitis seboroik lebih sering relaps bila diterapi dengan

kortikosteroid topikal dibandingkan agen antijamur, serta pemakaian

kortikosteroid topikal dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan

telangiektasis, atrofi kulit dan lain-lain.11

I. Prognosis

Prognosis dipengaruhi oleh awitan dermatitis seboroik, dan pada

bayi prognosisnya jauh lebih baik daripada dermatitis seboroik pada

dewasa. Kondisi ini membaik pada musim panas. Kekambuhan terutama

pada kulit kepala dapat dikaitkan dengan alopesia pada kasus yang parah.

Pada bayi dan remaja dermatitis seboroik menghilang seiring

bertambahnya usia. Pada umumnya, prognosis baik jika faktor-faktor

pencetus dapat dihilangkan.4,9

J. Edukasi

Edukasi yang dapat diberikan pada pasien penyakit ini, yaitu:

1) Pasien dan keluarga diberi informasi bahwa penyakit ini berlangsung

kronik dan sering kambuh serta informasi yang berhubungan dengan

penyakitnya (dermatitis seboroik).

2) Pasien harus menghindari faktor pencetus, makanan berlemak, dan

stress-emosi.

3) Menjaga hygiene diri dengan perawatan rambut, dicuci dan dibersihkan

26
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit yang berupa peradangan

superfisial dengan papuloskuamosa yang kronik dengan tempat

predileksi di daerah-daerah seboroik yaitu daerah yang kaya akan

kelenjar sebasea, seperti kepala (kulit kepala, telinga bagian luar,

saluran telinga, kulit di belakang telinga), wajah (alis mata, kelopak

mata, glabella, lipatan nasolabial, dagu), badan bagian atas (daerah

presternum, daerah interskapula, areolla mammae), dan daerah lipatan

(ketiak, lipatan mammae, umbilikus, lipatan paha, daerah anogenital

dan lipatan pantat).

Diagnosis ditegakkan berdasarkan morfologi khas lesi eksema

dengan skuama kuning berminyak diarea predileksi.Pada kasus yang

sulit perlu pemeriksaan histopatologi.

Tatalaksananya bisa diberikan sampo yang mengandung obat anti

Malassezia, misalnya : selenium sulfide, skuama dapat diperlunak

27
dengan krim yang mengandung asam salisilat atau sulfur, pengobatan

juga diberikan berupa KS topikal sedang, dan bila tidak membaik

dengan modalitas terapi, pada dermatitis seboroik dapat diberikan

prednisolon 30 mg/hari untuk respons cepat.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Hajar Siti. 2015. Manifestasi Klinis Dermatitis Seboroik Pada Anak. Jurnal

Kedokteran Syiah Kuala : Banda Aceh

2. Jacoeb Tjut Nurul Alam. Dermatitis Seboroik. Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2017. Hal: 232-233.

3. Astindari, Sawitri, Sandhika Willy. 2014. Perbedaan Dermatitis Seboroik

dan Psoriasis Vulgaris Berdasarkan Manifestasi Klinis dan Histopatologi.

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga : Surabaya

4. Siregar, R.S. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta:

EGC, 2004. Hal: 104-106

5. Harahap Marwali. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates, 2000. Hal :15-

16

6. Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2005.

7. Sinaga Dameria. 2013. Pengaruh Stress Psikologis Terhadap Pasien

Psoriasis. Jurnal Ilmiah FK UKI : Jakarta.

8. Gayatri Lunni, Barakbah Jusuf. 2011. Dermatitis Seboroik pada

HIV/AIDS. Jurnal Ilmiah Fakultas Kedokteran Airlangga : Surabaya

9. Widaty Sandra, Marina Aninda. 2016. Pilihan Pengobatan Jangka Panjang

Pada Dermatitis Seboroik. Jurnal Ilmiah Departemen Ilmu Kesehatan

FKUI : Jakarta

29
10. Evina Belda. 2015. Clinical Manifestations and Diagnostic Criteria of

Atopik Dermatitis. Jurnal Ilmiah Fakultas Kedokteran Universitas

Lampung

11. Thaha Athuf. 2015. Hubungan Kepadatan Spesies Malassezia dan

Keparahan Klinis Dermatitis Seboroik di Kepala. Jurnal Ilmiah

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit Kelamin RSUP Dr.Mohammad Husein

Palembang.

12. Wolff Klaus, Johnson Richard Allen. Fitzpatrick’s Color Atlas and

Synopsis of Clinical Dermatology. 6th Ed. 2009. Hal 48-50

13. Terroe Ranita O, Kapantow Marlyn G, Kandou Renate T. 2015. Profil

Dermatitis Seboroik di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP

Prof.DR.R.D.Kandou Manado. Jurnal Ilmiah Fakultas Kedokteran

Universitas Sam Ratulangi

14. Taher Akmal. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas

Pelayanan Kesehatan Primer Edisi Revisi Tahun 2014. Jakarta. Hal 460-

462

30

Anda mungkin juga menyukai